PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra*, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada *corresponding author :
[email protected]
ABSTRAK Penentuan paleogeografi suatu daerah sangat penting dalam suatu eksplorasi hidrokarbon. hal tersebut mempunyai dua arti penting, yang pertama untuk mengetahui arah sumber batuan dan yang kedua untuk mengetahui geometri batuan. Salah satu cara untuk mrngetahui paleogeografi adalah dengan menggunakan struktur slump. Struktur slump dapat menunjukkan dimana arah tinggian purba dan dimana arah cekungan purba. Lokasi penelitian berada pada tebing vertikal singkapan Formasi Halang di Desa Wonosari, Kecamatan Selang, Kabupaten Kebumen. Pada singkapan tersebut dilakukan pengukuran stratigrafi 1:100, pengukuran arah slump, dan pengambilan sampel batuan untuk analisis petrografi. Susunan batuan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua asosiasi fasies, yang pertama yaitu asosiasi fasies perselingan batupasir dan napal sedangkan yang kedua yaitu asosiasi fasies napal sisipan batupasir. Daerah tersebut pada kisaran Miosen-Pliosen merupakan sebuah paparan laut dangkal yang dikelilingi oleh tinggian karbonat di sebelah utara dan selatanya. Tidak jauh dari paparan tersebut terdapat gunungapi aktif. Selama proses pengendapan terjadi dua kali transgresi dan sekali regresi.
I. PENDAHULUAN Pemodelan suatu lingkungan pengendapan mempunyai peranan peranan yang cukup penting dalam ilmu geologi, hal itu dikarenakan pemodelan memberikan dasar untuk prediksi litologi secara tiga dimensi (Asquith, 1979). Penyusunan model paleogeografi suatu daerah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa unit pengendapan seperti tipe batuan, geometri, dan struktur sedimen. Struktur slump merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk melakukan pemodelan paleogeografi karena struktur tersebut dapat menunjukkan dimana letak tinggian dan rendahan purba pada suatu cekungan pengendapan.
ke arah Purworejo sejauh 8 km, kemudian belok ke arah utara memasuki gapura Desa Wonosari sejauh 1,5 km. Singkapan akibat proses penambangan akan terlihat memanjang pada arah utara – selatan sepanjang 100 m dengan tinggi sekitar 18 m di sisi timur jalan aspal kecil (lihat gambar 2). Penelitian dibatasi pada singkapan bagian selatan, dimana antara bagian selatan dan bagian utara dipisahkan oleh zona sesar yang cukup besar, dengan sesar normal dan sesar naik memotong lapisan batuan yang menunjukkan adanya sinklin (Putra dan Husein, 2015).
II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan stratigrafi terukur skala 1:100 dengan metode Tongkat Jacob. Dalam pembuatan stratigrafi terukur ini dilakukan pula pengukuran kemiringan lapisan batuan dan pengukuran lapisan yang mengalami slumping. Pengambilan sampel pada beberapa lapisan terpilih dilakukan untuk analisis petrografi.
Lokasi daerah penelitian ini berada di sebuah tebing area pertambangan tradisional di Bukit Bajangan, Desa Wonosari, Kelurahan Selang, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (lihat gambar 1.). Lokasi ini ada pada koordinat UTM 49S 0356401 9150099. Lokasi ini dapat dicapai dengan mudah dari Alun-Alun Kota Kebumen berjalan 670
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
fluktuatif. Setelah terjadi energi yang cukup tinggi, dengan sendirinya energi akan melemah secara perlahan yang mengakibatkan kondisi yang cukup tenang dan relatif lebih dalam sehingga terendapkan napal yang mengandung kuarsa dan foraminifera plangtonik. Asosiasi fasies yang kedua adalah napal dengan sisipan batupasir (FA 2). Napal dan batupasirnya menunjukkan ciri yang sama dengan napal dan batupasir pada asosiasi fasies pertma. Dominasi napal pada asosiasi fasies ini menunjukkan kondisi yang cukup tenang dengan kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan kondisi pembentukan asosiasi fasies yang pertama. Struktur sediemn yang berkembang pada asosiasi fasies ini adalah perlapisan paralel.
III. HASIL Pengukuran stratigrafi menghasilkan log batuan setebal 44 m (lihat gambar 3). Batuan setebal 44 m tersebut dapat dibagi menjadi dua asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies perselingan batupasir dan napal (FA 1). Asosiasi fasies ini tersusun oleh perulangulangan lapisan batupasir yang berubah secara gradual menjadi napal. Batupasir mempunyai ciri berwarna abu-abu, berukuran butir pasir sedang, bentuk butir dominan subrounded, kemas tertutup, komposisi tersusun oleh plagioklas, kuarsa, fosil foraminifera plangtonik, dan litik sedimen (lihat gambar 4). Sedangkan napalnya memiliki ciri berwarna putih kecoklat-coklatan, berukuran butir lanau hingga pasir halus, tersusun oleh material sedimen berukuran butir lanau dan beberapa kuarsa serta fosil foraminifera plangtonik (lihat gambar 5). Secara umum fasies ini terendapkan pada lingkungan laut. Kehadiran struktur perlapisan lentikuler menunjukkan fasies ini terbentuk pada daerah yang cukup dangkal, dimana pengaruh pasang surut harian masih bisa dirasakan. Kehadiran kuarsa yang menunjukkan kenampakan embayment, plagioklas yang cukup melimpah dengan bentuk yang masih meruncing dan adanya sisipan tuf putih karbonatan (lihat gambar 6) pada fasies ini menunjukkan bahwa aktivitas vulkanik hadir pada saat pembentukan fasies ini. Beberapa lapisan batupasir ada yang menunjukkan berwarna merah dan tidak bersifat karbonatan yang disebabkan karena pada saat itu mengalami ekspos di atas muka air laut, yang mengakibatkan terjadinya oksidasi dan hilangnya sifat karbonat. Selain aktivitas vulkanik, terdapat pula peranan terumbu yang menjadi penyuplai material sedimen di sini, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya beberapa lapisan coquina hadir pada susunan batuan ini. Energi tinggi tidak selamanya terjadi pada pembentukan fasies ini, akan tetapi energi pada saat pembentukan fasies ini bersifat sangat
Pada susunan batuan setebal 44 m dapat diamati adanya 9 kali slump. Proses slump tersebut melibatkan kedua asosias fasies batuan yang ada. Dua slump pertama menunjukkan arah pergerakan dari utara ke selatan. Sisanya, yaitu slump ke tiga hingga sembilan menunjukkan arah pergerakan sebaliknya, yaitu dari selatan ke utara.
IV. PEMBAHASAN Pada waktu pembentukan batuan di daerah ini terjadi dua kali peningkatan muka air laut dan satu kali penurunan muka air laut yang berada di antaranya. Peningkatan muka air laut mengakibatkan perubahan dari asosiasi fasies 1 menjadi asosiasi fasies 2, sedangkan penurunan muka air laut mengakibatkan perubahan dari asosiasi fasies 2 menjadi asosiasi fasies 1. Peningkatan muka air laut yang terjadi sebanding dengan meningkatnya suplai sedimen yang masuk ke dalam cekungan ini, walaupun pada akhirnya nilai peningkatan muka air laut tetap lebih besar daripada suplai sedimen yang masuk. Peningkatan suplai sedimen yang relatif cepat ke dalam cekungan laut dangkal ini megakibatkan terjadinya slump. Pada awal pengendapan suplai sedimen mempunyai 671
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
smber dari arah utara, yang ditunjukkan oleh arah kepala slump yang menghadap ke selatan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dominasi penyuplai material sedimen mulai berubah, yang tadinya dari utara berpindah menjadi dari selatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan hadirnya tujuh kali slump dengan arah dari selatan ke utara.
laut dangkal dengan terumbu/tinggian karbonat di sisi utara dan selatannya. Gunungapi aktif berada di sekitar paparan karbonat tersebut. Proses transgresi terjadi dua kali ketika pembentukan batuan pada waktu tersebut. Walaupun kenaikan muka air laut terjadi akan tetapi suplai sedimen yang masuk ke dalam cekungan ini masih sedikit bisa mengimbangi kenaikan muka air yang terjadi. Hal itu mengakibatkan terjadinya proses slump, dimana pada mulanya proses slump berasal dari tinggian di sisi utara kemudian berubah dari tinggian yang ada di sisi selatan.
Suksesi litologi yang ada di daerah ini dan beberapa kali proses slump yang terjadi menunjukkan bahwa daerah ini berada pada sebuah cekungan laut dangkal yang tidak jauh dari gunungapi aktif sebagai pemasok sedimen selain dari terumbu. Kemungkinan cekungan ini berupa paparan yang ditunjukkan oleh perlapisan paralel yang menerus cukup panjang. Paparan ini dikelilingi oleh tinggian karbonat di sisi utara dan selatannya.
VI. UCAPAN TERIMA KASIH Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Geologi UGM atas bantuannya dalam penelitian ini. Tak lupa terima kasih diucapkan kepada Devy Risky Panji Wijaya dan Fareza Sasongko Yuwono atas bantuannya dalam kegiatan pengambilan data di lapangan.
V. KESIMPULAN Daearh Bukit Bajangan pada kisaran waktu Miosen - Pliosen merupakan sebuah paparan
DAFTAR PUSTAKA Asikin, S., Handoyo, A., Busono, H., dan Gafoer, S., 1992. Peta Geologi Regional Lembar Kebumen, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Asquith, G.B., 1979. Subsurface Carbonate Depositional Models : A Coincise Review. The Petroleum Publishing company, Tulsa, Oklahoma, 121 pp. Putra, A.F. dan Husein, S., 2015. Structural Interpretation of Tectonically Associated Normal and reverse Faults of Bukit Bajangan in Kebumen Central Java, in : Proceedings of Indonesian Petroleum Association 39th Annual Convention and Exhibition May 2015. Jakarta. Reineck, H-E., Singh, I.B., 1975. Depositional Sedimentary Environments. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, 439 pp.
672
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
GAMBAR
Gambar 1. Lokasi daerah penelitian.
Gambar 2. Foto tebing singkapan Bukit Bajangan (kamera menghadap tenggara). Terlihat adanya kenampakan kepala slump yang mengarah ke utara (tanda panah merah). 673
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
r q
p Gambar 4. Sayatan tipis batupasir (sampel EGR 4.7). Terlihat adanya plagioklas (p), foraminifera plangtonik (q), dan kuarsa (r).
Gambar 5. Sayatan tipis pada napal (sampel EGR 4.8).
Gambar 3. Log batuan daerah penelitian.
Gambar 6. Sayatan tipis pada tuf putih karbonatan (sampel EGR 4.4). Terlihat adanya 674 foraminifera plangtonik (tanda panah merah).