30
BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ABSTRACT The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats; the physical factors influencing the community structure of the bats and the physical factors influencing the preference roosting place. This study was conducted from September 2008 to March 2009 in twelve caves in Gombong Karst Area, Central Java. The mapping of the roosting place was carried out using forward method. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009. The data were analyzed by ANOVA, Redundancy analysis (RDA) and canonical correspondence analysis (CCA). The result showed: 1) Fifteen species (eleven species of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The length, height, and width of the cave corridor influenced the community structure of the bats; 3) The microclimate factors which influenced the roosting place preference were the sound intensity, the distance from the cave entrance, the temperature, the humidity, and the light intensity. Based on the factors mentioned, there were five goup of bats, each of which has specific patterns of roosting preference. Key words: cave, bat, roosting preference, Gombong karst.
Pendahuluan Kawasan Karst Gombong terletak di Jawa Tengah bagian selatan, tepatnya pada 7°27'-7°50' LS dan 109°22' - 109°50' BT. Menurut Whitten et al. (1999), Paparan Sunda awalnya merupakan lautan tropik dangkal yang dasarnya banyak mengendap kalsium karbonat yang dihasilkan oleh binatang berkerangka kapur dan foraminifera. Dasar laut tersebut terdorong ke atas oleh gaya tektonik, akibatnya terbentuk barisan bukit karst. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Pusat Survei Geologi Badan Geologi Nasional (2006), bahwa Karst Gombong berada di atas batuan gamping yang mengandung fosil biota laut: Radiolaria, Hedbergella, Ratalipora dan Bolivisoides cf. exculpta. Pelarutan batu gamping ini berlanjut
31 dengan proses abrasi sehingga menghasilkan gua yang bercabang-cabang, gelap, lembap, temperatur stabil, dan sirkulasi udara terbatas. Di kawasan Karst Gombong terdapat sekitar 112 gua karst, dan lebih dari 60 gua di antaranya dihuni kelelawar (DISPARHUB Kebumen 2004). Menurut Boudinette et al. (1994), Duran & Centano (2002), dan Twente (2004), dinding dan atap gua membentuk fisik dan mikroklimat yang berbeda antara satu gua dengan gua lainnya. Perbedaan fisik dan
mikroklimat tersebut menyebabkan
setiap gua membentuk ekosistem yang unik dan dihuni oleh keanekaragaman jenis fauna yang khas. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut diduga setiap gua di kawasan Karst Gombong akan memiliki keanekaragaman jenis kelelawar berbeda. Namun, belum ada hasil penelitan yang menunjukkan ke arah itu. Hasil-hasil penelitian mengenai kelelawar di luar Indonesia membuktikan bahwa tiap jenis kelelawar cenderung memilih sarang di dalam gua dengan kondisi yang sesuai bagi kebutuhan tubuhnya. Penelitian Zahn & Hager (2005) mendapatkan Myotis daubentonii jantan menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan M. daubentonii betina di gua-gua di Eropa Tengah. Penelitian Duran & Centano (2002) membuktikan kelelawar Pteronotus quadridens bersarang di gua dengan suhu 28oC s/d 35oC, dan Erophylla sezekorni bersarang di gua dengan suhu 25 oC s/d 28 oC. Di samping itu, diduga terdapat faktor-faktor fisik dan mikroklimat lain selain suhu yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengkaji biodiversitas penghuni
kelelawar
gua berdasarkan faktor-faktor fisik gua di Karst Gombong;
Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang pemilihan sarang kelelawar gua.
2)
berpengaruh terhadap pola
Hipotesis penelitian ini adalah : 1) )
Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi secara nyata oleh panjang lorong, tinggi lorong, serta jumlah pintu, dan jumlah ventilasi gua; 2) Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari pintu gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan, kecepatan angin, intensitas cahaya, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang.
32
Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada
September 2008 s/d
Maret
2009.
Lokasi
penelitian di kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang terletak pada koordinat 7°36' - 7°48' LS dan 109°24' - 109°28' BT (Gambar 11).
Gambar 11 Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Sumber: ESALab PPLH IPB 2010) Pengamatan dilakukan di 12 gua yang terdapat di kawasan Karst Gombong, yaitu Gua Macan (07O39.745LS/109O26.163 BT); Gua Celeng (07O42.380LS/ 109O23.624 BT); Gua Dempo (07O40.195LS/109O25.632 BT); Gua Inten (07O40.211LS/109O25.592 BT); Gua Jatijajar (07O39.994LS/109O25.262 BT);
33 Gua Kampil (07O42.389LS/109O23.836 BT); Gua Kemit (07O42.247LS/ 109O23.638 BT); Gua Liyah (07O42.392LS/109O23.838 BT); Gua Petruk (07O42.315LS/109O24.130BT); Gua Sigong (07O42.487LS/109O23.389 BT); Gua Tiktikan
(07O40.166LS/109O25.595BT);
dan
Gua
Tratag
(07O42.267LS/
109O23.66BT). Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mamalia PUSLIT Biologi LIPI Cibinong.
Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah chloroform dan alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah: Global Positioning System (GPS) merk Garmin; altimeter merk Krisbow, kompas merk Sunto; pita ukur (50 m); mist net; hand net; harp trap; kantong spesimen; bambu; timbangan digital; jangka sorong; lux meter; anemometer; sound level meter; digital thermometer; digital hygrometer; oksigen meter; generator; pompa vacum; dan air quality checker (Gambar 12).
Gambar 12 Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua
Cara kerja Sebelum menentukan gua pengamatan, dilakukan survei pendahuluan dengan tujuan mencari informasi mengenai kondisi umum, sebaran gua, jumlah gua, dan tipe gua di kawasan Karst Gombong. Survei pendahuluan dilakukan dengan cara menjelajah kawasan Karst Gombong dan mencari data sekunder ke PEMDA Kabupaten Kebumen; Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten
34
Kebumen; serta ke
Badan Geologi Nasional di Bandung. Penentuan gua
pengamatan dilakukan dengan metode purposive random sampling, yaitu gua pengamatan ditentukan sebanyak 10% dari seluruh gua yang ada.
Berdasarkan
survei pendahuluan diketahui bahwa di kawasan Karst Gombong terdapat 112 gua. Maka ditentukan sekitar 10% atau dua belas gua sebagai objek penelitian. Dua belas gua tersebut dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan panjang lorong gua, yaitu lorong gua pendek (kurang dari 100 m) sebanyak tiga gua (Gua Tiktikan, Gua Tratag, Gua Sigong); lorong gua sedang (antara 100 m s/d 200 m) sebanyak tiga gua (Gua Macan, Gua Dempo, Gua Kampil); lorong gua panjang (antara 200 m s/d 350 m)
sebanyak tiga gua (Gua Inten, Gua Kemit, Gua
Jatijajar), dan lorong gua sangat panjang (lebih dari 350 m) sebanyak tiga gua (Gua Petruk, Gua Celeng, Gua Liyah). Titik koordinat setiap gua ditentukan
dengan menggunakan GPS.
Permeating lokasi sarang kelelawar dilakukan dengan menelusuri semua lorong gua, mulai dari mulut/pintu gua (entrance) sampai ujung gua (duck). Metode pemetaan yang digunakan adalah metode foreward (HIKESPI 2004)
yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut: orang pertama berdiri di titik pertama (mulut gua) dan orang kedua di titik kedua (belokan/simpangan); setelah pembacaan alat selesai, orang pertama berdiri di titik kedua, orang kedua di titik ketiga (belokan/simpangan berikutnya). Begitu seterusnya sampai titik terakhir di ujung gua (Gambar 13). Berdasarkan kriteria BCRA (British Cave Researche Association) grade pemetaan yang dihasilkan dengan metode ini adalah grade III (Subterra 2004). Hal ini karena alat yang digunakan terbatas pada kompas dan pita ukur, dimana derajat kesalahan pengukuran sudut adalah ± 2.5o, dan derajat kesalahan pengukuran jarak ± 50 cm (Subterra 2004).
35
Step I
Step II
Step III
Gambar 13 Pemetaan gua dengan metode foreward (Hikespi 2004) Parameter fisik gua yang diukur adalah: panjang lorong gua, lebar lorong gua, tinggi lorong gua, jumlah mulut gua dan jumlah ventilasi gua. Panjang lorong gua diukur mulai dari mulut gua sampai ujung gua dengan menggunakan pita meter. Bila terdapat percabangan lorong gua, semua percabangan tersebut juga diukur dan hasil pengukurannya dijumlahkan. Lebar lorong gua diukur dengan cara sebagai berikut: ditentukan lima lokasi di dalam lorong gua secara acak, kelima lokasi tersebut diukur lebarnya (tegak lurus dari satu dinding gua ke dinding lain yang berseberangan) menggunakan pita meter, kemudian dihitung rata-ratanya. Tinggi lorong gua juga diukur pada lima lokasi yang dipilih secara acak dan dihitung rata-ratanya. Cara yang dilakukan bergantung pada kondisi gua. Cara tersebut adalah: 1) menggunakan tali rafia yang diikat dengan batu, batu dilempar tegak lurus hingga menyentuh atap gua, panjang tali rafia yang terbawa lemparan batu diukur (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap tinggi dan sedikit stalaktit); 2) menggunakan 3 potongan bambu yang disambung fleksibel (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap tidak terlalu tinggi). Mengingat tingkat kesulitan yang cukup tinggi, pengukuran fisik gua hanya dilakukan satu kali, yaitu pada bulan Februari sampai Maret 2009. Pengukuran parameter
fisik mikroklimat
sarang
dilakukan di bawah
sarang kelelawar pada jarak terdekat dari sarang yang mungkin terjangkau. Pengukuran kadar amonia udara dilakukan
dengan cara: udara di bawah sarang
kelelawar dihisap menggunakan pipa vacum dan dialirkan ke pingel yang telah
36
berisi absorban NH3 selama 120 menit (Gambar 14). Larutan absorban yang telah bercampur dengan NH3 dari udara dipindahkan ke dalam tabung yang tertutup rapat. Pembacaan konsentrasi NH3 dilakukan di laboratorium dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran parameter lingkungan sarang kelelawar diulang sebanyak 3 kali pada bulan yang berbeda (Februari; Juni; Oktober 2009). Kecuali pengukuran amonia udara hanya dilakukan satu kali (Maret 2010).
Gambar 14 Pengukuran kadar amonia udara Estimasi jumlah kelelawar di setiap sarang dilakukan dengan menghitung langsung (direct count) kelelawar di sarangnya. Penghitungan dilakukan pada siang hari (10.00 WIB s/d 15.00 WIB) saat kelelawar bersarang di dalam gua dengan cara (Saroni 2005) : 1) Diukur luas sarang dengan membuat proyeksi sarang ke lantai gua; 2) Tiap satu sarang dibuat tiga kuadrat secara acak masingmasing berukuran 1 meter persegi; 3) Pada setiap kuadrat dihitung jumlah kelelawar; 4) Jumlah kelelawar tiap sarang adalah luas sarang dikalikan jumlah kelelawar rata- rata pada setiap kuadrat (Gambar 15).
kuadrat I kuadrat III
kuadrat II .
1m
Gambar 15 Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang
37 Pengambilan sampel kelelawar dilakukan pada setiap sarang. Cara yang dilakukan bergantung pada kondisi gua (formasi gua, keberadaan stalaktit dan tinggi atap gua). Cara tersebut adalah : 1) menggunakan hand net, apabila formasi gua sederhana dan sarang terjangkau hand net; 2) menggunakan mist net yang dipasang di sekitar mulut gua, apabila sarang pada posisi tinggi, dan lorong gua lebar; 3) menggunakan harpa trap yang dipasang di mulut gua, apabila sarang berada pada posisi tinggi dan lorong gua sempit (Gambar 16).
a) hand net
b) mist net
c) harpa trap
Gambar 16 Pengambilan sampel kelelawar Jumlah minimal sampel kelelawar yang diambil pada setiap sarang adalah lima ekor. Sampel kelelawar yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong blacu, kemudian dilakukan pengukuran morfometri untuk identifikasi awal. Setelah itu sampel dibius dengan menggunakan chloroform dan direndam dalam alkohol 70%.
Identifikasi sampel dilakukan di laboratoriun Mamalia LIPI
Cibinong dengan menggunakan buku kunci identifikasi Mamalia: The Mammals of the Indomalayan Region: a Systematic Review (Corbet & Hill 1992).
Analisis data Kelimpahan populasi kelelawar pada setiap sarang dihitung dengan cara pendugaan berdasarkan luas sarang, dengan rumus (Saroni 2005): P= D x L Keterangan : P= kelimpahan populasi kelelawar (individu) D= kepadatan ( individu/meter2) L= luas hunian (meter2 ).
38
Struktur
komunitas
yang
diamati
meliputi:
kelimpahan,
indeks
keanekaragaman jenis (H’), kekayaan jenis (S), dan indeks kemerataan jenis (E). Untuk menentukan indeks keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap gua digunakan rumus indeks keanekaragaman (H’) Shannon & Wiener (Magurran 2004) sebagai berikut: H’= - ∑ ( ni/N) ln (ni/N) Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah total individu Indeks keanekaragaman jenis kelelawar ini dihitung menggunakan software ecological methodology versi 5.1. Indeks kemerataan jenis kelelawar dianalisis dengan digunakan indeks kemerataan Simpson (E), dengan rumus sebagai berikut (Magurran 2004): E = H’/ ln S Keterangan : E = indeks kemerataan
H’ = indeks keanekaragaman
S = jumlah spesies
Indeks kemerataan jenis kelelawar dihitung menggunakan software ecological methodology versi 5.1. Kecenderungan hubungan antara parameter fisik gua dengan struktur komunitas kelelawar dianalisis dengan analisis multivariat RDA (Redundancy analysis). RDA merupakan penjabaran dari regesi linear berganda memakai model linear dengan variabel X dan Y.
Adapun parameter fisik gua yang
dianalisis adalah panjang lorong gua, tinggi lorong gua, lebar lorong gua, jumlah ventilasi, dan jumlah pintu gua. RDA dihitung menggunakan software Canoco for windows 4.5 (Leps & Smilauer 1999; Koneri 2007). Untuk mengetahui nilai korelasi faktor fisik gua dengan
struktur komunitas kelelawar dilakukan uji
korelasi Spearmen dengan taraf kepercayaan 95% menggunakan software SPSS versi 15. Pengaruh mikroklimat gua terhadap pemilihan sarang kelelawar, dianalisis dengan analisis multivariat CCA
(canonical correspondence analysis)
menggunakan software canoco for windows 4.5. Penggunaan metode CCA ini
39 bertujuan untuk menentukan hubungan dalam bentuk grafik serta mengungkap informasi maksimum dari suatu matriks data dengan faktor lingkungan secara bersamaan. Matriks data tersebut terdiri atas jenis kelelawar
dan faktor
lingkungan yang terdiri atas 9 parameter yaitu; jarak dari mulut gua, tinggi sarang, suhu, kelembapan, intensitas cahaya, intensitas suara, kecepatan angin, persentasi oksigen udara, dan kadar amonia udara. Untuk mengurutkan mikroklimat yang paling berpengaruh terhadap pemilihan sarang kelelawar digunakan RDA (Redundancy analysis) dengan metode forward selection dan diuji menggunakan monte carlo permutation dengan 199 permutasi acak (Leps & Smilauer 1999; Koneri 2007).
Hasil Biodiversitas dan sebaran sarang kelelawar Hasil penelusuran gua menunjukkan bahwa dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh gua dihuni kelelawar, dan dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Kelelawar Megachiroptera terdiri atas: Cynopterus horsfieldii Gay, 1843
Cynopterus
brachyotis (Muller, 1838); Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810);
dan
Eonycteris spelaea (Dobson,1871). Kelelawar Microchiroptera terdiri atas (Chaerophon plicata (Buchannan,1800), Hipposideros ater Templeton, 1848; Hipposideros cf.ater; Hipposideros sp; Hipposideros bicolor (Temminck, 1834); Hipposideros sorenseni Kitchener & Maryanto, 1993; Hipposideros diadema (Geoffroy,1813); Rhinilophus borneensis Peters, 1861; Horsfield, 1823;
Rhinolophus affinis
Miniopterus australis Tomes, 1858; dan
Miniopterus
schreibersii (Kuhl, 1819). Gambar jenis-jenis kelelawar yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 1. Gua Petruk paling banyak dihuni oleh
kelelawar yaitu sembilan jenis,
diikuti oleh Gua Celeng (4 jenis), Gua Dempo, Gua Liyah, Gua Inten, Gua Kemit, Gua Jatijajar (masing-masing 3 jenis), Gua Macan (2 jenis), Gua Sigong dan Gua Tratag (1 jenis). Gua Tiktikan dan Gua Kampil tidak dihuni kelelewar. Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar yang ditemukan di gua-gua Karst
40
Gombong tersaji pada Tabel 1. Jenis dan kelimpahan kelelawar yang ditemukan pada gua-gua yang dihuni kelelawar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 17. Peta sebaran sarang kelelawar pada setiap gua dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa sarang kelelawar tersebar mulai dari mulut gua sampai bagian terdalam gua. Ada indikasi beberapa jenis kelelawar hanya menempati satu sarang dalam satu gua. Hal menarik ditemukan di Gua Jatijajar, yaitu H. sorenseni (Subordo: Microchiroptera) ditemukan dalam dua sarang yang letaknya berjauhan, sementara di gua-gua lainnya satu jenis kelelawar hanya menempati satu sarang dalam satu gua. Tabel 1 Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar
Gua Sigong Gua Tiktikan Gua Tratag
PL (m) 40 58 68
Fisik gua LL TL (m) (m) 4.8 1.8 8.2 3.1 8.4 2.6
Gua Dempo Gua Kampil Gua Macan
104 104 185
18 4.4 10.4
Gua Inten Gua Kemit
208 210
Gua Jatijajar Gua Liyah Gua Celeng Gua Petruk
Nama Gua
P
V
1 1 2
0 0 4
N (ekor) 3.7±1.15 0 2.0±1.20
8.9 3.1 4.2
3 1 2
4 0 1
82.5±14.80 0 98.3±11.59
18 10.2
14.2 6.8
1 1
2 0
1008.3±7.10 1266.6±44.00
310 380 410
12.8 22 26
12.6 8.4 6.2
3 2 1
3 2 0
802.0±52.40 715.0±125.60 876.0±26.00
420
32
14.2
2
3
4540.6±45.00
Keterangan: PL= panjang lorong gua LL= lebar lorong gua TL= tinggi lorong gua
P = jumlah pintu gua V= ventilasi gua N = kelimpahan
Struktur komunitas kelelawar S H'
1 0 1 3 0 2 3 3 3 3 4 9
E
0 0 0
-
0.47±0.07 0 0.16±0.09
0.39±0.03 0.53±0.02
1.02±0.01 0.85±0.16
0.67±0.01 0.55±0.08
0.93±0.10 1.03±0.01 0.91±0.08
0.58±0.07 0.65±0.01 0.05±0.13
1.49±0.09
0.21±0.01
S = jumlah jenis H’= indeks keanekaragaman jenis E = indeks kemerataan
Kelelawar subordo Megachiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya adalah E. spelaea (5 sarang), diikuti oleh R. amplexicaudatus (3 sarang); C. brachyotis (3 sarang), dan C. horsfieldii
(1 sarang). Kelelawar
Microchiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya berturut-turut adalah H. sorenseni (8 sarang); C. plicata (2 sarang) dan H. larvatus (2 sarang). Sedangkan M. australis; M. schreibersi; R. affinis dan R. borneensis masingmasing hanya ditemukan satu sarang.
41
Tabel 2 Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar Jenis
Sigong
C. brachiotis1 C. horsfieldii1 E.spelaea1 R. amplexicaudatus1 C. plicata2 Hipposideros sp2 H.ater2 H.cf. ater2 H.bicolor2 H. diadema2 . H. sorenseni2 M. australis2 M. schreibersii2 R. affinis2 R. borneensis2
Tratag
Dempo
6.0±0.00
Inten
Kemit
Jatijajar
2.9±1.52
Liyah
Celeng
4.2±3.30
Petruk
2.5±1.00
5.3±1.15 3.6±1.15
2.0±0.00 4.5±2.12
3.3±0.95
4.0±2
4.0±3.05 5.3±0.71 606.6±120.55
3.3±0.50 3137.3±254.34
263.3±148.08
135.5±82.92 577.0±67.99 467.0±157.42 18.5±50 115.0±96.40
205.3±84.03
76.0±16.97
Keterangan: 1= anggota subordo Megachiroptera 2
Macan
= anggota subordo Microchiroptera
96.0±12.00
458.0±70.08
313.2±97.62
365.0±80.62
488.7±20.96 388.0±99.97 550.0±73.93 50.0±8.64
kelimpahan (log n+1)
G ua G Sig ua o T ng G ikti ua ka G Tr n ua at a G Dem g ua po G Kam ua M pil G a ca ua n G In u te G aK n ua e Ja mit G tijaj u a G aL r ua iy C ah G el e ua n Pe g tru k
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
R. borneensis R. affinis M. schreibersii M. australis H. sorenseni H. diadema H.bicolor H.cf. ater H.ater Hipposideros sp C. plicata R. amplexicaudatus E.spelaea C. horsfieldii C. brachiotis
Gambar 17 Sebaran jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua
Struktur komunitas kelelawar Struktur komunitas yang dimaksud adalah keberadaan kelelawar dalam konteks ruang yang meliputi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis. Kelimpahan dan indeks keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi terdapat di Gua Petruk, sedangkan indeks kemerataan jenis tertinggi di Gua Inten. Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kelelawar di semua gua tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Struktur komunitas kelelawar di setiap gua (n=3) Lokasi Gua Sigong Gua Tiktikan Gua Tratag Gua Dempo Gua Kampil Gua Macan Gua Inten Gua Jatijajar Gua Liyah Gua Celeng Gua Petruk
Kelimpahan (N) 3.60±1.15 0 2.00±1.20 82.50± 14.80 0 98.30± 11.591 1008.30± 71.50 802.00± 52.40 715.00±125.60 876.32±265.70 4540.61±457.80
Kekayaan Jenis (S) 1 0 1 3 0 2 3 3 3 4 9
Indeks keanekaragaman (H') 0 0 0.47±0.070 0 0.16±0.090 1.02±0.010 0.93±0.100 1.03±0.010 0.91±0.083 1.49±0.090
Indeks kemerataan (E) 0.40±0.030 0.53±0.020 0.67±0.010 0.59±0.070 0.66±0.010 0.48±0.130 0.21±0.009
43 Hasil RDA hubungan antara struktur komunitas kelelawar dengan parameter fisik gua menunjukkan bahwa panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG) dan tinggi lorong gua (TG) berkorelasi nyata (P<0.05) dengan kelimpahan (N), indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis kelelawar (E). Namun, jumlah pintu (P) dan jumlah ventilasi gua (V) tidak berkorelasi nyata (P>0.05) dengan kelimpahan (N), indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis kelelawar (E). Panjang panah pada Gambar 18 menunjukkan kekuatan korelasi antara variabel. Variabel dengan arah panah yang sama berkorelasi positif, arah panah berlawanan berkorelasi negatif, arah panah tegak lurus tidak berkorelasi. Nilai sudut antara dua panah menggambarkan nilai korelasi kedua variabel. Semakin sempit sudut yang terbentuk antara dua variabel maka semakin tinggi korelasinya, semakin tumpul semakin rendah korelasinya.
0.6
Hasil RDA disajikan pada Gambar 18.
TG
Axis 2 (22 %)
V
S P
PG LG H.
N
-0.6
E
-0.2
Gambar 18
Axis 1 (45.9 %)
1.0
Redundancy anlysis(RDA ) hubungan kelimpahan (N), kekayaan jenis (S), keanekaragaman jenis (H’), dan kemerataan jenis (E) kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua (V).
Gambar 18 menunjukkan bahwa kelimpahan (N) berkorelasi positif dengan panjang lorong gua, lebar lorong gua dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi adalah dengan
panjang lorong gua
(RS=0.827; P< 0.05). Kekayaan jenis
berkorelasi positif dengan panjang lorong gua, lebar lorong gua dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi adalah dengan panjang lorong gua (RS=0.884; P< 0.05). Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkorelasi positif dengan panjang lorong gua,
44
lebar lorong gua, dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi adalah dengan lebar lorong gua (RS=0.898; P < 0.05). Indeks kemerataan jenis (E) berkorelasi positif dengan panjang lorong gua, lebar lorong gua, dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi adalah dengan lebar lorong gua (RS=0.757; P < 0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin panjang, lebar dan tinggi lorong gua menyebabkan semakin banyak jumlah populasi kekelawar, semakin tinggi keanekaragaman jenis, dan semakin merata sebaran kelelawar yang bersarang di dalamnya. Sebaliknya,
hasil uji RDA
menunjukkan tidak adanya
korelasi
signifikan (P>0.05) antara kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis kelelawar dengan jumlah ventilasi dan jumlah pintu gua. Artinya kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis kelelawar di gua-gua Karst Gombong tidak dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pintu dan jumlah ventilasi gua. Hal menarik terlihat pada dua gua yang mempunyai lorong pendek (< 100m) yaitu Gua Sigong dan Gua Tratag. Kedua gua tersebut dihuni oleh kelelawar, tetapi hanya satu jenis Megachiroptera dan jumlahnya sangat sedikit ( < 4 ekor). Sementara gua lain, yaitu Gua Kampil yang mempunyai lorong sedang (100m s/d 200m) sama sekali tidak dihuni kelelawar.
Pola pemilihan sarang kelelawar Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar pada setiap gua dapat diterangkan sebagai berikut : di Gua Macan, C.brachyotis bersarang di lokasi dengan jarak 2 ± 0.7 m, tinggi 8.8 ± 0.6 m, suhu 2 ± 0.7oC, kelembapan 54.6 ± 1.15%, intensitas cahaya 81.4 ± 50 lux, intensitas suara 289.5 ± 115 db, kecepatan angin 0.001 ± 0 m/s, kadar oksigen 21.1 ± 0.57 %, dan kadar amonia udara 944 ± 0 ppm.
Secara lengkap, hasil pengukuran
mikroklimat sarang semua jenis
kelelawar pada setiap gua dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis RDA
dengan metode seleksi langkah maju (forward
selection) menunjukkan terdapat
lima parameter fisik mikroklimat yang
mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar, yaitu jarak dari pintu gua, suhu, kelembapan, intensitas cahaya, dan intensitas suara.
Dari ke-lima parameter
tersebut yang paling dominan mempengaruhi pemilihan sarang oleh kelelawar
45 adalah intensitas suara, karena mempunyai eigenvalue tertinggi, diikuti oleh jarak dari pintu gua, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya (Tabel 5). Tabel 4 Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar (rata-rata dan standar deviasi, n= 3, kecuali NH3, n=1) Jenis
C_b C_b C_b C_b C_h E_s E_s E_s E_s
1 1 1 1 1
1 1 1 1
R_a R_a R_a
1 1 1 2
C_p C_p
2
2
Hsp
2
Hsp
H_a Hca
2
2
H_b H_d H_s H_s H_s H_s H_s H_s H_s H_s H_s
2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
M_a M_s
2
R_af R_b
2
2
J
T
S
K
IC
IS
(m)
(m)
(oC)
(%)
(lux)
(db)
Macan
2.0±0.70
8.8±0.60
27.7±0.30
54.6±1.15
81.4±50.00
289.5±11.50
Liyah
2.0±0.75
8.6±0.85
27.1±0.10
53.5±1.9.0
55.7±0.30
62.3±15.50
Tratag
1.4±0.00
12.0±0.00
28.2±0.20
56.4±0.00
406.2±0.00
Petruk
0.3±0.10
11.0±1.10
27.2±0.30
53.6±2.67
273.7±11.00
KA
O2
NH3
(m/s)
(%)
(ppm)
0.0±0.00
21.1±0.57
944
18.6±9.60
20.9±0.1
1110
82.1±0
14.2±0.00
20.9±0.00
210
257.3±75.2
20.3±11.00
20.9±0.00
1340
Gua
Jatijajar
5.8±0.55
11.6±1.80
29.9±0.70
56.6±0.50
202.9±17.00
89.5±8.14
23.4±11.00
20.9±0.00
940
Celeng
13.1±1.10
11.4±0.90
28.0±0.10
62.5±2.00
3.73±0.50
11.07±2.36
0.001±0.00
21.2±0.09
1100
Inten
12.6±0.90
11.0±0.60
28.1±0.30
60.5±0.47
7.4±4.50
16.9±3.22
0.1±0.09
20.9±0.06
1020
Dempo
13.7±1.20
11.2±1.70
28.8±0.10
59.9±1.50
2.8±2.30
43.4±4.00
2.1±1.50
21.0±0.00
722
Sigong
11.3.0±3.00
11.13±2.0
28.3±0.01
61.7±0.78
9.1±0.86
101.4±19.0
1.6±1.30
21.0±0.17
128
Macan
8.2±0.10
11.0±0.8
28.2±0.09
52.7±0.42
40±0.07
65±10.70
21.8±2.40
20.9±0.00
1108
Dempo
9.0±0.20
11.7±1.0
27.5±0.10
53.6±0.56
81.7±10.00
195.4±36.0
9.8±8.40
20.9±0.00
640
Petruk
20.5±2.80
17.7±0.6
27.1±0.10
56.2±1.40
83.8±6.80
93.2±34.00
15.7±11.00
21.1±0.11
640
Celeng
158.6±8.00
20.0±1.00
29.5±0.40
69.1`±1.00
0.1±0.10
25.5±20.60
0.0±0.00
21.9±0.48
1288
Petruk
106.8±4.00
26.5±5.00
29.3±0.20
68.9±1.68
0.0±0.00
22.6±9.10
0.5±1.09
22.0±0.05
2810
Jatijajar
160.5±2.00
2.5±0.20
29.0±0.00
79.6±0.60
0.0±0.00
33.8±43.00
0.0±0.00
21.9±3.30
1580
Kemit
307.0±3.00
3.7±0.60
29.1±0.00
77.6±0.50
0.0±0.00
3.4±0.22
0.0±0.00
22.4±0.45
1562
261.0±40.00
Petruk
1.425±0.0
26.6±0.10
77.7±0.50
0.0±0.00
11.8±6.09
0.0±0.00
22.1±0.05
1890
Petruk
308.5±1.00
3.6±0.40
26.4±0.40
77.5±0.40
0.0±0.00
4.05±2.20
1.3.0±0.50
21.8±0.16
1690
Petruk
243.9±6.00
1.55±0.40
28.7±0.20
74.7±0.90
0.5±0.10
21.0±0.22
0.0±0.00
22.1±0.05
2190
Petruk
158.3±1.00
8.5±0.97
28.2±0.16
79.2±1.22
0.0±0.00
5.6±0.90
0.0±0.00
22.0±0.00
2120
70.6±2.30
0.0±0.00
0.2±0.00
0.0±0.00
21.7±0.60
2160
Macant
93.6±10.00
8.0±0.80
28.0±0.05
Celeng
85.3±6.10
9.8±1.10
27.9±0.33
68.6±2.30
0.0±0.00
8.79±6.45
0.0±0.00
22.2±0.72
2160
Dempo
80.1±8.30
6.7±0.14
28.1±0.12
69.3±1.06
11.5±1.4
5.5.0±6.60
1.1±0.42
21.1±0.14
2664
Jatijajar
121.7±3.00
7.4±0.70
27.7±0.32
71.3±1.16
59.6±33
23.4±18.60
0.4±0.40
21.2±0.80
1230
Jatijajar
88.3±6.50
6.8±0.65
27.5±0.12
70.2±0.20
32.03±17
38.3±21.00
0.3±0.05
21.9±3.30
1140
Kemit
15.5±3.10
11.2±0.80
28.3±0.21
63.8±1.30
5.5±1.09
64.6±3.60
26.3±5.3
21.4±0.5
1100
Kemit
120.6±10.00
7.1±0.80
28.2±0.30
70.6±1.15
0.0±0.00
10.2±9.00
0.0±0.00
22.1±1.01
1486
Liyah
131.4±10.00
6.8±0.22
28.05±0.0
69.4±0.68
0.1±0.01
5.9±5.00
0.0±0.00
22.1±0.30
1653
Petruk
75.8±11.00
6.0±0.80
27.9±0.10
70.0±0.86
0.1±0.01
21.5±2.70
15.2±12.00
21.4±0.10
2090
100.6±8.00
10.0±1.73
27.4±0.50
74.0±0.67
0.1±0.01
6.1±3.38
0.0±0.00
20.9±0.16
3180
Inten Liyah
135±46.00
16.7±6.60
28.95±1.0
65.2±3.70
0.1±0.01
0.0±0.00
21.9±0.30
1872
Inten
199.7±1.00
3.9±0.57
30.2±0.50
69.0±0.49
0.0±0.00
4.6±2.80
0.0±0.00
21.9±0.57
3310
Petruk
385±5.70
4.85±0.00
28.1±0.00
81.1±1.21
0.0±0.00
0.0±0.00
0.0±0.00
22.0±0.02
561
Keterangan : R =Sarang kelelawar P = Dugaan populasi J= Jarak dari mulut gua T = Tinggi sarang S= Suhu K=Kelembapan udara
C_p = C.plicata H_a= H. ater Hca= H.cf.ater H_b = H.bicolor H_d= H.diadema Hsp= Hipposideros,sp
18.6±10
Raf= R.affinis R_b= R. borneensis C_b= C.brachyotis C_h= C. horsfieldii E_s=E .spelaea R_a=R. Amplexicaudatus
46
IC= Intensitas cahaya IS= Intensitas suara KA= Kecepatan angin
Tabel 5
H_s=H.sorenseni M_a = M.australis M_s= M.schreibersii
1 2
= Anggota Megachiroptera = Anggota Microchiroptera
Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar
Parameter Mikroklimat
Urutan
F
λ
Pvalue
Intensitas suara Jarak
1 2
10.21 5.69
0.09 0.05
0.0050* 0.0050*
Suhu
3
4.89
0.04
0.0050*
Kelembapan
4
1.98
0.02
0.0200*
Intensitas cahaya
5
1.84
0.01
0.0100*
Amonia
6
1.53
0.01
0.1100
Tinggi
7
1.41
0.01
0.1600
Angin
8
1.31
0.01
0.2200
Oksigen
9
0.96
0.00
0.2300
Keterangan : F = F rasio; λ= nilai eigenvalue; * = berbeda nyata (P<0.05). Data diperoleh dari analisis RDA dengan metode seleksi langkah maju (forward selection), dan diuji dengan menggunakan Monte Carlo permutation dengan 199 permutasi acak. Faktor fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan (preferensi) sarang untuk setiap jenis kelelawar dapat diterangkan dengan CCA (Canonical correspondence analysis).
Hasil CCA disajikan dalam bentuk grafik
Gambar 19. Gambar tersebut
pada
menunjukkan hubungan antara jenis kelelawar
dengan parameter fisik mikroklimat sarang berdasarkan 3 axis. Secara bersamasama axis 1, axis 2, dan axis 3 dapat menerangkan varian data sebesar 78.4% dari varian total. Hasil
CCA tersebut
menunjukkan pengelompokan jenis-jenis
kelelawar berdasarkan kecenderungan pemilihan sarangnya menjadi lima kelompok. Berdasarkan kecenderungan tersebut tampak adanya pola pemilihan sarang yang spesifik oleh setiap kelompok. Kelompok 1 adalah C. brachyotis, C. horsfieldii, E. spelaea dan R. amplexicaudatus, yaitu kelompok kelelawar yang memilih sarang di lokasi yang bising (intensitas suara > 20 db), dekat dari pintu gua (<50m), panas (suhu >28.5oC),
kering (kelembapan < 65%), dan terang (intens sinar >50 lux).
Kelompok lainnya, memilih sarang dengan pola yang berbeda. Kelompok yang memiliki kecenderungan sama dalam memilih sarang diduga memiliki kesamaan
47 dalam hal anatomi dan fisiologi. Secara lengkap pola pemilihan sarang kelelawar dapat dilihat pada Tabel 6. 1.0
C
H
0.6
B 13 12 1 414 5 6 I 8
G
5
F 2
ED 7
1
11
A
3
7
AXIS 3 ( 10.4 %)
AXIS 2 (22 %)
9 10
10
E
F
9 14
15 12
B3 C 4 6
8
H
G 2 11
3
5
A
1
I
-0.8 -0.6
D
1.0
AXIS 1 (45.9 %)
-0.6
a) Grafik hubungan axis 1 dan axis 2
1.0
AXIS 1 (45.9%)
b) Grafik hubungan axis 1 dan axis 3
Gambar 19 Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat sarang. 1=C.plicata; 2 = H.ater; 3 = H.cf.ater; 4 = H.bicolor; 5= H.diadema; 6= H.larvatus; 7=H.sorenseni; 8 = M.australis; 9 = M.schreibersii; 10= R.affinis; 11 = R. borneensis; 12 = C.brachyotis;13 = C. horsfieldi 14 = E .spelaea; 15= R.amplexicaudatus; A= Jarak dari mulut gua; B = Tinggi dari lantai gua; C= Suhu D= Kelembapan ;E= Intensitas cahaya ; F= Intensitas suara; G= Kecepatan angin H = Oksigen I = Amonia.
Tabel 6 Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang Kelompok
Jenis kelelawar
Intensitas suara (db)
I
C.brachyotis C.horsfieldii E.spelaea R.amplexicaudatus H.sorenseni
≥ 20 (bising)
II III
M.schreibersii R.affinis
IV
C.plicata H.cf.ater Hipposideros sp H.bicolor H.ater R.borneensis
V
Jarak dari pintu gua (m) ≤ 50 (dekat )
Suhu (oC)
Kelembapan (%)
Intensitas sinar (lux)
≥28.5 (panas)
≤65 (kering)
≥ 50 (terang)
0.5 s/d 20 (sunyi) ≤0.5 (sangat sunyi) 0.5 s/d 20 (sunyi)
50 s/d 150 (sedang) 150 s/d 250 (jauh) 150 s/d 250 (jauh )
≤28.5 (dingin) ≥28.5 (panas)
65 s/d 75 (lembap) 65 s/d 75 (lembap)
5 s/d 50 (gelap) 5 s/d 50 (gelap)
≤28.5 (dingin)
≥75 (sangat lembap)
≤5 (sangat gelap)
≤0.5 (sangat sunyi)
≥250 (sangat jauh)
≤28.5 (dingin)
≥75 (sangat lembap)
≤5 (sangat gelap)
48
Pembahasan Jumlah semua jenis kelelawar yang ditemukan di gua-gua Karst Gombong mencapai 15 jenis atau 10% dari 151 jenis yang pernah dilaporkan terdapat di Indonesia (Suyanto et al. 1998). Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di kawasan karst lain di Indonesia maupun di luar Indonesia, jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini tergolong tinggi. Di Indonesia, penelitian Maryanto & Maharadatunkamsi (1991) di gua-gua Karst Sumbawa, mendapatkan delapan jenis kelelawar, penelitian Saroni (2005) di gua-gua kawasan Karst Sangkulirang-Mangkaliat Kalimantan Timur mendapatkan sembilan jenis kelelawar, penelitian Pujirianti (2006) di gua-gua kawasan Karst Alas Purwo mendapatkan 13 jenis kelelawar, dan penelitian Apriandi et al. (2008) di gua-gua kawasan Karst Gudawang Bogor mendapatkan 10 jenis kelelawar. Di luar Indonesia, penelitian Furman & Ozgul (2002) mendapatkan delapan jenis kelelawar di Karst Istambul Turki, dan penelitian Parsons et al. (2002) mendapatkan 11 jenis kelelawar di Britain Inggris.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Karst Gombong menyimpan kekayaan jenis kelelawar yang cukup tinggi. Banyaknya jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini disebabkan gua-gua di kawasan Karst Gombong memiliki ukuran dan geomorfologi yang berbeda-beda, sehingga terbentuk lingkungan fisik yang sangat bervariasi. Setiap kondisi lingkungan gua yang berbeda menghasilkan mikro habitat unik yang dihuni jenis kelelawar berbeda-beda. Selain itu ketersediaan pakan dan sumber air di kawasan Karst Gombong juga mendukung banyak jenis kelelawar untuk hidup dan bertahan. Gua-gua yang diteliti seluruhnya berada di lingkungan hutan karst yang dikelilingi oleh lahan pertanian. Menurut Riswan et al. (2006) vegetasi hutan karst di kawasan Karst Gombong terdiri atas 187 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 125 marga dan 60 suku tumbuhan. Jenis-jenis tanaman tersebut menyediakan pakan bagi kelelawar. Jumlah jenis kelelawar dalam satu gua yang ditemukan di gua-gua karst di Indonesia pada penelitian-penelitian sebelumnya, antara satu sampai enam jenis kelelawar (Maryanto & Maharadatunkamsi 1991; Saroni 2005; Pujirianti 2006; Apriandi 2006). Beberapa hasil penelitian pada kawasan karst lain di luar
49 Indonesia mendapatkan jumlah yang bervariasi antara satu sampai tiga jenis kelelawar dalam satu gua. Misalnya penelitian Seckerdieck et al. (2005) di Gua Alterberga Jerman hanya mendapatkan satu jenis kelelawar: Rhinolophus hipposideros (Microchiroptera) bersarang dalam satu gua.
Penelitian Dunn
(1978) di Gua Anak Takun Malaysia; penelitian Duran & Centano (2002) di Gua Bonita India Barat ;
dan penelitian Zukal et al. (2005) di Gua Katerinska
Chekoslovakia masing-masing menemukan dua jenis kelelawar bersarang dalam satu gua. Penelitian Zahn dan Hager (2005) mendapatkan tiga jenis kelelawar bersarang dalam satu gua yang berlokasi di Bavaria Jerman. Dalam penelitian ini terdapat satu gua, yaitu Gua Petruk yang dihuni oleh sembilan jenis kelelawar. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan penemuan-penemuan sebelumnya. Banyaknya jenis kelelawar yang ditemukan di Gua Petruk disebabkan variasi lingkungan yang terbentuk di Gua Petruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Castillo et al. (2009) bahwa kondisi lingkungan di dalam satu gua dapat berbeda antara satu zona (mintakat) dengan zona lainnya,
dan dapat menyebabkan
pemisahan mikroklimat dalam ruang gua. Pemisahan mikroklimat tersebut dapat mengundang keanekaragaman jenis mahluk hidup. Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian, dua jenis di antaranya yaitu Cynopterus horsfieldi dan Cynopterus brachiotis, tidak pernah didapatkan bersarang di gua karst pada penelitian sebelumnya baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kedua jenis kelelawar tersebut lebih sering ditemukan bersarang di pepohonan, sesuai dengan hasil penelitian Ruczynski et al. (2007) dan kelelawar
genus
Soegiharto & Kartono (2009). Menurut Altringham (1996), Cynopterus
memilih
bersarang
di
pepohonan
karena
mengandalkan penglihatannya untuk mengenali lingkungan. Ditemukannya jenis C. horsfieldii dan C. brachyotis hanya dalam penelitian ini, menunjukkan guagua yang dihuni jenis tersebut
intensitas cahayanya tinggi, sehingga masih
memungkinkan C. horsfieldii dan C. brachyotis menggunakan penglihatannya. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran mikroklimat sarang, terbukti C. horsfielsdii memilih sarang di tempat yang terang (intensitas cahaya > 50 lux). Sementara, dua jenis Megachiroptera lainnya yaitu R.amplexicaudatus dan E. spelaea pernah ditemukan bersarang di dalam gua karst pada beberapa penelitian
50
sebelumnya (Maryanto & Maharadatunkmsi 1991;
Suyanto 2001; Pujirianti
2006). Menurut Altringham (1996), R. amplexicaudatus dan E. spelaea mampu menggunakan ekholokasi untuk memahami ruang, meskipun kemampuan ekholokasinya tidak sebaik kelelawar Microchiroptera. Hal ini menyebabkan R. amplexicaudatus dan E. spelaea sering ditemukan bersarang di dalam gua dengan kondisi gelap ataupun terang. Ke-lima genus Microchiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini seluruhnya pernah dilaporkan bersarang di gua-gua karst di luar
Indonesia
maupun di Indonesia (Dunn 1978; Maryanto & Maharadatunkamsi 1991; Furman & Ozgul 2002; Parsons et al. 2002; Seckerdieck et al. 2004; Zahn dan Hager 2005; Saroni 2005; Pujirianti 2006 dan
Apriandi et al. 2008). Hal ini
menunjukkan genus tersebut merupakan penghuni gua yang sudah teradaptasi dengan kondisi lingkungan gua. Menurut Altringham (1996) dan Zahn & Hager (2005), beberapa jenis Microchiroptera memilih gua sebagai sarang karena kondisi gua
lembap,
suhu stabil dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi
demikian kelelawar dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Kondisi gua yang gelap tidak menjadi masalah bagi kelelawar Microchiroptera. Hal ini karena Microchiroptera
memiliki
ekholokasi, yaitu kemampuan mendeteksi benda-
benda di sekitarnya, dengan menggunakan gelombang pantul (echo/ gema) berfrekuensi ultrasonik. Ekholokasi ini menyebabkan dalam kondisi gelap, kelelawar mampu berorientasi terhadap ruang gua (Verboom et al. 1999; Ulrich et al. 2003). Berdasarkan
jumlah
temuan
sarang
(Gambar
16),
kelelawar
Megachiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya adalah E. spelaea. Microchiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya adalah H. sorenseni. Hal ini menunjukkan, meskipun membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, kondisi lingkungan yang diinginkan oleh kedua kelelawar tersebut tersedia di banyak gua di Karst Gombong. Sebaliknya, C. horsfieldii (Megachiroptera), M. australis; M. schreibersi; R. affinis dan R. borneensis hanya ditemukan di satu
51 gua. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis kelelawar tersebut menghendaki kondisi lingkungan yang spesifik yang hanya tersedia di satu gua saja. Hal menarik ditemukan di Gua Jatijajar, dimana kelelawar H. sorenseni (Subordo: Microchiroptera) ditemukan dalam dua sarang yang letaknya berjauhan, sementara di gua-gua lainnya satu jenis kelelawar hanya menempati satu sarang. Hal ini dapat dijelaskan dengan hasil penelitian
Rossiter et al. (2002) yang
menguji genetik 15 individu betina Rhinolophus ferrumequinum (Rhinolophidae : Microchiroptera) di Barat Daya Britain dengan menggunakan microsatellite. Hasilnya menunjukkan, individu jenis sama tetapi berasal dari koloni berbeda memiliki jarak genetik antara 0.17 – 0.64. Sementara, individu yang berasal dari satu koloni yang sama memiliki jarak genetik mendekati nol (0.03). Hal ini menunjukkan anggota koloni yang sama memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat atau berasal dari induk yang sama sedangkan koloni yang berbeda, meskipun dari jenis yang sama memperlihatkan hubungan kekerabatan yang cukup jauh atau berasal dari induk yang berbeda. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diduga bahwa dua koloni H. sorenseni yang ditemukan di Gua Jatijajar merupakan koloni yang berasal dari induk yang berbeda. Hasil RDA menunujukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis kelelawar. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (2004) bahwa semakin luas habitat, semakin banyak mahluk hidup yang dapat hidup di dalamnya. Lebih lanjut Baudinette et al. (1994) menjelaskan bahwa lorong gua yang panjang dapat menyebabkan pemisahan mikroklimat ruang gua. Semakin banyak mikroklimat yang terbentuk, maka semakin banyak jenis kelelawar yang dapat bersarang di ruang-ruang tersebut. Hasil penelitian Sevcik (2003) pada kelelawar Plecotus auritus dan P. austriacus telah mampu menerangkan mengapa semakin lebar lorong gua, semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis kelelawar. Menurut Sevcik (2003), P. auritus lebih leluasa
melakukan manuver daripada P.
austriacus. Akibatnya P. auritus memiliki keunggulan tersendiri dalam eksploitasi habitat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa gua dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya pada gua dengan lorong lebar, dapat
52
dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Akibatnya, semakin lebar lorong gua, maka semakin banyak jenis yang dapat bersarang di dalamnya. Gua-gua dengan lorong pendek (< 100m) dapat dihuni oleh Megachiroptera. Sementara Microchiroptera hanya menghuni gua dengan panjang lorong lebih dari 100 meter. Hal ini karena gua dengan lorong pendek hanya memiliki mikroklimat dengan kondisi panas, terang, kering dan bising. Berdasarkan hasil identifikasi mikroklimat sarang, diketahui bahwa kondisi ini tidak disukai oleh Microchiroptera, sementara Megachiroptera dapat bertahan dengan kondisi tersebut. Hal menarik terlihat di Gua Kampil yang memiliki panjang lorong lebih dari 100 meter, lebar lorong 4.2 meter dan tinggi lorong 3.1 meter. Di gua tersebut tidak ditemukan kelelawar. Diduga ada faktor lain, selain faktor fisik dan mikroklimat gua yang menyebabkan gua tersebut tidak dihuni kelelawar. Faktor tersebut adalah gangguan oleh manusia. Berdasarkan hasil pengamatan, di lorong Gua Kampil ditemukan bekas galian yang ditinggalkan oleh penambang ilegal. Kegiatan
penambangan
tersebut
diduga
mengganggu
kelelawar,
dan
menyebabkan gua tersebut tidak dihuni kelelawar. Tidak berpengaruhnya jumlah pintu gua dan jumlah ventilasi gua pada struktur komunitas
kelelawar (kelimpahan, keanekaragaman
jenis, dan
kemerataan jenis) disebabkan meskipun mempunyai beberapa pintu dan ventilasi, semua jenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua cenderung menggunakan satu pintu atau ventilasi yang sama untuk keluar masuk gua. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Schnitzler et al. (2003) yang membuktikan ketika terbang menuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung menggunakan jalur yang sama. Transfer informasi penggunaan jalur terbang ini dilakukan dari
orang tua (induk) kepada anak
melalui
perilaku mengikuti
(following behavior). Hasil CCA menunjukkan lima parameter yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar berturut-turut dari yang paling kuat sampai yang paling lemah pengaruhnya adalah: intensitas suara, jarak dari pintu gua, suhu, kelembapan dan intensitas cahaya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan durasi sinyal ekholokasi yang digunakan oleh kelelawar Nyctalus noctula dan Rhinolophus ferrumequinum di habitat tertutup lebih panjang daripada di habitat terbuka. Hal
53 ini karena, di ruang tertutup gema yang dihasilkan lebih kompleks sehingga kelelawar lebih sulit menganalisis gelombang pantul (ekholokasi). Oleh kerena itu, di ruang tertutup seperti di dalam gua, gangguan suara sedikit saja akan menyebabkan kelelawar gagal menganalisis gelombang pantul. Akibatnya, beberapa jenis kelelawar yang memiliki pendengaran sangat sensitif memilih sarang dengan intensitas suara mendekati nol, sedangkan jenis-jenis kelelawar yang pendengarannya kurang sensitif dapat bersarang di lokasi dengan intensitas suara tinggi. Jarak dari pintu gua merupakan parameter kedua setelah intensitas suara yang berpengaruh nyata pada pemilihan sarang kelelawar. Hal ini karena untuk dapat terbang dalam lorong gua yang panjang dan sempit, dibutuhkan gerakan manuver yang baik. Sebagai akibatnya, dalam memilih lokasi sarang, kelelawar yang mampu terbang dengan manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang pada jarak yang jauh dari lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia. Sebaliknya, kelelawar yang tidak mampu melewati lorong gua yang panjang memilih sarang di lokasi yang dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar tersebut keluar atau masuk ke dalam sarang. Suhu
merupakan parameter fisik mikroklimat urutan ke-tiga yang
berkorelasi nyata pada pemilihan sarang kelelawar. Penelitian Zukal et al. (2005) membuktikan bahwa kelelawar Myotis myotis and Rhinolophus hipposideros memilih ruang yang hangat (20oC s/d 26oC) ketika melakukan hibernasi di musim dingin. Hal ini karena kelelawar merupakan homoikioterm (suhu tubuh konstan) yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dengan jenis lainnya, sehingga setiap jenis kelelawar memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya. Kelembapan merupakan parameter urutan ke-empat yang berkorelasi nyata pada pemilihan sarang kelelawar. Menurut Baudinete et al. (1994) membran petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering. Berdasarkan kekuatan korelasinya, intensitas cahaya merupakan parameter
54
terakhir yang berkorelasi pada pemilihan sarang kelelawar.
Megachiroptera
cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada ruang. Oleh karena itu, jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih lokasi di dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenis-jenis Microchiroptera
lebih
menggunakan
kemampuan
ekholokasinya
untuk
berorientasi pada ruang, sehingga tidak memerlukan cahaya dan memilih sarang di ruang gua yang intensitas cahayanya rendah. Hasil analisis CCA menunjukkan 5 kelompok kelelawar berdasarkan kecenderungan pola pemilihan sarangnya. Kelompok I seluruhnya adalah anggota Megachiroptera. Menurut Altringham (1996) kebanyakan kelelawar pemakan buah (Magachiroptera) lebih sering bersarang di pohon daripada di gua. Hal ini karena
kelelawar Megachiroptera masih mengandalkan penglihatan daripada
ekholokasi, sehingga untuk berorientasi pada lingkungan masih dibutuhkan cahaya.
Pola pemilihan
sarang
oleh
Megachiroptera ini
menyebabkan
Megachiroptera dapat menghuni gua dengan panjang lorong kurang dari 100 meter, misalnya di Gua Sigong dan Gua Tratag. Karena gua-gua yang lorongnya pendek biasanya hanya memiliki ruang dengan mikroklimat panas, terang, kering dan bising. Kelompok II, hanya terdiri atas kelelawar H. sorenseni. Berdasarkan hasil pemetaan sarang, kelompok ini paling banyak ditemukan di gua-gua Karst Gombong (8 sarang). Hal ini menunjukkan, kondisi lingkungan sarang yang diinginkan oleh kelelawar tersebut (dingin, lembap, gelap, dan sunyi) paling banyak tersedia di
gua-gua Karst Gombong. Sejauh ini belum ada penelitian
yang menjelaskan kecenderungan pemilihan sarang jenis tersebut, kecuali penelitian di Karst Gombong ini. Kelompok III terdiri atas M. schreibersii dan R. affinis. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Apriandi et al. (2008) yang mendapatkan jenis R. affinis di beberapa gua Karst Gudawang Bogor berada pada jarak rata rata 180 m dari pintu gua, suhu 27.5oC dan kelembapan 96%. Kelompok IV terdiri atas C. plicata, H.cf. ater, Hipposideros sp, dan H. bicolor. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Twente (2004) yang mendapatkan C. plicata dengan jumlah ribuan ekor di kubah gua di Istambul
55 Turki berada pada jarak 200 m dari pintu gua , suhu 27.5oC. Kelompok V terdiri atas H. ater dan R. borneensis. Pemilihan sarang R. borneensis yang ditemukan dalam penelitian ini (berjarak > 250 m dari pintu gua) sedikit berbeda dari hasil penelitian Saroni (2005) yang mendapatkan jenis tersebut bersarang pada jarak 152 m dari pintu gua, suhu 25oC dan kelembapan 85%.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1.
Jenis-jenis kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong ada 15 jenis, yaitu 4 jenis Megachiroptera terdiri atas Cynopterus horsfieldii Gay, 1843; Cynopterus brachyotis (Muller, 1838); Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810);
Eonycteris spelaea (Dobson,1871), dan 11 jenis Microchiroptera
terdiri atas Chaerophon plicata (Buchannan,1800), Hipposideros ater Templeton, 1848; Hipposideros cf.ater; Hipposideros sp; Hipposideros bicolor (Temminck, 1834); Hipposideros sorenseni Kitchener & Maryanto, 1993; Hipposideros diadema (Geoffroy,1813); Rhinilophus borneensis Peters, 1861; Rhinolophus affinis Horsfield, 1823; Miniopterus australis Tomes, 1858; dan
Miniopterus schreibersii (Kuhl, 1819). Kelimpahan,
indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis kelelawa di gua-gua Karst Gombong berkorelasi nyata dengan panjang lorong gua, lebar gua, dan tinggi lorong gua. Semakin panjang, lebar, dan tinggi lorong gua, maka semakin tinggi
kelimpahan,
keanekaragaman
jenis,
dan
kemerataan
jenis
kelelawarnya. Sementara jumlah pintu gua dan jumlah ventilasi gua tidak berkorelasi nyata dengan struktur komunitas kelelawar. 2. Parameter fisik yang paling berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar berturut-turut adalah : intensitas suara, jarak dari mulut gua, suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Berdasarkan perameter tersebut terdapat 5 kelompok kelelawar yang memililih tempat bersarang dengan pola yang spesifik.
56
Saran 1.
Karst Gombong perlu diusulkan sebagai kawasan konservasi, mengingat kawasan karst tersebut memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang tinggi.
2.
Perlu dibuat zonasi pemanfaatan ruang gua berdasarkan pola pemilihan sarang sesuai dengan informasi ilmiah yang didapat dari penelitian ini.