Zakat di Perbankan
ZAKAT DI PERBANKAN SYARIAH Oleh : Nikmatul Masruroh Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Jember Abstrak Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan yang berbasis Islami merupakan perusahaan bisnis yang juga mengelola dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai pertanggungjawabannya pada dunia sosial. Sebab perbankan syariah, bukan hanya sebagai lembaga bisnis tetapi juga termasuk lembaga sosial. Salah satu bentuk peran sosialnya, perbankan syariah mengelola dana CSR yang di dalamnya ada dana zakat. Dana zakat ini dikenakan oleh Bank Syariah pada idle fund yang ada pada produk tabungan wadi’ah, sehingga zakat merupakan penalti bagi idle fund nasabah yang ada di Bank Syariah. Mengenai pengelolaannya Bank Syariah bekerjasama dengan BAZNAS maupun LAZNAS yang sudah ditetapkan di Indonesia. Tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana peranan zakat di industri perbankan syariah serta bagaimana proses pengenaan zakat yang ada di perbankan syariah. Sebab, selama ini akuntabilitas dan transparansi dari dana zakat di perbankan syariah belum begitu tampak. Sehingga terkesan, perbankan hanyalah industri bisnis dan tidak mempunyai peran sosial sama sekali. Kata Kunci: CSR, idle fund, tabungan wadi’ah Pendahuluan Kajian mengenai zakat telah banyak dilakukan dari berbagai lini dan berbagai sisi. Namun, kajian tentang zakat khususnya di Indonesia, masih menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Dikarenakan zakat selalu berkelindan dengan kehidupan umat muslim. Sebagaimana telah disebutkan dalam kurang lebih terdapat 32 kata zakat, dan 2 kali diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
33
Nikmatul Masruroh
shadaqah dan infaq. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam Islam.1 Dari 32 ayat dalam al Qur’an yang memuat ketentuan zakat tersebut, 29 ayat di antaranya menghubungkan ketentuan zakat dengan shalat, yakni menyatakan bahwa zakat adalah bentuk keshalehan sosial sebagai kelanjutan dan aplikasi dari keshalehan individu.2 Nash al Qur’an tentang zakat diturunkan dalam dua periode, yaitu periode Makkah sebanyak delapan ayat (al Muzzammil [73]:20; al Bayyinah [98] :5) dan periode Madinah sebanyak 24 ayat (misalnya al Baqarah [2]:43; al Maidah [5]:12) Perintah zakat yang diturunkan pada periode Makkah, sebagaimana terdapat dalam kedua ayat tersebut di atas, baru merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan yang diturunkan pada periode Madinah, merupakan perintah yang telah menjadi kewajiban mutlak. Dilihat dari segi kebahasaan, teks-teks al Qur’an yang mengungkapkan perihal zakat, sebagian besar dalam bentuk amr (perintah) dengan menggunakan kata atu, (tunaikan), yang berarti berketetapan; segera; sempurna sampai akhir; kemudahan; mengantar; dan seorang yang agung. Kata tersebut bermakna ali'tha', suatu perintah untuk menunaikan atau membayarkan.3 Indonesia dengan mayoritas penduduk muslimnya, memiliki potensi zakat yang besar. Paling tidak potensi tersebut menurut Monzer Kahf mencapai angka 1,8 – 4,34 persen dari PDB masing-masing negara. Potensi yang besar tersebut, tentu saja tidak mudah untuk digali. Sebab, dalam rangka menumbuhkan kesadaran berzakat bagi warga muslim Indonesia khususnya, masih dalam rangkaian proses. Proses tersebut, bisa kita lihat dengan mulai diberlakukannya undang-undang zakat mulai tahun 1998. Kemudian diperbarui pada tahun 2011. Artinya, pemerintah mulai ikut serta dalam pengelolaan zakat. Praktek selama ini di Indonesia, penggalian potensi zakat Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 43 2 P3EUII dan BI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 509 3 Al Ashfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an (Beirut: Dar at-Ma'arif, tt), 9. 1
34 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
dan pengelolaan dan zakat dilakukan secara personality. Keterlibatan lembaga, baik pemerintah maupun swasta masih jarang terlihat. Namun, hadirnya undang-undang zakat tersebut, membawa angin segar bagi lembaga pengelola zakat baik pemerintah maupun swasta untuk ikut serta dalam proses gerakan sadar zakat. Harapannya agar kasus-kasus kematian, berdesakan atau berjatuhan korban saat pembagian harta zakat tidak terjadi lagi.4 Dalam Islam, zakat ditujukan untuk membersihkan harta benda dari keburukan (Q.S at Taubah, ayat 103), mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan, membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi mustahiq zakat, membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya, membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial), menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin dalam suatu masyarakat serta sebagai sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial.5 Dari tujuantujuan tersebut, jika diejawantahkan dalam kehidupan tentu saja tidak ada lagi kesenjangan antara muzakki dengan mustahiq, atau jika dalam konteks Indonesia antara si kaya dengan si miskin.6 Selain itu, juga akan merubah status mustahiq menjadi muzakkimuzakki baru. Sehingga lambat laun, kesejahteraan sosial akan tercapai. Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, tentu saja dibutuhkan model pengelolaan dan distribusi dana zakat yang tepat, agar orientasi zakat yang diamanatkan oleh al Qur’an dan hadits bisa tercapai. Saat ini, di Indonesia lembaga pengelola zakat bukan hanya bertumpu pada Badan Amil Zakat Nasional M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, (Jakarta: Prenada Media, 2012), 129 5 Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2002), 17 6 Sebab mayoritas mustahiq zakat di Indonesia adalah faqir dan miskin. Sebagaimana pendapat Masdar F. Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. (Jakarta: PT. Bangkit Daya Insani, 1995), 48. Lihat juga Yusuf al Qardhawi, Fiqih Zakat (Dirasah Muqaranah Li Ahkamiha Wa Filsafatiha Fi Dhoui al Qur’an wa as Sunnah), (Libanon: Muassah Risalah, 2000) 4
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
35
Nikmatul Masruroh
(BAZNAS) mulai tingkat pusat sampai tingkat Kabupaten, maupun pada Lembaga Amil Zakat (LAZ), namun pengelolaan zakat juga dilakukan oleh Perbankan Syariah yang bisa dikategorikan sebagai Unit Pengumpul Zakat (sesuai UU Zakat No. 23 Tahun 2011). Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan syariah mengelola keuangan secara syar’i, tentu saja tidak hanya berorientasi pada profit namun juga pada sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, perbankan syariah selain mengelola dana melalui produk-produk yang ditawarkan kepada nasabah, perbankan syariah juga mengelola dana yang diperuntukkan untuk zakat, infak, shadaqah dan wakaf. Hal ini dilakukan, agar tidak ada idle fund di perbankan syariah selain itu jika idle fund bisa diproduktifkan7, maka kesejahteraan akan bisa diperoleh. Dari paparan tersebut, penulis akan membahas tentang seberapa jauh pengenaan zakat di perbankan syariah memberikan kontribusi dalam produktifitas keuangan?. Tulisan ini dalam rangka mencari bentuk-bentuk pengembangan zakat yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah. Peran Sosial Perbankan Syariah Perbankan syariah merupakan lembaga intermediary antara surplus spending unit (SSU) dengan defisit spending unit (DSU), dalam hal ini nasabah. Baik nasabah dari penyimpanan dana (kreditur) maupun nasabah yang melakukan pembiayaan (debitur). Sebagai lembaga perantara, perbanakan mempertemukan dua pihak yang saling membutuhkan terhadap dana dalam hal ini uang. Di satu sisi, ada nasabah yang perlu untuk melakukan investasi, karena dananya berlebih. Di sisi lain, nasabah membutuhkan bantuan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhannya. Perbankanlah yang menjadi intermediary antara kedua kepentingan tersebut. Selain itu, perbankan juga
Islam tidak berkenan dengan adanya idle fund (uang menganggur), sehingga uang harus diproduktifkan melalui usaha-usaha agar tidak menganggur. Sebagaimana konsep peredaran uang yang diidekan oleh madzhab Mainstream, baca Adiwarman Azhar Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 201 7
36 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
memberikan layanan jasa yang bisa dinikmati oleh nasabah.8 Dalam pengembangan dana yang dihimpun, tentu saja perbankan syariah memiliki strategi yang berbeda dari perbankan konvensional. Baik dari strategi penentuan harga, penentuan lokasi, pola promosi/ marketing, maupuan strategi penentuan produk.9 Hal ini dilakukan, sebab perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Perbedaan tersebut dilandaskan pada kerangka dasar berdirinya bank syariah di Indonesia. Dasar keberadaan perbankan syariah di Indonesia yaitu dengan adanya UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah. Dijelaskan bahwasanya Bank Syariah adalah lembaga penyedia jasa perbankan yang kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam ( UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah). Perbankan Syariah menekankan pentingnya keselarasan aktivitas keuangan dengan norma dan tuntunan syariah, terutama pelarangan riba (memperanakkan uang dan mengharapkan hasil tanpa menanggung risiko) yang sangat dominan eksistensinya dalam perbankan konvensional. Dalam perbankan syariah harus dipenuhi ketentuan:10 1. Menghindari gharar-maysir (aktivitas seperti berjudi), dan objek/proses investasi non-halal secara syarii, serta 2. menjamin terlaksananya konsep kemaslahatan mulai dari hulu sampai hilir dari proses investasi yang dilakukan. Dalam perspektif regulator pengembangan keuangan dan perbankan syariah minimal memiliki 2 justifikasi: 1. memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa perbankan yang sesuai dengan keyakinannya (amanah UU), dan 2. mengoptimalkan potensi kemaslahatan dari sistem perbankan baru ini bagi perekonomian secara mikro dan makro. Dari justifikasi di atas, maka undang-undang perbankan syariah memperluas usaha yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan melakukan usaha-usaha sosial. Seperti Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral BI, Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 267 9 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 216 10 M. Asro, M. Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 114 8
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
37
Nikmatul Masruroh
pengelolaan dana zakat, infak, shadaqah dan wakaf. Sebagaimana Bank Syariah & Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial sebagai lembaga baitul maal yaitu menerima zakat, infaq, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya (antara lain denda terhadap nasabah/ta’zir) dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat [Ayat (1)]11 Bank Syariah & UUS dapat menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) [Ayat (2)].12 Dari kedua ayat ini, terlihat jelas, bahwa selama ini selain perbankan syariah mempunyai peran untuk mengembangkan bisnis keuangan yang Islami, namun perbankan syariah juga memiliki peran sosial. Terbukti di dalamnya juga mengelola dana CSR, salah satunya berbentuk zakat. Islam telah mengajarkan pentingnya kepedulian sosial ini tidak hanya ketika manusia dalam kondisi berkecukupan, bahkan ketika manusia dalam kondisi kesulitan. Oleh karena itu kepedulian ini tidak hanya tercermin dari tindakan-tindakan kepedulian setelah seseorang atau perusahaan mendapatkan laba yang cukup tinggi, namun pada setiap setingkat keuntungan. Misal perbankan mengalokasikan 2,5% dari laba bersihnya untuk zakat atau dialokasikan untuk fakir miskin, pembangunan tempat ibadah, fasilitas pendidikan dan sebagainya. Kepedulian perbankan terhadap lingkungan ini merupakan salah satu sumber peningkatan keberkahan. Sehingga akan meningkatkan loyalitas nasabah pada perbankan.13 Hal ini tentu saja tidak lepas dari landasan filosofis perbankan syariah. Landasan filosofis ini, didasari falsafah dikembangkannya ekonomi syariah, yakni:14 1. Memiliki satu (1) tujuan pokok yang harus dicapai dan berbeda dengan perbankan konvensional, yakni bahwasanya kesuksesan yang hakiki dalam berekonomi berupa tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 Pasal 4 ayat 1 dan 2 tentang fungsi sosial Bank Syariah 12 Ibid, ayat 2 13 P3EUII dan BI, Ekonomi Islam, 206 14 Ibid, 51 11
38 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
kemakmuran (material)baik dalam kehidupan duniawi (sosial kemasyarakatan) maupun kehidupan ukhrawi. 2. Tujuan tersebut dilandasi oleh tiga (3) pilar utama dalam ekonomi syariah, yaitu: a. Aktivitas ekonomi yang berkeadilan dengan menghindari eksploitasi berlebihan, excessive hoardings/unproductive, spekulatif, dan kesewenang-wenangan. Selain itu, keadilan dalam Islam adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur : 1) Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadlh) 2) Dzulm (unsur kezaliman yang merugikan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan) 3) Maysir (unsur judi dan sikap untung-untungan) 4) Gharar (unsur ketidakjelasan ) 5) Haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional) b. Adanya keseimbangan aktivitas di sekitar riil finansial, pengelolaan risk return, aktivitas bisnis sosial, aspek spiritual-material dan azas manfaat-kelestarian lingkungan c. Orientasi pada kemashlahatan yang berarti melindungi keselamatan kehidupan beragama, proses regenerasi, serta perlindungan keselamatan, jiwa harta dan akal. 3. Tiga (3) pilar tersebut tidak lahir begitu saja, namun dilandasi oleh fondasi ekonomi syariah yang berasal dari al Qur’an dan hadits. Fondasi ini pula yang mendasari perilaku umat Islam dalam melakukan kegiatan ekonominya sehari-hari. Fondasi pemikiran ekonomi Islam merupakan prasyarat dasar yang mesti diidentifikasi dan dipenuhi sebelum memasuki tahapan implementasi pengembangan ekonomi syariah. Fondasi ini meliputi tiga hal sebagai berikut15: a. Aqidah (fondasi utama). Aqidah adalah suatu ideologi 15
Ibid
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
39
Nikmatul Masruroh
samawi yang membentuk paradigma dasar bahwa alam semesta ini dicipta oleh Allah Yang Maha Esa sebagai sarana hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan secara material dan spiritual. Dalam konsep aqidah, setiap aktivitas umat manusia memiliki nilai akuntabilitas Ilahiah yang menempatkan perangkat syariah sebagai parameter kesesuaian antara aktivitas usaha dengan prinsip-prinsip syariah. Aqidah yang baik diharapkan akan membentuk integritas yang membantu terbentuknya good governance dan market discipline yang baik. Konsep aqidah akan menjadi dasar bagi fondasi pendukung yang meliputi syariah dan akhlak. b. Syariah dan Akhlaq (Fondasi Pendukung Pertama). Syariah merupakan ketentuan hukum Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi perintah dan larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan tuhan maupun interaksi horisontal dengan sesama makhluk. Prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi secara umum akan menjadi sumber ketentuan yang mengatur pola hubungan bagi semua pelaku dan stakeholder perbankan syariah. Akhlak merupakan norma dan etika yang berisi nilai-nilai moral dalam interaksi sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan pencipta alam semesta agar hubungan tersebut menjadi harmoni dan sinergis. c. Ukhuwah (Fondasi Pendukung Kedua). Ukhuwah adalah prinsip persaudaraan dalam menata interaksi sosial yang diarahkan pada harmonisasi kepentingan individu dengan tujuan kemanfaatan secara umum dengan semangat tolong menolong. Ukhuwah dalam aktivitas ekonomi dilakukan melalui proses ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), ta’awun (saling menolong), takaful (saling menjamin ) dan tahaluf (saling beraliansi). Ukhuwah menempatkan pola hubungan antar manusia yang dilandasi dengan prinsip kesejajaran, saling percaya dan saling membutuhkan. Dari filosofi tersebut, tergambar jelas bahwasanya perbankan syariah memiliki peran sosial yang sangat besar dalam
40 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
kehidupan. Sebab, dalam pengembangannya Bank Syariah harus mengembangkan nilai-nilai ukhuwah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan perbankan yang mendorong sharing economy yang terbebas dari bunga, tidak bersifat spekulatif dan pembiayaan kegiatan usaha riil. Bank syariah didirikan untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait, dengan prinsip utama berupa: penghindaran riba perolehan keuntungan yang sah menurut syariah dan menyuburkan zakat dan sedekah turut serta memakmurkan dan menyejahterakan bangsa Pemaparan di atas semakin memperjelas peran sosial dari perbankan syariah, sehingga dana zakat yang ada di perbankan syariah juga perlu diberdayakan dan dikelola. Akan tetapi berdasarkan, Undang-undang Perbankan Syariah No.21 tahun 2008 pasal 4 ayat 2 dijelaskan bahwasanya Bank Syariah hanya menghimpun dana zakat, tetapi pengelolaannya diserahkan pada lembaga pengelola zakat yang sudah diatur dalam UU zakat No. 23 tahun 2011. Hal ini kemudian menjadi kajian menarik, sebab di satu sisi perbankan syariah dituntut melakukan peran sosial namun di sisi lain Bank Syariah tidak berhak melakukan pengelolaan terhadap dana zakat yang dia himpun. Artinya Bank Syariah tidak punya hak pula dalam hal pendistribusian dana zakat tersebut. Maka dari itu, perlu dieksplorasi lebih lanjut mengenai peran zakat dalam industri perbankan syariah. Pengenaan Zakat Di Perbankan Syariah Sebagaimana telah disinggung di atas, Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 3 berisi Tujuan Perbankan Syariah menyebutkan bahwasanya Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Kemudian dilanjutkan dengan pasal 4 yang berisi tentang fungsi sosial Perbankan Syariah. Dalam pasal ini
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
41
Nikmatul Masruroh
diterangkan bahwasanya;16 (1) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. (2) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). (3) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari bunyi Undang-undang tersebut, bisa dipahami bahwasanya Bank Syariah mempunyai tugas sosial sebagai penghimpun dana zakat. Dalam praktek penghimpunan dana zakat di perbankan syariah, bisa kita lihat dari sirkulasi kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah berikut:17
Sumber: Direktorat Bank Indonesia
16 17
UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 Bank Indonesia, Pengantar Kebanksentralan, 271.
42 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
Dari gambar di atas, bisa dipahami bahwa dana zakat bisa diperoleh perbankan syariah melalui simpanan dari nasabah. Simpanan dari nasabah bisa berupa giro wadi’ah, tabungan wadi’ah, tabungan mudharabah, maupun deposito mudharabah. Selain itu, zakat juga bisa diperoleh dari pemberian modal diberikan oleh perbankan syariah. Pemungutan zakat ini, merupakan pressure bagi nasabah agar terus meningkatkan investasinya. Sebab, jika dana ini tidak produktif atau hanya sekedar menjadi wadi’ah yad amanah maka akan terjadi idle fund. Di Perbankan Syariah, zakat digunakan sebagai penalti atas idle fund. Idle fund di Bank Syariah, dianggap sebagai objek zakat yang bisa diproduktifkan. Sebab, jika zakat dikenakan pada idle fund maka nasabah akan selalu menginvestasikan/ memproduktifkan dananya. Misalnya dengan memilih produkproduk perbankan yang lebih mengarah pada produktivitas keuangan, seperti wadi’ah mudharabah, yad dhamanah atau deposito mudharabah. Pada umumnya zakat dalam konteks bisnis dikenakan pada harta publik yang diinvestasikan baik melalui usaha sendiri, usaha bersama (share modal), perbankan, maupun reksadana. Investasi yang dilakukan di Bank Syariah bisa berupa simpanan dan bisa berupa investasi. Zakat ini sebagai upaya perbankan untuk mengarahkan nasabah yang pada awalnya hanya menyimpan danaya untuk menginvestasikan simpanannya agar produktivitas ekonomi tercapai. Hal ini sesuai dengan anjuran Islam, bahwa agar welfare society tercapai maka umat Islam tidak hanya dianjurkan untuk sekedar menabung, tetapi diharuskan untuk investasi. Investasi akan menumbuhkan roda perekonomian dan akan berefek pada kesejahteraan bersama. Jika hanya menabung, berarti harta itu hanya menumpuk, akhirnya harta itu hanya berputar di beberapa orang tertentu. Selain itu, tabungan/simpanan hanya menimbulkan idle fund atau uang yang menganggur. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan umat tersebut, Bank Syariah memberikan tawaran untuk mengarahkan nasabah yang memilih produk tabungan wadi’ah menjadi deposito mudharabah. Maka dalam hal ini, bank harus secara jelas memposisikan antara tabungan wadi’ah dan deposito mudharabah. Dengan memahami bahwa esensi zakat adalah upaya menekan
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
43
Nikmatul Masruroh
keberadaan idle fund agar mengalir menjadi investasi, maka idle fund yang tertahan oleh bank tersebut, dapat dipandang sebagai objek zakat dengan konsekuensi terkena penalti zakat sebagai disinsentif atas idle fund tersebut. Berarti dalam hal ini, ada usaha paksa yang dilakukan Bank Syariah dalam pemungutan zakat pada nasabah. Adanya dana yang tak tersalurkan oleh bank harus disadari sebagai satu bentuk lain dari idle fund di mana secara esensi merupakan objek zakat. Bahwa pengenaan “penalti” zakat atas idle fund yang tertahan oleh bank, merupakan wacana terjauh setelah pengenaan “penalti” zakat atas tabungan wadiah. Wacana pengenaan “penalti” atas bentuk idle fund di atas, merupakan satu kesadaran atas adanya bentuk idle fund di perbankan syariah. Disadari ataupun tidak, bahwa selama ini di industri perbankan syariah masih terdapat idle fund yang belum memberikan kontribusi apapun pada pemberdayaan ekonomi umat. Tentu saja, zakat di Perbankan Syariah tidak hanya sekedar pengenaan penalti bagi simpanan wadi’ah atau bagi idle fund, tetapi harus lebih itu. Sebab, permasalahan zakat merupakan permasalahan yang berbeda dengan permasalahan perbankan pada umumnya. Seharusnya, jika mau selaras dengan amanat Undang-undang, perbankan syariah dalam penghimpunan dana zakat harus juga menerapkan sistem transparansi dan akuntabilitas. Serta dalam kerjasama dengan Lembaga Pengelola zakat juga diperjelas. Transparansi tersebut diperlukan, guna diketahui harta nasabah yang berupa apa yang diambil zakatnya. Nasabah dalam hal ini harus mengetahuinya, sebab nasabah secara individual dia mempunyai kewajiban mengeluarkan zakat jika hartanya sudah memenuhi standar nisab dan standar haul, baik hartanya berupa simpanan semata lebih-lebih jika diinvestasikan. Dalam mengeluarkan zakat, selain prinsip annual, prinsip mencapai standar nisab, prinsip yang tidak kalah penting adalah bahwa zakat dikenakan pada harta yang produktif dan berpotensi produktif. Tabungan wadi’ah dalam hal ini termasuk pada harta yang berpotensi produktif meskipun dalam perbankan dikategorikan sebagai idle fund. Oleh karena itu, perlu dievaluasi kembali tentang
44 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015
Zakat di Perbankan
pelaksanaan zakat di perbankan syariah, agar pengelolaan zakat bisa tepat dan sesuai undang-undang. Serta cita-cita pelaksanaan zakat tercapai. Sesuai hakikatnya, zakat sebagai voluntary sector bisa menjadikan Bank Syariah mampu mendorong aktivitas sektor riil dan pengembangan bisnis syariah. Sehingga pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, penurunan pengangguran, stabilitas sistem keuangan bisa terwujud secara nyata. Kesimpulan Zakat di Perbankan Syariah merupakan amanat dari UU Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008, bahwasanya perbankan syariah selain mempunyai peran sebagai lembaga keuangan Islam juga mempunyai peranan sosial. Maka dari itu, mutlak untuk melakukan penghimpunan dan pengelolaan dana zakat. Akan tetapi, selama ini perbankan syariah hanyalah sebagai penghimpun dana zakat semata. Pengelolaan dana zakat diserahkan kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang telah ditetapkan oleh UU. Dalam aplikasinya, selama ini Bank Syariah mendorong nasabah untuk melakukan investasi, agar dana yang tersimpan di perbankan tidak masuk kategori idle fund. Dari idle fund ini, diwacanakan akan dikenakan zakat sebagai bentuk penalti atas dana yang tidak produktif. Permasalahan zakat di Perbankan Syariah seirama dengan permasalahan pengelolaan dana CSR yang ada perbankan pula. Permasalahan yang masih membayangi yaitu belum terealisasinya bentuk-bentuk dana tersebut dalam dunia yang nyata dan usaha riil. Sehingga masyarakat, khususnya nasabah belum merasakan jika perbankan juga memiliki fungsi dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, perbaikan, evaluasi, dan inovasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan kepercayaan nasabah Serta membuktikan bahwasanya perbankan syariah tidak hanya memiliki business oriented tetapi juga social responsibility.
Al-Mashraf, Vol.2 , No. 1 Oktober 2015
45
Nikmatul Masruroh
Daftar Pustaka Al Ashfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an, Beirut: Dar atMa'arif, tt. al Qardhawi, Yusuf, Fiqih Zakat (Dirasah Muqaranah Li Ahkamiha Wa Filsafatiha Fi Dhoui al Qur’an wa as Sunnah), Libanon: Muassah Risalah, 2000. Asro, M, M. Kholid, Fiqh Perbankan, Bandung: Pustaka Setia, 2011. Hafiduddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002. Karim, Adiwarman Azhar, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Metwally, M.M, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. Jakarta: PT. Bangkit Daya Insani, 1995. Mufraini, M. Arief, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Prenada Media, 2012. P3EUII dan BI, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral BI, Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Praktik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Qadir, Abdurrahman, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 Undang-Undang Zakat No. 23 Tahun 2011
46 Al-Mashraf, Vol.1, No. 1 Oktober 2015