TESIS– TI 42307
PENGEMBANGAN MODEL OPTIMASI ALOKASI RUANG PAJANG BERPENDINGIN UNTUK MULTI PRODUK AGRO-PERISHABLE MULTI TEMPERATUR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KEBIJAKAN PENURUNAN HARGA
DYAH SATITI 2514 203201 DOSEN PEMBIMBING Dr. Eng, Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MANAJEMEN LOGISTIK DAN RANTAI PASOK JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
THESIS – TI 42307
OPTIMIZATION MODEL DEVELOPMENT OF REFRIGERATED DISPLAY-SPACE ALLOCATION FOR MULTI AGRO-PERISHABLE PRODUCTS MULTI TEMPERATURE CONSIDERING MARKDOWN POLICY
DYAH SATITI 2514 203 201 SUPERVISOR Dr. Eng, Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng
MAGISTER PROGRAM LOGISTICS AND SUPPLY CHAIN MANAGEMENT INDUSTRIAL ENGINEERING DEPARTMENT SEPULUH NOPEMBER INSTITUTE OF TECHNOLOGY SURABAYA 2017
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Dyah Satiti
NRP
: 2514203201
Program Studi
: Magister Teknik Industri ITS Surabaya
menyatakan bahwa isi sebagian maupun keseluruhan tesis saya yang berjudul:
“PENGEMBANGAN MODEL OPTIMASI ALOKASI RUANG PAJANG BERPENDINGIN MULTI PRODUK AGRO-PERISHABLE MULTI TEMPERATUR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KEBIJAKAN PENURUNAN HARGA”
adalah benar-benar hasil karya intelektual mandiri, diselesaikan tanpa menggunakan bahanbahan yang tidak diizinkan, dan bukan merupakan karya pihak lain yang saya akui sebagai karya sendiri.
Semua referensi yang dikutip maupun dirujuk telah ditulis secara lengkap pada daftar pustaka.
Apabila ternyata pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Surabaya, 16 Januari 2017 Yang membuat pernyataan,
Dyah Satiti NRP. 2514 203 201
iii
(halaman ini sengaja dikosongkan)
iv
DISCLAIMER
Tesis ini merupakan dokumen penelitian yang belum dipublikasikan dan merupakan bagian dari roadmap penelitian dosen pembimbing utama dalam tesis ini. Segala macam rujukan terhadap penelitian ini harus dengan seizin dosen pembimbing tesis ini dengan mengirimkan e-mail permohonan rujukan kepada
[email protected].
v
(halaman ini sengaja dikosongkan)
vi
PENGEMBANGAN MODEL OPTIMASI ALOKASI RUANG PAJANG BERPENDINGIN MULTI PRODUK AGROPERISHABLEMULTI TEMPERATUR DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KEBIJAKAN PENURUNAN HARGA
Nama : DyahSatiti NRP : 2514203201 Pembimbing : Dr. Eng, Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng.
ABSTRAK
Bahan makanan segar merupakan produk perishable yang membutuhkan penanganan khusus, beberapa diantaranya membutuhkan suhu dingin dalam penyimpanan untuk mencegah terjadinya pembusukan. Untuk itu retailer modern seperti supermarket menggunakan display berpendingin dalam memajang produk buah dan sayuran. Display berpendingin yang digunakan memiliki kapasitas yang terbatas, sementara produk yang ditawarkan memiliki atribut yang berbeda (jenis dan ukuran). Hal tersebut menimbulkan masalah tersendiri mengenai bagaimana cara menentukan jumlah tiap produk pada satu rak berpendingin. Tidak hanya itu produk yang disimpan pada rak berpendingin masih mengalami penurunan kualitas dan akan membusuk bila tidak segera terjual. Terbuangnya produk di akhir umur hidupnya mengakibatkan biaya yang besar. Hal tersebut disikapi beberapa supermarket dengan mengadakan diskon. Besarnya diskon dapat ditentukan berdasarkan tingkat kualitas dari produk, sehingga lebih adil baik bagi retailer maupun konsumen. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu solusi alokasi ruang display dan manajemen persediaan yang mempertimbangkan kebijakan penurunan harga (markdown policy) yang disesuaikan dengan tingkat kualitas yang teridentifikasi. Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa suhu penyimpanan rendah memberikan nilai keuntungan yang lebih besar dibandingkan suhu penyimpanan tinggi. Penurunan harga satu kali dengan waktu mulai penurunan harga yang ditunda hingga pada titik tertentu memberikan alokasi ruang display dan jumlah pemesanan yang optimal dengan keuntungan yang maksimal.
Kata kunci : alokasi ruang display, display berpendingin, markdown policy, penurunan kualitas, penyimpanan dingin, produk perishable
vii
(halaman ini sengaja dikosongkan)
viii
OPTIMIZATION MODEL DEVELOPMENT OF REFRIGERATED DISPLAY-SPACE ALLOCATION FOR MULTI AGRO-PERISHABLE PRODUTS MULTI TEMPERATURE CONSIDERING MARKDOWN POLICY
Name NRP Supervisor
: Dyah Satiti : 2514203201 : Dr. Eng, Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng.
ABSTRACT
Perishable products like fruits and vegetables require special handling. Some of them require cold storage to prevent decaying. Modern retailers such as supermarkets use the refrigerated shelf for displaying fruit and vegetable products. The refrigerated display has a limited capacity, while the products that are offered by retailer have different attributes (type and size). This increases the problem that must have been sold by retailer which’s about how to determine the amount of each product on a refrigerated display. Meanwhile, the quality product that displayed on refrigerated display and on the back inventory will decreasing over time and the product will be decaying. It means that the decaying ones could not being sold anymore. This decaying product will become waste and causing loss on retailer. Some of supermarkets give a discount to handle this situation. The amount of the discount can be determined based on the level of quality of the product. This idea will make it fairer for both retailers and consumers. The aim of this research is to find the maximum profit by optimizing the space allocation, and the number of order using the right storage temperature and markdown policy. The proposed model is evaluated through different scenarios. From the several scenarios can be concluded that the low storage temperature give bigger profit than the high one; single price markdown policy with the starting markdown time is delayed until particular point give the optimal display-space allocation and the number of order, it also give the maximum profit.
Keywords : display-space allocation, markdown policy, perishable product, refrigerated display facility, quality deterioration
ix
(halaman ini sengaja dikosongkan)
x
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, bersama dengan ini penulis mengucapkan puji syukur yang tiada henti kepada Allah SWT karena dengan segala limpahan rahmat dan karunianya yang berupa, kesehatan, ketabahan, dan segala curahan petunjuk-Nya penulis mampu menyelesaikan Tesis ini dengan baik. Laporan Tesis ini diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi Strata-2 di Jurusan Teknik Industri dengan judul “Pengembangan Model Optimasi Alokasi Ruang Pajang Berpendingin Multi Produk Agro-Perishable Multi Temperatur dengan Mempertimbangkan Kebijakan Penurunan Harga”. Selama pelaksanaan dan penyusunan laporan Tesis ini saya telah menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini peulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah-Nya dan junjungan-Nya Nabi Muhammad SAW. 2. Kedua orang tua penulis Ibu Eny Iswatiningsih dan Ayah Sutarman, adik terkasih Mahesa Maulana yang selalu ada di belakang penulis, mendukung apapun keputusan penulis, menanamkan nilai-nilai kebaikan, mendoakan keberhasilan, dan memberikan kebahagiaan serta semangat untuk penulis. 3. Rahman Ryan Bagus Saroyo atas segala kesabaran dan keikhlasannya menjadi partner in everything selama 8 tahun 6 bulan terakhir, serta Mama Hudayati Dwi Anuri dan Papa Sapto Saroyo yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis. 4. Bapak Dr. Eng. Ir. Ahmad Rusdiansyah, M. Eng. selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing dan membantu penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. 5. Bapak dan Ibu dosen penguji seminar proposal dan sidang tesis, Bapak Dr.Eng. Erwin Widodo, S.T., M.Eng., Ibu. Dr. Ir. Sri Gunani Partiwi, M.T.,
xi
dan Bapak Prof. Dr. I Nyoman Pujawan, M.Eng., yang telah memberikan arahan, saran dan perbaikan pada tesis ini. 6. Rekan – rekan S2 TI ITS 2014 (genap) yang menjadi rekan – rekan satu angkatan penulis secara khusus terutama Afifah Fianda Utami Chandra Bhuana sebagai partner in crime selama menjalani pendidikan S2 ini serta rekan – rekan S2 TI ITS secara umum. 7. Keluarga Besar Matsaemi atas segala kepercayaan, dukungan dan perhatiannya kepada penulis. 8. Seluruh dosen pengajar dan karyawan Jurusan Teknik Industri ITS, terutama Mbak Rahayu dan Mbak Fitri yang selalu dengan sabar memberikan pengarahan dan infromasi terkait kegiatan akademik kepada para mahasiswa S2 TI ITS. 9. Dan seluruh rekan, teman, dan saudara penulis yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu – persatu, terimakasih. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis meminta maaf apabila ada kesalahan di dalam penulisan Tesis ini dan semoga Tesis ini bermanfaat baik dalam konteks akademik maupun dalam konteks praktis.
Surabaya, 16 Januari 2017
Dyah Satiti
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................ iii DISCLAIMER ............................................................................................... v ABSTRAK ..................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ................................................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvii BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 7 1.5 Kontribusi Penelitian ..................................................................... 8 1.6 Sistematika Penulisan .................................................................... 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 11 2.1 Produk Perishable ......................................................................... 11 2.1.1 Model penurunan kualitas produk perishable .................. 12 2.1.2 Penyimpanan suhu dingin produk perishable ................... 15 2.2 Manajemen Rantai Pasok Produk Perishable ............................... 17 2.2.1 Traceability ....................................................................... 19 2.2.2 Kualitas dalam manajemen rantai pasok produk perishable ............................................................. 20 2.3 Manajemen Persediaan .................................................................. 21 2.3.1 Model EOQ ....................................................................... 21 2.3.2 Manajemen persediaan produk perishable ....................... 22 2.3.3 Keterbatasan kapasitas penyimpananan ............................ 23 2.4 Model Markdown Policy ............................................................. 24 2.5 Posisi Penelitian .......................................................................... 27 2.6 Celah Penelitian .......................................................................... 29 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 33 3.1 Tahap Pengembangan Model ...................................................... 33
xiii
3.2 Tahap Merancang Nilai Parameter Model .................................. 33 3.3 Tahap Percobaan Numerik dan Analisa Hasil ............................. 34 3.4 Tahap Penarikan Kesimpulan dan Saran ..................................... 34 BAB 4 PENGEMBANGAN MODEL ........................................................... 35 4.1 Deskripsi Umum Pengembangan Model ..................................... 35 4.2 Formulasi Model Acuan .............................................................. 37 4.2.1 Model acuan penerapan multi temperatur ......................... 37 4.2.2 Model acuan penurunan kualitas ....................................... 39 4.2.3 Model acuan fungsi permintaan ........................................ 41 4.2.4 Model acuan penurunan harga .......................................... 42 4.2.4.1 Model acuan single price markdown .................... 44 4.2.4.2 Modeal acuan multiple price markdown ............... 46 4.2.5 Model acuan persediaan dengan keterbatasan kapasitas ............................................................................ 48 4.3 Formulasi Model Usulan ............................................................. 52 4.3.1 Notasi model usulan .......................................................... 53 4.3.2 Model usulan alokasi persediaan ....................................... 54 4.4 Rancangan Skenario Percobaan Numerik ................................... 65 BAB 5 PERCOBAAN NUMERIK ............................................................... 67 5.1 Data Numerik .............................................................................. 67 5.2 Validasi Model ............................................................................ 70 5.3 Cara Perhitungan Numerik .......................................................... 72 5.4 Percobaan Numerik dan Analisa Hasil ........................................ 73 5.4.1 Hasil Percobaan 1 .............................................................. 74 5.4.2 Hasil Percobaan 2 .............................................................. 79 5.4.3 Hasil Percobaan 3 .............................................................. 81 5.4.4 Hasil Percobaan 4 .............................................................. 85 5.5 Implikasi Manajerial .................................................................... 91 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 95 6.1 Kesimpulan .................................................................................. 95 6.2 Saran ............................................................................................ 96 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 97 BIOGRAFI PENULIS ................................................................................... 103
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Penurunan Kualitas Sayuran Kacang Polong dari Waktu ke Waktu pada Suhu Penyimpanan yang Berbeda ............................ 13 Gambar 2.2 Penurunan Kualitas Ikan Kod dari Waktu ke Waktu pada Suhu Penyimpanan yang Berbeda ................................................ 13 Gambar 2.3 Penurunan Kualitas Sayuran Berdasarakan Waktu ..................... 14 Gambar 3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Penelitian ................................... 34 Gambar 4.1 Skema Pengembangan Model ..................................................... 37 Gambar 4.2 Penghematan Biaya Energi Relatif dengan Suhu Referensi −30° C .......................................................................... 39 Gambar 4.3 Ilustrasi Dampak Penetapan Strategi Harga pada Permintaan dengan Penurunan Kualitas secara Eksponensial ......................... 43 Gambar 4.4 Grafik Perubahan Tingkat Persediaan Dari Waktu ke Waktu ..... 49 Gambar 4.5 Diagram Alir Metode Perhitungan Percobaan Penelitian ........... 56 Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Diskon Optimal Single Price Markdwon .................................................................................... 71 Gambar 5.2 Rasio COP pada Item 1 ............................................................... 76 Gambar 5.3 Rasio COP pada Item 3 ............................................................... 76 Gambar 5.4 Rasio COP pada Item 4 ............................................................... 77 Gambar 5.5 Rasio COP pada Item 8 ............................................................... 77 Gambar 5.6 Rasio COP pada Item 10 ............................................................. 78 Gambar 5.7 Laju Penurunan Kualitas Berdasarkan Suhu ............................... 79 Gambar 5.8 Total Keuntungan per Jam Berdasarkan Suhu Penyimpanan ............................................................................... 80 Gambar 5.9 Keuntungan Tiap Unit Produk pada Masing-masing Strategi xv
Penurunan Harga ................................................................... 84 Gambar 5.10 Total Keuntungan Strategi Penurunan Harga Tunggal pada TR= 275,15 K ................................................................... 85 Gambar 5.11 Total Keuntungan Strategi Penurunan Harga Ganda pada TR= 275,15 K ................................................................... 88 Gambar 5.12 Pengaruh Suhu Terhadap Total Keuntungan per Jam pada Skema Penurunan Harga Tunggal ..................................... 92
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Suhu yang Direkomendasikan untuk Produk Perishable ............... 16 Tabel 2.2 Critical Review ................................................................................ 33 Tabel 4.1 Rincian Percobaan Numerik ........................................................... 65 Tabel 5.1 Waktu Inisial Penyimpanan, Ruang yang Dibutuhkan dan Permintaan Inisial ........................................................................... 67 Tabel 5.2 Suhu Penyimpanan Standar Produk (dalam Kelvin) ...................... 68 Tabel 5.3 Energi Aktivasi Menurut Suhu ....................................................... 68 Tabel 5.4 Harga Jual Awal Produk dan Biaya yang Terlibat ......................... 69 Tabel 5.5 Perhitungan dengan Strategi Single Price Markdown pada Sayuran ................................................................................... 70 Tabel 5.6 Hasil Validasi Model Single Price Markdwon ............................... 71 Tabel. 5.7 Hasil Perhitungan Untuk Diskon Seragam 𝑛 = 1, 𝑇𝑚1 = 20% , dan 𝜃1 = 40% .............................................................................. 73 Tabel 5.8 Rincian Percobaan Numerik Waktu Penurunan Harga ................... 74 Tabel 5.9 Rasio COP Tiap Produk Berdasarkan Suhu Penyimpanan Referensi ......................................................................................... 75 Tabel 5.10 Sisa Waktu Penyimpanan Produk Berdasarkan Suhu ................... 78 Tabel 5.11 Hasil Percobaan Tanpa Diskon pada Suhu 275,15 K ................... 80 Tabel 5.12 Profil Keuntungan Percobaan 3 .................................................... 81 Tabel 5.13 Komposisi Produk yang Harus Dipesan (TR=275,15 K) .............. 82 Tabel 5.14 Komposisi Produk yang Harus Dipajang (TR=275,15 K) ............. 83 Tabel 5.15 Keuntungan Tiap Item per Jam (TR=275,15 K) ............................ 83 Tabel 5.16 Keuntungan pada Strategi Diskon Tunggal .................................. 86
xvii
Tabel 5.17 Keuntungan pada Strategi Diskon Ganda ...................................... 87 Tabel 5.18 Komposisi Jumlah Pesanan Tiap Produk untuk Diskon Berdasarkan Kualitas Penurunan Tunggal (TR=275,15 K) ............................... 89 Tabel 5.19 Komposisi Jumlah Pesanan Tiap Produk untuk Diskon Berdasarkan Kualitas Penurunan Harga Ganda (TR=275,15 K) ........................ 90 Tabel 5.20 Nilai 𝜃𝑖 ∗ pada Penurunan Harga Tunggal Berdasarkan Waktu Mulai Penurunan Harga (TR=275,15 K) ....................................... 90 Tabel 5.21 Nilai 𝜃1 ∗ dan 𝜃2 ∗ Berdasarkan Waktu Mualai Penurunan Harga (TR=275,15 K) .............................................................................. 91
xviii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rata-rata pertumbuhan industri retail modern (modern trade) untuk kategori fast moving consumer goods (FMCG) di Indonesia meningkat tiap tahunnya. FMCG sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga kategori produk, yaitu: (i) perawatan pribadi, misalnya pasta gigi, shampoo, dan kosmetik, (ii) perlengkapan rumah tangga, contohnya sabun cuci dan pembasmi hama, dan (iii) makanan dan minuman seperti makanan dan minuman dalam kemasan, sayuran, dan buah-buahan. Pesatnya pertumbuhan industri retail secara tidak langsung juga menunjukkan peningkatan minat konsumen berbelanja di retail modern. Alasan konsumen memilih retail modern adalah kenyamanan, kebersihan, dan akses yang mudah. Di samping itu, retail modern juga menawarkan produk yang biasanya hanya disediakan oleh pasar tradisional seperti ikan, daging, ayam, sayuran dan buah-buahan. Dalam menjaga kualitas bahan makanan segar dengan harga yang bersaing dibutuhkan majanemen rantai pasok yang baik. Melakukan manajemen rantai pasok pangan bukanlah suatu hal yang mudah karena sangat tergantung pada karakteristik dari produk tersebut (Agustina, dkk., 2014). Produk makanan segar mudah rusak, sehinnga pihak retail berpotensi menanggung resiko yang tidak kecil. Ketika produk makanan segar rusak atau busuk, maka akan menyebabkan kerugian bagi retail karena produk harus dibuang. Kerugian akibat produk kadaluarsa ternyata cukup tinggi yaitu mencapai15% (Ferguson dan Ketzenberg, 2006). Di samping karakteristik produk, Balaji dan Arshinder (2016) menambahkan faktor kompleksitas dari manajemen rantai pasok makanan segar diantaranya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, keamanan, dan kualitas makanan, serta keberagaman permintaan dan harga, dan terbatasnya umur hidup produk tersebut.
1
Dalam memenuhi permintaan yang beragam, suatu retailharus memiliki persediaan untuk mencegah terjadinya out of stock. Persediaan merupakan sumber daya (bahan baku utama maupun pelengkap), produk setengah jadi, dan/atau produk jadi yang sengaja disimpan untuk memenuhi permintaan. Persediaan memiliki peranan krusial dalam mengantisipasi ketidakpastian dari permintaan. Permintaan yang mudah berubah-ubah akibat dari kondisi sosial dan ekonomi menjadikan persediaan
berperan
sebagai
penyangga untuk
menghindari
ketidakmampuan perusahaan memenuhi permintaan. Meski demikian, di satu sisi pengadaan persediaan juga mengakibatkan melonjaknya biaya untuk penyimpanan, pemeliharaan, sewa gudang, pembayaran karyawan, dan biaya yang hilang akibat penahanan barang. Oleh sebab itu, dibutuhkan manajemen persediaan yang tepat agar mampu menekan biaya. Manajemen persediaan untuk produk makanan segar seperti sayur dan buah memiliki tantangan tersendiri bila dibandingkan dengan produk nonperishable. Terdapat resiko seperti ketika memesan terlalu banyak dan hingga akhir umur hidupnya produk belum terjual akan mengakibatkan adanya loss sales karena produk harus dibuang (tidak layak konsumsi). Buah dan sayur segar memiliki umur hidup yang relatif pendek, oleh sebab itu dibutuhkan manajemen persediaan yang tepat (Beshara, dkk., 2012). Bila melihat karakteristiknya manajemen persediaan untuk produk ini menjadi lebih kompleks, sehingga perhatian terhadap masalah ini relatif sedikit bila dibandingkan dengan produk lainnya. Penelitian mengenai manajemen persediaan untuk produk perishable telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Dobson, dkk., 2016; Duan, dkk., 2012; Hsieh dan Dye, 2010). Ketiganya memodelkan EOQ atau economic order quantity dengan mempertimbangkan tingkat permintaan berdasarkan umur produk dan stok. Selanjutnya Muriana (2016) mengembangkan model EOQ untuk produk makanan dengan mempertimbangkan permintaan stokastik menggunakan pendekatan probabilitas. Kelemahan dari penelitian-penelitian tersebut ialah belum membahas mengenai kapasitas dari rak simpan. Pertimbangan kapasitas rak menambah kompleksitas permasalahan yang mana pihak manajerial harus menentukan berapa jumlah dari masing-masing jenis produk yang akan dipesan bila akan diletakkan pada satu fasilitas penyimpanan dengan kapasitas yang terbatas. Hal ini tidak dapat 2
diselesaikan dengan persamaan EOQ umum, sebab bila dalam menentukan jumlah yang dipesan dengan persamaan EOQ umum maka tidak ada interaksi antar produk atau pemesanan bersifat independen yang menyebabkan jumlah total yang dipesan akan melebihi kapasitas penyimpanan. Bai dan Kendall (2008) menyelesaikan permasalahan alokasi ruang rak dan manajemen persediaan untuk beberapa produk makanan segar dengan mempertimbangkan kesegaran melalui optimasi persamaan non-linier. Dalam model tersebut keduanya telah mempertimbangkan kondisi nyata proses bisnis penjualan buah segar, dimana dalam modelnya fungsi permintaan kesegaran produk dapat mempengaruhi besar kecilnya permintaan. Di samping itu, keduanya juga mengasumsikan bahwa produk yang belum terjual hingga pada akhir siklus akan didiskon dan habis sesaat sebelum berakhirnya umur produk tersebut. Meski demikian, terdapat beberapa kekurangan dari model Bai dan Kendall (2008) yang pertama adalah mengasumsikan bahwa produk segar diletakkan pada fasilitas penyimpanan biasa (suhu lingkungan). Pada kenyataannya, beberapa produk buah segar membutuhkan penyimpanan suhu dingin agar dapat menjaga kualitas produk, sehingga model Bai dan Kendall (2008) akan sesuai dan optimal bila diterapkan untuk produk-produk yang tidak membutuhkan fasilitas khusus (berpendingin) dalam penyimpanannya. Kekurangan yang kedua ialah tingkat penurunan kualitas (decay rate) yang digunakan telah ditentukan terlebih dahulu tanpa melalui perhitungan, sehingga hal tersebut kurang mampu menangkap proses penurunan kualitas suatu produk secara lebih detail. Kekurangan yang ketiga ialah harga diskon yang diasumsikan belum mempertimbangkan kualitas yang tersisa dari poduk. Hal ini dianggap dapat merugikan baik bagi pihak retailer maupun customer, sebab bisa jadi harga yang ditetapkan teralu murah bagi retailer atau masih terlalumahal bagi customer bila melihat kualitas yang tersisa dari produk. Oleh sebab itu, dibutuhkan jalan keluar yang dapat mengakomodasi keduanya dimana diskon yang ditetapkan disesuaikan dengan kualitas yang tersisa dari produk melalui pendekatan yang lebih spesifik. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, resiko dalam menjual bahan makanan segar, terutama sayur dan buah adalah turunnya kesegaran produk yang mengakibatkan turunnya minat beli konsumen. Buah dan sayur merupakan produk 3
yang mudah rusak akibat dari proses metabolisme seperti respirasi dan transparasi. Penanganan pasca panen yang tidak tepat dapat mempercepat proses penurunan kualitas. Hal tersebut mempengaruhi daya (umur) simpan produk. Oleh sebab itu, untuk memperpanjang umur simpan produk tersebut, pihak retail menggunakan penyimpanan dengan suhu dingin. Meski demikian, penyimpanan suhu dingin hanya memperlambat laju kerusakan produk dan tidak menyelamatkannya dari kerusakan (busuk). Salah satu strategi dalam meminimalkan terjadinya kerugian akibat tidak terjualnya produk hingga end shelf life yakni dengan menurunkan harga produk. Herbon dkk., (2014) menyebutkan bahwa penetapan harga yang berbeda dapat meningkatkan jumlah penjualan produk perishable. Faktanya minat beli konsumen dipengaruhi oleh harga, terutama konsumen rumah tangga. Produk segar seperti buah dan sayur merupakan makanan pokok yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi dengan semakin tinggi tingkat pendidikan menjadikan konsumen semakin kritis dalam membeli suatu produk, terutama makanan. Meski makanan termasuk kebutuhan pokok, kualitas dan kuantitas menjadi pertimbangan utama bagi mereka dalam memutuskan pembelian. Pada periode pertama, buah dan sayur yang segar tentunya menjadi pilihan konsumen, tetapi memasuki periode berikutnya, kondisi produk tidak sesegar di periode pertama yang mengakibatkan turunnya minat beli konsumen bila dijual dengan harga yang sama seperti periode pertama. Oleh karenanya, untuk mempertahankan dan meningkatkan minat beli konsumen dibutuhkan strategi penurunan harga pada produk yang sama sebelum mendekati akhir usia produk. Penurunan harga berdasarkan kualitas sebelumnya telah dibahas oleh (Wang & Li, 2012). Dalam penelitian tersebut dilakukan suatu pendekatan perhitungan harga berbasis identifikasi umur hidup produk dengan tujuan mengurangi jumlah produk makanan yang terbuang dan memaksimumkan keuntungan pada retailer. Identifikasi umur produk dilakukan melalui evaluasi tingkat penurunan kualitas produk berdasarkan suhu standar penyimpanan produk dan lamanya waktu penyimpanan produk sebelum akhirnya terjual atau terbuang. Kebijakan penurunan harga akan mempertimbangkan kualitas sebagai dampak dari suhu simpan yang diatur pada rak berpendingin dan juga waktu produk tersebut hingga akhir usianya atau hingga akhir periode penjualan. Model 4
dikembangkan menyesuaikan kondisi nyata yang terjadi di lapangan dimana pada retail modern, untuk beberapa produk sayur dan buah digunakan rak berpendingin untuk menyimpan produk dengan tujuan memperlambat laju penurunan kualitas. Dalam penggunaan fasilitas berpendingin, pengaturan suhu standar seringkali didasarkan pada suhu minimum optimal yang dibutuhkan oleh produk. Hal tersebut mengakibatkan produk yang memiliki suhu simpan ideal yang lebih besar mengalami perpendekan daya simpan produk, sehingga perhitungan yang lebih presisi sesuai dengan umur sisa produk dalam penentuan harga dan waktu markdown sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya loss sale. Zanoni dan Zavanella (2012) mengembangkan penelitian Rong dkk., (2011) dengan menggunakan rasio koefisien kinerja pendingin sebagai pertimbangan dalam penentuan biaya penyimpanan. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa penentuan suhu standar yang tepat dapat menurunkan penggunaan biaya energi. Berdasarkan penelitian tersebut, maka biaya penyimpanan untuk produk yang menggunakan fasilitas berpendingin dapat ditentukan sesuai dengan suhu referensi penyimpanan dan suhu simpan idealnya. Dari
penjelasan
tersebut
diketahui
bahwa
penting
adanya
mempertimbangkan penetapan suhu standar yang tepat pada ruang rak berpendingin yang sampai saat ini masih digunakan oleh retail modern untuk menyimpan produk makanan segar. Di sisi lain, suhu yang digunakan dapat mempengaruhi umur simpan produk dan laju penurunan kualitasnya yang bedampak pada strategi harga yang tepat sepanjang periode penjualan. Suhu penyimpanan, kualitas produk dan strategi harga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan jumlah produk yang dipesan dan alokasi ruang untuk masing-masing produk sesuai dengan kapasitas display berpendingin. Oleh karena itu, mengacu pada penelitian Wang dan Li (2012), Zanoni dan Zavanella (2012) dan Bai dan Kendall (2008) perlu dilakukan pengembangan model alokasi ruang display berpendingin yang mempertimbangkan kebijakan penurunan harga untuk multi produk agro-perishable multi temperatur. Penelitian ini dikembangkan dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh retailer.
5
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas pada penelitian ini. Yang pertama ialah penurunan kualitas produk makanan perishable yang menjadi objek amatan, dimana penurunan kualitas ini dapat mempengaruhi tidak hanya permintaan konsumen tetapi juga penetapan harga oleh retailer. Yang kedua ialah pengaruh suhu terhadap laju penurunan kualitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam menjaga kualitas produk pihak retailer menggunakan fasilitas berpendingin. Penggunaan fasilitas berpendingin ini tentunya akan berdampak pada biaya yang ditanggung oleh retailer, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan untuk meminimalkan terjadinya loss kualitas dan biaya energi. Yang ketiga ialah pertimbangan kualitas, suhu dan kapasitas ruang display berpendingin pada keputusan jumlah masing-masing produk yang harus dipesan dan alokasi ruang untuk tiap produk dalam satu fasilitas display. Hal tersebut penting adanya mengingat pada kondisi nyata di retailer yang mana pihak retailer menyimpan (mendisplay) beberapa produk buah dan sayur pada satu etalase (rak) berpendingin, dan juga adanya praktik diskon untuk produk yang mendekati akhir umur hidupnya sebelum diputuskan akan dibuang. Dari uraian singkat tersebut, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dijawab pada penelitian ini diantaranya adalah: 1. Penentuan suhu standar pada fasilitas dispaly berpendingin agar dapat meminimumkan biaya energi? 2. Model alokasi ruang display berpendingin yang mempertimbangkan kebijakan penurunan harga (markdown policy) untuk multi produk agroperishable multi temperatur? 3. Kebijakan penurunan harga manakah yang tepat untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh retailer?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Menghasilkan penyelesaian penentuan suhu standar fasilitas display berpendingin yang dapat meminimumkan biaya energi. 2. Menghasilkan
model
alokasi
ruang
display
berpendingin
yang
mempertimbangkan kebijakan penurunan harga (markdown policy) untuk multi produk agro-perishable multi temperatur. 3. Menghasilkan kebijakan penurunan harga yang tepat untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh retailer.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi hanya pada sisi retailer yang menjual produk pertanian perishable kepada konsumen akhir. Produk yang digunakan dalam pengamatan model bervariasi dan merepresentasikan variasi suhu penyimpanan yang direkomendasikan. Disamping itu produk memiliki kegunaan yang sama, sehingga alokasi persediaan dan penurunan harga untuk penggunaan keperluan lain selain fungsi utamanya tidak dipertimbangkan, misalnya produk buah dan sayuran yang mengalami pembusukan dapat dijual kembali dengan harga yang berbeda dari harga normal kepada petani sebagai pupuk organik. Terdapat dua fungsi dari buah dan sayuran dalam hal ini ialah sebagai produk segar (tanpa olahan) dan sebagai pupuk. Pada penelitian hanya mempertimbangkan fungsi utama yakni produk segar. Pada penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan besarnya harga jual produk. Harga jual yang ditetapkan diasumsikan telah memenuhi harapan konsumen. Di samping itu, pada penelitian ini tidak mempertimbangkan consumer surplus yakni kondisi yang terjadi saat harga yang dianggap pantas oleh konsumen untuk suatu produk lebih tinggi dibanding harga pasar. 7
Terdapat asumsi-asumsi lain yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
Lead time bernilai 0, yang mana pesanan akan langsung datang begitu dilakukan pemesanan.
Jumlah yang persediaan dapat memenuhi semua permintaan (shortage tidak dipertimbangkan).
Kualitas awal yang diterima oleh retailer bernilai 1, proses sebelum produk tiba di retailer tidak dipertimbangkan.
Konsumen sangat sensitif terhadap harga dan kualitas, sedikit perbedaan nilai harga dan kualitas dapat mempengaruhi jumlah permintaan.
1.5 Kontribusi Peneltian
Kontribusi yang disumbangkan dari penelitian ini adalah memperkaya model persediaan yang diaplikasikan untuk produk agro-perishable, multi produk multi temperatur. Pertimbangan penggunaan fasilitas penyimpanan (display) berpendingin, penentuan suhu penyimpanan, biaya energi yang digunakan, kualitas produk yang teridentifikasi dan penurunan harga yang mempertimbangkan kualitas produk semakin menambah ketajaman model yang dikembangkan.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistem penulisan penelitian ini mengikuti skema berikut ini: BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini terbagi menjadi beberapa bagian yaitu latar belakang yang mendasari penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, kontribusi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan ini. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
8
Bab ini berisi ulasan mengenai teori-teori yang menjadi landasan penelitian yaitu pengertian mengenai food supply chain, manajemen persediaan, revenue management, dynamic pricing, dan lain-lain. Selain itu, pada bab ini juga dijabarkan penelitian terkait yang mendahului dan posisi penelitian yang dilakukan dibandingkan penelitian-penelitian tersebut. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini dijabarkan langkah-langkah penyelesaian penelitian termasuk skenario yang digunakan untuk menganalisis perilaku model terhadap perubahan input parameter. BAB 4 PENGEMBANGAN MODEL Pengembangan model konseptual dan matematis, termasuk model yang menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan, diuraikan di bab ini. BAB 5 PERCOBAAN NUMERIK Pada bab ini dijelaskan mengenai data yang digunakan untuk percobaan numerik, yaitu berupa studi kasus ilustratif. Percobaan numerik dilakukan dengan mengubahubah nilai parameter model untuk mengetahui pengaruhnya terhadap model yang dikembangkan di bab pengembangan model. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan hasil dari penelitian yang dilakukan dan peluang perbaikan untuk kepentingan penelitian lebih lanjut.
9
(halaman ini sengaja dikosongkan)
10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produk Perishable
Produk perishable adalah produk yang memiliki usia hidup yang relatif pendek dan mudah usang. Produk perishable dapat dibagi menjaditiga berdasarkan penyebab keusangan menurut Jia dan Hu (2011), yakni yang pertama karena kehilangan nilai seperti tiket pesawat, tiket bioskop, kamar hotel, dan koran; kedua karena perkembangan teknologi seperti barang elektronik: ponsel, laptop, televisi dan lain sebagainya; ketiga karena perubahan fisik akibat dari penurunan kualitas produk yang disebabkan oleh proses alamiah (metabolisme) maupun pengaruh dari lingkungan (suhu, kelembapan, dan kadar air) seperti buah, sayur, daging, ikan dan produk makanan lainnya. Produk perishable mudah rusak bila tidak ditangani dengan baik, dan dapat kehilangan nilai di akhir hidupnya (waste). Dari ketiga jenis produk perishable, jenis yang ketiga dalam satu dekade terakhir menjadi perhatian beberapa peneliti. Huang dan Yao (2006) membangun suatu algoritma yang dapat menyelesaikan permasalahan pengoptimalan kebijakan lot-sizing yang terkoordinasi untuk produk perishable (buah, sayur, daging) antara semua mitra dalam sistem rantai pasok dengan vendor tunggal dan banyak buyer sehingga dapat meminimumkan rata-rata biaya total. Chung dan Huang (2007) mengembangkan model persediaan pada retailer pada kondisi dimana pelanggan dapat membayar produk secara kredit (pembayaran yang tertunda) dengan tujuan menstimulasi permintaan pelanggan untuk produk perishable. Tidak hanya pada pengelolaan persediaan, peneliti lain juga membahas mengenai sistem pengiriman produk perishable. Osvald dan Stirn (2008) membangun suatu algoritma untuk pendistribusiam sayuran segar dimana kerusakan menjadi faktor kritis yang menjadi dasar pengembangan. Algoritma yang dibangun berhasil
11
mengurangi hingga 47% kerusakan produk. Tidak berhenti disitu, Nguyen dkk., (2014) mengembangkan strategi konsolidasi untuk pengiriman produk hasil pertanian dari sejumlah supplier dengan permintaan rendah. Mereka mengusulkan biaya proposional, dan aturan alokasi yang dapat meyakinkan supplier untuk bekerjasama satu sama lain dibandingkan beropersai secara independen.
2.1.1 Model penurunan kualitas produk perishable
Kualitas merupakan salah satu fitur penting dari produk perishable. Konsumen biasanya menaruh perhatian lebih pada komponen makanan seperti warna dan rasa, begitu pula aspek kualitas nutrisi seperti vitamin, mineral, serat dan senyawa bioaktif lain yang dapat menunjang kesehatan (Yun dkk., 2012). Akan tetapi, kualitas produk makanan segar (produk hasil pertanian) dapat menurun seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan pasca panen, komponen penting dari kualitas produk hasil pertanian seperti gula terlarut, asam organik, dan padatan/asam dapat dipengaruhi baik faktor internal maupun faktor eksternal (Pareek dkk, 2014). Menurut Song dkk., (2013) dan Ding dkk., (2006) pematangan (senescene) adalah salah satu faktor internal yang paling penting, dimana suhu memainkan peranan utama sebagai penyebab senescene pada komoditas hortikultura. Hui dkk., (2004) dalam Zanoni dan Zavanella (2012) menunjukkan peran suhu dan dampaknya terhadap penurunan kualitas dari waktu ke waktu pada Gambar 2.1-2.2. Produk yang berbeda memiliki kepekaan yang berbeda terhadap degradasi kualitas akibat suhu dari waktu ke waktu. Pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 terdapat dua jenis produk yang diamati yakni kacang polong (peas) dan ikan (fish). Dapat terlihat bahwa kualitas kacang polong menurun hingga 50% setelah 50 hari penyimpanan pada suhu -8oC. Sementara itu, ikan mengalami penurunan kualitas sebanyak 50% setelah 100 hari penyimpanan pada suhu -18oC.
12
Gambar 2.1Penurunan Kualitas Sayuran Kacang Polong dari Waktu ke Waktu pada Suhu Penyimpanan yang Berbeda (Sumber: Hui dkk., (2004) dalam Zanoni dan Zavanella, 2012)
Gambar 2.2 Penurunan Kualitas Ikan Kod dari Waktu ke Waktu pada Suhu Penyimpanan yang Berbeda (Sumber: Hui dkk., (2004) dalam Zanoni dan Zavanella, 2012)
Osvald dan Stirn (2008) menggambarkan penurunan kualitas produk perishable (sayuran) pada Gambar 2.3. Pada titik t = 0 produk perishable masih memiliki kualitas yang optimal (100%) saat baru dipanen. Selama fase apparent stability (mulai dari 0 sampai A), kualitas mulai mengalami penurunan yaitu pada kandungan produk (non-visual) namun tidak nampak adanya perubahan wujud. Kemudian pada fase visible change (titik A sampai B), perubahan value akan terus
13
berlanjut yakni perubahan kandungan produk dan wujud. Pada titik B, produk tidak dapat diterima karena produk sudah dianggap rusak dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Penurunan kualitas akan terus terjadi seiring berkurangnya umur hidup pada produk perishable.
Gambar 2.3 Penurunan Kualitas Sayuran Berdasarakan Waktu (Sumber: Osvald dan Stirn, 2008)
Pengukuran penurunan kualitas produk perishable dapat dilakukan baik melalui pengamatan beberapa indikator fisik, seperti warna, rasa, dan tekstur, maupun pengujian perubahan nilai bahan organik dalam produk, seperti asam, serat, gula, lemak, vitamin dan sebagainya. Cara terakhir banyak dilakukan oleh beberapa peneliti di bidang pangan. Namun hal tersebut cukup rumit dan terlalu kompleks untuk dijadikan pertimbangan dalam keputusan yang bersifat operasional. Wang dan Li (2012) mengembangkan model penurunan kualitas berdasarkan pendekatan model
14
kinetik milik Arrhenius. Model yang dikembangkan menggunakan suhu sebagai parameter pertimbangan, sehingga dapat dirumuskan tingkat penurunan kualitas (𝜆) berdasarkan suhu penyimpanan adalah: 𝜆 = 𝑘𝐴 𝑒 −[𝐸𝐴⁄𝑅𝑔𝑎𝑠 𝑇(𝑡)]
(2.1)
𝑘𝐴 adalah konstanta, dan 𝐸𝐴 sebagai energi aktivasi untuk reaksi yang mengendalikan hilangnya kualias. Kemudian 𝑅𝑔𝑎𝑠 adalah konstanta gas ideal, sementara 𝑇(𝑡) adalah suhu absolut yang digunakan pada beberapa suhu referensi. Dari rumus tersebut dapat dihitung tingkat kualitas produk 𝑞(𝑡) pada periode 𝑖 = 1, … , 𝑚 sebagai berikut: 𝑞(𝑡) = 𝑞0 − ∑𝑚 𝑖=1 𝜆𝑖 𝑡𝑖
(2.2)
dan 𝑚
𝑞(𝑡) = 𝑞0 𝑒 − ∑𝑖=1 𝜆𝑖 𝑡𝑖
(2.3)
untuk masing-masing reaksi orde nol dan reaksi orde pertama, dimana 𝑞0 adalah kualitas awal produk.
2.1.2 Penyimpanan suhu dingin produk perishable
Produk perishable seperti buah memiliki umur hidup pasca panen yang pendek pada suhu lingkungan dan rentan terhadap kerusakan fisik dan mekanis, kehilangan kelembapan dan nutrisi, dan pembusukan (Pareek dkk., 2014). Penyimpanan suhu rendah merupakan salah satu cara memperpanjang umur hidup produk. Yun dkk., (2012) dan Zhang dkk., (2016) menambahkan, penggunaan suhu rendah mampu menunda terjadinya pematangan buah dan menjaga kualitas buah selama penyimpanan pasca panen. Disamping itu, selain sebagai cara untuk menunda terjadinya pematangan dan pembusukan pasca panen, penggunaan suhu suhu rendah juga dapat digunakan untuk menjadwalkan pematangan sesuai dengan kebutuhan pasar (Liu dkk., 2011). USDA (2008) telah meneliti kondisi suhu ruang penyimpanan berpendingin yang rekomendasikan, baik untuk muatan dengan satu jenis komoditas (single) saja 15
maupun muatan dengan lebih dari satu komoditas (multi). Berikut merupakan data untuk kelompok muatan yang kompatibel:
Tabel 2.1 Suhu yang Direkomendasikan untuk Produk Perishable Kelompok 1 2 3 4 5
6a
6b 7 8
Komoditi Apel, aprikot, beri, ceri, ara, anggur, persik, pir, kesemak, plum dan pune, delima, quince Alpukat, pisang, terong, jeruk bali, jambu, jeruk nipis, mangga, melon, zaitun, pepaya, nanas, tomat, semangka Blewah, cranberi, lemon, leci, jeruk, jeruk keprok Kacang polong, leci, okra, paprika, labu, tomat, semangka Mentimun, terong, jahe, jeruk bali, kentang, labu kuning, semangka Artichoke, asparagus, bit, wortel, endive dan escarole, ara, anggur, bawang perei, selada, jamur, peterseli, lobak, kacang kapri, rubarb, salsify, bayam, jagung manis, selada air Brokoli, kubis brussel, kubis, kembang kol, celeriac, lobak pedas, kolrabi, bawang bombay, lobak, rutabaga, lobak (turnip) Jahe, kentang, ubi manis Bawang putih, bawang Bombay
Suhu 0o sampai 1,5oC 13o sampai 18oC 2,5o sampai 5oC 4,5o sampai 7,5oC 4,4o sampai 13oC 0o sampai 1,1oC
0o sampai 1,1oC 13o sampai 18oC 0o sampai 1,5oC
Sumber : USDA (2008)
Dalam penyediaan penyimpanan suhu dingin dibutuhkan energi listrik. Penggunaan energi listrik ini biasanya diabaikan atau menjadi bagian dari komponen lain yang memiliki proporsi yang kecil. Akan tetapi hal ini tak dapat begitu saja diabaikan. Menurut Latini dkk., (2016) dalam sektor buah dan sayur, proses penyimpanan suhu dingin menyerap sekitar 20% dari total penggunaan listrik untuk lemari pendingin. Angka tersebut cukup besar untuk diabaikan, sehingga dibutuhkan pendekatan tambahan agar dapat mencakup konsumsi energi tersebut.
16
Konsumsi energi oleh beberapa peneliti dikonversikan dalam bentuk biaya energi dan digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Seperti yang dilakukan Zanoni dan Zavanella (2012), mereka menyertakan komponen biaya energi dalam perhitungan biaya total melalui pendekatan penggunaan suhu standar pada fasilitas berpendingin. Pendekatan ini merupakan hasil pengembangan dari penelitian Rong dkk., (2011) yang merumuskan rasio koefisien kinerja yang berbeda dari fase-fase pendinginan yang dibutuhkan dan disebut sebagai COP (coefficient of performance) sebagai berikut: 𝐶𝑂𝑃𝑐𝑜𝑜𝑙𝑖𝑛𝑔 = 𝑄
𝑄𝑐𝑜𝑙𝑑 ℎ𝑜𝑡 −𝑄𝑐𝑜𝑙𝑑
=𝑇
𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
(2.3)
ℎ𝑜𝑡 −𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
Pada rumus (2.3) 𝑄ℎ𝑜𝑡 merupakan panas yang dilepaskan oleh reservoar panas, 𝑄𝑐𝑜𝑙𝑑 merupakan panas yang diambil oleh reservoar dingin, sementara 𝑇ℎ𝑜𝑡 dan 𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑 masing-masing adalah suhu absolute dari reservoar panas dan dingin. (Zanoni & Zavanella, 2012) menggunakan COP sebagai dasar perhitungan rasio COP pada suhu penyimpanan yang ditetapkan dengan COP pada suhu referensi: 𝜌𝑇 =
𝐶𝑂𝑃 𝑠𝑢ℎ𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛
(2.4)
𝐶𝑂𝑃 𝑠𝑢ℎ𝑢 𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑠𝑖
2.2 Manajemen Rantai Pasok Produk Perishable
Pasar global yang semakin kompetitif, produk dengan siklus hidup yang lebih pendek, dan harapan konsumen yang semakin tinggi, memaksa perusahaan untuk memusatkan perhatian pada rantai pasokan. Tujuan utama dari manajemen rantai pasok menurut Basu dan Wright (2008) adalah menyediakan nilai terbaik untuk pelanggan melalui pengukuran, perencanaan, dan pengelolaan seluruh link dalam rantai pasokan. Menurut Simchi-Levi, dkk., (2007), manajemen rantai pasok adalah suatu pendekatan yang mengintegrasikan komponen rantai industri meliputi manufaktur, warehouse, dan toko secara efisien sehingga dapat memproduksi dan mendistribusikan barang pada
17
jumlah, lokasi, dan waktu yang tepat, dengan tujuan meminimumkan biaya sistem dan memenuhi service level. Sama halnya dengan manajemen rantai pasok, manajemen rantai pasok produk perishable seperti makanan juga memiliki konsep dan tujuan yang sama. Akan tetapi, manajemen rantai pasok produk perishable sedikit lebih kompleks bila melihat sifat produk yang mudah rusak, utamanya makanan segar (Balaji dan Arshinder, 2016). Webster (2001) menyebutkan bahwa rantai pasok makanan dapat dibagi kedalam beberapa sektor, yaitu produser utama seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan, intermediaries seperrti manufaktur yang memproses makanan menjadi produk siap saji atau siap masak, dan sektor akhir seperti wholesaler, retailer, dan katering. Studi mengenai rantai pasok makanan semakin menarik ketika pihak yang terlibat semakin banyak. Hal tersebut menjadikan permasalahan dalam rantai pasok makanan semakin kompleks, sehingga dibutuhkan koordinasi yang baik. Misalnya saja permasalahan harga buah dan sayur yang merupakan salah satu dampak dari kurangnya koordinasi anggota rantai pasok, baik petani maupun vendor. Zhong, dkk., (2015) menyebutkan pentingnya suatu pusat informasi yang dapat mengkoordinasikan kebutuhan dan penyebaran informasi antara petani dan vendor, sehingga mampu meningkatkan kinerja dari rantai pasok. Seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan membuat pelaku industri mulai memperbaiki diri dalam menciptakan proses bisnis yang berbasis kelestarian lingkungan, tak terkecuali pada proses rantai pasok. Konsep keberlanjutan atau biasa dikenal dengan sustainable mulai diterapkan pada praktik rantai pasok, termasuk rantai pasok makanan. Hudkk., (2014) memperkenalkan sistem plant factory yakni suatu sistem yang menyediakan produk yang stabil dan berkualitas tinggi kepada pasar dengan menggunakan pekerja, air, nutrisi, dan pestisida seminimal mungkin. Plant factory adalah suatu lingkungan yang terkendali untuk sistem produksi tanaman dengan menggunakan kompen penanaman buatan seperti cahaya, suhu, kelembaban, karbondioksida, pasokan air, dan solusi
18
budidaya. Dengan kata lain, komponen-komponen penting dalam proses penanaman dibuat sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman agar lebih efisien. Berbeda dengan Sgarbossa dan Russo (2016) yang mengembangkan model rantai pasok close-loop (close-loop supply chain, CLSC) untuk memulihkan limbah makanan yang tidak terelakkan (busuk akibat berakhirnya usia hidup produk) dan melibatkan konfigurasi baru yang terdiri dari sejumlah supplier dan penyedia logistik.
2.2.1 Traceability
Studi mengenai rantai pasok makanan mengalami banyak perkembangan seiring dengan meningkatnya kepedulian para ilmuwan terhadap nilai penerimaan konsumen. Terdapat enam faktor utama yang mempengaruhi evolusi dan perkembangan rantai pasok makanan menurut Bourlakis dan Weightman (2004) diantaranya adalah kualitas, teknologi, logistik, teknologi informasi, kerangka peraturan, dan konsumen. Keenam faktor tersebut saling berkesinambungan dan digunakan sebagai fokus penelitian maupun pertimbangan dalam pemodelan rantai pasok makanan. Misalnya mengenai traceability yang memanfaatkan teknologi informasi dalam menjaga dan mengevaluasi kualitas produk makanan (Aung & Chang, 2014; Bosona & Gebresenbet, 2013; Chen, 2015; Hu, Zhang, dkk., 2013; Narsimhalu, dkk., 2015; Pant, dkk., 2015). Salah satu teknologi traceability yang sering digunakan dalam praktek di lapangan adalah Radio frequency identification (RFID). RFID adalah sebuah teknologi yang memanfaatkan gelombang elektormagnetik untuk merubah data antara terminal dengan suatu objek seperti produk barang, hewan, ataupun manusia dengan tujuan untuk identifikasi dan penulusuran jejak (traceablity) melalui penggunaan suatu piranti yang bernama RFID tag. Teknologi RFID ini banyak digunakan dalam praktek industri makanan seperti peternakan karena dinilai lebih praktis bila dibandingkan dengan barcode. Zhang dan Li (2012) menjelaskan beberapa strategi penggunaan RFID
19
bersadarkan karakteristik dari rantai pasok makanan berbasis hasil pertanian dan juga keuntungan dan tingkat kebutuhan akan keamanan. Kumari, dkk., (2015) menambahkan area aplikasi RFID pada rantai pasok makanan berbasis pertanian tidak hanya pada traceability, tetapi juga pada area penggunaan lain seperti pengawasan rantai dingin, manajemen peternakan baik itu sapi, ayam, kuda, dsb, serta pengawasan kualitas dan prediksi usia produk (shelf life).
2.2.2 Kualitas dalam manajemen rantai pasok produk perishable
Pengawasan kualitas menjadi hal yang krusial pada manajemen rantai pasok, terutama manajemen rantai pasok makanan. Kualitas sering kali menjadi sorotan utama para peneliti; hal ini karena tingkat pembelian konsumen terhadap produk makanan sangat bergantung pada kualitas produk makanan itu sendiri, terutama makanan segar. Di samping itu kualitas makanan erat kaitannya dengan keamanan pangan. Kualitas dapat menunjukkan apakah produk makanan aman untuk dikonsumsi atau sebaliknya. Gedkk, (2015) membangun dua model yaitu model analitis dan model simulasi untuk mengidentifikasi strategi pengujian kualitas yang paling efektif pada suatu lingkungan rantai pasok makanan yang kompleks. Mereka menambahkan bahwa baik kualitas dan keamanan pangan telah menjadi poin utama yang penting baik bagi konsumen dan produsen. Ait Hou dkk., (2015) bahkan menggambarkan suatu struktur dan organisasi internasional rantai pasok makanan berdasarkan kebutuhan anggota dan kepatuhan mereka terhadap aturan keamanan pangan. Hal ini mengindikasikan pentingnya kualitas dan keamanan pangan dalam suatu rantai pasok makanan. Penggabungan antara teknologi informasi dan kualitas tidak hanya pada traceability. Le Blanc dkk., (2015) membuat metode pendekatan yang digunakan untuk mendesain dan merakit database relasional data penjualan produk makanan. Database tersebut digunakan untuk mengembangkan suatu alat simulasi terintegrasi yang dapat memprediksi distribusi spasial dan resiko kesehatan masyarakat terkait dengan
20
makanan yang terkontaminasi. Hasil dari penelitian ini ialah CanGRASP atau Canadian GIS-based Risk Assessment, Simulation and Planning untuk kemanan pangan.
2.3 Manajemen Persediaan
Persediaan merupakan istilah yang digunakan untuk semua barang atau bahan yang sengaja disimpan oleh perusahaan, sebagai simpanan untuk penggunaan di masa mendatang (Waters, 2003). Andersson dkk, (2010) menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan menggunakan persediaan sebagai penyangga (buffer) antar proses untuk menghasilkan variasi produk dan menangani ketidakpastian yang sangat mungkin terjadi. Ketidakpastian terjadi akibat kondisi pasar yang dinamis, sehingga hal tersebut menyebabkan permintaan yang stokastik, di sisi lain perusahaan dituntut untuk mampu melakukan proses produksi dengan baik di bawah skala ekonomi. Dalam hal ini, persediaan dinilai sebagai suatu cara untuk menyeimbangkan tujuan-tujuan yang saling bertentangan (trade off). Waktu respon yang rendah terhadap pelanggan dan penggunaan peralatan produksi yang tidak efektif akan sulit digabungkan tanpa persediaan. Oleh sebab itu, manajemen persediaan dapat didefinisikan sebagai pengelolaan terhadap tujuan yang bertentangan antara supply (pengadaaan dan produksi) dan permintaan konsumen.
2.3.1 Model EOQ
Pada pemodelan matematis, pengendalian persediaan dimulai dengan model Economic Order Quantity (EOQ) yang diperkenalkan oleh Harris pada tahun 1915 (Bakker dkk., 2012). Model tersebut mengasumsikan bahwa produk yang disimpan memiliki umur hidup yang tidak terbatas. Asumsi-asumsi berbeda mulai bermunculan
21
lima dekade kemudian, tidak hanya umur hidup produk, tetapi juga tipe permintaan, pertimbangan adanya harga diskon, diperbolehkannya shortage dan backorder, produk tunggal maupun multi, penggunaan satu hingga multi gudang, model eselon tunggal atau multi, rata-rata biaya atau aliran kas diskon, dan diijinkannya pembayaran tertunda. Secara sederhana, perhitungan jumlah pesanan yang optimal adalah sebagai berikut (Waters, 2003): 2×𝑅𝐶×𝐷
𝐸𝑐𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖𝑐 𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟 𝑞𝑢𝑎𝑛𝑡𝑖𝑡𝑦 = 𝑄𝑜 = √
𝐻𝐶
(2.5)
dengan RC adalah biaya pemesanan, D merupakan jumlah permintaan dan HC adalah biaya penyimpanan produk. Dari nilai 𝑄𝑜 dapat ditentukan panjang siklus optimal dari suatu produk adalah sebagai berikut: 2×𝑅𝐶
𝑂𝑝𝑡𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ = 𝑇𝑜 = 𝑄𝑜 ⁄𝐷 = √𝐷×𝐻𝐶
(2.6)
Baik persamaan 2.5 dan 2.6 merupakan persamaan sederhana yang masih menggunakan beragam asumsi. Meski demikian, kedua persamaan tersebut masih digunakan hingga sekarang sebagai pendekatan dalam permasalahan persediaan.
2.3.2 Manajemen persediaan produk perishable
Penelitian-penelitian mengenai manajemen persediaan untuk produk nonperishable sudah sangat sering dilakukan. Bahkan hingga saat ini bahasan untuk produk non-perishable dengan beragam perkembangan asumsi masih ditemukan. Janssen dkk. (2016) menyebutkan bahwa model persediaan untuk produk perishable telah berkembang sejak tahun 1960. Bahkan lima tahun terakhir perkembangan model persediaan produk perishable sedikit demi sedikit menggeneralisasikan asumsi-asumsi pada model EOQ dasar. Duan dkk., (2012) menyajikan model persediaan untuk produk perishable dengan dan tanpa pertimbangan backlogging. Dalam model backlogging
22
diasumsikan bahwa tingkat backlogging tergantung pada lama waktu tunggu dan jumlah produk yang sudah backlogged
secara bersamaan. Muriana(2016)
mengembangkan model EOQ dengan asumsi bahwa beberapa parameter seperti permintaan bersifat stokastik terhadap produk makanan, yang mana sebelumnya diasumsikan permintaan bersifat deterministik. Di samping itu, dipertimbangkan pula mengenai biaya ketika terjadi shortage dan biaya kadaluarsa. Beberapa peneliti juga mencoba menggabungkan permasalahan persediaan dengan permasalahan lain dalam rantai pasok, seperti pengiriman (delivery). Coelho dan Laporte (2014) secara bersamaan mengoptimalkan kebijakan pemenuhan, pengiriman dan manajamen persediaan dalam satu model untuk produk perishable. Mereka menganalisa waktu, cara, dan jumlah produk yang optimal secara bersamaan. Produk yang diamati memilki umur produk yang berbeda, sehingga menambah kompleksitas dari model. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut digunakan algoritma branch-and-cut. Kemudian Soysal dkk., (2016) melakukan pengembangan permasalahan persediaan dan rute kendaraan dalam satu model yang juga mempertimbangkan penggunaan energi, emisi dan limbah makanan (akibat dari berakhirnya umur produk sebelum terjual atau digunakan). Mereka menganalisa manfaat dari kolaborasi horisontal antara supplier dan pelanggan terkait dengan perishability, penggunaan energi (emisi CO2) dari biaya operasi transportasi dan logistik dalam inventory routing problem (IRP).
2.3.3 Keterbatasan kapasitas penyimpanan
Model persediaan yang telah dikembangkan selama ini masih banyak yang mengasumsikan bahwa tiap item merupakan independen. Besar pemesanan dari setiap item mengikuti economic order quantity dan tidak ada keterkaitan atau interaksi antara satu item dengan item yang lain. Akan tetapi terdapat beberapa situasi dalam kondisi nyata dimana meskipun permintaan dari setiap item adalah independen, namun
23
dimungkinkan terjadi interaksi antar item yang berbeda (Waters, 2003). Apabila dalam menghitung kebijakan persediaan semua item digunakan economic order quantity, maka dapat dimungkinkan bahwa hasil dari total persediaan akan melebihi dari kapasitas penyimpanan yang tersedia sehingga perlu dilakukan pengurangan persediaan hingga memenuhi batas yang diperbolehkan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberlakuan biaya tambahan untuk setiap ruang yang digunakan (Waters, 2003). Maka biaya penyimpanan (holding cost) akan terbagi dalam dua bagian sebagai berikut:
Biaya penyimpanan (HC) yang umum digunakan
Biaya tambahan (AC), berhubungan dengan ruang penyimpanan yang digunakan oleh setiap item.
Maka biaya penyimpanan per unit waktu menjadi: 𝐻𝐶 + 𝐴𝐶 × 𝑆𝑖
(2.7)
Dimana 𝑆𝑖 menunjukkan kebutuhan ruang dari tiap item𝑖.
2.4 Model Markdown Policy
Penurunan harga (markdown) merupakan bagian dari dynamic pricing (penentuan harga dinamis). Bahasan ini berada dalam cakupan manajemen pendapatan atau revenue management. Revenue management muncul dalam American Airlines pada tahun 1960-an melalui analisis segementasi pasar dan perilaku konsumen, yang mana dalam kajian tersebut membahas mengenai cara untuk menjual kursi yang tepat pada pelanggan yang tepat pada waktu dan harga yang tepat dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan pelanggan dan manfaat ekonomis (Zhiping dkk., 2011). Seiring berjalannya waktu, di samping pada industri penerbangan konsep ini juga diaplikasikan pada industri jasa yang memiliki kapasitas terbatasseperti perhotelan, penjualan tiket acara atau bisokop, persewaan mobil, dan periklanan pada televisi.
24
Perishable pada industri jasa dengan kapasitas terbatas mengindikasikan hilangnya nilai produk di akhir siklus. Misalnya tiket pesawat setelah jam keberangkatan (setelah akhir siklus) akan kehilangan nilai produknya dan tidak dapat dijual kembali, begitu pula untuk kamar hotel yang tidak digunakan pada hari ini, akan kehilangan nilainya pada hari itu juga dan tidak dapat dijual nilainya untuk hari esok. Untuk melakukan penjualan dengan keterbatasan waktu maka dilakukan stragei dynamic pricing. Menurut Tsai dan Hung (2009) dynamic pricing merupakan salah satu strategi harga yang umum digunakan untuk menjual produk yang memiliki jumlah persediaan dan periode penjualan yang terbatas. Zhao dkk., (2012) menambahkan, prinsip dari dynamic pricing adalah penyesuaian harga produk yang didasarkan pada tingkat persediaan dan waktu periode penjualan yang tersisa. Permasalahan dynamic pricing juga dapat dikombinasikan dengan pertimbangan lain. Seperti yang diteliti oleh Schlosser (2015) yang menggabungkan permasalahan dynamic pricing dengan periklanan, dan mengembangkannya menjadi suatu model untuk penjualan produk perishable yang juga memperhitungkan biaya unit marginal dan biaya penyimpanan persediaan. Terdapat banyak cara dalam menyusun strategi harga untuk produk yang mendekati akhir siklus hidupnya, salah satunya adalah markdown atau penurunan harga. Ni dkk., (2015) menerapkan kebijakan harga markdown dan markup pada produk perishable seperti tiket dan fashion dengan mempertimbangkan ketidakpastian permintaan. Keditakpastian permintaan dalam hal ini ialah perilaku konsumen dalam memutuskan waktu pembelian produk. Misalnya pada pembelian tiket pesawat, beberapa konsumen sengaja membeli tiket diawal untuk memperoleh harga yang lebih murah dibandingkan bila membeli mendekati jadwal keberangakan. Perilaku konsumen ini merupakan respon dari strategi penetapan harga yang dibuat oleh perushaan. Perusahaan berusaha menangkap perilaku konsumen tiket pesawat dengan membuat startegi penurunan harga pada awal periode penjualan, dan akan meningkatkan harga hingga mendekati jadwal keberangkatan.
25
Markdown merupakan penurunan harga produk secara permanen, bertujuan untuk menghabiskan sisa persediaan sebelum produk tersebut menjadi usang dan harus dibuang karena adanya persediaan baru maupun tidak layak konsumsi (produk makanan) (Phillips, 2005). Bila dimisalkan suatu periode penjualan (0, 𝑇) dengan 𝑖 = 1, 2, … , 𝑇, kemudian jumlah persediaan yang belum terjual di awal periode adalah 𝑥𝑖 , harga penjualan yang ditetapkan pada periode ke-𝑖 adalah 𝑝𝑖 dengan permintaan yang mengikutinya sebesar 𝑑𝑖 , dan 𝑟 sebagai salvage value yang diterima untuk semua produk yang tidak terjual, maka fungsi optimasi kebijakan markdown dapat ditentukan sebagai berikut: max ∑𝑇𝑖=1(𝑝𝑖 − 𝑟)𝑑𝑖 (𝑝𝑖 )
(2.8)
𝑝1 ,𝑝2 ,…,𝑝𝑇
Subject to ∑𝑇𝑖=1 𝑑𝑖 (𝑝𝑖 ) ≤ 𝑥𝑖
(2.9)
𝑝𝑖 ≤ 𝑝𝑖−1 untuk𝑖 = 1,2, … , 𝑇
(2.10)
𝑝𝑇 ≥ 𝑟
(2.11)
Persamaan 2.8 merupakan fungsi obyektif yang menyatakan tujuan dari retailer yakni memaksimalkan total pendapatan dari persediaan yang ada. Kendala 2.9 menyatakan bahwa retailer tidak dapat menjual lebih dari persediaan di periode awal. Kendala 2.10 menegaskan bahwa harga markdown menurun dari waktu ke waktu. Kendala 2.11 menjamin bahwa harga akhir lebih besar dari salvage value. Terdapat beberapa penelitian mengenai markdown, salah satunya Yaghin dkk., (2012) yang mengembangkan model hybrid-fuzzy multi objective programming untuk menentukan kebijakan markdown dan perencanaan produksi agregarsi yang optimal pada rantai pasok dua eselon. Tujuan dari model ini ialah memaksimalkan total keuntungan pada sisi manufaktur, dan total keuntungan pada sisi retailer, serta mengembangkan aspek pelayanan pada retailer secara simultan. Selanjutnya, Chung dkk., (2015) mengembangkan modeldiskon (markdown) dengan periode kelipatan (multiple period) untuk produk elektronik (sektor teknologi tinggi). Model ini dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada supplier komponen untuk produk elektronik yang memberikan potongan harga pada produk yang dijualnya 26
agar memperoleh pendapatan yang maskimum. Hal ini terkait dengan komponen produk elektronik berkembangan dari waktu ke waktu, sehingga komponen yang lama tidak lagi memiliki nilai yang sama. Oleh sebab itu, supplier memberikan diskon agar manufaktur mau membeli komponen tersebut. Di sisi lain, manufaktur harus terlebih dahulu mengidentifikasi harga produk dan jumlah pesanan yang optimal pada retailer untuk produk yang komponennya berasal dari komponen yang diberi harga potongan. Tidak hanya koordinasi, penelitian mengenai markdown berkembang hingga pada tingkat persaingan dua perusahaan dalam menetapkan waktu markdown-nya (Alper, 2015). Masih mengenai markdown dan keterkaitannya dengan persediaan, Xie dkk., (2016) menggabungkan kebijakan markdown dalam model penjatahan persediaan (inventory-rationing) dengan pelanggan yang tersegmentasi berdasarkan sensitivitas terhadap lead time. Model alokasi sumber daya ini dapat dilakukan secara efektif bila segementasi pelanggan dilakukan dengan tepat, bersamaan dengan strategi perubahan harga secara dinamis untuk pelanggan. Manajemen markdown bertujuan memaksimulkan pendapatan bersamaan dengan menemukan waktu dan jarak yang dilakukannya penurunan harga yang dapat menggerser persediaan ke level nol. Keterkaitan markdown dan persediaan menjadi hal yang masih sering dibahas. Akan tetapi, produk amatan selama ini hanya berfokus pada produk non-konsumsi, dimana produk-produk tersebut memiliki atribut yang sama satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, pada penelitian ini produk amatan dikembangkan pada produk perishable makanan segar hasil pertanian yang memiliki atribut yang berbeda.
2.5 Posisi Penelitian
Melalui tinjauan pustaka diketahui ada beberapa penelitian yang terkait dengan topik yang diangkat pada penelitian, akan tetapi yang spesifik seperti yang diusulkan penulis sejauh ini belum ada. Beberapa peneliti telah mengembangkan model
27
persediaan untuk produk perishable (Duan dkk., 2012; Taleizadeh dkk., 2013; Dobson dkk., 2016; Muriana, 2016). Pada penelitian tersebut tidak mempertimbangkan keterbatasan ruang penyimpanan persediaan. Kapasitas rak simpan dipertimbangkan dalam penelitian Bai dan Kendall (2008), Piramuthu dan Zhou (2013), dan Wahyuningtyas (2014). Pada penelitian Bai dan Kendall (2008) dan Piramuthu dan Zhou (2013) telah memasukkan komponen harga, namun penentuan harga belum mempertimbangkan kualitas berdasarkan suhu dan waktu secara simultan. Keduanya mengasumsikan penurunan kesegaran produk secara eksponensial berdasarkan waktu saja. Sementara itu, Wahyuningtyas (2014) melakukan pengembangan model EOQ dengan menambahkan parameter biaya tambahan (additional cost) untuk penggunaan ruang dan parameter penurunan kualitas. Perbedaan terletak pada fungsi tujuan dimana model yang dikembangkan oleh Wahyuningtyas (2014) bertujuan untuk meminimalkan biaya total. Biaya total yang dipertimbangkan diantaranya adalah biaya penyimpanan, biaya pemesanan dan biaya pemberian diskon sebagai bentuk representatif dari penurunan kualitas. Disamping itu, bila pada penelitian Bai dan Kendall (2008) dan Piramuthu dan Zhou (2013) belum mempertimbangkan suhu, dalam model yang dikembangkan oleh Wahyuingtyas (2014), suhu menjadi parameter yang dipertimbangkan, terutama pengaruhnya terhadap biaya energi yang artinya juga berdampak pada biaya penyimpanan. Sama halnya dengan penelitian Bai dan Kendall (2008) dan Piramuthu dan Zhou (2013), pada penelitian Wahyuningtyas (2014) diskon yang diberikan diasumsikan nilainya dan tidak melalui perhitungan yang menunjukkan perubahan fisik produk. Strategi harga berdasarkan laju penurunan kualitas terkait suhu dan waktu telah diteliti oleh Wang dan Li (2012). Laju penurunan kualitas berdasarkan suhu juga diteliti oleh Rong dkk., (2011) dan Zanoni dan Zavanella (2012). Ketiganya samasama membahas mengenai kualitas terkait suhu, akan tetapi hanya Rong dkk., (2011) dan Zanoni dan Zavanella (2012) yang membahas mengenai penggunaan energi berdasarkan COP (coefficient of performance). Jika dikaji lebih dalam, penelitian Rong dkk., (2011) dan Zanoni dan Zavanella (2012) memiliki perbedaan, dimana hanya
28
penelitian Zanoni dan Zavanella (2012) yang spesifik membahas mengenai rantai pasok makanan. Kemudian, Iskandar (2013) menggabungkan penelitian Wang dan Li (2012) dan Zanoni dan Zavanella (2012) dalam mengembangkan model kebijakan penurunan harga untuk multi produk multi temperatur. Penggabungan persediaan dengan strategi harga juga dilakukan oleh Chew dkk., (2009) dan Herbon dkk., (2014). Perbedaan keduanya adalah terletak pada produk amatan, dimana Chew dkk., (2009) membahas mengenai kursi pesawat terbang sementara Herbon dkk., (2014) mengenai produk makanan. Herbon dkk., (2014) juga mempertimbangkan keterbatasan ruang dalam modelnya, yang berbeda dengan milik Bai dan Kendall (2008) dan Piramuthu dan Zhou (2013) adalah penggunaan indikator waktu-suhu yang terhubung peralatan deteksi otomatis (automatic detection device). Dalam praktik retail di Indonesia sendiri alat tersebut belum digunakan, sehingga dibutuhkan pendekatan lain yang dapat mengakomodasi retail di Indonesia. Pendekatan tersebut diharapkan mampu mengakomodasi keterbatasan pada retail di Indonesia, sehingga aplikasinyaakan lebih mudah dilakukan.
2.6 Celah Penelitian
Celah penelitian yang akan diisi melalui penelitian ini adalah pengembangan model
persediaan
yang
diteliti
oleh
Bai
dan
Kendall
(2008)
dengan
mempertimbangkan kapasitas rak dan strategi penurunan harga yang diteliti oleh Wang dan Li (2012) terhadap objek amatan produk perishable berupa makanan segar hasil pertanian yang mengalami penurunan kualitas dengan berfokus pada optimasi keuntungan di sisi retailer. Kompleksitas dari model ialah juga mempertimbangkan biaya penggunaan temperatur bervariasi yang dikembangkan oleh Zanoni dan Zavanella (2012). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menentukan temperatur yang optimal dalam penyimpanan multi produk multi temperatur di retailer yang meminimalkan biaya-biaya yang ditanggung. Selanjutnya, keputusan temperatur yang
29
digunakan akan berpengaruh pada laju penurunan kualitas yang akan berdampak pada strategi penurunan harga yang akan digunakan sebagai pertimbangan alokasi persediaan untuk masing-masing produk dalam satu rak berpedingin yang memiliki kapasitas simpan yang terbatas. Fungsi pemodelan akan bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan retailer dengan pilihan strategi alokasi persediaan yang tepat. Critical review terkait penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2.
30
Tabel 2.2Critical Review Penelitian Terdahulu Karakteristik Penelitian Perishability Specification Tiket Pesawat Terbang Produk makanan Blood Grocery goods Fashion Tujuan Pengembangan Model Memaksimumkan pendapatan total Meminimumkan biaya Memaksimumkan keuntungan Dasar pemodelan Persediaan Distribusi dan transportasi
Duan dkk (2012)
Taleizadeh dkk (2013)
Dobson dkk (2013)
Muriana (2016)
Bai dan Kendall (2008)
Piramuthu dan Zhou (2013)
Herbon dkk (2014)
Zanoni dan Zavanella (2012)
Rong dkk (2011)
Wahyuning tyas (2014)
Iskand ar (2013)
Penelitian Ini
Keterbatasan ruang
Shortage Shortage with backorder Pertimbangan temperatur pada
Wang dan Li (2012)
Dynamic Pricing Konfigurasi rantai pasok makanan Pertimbangan kendala persediaan Backlogged
Chew dkk (2009)
Penurunan kualitas Konsumsi energi Product preceived value
31
Tabel 2.2Critical Review (lanjutan) Penelitian Terdahulu Karakteristik Penelitian
Duan dkk (2012)
Taleizadeh dkk (2013)
Dobson dkk (2013)
Muriana (2016)
Bai dan Kendall (2008)
Piramuthu dan Zhou (2013)
Herbon dkk (2014)
Chew dkk (2009)
Wang dan Li (2012)
Zanoni dan Zavanella (2012)
Rong dkk (2011)
Wahyunin gtyas (2014)
Iskandar (2013)
Penelitian Ini
Fokus objek penelitian
Produsen Distributor
Retailer Seller Pertimbangan lain Penilaian konsumen
32
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Terdapat beberapa langkah yangmerupakan kerangka metodologi untuk menyelesaikan permasalahan pada penelitian ini (Gambar 3.1). Tujuan metodologi penelitian ini adalah sebagai arahan dalam mengerjakan penelitian agar sistematis sesuai dengan kerangka yang dibuat.
3.1 Tahap Pengembangan Model
Pada tahap ini, model alokasi ruang display berpendingin dan manajemen persediaan akan dikembangkan dengan mempertimbangkan kebijakan penurunan harga berdasarkan penurunan kualitas produk seiring dengan berjalannya waktu sampai pada akhir periode penjualan untuk multi produk multi temperatur di sisi retailer. Pengembangan model pada penelitian ini dilakukan menurut beberapa model acuan yang diteliti oleh Wang dan Li (2012), Zanoni dan Zavanella (2012) dan Bai dan Kendall (2008). Model yang dikembangkan akan melibatkan dua kebijakan penurunan harga yaitu penurunan harga berdasarkan keputusan manajerial tanpa perhitungan dan kebijakan penurunan harga berdasarkan keputusan manajerial yang melalui perhitungan terlebih dahulu.
3.2 Tahap Menetapkan Nilai Parameter Model
Pada penelitian ini nilai-nilai parameter yang digunakan dalam percobaan numerik diatur sedemikian rupa untuk memaksimalkan selisih keuntungan yang diperoleh retailer. Penentuan kombinasi nilai parameter untuk setiap produk yang menjadi obyek pada penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan batasanbatasan model.
33
3.3 Tahap Percobaan Numerik dan Analisis Hasil
Pada tahap ini dilakukan percobaan numerik dan analisis hasil yang diperoleh. Percobaan numerik dilakukan dengan parameter bervariasi untuk mengetahui perilaku model yang dikembangan.
3.4 Tahap Penarikan Kesimpulan dan Saran
Penarikan kesimpulan dan pemberian saran akan datang dilakukan pada tahap ini. Tujuan dari penelitian akan terjawab berdasarkan analisis hasil percobaan numerik yang dirangkum pada bagian kesimpulan. Sementara untuk penelitian yang akan datang akan diberikan saran sebagai masukan.
TAHAP PENGEMBANGAN MODEL Bai dan Kendall (2008) Alokasi ruang rak penyimpanan persediaan
Zanoni dan Zavanella (2012) Multi-temperature cost
Wang dan Li (2012) Dynamic pricing: Markdown
Model alokasi ruang display berpendingin dengan mempertimbangkan kebijakan penurunan harga multi produk multi temperatur
TAHAP MENETAPKAN NILAI PARAMETER MODEL
TAHAP PERCOBAAN NUMERIK DAN ANALISIS HASIL Percobaan numerik dilakukan dengan menentukan pemberian diskon baik seragam dan berdasarkan penurunan kualitas, mengubah waktu mulai penurunan harga untuk strategi penurunan harga sebanyak 1 kali dan 2 kali
TAHAP PENARIKAN KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Penelitian
34
BAB 4 PENGEMBANGAN MODEL
4.1 Deskripsi Umum Pengembangan Model
Model manajemen persediaan dengan mempertimbangkan kapasitas penyimpanan sebelumnya telah dibahas oleh (Bai & Kendall, 2008). Pada penelitian tersebut keduanya melakukan alokasi ruang rak dan manajemen persediaan untuk produk buah dengan permintaan yang dipengaruhi oleh kesegaran produk. melakukan optimasi untuk persamaan non-linier. Beragam buah segar yang menjadi objek amatan diletakkan pada rak display yang kapasitasnya terbatas. Produk yang dipesan tidak semuanya diletakkan di ruang rak, sehingga diasumsikan terdapat tempat penyimpanan lain. Bila produk yang berada di rak berkurang maka akan langsung diisi kembali dengan persediaan yang tersisa, sehingga dalam model yang dibangun diasumsikan tidak terjadi shortage. Untuk menghabiskan produk di akhir periode penjualan sebelum diisi kembali dengan produk baru, dilakukan diskon dengan nilai seminimal mungkin yang dapat menghabiskan persediaan yang lama. Terdapat beberapa kekurangan dari penelitian Bai dan Kendall (2008) yang pertama ialah dalam penyimpanan buah terdapat beberapa buah yang membutuhkan kondisi penyimpanan dingin agar penurunan kualitasnya dapat diminimalkan, dan hal ini belum tercakup dalam model Bai dan Kendall. Yang kedua masih terkait dengan suhu, kesegaran sebagai representasi dari kualitas yang dibahas oleh Bai dan Kendall laju penurunannya (decay rate) diasumsikan telah diketahui. Kenyataannya, suhu mempengaruhi kualitas dari bahan makanan segar, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan untuk menghubungkan antara kualitas dengan suhu. Yang ketiga ialah pemberian diskon mendekati akhir periode penjualan yang diasumsikan seminimal mungkin sehingga dapat menghabiskan persediaan yang lama sampai akhir periode penjualan. Diskon yang diberikan harusnya disesuaikan dengan kualitas yang tersisa dari produk, hal ini untuk
35
menjamin bahwa harga yang ditetapkan dapat mewakili nilai sisa produk yang dapat diterima oleh konsumen. Ketiga kelemahan tersebutakan dijawab dalam model usulan pada penelitian ini. Dimana obyek amatan ialah bahan makanan segar dan berfokus pada sisi retailer. Penelitian ini akan membahas mengenai model alokasi persediaan untuk beragam bahan makanan segar yang memiliki kebutuhan suhu penyimpanan yang berbeda pada rak berpendingin yang terbatas kapasitasnya. Rak berpendingin yang digunakan memiliki suhu standar ditentukan oleh staf operasional retailer berdasarkan jenis produk yang akan diletakkan. Produk-produk ini masing-masing memiliki suhu penyimpanan ideal, dan kemungkinan berbeda antara satu dengan lainnya. Sementara itu, suhu referensi pada rak berpendingin umumnya tidak dapat mencakup kebutuhan masing-masing produk, sehingga ada selisih antara suhu ideal dengan suhu referensi. Selisih suhu inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Hal tersebut penting adanya mengingat dalam operasionalnya penggunaan display berpendingin membutuhkan energi untuk mengkonversi suhu lingkungan ke suhu dingin. Penelitian Zanoni dan Zavanella (2012) akan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui pengaruh selisih suhu referensi penyimpanan dan suhu ideal penyimpanan suhu dingin terhadap biaya energi dalam penyimpanan produk multi temperatur. Model yang dikembangkan keduanya mengacu pada koefisien kinerja (coefficient of performance) yang merupakan hasil penelitian dari Rong dkk (2011). Model usulan pada penelitian ini juga akan membahas perhitungan laju penurunan kualitas yang sebelumnya oleh Bai dan Kendall (2008) diasumsikan telah diketahui nilainya. Penurunan laju kualitas pada penelitian ini mengacu pada model Wang dan Li (2012) dan Zanoni dan Zavanella (2012) yang mengembangkan model Labuza (1984) yang didasarkan pada persamaan Arrhenius. Selanjutnya, tingkat kualitas produk akan dihitung berdasarkan laju penurunan kualitas ini. Tingkat kualitas ini akan menjadi dasar dalam menghitung penurunan harga (diskon) optimal yang harus diberikan oleh retailer untuk meningkatkan minat beli konsumen. Pertimbangan diskon ini berdasarkan dari praktik di lapangan yang dilakukan oleh banyak retailer modern seperti Giant, Superindo, Hypermart dan sebagainya. Bahkan beberapa diantaranya menjadikan diskon sebagai event bulanan untuk menghabiskan persediaan lama. Model acuan penurunan harga 36
(markdown) yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan penelitian Wang dan Li (2012), yang dalam modelnya terdapat dua kebijakan yaitu single price markdown dan multi price markdown. Kedua kebijakan ini akan dipertimbangkan dalam model usulan untuk mengatahui kebijakan mana yang dapat mengoptimalkan keuntungan retailer. Skema pengembangan model dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Bai dan Kendall (2008) Alokasi ruang rak dan manajemen persediaan untuk produk segar
Wang & Li (2012) Dynamic Pricing: Markdown
Multi produk Multi temperatur
Zanoni & Zavanella (2012) Multi-temperature based cost
Penelitian ini : Alokasi ruang rak, penggunaan energi, penurunan kualitas produk, pengaruh penurunan harga terkait temperatur, kebijakan penurunan harga.
Gambar 4.1 Skema Pengembangan Model
4.2 Formulasi Model Acuan 4.2.1 Model acuan penerapan multi temperatur
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa masing-masing produk makanan perishable memiliki karakteristik yang spesifik dan hal tersebut menjadikan treatment yang dibutuhkan juga berbeda-beda termasuk suhu optimum penyimpanannya. Dalam menjaga kualitas produk makanan perishable hingga akhir periode penjualan, retailer menggunakan penyimpanan suhu dingin. Bila mengacu pada karakteristik masing-masing produk tentunya pihak retailer akan membutuhkan biaya yang besar dalam pengelolaan produk makanan perishable. Hal ini didukung oleh pendapat Zanoni dan Zavanella (2012) yang menyebutkan
37
bahwa dampak dari penggunaan suhu yang berbeda pada pengelolaan produk makanan perishable adalah besarnya biaya yang dikeluarkan akibat perbedaan jumlah energi yang dibuthkan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu perhitungan untuk mengetahui pada suhu berapa sebaiknya suatu produk perishable dikelola atau disimpan. Rong dkk (2011) melakukan sutau pengujian dari pembandingan suhu standar yang ditetapkan dalam pengelolaan produk makanan perishable yang disebut dengan rasio koefisien kinerja (𝐶𝑂𝑃𝑐𝑜𝑜𝑙𝑖𝑛𝑔 ) seperti pada persamaan 2.3: 𝐶𝑂𝑃𝑐𝑜𝑜𝑙𝑖𝑛𝑔 = 𝑄
𝑄𝑐𝑜𝑙𝑑 ℎ𝑜𝑡 −𝑄𝑐𝑜𝑙𝑑
=𝑇
𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
(4.1)
ℎ𝑜𝑡 −𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
Pada penelitiain Zanoni dan Zavanella (2012) suhu lingkungan rata-rata 𝑇ℎ𝑜𝑡 ditentukan sebesar 20° C. Melalui persamaan (4.1) dapat diketahui rasio kebutuhan energi (dan hubungannya dengan dampak ekonomi dan lingkungan) antara menyimpan produk pada suhu yang direncanakan yakni −30° C dengan suhu yang lebih rendah −20° C. Perhitungan rasio COP adalah sebagai berikut (dengan mengkonversi satuan Celsius kedalam Kelvin): 243 = 4,86 293 − 243 253 = = 6,325 293 − 253
𝐶𝑂𝑃−30° 𝐶 = 𝐶𝑂𝑃−20° 𝐶
𝐶𝑂𝑃
°
Rasio 𝐶𝑂𝑃 = 𝐶𝑂𝑃−30 𝐶 = 0,768 −20° 𝐶
Nilai perbandingan kedua COP mengindikasikan bahwa penggunaan suhu −30° C sebagai suhu referensi menjadikan energi yang dibutuhkan untuk menyimpan produk pada suhu −20° C ialah sebesar 76,8% atau setara dengan penghematan sebesar 14,2%. Penghematan energi relatif terkait aktivitas pendingin produk dengan menggunakan suhu referensi −30° C dapat dilihat pada Gambar 4.2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa persentase penghematan energiakan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu yang dibutuhkan dalam menyimpan produk. Hal ini berarti penting adanya menentukan suhu referensi dengan tepat dibandingkan bila harus menyimpan dengan suhu yang berbeda-beda. Akan tetapi, perbedaan suhu ini mempengaruhi variasi kualitas yang berdampak pada nilai produk yang selanjutnya dapat mempengaruhi keuntungan.
38
Gambar 4.2 Penghematan Biaya Energi Relatif dengan Suhu Referensi −30° C (Sumber: Zanoni dan Zavanella, 2012)
4.2.2 Model acuan penurunan kualitas
Seiring dengan berjalannya waktu produk makanan perishable mengalami penurunan kualitas. Penurunan kualitas erat kaitannya dengan daya atau umur simpan produk, semakin cepat laju penurunan kualitas maka umur simpan produk semakin pendek. Terdapat dua penyebab utama penurunan kualitas yaitu faktor internal yang berkaitan dengan karakteristik spesifik masing-masing produk dan faktor eksternal yakni kondisi lingkungan tempat produk disimpan atau diproses seperti kelembapan dan suhu. Kualitas seringkali menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli suatu barang, terutama produk makanan segar. Kesegaran makanan sebagai salah satu atribut kualitas direpresentasikan oleh Bai dan Kendall (2008) dalam bentuk fungsi eksponensial yang menurun dari waktu ke waktu sejalan dengan besarnya nilai konstanta laju pembusukan. Pada penelitian tersebut nilai konstanta laju pembusukan (𝜎𝑖 ) telah ditentukan sesuai dengan jenis produk, sehingga fungsi kesegaran dirumuskan sebagai berikut: 𝑓𝑖 (𝑡) = 𝑒 −𝜎𝑖 𝑡
(4.2)
Berbeda dengan Bai dan Kendall (2008) dimana nilai laju penurunan kualitasnya tanpa melalui perhitungan numerik, Wang dan Li (2012) dan Zanoni dan Zavanella (2012) menggunakan suatu model laju penurunan kualitas produk
39
makanan perishable yang mengacu pada penelitian Labuza (1984). Model tersebut dikembangkan melalui persamaan kinetik yang dikembangkan dari persamaan Arrhenius. Menurut Zanoni dan Zavanella (2012) degradasi atau deteriorasi produk makanan perishable bergantung pada waktu penyimpanan 𝑡, suhu penyimpanan 𝑇, dan parameter tambahan yang dipengaruhi oleh lingkungan penyimpanan. Persamaan kinetik yang digunakan untuk mengetahui penurunan kualitas adalah sebagai berikut: 𝑑𝑞 𝑑𝑡
= −𝑘𝑞 𝑛
(4.3)
Dimana 𝑞 adalah nilai terukur dari parameter kualitas utama produk, 𝑘 adalah laju degradasi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan 𝑛 adalah ordo reaksi kimia yang menentukan bagaimana laju reaksi penurunan kualitas produk dipengaruhi oleh jumlah kualitas 𝑞 yang tersisa. Dalam hal ini, suhu memliki peranan penting dalam degradasi (penurunan) kualitas produk, hubungan antara laju penurunan kualitas 𝜎 dan suhu 𝑇 dapat dirumuskan dalam persamaan Arrhenius berikut: 𝜎 = 𝑘𝐴 𝑒
𝐸𝐴 ) 𝑅𝑇(𝑡)
−(
(4.4)
dimana𝑘𝐴 adalah kosntanta penurunan kualitas, 𝐸𝐴 adalah energi aktivasi reaksi (J/kg) yang mengendalikan penurunan kualitas berdasarkan suhu, 𝑅 adalah konstanta gas ideal (J/kgK), dan 𝑇 suhu absolut dalam K yang dibandingkan terhadap suhu referensi 𝑇𝑟𝑒𝑓 . Jika melihat pada persamaan 4.3, dengan mengubah 𝑛 kecenderungan perubahaan kualitas dapat berubah linier atau eksponensial sesuai dengan karakter produk. Hal ini berarti level kualitas suatu produk dapat diestimasikan berdasarkan nilai kualitas awal 𝑞0 , interval waktu 𝑡𝑖 , dan suhu 𝑇(𝑡𝑖 ) pada periode penyimpanan terkait 𝑖 = 1, … , 𝑚, sehingga diperoleh: 𝑞(𝑡) = 𝑞0 − ∑𝑚 𝑖=1 𝑘𝐴 𝑡𝑖 𝑒 −[
𝑞(𝑡) = 𝑞0 𝑒
−[
𝐸𝐴 ] 𝑅𝑇𝑅 (𝑡𝑖 )
𝐸𝐴
(4.5)
]
𝑅𝑇𝑅 (𝑡𝑖 ) − ∑𝑚 𝑖=1 𝑘𝐴 𝑡𝑖 𝑒
(4.6)
masing-masing untuk reaksi orde nol (penurunan kualitas bersifat linier) dan reaksi orde pertama (penurunan kualitas bersifat eksponensial). Sehingga, dengan
40
mengetahui besarnya suhu dan waktu maka tingkat kualitas 𝑞(𝑡) suatu produk dapat dihitung secara numerik. Untuk menyederhanakan model, laju penurunan kualitas berdasarkan persamaan Arrhenius dilambangkan sebagai 𝜎, sehingga: 𝜎 = 𝑘𝐴 𝑒
−[
𝐸𝐴 ] 𝑅𝑇𝑅 (𝑡)
(4.7)
dan persamaan 4.5 dan 4.6 dapat disubstitusi menjadi: 𝑞(𝑡) = 𝑞0 − ∑𝑚 𝑖=1 𝜎𝑖 𝑡𝑖
(4.8)
dan 𝑚
𝑞 (𝑡) = 𝑞0 𝑒 − ∑𝑖=1 𝜎𝑖 𝑡𝑖
(4.9)
Dengan persamaan 4.8 merupakan reaksi orde linier dan 4.9 reaksi orde eksponensial.
4.2.3 Model acuan fungsi permintaan
Pada persoalan persediaan, umunya permintaan bersifat deterministik, sebagai perkembangannya beberapa peneliti membuat model pemintaan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Pada penelitian ini konsumen diasumsikan sensitif terhadap harga dan kualitas produk. Dua hal tersebut saling bertolak belakang, dimana semakin tinggi harga yang ditawarkan maka permintaan akan menurun, sementara itu, semakin baik kualitas produk maka permintaan akan meningkat. Wang dan Li (2012) memodelkan fungsi permintaan deterministik dengan mempertimbangkan harga (𝑝) dan kualitas (𝑞) sebagai berikut: 𝑓(𝐷𝑡 ) = 𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽𝑞(𝑡) ≥ 0
(4.10)
𝐷0 adalah parameter permintaan non-negatif yang dipengaruhi oleh besarnya pasar (Lau dan Lau, 2002). 𝛼 dan 𝛽 masing-masing merupakan koefisien non-negatif yang merepresentasikan sensitivitas permintaan terhadap harga produk dan kualitas produk yang teridentifikasi, dengan nilai 𝛼 dan 𝛽 lebih besar dari 0. Pada penelitian Wang dan Li (2012) orde penurunan kualitas yang digunakan adalah orde eksponensial. Dengan pertimbangan tersebut, fungsi permintaan 4.10 dapat dikembangkan menjadi:
41
𝑚
𝑓(𝐷𝑡 ) = 𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽(𝑞0 𝑒 − ∑𝑖=1 𝜎𝑖 𝑡𝑖 ) ≥ 0 𝑇
𝐸𝐷 = ∫0 𝑓(𝐷𝑡)𝑑𝑡
(4.11)
Dengan 𝐸𝐷 perkiraan permintaan pada periode penjualan (0, 𝑇) dan 𝑝(𝑡) adalah harga produk di retailer pada waktu ke 𝑡. Satu hal penting untuk diingat adalah nilai 𝑝(𝑡) lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari harga maksimum saat konsumen memutuskan berhenti membeli (0 ≤ 𝑝(𝑡) ≤ 𝑝𝑀 ).
4.2.4 Model acuan penurunan harga
Penetapan harga menjadi hal yang penting ketika berbicara mengenai produk makanan perishable yang mengalami penurunan kualitas dari waktu ke waktu hingga akhir umur hidupnya. Gambar 4.3 menunjukkan bagaimana penurunan kualitas secara eksponensial berdampak pada permintaan apabila harga jual produk ditentukan bernilai tetap sepanjang satu periode penjualan. Terlihat perbedaan pola permintaan pada kedua strategi harga, dimana pada strategi harga tunggal permintaan terus menurun seiring dengan berjalannya waktu. Berbeda halnya dengan strategi multi harga, dimana permintaan meningkat ketika harga baru diterapkan. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan dapat dinaikkan kembali dengan penerapan harga yang berbeda (lebih rendah dari harga awal). Model yang dikembangkan oleh Wang dan Li (2012) dievaluasi dengan menilai keuntungan yang diinginkan retailer. Keuntungan dimodelkan dalam satu periode penjualan yang ditetapkan yakni antara 𝑡 = 0 dan 𝑡 = 𝑇. Keuntungan diperoleh melalui pengurangan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan produk dengan biaya-biaya operasional yang terlibat. Pada model tersebut perhitungan biaya-biaya operasional seperti biaya pembelian, penyimpanan, logistik dan lain sebagainya digabungkan dalam satu unit biaya operasional 𝐶𝑜 . Wang dan Li (2012) juga mengasumsikan bahwa stock replenishment dari distributor atau supplier akan datang setelah periode penjualan berakhir, dan juga jumlah aktual yang terjual tidak akan melebihi jumlah yang dipesan 𝑄.
42
Gambar 4.3 Ilustrasi Dampak Penetapan Strategi Harga pada Permintaan dengan Penurunan Kualitas secara Eksponensial (Sumber: Wang dan Li, 2012)
Dimisalkan suatu skenario dimana retailer menetapkan harga pada suatu produk selama satu periode penjualan, keuntungannya Π𝑇 dapat diestimasikan sebagai pendapatan selama satu periode penjualan (0, 𝑇) dikurangi biaya-biaya yang terlibat, sehingga: 𝑇
Π𝑇 = ∫ 𝑝(𝑡)𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 − 𝑄𝐶𝑜 0
Subject to: 𝐸𝐷 =
𝑇 ∫0 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡
≤𝑄
(4.12)
Selisih antara jumlah yang dipesan (𝑄) dan jumlah permintaan aktual (𝐸𝐷) merupakan jumlah produk yang harus dibuang. Apabila dalam pembuangan produk ini membutuhkan biaya (𝐶𝑤 ), maka fungsi keuntungan akan menjadi: 𝑇
𝑇
Π𝑇 = ∫0 𝑝(𝑡)𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 − 𝑄𝐶𝑜 − [𝑄 − ∫0 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡] 𝐶𝑤
(4.13)
Pada produk makanan perishable seperti sayuran segar, visualisasi akhir umur hidupnya dapat terlihat dan staf retailer atau pelanggan dapat menghentikan penjualan atau tidak membelinya. Akan tetapi ada beberapa produk makanan perishable yang tidak tampak secara visual perubahan kualitasnya, yang tentunya akan membahayakan konsumen. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya biaya baru sebagai bentuk kompensasi pihak retailer bila produk yang telah kadaluarsa
43
tidak sengaja terbeli oleh konsumen. Oleh karena itu, diperlukan strategi harga yang dapat meningkatkan minat beli konsumen sebelum akhir umur hidup produk. Strategi harga yang dimaksud dapat berupa dynamic pricing. Penerapan perubahan harga dalam satu periode penjualan hendaknya juga melibatkan biaya per unit akibat dari perubahan harga. Biaya per unit 𝐶𝑝 harus ditambahkan pada waktu masing-masing harga diterapkan.
4.2.4.1 Model acuan single price markdown
Harga saat ini telah menjadi salah satu strategi para retailer dalam meningkatkan penjualan. Sudah menjadi hal biasa ketika retailer mengadakan diskon pada periode atau momen tertentu untuk menarik minat calon konsumen. Tidak hanya produk non-perishable, produk makanan perishable pun tak lepas dari strategi penurunan harga. Tujuan optimasi harga yang dilakukan oleh retailer ialah memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dalam satu periode penjualan. Harga optimal 𝑝∗ (𝑡) dapat ditentukan melalui permasalahan optimasi sederhana, misalnya mencari kebijakan harga optimal untuk periode penjualan 𝑇 dimana 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇, sehingga: Π𝑇 [𝑝∗ (𝑡)] = max Π𝑇 [𝑝(𝑡)]
(4.14)
𝑝(𝑡)
Mayoritas retail modern menetapkan kebijakan penurunan harga yang disesuaikan dengan jenis produk makanan perishable dan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda pula. Secara sederhana misalnya memberikan kebijakan penurunan harga dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga awal pada periode markdown agar pelanggan membeli produk yang mendekati waktu kadaluarsanya. Sehingga dalam satu periode penjualan terdapat dua penetapan harga yang berbeda: 𝑝 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇𝑚 𝑝(𝑡) = 𝑓(𝑥) = { 𝑝(1 − 𝜃) 𝑇𝑚 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇
(4.15)
Dimana 𝑇𝑚 adalah waktu penurunan harga setelah harga diskon 𝜃 diterapkan, dengan nilai 𝜃 berkisar antara 0 dan 1 (0 ≤ 𝜃 ≤ 1), dan 𝑇 merupakan akhir periode
44
penjualan. Penurunan harga dilakukan sebelum produk mencapai akhir umur hidupnya yang menyebabkan periode penjualan terbagi menjadi dua interval, yakni periode (0, 𝑇𝑚 ) dan periode (𝑇𝑚 , 𝑇). Hal ini mengakibatkan fungsi permintaan menjadi: 𝑇
𝑇
𝐸𝐷 = ∫0 𝑚 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 + ∫𝑇 𝑓𝑑 (𝐷𝑡 )𝑑𝑡
(4.16)
𝑚
𝑓(𝐷) merupakan fungsi permintaan pada waktu penjualan normal dan 𝑓𝑑 (𝐷) adalah fungsi permintaan selama penurunan harga hingga akhir umur hidup produk. Keberadaan dua harga dalam satu penjualan menjadikan fungsi keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝑇
𝑇
𝑇𝑚
Π𝑇 = 𝑝 ∫0 𝑚 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 + 𝑝(1 − 𝜃) ∫𝑇 𝑓𝑑 (𝐷𝑡 )𝑑𝑡 − [𝑄 − ∫0 𝑚
𝑇
𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡] 𝐶𝑝 − 𝑄𝐶𝑜
𝑇
Subject to: ∫0 𝑚 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 + ∫𝑇 𝑓𝑑 (𝐷𝑡 )𝑑𝑡 ≤ 𝑄
(4.17)
𝑚
Selanjutnya dengan mensubtitusi 4.11 ke persamaan 4.17 diperoleh fungsi keuntungan sebagai berikut: Π𝑇 = (𝑝 − 𝐶𝑝 ) [(𝐷0 − 𝛼𝑝)𝑇𝑚 + 𝛼𝜃𝑝)(𝑇 − 𝑇𝑚 ) +
𝛽𝑞(1−𝑒 −𝜎𝑇𝑚 ) 𝜎
𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑇𝑚 −𝑒 −𝜎𝑇 ) 𝜎
] + [𝑝(1 − 𝜃)] × [(𝐷0 − 𝛼𝑝 +
] − 𝑄(𝐶𝑜 + 𝐶𝑝 )
(4.18)
Kemudian dilakukan penurunan persamaan 4.18 sebanyak dua kali terhadap harga diskon 𝜃untuk memperoleh keuntungan yang optimal sebagai berikut: 𝜕𝛱 𝑇 = −𝑝𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑇𝑚 − 𝑒 −𝜎𝑇 )𝜎 + [2𝛼𝑝2 − 𝑝𝐷𝑜 ](𝑇 − 𝑇𝑚 ) − 2𝛼𝑝2 (𝑇 − 𝑇𝑚 )𝜃 𝜕𝜃 𝜕 2 𝛱𝑇 = −2𝛼𝑝2 (𝑇 − 𝑇𝑚 ) 𝜕 2𝜃 dengan 𝑇 > 𝑇𝑚 dan
𝜕2 𝛱 𝑇
<0
𝜕2 𝜃
(4.19)
Penurunan fungsi tersebut membuktikan kecembungan fungsi keuntungan sehingga solusi diskon optimal (𝜃 ∗ ) dapat ditentukan sebagai berikut: 𝜃∗ =
𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑇 −𝑒 −𝜎𝑇𝑚 ) 2𝛼𝜎𝑝(𝑇−𝑇𝑚 )
2𝛼𝑝−𝐷𝑜
+(
2𝛼𝑝
)
(4.20)
Subject to:
45
𝛽𝑞(1 − 𝑒 −𝜎𝑇𝑚 ) 𝐸𝐷 = (𝐷0 − 𝛼𝑝)𝑇𝑚 + ( ) + (𝐷𝑜 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝜃𝑝)(𝑇 − 𝑇𝑚 ) 𝜎 𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑇𝑚 − 𝑒 −𝜎𝑇 ) +( ) 𝜎 𝐸𝐷 = (𝐷𝑜 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝜃𝑝)𝑇 − 𝛼𝜃𝑝𝑇𝑚 + (𝛽𝑞(1 − 𝑒 −𝜎𝑇 )/𝜆 ≤ 𝑄 0 < 𝜃∗ ≤
[𝑄−(
𝛽𝑞(1−𝑒−𝜎𝑇 ) 𝜎
)−(𝐷𝑜 −𝛼𝑝)𝑇]
(4.21)
𝛼𝑝(𝑇−𝑇𝑚 )
Melalui persamaan 4.20 dapat dihitung diskon harga optimal (𝜃 ∗ ) dengan mengetahui nilai kualitas produk yang teridentifikasi (𝑞), harga awal produk (𝑝), laju penurunan kualitas produk (𝜎), biaya penurunan harga (𝐶𝑝 ), panjang periode penjualan normal dan nilai-nilai sensitivitas terhadap permintaan ( dan ).
4.2.4.2 Model acuan multiple price markdown
Pada praktiknya dalam memutuskan harga yang akan ditawarkan pihak manajerial mempertimbangkan beberapa aspek seperti fluktuasi permintaan, kelebihan persediaan, dan penurunan kualitas produk. Dalam hal ini, retailer seringkali mengaplikasikan kebijakan penurunan harga yang relatif fleksibel. Retailer sering melakukan beberapa kali diskon harga untuk produk makanan perishable demi mengurangi jumlah yang terbuang akibat tidak terjual di akhir umur hidupnya. Wang dan Li (2012) merumuskan kebijakan single price markdown secara umumsebagai berikut: 𝛱1 = 𝑝0 𝐸𝐷0 + 𝑝1 𝐸𝐷1 − 𝐶𝑝 (𝑄 − 𝐸𝐷0 ) − 𝑄𝐶𝑜
(4.22)
Dimana 𝑝0 adalah harga jual produk diawal periode penjualan dan 𝑝1 adalah harga yang sudah didiskon setelah penurunan harga dilakukan. 𝐸𝐷0 adalah perkiraan permintaan pada waktu penjualan yang normal dan 𝐸𝐷1 adalah perkiraan permintaan pada waktu harga diskon.
46
Apabila kebijakan penurunan harga dilakukan sebanyak 2 kali maka periode penjualan dibagi kedalam 3 interval waktu dan fungsi keuntungan dimodifikasi menjadi: 𝛱2 = 𝑝0 𝐸𝐷0 + 𝑝1 𝐸𝐷1 + 𝑝2 𝐸𝐷2 − 𝐶𝑝 (𝑄 − 𝐸𝐷0 ) − 𝐶𝑝 (𝑄 − 𝐸𝐷0 − 𝐸𝐷1 ) − 𝑄𝐶𝑜 (4.23) Jika penurunan harga terjadi 𝑛 kali maka fungsi keuntungan dapat dituliskan menjadi: 𝑀𝑎𝑥𝑖𝑚𝑖𝑧𝑒 𝛱𝑛 = 𝑝0 𝐸𝐷0 + ∑𝑛𝑖=1 𝑝𝑖 𝐸𝐷𝑖 − 𝐶𝑝 (𝑛(𝑄 − 𝐸𝐷0 ) − ∑𝑛𝑖=1(𝑛 + 1 − 𝑖)𝐸𝐷𝑖 ) − 𝑄𝐶𝑜 (4.24) dengan 𝐸𝐷𝑖 = (𝐷0 − 𝛼𝑝𝑖 )(𝑇𝑖+1 − 𝑇𝑖 ) + (𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖 ) + (
𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖 −𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖+1 ) 𝜎𝑖
) (4.25)
Dengan 𝑝𝑖 adalah harga yang sudah didiskon pada periode penurunan harga 𝑖. Subject to 𝐸𝐷0 + ∑𝑛𝑖=1 𝐸𝐷𝑖 ≤ 𝑄, 0 < 𝑝𝑖 ≤ 𝑝𝑖−1
(4.26)
Solusi diskon optimal dapat diperoleh dengan menurunkan fungsi-fungsi keuntungan terhadap harga diskon (𝑝𝑛 ) seperti berikut ini: 𝜕𝛱 𝑇 𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑛𝑇𝑛 − 𝑒 −𝜎𝑛𝑇 ) = (𝐷0 − 2𝛼𝑝𝑛 )(𝑇 − 𝑇𝑛 ) + + 𝛼𝐶𝑝 (𝑇 − 𝑇𝑛 ) 𝜕𝑝𝑛 𝜎𝑛 𝜕 2 𝛱𝑇 = −2𝛼(𝑇 − 𝑇𝑛 ) 𝜕 2 𝑝𝑛 dengan 𝑇 > 𝑇𝑛 , dan
𝜕2 𝛱 𝑇 𝜕2 𝑝𝑛
<0
(4.27)
Dilakukannya penurunan fungsi keuntungan hingga turunan ke-2 dimaksudkan untuk membuktikan kecembungan fungsi sehingga sesuai dengan tujuan pemodelan yang mencari keuntungan yang optimal. Harga diskon yang optimal (𝑝𝑛∗ ) diperoleh sebagai berikut: 𝑝𝑛∗ =
𝛽𝑞(𝑒 −𝜎𝑛𝑇𝑛 −𝑒 −𝜎𝑛𝑇 ) 2𝛼(𝑇−𝑇𝑛 )𝜎𝑛
𝐷
+ 2𝛼0 +
𝐶𝑝
(4.28)
2
47
Subject to 𝐸𝐷 = 𝐷0 𝑇 − 𝛼𝑝𝑛 𝑇 𝑛
− 𝛼 ∑(𝑝𝑖−1 𝑇𝑖 − 𝑝𝑖 𝑇𝑖 ) + 𝑖=1 𝑛
+ 𝛽𝑞 ∑ 𝑖=1
𝛽𝑞 (1 − 𝑒 −𝜎0𝑇1 ) 𝜎0
𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖 − 𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖+1 ≤𝑄 𝜎𝑖
Dengan 𝑇𝑛+1 = 𝑇, dan 𝑇0 =0 𝐷0 𝑇−𝑄 𝛼(𝑇−𝑇𝑛 )
−
∑𝑛 𝑖=1(𝑝𝑖−1 𝑇𝑖 −𝑝𝑖−1 𝑇𝑖−1 ) 𝑇−𝑇𝑛
+
𝛽𝑞(1−𝑒 −𝜎0 𝑇1 ) 𝜎0 𝛼(𝑇−𝑇𝑛 )
𝛽𝑞
+ 𝛼(𝑇−𝑇 ) ∑𝑛𝑖=1
𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖 −𝑒 −𝜎𝑖 𝑇𝑖+1
𝑛
𝑝𝑛 ≤ 𝑝0
𝜎𝑖
≤
(4.29)
Notasi 𝑛 menunjukkan jumlah atau frekuensi penurunan harga dalam suatu periode penjualan.
4.2.5 Model acuan persediaan dengan keterbatasan kapasitas
Dalam praktik bisnis di retailer modern, produk yang dijual bervariasi dan diletakkan pada rak display sesuai dengan kelompok produk. Berbeda dengan produk non-perishable yang memiliki daya simpan lebih lama, produk perishable membutuhkan perlakukan khusus bila melihat karakter produk dan umur simpan yang relatif pendek. Khusus untuk beberapa jenis produk makanan perishable seperti ikan, daging, ayam, sayur dan buah diletakkan pada rak display berpendingin. Baik produk perishable dan non-perishable membutuhkan suatu pengaturan alokasi produk dalam satu rak display karena mempertimbangkan kapasitas dari rak display itu sendiri. Pada penelitian ini, diasumsikan persediaan produk makanan perishable merupakan jumlah yang dipesan untuk kemudian disimpan pada rak display. Di samping itu, asumsi tambahan lain ialah waktu antara pemesanan hingga pesanan datang diasumsikan nol, dengan kata lain begitu produk pada rak display habis maka akan terisi kembali dengan pesanan yang baru. Sehingga pada penelitian ini
48
yang menjadi fokus permasalahan adalah berapa alokasi ruang display masingmasing jenis produk dan jumlah yang harus dipesan. Model EOQ sederhana seperti persamaan 2.5 tidak dapat mengakomodasi permasalahan ini, sebab belum melibatkan interaksi antar jenis produk. Kemudian Waters (2003) mengusulkan biaya tambahan atas penggunaan kapasitas seperti pada persamaan 2.7 dan memasukkannya ke dalam persamaan 2.5, sehingga rumus EOQ untuk masing-masing produk adalah sebagai berikut: 2×𝑅𝐶𝑖 ×𝐷𝑖
𝑄𝑖 = √
(4.30)
𝐻𝐶𝑖 +𝐴𝐶×𝑆𝑖
Persamaan tersebut dapat digunakan untuk produk dengan fasilitas penyimpanan yang umum. Dengan menggunakan konsep yang sama, yakni menambahkan biaya tambahan atas ruang yang dibutuhkan, Bai dan Kendall (2008) melakukan optimasi dan merumuskannya ke dalam persamaan non-linier yang mengikuti perubahan persediaan seperti pada Gambar 4.4. Pada penelitian Bai dan Kendall (2008) produk amatan ialah produk makanan segar seperti buah-buahan dimana permintaan masing-masing produk bersifat deterministik yang mengikuti fungsi permintaan yang bergantung pada kesegaran produk.
Gambar 4.4 Grafik Perubahan Tingkat Persediaan Dari Waktu ke Waktu (Sumber: Bai dan Kendall, 2008)
Persamaan non-linier yang dirumuskan Bai dan Kendall (2008) bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan total per unit waktu yang diperoleh dari jumlah 49
keseluruhan keuntungan masing-masing produk per unit waktu. Keuntungan ratarata tiap produk 𝑖dapat diperoleh melalui persamaan berikut: 1
𝑀𝑖 = 𝑇 [𝑝𝑖 (𝑞𝑖 − 𝑟𝑖 ) + 𝑝𝑑𝑖 𝑟𝑖 − 𝑐𝑎𝑖 𝑞𝑖 − 𝐶𝑜𝑖 − 𝐻𝐶1𝑖 − 𝐻𝐶2𝑖 ] − 𝑐𝑠 𝑠𝑖 𝑎𝑖 𝑖
(4.31)
Dengan 𝑀𝑖 adalah keuntungan rata-rata tiap produk, 𝑇𝑖 panjang periode siklus, 𝑝𝑖 harga jual awal per unit, 𝑞𝑖 jumlah yang dipesan, 𝑟𝑖 jumlah yang terisa di akhir siklus, 𝑝𝑑𝑖 harga diskon yang diasumsikan nilainya serendah mungkin sehingga dapat menghabiskan sisa produk di akhir siklus, 𝑐𝑎𝑖 harga beli produk per unit, 𝐶𝑜𝑖 biaya pemesanan yang bersifat konstan (tidak terpengaruh pada jumlah produk yang dipesan), 𝐻𝐶1𝑖 dan 𝐻𝐶2𝑖 masing-masing merupakan biaya penyimpanan dari (0, 𝑡1𝑖 ) dan (𝑡1𝑖 , 𝑇𝑖 ), 𝑐𝑠 biaya penggunaan rak per uni t space, 𝑠𝑖 jumlah produk yang diletakkan di rak, dan 𝑎𝑖 kebutuhan ruang untuk menempatkan satu unit produk. Tujuan dari penelitian Bai dan Kendall (2008) adalah memaksimalkan keuntungan keseluruhan produk per unit waktu, sehingga diperoleh: 𝑚𝑎𝑥 ∑𝑛𝑖=1 𝑀𝑖 (𝑠𝑖 , 𝑞𝑖 , 𝑟𝑖 ) Subject to
(4.32)
∑𝑛𝑖=1 𝑠𝑖 𝑎𝑖 ≤ 𝑊
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.33)
𝐿𝑖 ≤ 𝑠𝑖 ≤ 𝑈𝑖
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.34)
𝑟𝑖 ≤ 𝑠𝑖 ≤ 𝑞𝑖
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.35)
𝑟𝑖 < 𝑞𝑖
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.36)
0 < 𝑇𝑖 ≤ 𝑇𝑒𝑖
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.37)
𝑠𝑖 , 𝑞𝑖 ∈ {1, 2, 3, … }
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.38)
𝑟𝑖 ∈ {0, 1, 2, … }
𝑖 = 1, 2, … , 𝑛
(4.39)
Variabel keputusan dari persamaan tersebut ialah ruang rak yang digunakan, jumlah pesanan dan jumlah yang tersisa di akhir siklus. Kendala 4.33 menjamin bahwa jumlah ruang yang digunakan tidak melebihi kapasitas rak. Kendala 4.34 menjamin jumlah ruang yang dialokasikan berada di antara nilai batas bawah 𝐿𝑖 dan batas atas 𝑈𝑖 . Kendala 4.35 menjamin bahwa jumlah yang diletakkan
50
pada rak lebih kecil dari jumlah yang dipesan dan lebih besar dari jumlah yang tersisa di akhir siklus. Kendala 4.36 menjamin bahwa jumlah yang tersisa di akhir siklus lebih kecil dari jumlah yang dipesan. Kendala 4.37 menjamin siklus penjualan suatu prorduk lebih pendek dari umur hidupnya. Kendala 4.38 dan 4.39 menjamin bahwa jumlah yang diletakkan pada rak, jumlah yang dipesan, dan jumlah yang tersisa di akhir siklus bernilai integer. Dengan menggunakan konsep penyelesaian masalah Bai dan Kendall (2008) tersebut penelitian ini akan menyelesaikan masalah alokasi persediaan multi produk agro-perishable multi temperatur dengan mempertimbangkan kapasitas rak berpendingin dan kebijakan penurunan harga. Perbedaan penilitian ini dengan Bai dan Kendall (2008) ialah penggunaan rak berpendingin, dimana sebelumnya tidak dipertimbangkan. Kebutuhan penyimpanan dingin pada produk makanan perishable tidak dapat diabaikan begitu saja. Di samping itu, harga diskon sebelumnya
ditentukan
tanpa
melalui
perhitungan
numerik
dan
tidak
mempertimbangkan penurunan kualitas produk. Kekurangan-kekurangan pada penelitian Bai dan Kendall (2008) tersebut akan dicoba untuk diselesaikan dalam penelitian ini.
4.3 Formulasi Model Usulan
Formulasi model usulan pada penelitian ini berfokus pada penjualan bahan makanan segar berupa buah dan sayur di retailer. Retailer menjual produk hasil pertanian yang berbeda-beda (item 1, item 2, sampai item 𝑖) dengan kebutuhan suhu penyimpanan yang juga berbeda-beda kepada konsumen. Pada penelitian ini, sejumlah produk yang dipesan sebagian akan langsung menempati rak display, sementaranya sisanya akan disimpan (back inventory) dengan suhu penyimpanan yang sama. Diasumsikan bahwa rak display selalu penuh, dengan kata lain begitu barang rak display berkurang maka akan langsung terisi kembali dengan produk back inventory. Retailer menyimpan produk menggunakan fasilitas berpendingin yang diatur pada satu suhu tertentu sehingga terdapat perbedaan antara suhu 51
penyimpanan
dengan
suhu
optimum
yang
direkomendasikan
demi
mempertahankan kualitas dan umur hidup produk. Efek selisih suhu ini yang dipertimbangkan dalam model yang dikembangkan. Fasilitas berpendingin yang digunakan memiliki kapasitas yang tetap, sementara produk yang disimpan memiliki kuantitas dan jenis yang berbeda. Sehingga dibutuhkan suatu pengaturan jumlah masing-masing produk yang harus dipesan dan dipajang agar sesuai dengan kapasitas fasilitas berpendingin. Produk yang dipasarkan oleh retailer kepada konsumen akhir memiliki permintaan yang berubah-ubah setiap waktu. Permintaan deterministik yang dipertimbangkan bersifat kontinyu yang dipengaruhi oleh harga dan kualitas yang tersisa dari produk dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, dibutuhkan penyesuaian penurunan harga yang nantinya dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam jumlah produk yang dipesan. Dengan kata lain, diharapkan jumlah yang dipesan dapat memenuhi permintaan dengan kondisi harga tertentu dan kualitas yang menurun dari waktu ke waktu hingga pada akhir periode penjualan. Frekuensi penurunan harga yang memaksimalkan keuntungan retailer menjadi salah satu variabel yang akan dicari nilainya.
4.3.1 Notasi Model Usulan
Berikut ini adalah notasi yang digunakan dalam formulasi model pada penelitian ini: 𝑖
= Menunjukkan produk ke-𝑖 dimana 𝑖 = 1,2,3, . . 𝑘
𝑛
= Menunjukkan frekuensi penurunan harga ke-𝑛 dimana 𝑛 = 1,2, . . 𝑙
𝑇𝑅
= Suhu penyimpanan pada retail (K)
𝑇𝐸𝑖
= Suhu ideal penyimpanan produk 𝑖
𝑇𝐸𝑖𝐿
= Batas suhu minimum yang direkomendasikan untuk produk 𝑖
𝑇𝐸𝑖𝐻
= Batas suhu maksimum yang direkomenasikan untuk produk 𝑖
𝜎
= Laju penurunan kualitas
52
𝑘𝐴
= Kontanta penurunan kualitas
𝐸𝐴
= Energi aktivasi reaksi yang mengontrol loss kualitas
𝑅
= Konstanta gas ideal
𝑡
= Durasi penyimpanan (0, 𝑇)
𝑞
= Level kualitas produk yang tersisa
𝑞0
= Kualitas awal produk (ditentukan bernilai 1)
𝑇
= Panjang periode penjualan normal
𝜌𝑇𝑅
= COP atau rasio koefisien kinerja pada suhu penyimpanan 𝑇𝑅 dibandingkan suhu ideal 𝑇𝐸𝑖
𝑝
= Harga jual produk di awal periode
𝜃
= Diskon harga (0 < 𝜃 < 1)
𝑇𝑚
= Waktu mulai berlakunya penurunan harga yakni ketika diskon harga sebesar 𝜃 diterapkan
𝐸𝐷𝑛𝑖 = Expected Demand yakni prediksi permintaan produk 𝑖 pada waktu penjualan 𝑛 𝐷0𝑖
= Parameter permintaan bernilai non-negatif dan bergantung pada besarnya pasar
𝛼
= Koefisien non-negatif yang mewakili sensitivitas permintaan terhadap harga
𝛽
= Koefisien non-negatif yang mewakili sensitivitas permintaan terhadap kualitas
𝑄𝑖
= Jumlah produk 𝑖 yang harus dipesan
𝐴𝑖
= Jumlah produk 𝑖 yang harus diletakkan pada display berpendingin
𝑆𝑖
= Ruang yang dibutuhkan per unit produk 𝑖
𝐴𝐶
= Biaya tambahan penggunaan ruang untuk per unit produk
𝑈𝐶𝑖
= Harga beli per unit produk 𝑖
𝐻𝐶𝑖
= Biaya penyimpanan per unit produk 𝑖
𝐶𝑜
= Biaya operasional per unit
𝐶𝑝
= Biaya administratif yang timbul akibat penurunan harga
53
𝑂𝐶
= Biaya pemesanan
𝑊
= Kapasitas ruang display berpendingin
𝐹𝑖
= Keuntungan per unit produk 𝑖 per satuan waktu
𝐿𝑖
= Jumlah minimum produk 𝑖 yang harus dipajang
𝑈𝑖
= Jumlah maksimum produk 𝑖 yang harus dipajang
4.3.2 Model usulan alokasi ruang display
Pada penelitian Bai dan Kendall (2008), model yang dibangun belum mempertimbangkan penggunaan fasilitas berpendingin. Kesegaran atau kualitas yang dipertimbangkan dalam modelnya merupakan fungsi eksponensial terhadap waktu, dan telah ditentukan terlebih dahulu tingkat kerusakannya (decay rate). Sementara pada penelitian ini, tingkat penurunan kualitas ditentukan berdasarkan formulasi yang dikembangkan oleh Wang dan Li (2012) dari persamaan kinetik Arrhenius yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Labuza (1984). Pada formulasi tersebut, laju penurunan kualitas telah memperhitungkan waktu dan suhu. Hal ini sesuai dengan fokus amatan penelitian yang ingin mengobservasi praktik penjualan bahan makanan segar (buah dan sayur) pada retailer seperti Giant, Hypermart, Superindo, dsb, yang menggunakan fasilitas rak berpendingin dalam menyimpan (display) produknya. Produk makanan perishable terutama makanan segar dalam penelitian ini adalah buah dan sayur mengalami penurunan kualitas seiring dengan berjalannya waktu. Penurunan kualitas ini diperngaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor internal berupa proses metabolisme alamiah dari produk yang mengakibatkan pematangan secara terus menerus hingga busuk, dan faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban. Pada retail, penggunaan fasilitas berpendingin digunakan untuk menyimpan produk makanan segar dengan tujuan memperlambat laju penuruan kualitas produk. Pengaturan suhu yang tepat diperlukan dalam menjaga kualitas makanan (Xue dkk., 2014). Suhu yang digunakan dalam ruang rak berpendingin
54
diatur dengan mempertimbangkan suhu referensi optimum dari masing-masing produk yang direkomendasikan oleh USDA (2008). Terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertimbangan dalam penelitian dan disesuaikan dengan praktek di retailer sendiri. Yang pertama ialah siklus replenishment vendor dalam memenuhi permintaan retailer bersifat rutin. Yang kedua ialah periode penjualan normal ditentukan berdasarkan informasi yang ada pada label makanan, yang mana masing-masing produk memiliki periode penjualan yang berbeda. Pada penelitian ini jumlah yang dipesan dari suatu produk tidak semuanya diletakkan pada display. Bila jumlah yang dipesan dari suatu produk melebihi batas atas ruang yang ditetapkan maka jumlah yang dipajang akan sama dengan batas atas ruang rak dan sisanya akan diletakkan pada ruang penyimpanan dengan suhu referensi penyimpanan diatur sama dengan suhu referensi penyimpanan pada rak display. Diasumsikan rak display akan selalu penuh sebelum persediaan habis atau sebelum periode penjualan berakhir. Pada penelitian ini dilakukan berbagai percobaan dengan sejumlah set paramater untuk memperoleh nilai keuntungan yang maksimal. Tahapan perhitungan numerik adalah sebagai berikut: 1. Menentukanan suhu referensi penyimpanan 𝑇𝑅 . 2. Menghitung nilai rasio 𝐶𝑂𝑃 antara suhu referensi penyimpanan dengan suhu penyimpanan ideal masing-masing produk. 3. Menghitung laju penurunan kualitas (𝜎), kualitas yang teridentifikasi (𝑞(𝑡) ) dan sisa umur produk akibat perbedaan suhu penyimpanan. 4. Menghitung besar nilai diskon masing-masing produk berdasarkan waktu mulai penurunan harga dan laju penurunan kualitasnya. 5. Mencari jumlah yang harus dipesan dan dipajang, serta keuntungan berdasaran set paramater yang digunakan. Adapun alur pengerjaan penelitian yang dilakukan terangkum pada Gambar 4.5
55
Mulai Menentukan suhu penyimpanan produk
Menghitung umur hidup produk akibat perbedaan suhu untuk produk 𝑖
Menghitung rasio 𝐶𝑂𝑃
𝜌
T
Menghitung laju penurunan kualitas dan kualitas produk yang tersisa akibat perbedaan suhu untuk produk 𝑖 𝑞 dan 𝜎
Menghitung kebijakan penurunan harga
𝜃
Menghitung jumlah produk 𝑖 yang harus dipesan dengan mempertimbangkan kapasitas rak penyimpanan 𝑄
Melakukan percobaan numerik
Selesai
Gambar 4.5 Diagram Alir Metode Perhitungan Percobaan Penelitian
56
Suhu yang digunakan di retailer dilambangkan dengan 𝑇𝑅 sementara suhu ideal yang direkomendasikan untuk produk 𝑖 adalah 𝑇𝐸𝑖 . Batas suhu minimal yang direkomendasikan untuk produk 𝑖 adalah 𝑇𝐸𝑖𝐿 dan batas suhu maksimal yang direkomendasikan untuk produk 𝑖 adalah 𝑇𝐸𝑖𝐻 . Pada keadaan ideal, suhu yang digunakan untuk penyimpanan produk harusnya sesuai dengan batasan yang direkomendasikan tersebut. Namun, hal tersebut mengakibatkan biaya energi terkait aktivitas penyimpanan menjadi besar bila tiap produk yang memiliki batasan suhu yang berbeda disimpan secara terpisah. Oleh sebab itu, dibutuhkan satu nilai suhu yang merpresentasikan suhu yang direkomendasikan untuk tiap produk. Nilai tersebut ditentukan dengan rumus sebagai berikut: 𝑇𝐸𝑖 =
𝑇𝐸𝑖𝐿 +𝑇𝐸𝑖𝐻
(4.40)
2
Apabila nilai 𝑇𝑅 dan 𝑇𝐸𝑖 adalah sama maka tidak ada kejadian loss kualitas, namun keberagaman suhu standar penyimpanan produk memungkinkan terjadinya loss kualitas yang berakibat pada kerugian finansial. Kerugian akibat perbedaan suhu ini dimasukkan dalam perhitungan penurunan harga untuk masing-masing produk amatan. Nilai 𝑇𝑅 dan 𝑇𝐸𝑖 selanjutnya digunakan untuk menghitung rasio COP produk dengan suhu yang berbeda: 𝐶𝑂𝑃𝑐𝑜𝑜𝑙𝑖𝑛𝑔 = 𝜌 𝑇𝑅 =
𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
(4.43)
𝑇ℎ𝑜𝑡 −𝑇𝑐𝑜𝑙𝑑
𝐶𝑂𝑃𝑇𝐸𝑖
(4.44)
𝐶𝑂𝑃𝑇𝑅
Perhitungan laju penurunan kualitas berdasarkan penelitian Wang dan Li (2012) dan Zanoni dan Zavanella (2012) yang dikembangkan dari penelitian Labuza (1984): 𝜎 = 𝑘𝐴 𝑒
−[
𝐸𝐴 ] 𝑅𝑇𝑅 (𝑡ℎ )
(4.41)
Obyek amatan pada penilitian ini adalah produk buah dan sayur. Dalam penelitian Tsiros dan Heilman (2005) mengenai persepsi dan perilaku konsumen terhadap bahan makanan perishable ditemukan bahwa kesediaan konsumen untuk membayar (willingness to pay) suatu produk akan menurun secara linier terhadap produk dengan resiko kualitas yang relatif rendah, seperti selada, wortel, susu, yogurt, dan lain-lain, dan akan menurun secara eksponensial terhadap produk
57
dengan resiko kualitas yang relatif tinggi, seperti daging, ayam, ikan dan lain sebagainya. Kedua kategori produk tersebut masing-masing berhubungan dengan penurunan kualitas linier untuk reaksi orde nol, dan penurunan kualitas eksponensial untuk reaksi orde pertama. Sehingga pada penelitian ini persamaan laju penurunan kualitas yang akan digunakan adalah: 𝑞(𝑡) = 𝑞0 − ∑𝑚 ℎ=1 𝜎ℎ 𝑡ℎ
(4.42)
Hasil perhitungan tingkat kualitas tersebut dapat digunakan sebagai dasar keputusan dalam menentukan kelompok produk. Masing-masing produk memiliki kebutuhan akansuhu ideal penyimpan, selisih antara suhu ideal penyimpanan dengan suhu standar pada fasilitas berpendingin dapat mempengaruhi penurunan kualitas dari produk itu sendiri. Oleh sebab itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai perubahan kualitas dan rasio COP untuk menentukan keputusan penyimpanan.Keputusan penyimpanan ini juga akan mempengaruhi penetapan harga diskon terkait penurununan kualitas. Umumnya konsumen rumah tangga cenderung sensitif terhadap harga produk. Tidak hanya itu, konsumen juga cenderung memilih produk makanan segar yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan produk makanan segar berkolerasi negatif dengan harga produk dan berkolerasi positif terhadap kualitas. Sehingga fungsi permintaan yang mempertimbangkan harga dan kualitas diperoleh berdasarkan penelitian Wang dan Li (2012): 𝑓(𝐷𝑡) = 𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽𝑞(𝑡)
(4.45)
Kualitas yang dipertimbangkan mengalami penurunan mulai dari kualitas awal sepanjang periode penjualan dari waktu ke waktu, sehingga fungsi permintaan menjadi: 𝑓(𝐷𝑡) = 𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽(𝑞0 − ∑𝑚 ℎ=1 𝜎ℎ 𝑡ℎ )
(4.46)
Dengan 𝑝(𝑡) adalah harga yang ditetapkan pada periode𝑡, permintaan yang diharapkan (ED) sepanjang periode penjualan (0, 𝑇)adalah: 𝑇
𝐸𝐷 = ∫0 𝑓(𝐷𝑡)𝑑𝑡 𝑇
= ∫0 (𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽(𝑞0 − ∑𝑚 ℎ=1 𝜎ℎ 𝑡ℎ )) 𝑑𝑡 = (𝐷0 − 𝛼𝑝(𝑡) + 𝛽𝑞0 )𝑇 −
𝛽𝜎 2
𝑇2
(4.47)
58
Terdapat beberapa biaya yang dipertimbangkan dalam penelitian ini, yang terbagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap yang dimaksud dalam hal ini ialah biaya pemesanan (𝑂𝐶) yang tidak terpengaruh oleh besarnya jumlah pesanan. Sementara itu, untuk biaya tidak tetap yang dimaksud ialah biaya yang terpengaruh oleh besarnya jumlah pesanan diantaranya adalah biaya pembelian produk (𝑈𝐶), biaya penyimpanan (𝐻𝐶), biaya operasional (𝐶𝑜 ), biaya penurunan harga (𝐶𝑝 ), dan biaya penggunaan ruang (𝐴𝐶). Pada penelitian ini, biaya penyimpanan produk dikembangkan berdasarkan penelitian Zanoni dan Zavanella (2012). Penggunaan fasilitas display berpendingin menyebabkan penyimpanan produk membutuhkan energi, dimana energi ini oleh Zanoni dan Zavanella dikonversikan dalam bentuk biaya energi. Sehingga biaya energi dijadikan sebagai komponen tambahan dalam biaya penyimpanan, dimana nilainya: 𝑄 2
𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇
(4.48)
dengan demikian keuntunganuntuk tiap produk ialah: 𝑙
𝐹𝑖 = 𝑝𝑖 𝐸𝐷0 + ∑
𝑙
𝑝𝑛𝑖 𝐸𝐷𝑛𝑖 − (𝑄𝑖 − 𝐸𝐷0𝑖 )𝐶𝑝 − … − (𝑄𝑖 − ∑
𝑛=1
𝐸𝐷𝑛−1𝑖 ) 𝐶𝑝
𝑛=1
1 − 𝑄𝑖 (𝑈𝐶𝑖 + 𝐶𝑜 + 𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇𝐼 ) − 𝐴𝑖 𝐴𝐶𝑖 𝑆𝑖 − 𝑂𝐶𝑖 2 (4.49) Pada penelitian Wang dan Li (2012) terdapat dua kebijakan penurunan harga, yakni penurunan harga tunggal dan penurunan harga multi. Pada penurunan harga tunggal, penjualan berlangsung dalam dua sub periode, yakni periode sebelum dilakukan penurunan harga (menggunakan harga jual awal) dan periode setelah diterapkannya penurunan harga. Sebagai hasilnya terdapat dua tetapan harga selama periode penjualan: 𝑝(𝑡) = {
𝑝 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇𝑚 𝑝(1 − 𝜃)𝑇𝑚 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇
(4.50)
Penetapan harga yang berbeda tersebut berdampak pada jumlah permintaan, maka fungsi permintaan menjadi: 𝑇
𝑇
𝐸𝐷 = ∫0 𝑚 𝑓(𝐷)𝑑𝑡 + ∫𝑇 𝑓𝑑 (𝐷)𝑑𝑡
(4.51)
𝑚
59
Dimana fungsi 𝑓 menunjukkan fungsi permintaan pada harga normal (𝐸𝐷0 ) dan 𝑓𝑑 menunjukkan
fungsi
permintaan
pada
harga
(𝐸𝐷1 ).
diskon
Dengan
mensubstitusikan persamaan 4.47 ke dalam 4.51, diperoleh: 𝐸𝐷0 = (𝐷0 − 𝛼𝑝0 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚 −
𝛽𝜎 2
𝑇𝑚2 𝛽𝜎
𝐸𝐷1 = (𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚 ) − ( 2 (𝑇 2 − 𝑇𝑚2 )) 𝐸𝐷 = 𝐸𝐷0 + 𝐸𝐷1 = [(𝐷0 − 𝛼𝑝0 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ] 2 𝑚
+ [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚 ) − (
𝛽𝜎 2 (𝑇 − 𝑇𝑚2 ))] 2 (4.52)
dengan 𝑝1 = 𝑝(1 − 𝜃), persamaan 4.52 disubstitusikan dalam persamaan 4.49, diperoleh persamaan keuntungan untuk single price markdown adalah sebagai berikut: 𝐹 𝑇 = 𝑝((𝐷0 − 𝛼𝑝0 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ) 2 𝑚
+ 𝑝(1 − 𝜃)((𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚 ) −(
𝛽𝜎 2 𝛽𝜎 2 (𝑇 − 𝑇𝑚2 ))) − (𝑄 − ((𝐷0 − 𝛼𝑝0 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚 − 𝑇 )) 𝐶𝑝 2 2 𝑚
1 − 𝑄 (𝑈𝐶 + 𝐶0 + 𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇) − 𝐴 × 𝐴𝐶 × 𝑆 − 𝑂𝐶 2 (4.53) Persamaan 4.52 selanjutnya diturunkan terhadap sebanyak dua kali sehingga: 𝜕𝛱 𝑇 = 2𝛼𝑝2 𝑇 − 2𝛼𝑝2 𝑇𝑚 − 𝑝𝐷0 𝑇 − 2𝛼𝑝2 𝜃𝑇 − 𝑝𝛽𝑞𝑇 + 𝑝𝐷0 𝑇𝑚 + 2𝛼𝑝2 𝜃𝑇𝑚 𝜕𝜃 𝑇2 𝑇𝑚 2 + 𝑝𝛽𝑞𝑇𝑚 + 𝑝𝛽𝜎 − 𝑝𝛽𝜎 2 2 𝜕 2 𝛱𝑇 = −2𝛼𝑝2 (𝑇 − 𝑇𝑚 ) 𝜕 2𝜃 dengan 𝑇 > 𝑇𝑚 dan
𝜕2 𝛱 𝑇 𝜕2 𝜃
<0
(4.54)
60
Penurunan sebanyak dua kali terhadap fungsi keuntungan dilakukan untuk membuktikan kecembungan fungsi sehingga sesuai dengan tujuan pemodelan yang mencari keuntungan yang optimal. Jadi besar diskon optimal untuk penurunan harga tunggal dapat dihitung dengan rumus berikut: 𝜃 ∗ = 1 − [(𝐷0 + 𝛽𝑞) + ((𝛽𝜎(𝑇 + 𝑇𝑚 ))/2)] /4𝛼𝑝
(4.55)
Subject to: 𝐸𝐷 = [(𝐷0 − 𝛼𝑝0 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ] 2 𝑚
+ [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚 ) − (
𝛽𝜎 2 (𝑇 − 𝑇𝑚2 ))] ≤ 𝑄 2
0 < 𝑝(1 − 𝜃 ∗ ) < 𝑝 Seringkali pada praktiknya, banyak dari retailer yang mengadakan pemberian diskon lebih dari satu kali untuk produk yang sama. Hal ini terkait dengan keputusan manajerial dalam mengevaluasi penjualan setelah diadakannya diskon. Dalam penelitian ini mengingat produk yang diamati merupakan bahan makanan segar, percobaan kebijakan penurunan harga dibatasi sebanyak dua kali. Penurunan harga sebanyak dua kali dalam satu periode penjualan mempengaruhi jumlah permintaan, dan menyebabkan periode penjualan terbagi menjadi tiga bagian dengan harga jual masing-masing sebagai berikut: 𝑝 0 ≤ 𝑡 < 𝑇𝑚1 𝑝(𝑡) = {𝑝(1 − 𝜃1 )𝑇𝑚1 ≤ 𝑡 < 𝑇𝑚2 𝑝(1 − 𝜃2 ) 𝑇𝑚2 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇
(4.56)
dengan (0, 𝑇𝑚1 ) adalah interval waktu penjualan dengan harga normal 𝑝, (𝑇𝑚1 , 𝑇𝑚2 ) adalah interval waktu penjualan dengan harga jual yang diturunkan satu kali dengan besar diskon 𝜃1 , dan (𝑇𝑚2 , 𝑇) adalah interval waku penjualan dengan harga jual yang diturunkan dua kali dengan besar diskon 𝜃2 , dimana 0 < 𝜃1 < 𝜃2 < 1, sehingga fungsi permintaan menjadi: 𝑇
𝑇
𝑇
𝑚1
𝑚2
𝐸𝐷 = ∫0 𝑚1 𝑓(𝐷𝑡 )𝑑𝑡 + ∫𝑇 𝑚2 𝑓𝑑1 (𝐷𝑡 )𝑑𝑡 + ∫𝑇 = 𝐸𝐷0 + 𝐸𝐷1 + 𝐸𝐷2
𝑓𝑑2 (𝐷𝑡 )𝑑𝑡 (4.57)
61
dimana 𝑓(𝐷𝑡 ), 𝑓𝑑1 (𝐷𝑡 ), dan 𝑓𝑑2 (𝐷𝑡 ) masing-masing adalah fungsi permintaan pada waktu penjualan normal, selama penurunan harga pertama, dan selama penurunan harga kedua. Perkiraan permintaan yang diperoleh menjadi: 𝐸𝐷0 = (𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚1 −
𝛽𝜎 2
2 𝑇𝑚1
𝐸𝐷1 = (𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1 ) − 𝐸𝐷2 = (𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃2 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚2 ) −
𝛽𝜎
𝛽𝜎 2
2
2 2 ) (𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1
2 ) (𝑇 2 − 𝑇𝑚2
𝐸𝐷 = 𝐸𝐷0 + 𝐸𝐷1 + 𝐸𝐷2 = [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚1 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ] 2 𝑚1
𝛽𝜎 2 2 )] (𝑇 − 𝑇𝑚1 2 𝑚2 𝛽𝜎 2 2 )] (𝑇 − 𝑇𝑚2 + [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃2 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚2 ) − 2 + [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1 ) −
(4.58) Persamaan 4.58 selanjutnya disubstitusikan ke dalam persamaan 4.49, sehingga diperoleh persamaan keuntungan: 𝐹 𝑇 2 = 𝑝(1 − 𝜃2 ) (−(𝑇𝑚2 − 𝑇)(𝐷0 − 𝛼𝑝(𝜃2 − 1) + 𝛽𝜎) +
𝛽𝜎 2 2 )) (𝑇 − 𝑇𝑚2 2
+ 𝑝(1 − 𝜃1 ) ((𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1 )
−
𝛽𝜎 2 2 )) (𝑇 − 𝑇𝑚1 2 𝑚2
+ (𝑝 − 𝐶𝑝 ) ((𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚1 −
− 𝐶𝑝 [𝑄 − ((𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚1 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ) 2 𝑚1
𝛽𝜎 2 𝑇 ) 2 𝑚1
− ((𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1 ) −
𝛽𝜎 2 2 ))] (𝑇 − 𝑇𝑚1 2 𝑚2
1 − 𝑄 (𝑈𝐶 + 𝐶0 + 𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇) − 𝐴 × 𝐴𝐶 × 𝑆 − 𝑂𝐶 2 (4.59)
62
Persamaan 4.59 kemudian diturunkan sebanyak dua kali terhadap 𝜃2 untuk membuktikan kecembungan dari fungsi keuntungan agar sesuai dengan tujuan dari penelitian yakni untuk memperoleh keuntungan yang optimal. 𝜕Π2 = 2𝛼𝑝2 𝑇 − 2𝛼𝑝2 𝑇𝑚2 + 𝑝𝐷0 𝑇𝑚2 + 2𝛼𝑝2 𝜃2 𝑇𝑚2 + 𝑝𝛽𝑞𝑇𝑚2 − 𝑝𝐷0 𝑇 𝜕𝜃2 − 2𝛼𝑝2 𝜃2 𝑇 − 𝑝𝛽𝑞𝑇 + 𝑝𝛽𝜎 𝜕 2 Π2 𝜕2 𝜃2
𝑇𝑚2 2 𝑇2 − 𝑝𝛽𝜎 2 2
= −2𝛼𝑝2 (𝑇 − 𝑇𝑚2 )
dengan 𝑇 > 𝑇𝑚 dan
𝜕2 𝛱 𝑇 𝜕2 𝜃
<0
(4.60)
Jadi besar diskon optimal kedua untuk double price markdwon dapat dihitung dengan rumus berikut: 𝜃2∗ = 1 − [(𝐷0 + 𝛽𝑞) − ((𝛽𝜎(𝑇𝑚2 + 𝑇))/2)] /4𝛼𝑝
(4.61)
dan untuk besarnya diskon pertama pada double price markdown adalah: 𝜃1∗ = 1 − [(𝐷0 + 𝛽𝑞 + 𝐶𝑝 𝛼) + ((𝛽𝜎(𝑇𝑚2 + 𝑇𝑚1 ))/2)] /4𝛼𝑝
(4.62)
Subject to: 𝐸𝐷 = [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛽𝑞0 )𝑇𝑚1 −
𝛽𝜎 2 𝑇 ] 2 𝑚1
𝛽𝜎 2 2 )] (𝑇 − 𝑇𝑚1 2 𝑚2 𝛽𝜎 2 2 )] (𝑇 − 𝑇𝑚2 + [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃2 + 𝛽𝑞0 )(𝑇 − 𝑇𝑚2 ) − ≤𝑄 2 + [(𝐷0 − 𝛼𝑝 + 𝛼𝑝𝜃1 + 𝛽𝑞0 )(𝑇𝑚2 − 𝑇𝑚1 ) −
0 < 𝑝(1 − 𝜃2 ∗ ) < 𝑝(1 − 𝜃1 ∗ ) < 𝑝 Fungsi tujuan dari penelitian ini adalah memaksimalkan total keuntungan per unit waktu di sisi retailer. Seperti yang disebutkan sebelumnya, keuntungan diperoleh merupakan hasil pengurangan dari total pendapatan dikurangi total biaya selama penjualan tidak termasuk biaya transportasi dan distribusi. Keuntungan per unit waktu tiap produk 𝑖 dapat dicari dengan persamaan berikut: 𝐹𝑖 =
𝑙 1 [𝑝𝑖 𝐸𝐷0 + ∑ 𝑝𝑛𝑖 𝐸𝐷𝑛𝑖 − (𝑄𝑖 − 𝐸𝐷0𝑖 )𝐶𝑝 − … 𝑇𝑖 𝑛=1 𝑙
− (𝑄𝑖 − ∑
1 𝐸𝐷𝑛−1𝑖 ) 𝐶𝑝 − 𝑄𝑖 (𝑈𝐶𝑖 + 𝐶𝑜 + 𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇𝐼 ) 2 𝑛=1
− 𝐴𝑖 𝐴𝐶𝑖 𝑆𝑖 − 𝑂𝐶𝑖 ] 63
(4.63) Sehingga, fungsi tujuan dari penelitian ini menjadi: max ∑𝑙𝑖=1 𝐹𝑖
(4.64)
Subject to ∑𝑘𝑖=1 𝐴𝑖 𝑆𝑖 ≤ 𝑊
(4.65)
𝐿𝑖 ≤ 𝐴𝑖 ≤ 𝑈𝑖
(4.66)
∑𝑙𝑛=0 𝐸𝐷𝑛𝑖 ≤ 𝑄𝑖
(4.67)
𝑄𝑖 ≥ 0𝑖 = 1,2,3, … , 𝑘
(4.68)
Kendala (4.65) menjamin bahwa ruang yang digunakan tidak melebihi kapasitas ruang rak. Kendala (4.66) menjamin bahwa jumlah produk yang dipajang tidak kurang dari batas bawah dan tidak melebihi batas atas. Kendala (4.67) dan (4.68) menjamin bahwa total permintaan tidak melebihi jumlah yang dipesan, dengan kata lain semua permintaan pelanggan dapat terpenuhi dan jumlah pesanan lebih besar sama dengan 0. Bila diterapkan penurunan sebanyak satu kali dengan 𝑝1 = 𝑝(1 − 𝜃), maka persamaan 4.63 menjadi: 1
𝐹𝑖 = 𝑇 [𝑝𝑖 𝐸𝐷0𝑖 + 𝑝𝑖 (1 − 𝜃)𝐸𝐷1𝑖 − (𝑄𝑖 − 𝐸𝐷0𝑖 )𝐶𝑝 − 𝑄𝑖 (𝑈𝐶𝑖 + 𝐶0 + 𝑖
1 2
𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇) − 𝐴𝑖 𝐴𝐶𝑖 𝑆𝑖 − 𝑂𝐶𝑖 ]
(4.69)
kemudian kendala 4.67 menjadi: 𝐸𝐷0𝑖 + 𝐸𝐷1𝑖 ≤ 𝑄
(4.70)
Bila diterapkan sebanyak dua kali penurunan dengan 𝑝1 = 𝑝(1 − 𝜃1 ) dan 𝑝2 = 𝑝(1 − 𝜃2 ), dimana 0 < 𝜃1 < 𝜃2 < 1, persamaan 4.63 menjadi: 𝐹𝑖 =
1 [𝑝 𝐸𝐷 + 𝑝𝑖 (1 − 𝜃1 )𝐸𝐷1𝑖 + 𝑝𝑖 (1 − 𝜃2 )𝐸𝐷2𝑖 − (𝑄𝑖 − 𝐸𝐷0𝑖 )𝐶𝑝 𝑇𝑖 𝑖 0𝑖 1 − (𝑄𝑖 − 𝐸𝐷0𝑖 − 𝐸𝐷1𝑖 )𝐶𝑝 − 𝑄𝑖 (𝑈𝐶𝑖 + 𝐶0 + 𝐻𝐶𝜌𝑇𝑅 𝑇) − 𝐴𝑖 𝐴𝐶𝑖 𝑆𝑖 2 − 𝑂𝐶𝑖 ] (4.71)
kemudian kendala 4.67 menjadi: 𝐸𝐷0𝑖 + 𝐸𝐷1𝑖 + 𝐸𝐷2𝑖 ≤ 𝑄
(4.72)
64
4.4 Rancangan Skenario Percobaan Numerik
Pada penelitian ini suhu penyimpanan referensi menjadi variabel keputusan, sehingga terdapat tiga set suhu yang digunakan untuk mengetahui suhu mana yang memberikan nilai keuntungan tersbesar. Selain suhu, beberapa parameter juga ditetakan sejak awal yakni besarnya diskon dan waktu mulai penjualan. Besarnya diskon ini nantinya akan dibandingkan antara yang ditetapkan sejak awal (seragam) dengan yang dihitung berdasarkan formulasi usulan pada penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebijakan penurunan harga yang tepat dengan mencoba berbagai kemungkinan dalam bentuk rancangan skenario. Rancangan skenario penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rincian Percobaan Numerik dan Parameter No
Rancangan Percobaan Numerik
1
Penurunan Harga Seragam
2 3
Penyimpanan Suhu Rendah
4
5
7
Penyimpanan Suhu Sedang
8
9
11
12
Penurunan Harga Sesuai Kualitas
Penyimpanan Suhu Tinggi
𝑛=2
𝑛=1 𝑛=2 𝑛=1
Penurunan Harga Sesuai Kualitas
Penurunan Harga Seragam
10
𝑛=2 𝑛=1
Penurunan Harga Seragam
6
𝑛=1
𝑛=2
𝑛=1 𝑛=2 𝑛=1
Penurunan Harga Sesuai Kualitas
𝑛=2
Tujuan Untuk mengetahui pengaruh suhu rendah terhadap komposisi jumlah pesanan, alokasi ruang dan keuntungan Untuk mengetahui pengaruh suhu sedang terhadap komposisi jumlah pesanan, alokasi ruang dan keuntungan Untuk mengetahui pengaruh suhu tinggi terhadap komposisi jumlah pesanan, alokasi ruang dan keuntungan
65
Variabel Keputusan 𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚 ∗ ; 𝜃 𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗ ; 𝜃1 ; 𝜃2
Hasil 𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃∗
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃1 ∗ ; 𝜃2 ∗
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚 ∗ ; 𝜃 𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗ ; 𝜃1 ; 𝜃2
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚
∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃∗
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃1 ∗ ; 𝜃2 ∗
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚 ∗ ; 𝜃 𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗ ; 𝜃1 ; 𝜃2
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃∗
𝑇𝑅 ; 𝑇𝑚1 ∗ ; 𝑇𝑚2 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖 ; 𝜃1 ∗ ; 𝜃2 ∗
𝜌; 𝜎; 𝑄𝑖 ; 𝐴𝑖 ; 𝐹𝑖
(halaman ini sengaja dikosongkan)
66
BAB 5 PERCOBAAN NUMERIK
5.1 Data Numerik
Pada percobaan numerik ini diasumsikan produk yang dijual pada retail telah dikemas dengan ukuran 100 gram tiap packnya (per unit), dimana tiap kemasan memiliki bentuk yang berbeda disesuaikan dengan produk. Fasilitas display berpendingin yang digunakan memiliki kapasitas 4,878 𝑚2 , dengan interval set suhu antara 2oC hingga 8oC. Diasumsikan suhu yang diterima produk sama dengan set suhu fasilitas (suhu referensi), artinya pengaruh dari suhu lingkungan dan posisi produk dalam fasilitas diabaikan. Data yang digunakan merupakan hasil generate yang disesuaikan dengan kondisi nyata. Terdapat beberapa parameter inisial yang digunakan untuk menghitung total keuntungan per unit waktu yang diperoleh oleh retailer dan terangkum pada Tabel 5.1 hingga Tabel 5.4, terbagi dalam beberapa aspek diantaranya: 1. Aspek atribut produk
Tabel 5.1. Waktu Inisial Penyimpanan, Ruang yang Dibutuhkan dan Permintaan Inisial 𝑺𝒊 𝑫𝟎 Item 𝑻 (𝒋𝒂𝒎) 2 (unit) (𝒎 /unit) 1 54 0,028 4 2 47 0,025 3 3 42 0,06 1 4 51 0,03125 3 5 40 0,05 1 6 37 0,0315 5 7 61 0,0312 6 8 55 0,0415 5 9 63 0,0275 6 10 46 0,0398 5 Masing-masing produk diasumsikan memiliki nilai 𝐿𝑖 = 1 dan 𝑈𝑖 = 13.
67
2. Aspek suhu penyimpanan produk yang direkomendasikan
Tabel 5.2 Suhu Penyimpanan Standar Produk (dalam Kelvin) Item
𝑻𝑬𝒊𝑳
𝑻𝑬𝒊𝑯
𝑻𝑬𝒊
1
273,15
274,25
273,7
2
273,15
274,25
273,7
3
277,65
280,65
279,15
4
277,55
286,15
281,85
5
273,15
274,25
273,7
6
277,65
280,65
279,15
7
273,15
274,65
273,9
8
275,65
278,15
276,9
9
275,65
278,15
276,9
10
273,15
274,65
273,9
Tabel 5.3 Energi Aktivasi Menurut Suhu Temperatur (K) Energi Aktivasi (J/unit) 250-259
10000
260-269
9000
270-279
8000
280-289
7000
290-299
6000
68
3. Aspek penurunan kualitas a. 𝑘𝐴 , konstanta penurunan kualitas diasumsikan 0,698 untuk seluruh produk. b. 𝐸𝐴 , energi aktivasi reaksi yang besarnya berbeda menurut suhu penyimpanan seperti pada Tabel 5.3. c. 𝑅, konstanta gas ideal 8,3214 J/unit K. 4. Aspek harga jual awal dan biaya yang terlibat
Tabel 5.4 Harga Jual Awal Produk dan Biaya yang Terlibat Item
𝒑
𝑨𝑪
𝑼𝑪
𝑪𝒐
𝑯𝑪
𝑪𝒑
(£/unit) (£/unit) (£/unit) (£/unit) (£/unit/jam) (£/unit)
𝑶𝑪 (£)
1
1,49
0,00015
0,6
0,0075
0,0015
0,0005
0,05
2
1,3
0,00015
0,5
0,0075
0,0012
0,0005
0,06
3
0,8
0,00015
0,5
0,0075
0,0008
0,0005
0,018
4
1,25
0,00015
0,45
0,0075
0,0011
0,0005
0,09
5
0,83
0,00015
0,305
0,0075
0,00082
0,0005
0,018
6
1,94
0,00015
0,73
0,0075
0,00016
0,0005
0,061
7
1,96
0,00015
0,75
0,0075
0,000168
0,0005
0,05
8
1,75
0,00015
0,575
0,0075
0,00013
0,0005
0,0432
9
1,94
0,00015
0,7
0,0075
0,00016
0,0005
0,063
10
1,85
0,00015
0,53
0,0075
0,00015
0,0005
0,045
5. Aspek sensitivitas permintaan a. 𝛼 = 3,68 b. 𝛽 = 3,68
69
5.2 Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk menjamin model yang dikembangkan pada penelitian ini sudah tepat. Pada penelitian ini
model usulan yang
dikembangkan ialah model kebijakan penurunan harga yang diadaptasi dari penelitian Wang dan Li (2012), yang mana model kebijakan penurunan harga ini dijadikan sebagai salah satu parameter input untuk mencari jumlah pesanan yang optimal dengan mempertimbangkan kualitas produk yang teridentifikasi dan strategi harga yang ditetapkan. Maka, validasi model kebijakan penurunan dilakukan dengan menggunakan data yang sama dengan penelitian Wang dan Li (2012). Nilai yang dicari dari validasi model ini ialah nilai diskon optimum pada penurunan harga satu kali (single price markdown). Data yang digunakan pada penelitian Wang dan Li (2012) ialah data produk sayur seperti pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Perhitungan dengan Strategi Single Price Markdown pada Sayuran Input Parameter Store
Output parameter
D0
p
Co
Cp
Q
T
Tm
q
1
7,92
4,86
4,86
1,49
0,0216
1
0,05
280
72
48
0,9
37,00%
2
6,73
4,13
4,13
240
0,92
36,80%
3
10,3
6,32
6,32
360
0,83
37,60%
4
6,34
3,89
3,89
220
0,85
37,40%
Sumber: Wang dan Li (2012) Nilai 𝜃 ∗ pada penelitian Wang dan Li (2012) untuk masing-masing store akan dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan (4.53). Selanjutnya akan dicari nilai validasinya antara hasil perhitungan dengan hasil penelitian. Validasi model dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2007 untuk mempermudah perhitungan dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.1.
70
Tabel 5.6 Hasil Validasi Model Single Price Markdown Store
Selisih Nilai
Hasil Validasi
Data Wang dan Li Penelitian Ini 1
37,00%
35,81%
1,19%
96,79%
2
36,80%
35,48%
1,32%
96,41%
3
37,60%
36,98%
0,62%
98,36%
4
37,40%
36,65%
0,75%
97,99%
38.00% 37.00% 36.00%
Data Jurnal
35.00%
Uji Validasi
34.00% 1
2
3
4
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Dikson Optimal Single Price Markdwon
Dari Tabel 5.6 terlihat bahwa nilai diskon optimal yang diberikan oleh persamaan (4.53) lebih kecil dari data Wang dan Li (2012). Pada store 1, nilai optimal diskon yang diberikan sebesar 35,81% lebih kecil 1,19% dari data asli. Kemudian untuk store 4, nilai diskon optimal sebesar 36,65% lebih kecil 0,75% dari data asli. Perbedaan tersebut disebabkan oleh penggunaan rumus yang berbeda dimana pada penelitian Wang dan Li (2012) dalam mencari nilai diskon komponen rumusnya masih menggunakan reaksi orde satu (eksponensial) untuk produk sayur. Hal ini dirasa kurang tepat mengingat sayur termasuk ke dalam kelompok produk dengan resiko rendah (Tsiros dan Heilman, 2005). Meksipun nilai yang diberikan oleh persamaan (4.53) lebih kecil dibandingkan data Wang dan Li (2012), akan tetapi kemiripan nilainya melebihi 95%. Di samping itu, dari Gambar 5.1 kemiripan nilai diskon optimum juga terlihat. Sehingga dapat dikatakan bahwa model single price markdown yang dikembangkan dari penelitian ini sudah tepat dan dapat digunakan sebagai input parameter untuk langkah selanjutnya.
71
5.3 Cara Perhitungan Numerik
Dalam menyelesaikan perhitungan numerik pada penelitian ini digunakan software Microsoft Excel 2007, sementara untuk memperoleh solusi dari optimasi alokasi ruang display digunakan SOLVER. Berdasarkan input parameter yang dijelaskan pada 5.1, untuk item 1 yang disimpan pada suhu 275,15 𝐾 dengan 𝑛 = 1 maka diperoleh perhitungan laju penurunan kualitasnya seperti berikut ini: 𝜎 = 0,698 × 2,718
−[
8000 ] 8,3124×275,15
= 0,021 per jam
sehingga sisa kualitas produk akibat perbedaan suhu di awal periode penjualan adalah: 𝑞 = 1 − 0,021 = 0,979 Selanjutnya umur hidup produk yang dipengaruhi oleh penggunaan suhu penyimpanan sebesar 275,15 𝐾 adalah: 𝑇 = 54 − (0,021 × 72) = 52,866 jam Rasio COP untuk kondisi ini ditentukan seperti di bawah ini: 275,15
𝐶𝑂𝑃275,15 𝐾 = 𝐶𝑂𝑃273,7 𝐾 = 𝜌 𝑇𝑅 =
293,15−275,15 273,7 293,15−273,7
14,07198 15,28611
= 15,28611
= 14,07198
= 0,920573
yang menandakan bahwa penyimpanan produk pada suhu 275,15 𝐾 lebih banyak 0,920573 kali lipat dibandingkan pada suhu 273,7 𝐾. Output parameter tersebut digunakan sebagai input parameter untuk langkah selanjutnya. Dengan 𝑇𝑚1 = 20% dari waktu penjualan yang tersisa 𝜃1 = 40%, jumlah masing-masing produk yang harus dipesan, alokasi ruangnya, dan toal keuntungan per jam dapat ditentukan dengan rumus 4.67, sehingga diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.7.
72
Tabel 5.7 Hasil Perhtiungan untuk Diskon Seragam 𝑛 = 1, 𝑇𝑚1 = 20%, dan 𝜃1 = 40% Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ruang yang Terpakai 𝑸𝒊 ∗ 𝑨𝒊 (unit) (unit) (𝒎𝟐 ) 96 13 0,364 71 13 0,325 41 13 0,78 76 13 0,40625 40 13 0,65 85 13 0,4095 142 13 0,4056 115 13 0,5395 144 13 0,3575 100 13 0,5174 Total 4,75475
𝑭𝒊 (£/jam) 0,655318 0,526319 0,035996 0,534931 0,258354 1,182176 1,284295 1,235613 1,353118 1,47613 8,54225
5.4 Percobaan Numerik dan Analisa Hasil
Percobaan numerik dilakukan untuk mencari total keuntungan per jam dengan menjumlahkan masing-masing keuntungan per jam produk. Diskon seragam yang diujikan dalam hal ini untuk kebijakan single price markdown ialah 𝜃1 = 40% sementara untuk kebijakan double price markdown ialah 𝜃1 = 50% dan 𝜃2 = 60%. Terdapat beberapa percobaan yang diujikan pada model hasil pengembangan dengan tujuan untuk mengetahui perilaku: Percobaan 1:
Model diuji dengan mempertimbangkan penggunaan suhu penyimpanan referensi yang seragam. Terdapat 3 nilai suhu yang dicoba yaitu 275,15 K; 278,15 K dan 281,15 K.
Percobaan 2:
Model diuji menggunakan percobaan 1 dengan tanpa diskon.
Percobaan 3:
Model
diuji
menggunakan
percobaan
1
dengan
menggunakan diskon seragam dan diskon berdasarkan
73
kualitas. Percobaan dilakukan untuk penurunan harga 𝑛 = 1,2. Percobaan 4:
Model diuji menggunakan percobaan 3 dengan menggeser waktu mulai diskon. Rincian pergeseran waktu mulai diskon dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Rincian Percobaan Numerik Waktu Mulai Penurunan Harga No Skema Penurunan Harga 1 2 3 4 Penurunan Tunggal (Single Price Markdown) 5 6 7 8 9 10 11 Penurunan Ganda 12 (Double Price Markdown) 13 14 15
Tm* Tm1* Tm2* 15% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 35% 55% 40% 60% 45% 65% 50% 75% 55% 80% 60% 85% 65% 85%
5.4.1 Hasil percobaan 1
Pada percobaan 1, perhitungan numerik didasarkan pada penggunaan suhu penyimpanan referensi yang seragam untuk kesepuluh item. Terdapat tiga nilai suhu standar di retailer yang digunakan dalam percobaan ini yaitu 275,15 K; 278,15 K; dan 281,15 K. Hal tersebut menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh retailer berubah seriring dengan perubahan suhu penyimpanan referensi. Besar kecil dari biaya penyimpanan tiap produk akibat dari perbedaan suhu ini dapat
74
diketahui melalui rasio COP-nya. Hasil perhitungan rasio COP dapat dilihat pada Tabel 5.9. Dari penetapan rasio COP pada Gambar 5.2, 5.3, 5.4, 5.5, dan 5.6 tampak bahwa semakin rendah suhu penyimpanan yang digunakan dibandingkan suhu ideal penyimpanan masing-masing produk, semakin besar nilai rasio COP, begitu pun sebaliknya semakin tinggi suhu penyimpanan yang digunakan dibadnikan dengan 𝑇𝐸𝑖 maka semakin kecil rasio COP. Besarnya nilai COP menandakan bahwa besar biaya energi yang dibutuhkan dalam menyimpan produk pada display berpendingin juga semakin besar, dan peningkatan biaya tersebut akan berbanding lurus dengan lamanya waktu penyimpanan.
Tabel 5.9 Rasio COP Tiap Produk Berdasarkan Suhu Penyimpanan Referensi Item 𝑻𝑬𝒊 (𝑲) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
273,7 273,7 279,15 281,85 273,7 279,15 273,9 276,9 276,9 273,9
𝑻𝑹 = 𝟐𝟕𝟓, 𝟏𝟓 𝑲 0,920573 0,920573 1,304405 1,631709 0,920573 1,304405 0,930817 1,114737 1,114737 0,930817
𝝆 (𝒓𝒂𝒔𝒊𝒐 𝑪𝑶𝑷) 𝑻𝑹 = 𝟐𝟕𝟖, 𝟏𝟓 𝑲 𝑻𝑹 = 𝟐𝟖𝟏, 𝟏𝟓 𝑲 0,75887 0,600618 0,75887 0,600618 1,075281 0,851045 1,345091 1,064591 0,75887 0,600618 1,075281 0,851045 0,767315 0,607302 0,918929 0,727299 0,918929 0,727299 0,767315 0,607302
75
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5
Standar
0.4
Item 1
0.3 0.2 0.1 0 275.15 278.15 281.15
Gambar 5.2 Rasio COP pada Item 1
1.4 1.2 1 0.8 Standar
0.6
Item 3 0.4 0.2 0 275.15
278.15
281.15
Gambar 5.3 Rasio COP pada Item 3
76
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8
Standar
0.6
Item 4
0.4 0.2 0 275.15
278.15 281.15
Gambar 5.4 Rasio COP pada Item 4
1.2 1 0.8 0.6
Standar
0.4
Item 8
0.2 0 275.15
278.15
281.15
Gambar 5.5 Rasio COP pada Item 8
77
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Standar Item 10
275.15
278.15
281.15
Gambar 5.6 Rasio COP pada Item 10
Tabel 5.10 Sisa Waktu Penyimpanan Produk Berdasarkan Suhu Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
𝑻 sisa (jam)
𝑻 awal (jam) 54 47 42 51 40 37 61 55 63 46
𝑻𝑹 = 𝟐𝟕𝟓, 𝟏𝟓 𝑲 𝑻𝑹 = 𝟐𝟕𝟖, 𝟏𝟓 𝑲 𝑻𝑹 = 𝟐𝟖𝟏, 𝟏𝟓 𝑲 52,85887 52,815 52,11391 46,0068 45,96861 45,3584 41,11246 41,07834 40,53304 49,92227 49,88084 49,21869 39,15472 39,12222 38,6029 36,21812 36,18806 35,70768 59,71095 59,66139 58,86942 53,83774 53,79306 53,07898 61,66868 61,6175 60,79956 45,02793 44,99056 44,39333
Perbedaan suhu penyimpanan referensi juga dapat mempengaruhi laju penurunan kualitas dan waku penyimpanan yang tersisa sepeti yang terlihat pada Gambar 5.7 dan Tabel 5.10. Semakin rendah suhu penyimpanan referensi yang digunakan maka semakin kecil laju penurunan kualitasnya. Laju penurunan kualitas ini berdampak pada nilai kualitas di awal periode penjualan, sehingga semakin kecil laju penurunan kualitas, maka kualitas di awal periode semakin besar. Sebaliknya, 78
semakin tinggi suhu penyimpanan yang digunakan maka semakin besar laju penurunan kualitasnya, sehingga nilai kualitas di awal periode penjualan semakin kecil. Di samping itu, laju penurunan kualitas juga berdampak pada umur hidup produk yang tersisa, sehingga semakin besar laju penurunan kualitas maka umur hidup produk yang terisa semakin pendek begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suhu berpengaruh pada besarnya biaya energi, laju penurunan kualitas, dan umur hidup produk.
0.0400
0.0349
0.0350
per jam
0.0300 0.0250
0.0219
0.0211
0.0200 0.0150 0.0100 0.0050 0.0000 275.15 278.15 281.15 Suhu Penyimpanan Referensi (TR)
Gambar 5.7 Laju Penurunan Kualitas Berdasarkan Suhu
5.4.2 Hasil percobaan 2
Hasil dari percobaan 2 dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari gambar tersebut diketahui bahwa nilai total keuntungan per jam menurun seiring meningkatnya suhu penyimpanan yang digunakan. Pada suhu 278,15 K dan 281, K total keuntungan per jam retailer bahkan bernilai negatif, yang artinya dengan kondisi tanpa diskon model yang diusulkan tidak lagi representatif pada suhu penyimpanan 278,15 K atau lebih. Keuntungan per jam dan besarnya jumlah yang
79
dipesan dan dipajang untuk masing-masing produk pada suhu 275,15 K dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Total Keuntungan per Jam (£)
0.600
0.496
0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 275.15
-0.100 -0.200 -0.300
278.15
281.15
-0.218
-0.220
Suhu Penyimpanan Referensi (TR)
Gambar 5.8 Total Keuntungan per Jam Berdasarkan Suhu Penyimpanan
Tabel 5.11 Hasil Percobaan Tanpa Diskon pada Suhu 275,15 K Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Q*i 3 1 2 3 1 2 4 4 4 2 Total
Ai 3 1 2 3 1 2 4 4 4 2
80
Ruang Keuntungan yang (£/jam) Terpakai 0,084 0,047069 0,025 0,015369 0,12 0,012747 0,09375 0,043129 0,05 0,012379 0,063 0,06451 0,1248 0,079404 0,166 0,085649 0,11 0,078565 0,0796 0,057158 0,91615 0,49598
5.4.3 Hasil percobaan 3 Pada percobaan ini untuk penurunan harga 𝑛 = 1 waktu penurunan harga dimulai pada 𝑇𝑚1 = 50% dari umur sisa produk, dan untuk penurunan harga 𝑛 = 1 waktu penurunan harga 𝑇𝑚1 = 50% dan 𝑇𝑚2 = 75%. Besarnya diskon seragam untuk penurunan tunggal ialah 𝜃 = 40% dan untuk penurunan ganda 𝜃1 = 50% dan 𝜃2 = 60%. Total keuntungan per jam dapat dilihat pada Tabel 5.12. Dari tabel tersebut diketahui bahwa diskon seragam dengan frekuensi penurunan sebanyak 1 kali pada suhu penyimpanan 275,15 K memberikan nilai total keuntungan paling besar yakni 7,30495 £/jam, sementara diskon berdasarkan kualitas dengan frekuensi penurunan sebanyak 2 kali pada suhu penyimpanan 281,15 K memberikan nilai diskon paling kecil yakni 0,37876 £/jam.
Tabel 5.12 Profil Keuntungan Percobaan 3 Tipe Diskon
Frekuensi Diskon 𝑛=1
Seragam 𝑛=2
𝑛=1 Berdasarkan Kualitas 𝑛=2
𝑻𝒎𝟏 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50% 50%
𝑻𝒎𝟐 75% 75% 75% 75% 75% 75%
𝑻𝑹 (K) 275,15 278,15 281,15 275,15 278,15 281,15 275,15 278,15 281,15 275,15 278,15 281,15
Total Keuntungan (£/jam) 7,30495 6,92976 1,91413 6,17360 5,94875 2,27950 6,04061 5,84738 1,95256 2,95605 2,82077 0,37876
Hal lain yang dapat ditangkap dari percobaan 3 yakni semakin kecil suhu penyimpanan semakin besar nilai keuntungan yang diperoleh, begitu pula sebaliknya semakin besar suhu penyimpanan semakin kecil nilai keuntungan yang diperoleh. Dari ketiga suhu penyimpanan, 𝑇𝑅 = 275,15 𝐾 memberikan nilai keuntungan paling besar. Komposisi masing-masing produk yang harus dipesan
81
dan dipajang, dan keuntungan per jam tiap produknya dapat dilihat pada Tabel 5.13, Tabel 5.14, dan Tabel 5.15.
Tabel 5.13 Komposisi Produk yang Harus Dipesan (𝑇𝑅 =275,15 K) Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Qi* (unit) S (n=1) K (n=1) S (n=2) K (n=2) 61 78 83 102 45 58 62 76 27 27 36 42 49 59 66 80 25 27 33 39 54 83 74 94 90 122 123 152 73 98 99 123 92 122 125 155 64 92 87 110
(Keterangan: S : diskon seragam ; K = diskon berdasarkan kualitas)
Dari Tabel 5.13 diketahui bahwa jumlah yang dipesan berbeda antara satu strategi diskon dengan strategi lainnya. Pada frekuensi diskon tunggal, tipe diskon memberikan jumlah pesanan yang berbeda. Ini terkait dengan besarnya diskon yang diberikan dimana pada diskon seragam besarnya diskon masing-masing produk bernilai sama yakni 40% dari harga jual awal, sementara pada diskon berdasarkan kualitas besarnya diskon masing-masing produk berbeda sesuai dengan umur produk yang tersisa, kualitas awal produk dan laju penurunan kualitasnya. Perbedaan besar diskon ini menggeser jumlah permintaan yang diharapkan dan berdampak pada jumlah pesanan, dimana pada penelitian ini diasumsikan bahwa jumlah permintaan tidak melebihi jumlah pesanan. Hal ini juga berlaku untuk frekuensi diskon ganda.
82
Tabel 5.14 Komposisi Produk yang Harus Dipajang (𝑇𝑅 =275,15 K) Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ai* (unit) S (n=1) K (n=1) S (n=2) K (n=2) 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13 13
(Keterangan: S : diskon seragam ; K = diskon berdasarkan kualitas)
Tabel 5.15 Keuntungan Tiap Item per Jam (𝑇𝑅 =275,15 K) Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
S (n=1) 0,6142 0,4775 0,1074 0,5015 0,2356 0,9280 1,1083 1,0175 1,1621 1,1529
Fi* (£/jam) K (n=1) S (n=2) K (n=2) 0,5387 0,4980 0,2101 0,4272 0,4017 0,1910 0,1064 0,0498 -0,0402 0,4825 0,4428 0,2692 0,2350 0,2173 0,1510 0,4352 0,6786 0,0449 0,9211 0,9228 0,4169 0,9139 0,9125 0,5537 1,0215 1,0096 0,5432 0,9592 1,0405 0,6161
(Keterangan: S : diskon seragam ; K = diskon berdasarkan kualitas)
Pada Tabel 5.14 terlihat bahwa jumlah yang dipajang telah mencapai batas atas dari yang telah ditetapkan. Ini berkaitan dengan besarnya jumlah pesanan melebihi batas atas jumlah pemajangan, sehingga model mengambil batas atas sebagai nilai yang harus dipajang tiap produknya untuk semua strategi diskon. Sementara untuk keuntungan yang diperoleh tiap unit produknya, tiap strategi diskon memberikan nilai yang berbeda. Ini berarti pemilihan strategi diskon yang
83
salah akan mengakibatkan perolehan keuntungan yang kecil. Gambar 5.9 menunjukkan strategi diskon berdasarkan kualitas memberikan nilai yang lebih kecil dibandingkan strategi diskon seragam baik untuk satu kali penurunan maupun dua kali penurunan.
1.4000
Keuntungan (£/jam)
1.2000 1.0000 0.8000
S (n=1)
0.6000
K (n=1) S (n=2)
0.4000
K (n=2) 0.2000 0.0000 1 -0.2000
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Item
Gambar 5.9 Keuntungan Tiap Unit Produk pada Masing-masing Strategi Penurunan Harga
Nilai keuntungan tiap unit produk per jam menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi penurunan harga. Berbeda dengan jumlah yang dipesan dimana bertambahnya frekuensi penurunan harga meningkatkan jumlah pesanan, dalam hal ini bertambahnya frekuensi penurunan harga menurunkan keuntungan tiap unit produk per jam. Bahkan untuk item 3, keuntungan per jamnya bernilai negatif pada strategi diskon berdasarkan kualitas dengan penurunan harga sebanyak dua kali.
84
5.4.4 Hasil percobaan 4
Pada percobaan 4 ini dilakukan penggeseran waktu mulai penurunan harga untuk masing-masing strategi penurunan. Profil keuntungan pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 5.16, dan Tabel 5.17. Pola fluktuasi keuntungan strategi penurunan harga tunggal dan ganda dapat dilihat pada Gambar 5.10 dan
£/jam
Gambar 5.11.
9.0000 8.0000 7.0000 6.0000 5.0000 4.0000 3.0000 2.0000 1.0000 0.0000
S (n=1) K (n=1)
15% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% Tm
Gambar 5.10 Total Keuntungan Strategi Penurunan Harga Tunggal pada 𝑇𝑅 = 275,15 𝐾
Dari sejumlah percobaan yang dilakukan, skenario yang memberikan nilai keuntungan terbesar ialah penyimpanan pada suhu 275,15 K dengan startegi penurunan harga seragam sebanyak satu kali dan waktu mulai penurunan 20% dari umur sisa produk. Total keuntungan yang diberikan ialah 8,5423 £/jam. Sementara itu, baik pada penurunan harga tunggal maupun ganda dengan diskon berdasarkan kualitas, model yang diuji mengalami eror ketika berada pada skenario suhu 281,15 K dengan waktu mulai diskon mendekati akhir umur hidup produk. Hal ini disebabkan harga setelah diskon yang dihasilkan lebih kecil dari biaya yang ditanggung oleh retailer.
85
Tabel 5.16 Keuntungan pada Strategi Diskon Tunggal Suhu
Tm
15% 20% 30% 40% 275,15 50% 60% 70% 80% 15% 20% 30% 40% 278,15 50% 60% 70% 80% 15% 20% 30% 40% 281,15 50% 60% 70% 80%
Total Keuntungan (£/jam) S (n=1) K (n=1) 8,5393 4,2624 8,5423 4,8429 8,3474 5,6384 7,9507 6,0401 7,3050 6,0406 6,3894 5,5989 5,2625 4,8251 3,8878 3,7081 8,3577 4,3851 8,3325 4,9198 8,1096 5,6555 7,6654 5,9787 6,9298 5,8474 6,0472 5,3950 4,8085 4,4715 3,3500 3,2170 4,3350 3,8257 4,1727 3,9415 3,7017 3,7786 2,9719 3,1087 1,9141 1,9526 0,1842 0,4340 -3,0168 -0,0119 -3,1090 -0,0692
Dari Gambar 5.10 dan Gambar 5.11 terlihat bahwa strategi penurunan harga yakni seragam atau berdasarkan kualitas yang teridentifikasi dan penentuan waktu mulai penurunan harga mempengaruhi total keuntungan yang diperoleh retailer. Baik penurunan harga tunggal maupun ganda, strategi harga seragam memberikan nilai keuntungan lebih besar dari strategi harga berdasarkan kualitas yang teridentifikasi. Gambar 5.10 menunjukkan waktu penurunan harga yang memberikan nilai total keuntungan per jam paling besar ialah pada 20% dari sisa 86
umur produk untuk diskon seragam. Setelah melebihi 20% total keuntungan per jam terus menurun seiring dengan besarnya nilai 𝑇𝑚 . Begitu pula pada diskon berdasarkan kualitas, waktu mulai penuruan harga yang memberikan nilai paling tinggi ialah 60% dari sisa umur produk. Sebelum 60% keuntungan total per jam terus meningkat, dan setelah 60% nilainya menurun. Tabel 5.17 Keuntungan pada Strategi Diskon Ganda Suhu
275,15
278,15
281,15
Tm1 Tm2 35% 40% 45% 50% 55% 60% 65% 35% 40% 45% 50% 55% 60% 65% 35% 40% 45% 50% 55% 60% 65%
55% 60% 65% 75% 80% 85% 85% 55% 60% 65% 75% 80% 85% 85% 55% 60% 65% 75% 80% 85% 85%
Total Keuntungan (£/jam) S (n=2) K (n=2) 5,8754 0,2813 6,0007 1,0609 6,0213 1,7278 6,1736 2,9561 6,0411 3,4688 5,7488 3,8007 5,3127 3,4790 5,7844 0,2385 5,9106 1,0233 5,9105 1,6673 5,9487 2,8208 5,7808 3,2909 5,5146 3,6309 4,9987 3,2119 3,7710 -0,3845 3,3956 -0,0989 2,8975 -0,0310 2,2795 0,3788 1,4659 0,0233 0,1831 -0,4769 -0,6079 -1,1460
87
7.0000 6.0000
£/jam
5.0000 4.0000 3.0000
S (n=2)
2.0000
K (n=2)
1.0000 0.0000 35% - 40% - 45% - 50% - 55% - 60% - 65% 55% 60% 65% 75% 80% 85% 85% Tm1 - Tm2
Gambar 5.11 Total Keuntungan Strategi Penurunan Harga Ganda pada 𝑇𝑅 = 275,15 𝐾
Gambar 5.11 menunjukkan selisih keuntungan yang cukup besar antara diskon seragam dengan diskon berdasarkan kualitas yang tersisa. Hal ini wajar terjadi karena besar diskon yang ditetapkan bisa jadi lebih kecil dari besar diskon berdasarkan kualitas yang teridentifikasi. Selain itu, terlihat bahwa semakin mundur waktu mulai penurunan harga maka semakin besar total keuntungan per jam yang diperoleh retailer. Kemudian, Gambar 5.11 juga menunjukkan bahwa keuntungan strategi harga seragam mencapai titik tertinggi pada waktu 𝑇𝑚1 =50% dan 𝑇𝑚2 =75% dan mengalami penurunan setelah waktunya digeser menjadi 𝑇𝑚1 =55% dan 𝑇𝑚2 =60%. Sementara pada skema diskon berdasarkan kualitas, keuntungan yang diperoleh retailer meningkat sampai mencapai titik 𝑇𝑚1 =60% dan 𝑇𝑚2 =85%, kemudian menurun ketika waktu mulai penurunan harga digeser menjadi 𝑇𝑚1 =65% dan 𝑇𝑚2 =85%. Dari Tabel 5.16 dan Tabel 5.17 pula dapat diketahui bahwa perbedaaan suhu penyimpanan menyebabkan nilai optimum waktu mulai diskon yang memberikan keuntungan paling besar berbeda-berbeda meski berada pada satu skema penurunan harga. Ini berarti pemilihan suhu penyimpanan, skema penurunan
88
harga, dan waktu penurunan harga menjadi keputusan manajerial yang penting karena berdampak pada total keuntungan per jam nya yang diperoleh retailer.
Tabel 5.18 Komposisi Jumlah Pesanan Tiap Produk untuk Diskon Berdasarkan Kualitas Penurunan Tunggal (𝑇𝑅 = 275,15 𝐾) Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15% 137 104 49 105 50 143 214 173 216 161
20% 129 96 46 97 47 135 201 162 202 151
30% 111 84 40 84 40 117 173 140 175 131
Qi* (unit) 40% 50% 94 78 70 58 33 27 71 59 33 27 100 83 147 122 119 98 148 122 112 92
60% 62 46 21 46 21 66 97 78 97 73
70% 46 34 17 34 16 50 73 58 73 55
80% 31 23 12 24 10 34 49 40 49 37
Tidak hanya mempengaruhi total nilai keuntungan per jam, pergeseran waktu mulai penurunan harga juga berdampak pada jumlah produk yang harus dipesan dan besarnya diskon. Nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel. 5.18, Tabel 5.19, Tabel 5.20, dan Tabel 5.21. Pada Tabel 5.18 terlihat bahwa semakin mundur waktu dimulainya diskon jumlah produk yang dipesan juga semakin kecil. Dengan kata lain, ketika pihak manajerial berencana melakukan diskon mendekati akhir umur produk sebaiknya jumlah produk yang dipesan lebih sedikit. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah produk yang terbuang. Karena umumnya konsumen
yang
sangat
sensitif
terhadap
harga
dan
kualitas
akan
mempertimbangkan harga setelah diskon dengan sisa kualitas produk yang terlihat dalam membeli produk. Sementara itu, dari Tabel 5.19 diketahui bahwa jumlah pesanan untuk skema penurunan harga ganda juga menurun seiring dengan mundurnya waktu mulai diskon, Tabel 5.20 dan Tabel 5.21 menunjukkan pengaruh pemilihan waktu mulai penurunan harga terhadap besarnya diskon, dimana semakin mundur waktu mulai penurunan diskon maka nilai diskon semakin kecil.
89
Tabel 5.19 Komposisi Jumlah Pesanan Tiap Produk untuk Diskon Berdasarkan Kualitas pada Penurunan Harga Ganda (𝑇𝑅 = 275,15 𝐾) Qi* (unit)
Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
35%-55%
40% - 60%
45% - 65%
50% - 75%
55% - 80%
60% - 85%
65% - 85%
141 105 59 112 58 125 209 168 213 148
128 97 54 101 52 116 191 155 196 136
116 88 48 93 47 107 174 141 177 124
102 76 42 80 39 94 152 123 155 110
90 66 37 70 35 84 135 108 137 97
77 58 31 60 30 72 117 94 118 84
74 55 31 58 29 67 110 88 111 78
Tabel 5.20 Nilai 𝜃𝑖 ∗ pada Penrunan Harga Tunggal Berdasarkan Waktu Mulai Penurunan Harga (𝑇𝑅 = 275,15 𝐾) 𝜽𝒊 ∗
Item Tm=15%
Tm=20%
Tm=30%
Tm=40%
Tm=50%
Tm=60%
Tm=70%
Tm=80%
1
54,56%
54,09%
53,16%
52,22%
51,28%
50,35%
49,41%
48,47%
2
54,75%
54,28%
53,35%
52,41%
51,48%
50,54%
49,61%
48,67%
3
45,31%
44,63%
43,27%
41,91%
40,56%
39,20%
37,84%
36,48%
4
51,99%
51,46%
50,40%
49,35%
48,29%
47,24%
46,18%
45,13%
5
48,00%
47,38%
46,13%
44,89%
43,64%
42,39%
41,15%
39,90%
6
64,21%
63,96%
63,47%
62,97%
62,48%
61,99%
61,49%
61,00%
7
57,46%
57,06%
56,26%
55,45%
54,65%
53,84%
53,04%
52,23%
8
57,26%
56,85%
56,04%
55,23%
54,42%
53,60%
52,79%
51,98%
9
56,72%
56,30%
55,46%
54,62%
53,78%
52,94%
52,10%
51,26%
10
61,02%
60,70%
60,05%
59,41%
58,77%
58,12%
57,48%
56,84%
Dari percobaan 4 ini diketahui bahwa banyaknya jumlah yang dipesan tidak berbanding lurus dengan total keuntungan per jam yang diperoleh retailer. Hal ini disebabkan fungsi permintaan yang digunakan dalam model ini menangkap sensitivitas konsumen tehadap harga dan kualitas. Besarnya jumlah pemesanan pada waktu mulai diskon yang lebih awal disebabkan oleh harga diskon diterapkan terlalu dini dimana kualitas produk masih segar, sehingga hal tersebut mengakibatkan permintaan konsumen meningkat, dan berdampak pada jumlah 90
pemesanan. Akan tetapi total keuntungan yang diperoleh retailer tidak maksimal meskipun volume penjualan meningkat.
Tabel 5.21 Nilai 𝜃1 ∗ dan 𝜃2 ∗ Berdasarkan Waktu Mulai Penurunan Harga 𝜃2 ∗ 50% - 75% 55% - 80% 60% - 85% 65% - 85% Item ∗ ∗ ∗ ∗ ∗ ∗ 𝜽𝟏 𝜽𝟐 𝜽𝟏 𝜽𝟐 𝜽𝟏 𝜽𝟐 𝜽𝟏 ∗ 𝜽𝟐 ∗ 1 53,62% 81,74% 52,68% 82,21% 51,74% 82,67% 51,74% 82,21% 2 53,80% 81,86% 52,87% 82,33% 51,93% 82,79% 51,93% 82,33% 3 43,93% 84,67% 42,58% 85,35% 41,22% 86,03% 41,22% 85,35% 4 50,92% 82,58% 49,87% 83,11% 48,81% 83,64% 48,81% 83,11% 5 46,74% 84,14% 45,49% 84,76% 44,25% 85,38% 44,25% 84,76% 6 63,71% 78,51% 63,21% 78,75% 62,72% 79,00% 62,72% 78,75% 7 56,65% 80,80% 55,85% 81,20% 55,04% 81,61% 55,04% 81,20% 8 56,44% 80,83% 55,63% 81,23% 54,82% 81,64% 54,82% 81,23% 9 55,87% 81,07% 55,03% 81,49% 54,19% 81,91% 54,19% 81,49% 10 60,37% 79,66% 59,73% 79,98% 59,08% 80,31% 59,08% 79,98%
5.5 Implikasi Manajerial
Pada keempat percobaan di atas dapat diketahui bahwa merencanakan diskon sebelum melakukan pemesanan dapat memberikan gambaran kepada retailer mengenai berapa jumlah keuntungan yang akan diperoleh bila memesan dengan jumlah tertentu sesuai dengan skema diskon yang akan diterapkan. Keempat percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian harga yang berbeda (diskon) memberikan retailer keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan hanya menerapkan satu harga selama satu periode penjualan. Hal penting lain yang perlu diperhatikan oleh retailer ialah pemilihan suhu penyimpanan, dimana pada keempat percobaan menunjukkan bagaimana pengaruh suhu terhadap fluktuasi keuntungan per jam nya pada masing-masing skema penurunan harga.
91
9 8 7
£/jam
6 5 4
Seragam
3
Kualitas
2 1 0 275.15 276.15 277.15 278.15 279.15 280.15 281.15 TR (K)
Gambar 5.12 Pengaruh Suhu Terhadap Total Keuntungan per Jam pada Skema Penurunan Harga Tunggal
Gambar 5.12 menunjukkan bagaimana pengaruh suhu terhadap total keuntungan per jamnya bila suhu dinaikkan sebanyak 1oC hingga mencapai suhu maksimum fasilitas. Dari gambar tersebut diketahui bahwa peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan penrurunan keuntungan per jam. Baik skema penurunan harga seragam maupun berdasarkan kualitas menunjukkan pola penurunan yang sama. Terjadi penurunan yang cukup signifikan dari antara suhu 278,15 K dan suhu 279,15 K. Hal ini dapat dijadikan acuan bagi pihak manajerial dalam memilih suhu penyimpanan mana yang tepat untuk digunakan. Dari percobaan numerik ini diketahui bahwa rencana penurunan harga ganda memberikan nilai keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan penurunan harga tunggal. Meski penurunan harga ganda memberikan volume pemesanan yang lebih besar hal tersebut tidak berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu, penundaan waktu mulai penurunan harga menyebabkan meningkatnya keuntungan hingaa pada titik tertentu. Melihat kondisi ini, maka pihak manajerial disarankan dalam melakukan perencaan pemesanan mempertimbangkan diskon yang akan diberikan, dimana skema penurunan harga tunggal menjadi opsi terbaik. Di samping itu, penundaan waktu penurunan harga
92
hingga pada titik tertentu dimana loss kualitas sudah cukup siginifikan dapat memberikan keuntungan yang maksimal dengan jumlah pemesanan dan pemajangan yang optimal.
93
(halaman ini sengaja dikosongkan)
94
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini mengembangkan model alokasi ruang display berpendingin dan manajemen persediaan untuk multi produk agro-perishable multi temperatur dengan mempertimbangkan kebijakan penurunan harga. 2. Suhu penyimpanan memberikan dampak terhadap keuntungan yang diperoleh retailer. Meski memberikan biaya energi yang lebih besar, penggunaan suhu rendah sebagai suhu penyimpanan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan penggunaan suhu tinggi. 3. Dengan diskon tertentu sebagai pembanding, waktu mulai penurunan diskon yang memberikan keuntungan yang maksimal, alokasi ruang yang optimal dan jumlah pemesanan yang optimal dapat diketahui. 4. Penggeseran waktu penurunan harga hingga pada titik tertentu dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh retailer. 5. Frekuensi penurunan harga mempengaruhi jumlah penyimpanan dan pemajangan untuk suhu penyimpanan dan waktu mulai penurunan harga tertentu. 6. Implikasi manajerial yang dapat diberikan ialah penyimpanan pada suhu rendah untuk produk agro-perishable dengan rencana penurunan harga satu kali dengan waktu mulai penurunan harga dimundurkan hingga pada waktu tertentu memberikan nilai keuntungan yang maksimal, jumlah alokasi ruang yang optimal dan volume pemesanan yang optimal.
95
6.2 Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk mengembangkan model dengan kondisi yang lebih bervariasi, seperti adanya tingkat prioritas pada masing-masing produk. Percobaan untuk produk lain seperti makanan dan minuman olahan juga dapat dilakukan. Pengaruh nilai-nilai sensitivitas permintaan terhadap model dapat diteliti lebih lanjut.
96
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, D., Lee, C. K. M., & Piplani, R. (2014). "Vehicle Scheduling and Routing at A Cross Docking Center for Food Supply Chains". International Journal of Production Economics, 152, 29–41. Ait Hou, M., Grazia, C., & Malorgio, G. (2015). "Food Safety Standards and International Supply Chain Organization: A Case Study of The Moroccan Fruit and Vegetable Exports". Food Control, 55, 190–199. Alper, S. (2015). "Competitive Markdown Timing for Perishable and Substitutable Products".Omega. http://doi.org/10.1016/j Andersson, H., Hoff, A., Christiansen, M., Hasle, G., & Løkketangen, A. (2010). "Industrial Aspects and Literature Survey: Combined Inventory Management and Routing". Computers & Operations Research, 37(9), 1515–1536. Aung, M. M., & Chang, Y. S. (2014). "Traceability in A Food Supply Chain: Safety and Quality Perspectives". Food Control, 39(1), 172–184. Bai, R., & Kendall, G. (2008). "A Model for Fresh Produce Shelf-Space Allocation and Inventory Management with Freshness-Condition-Dependent Demand". INFORMS Journal on Computing, 20(1), 78–85. Bakker, M., Riezebos, J., & Teunter, R. H. (2012). "Review of Inventory Systems with Deterioration Since 2001". European Journal of Operational Research, 221(2), 275–284. Balaji, M., & Arshinder, K. (2016). "Modeling The Causes of Food Wastage in Indian Perishable Food Supply Chain". Resources, Conservation and Recycling, 114, 153–167. Basu, R., & Wright, J. N. (2008). "Introduction : The Role of Supply Chain as A Value Driver". In Total Supply Chain Management (First, pp. 3–17). Elsevier. Beshara, S., El-kilany, K. S., & Galal, N. M. (2012). "Simulation of Agri-Food Supply Chains". International Journal of Mechanical, Aerospace, Industrial, Mechatronic and Manufacturing Engineering, 6(5), 899–904. Bosona, T., & Gebresenbet, G. (2013). "Food Traceability as An Integral Part of Logistics Management in Food and Agricultural Supply Chain". Food Control, 33(1), 32–48. Bourlakis, M. A., & Weightman, P. W. H. (2004). "Introduction to the UK Food Supply Chain". In M. A. Bourlakis & P. W. H. Weightman (Eds.), Food Supply Chain Management (pp. 1–10). Oxford: Blackwell Publishing. Chen, R.-Y. (2015). "Autonomous Tracing System for Backward Design in Food
97
Supply Chain". Food Control, 51, 70–84. Chew, E. P., Lee, C., & Liu, R. (2009). "Joint Inventory Allocation and Pricing Decisions for Perishable Products". International Journal of Production Economics, 120(1), 139–150. Chung, K.-J., & Huang, T.-S. (2007). "The Optimal Retailer’s Ordering Policies for Deteriorating Items with Limited Storage Capacity Under Trade Credit Financing". International Journal of Production Economics, 106(1), 127–145. Chung, W., Talluri, S., & Narasimhan, R. (2015). "Optimal Pricing and Inventory Strategies with Multiple Price Markdowns Over Time". European Journal of Operational Research, 243(1), 130–141. Coelho, L. C., & Laporte, G. (2014). "Optimal Joint Replenishment, Delivery and Inventory Management Policies for Perishable Products". Computers and Operations Research, 47, 42–52. Ding, Z., Tian, S., Wang, Y., Li, B., Chan, Z., Han, J., & Xu, Y. (2006). "Physiological Response of Loquat Fruit to Different Storage Conditions and Its Storability". Postharvest Biology and Technology, 41(2), 143–150. Dobson, G., Pinker, E. J., & Yildiz, O. (2016). "An EOQ Model for Perishable Goods with Age-Dependent Demand Rate". European Journal of Operational Research, 0, 1–5. Duan, Y., Li, G., Tien, J. M., & Huo, J. (2012). "Inventory Models for Perishable Items with Inventory Level Dependent Demand Rate". Applied Mathematical Modelling, 36(10), 5015–5028. Ferguson, M., & Ketzenberg, M. E. (2006). "Information Sharing to Improve Retail Product Freshness of Perishables". Production and Operation Management, 15(1), 57–73. Ge, H., Gray, R., & Nolan, J. (2015). "Agricultural Supply Chain Optimization and Complexity: A Comparison of Analytic vs Simulated Solutions and Policies".International Journal of Production Economics, 159, 208–220. Ghasemy Yaghin, R., Torabi, S. A., & Fatemi Ghomi, S. M. T. (2012). "Integrated Markdown Pricing and Aggregate Production Planning in A Two Echelon Supply Chain: A Hybrid Fuzzy Multiple Objective Approach". Applied Mathematical Modelling, 36(12), 6011–6030. Herbon, A., Levner, E., & Cheng, T. C. E. (2014). "PerishableInventory Management with Dynamic Pricing Using Time-Temperature Indicators Linked to Automatic Detecting Devices". International Journal of Production Economics, 147(PART C), 605–613. Hing Ling Lau, A., & Lau, H.-S. (2002). "The Effects of Reducing Demand Uncertainty in A Manufacturer–Retailer Channel for Single-Period Products".
98
Computers & Operations Research, 29(11), 1583–1602. Hsieh, T. P., & Dye, C. Y. (2010). "Optimal Replenishment Policy for Perishable Items with Stock-Dependent Selling Rate and Capacity Constraint". Computers and Industrial Engineering, 59(2), 251–258. Hu, J., Zhang, X., Moga, L. M., & Neculita, M. (2013). "Modeling and Implementation of The Vegetable Supply Chain Traceability System". Food Control, 30(1), 341–353. Hu, M. C., Chen, Y. H., & Huang, L. C. (2014). "A Sustainable Vegetable Supply Chain Using Plant Factories in Taiwanese Markets: A Nash-Cournot Model". International Journal of Production Economics, 152, 49–56. Huang, J.-Y., & Yao, M.-J. (2006). "A New Algorithm for Optimally Determining Lot-Sizing Policies for A Deteriorating Item in An Integrated ProductionInventory System". Computers & Mathematics with Applications, 51(1), 83– 104. Hui, Y. H., Cornillon, P., Legarretta, I. G., Lim, M., Murrel, K. ., & Nip, W. (2004). Handbook of Frozen Foods. New York: Marcel Dekker. Iskandar, Y. A. (2013). Pengembangan Model Optimasi Kebijakan Penurunan Harga untuk Produk Makanan Perishable Multi Produk Multi Temperatur. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Janssen, L., Claus, T., & Sauer, J. (2016). "Literature Review Of Deteriorating Inventory Models by Key Topics from 2012 to 2015". International Journal of Production Economics, 182, 86–112. Jia, J., & Hu, Q. (2011). "Dynamic Ordering and Pricing for A Perishable Goods Supply Chain". Computers & Industrial Engineering, 60(2), 302–309. Kumari, L., Narsaiah, K., Grewal, M. K., & Anurag, R. K. (2015). "Application of RFID in Agri-Food Sector". Trends in Food Science and Technology, 43(2), 144–161. Labuza, T. P. (1984). "Application of Chemical Kinetics to Deterioration of Foods". Journal of Chemical Education, 61(4), 348. Latini, A., Campiotti, C. A., Pietrantonio, E., Viola, C., Peral, V., Fuentes-Pila, J., & Sagarna, J. (2016). "Identifying Strategies for Energy Consumption Reduction and Energy Efficiency Improvement in Fruit and Vegetable Producing Cooperatives: A Case Study in the Frame of TESLA Project". Agriculture and Agricultural Science Procedia, 8, 657–663. LeBlanc, D. I., Villeneuve, S., Hashemi Beni, L., Otten, A., Fazil, A., McKellar, R., & Delaquis, P. (2015). "A National Produce Supply Chain Database for Food Safety Risk Analysis". Journal of Food Engineering, 147, 24–38. Liu, H., Song, L., You, Y., Li, Y., Duan, X., Jiang, Y., … Lu, W. (2011). "Cold 99
Storage Duration Affects Litchi Fruit Quality, Membrane Permeability, Enzyme Activities and Energy Charge During Shelf Time at Ambient Temperature". Postharvest Biology and Technology, 60(1), 24–30. Muriana, C. (2016). "An EOQ Model for Perishable Products with Fixed Shelf Life Under Stochastic Demand Conditions". European Journal of Operational Research, 255(2), 388–396. Narsimhalu, U., Potdar, V., & Kaur, A. (2015). "A Case Study To Explore Influence of Traceability Factors on Australian Food Supply Chain Performance". Procedia - Social and Behavioral Sciences, 189, 17–32. Nguyen, C., Dessouky, M., & Toriello, A. (2014). "Consolidation Strategies for The Delivery of Perishable Products". Transportation Research Part E: Logistics and Transportation Review, 69, 108–121. Ni, G., Luo, L., Xu, Y., & Xu, J. (2015). "Optimal Online Markdown and Markup Pricing Policies with Demand Uncertainty". Information Processing Letters, 115(11), 804–811. Osvald, A., & Stirn, L. Z. (2008). "A Vehicle Routing Algorithm for The Distribution of Fresh Vegetables and Similar Perishable Food". Journal of Food Engineering, 85(2), 285–295. Pant, R. R., Prakash, G., & Farooquie, J. a. (2015). "A Framework for Traceability and Transparency in the Dairy Supply Chain Networks". Procedia - Social and Behavioral Sciences, 189, 385–394. Pareek, S., Benkeblia, N., Janick, J., Cao, S., & Yahia, E. M. (2014). "Postharvest Physiology and Technology of Loquat (Eriobotrya japonica Lindl.) Fruit". Journal of the Science of Food and Agriculture, 94(8), 1495–1504. Phillips, R. (2005). "Markdown Management". In Pricing and Revenue Optimization (pp. 240–261). Stanford, California: Stanford University Press. Piramuthu, S., & Zhou, W. (2013). "RFID and Perishable Inventory Management with Shelf-Space and Freshness Dependent Demand". International Journal of Production Economics, 144(2), 635–640. Rong, A., Akkerman, R., & Grunow, M. (2011). "An Optimization Approach for Managing Fresh Food Quality Throughout The Supply Chain". International Journal of Production Economics, 131(1), 421–429. Schlosser, R. (2015). "Dynamic Pricing and Advertising of Perishable Products with Inventory Holding Costs". Journal of Economic Dynamics and Control, 57, 163–181. Sgarbossa, F., & Russo, I. (2016). "A Proactive Model in Sustainable Food Supply Chain: Insight from A Case Study". International Journal of Production Economics, 1–11.
100
Simchi-Levi, D., Philllip, K., & Simchi-Levi, E. (2007). Designing and Managing the Supply Chain: Conpets, Strategies, and Case Studies (Third Edit). Boston: McGraw Hill. Song, L., Chen, H., Gao, H., Fang, X., Mu, H., Yuan, Y., … Jiang, Y. (2013). "Combined Modified Atmosphere Packaging and Low Temperature Storage Delay Lignification and Improve The Defense Response of Minimally Processed Water Bamboo Shoot". Chemistry Central Journal, 7(1), 147. Soysal, M., Bloemhof-Ruwaard, J. M., Haijema, R., & van der Vorst, J. G. A. J. (2016). "Modeling A Green Inventory Routing Problem for Perishable Products with Horizontal Collaboration". Computers and Operations Research, 1–15. Taleizadeh, A. A., Mohammadi, B., Cárdenas-Barrón, L. E., & Samimi, H. (2013). "An EOQ Model for Perishable Product with Special Sale and Shortage". International Journal of Production Economics, 145(1), 318–338. Tsai, W.-H., & Hung, S.-J. (2009). "Dynamic Pricing and Revenue Management Process in Internet Retailing Under Uncertainty: An Integrated Real Options Approach". Omega, 37(2), 471–481. Tsiros, M., & Heilman, C. M. (2005). "The Effect of Expiration Dates and Perceived Risk on Purchasing Behavior in Grocery Store Perishable Categories". Journal of Marketing, 69(2), 114–129. USDA (2008). Protecting Perishable Foods during Transport by Truck. In: Agriculture, U.S.D.O (Ed.) Transportation and Marketing Programs Ed. United States. Wahyuningtyas, P. W. (2014). Pengembangan Model Kebijakan Persediaan Produk Multi Agro-Perishable dengan Mempertimbangkan Biaya Energi dan Kapasitas Rak Simpan. Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Wang, X., & Li, D. (2012). "A Dynamic Product Quality Evaluation Based Pricing Model for Perishable Food Supply Chains". Omega, 40(6), 906–917. Waters, D. (2003). Inventory Control and Management. West Sussex, England: John Wiley & Sons, Ltd. Webster, K. (2001). "The Scope and Structure of the Food Supply Chain". In J. F. Eastham, L. Sharples, & S. D. Ball (Eds.), Foos Supply Chain Managenet: Issues for Hospitality and Retail Sector (First Edit, pp. 37–54). Oxford: Butterworth Heinemann. Xie, Y., Liang, X., Ma, L., & Yan, H. (2016). "Inventory Rationing and Markdown Strategy in The Presence of Lead-Time Sensitive Customers". Operations Research Letters, 44(4), 525–531.
101
Xue, M., Zhang, J., & Tang, W. (2014). "Optimal Temperature Control for Quality of Perishable Foods". ISA Transactions, 53(2), 542–546. Yun, Z., Jin, S., Ding, Y., Wang, Z., Gao, H., Pan, Z., … Deng, X. (2012). "Comparative Transcriptomics and Proteomics Analysis of Citrus Fruit, to Improve Understanding of The Effect of Low Temperature on Maintaining Fruit Quality During Lengthy Post-Harvest Storage". Journal of Experimental Botany, 63(8), 2873–2893. Zanoni, S., & Zavanella, L. (2012). "Chilled or frozen ? Decision Strategies for Sustainable Food Supply Chains". Intern. Journal of Production Economics, 140(2), 731–736. Zhang, M., & Li, P. (2012). "RFID Application Strategy in Agri-Food Supply Chain Based on Safety and Benefit Analysis". Physics Procedia, 25, 636–642. Zhang, W.-E., Wang, C.-L., Shi, B.-B., & Pan, X.-J. (2016). "Effect of Storage Temperature and Time on The Nutritional Quality of Walnut Male Inflorescences". Journal of Food and Drug Analysis, 1–11. Zhao, L., Tian, P., & Li, X. (2012). "Dynamic Pricing in The Presence of Consumer Inertia". Omega, 40(2), 137–148. Zhiping, D., Ranran, L., & Huaifu, M. (2011). "An Engineering Pricing Model for Scenic Spots Based on Revenue Management". Systems Engineering Procedia, 1, 279–285. Zhong, B., Yang, F., & Chen, Y. (2015). "Information Empowers Vegetable Supply Chain : A Study of Information Needs and Sharing Strategies Among Farmers and Vendors". Computers and Electronics in Agriculture, 117, 81–90.
102
BIOGRAFI PENULIS
Memiliki nama lengkap DYAH SATITI, penulis lahir tanggal 07 September 1992 di Surabaya, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Dr. Ir. Sutarman, MP dan Eny Iswatiningsih. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Ketintang III Surabaya, SMP Negeri 6 Surabaya, SMA Negeri 6 Surabaya, dan berlanjut hingga perguruan tinggi di Universitas Brawijaya Jurusan Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2010 hingga 2014 untuk mengambil pendidikan strata-1. Setelah lulus menjadi sarjana, penulis kemudian melanjutkan studi strata-2 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Jurusan Teknik Industri Konsentrasi Logistik dan Manajemen Rantai Pasok pada tahun 2015 hingga 2017. Selama menempuh jalur pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu jurnalistisk di SMP Negeri 6 Surabaya, serta karya ilmiah remaja dan sinematografi di SMA Negeri 6 Surabaya. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail
[email protected]
103