Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
PENENTUAN PENURUNAN HARGA PRODUK MAKANAN PERISHABLE DENGAN MEMPERTIMBANGKAN BIAYA PENYIMPANAN DI FASILITAS BERPENDINGIN Yelita Anggiane Iskandar1, *), Ahmad Rusdiansyah2) dan Imam Baihaqi3) 1) Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jl. ITS Raya, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail:
[email protected] 2) Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 3) Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Produk makanan perishable adalah produk makanan yang kualitasnya terus berkurang seiring berjalannya waktu. Rentang waktu pemrosesan produk perishable sampai ia tidak bisa lagi dikonsumsi dinamakan umur hidup produk. Produk makanan perishable sensitif terhadap temperatur sehingga umur hidupnya adalah fungsi dari spesifikasi, temperatur dan waktu penyimpanan produk. Produk makanan perishable yang disimpan pada temperatur yang tidak tepat akan membusuk dengan cepat sehingga umur hidupnya semakin singkat. Energi pendinginan dibutuhkan saat produk disimpan dan dipajang di retailer. Penyimpanan produk makanan perishable pada temperatur yang tepat dapat membantu menekan laju pembusukan produk namun konsekuensinya dibutuhkan energi pendinginan yang tidak sedikit. Penggunaan temperatur yang lebih rendah pada pengelolaan produk makanan perishable, membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Ketika produk makanan perishable sudah berkurang kualitasnya, konsumen juga cenderung menurunkan keinginan mereka untuk membeli produk. Umumnya, konsumen menginginkan produk yang sudah turun kualitasnya, dijual pada harga yang lebih rendah dibandingkan harga awal. Untuk meminimalkan jumlah produk perishable yang terbuang dan menekan kerugian yang diderita, retailer biasanya memberikan diskon besar pada produk agar bisa segera terjual habis. Melihat kondisi ini, dibutuhkan strategi penurunan harga yang tepat yang mempertimbangkan biaya penyimpanan di fasilitas berpendingin, yang disesuaikan dengan identifikasi kualitas produk agar keuntungan yang diperoleh retailer meningkat. Kata kunci: biaya penyimpanan, penurunan harga, produk perishable, temperatur PENDAHULUAN Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi keputusan konsumen dalam memilih tempat berbelanja. Menurut Wang dan Li (2012), ketersediaan produk perishable lah yang kini menjadi faktor pertimbangan yang utama bagi konsumen dalam menentukan pilihan. Senada dengan Dawson (2004), keputusan konsumen dalam memilih retailer, secara signifikan dipengaruhi oleh keberagaman dan ketersediaan produk makanan segar sehingga manajemen food supply chain mendapat posisi yang penting dalam ranah kompetisi pasar antar retailer. Jadi ketersediaan produk perishable memang memegang peranan yang penting terhadap kesuksesan retailer. Sayangnya, pengelolaan produk perishable saat ini masih jauh dari kata memuaskan. Hal ini tampak dari tingginya product loss hingga mencapai 15% akibat barang kadaluarsa (Ferguson dan Ketzenberg, 2006). Menurut Gruen, Corsten, dan Bharadwaj (2002), pendapatan yang hilang di sisi retailer karena tidak tersedianya produk, terlihat dari tingkat kejadian out-of-stock yaitu sebesar 8,3% di seluruh dunia, 8,6% di Eropa, ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
dan 7,9% di Amerika Serikat. Melihat fenomena ini tampak bahwa bahasan mengenai produk makanan perishable menjadi semakin menarik dari waktu ke waktu. Manajemen produk perishable yang tidak tepat terlihat dari tingginya jumlah produk yang tidak terjual ketika shelf life produk habis. Di Eropa, nilai produk-produk yang tidak terjual hingga akhir masa sell-by-date diperkirakan mencapai milyaran dollar setiap tahunnya (Karkkainen, 2003). Inilah yang membuat manajemen produk perishable menjadi sangat penting untuk dikaji. Salah satu karakteristik produk perishable adalah jika kualitasnya berkurang seiring waktu yang tampak dari tampilan fisiknya yang makin buruk. Ukuran kualitas produk makanan perishable dan nutrisi yang dikandung, biasanya dikaitkan dengan sejumlah karakter kandungan gizi yang utama seperti vitamin C pada sayur, gula pada buah, protein pada daging, dan lain-lain, yang kadarnya terus berkurang mulai produk selesai dipanen atau disembelih (Zanoni dan Zavanella, 2012). Kualitas produk makanan perishable yang secara alami turun seiring waktu dapat ditahan melalui penerapan konsep cold chain management. Faktor-faktor yang mempercepat pembusukan diantisipasi dengan memproses dan menyimpan produk pada temperatur yang tepat. Rentang waktu dari produk perishable diproses hingga tidak bisa lagi dikonsumsi disebut sebagai product shelf life atau umur hidup produk. Di supermarket, akhir umur produk ini biasanya tertulis di masing-masing barang sehingga konsumen bisa mengecek sisa umur suatu produk sebelum memutuskan akan membelinya atau tidak. Menurut Institute of Food Technologists (IFT, 1974), umur hidup produk dapat didefinisikan sebagai periode selama berlangsungnya transaksi perdagangan produk makanan antara produsen/manufacturer dan retailer dimana kondisi produk masih dalam keadaan yang memuaskan dan dapat diterima. Sebagian besar produk makanan perishable bersifat sensitif terhadap temperatur sehingga umur produknya didefinisikan sebagai fungsi dari karakteristik produk, kondisi penyimpanan produk, dan waktu (Sahin, Baba, Dallery, dan Vaillant, 2007). Produk makanan perishable yang disimpan pada temperatur yang tidak tepat akan cepat memburuk kualitasnya sehingga semakin pendek umur hidupnya. Turunnya kualitas produk makanan perishable seiring waktu disebabkan oleh adanya perkembangbiakan bakteri pembusuk dalam makanan seperti botulism, listeriosis, dan salmonella (Mini dan Labuza, 1992). Menurut Hsu, Hung, dan Li (2007), penurunan kualitas makanan dipengaruhi oleh kombinasi 3 hal yaitu keberadaan bakteri, kondisi pencahayaan, dan udara sekitar dimana makin tinggi temperatur penyimpanan maka makin cepat laju pembusukan. Jadi umur hidup produk makanan perishable terutama bergantung pada temperatur penyimpanan dimana semakin rendah temperatur maka semakin panjang umur hidup produk. Produk makanan perishable dikirimkan dari produsen ke distributor atau supplier, lalu ke retailer menggunakan kendaraan yang temperaturnya dikontrol. Kendaraan seperti ini memiliki peralatan penyimpanan pendinginan yang standar dan biasanya berharga lebih mahal, membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak dibandingkan kendaraan biasa (Hsu dkk, 2007). Selain saat pengiriman, energi pendinginan juga dibutuhkan saat produk disimpan, di gudang produsen, distributor maupun retailer. Konsep pengaturan temperatur penyimpanan di gudang pada prinsipnya sama dengan pengelompokan produk makanan perishable berdasarkan temperatur, yang umum digunakan di kendaraan pengiriman berpendingin dimana biasanya ada batas antar kompartemen yang menunjukan tujuan penggunaan ruang untuk produk dengan temperatur tertentu, yang bervariasi antara satu kompartemen dengan yang lainnya. Hal ini dilakukan dengan maksud menjaga kualitas produk makanan perishable tetap baik hingga sampai di tangan konsumen. Ada berbagai cara yang bisa diterapkan dalam menyimpan produk berupa makanan dimana sebagian besarnya membutuhkan penggunaan energi (Zanoni dan Zavanella, 2012). Penyimpanan produk makanan perishable pada temperatur yang tepat, dapat membantu menahan laju pembusukan ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
produk namun dibutuhkan energi pendinginan yang tidak sedikit. Penggunaan temperatur yang lebih rendah pada pengelolaan produk makanan perishable membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan jika temperatur yang digunakan lebih tinggi. Retailer yang ingin memaksimalkan keuntungan yang diperoleh tentunya perlu mempertimbangkan hal ini. Manajemen harus memikirkan strategi yang akan diaplikasikan beserta implikasi finansialnya; penggunaan temperatur yang lebih rendah, disatu sisi menguntungkan karena dapat membantu mempertahankan kualitas produk namun penggunaan temperatur yang lebih tinggi disisi lain juga menguntungkan karena biaya energi yang dikeluarkan lebih sedikit. Pengaruh variasi temperatur penyimpanan produk makanan perishable secara finansial terhadap terhadap kinerja aktor dalam rantai pasok khususnya retailer menjadi salah satu kajian pada penelitian ini. Pentingnya memperhitungkan penggunaan energi terkait pengelolaan produk perishable juga ditunjukkan melalui hasil penelitian Hsu dkk (2007) yang menyatakan bahwa jumlah persediaan dan biaya-biaya energi menyumbang secara signifikan terhadap biaya total, yang tidak bisa diabaikan. Secara umum, ada 2 hal yang mempengaruhi jumlah permintaan produk makanan perishable yaitu kualitas produk dan harga produk. Sebagai bagian dari komitmen pengelolaan food supply chain, produk makanan perishable harus dijual kepada konsumen sebelum menjadi busuk demi menjamin keamanan dan kualitas makanan sekaligus memaksimalkan keuntungan yang diperoleh (Wang dan Li, 2012). Melihat fenomena alami terjadinya penurunan kualitas produk perishable seiring waktu, retailer dituntut mencari alternatif-alternatif yang mampu mengatasinya. Saat sisa kualitas produk semakin sedikit, konsumen juga cenderung menurunkan willingness-to-pay mereka terhadap produk tersebut. Mereka menginginkan produk yang sudah turun kualitasnya, dijual pada harga yang lebih murah. Namun, retailer juga enggan memberikan diskon harga pada produk-produk ini meskipun mereka menyadari telah terjadi penurunan kualitas. Retailer beranggapan bahwa akan ada sejumlah konsumen yang mau membayar pada harga penuh untuk produk-produk ini. Kenyataannya, konsumen lebih memilih produkproduk yang lebih segar jika semua produk dengan kualitas berbeda dijual pada satu harga yang sama. Akhirnya, produk-produk yang mulai turun kualitasnya, tidak bisa terjual hingga habis umur hidupnya lalu menjadi kadaluarsa dan harus dibuang. Untuk menekan jumlah produk perishable yang kadaluarsa, retailer seringkali mempraktikkan diskon besar-besaran beberapa saat sebelum produk menjadi sepenuhnya tidak layak dikonsumsi, dengan harapan produk bisa terjual dan retailer bisa meminimalisir kerugian yang diderita. Maka dibutuhkan strategi optimasi penurunan harga (markdown) yang tepat agar dapat diketahui kapan dan seberapa besar harga suatu produk harus diturunkan, yang disesuaikan dengan kualitas yang teridentifikasi agar keuntungan yang diperoleh retailer maksimal. Adanya kebutuhan meminimalkan biaya yang dikeluarkan, memaksa retailer menemukan kebijakan yang mendukung penyederhanaan proses pengelolaan produk makanan perishable melalui penyeragaman temperatur untuk berbagai produk yang disimpan. Penerapan temperatur penyimpanan yang berbeda-beda berimplikasi pada perbedaan biaya yang harus ditanggung. Semakin tinggi temperatur yang digunakan maka laju pembusukan dapat diperlambat namun biaya energi yang dibutuhkan menjadi semakin tinggi. Trade-off antara temperatur dan biaya energi ini akan dimasukkan dalam model yang dikembangkan. Pembedaan harga untuk kualitas produk yang berbeda bisa menjadi strategi yang efektif bagi perusahaan untuk mempertahankan keunggulan finansialnya (Yu dan Nagurney, 2013). Beberapa asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah: Stock replenishment periode berikutnya, terjadi setelah satu periode penjualan selesai.
ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Tidak memasukkan permintaan yang tidak terpenuhi dalam model yakni saat permintaan yang terjadi lebih besar daripada jumlah yang dipesan retailer ke supplier. Koefisien yang menunjukkan sensitivitas permintaan terhadap kualitas dan harga produk, diketahui nilainya. Tidak memperhitungkan biaya terkait distribusi dan transportasi produk. Analisis eksperimen dibatasi pada penggunaan angka percobaan yang cukup untuk menganalisis model.
METODE Ada beberapa langkah yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini (Gambar 1). Metodologi penelitian ini dipakai sebagai arahan dalam mengerjakan penelitian agar berjalan secara sistematis sesuai dengan kerangka yang dibuat.
Gambar 1. Metode Penelitian
Kerangka metodologi penelitian yang digunakan pada penelitian ini seperti dijelaskan di bawah ini: 1. Tahap Pengembangan Model Pada tahap ini, dilakukan pengembangan model dynamic pricing yaitu model penurunan harga sebanyak satu 1 dan dua 2 kali untuk produk makanan perishable dengan mempertimbangkan aspek penurunan kualitas dan penggunaan energi terkait pendinginan untuk multi produk dengan multi temperatur di retailer. Pengembangan model pada penelitian ini dilakukan menurut model acuan yang diteliti oleh Wang dan Li (2012), Zanoni dan Zavanella (2012), dan Rong dkk (2011), seperti ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
pada Gambar 2. Model yang dikembangkan dipisahkan menurut 2 kondisi yaitu tanpa pengelompokan produk artinya setiap produk disimpan pada fasilitas berpendingin menurut temperatur standar masing-masing, dan dengan pengelompokan produk artinya ada penyeragaman temperatur yang digunakan untuk menyimpan multi produk di fasilitas berpendingin.
Gambar 2. Skema Pengembangan Model
2. Tahap Merancang Nilai Parameter Model Nilai-nilai parameter yang digunakan untuk percobaan numerik pada penelitian ini dirancang demi tercapainya tujuan memaksimalkan selisih keuntungan yang diperoleh retailer. Kombinasi nilai parameter yang memenuhi batasan-batasan model ditentukan untuk setiap produk yang menjadi amatan pada penelitian ini. Nilai-nilai parameter yang mempengaruhi jumlah permintaan yang berubah secara dinamis seiring dengan bertambahnya waktu, perlu ditentukan dengan baik demi memenuhi batasan model dimana total nilai expected demand untuk semua harga dalam suatu periode, tidak boleh melebihi jumlah pemesanan produk yang dilakukan retailer kepada supplier. 3. Tahap Percobaan Numerik dan Analisis Hasil Percobaan numerik dan analisi hasil yang diperoleh, dilakukan di tahap ini. Percobaan numerik dilakukan dengan parameter bervariasi untuk mengetahui perilaku model yang dikembangkan. 4. Tahap Penarikan Kesimpulan dan Saran Pada tahap ini dilakukan penarikan kesimpulan dan saran. Tujuan penelitian ini akan terjawab berdasarkan hasil dari percobaan numerik, yang dirangkum pada bagian kesimpulan sedangkan saran ditujukan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya.
ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan numerik dilakukan untuk mencari selisih keuntungan retailer. Besarnya selisih keuntungan ini ditentukan dengan membandingkan keuntungan yang diperoleh pada penerapan strategi penurunan harga berdasarkan sisa kualitas produk yang diidentifikasi dengan keuntungan yang diperoleh pada diskon yang ditentukan berdasarkan praktik yang umum dimana besar diskon pertama 25% dan besar diskon kedua 30%. Pada percobaan ini, waktu dieksekusinya penurunan harga yang pertama adalah 15 jam setelah periode penjualan dimulai, sedangkan waktu penurunan harga yang kedua adalah 30 jam. Percobaan numerik ditentukan pada kondisi adanya penyeragaman temperatur penyimpanan untuk seluruh produk amatan yang menyebabkan biaya penyimpanan yang harus ditanggung oleh retailer berubah sesuai temperatur yang digunakan, yang besar kecilnya sebanding dengan rasio -nya masing-masing, yang dihitung berdasarkan persamaan berikut yang dikembangkan dari rumusan pada penelitian Rong, Akkerman, dan Grunow (2011): adalah temperatur yang digunakan oleh retailer untuk menyimpan seluruh produk dimana yang memiliki temperatur standar yang berbeda-beda. Selanjutnya langkah-langkah perhitungan numerik seperti digambarkan pada Gambar 3. Mulai
Menentukan temperatur penyimpanan produk
Menghitung umur hidup produk akibat perbedaan temperatur untuk produk h
Menghitung rasio COP produk multi temperatur
Menghitung kualitas produk yang tersisa dan laju penurunan akibat perbedaan temperatur untuk produk h
T
ρ
q dan λ
Menghitung kebijakan penurunan harga optimal multi produk untuk strategi single price markdown
Menghitung kebijakan penurunan harga optimal multi produk untuk strategi multiple price markdown
Melakukan percobaan numerik
Selesai
Gambar 3. Langkah Perhitungan Percobaan Numerik ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Dari perhitungan menggunakan persamaan keuntungan yang dikembangkan dari fungsi penurunan harga yang dikembangkan Wang dan Li (2012) dengan memasukkan biaya penyimpanan yang nilainya ditentukan berdasarkan rasio , diperoleh hasil seperti pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Hasil Percobaan Numerik ∗
Produk 273,43 273,43 273,43 273,43 273,43 272,04 272,04 272,04 272,04 272,04 276,21 276,21 276,21 276,21 276,21 280,65 280,65 280,65 280,65 280,65
250 260 270 280 290 250 260 270 280 290 250 260 270 280 290 250 260 270 280 290
2,40 1,77 1,19 0,65 0,14 2,23 1,65 1,11 0,60 0,13 2,83 2,09 1,40 0,76 0,17 3,91 2,88 1,94 1,06 0,24
ΔProfit pada
34,92% 38,14% 40,46% 42,29% 44,42% 38,39% 40,86% 42,64% 44,08% 45,88% 39,96% 42,29% 44,15% 45,66% 47,77% 33,59% 35,07% 36,22% 37,42% 38,78%
73,66% 104,58% 114,70% 109,93% 102,22% 323,74% 391,64% 330,95% 255,65% 207,48% 119,91% 139,88% 144,38% 136,88% 128,45% 97,94% 102,42% 98,64% 92,87% 88,00%
∗
35,64% 39,10% 41,60% 43,62% 45,99% 39,18% 41,80% 43,71% 45,27% 47,24% 41,37% 43,93% 46,00% 47,72% 50,16% 34,29% 35,90% 37,16% 38,50% 40,00%
ΔProfit pada 25,60% 42,37% 50,24% 51,44% 50,75% 82,43% 103,78% 103,84% 94,86% 87,18% 50,29% 60,71% 64,96% 64,11% 62,41% 26,09% 32,86% 35,69% 37,21% 38,18%
Dari Tabel 1 diketahui bahwa semakin jauh temperatur yang digunakan retailer dibandingkan temperatur standar masing-masing produk, baik semakin tinggi atau rendah maka semakin berfluktuasi selisih keuntungan yang diperoleh, hanya saja nilai temperatur yang memberikan selisih keuntungan terbesar, berbeda-beda untuk tiap produk dan frekuensi penurunan harga. Secara umum, temperatur yang memberikan selisih keuntungan terbesar bukan temperatur dengan nilai tertinggi atupun terendah melainkan diantaranya. Nilai temperatur dengan selisih keuntungan maksimal juga tidak sama untuk semua produk karena karakteristik masing-masing produk berkontribusi berbeda-beda pula terhadap keuntungan yang didapat. Nilai temperatur yang memberikan peforma terbaik adalah yang mampu menyeimbangkan trade-off antara biaya penyimpanan yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh yang dipengaruhi oleh temperatur yang dipakai. Selisih keuntungan terbesar produk 1 diperoleh jika ia disimpan pada temperatur 270 dengan nilai 73,66% untuk 1 . Sedangkan untuk 2 , produk 1 sebaiknya disimpan pada temperatur 280 karena menghasilkan selisih keuntungan retailer yang paling besar senilai 51,44%, dengan besar diskon harga sebesar 43,62%.
ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
KESIMPULAN DAN SARAN Penyeragaman temperatur untuk menyimpan multi produk dengan multi temperatur menyebabkan berfluktuasinya rasio sehingga biaya penyimpanan juga bervariasi. Berdasarkan percobaan numerik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dengan besar diskon tertentu sebagai pembanding untuk menghitung selisih keuntungan yang diperoleh retailer, temperatur optimal yang memberikan kinerja terbaik pada retailer, dapat diketahui yaitu yang menyumbang surplus pada trade-off antara biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh. DAFTAR PUSTAKA Dawson, J., (2004), “Food Retailing, Wholesaling and Catering”, dalam Bourlakis MA, Weightman PWH, eds. Food Supply Chain Management, Blackwell, Oxford, hal. 116-135. Ferguson, M. dan Ketzenberg, M. E., (2006), “Information Sharing to Improve Retail Product Freshness of Perishables”, Production and Operations Management, Vol. 15, No. 1, hal. 57-73. Hsu, Chaug-Ing, Hung, Sheng-Feng, dan Li, Hui-Chieh, (2007), “Vehicle Routing Problem with Time-Windows for Perishable Food Delivery”, Journal of Food Engineering, Vol. 80, hal. 465-475. IFT, (1974), “Shelf Life of Foods”, Journal of Food Science, Vol. 39, hal. 1-4. Karkkainen, M., (2003), “Increasing Efficiency in the Supply Chain for Short Shelf Life Goods Using RFID Tagging”, International Journal of Retail & Distribution Management, Vol. 31, No. 10, hal. 529-536. Mini, S. dan Labuza, T.P., (1992), “Consumer Perceptions of Consumer Time-Temperature Indicators for Use on Refrigerated Dairy Goods”, Journal of Dairy Science, Vol. 75, hal. 3167-3176. Rong, A., Akkerman, R., dan Grunow, M., (2011), “An Optimization Approach for Managing Fresh Food Quality throughout the Supply Chain”, International Journal of Production Economics, Vol. 131, hal. 421-429. Sahin, F., Baba, M. Z., Dallery, Y., dan Vaillant, R., (2007), “Ensuring Supply Chain Safety through Time Temperature Integrators”, International Journal of Logistics Management, Vol. 18, No. 1, hal. 102-124. Wang, X. dan Li, D., (2012), “A Dynamic Product Quality Evaluation Based Pricing Model for Perishable Food Supply Chains”, The International Journal of Management Science, Vol. 40, hal. 906-917. Yu, M. dan Nagurney, A., (2013), “Competitive Food Supply Chain Networks with Application to Fresh Produce”, European Journal of Operational Research, Vol. 224, hal. 273-282. Zanoni, S. dan Zavanella, L., (2012), “Chilled or Frozen? Decision Strategies for Sustainable Food Supply Chains”, International Journal of Production Economics, Vol. 140, hal. 731-736.
ISBN : 978-602-97491-7-5 A-28-8