Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Penentuan Posisi Marker Sekuen Stratigrafi Sebagai Dasar Pengikat Korelasi Lithostratigrfi Di Daerah Limau Cekungan Sumatra Selatan Taat purwanto *), Vijaya Isnaniawaghani **), Budi Mulyana **), Eko Widianto *) *)Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi – Universitas Trisakti. **) Program studi Geologi Fakultas Teknik Geologi – Universitas Padjadjaran Abstrak Lapangan minyak di daerah Limau terdiri dari 8 blok struktur antiklin, dimana kondisi sekarang sudah merupakan lapangan minyak tua. Lapangan ini pada 1 Januari 2005 dikembalikan kepada PT.Pertamina (Persero) dari JOB-PSEL. Pada saat ini 7 blok lapangan minyak sudah dilakukan injeksi waterflood di beberapa lapisan terpilih. Original Oil In Place (OOIP) di seluruh Limau status Januari 2005 adalah sebesar 823 MMBbl, kumulatif produksi diperkirakan sudah mencapai 265.40 MMBbl,dengan Recovery Factor (RF) = 32.24 %. Tetapi kenyataan sampai sekarang lapangan Limau (Niru) masih produksi di beberapa lapisan pada sayap antiklin sebelah timur laut, oleh karena itu perlu ditinjau dan dikaji lebih mendalam mengenai korelasi detil lapisan-lapisan produksi di daerah kawasan Limau ini. Zona produksi terutama dari Formasi Talang Akar bagian atas (Transition Member/TRM) dengan interval studi meliputi ± 500 meter, terdiri dari selang seling batupasir, shale, batugamping dan batubara yang di endapkan pada kondisi lingkungan transisi sampai laut trangresi secara umum. Korelasi yang dilakukan di daerah Limau untuk mala lampau masih menggunakan metode konventional berdasarkan korelasi sand to sand secara lithostratigrafi, hasilnya masih kurang tepat dan tidak mencukupi untuk kebutuhan mendapatkan bodi reservoir yang mempunyai genesa dan umur yang sama, pada skala sub-cekungan yang cukup luas. Korelasi secara sekuen stratigrafi berdasarkan log sumuran (electro facies) yang di integrasikan dengan data biostratigrafi akan lebih membantu di dalam identifikasi reservoir secara kronostratigrafi sehingga sand body reservoir yang di identifikasi akan berada pada kondisi lingkungan genesa dan umur yang sama, dengan demikian reservoir yang di identifikasi akan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Di dalam kajian ini di aplikasikan 9 data sumur yang dilengkapi dengan data biostratigrafi. Kunci utama adalah menentukan Maximum Floading Surface (MFS)yang melampar secara regional didasarkan pada puncak kelimpahan fosil (abundance fosil ), dan umur ditentukan berdasarkan fosil-fosil indek yang terkandung didalam interval tersebut. Setelah MFS ditentukan kemudian baru menentukan batas sekuen (sequence boundary/ SB) diantara 2 MFS dan biasanya ditandai adanya bidang erosi. Pada interval F.TAF-TRM telah dapat di identifikasi sebanyak 3 sekuen utama, dimana setiap sekuen dibatasi oleh batas sekuen(SB) dan pada setiap sekuen dicirikan ada Maximum Floading Surface(MFS) dan batas sekuen paling atas ditentukan pada posisi Top- F.Talang Akar. Hasil dari korelasi sekuen stratigrafi ini adalah merupakan marker sekuen yang merupakan kerangka stratigrafi yang terdiri dari : SB-25 Ma, MFS-22.5 Ma, SB-22 Ma, MFS21 Ma, SB-20 Ma, MFS-19 Ma dan Top TAF. Dari 3 sekuen tersebut berdasarkan lingkungan pengendapannya dibagi lagi menjadi siklus-siklus sedimen yang merupakan sekuen system tract. Korelasi sand to sand secara lithostratigrafi di dalam koridor kerangka system tract yang seumur akan menghasilkan bodi batupasir atau reservoir yang mempunyai genesa dan umur yang sama. Sehingga kerangka marker sekuen ini akan dapat di pakai sebagai pengikat atau kunci korelasi untuk daerah yang lebih luas di daerah Limau dan 32
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
sekitarnya. Dari korelasi yang sudah dibatasi dengan kerangka system tract ini akan terlihat apakah hasil korelasi merupakan bodi batupasir yang melampar luas ( bar blanked sand) atau merupakan endapan yang membaji atau channeling. Kata kunci: Transition member/TRM, electro facies, Sequence boundary/SB, Maximum Floading Surface/MFS,System tract. 1. PENDAHULUAN Lapangan Limau terdapat di Cekungan Sumatra Selatan,terletak di kota Prabumulih kurang lebih 90 km sebelah barat Palembang, daerah ini sekarang termasuk dalam daerah operasi EP.Pertamina. (Gambar.1). Lapangan ini terdiri dari 8 blok struktur antiklin, dimnana kondisi sekarang sudah merupakan lapangan tua .Awalnya lapangan ini dikelola oleh JOB-PSEL dan pada 1 Januari 2005 karena habis kontrak dikembalikan ke PT.Pertamina (Persero) dan langsung dikelola oleh UBEB-Limau. Saat dikembalikan Original Oil In Place (OOIP) seluruh Limau adalah sebesar 823 MMBbl dengan kumulatif produksi sebesar 265.40 MMBbl, jadi kondisi produksi adalah dengan Recovery Factor (RF)= 32.24 %. Kondisi sekarang dibawah pengelolaan PT.Pertamina ternyata lapangan Limau (Niru,Belimbing,Barat dan tengah masih berproduksi) bahkan di Niru produksi dihasilkan dari beberapa lapisan yang berada di sayap antiklin sebelah timur-laut, diduga merupakan trap stratigrafi, oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam mengenai korelasi lapisan-lapisan produksi di daerah ini. Meninjau kajian-kajian terdahulu korelasi yang dilakukan di daerah Limau untuk masa lampau masih menggunakan metode konvensional berdasarkan lithostratigrafi (sand to sand correlation), hasilnya masih kurang tepat dan tidak mencukupi untuk kebutuhan mendapatkan bodi reservoir yang mempunyai genesa dan umur yang sama pada skala sub-cekungan yang cukup luas.
Korelasi secara sekuen stratigrafi berdasarkan log sumuran (electric facies) yang di integrasikan dengan data biostratigrafi akan lebih membantu didalam identifikasi reservoir secara kronostratigrafi, sehingga bodi batupasir sebagai reservoir yang di identifikasi akan berada pada kondisi lingkungan genesa dan umur yang sama (Posamentier dan Vail,1988) , oleh karena itu reservoir yang diidentifikasi akan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada saat di endapkan. Dengan demikian korelasi menggunakan kerangka marker sekuen ini akan dapat dipakai sebagai pengikat atau kunci korelasi untuk daerah yang lebih luas di daerah Limau dan sekitarnya 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Lapangan Limau terletak di Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan Cekungan Busur Belakang (Back Arc Basin) Tersier yang terletak sepanjang sisi barat dan selatan dari dataran Sunda. Cekungan berbentuk asimetris ini di sebelah baratdaya dibatasi oleh sesar–sesar dan singkapan–singkapan batuan PraTersier yang terangkat di sepanjang kawasan kaki Pegunungan Barisan. Di timur-laut dibatasi oleh formasi-formasi sedimen dari Paparan Sunda. Di sebelah selatan dan timur dibatasi oleh Pegunungan Garba dan daerah tinggian Lampung dan suatu tinggian yang sejajar dengan pantai timur Sumatra. Di utara dan barat laut dibatasi oleh Pegunungan Tiga Puluh dan Pegunungan Dua Belas. Evaluasi Cekungan Sumatera Selatan ini diawali sejak Mesozoic (Pulunggono et al., 33
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
1992), dimana cekungan ini merupakan salah satu dari seri cekungan busur belakang Tersier yang terletak sepanjang Sumatera-Jawa dan berkembang sepanjang pinggiran utama dari paparan Sunda, sebagai hasil subduksi dari Lempeng Samodra Hindia kebawah dari Lempeng Asia Tenggara (Gambar.2). Secara struktural Cekungan Sumatera Selatan ini dapat dibagi menjadi 4 sub cekungan, yaitu : • Sub Cekungan Jambi • Sub Cekungan Palembang Utara • Sub Cekungan Palembang Tengah • Sub Cekungan Palembang Selatan Daerah penelitian termasuk di dalam Sub Cekungan Palembang Selatan, dimana struktur geologi Lapangan Limau menunjukkan jalur antiklinorium PendopoLimau diantara Lematang Depression (Muara Enim deep) dan Lembak Deep atau dikenal juga dengan Limau Graben yang merupakan suatu depresi bagian dari Sub Cekungan Palembang Selatan. ( Rudd et al.,2013) 2.2 Stratigrafi Regional Urutan stratigrafi didalam Sub Cekungan Palembang Selatan telah dilakukan oleh Tobler, 1908 dalam Spruyt,1956 dalam Pulunggono 1986. Penelitian selanjutnya pada pertengahan tahun dua puluhan menentukan keberadaan ketidakselarasan antara sedimen Tersier dan batuan PraTersier yang berada di bawahnya. Sejak saat itu diskusi dan review stratigrafi sedimen endapan Tersier telah didokumentasi dalam laporan-laporan geologi perminyakan. Pembagian Lithostratigrafi Sub Cekungan Palembang Selatan dimulai dengan sekuen transgresi dengan diendapkannya endapan vulkanik non marine (Formasi Lahat atau Formasi Lemat), endapan paralik (Formasi Talang Akar Bawah) yang sering disebut sebagai GRM ( Great sand member ), endapan laut dangkal (Formasi Talang
Akar Atas atau sering disebut sebagai TRM/Transition Member dan Formasi Baturaja), dan endapan laut dalam (Formasi Gumai). Sekuen transgresi pada bagian atas diikuti oleh sekuen regresi dengan diendapkannya Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai. Keseluruhan sekuen sedimentasi secara umum dikenal sebagai megacycle, dimana pada bagian bawah berupa fasies transgresi (Telisa Group), yang terutama terdiri dari material klastik kasar sampai halus, dan pada bagian atas berupa fasies regresi (Palembang Group), yang terdiri dari material klastik kasar. Dari bawah ke atas urutan stratigrafi di Sub Cekungan Palembang Selatan diilustrasikan pada (Gambar.3). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Sekuen pengendapan. Sekuen pengendapan (depositional sequence), atau biasa disebut sekuen saja, didefinisikan sebagai kumpulan strata (parasequence) yang berhubungan secara genetis dan mengalami perubahan yang relatif selaras serta dibatasi oleh ketidakselarasan atau permukaan selaras yang korelatif dengannya. (Mitchum, 1977 dalam Van Wagoner et al., 1990). Satu sikuen merepresentasikan satu siklus relative sea level dan terdiri dari beberapa system tract yaitu lowstand system tract, highstand system tract, dan transgresssive system tract. Perubahan dari HST ke LST atau Dari HST ke TST biasanya merupakan bidang Sequence Boundary ( SB ) yang biasanya merupakan batas dasar dari suatu Reservoar yang berupa Channel atau Distributary Channel yang terendapkan diatas bidang erosi. Sedangkan perubahan dari TST ke HST biasanya merupakan bidang condent section berupa Maximum Floading Surface (MFS) yang merupakan pelamparan batu lempung (shale) yang cukup luas dan berfungsi sebagai batuan 34
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
penyekat yang sangat baik. Kemudian pada skala yang lebih kecil yaitu setiap perubahan dari parasekuen satu ke parasekuen berikutnya selalu dibatasi oleh Floading Surface (FS) yang umumnya merupakan fraksi halus berupa shale. (Kendal,2005) 3.2 System tract System tract adalah hubungan dari beberapa sistem pengendapan yang seumur. Setiap system tract terbentuk pada tahapan atau waktu tertentu dalam satu siklus perubahan muka air laut relatif. System tract dan sekuen didefinisikan atas bentuk geometri dan hubungan fisik dari suatu strata dan fasies yang tidak tergantung pada lamanya pembentukkan, ukuran atau mekanisme pengendapan. Diatas System tract dipisahkan oleh permukaan stratigrafi kunci, permukaan tersebut yang paling penting adalah sequence boundary (SB) dan maximum flooding surface (MFS), dimana diatas SB biasanya ada batuan reservoir yang cukup baik dan pada posisi MFS secara umum merupakan tempat kedudukan dari fraksi halus yang pelamparannya cukup luas dan akan berfungsi sebagai batuan penyekat. Didalam satu sekuen secara umum akan terdiri dari Lowstand System Tract (LST), Transgressive System Tract (TST) dan Highstand System Tract (HST) (Gambar.4)(Kendal,2005). 3.3 Korelasi Sekuen Stratigrafi Untuk menentukan marker sekuen telah dilakukan korelasi sekuen stratigrafi yang terintegrasi dengan data biostratigrafi melalui sumur-sumur TB-33A, TB-32, TL-237, TL-227, TL-8A, TLM-49, TL233, TL-221st dan TL-229. Dari data pemboran yang ada rata-rata sumur tersebut terdalam hanya mencapai SB8 ,Jadi yang dapat ditentukan secara menyakinkan adalah SB-8,MFS-8, SB-9, MFS-9, SB-10 dan MFS-10 , yaitu interval
yang mewakili Formasi Talang Akar bagian atas yang dikenal sebagai F.TAFTRM.(Gambar.5). Kemudian untuk SB-8 sampai MFS-1 hanya dapat ditelusuri pada sumur-sumur yang relative cukup dalam (TL-260 dan TGK-79) dan tidak tersedia data biostratigrafi, jadi penentuan marker sekuen hanya dengan menggunakan data log (elektrofasies). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis penentuan umur marker sekuen. Data biostratigrafi didaerah penelitian tersedia dari 9 sumur pengembangan yang tersebar dari lapangan Belimbing disebelah barat ada 2 sumur ( BEL- 33A dan BEL-32 ), di lapangan Niru ada 3 sumur ( L5A-227 , 236 dan 237 ), di lapangan Limau Barat ada 1 sumur (L5A8A) , di lapangan Limau Tengah ada 1 sumur ( LMC-49) , di Lapangan Limau P ada 1 sumur ( L5A-221) , di lapangan Q22 ada 1 sumur ( L5A-233) dan di lapangan Limau Q51 ada 1 sumur (L5A-229). (Gambar.6) Dari data biostratigrafi 9 sumur yang ada dapat ditentukan umur dari marker sekuen yang mewakili interval dari Formasi Talang Akar bagian atas (TAFTRM),yaiitu: Posisi SB-8 diperkirakan berumur Oligosen Akhir (NP.24) berdasarkan pemunculan fosil polen Meyeripollis naharkotensis dan Floschuetzia trilobata dengan umur absolut SB-25 Ma).(TL237)(Rahardjo,1994) Posisi MFS-8 diperkirakan berumur (NP.25) berdasarkan pemunculan teratas dari Dictyococcites bisectus dengan umur absolut (MFS-22.5 Ma) (TL-237). (Martini.1971) Posisi SB-9 diperkirakan berumur OligoMiosen atau N4 bagian bawah berdasarkan pemunculan Heterostegina cf.H.borneensis (Te bawah) dengan umur absolut (SB-22Ma) (Berggren,1973) 35
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Posisi MFS-9 diperkirakan berumur N4 bagian bawah berdsarkan pemunculan Globigerinoides primordius dan Globorotalia kugleri (TL-237 dan TL-227) dan mempunyai umur absolut MFS-21 Ma). (Blow.1969) Posisi marker SB-10 diperkirakan berumur N4 bagian tengah atau NN1b dengan munculnya Cyclicargolithus obisectus dengan umur absolut (SB-20 Ma). Marker teratas dari TAF-TRM adalah MFS-10 diperkirakan berumur N4 bagian atas atai NN2 berdasarkan pemunculan Discoaster druggi dan Sphenolithus belemnos dengan umur absolut (MFS-19 Ma).(lihat Gambar. 7, 8, 9 dan 10).(Martini,1971) 4.2 Korelasi marker sekuen (kronostratigrafi) Korelasi marker sekuen telah ditarik dari barat TB-33A kearah timur sampai TL-229 dan diikat pada datum MFS-10 yang mempunyai umur Miosen Awal N4 bagian atas dengan umur absolut MFS-19 Ma, (Gambar.11). Dari penampang tersebut tampak bahwa marker marker sekuen dibawahnya yaitu MFS-9 dan MFS-8 secara lateral mempunyai umur yang relative sama tetapi diendapkan pada lingkungan pengendapan dan paleobatimetri yang bervariasi secara lateral. (Gambar.12) 5. 1.
KESIMPULAN Penentuan marker sekuen stratigrafi berdasarkan data log yang terintegrsi dengan data biostratigrafi akan memberikan hasil yang lebih akurat dan efektif karena korelasi didalam satu system tract yang sama atau seumur akan memberikan identifikasi bodi reservoir yang mempunyai genesa dan umur yang sama,dengan demikian bodi reservoir tersebut akan
2.
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Dari korelasi secara sekuen stratigrafi di interval F.Talang Akar bagian atas (TRM) menghasilkan 3 sekuen dan 6 system track dengan batas marker sekuen dari yang paling tua kemuda adalah sbb: SB-8 (SB-25 Ma), MFS-8 (MFS-22.5 Ma), SB-9 (SB-22 Ma), MFS-9 (MFS-21 Ma), SB-10 (SB-20 Ma) dan MFS-10 (MFS-19 Ma)
DAFTAR PUSTAKA [1]. BATM-UNIV.TRISAKTI, 2012,. Studi Modeling Geologi dan Simulasi Lapangan Limau Barat-Tengah PT.Pertamina-UBEB-LIMAU (Pertamina Intern Report- Tidak dipublikasi). [2]. Barbeau D. , Kendal C, 2005. Clastic Depositional Systems, Their Respone to Base level change. kendal@sc,edu 777.2410. [3]. Blow, 1969., Planktonic Foraminiferal Zonation (Modified by LEMIGAS,1974) [4]. Berggren, 1973., Large and Smaller Benthonic Foraminiferal Zonation. [5]. Kendal,C., 2005. Sequence stratigraphy: A framework of genetically related stratigraphic facies geometries and their bounding surface used to determine depositional setting.
[email protected] 803-7772410. [6]. Martini,1971., Calcareous Nannoplankton Zonation. [7]. Posamentier H.W. & Vail P.R.,1988. Eustatic control on clastic deposition-I Conseptual framework, wilgus et al,eds.,sea level changes an Integrated Aproach. SEPM, Special Publication,no.42,h.109-124. [8]. Posamentier H.W. & Vail P.R.,1988. Eustatic control on clastic depositionII Sequence and System Tract models. SEPM, Special Publication,no.42,h.125-154. 36
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
[9]. Posamentir H.W., and Weimer,P., 1993. Silisiclastic Sequence Stratigraphy and Petroleum geology. The American Association of Petroleum Geologists Bullettin,v.77,p.731-742. [10]. Pulunggono, A, 1986.Tertiary Structural Features Related to Extentional and Compressive Tectonic in the Palembang Basin, South Sumatera, Proceeding15th IPA Convention, pp. 187 – 213. [11]. Pulunggono, A. ,Haryo, A.S and Kosuma, C.G, 1992. Pre–Tertiary and Tertiary Fault System as a Frame Work of The South Sumatra Basin : A Study of SAR –MAPS, Proceeding 21st IPA Convention, pp. 339 – 360.
[12]. Ratna Asharina Rudd, Suraya Tulot, Darius Siahaan, 2013,. Rejuvenating Play Based Exploration Concept In South Sumatera Basin., Proceeding IPA.37th,May 2013. [13]. Van Wagoner J.C., Mitchum R.M., Campion K.M., Rahmanian V.D.,1990. Silisiclastic sequence stratigraphy in well log, core and outcrops : Concepts for high resolution correlation of time and facies, AAPG Metods in Exploration series, no.7,Tulsa, Oklahoma,55h.
LOKASI DAERAH PENELITIAN
Gambar.1. Lokasi daerah penelitian
37
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar.2. Posisi Tektonik Cekungan Sumatra Selatan dan Pembagian sub-cekungan di Cekungan Sumatra Selatan (Jastek Pertamina,2003)
Gambar.3. Penampang Stratigrafi Sub-Cekungan Palembang Selatan ( Pertamina,2003 ; modifikasi Taat.P,2015)
38
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
MF S S B
MF S
Dengan Metode sekuen stratigrafi akan dapat diidentifikasi marker sekuen terutama Maximum Floading surface (MFS) dan Floading Surface (FS) dengan ciri kandungan Fosil yang melimpah.
MF S
S B
MF S MF S
Gambar.4. Posisi Maximum Floading Surface (MFS) pada system tract LST,TST danHST (Kendal,2005)
39
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
A
TB -
TB33
TL22
TL23
TL24
M F W 3
W 3
B
TL24
W 3
TL08
W 3
TL22
TL m-
W 3
W 3
W 3
TL23
W 3
Gambar.5. Korelasi sekuen stratigrafi dari barat ke timur melalui TB-33A, TB-32, Tl-227, TL-237, Tl240, TL-08A, TLm-49, TL-221, TL-233
40
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
TB-33A
TL-237 T-32 TL-08A TL-221 TLm-49 TL-227
TL-233 TL-229
Gambar.6. Lokasi data sumur yang mempunyai data biostratigrafi
Gambar 7. Penentuan posisi marker MFS-8, MFS-9 dan MFS-10 di sumur TL-227
41
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
TEBEL PENYEBARAN STRATIGRAFI FORAM SUMUR : L5A-237
?
23 17 24 26 17 24 28 38 42 49 46 31 23 19 28 23 21 11 16 23 15 4 2 6 2 16
1 3 28 4 3 2 12 5 5 13 3 6 27
0 2 1 1 0 0 2 0 2 0 1 0 7 9 2 1 4 4 2 2 1
14 16 13 11 17 31 21 13 15 6 4 11 13 15 10 2 2 1
2 0 1 9 0 0 3 0 11 1 1 3 3 6 1 3 7 2 2 5 0 2 6 2 4 0 9 3 12 0 1 9 1 8 1 5 0 4 0 3 14 12 1 17 8 1 12 1 3 1 1 7 3
0 0
5
3 2
2
3 4 3
1
1
1
1
1
22.5Ma
Miosen Awal bagian tengahNN1 OLIGO-MIOSEN ( Miosen Awal N4 bag. Bawah) OLIGOSEN Akhir / Te OLIGOSEN Akhir / TNP25
10 SBMiddle 10 neritic
MFSInner neritic 9
Lit SBora MFS9 Darat/litoral l
8
SB8
Heterolepa subhaidingeri
Cibicidoides pseudoungerianus
Globocassidulina subglobosa
Fissurina spp.
Sphaeroidina bulloides
Baggina indica
Ammonia umbonata
Nonion spp.
Glandulina spp.
Epistominella spp.
Quinqueloculina spp.
Anomalina spp.
Bulimina striata
Ammonia spp.
2 4
1 1
2 1
)
2
1 1
TL237 (MD) MFS-10 (MFS19Ma) SB-10 (SB20Ma) MFS-9 (MFS21Ma) SB-9 (SBMFS-8 22Ma)(MFS22.5Ma)
Transisi OLIGOSEN Akhir bagian bawah
1 1
1
1
UMUR Marker Sekuen Stratigrafi
Top BRF Top TAF
3 2
2
1 1
1 1
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1 3
0
0 0 0 0 0 0 1
1
MFS-9 (MFS21Ma)(MFSMFS-8
2
Inner to Middle neritic Outer MFSneritic
Gavelinopsis lobatulus
MFS-10 (MFS19Ma)
Gambar 8. Penentuan posisi marker MFS-8, MFS-9 dan MFS-10 di sumur TL-237
Miosen Awal N5 bag. tengah Miosen Awal N5 bag. Awal bawah Miosen N4 bag.atas
Dentalina spp.
0 1 0 0 0 2 0 0 0 0 0 3 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 2 1 1 1 1 0
1
Outer neritic
Gyroidina neosoldaii
Uvigerina multicostata
2 2 0 0 1 1
Uvigerina proboscidea
1 0 0 1 1
Uvigerina spp.
1 2 1 1 0 1
Trifarina angulosa
1 1 1 1 1 1 2 1
Nodosaria spp.
1 0 1 2 0 0 1
Lenticulina spp.
3 1 2 1 2 1 1
Lagena spp.
0 1 2 2 3 2 1
Fursenkoina bradyana
1 0 0 2 0 0 1 0
Cibicides spp.
Bolivina/Brizalina spp.
Globorotalia merotumida
Orbulina universa
Sphaeroidinellopsis seminulina
Globigerinoides obliquus
Globigerina nepenthes
Globorotalia peripheroronda
8 0 1 0 0 3 9 7 0 0 4 0 0 6 4 2 0 0 7 5 5 0 0 3 4 0 0 3 0 0 1 3 6 1 0 7 0 0 2 0 2 3 0 0 8 0 0 2 0 0 3 3 3 0 4 4 0 0 5 2 0 5 14 0 2 3 8 5 0 0 5 2 0 0 2 1 3 9 0 6 0 4 0 4 6 0 4 0 7 3 2 0 7 0 9 2 3 0 5 0 6 0 1 13 1 3 0 1 1 2 2 1 0 1 1 1 2 1 5 1 2 1 0 3 1 2 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1
1
1
Catapsydrax dissimilis
Globigerinoides primordius
Catapsydrax unicavuus
Globigerinatella insueta
Globigerinoides parawoodi
Globigerina glutinata
Globorotalia praescitula
Globorotalia semivera
Globorotalia obesa
Globoquadrina praedehiscens
Globoquadrina dehiscens
Globoquadrina altispira
2 1 0 1 1 2 2 2 1 4 1 3 2 0 0 3
1 1
Globorotalia plesiotumida
Globigerinoides trilobus-group
Globigerinoides sacculifer
Globigerinoides altiaperturus
Globorotalia menardii(s)
Globigerinoides spp.
Globigerina falconensis
Globorotalia mayeri
Globigerina woodi
Globigerina praebulloides
Neogloboquadrina continuosa Globigerina angustiumbilicata
Hastigerina praesiphonifera
Globorotaloides suteri
Globigerina venezuelana
Globigerinoides subquadratus
0 0 1 4 0 0 1 2 0 3 0 0 2 0 0 0 7 0 0 1 9 0 0 6 0 1 3 0 0 8 0 1 3 0 0 1 1 0 0 8 0 0 5 0 0 6 0 0 3 1 0 1
Cibicidoides spp.
15 9 16 13 19 15 21 24 21 4 8 22 24 26 23 3 1
Cassidulina laevigata
47 52 55 51 59 63 58 52 44 18 31 47 41 45 38 29 20 24 12 10 11 1 1 5 26 5
Bentonik Gampingan
Cassidulina spp.
1/4 1/4 1/8 1/8 3/32 1/16 1/8 1/8 3/16 3/8 1/4 1/16 3/64 1/32 1/16 1/2 1/4 1/4 All All All All All All All All All All All All All All All All All
Planktonic spp.
DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC DC
Cassigerinella chipolensis
Jenis Perconto
1284 1314 1340 1362 1376 1400 1420 1440 1450 1460 1476 1490 1504 1520 1536 1550 1570 1580 1600 1610 1624 1640 1646 1662 1670 1678 1690 1700 1710 1730 1750 1756 1768 1776 1786
Globigerina spp.
Kedalaman (Meter)
Bagian Residu Foram Yang Dianalisa
Foram Plangtonik
SB-8 (SB25Ma)
Ikhtisar Biostratigrafi dan Lingkungan pengendapan sumur TL-237 Gambar 9. Penentuan umur marker SB-8, MFS-8, SB-9, MFS-9, SB-10 dan MFS-10 di sumur TL-237
42
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
TL
F.
TB T
TL
Umur N5-B
To
B Umur N5Umur
DATUM
T Umur M
Umur S
Umur
Umur
M
??
ToTop TAF (1340m)>>>
To
Miosen
T M
Umur N5-N6 To Umur N4 MFS
M
Umur
S
S OLIGO-MIOSEN
Umur N4 M
MFS-9
M
Umur N4
SB-9
S Litoral
?
MFS-8
OLIGOSEN
DATUM
SB
Darat/lit
Transisi S
OLIGOSEN
MFS
SB
Gambar 10. Korelasi marker sekuen melalui sumur TB-33A-TB-32-TL-237-TL-227 (Datum MFS-10)
TL
TL TL
TL
Miosen AwalTo
DATUM Miosen
B
Miosen Awal
M
M
B
M
Miosen Awal
Miosen Awal N5-
Miosen Awal
B Miosen Awal N5-
M Miosen Awal
DATUM
S
Miosen Awal
S
S
S FAULT-78 S M
M
Miosen Awal- N4
S
S M
Miosen Awal
M
OLIGOSEN
S
Miosen Awal
M
Miosen Awal
M Miosen Awal
Miosen Awal
S OLIGOSEN Akhir
Gambar 11. Korelasi marker sekuen melalui sumur TL-08A-TLm-49-TL-233-TL-229 (Datum MFS-10)
43
Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
TB-32 TB-33A TB-32
Litoral
Litoral Inner Neritic Shalow Mid. Neritic
Deep Mid. Neritic Outer Neritic
MFS-9
MFS-9 MFS-9 Inner Neritic
Shalow Mid. Neritic
Deep Mid. Neritic Outer Neritic
Gambar 12. Paleobatimetri MFS-9 bervariasi dari barat (Belimling)- inner neritik di (NIRU)-deep Middle neritik , di Limau Tengah-Litoral ,di Limau-P dan Q51 –inner neritik.
44