PENENTUAN KINETIKA INHIBISI XANTINA OKSIDASE OLEH EKSTRAK Syzygium polyanthum MENGGUNAKAN ELEKTRODE TERMODIFIKASI NANOSPHERE MAGNETIT
GUSTRIA ERNIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Kinetika Inhibisi Xantina Oksidase oleh Ekstrak Syzygium polyanthum Menggunakan Elektrode Termodifikasi Nanosphare Magnetit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Gustria Ernis NIM G451130141
RINGKASAN GUSTRIA ERNIS. Penentuan Kinetika Inhibisi Xantina Oksidase oleh Ekstrak Syzygium polyanthum Menggunakan Elektrode Termodifikasi Nanosphare Magnetit. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan DEDEN SAPRUDIN. Xantina adalah prekursor metabolik asam urat yang dikonversi oleh xantina oksidase, dan konsentrasi xantina dalam darah dan urin dapat digunakan sebagai indikator dalam diagnosis klinis untuk xanthinuria (gangguan genetik metabolisme xantina), gagal ginjal, hiperurisemia dan asam urat. Oleh karena itu, penentuan xantina sangat diperlukan dalam diagnosis klinis termasuk mendeteksi penyakit gout, metode yang secara cepat dan akurat untuk mendeteksi suatu analit adalah biosensor. Biosensor xantina telah dikembangkan secara luas untuk mengukur kadar xantina yang menjadi indikasi kadar asam urat. Namun, kinerja biosensor xantina harus tetap ditingkatkan untuk menghasilkan aktivitas dan sensitivitas yang lebih baik untuk dapat diaplikasikan lebih luas. Salah satu nanopartikel yang sangat menarik adalah nanomagnetit (Fe3O4), karena karakteristik khusus seperti biokompatibilitas yang baik, persiapan yang mudah, toksisitas rendah dan properti superparamagnetik. Aplikasi metode elektrokimia yang belum banyak dikembangkan adalah untuk menentukan kinetika inhibisi xantina oksidase oleh suatu senyawa bahan alam, salah satunya daun salam (Syzygium polyanthum). Suatu senyawa bahan alam yang akan digunakan sebagai calon obat perlu ditentukan tipe kinetika inhibisinya untuk melihat mekanisme inhibisi yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kinerja analitik elektrode pada pasta karbon termodifikasi Nanosphere magnetit sebagai biosensor xantina berdasarkan immobilisasi xantina oksidase dan membuktikan bahwa elektrode tersebut dapat digunakan untuk menentukan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh ekstrak air daun salam. Pada penelitian ini xantina oksidase diimmobilisasi secara cross-linking dengan matriks Bovine serum albumin dan glutaraldehida pada permukaan elektrode pasta karbon termodifikasi nanosphere magnetit (EPKM) dan lainnya dengan mediator 2,3-dimethoxy-5-methyl-1,4-benzoquinone (Q0) (EPKQ). Respons Surface Method (RSM) digunakan untuk memperoleh aktivitas xantina oksidase yang optimum. Kondisi optimum yang diperoleh adalah pada konsentrasi magnetit 10%, konsentrasi xantina 1mM, pH 7 dan pada suhu 200C. Hasil penelitian menunjukkan limit deteksi dari EPKM adalah 2x lebih rendah dari EPKQ dan 5x lebih rendah dibandingkan elektrode pasta karbon tanpa modifikasi (EPK). Sensitivitas EPKM paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, 1.3× lebih tinggi dari EPKQ dan 4× lebih tinggi dari EPK. EPKM juga memberikan rentang linearitas yang lebih luas (0.01-1.00 mM) dibandingkan dengan dua elektrode lainnya, EPK dan EPKQ (0.10-1.00 mM). Dapat disimpulkan bahwa EPKM adalah elektrode terbaik yang dapat meningkatkan kinerja analitik elektrode. Hal ini menunjukkan nanosphere magnetit berfungsi sebagai elektrokatalitik pada biosensor xantina. Elektrode pasta karbon termodifikasi nanosphere magnetit dapat digunakan untuk menentukan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh ekstrak S. polyanthum. Kinetika Inhibisi dari ekstrak air S. polyanthum meningkatkan nilai KM dan nilai VMAKS yang tetap. Berdasarkan hasil, kinetika inhibisi dari daun salam terhadap xantina oksidase adalah inhibisi kompetitif. Kata kunci: Biosensor xantina, elektrode pasta karbon, kinetika inhibisi; nanosphere magnetit; Syzygium polyanthum.
SUMMARY GUSTRIA ERNIS. Nanosphere magnetite-modified CPE to Determine The Inhibition Kinetics of The Xanthine Oxidase by Syzygium polyanthum extract. Supervised by LATIFAH K. DARUSMAN and DEDEN SAPRUDIN. Xanthine is metabolic precursors of uric acid wich converted by xanthine oxidase, and the concentration of xanthine in the blood and urine can be used as an indicator in clinical diagnosis to xanthinuria (a genetic disorder of the metabolism of xanthine), renal failure, hyperuricemia and gout. Therefore, the determination of xanthine very necessary in clinical diagnosis include detecting presence of gout disease early, fast and accurate method’s for analit detection is biosensor. Xanthine biosensor have been developed extensively to measure the concentration of xanthine which shows the concentration of uric acid. However, xanthine biosensor performance must be improved to produce biosensors with better activity and sensitivity to be widely applicable. One interesting nano-sized material is nanomagnetite (Fe3O4), because of its special characteristics such as good biocompatibility, easy preparation, low toxicity and super paramagnetic property. Application of electrochemical method has not yet been developed determine of the inhibition kinetics of xanthine oxidase by medicinal plant, the example is bay leaf (Syzygium polyanthum). Bay leaf is one of the medicinal plants used traditionally by society as a gout medication. A compound of natural ingredients that would be used as a drug candidate is necessary to determine the type of inhibition kinetics to look at the mechanism of inhibition that occurs. This study aimed to determine of analytical performance the carbon paste electrodes modified magnetite nanosphere as xanthine biosensor based on immobilization of xanthine oxidase and prove that the electrode can be used to determine the inhibition kinetics of xanthine oxidase by water extract of bay leaf. Xanthine oxidase was immobilized by cross-lingking with bovine serum albumin and glutaraldehyde on the surface of carbon paste electrodes modified nanospheres magnetite (MCPE) and the other with 2,3-dimethoxy-5-methyl-1,4-benzoquinone (Q0) (QCPE). Respons Surface Method (RSM) was used to obtaine of xanthine oxsidase optimum activity. Optimum condition of xanthine oxidase were 10% magnetite concentration, 1mM xanthine concentration, pH 7, and at the temperature 20ºC. The results showed MCPE had limit of detection 2× lower than QCPE and 5× lower than carbon paste electrodes without modification (CPE). MCPE was the electrode which had the highest sensitivity than others, 1.3× higher than CPE and 4× higher than QCPE. MCPE shown wider linearity range (0.01-1.00 mM) than two other electrodes, CPE and QCPE (0.10-1.00 mM). It could be concluded nanosphere magnetite-modified carbon paste electrodes could improve analytical performance. The modified magnetite nanospheres carbon paste electrode could be used to determine the type of inhibition kinetics of S. polyanthum toward xanthine oxidase. Inhibition kinetics of the S. Polyanthum extract increased of KM value and VMAX (IMAX) value was constant. Based on the result, the type of inhibition kinetics was a competitive inhibition. Keywords: Carbon paste electrode, inhibition kinetics, magnetite nanosphere, Syzygium polyanthum, xanthine biosensor.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENENTUAN KINETIKA INHIBISI XANTINA OKSIDASE OLEH EKSTRAK Syzygium polyanthum MENGGUNAKAN ELEKTRODE TERMODIFIKASI NANOSPHERE MAGNETIT
GUSTRIA ERNIS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Akhiruddin Maddu, M. Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 hingga September 2015 ini adalah biosensor, dengan judul Penetuan Kinetika Inhibisi Xantina Oksidase oleh Syzygium polyanthum Menggunakan Elektrode Termodifikasi Nanosphere Magnetit. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Latifah K Darusman MS dan Bapak Dr Deden Saprudin MSi selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu dan menyumbangkan banyak pikiran serta dukungan moril dan materil hingga terselesaikannya tulisan ini. Bapak Dr Akhiruddin Maddu, M. Si selaku dosen penguji luar komisi. Bapak Dr Mohamad Rafi Msi, Ibu Dr Wulan Tri Wahyuni Msi, dan Ibu Prof Dr Ir Suminar S Achmadi yang telah bersedia membimbing penulisan tesis dan jurnal dari karya ilmiah ini. Ibu Prof Dr Dyah Iswantini MscAgr dan Ibu Dr Gustini Sabirin MS selaku ketua dan sekretaris program studi Pascasarjana Kimia serta seluruh dosen Pascasarjana Kimia atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan. Terimakasih juga penulis persembahkan untuk DIKTI atas Beasiswa yang diberikan (BPPDN, Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri) untuk menempuh kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik IPB (Om eman, Pak Dede, Bu Nunung, dan Pak Kosasih), Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB (Ibu Nunuk, Mbak Wiwik, Mba Ela, Mba Ina, Mas Nio, Mas Endi), Laboratorium Bersama Kimia IPB (Bapak Wawan, Mas Eko), dan Laboratorium Kimia Anorganik (Bapak Syawal, Pak Chaca, Pak Mul) yang telah membantu selama penelitian. Terimakasih juga untuk sahabat-sahabatku, para pejuang (Dewi Pratiwi, Nurhajawarsi, Ina Ristian, Ida Ayu Suci, dan Romi Seroja), gadis bengkulu (Kristina Mulia, Safniyeti, Nola Windirah, dan Risti Novita Sari) kakak-kakak dan teman-teman di kosan alfarabi (Mba Faiqotul Himma, Mawar Afiyah, Mba Siska, Mba Ani, Mba Melva, Ayuk Ropalia, Yanti, Magfirah, Uni Mega, Mba Dika, Ilmi, Novi, dan Ismi), teman-teman dan adek-adek divisi lab kimia Analitik (Bang Yuspian Nur, Kak Era Rahmi, Ummi Zahra, Fahmi Hasyim, Hanhan, Rahma, Iffri, afifia, Arum, Afiyatina, Fellina Kumala, Annisa, Desi, Nur Chasanah, Norma, Dian, Cempaka, Yuni, dan Rina), pasca kimia (Uda Dedri, Uda Nanda, Aryani, Afif, Anom, Vita, Ning, Husna, Bang Julius, Anggra, Kak Doni, Kak fatan, dan Kak Aini) atas motivasi, dukungan, dan bantuan terselesaikannya tesis ini (diskusi dan sharing). Ungkapan terima kasih untuk yang teristimewa yaitu ayahanda Israk, Ibunda Ernawati Khairat, Perkasa Arian, One Gismaini, Unang Erni Zahara, Kak Yaumil Jaihida, Oryadi Sudarta, atas segala doa, motivasi, bantuan baik moril atau materil dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, rekan, dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kiranya segala bantuan yang diberikan dicatat sebagai amal jariah. Penulis juga menyampaikan permohonan maaf apabila selama studi, selama pelaksanaan penelitian maupun penulisan tesis ini terdapat tutur kata, sikap maupun perbuatan yang kurang berkenan. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Gustria Ernis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Xantina dan Asam Urat Biosensor dan Elektrokimia Pemodifikasi dan Nanomagnetit Kinetika dan Inhibisi Enzim Inhibisi Kompetitif Inhibisi Nonkompetitif Inhibisi Unkompetitif Syzygium polyanthum (Daun Salam)
3 3 4 5 6 7 8 8 9
METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Prosedur Kerja Sintesis dan karakterisasi nanosphere magnetit Pembuatan dan karakterisasi elektrode Immobilisasi enzim xantina oksidase Pengukuran elektrokimia Optimasi aktivitas XO dengan RSM Pengujian kinerja elektrode Pengujian kinetika inhibisi ekstrak terhadap XO
11 11 11 11 11 11 12 12 12 13
HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis magnetit Karakterisasi magnetit Karakterisasi elektrode Immobilisasi enzim Kondisi optimum XO Kinerja elektrode Ekstraksi dan daya inhibisi daun salam Kinetika inhibisi terhadap XO oleh ekstrak daun Salam
13 13 14 16 18 19 22 24 27
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
29 34 47
DAFTAR TABEL 1. Pola nilai hkl magnetit 2. Penentuan struktur kristal 3. Nilai perubahan potensial anodik dan katodik K3[Fe(CN)6] pada 3 jenis elektrode 4. Daya inhibisi ekstrak air daun salam terhadap XO secara elektrokimia 5. Daya inhibisi Allopurinol terhadap XO secara elektrokimia
15 15 17 24 25
DAFTAR GAMBAR 1. Struktur Asam Urat 2. Reaksi enzim xantina oksidase mengoksidasi xantina menjadi asam urat 3. Elemen dan pemilihan komponen untuk tipe biosensor 4. Grafik Michaelis-Menten 5. Grafik Lineweaver-Burk 6. Karakteristik inhibisi kompetitif 7. Karakteristik inhibisi nonkompetitif 8. Karakteristik inhibisi unkompetitif 9. Syzygium polyanthum kering 10. Difragtogram serbuk hasil sintesis dan standar magnetit 11. Pencirian SEM serbuk magnetit 12. Voltamogram siklik elektrode kerja dalam KCl dan K3[Fe(CN)6] 13. Voltamogram siklik pengukuran xantina 14. Dugaan skematis reaksi pada saat fabrikasi elektrode 15. Kontur optimalisasi menggunakan RSM 16. Voltamogram siklik pengukuran xantina pada kondisi optimum 17. Voltamogram siklik linearitas untuk EPKM 18. Persamaan regresi dan linearitas [substrat] dengan XO 19. Hubungan %inhibisi dengan ekstrak etanol dan air daun salam 20. Hubungan %inhibisi dengan allupurinol secara elektrokimia 21. Hubungan %inhibisi dengan allupurinol secara spektroskopi 22. Grafik Lineweaver-Burk untuk penentuan kinetika inhibisi XO
3 4 4 6 7 8 8 9 10 14 16 17 18 19 20 21 22 23 25 26 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1. Diagram Alir Penelitian 2. Hasil sintesis dan penentuan kadar Fe terendapkan 3. Standar magnetit JCPDS No. 19-0629 4. Penetuan pola hkl 5. Penetuan ukuran kristal hasil sintesis 6. Kombinasi dan Hasil optimasi terhadap kombinasi RSM 7. Perhitungan kadar air dan rendemen ekstrak daun salam 8. Daya inhibisi ekstrak terhadap XO secara spektrofotometri 9. Grafik kinetika inhibisi menurut metode Eadie-Hofstee 10. Data inhibisi enzim untuk metode Lineweaver-Burk
35 36 37 38 39 40 41 42 45 46
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Xantina adalah prekursor metabolik asam urat yang dikonversi oleh xantina oksidase dan konsentrasi xantina di dalam darah dan urin dapat digunakan sebagai indikator dalam diagnosis klinis untuk xanthinuria (gangguan genetik metabolisme xantina), gagal ginjal, hiperurisemia dan asam urat (Larosa et al. 2007; Arikyants et al. 2007). Kadar asam urat dalam darah adalah hasil keseimbangan antara produksi dan ekskresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan kedua proses tersebut, maka terjadi keadaan hiperurisemia hingga menyebabkan gout. Hiperurisemia atau gout dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia yang prevalensinya cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif yang akan berdampak pada penurunan produktivitas kerja (Sholihah 2014). Tingginya kadar asam urat akan berakibat dapat menimbulkan penyakit lain seperti batu ginjal (Shakaee 2014), hipertensi (Yang et al. 2015), dan kerusakan kardiovaskuler (Ioachimescu et al. 2008; Yang et al. 2015). Oleh karena itu, penentuan xantina sangat diperlukan dalam diagnosis klinis termasuk dalam mendeteksi penyakit gout lebih awal. Biosensor elektrokimia adalah metode yang tepat untuk mendeteksi suatu analit dengan cepat dan akurat. Biosensor elektrokimia banyak diminati karena cara pengukurannya yang sederhana, cepat dan dapat diminiaturisasi. Teknik dalam metode ini yang biasa digunakan adalah teknik voltametri siklik. Pada teknik ini yang terukur sebagai arus adalah proses transfer elektron yang dihasilkan dari proses oksidasi xantina menjadi asam urat. Teknik voltametri menggunakan tiga elektrode konvensional seperti: elektrode kerja, elektrode bantu dan elektrode referensi. Elektrode pasta karbon (EPK) adalah salah satu elektrode kerja yang sangat sederhana, murah, persiapan yang mudah, dan bahan-bahan yang mudah diperoleh. Namun, kinerja analitik dari elektrode konvensional ini masih perlu ditingkatkan dengan mempercepat transfer elektron. Sehingga penambahan modifier sangat penting untuk dapat mempercepat transfer elektron (bersifat elektro katalitik) di elektrode pasta karbon dan meningkatkan sensitivitas biosensor. Sensitivitas suatu sensor elektrokimia ditentukan dengan kemampuannya untuk menciptakan ruang mikro bagi biomolekul atau analit untuk bertukar elektron langsung dengan elektrode (Loh et al. 2008). Dibutuhkan material yang berukuran nano untuk menciptakan ruang mikro tersebut. Salah satu nanopartikel yang sangat menarik adalah nanomagnetit (Fe3O4). Karena karakteristik khusus seperti biokompatibilitas yang baik, persiapan yang mudah, toksisitas rendah dan properti superparamagnetik (Wu et al. 2006; Zhuo et al. 2009). Biosensor xantina telah dikembangkan secara luas untuk mengukur kadar xantina yang menjadi indikasi kadar asam urat. Namun, kinerja biosensor xantina harus tetap ditingkatkan untuk menghasilkan aktivitas dan sensitivitas yang lebih baik agar dapat diaplikasikan lebih luas lagi, termasuk untuk penentuan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh produk alam yang akan dijadikan obat asam urat/ gout. Salah satu produk alam yang telah digunakan secara empiris oleh masyarakat indonesia sebagai tanaman obat untuk asam urat/ gout adalah daun salam (Syzygium polyanthum). Daun salam banyak ditemukan di Indonesia, daun salam juga murah dan sering digunakan sebagai rempah bumbu masakan. Selain itu, juga digunakan
2 sebagai tanaman obat, diantaranya adalah antiobesitas (Kato F et al. 2013), antibakteri (Sumono & Wulan 2008), antidiabetes (Suharmiati & Roosihermiatie 2012), obat berbagai macam penyakit seperti maag, hipertensi, antiinflamasi, mabuk, penyakit kulit (Sumono & Wulan 2008) termasuk asam urat (Ariyanti et al. 2007; Ngestiningsih D et al. 2011; Ngestiningsih D et al. 2012). Suatu senyawa bahan alam yang akan digunakan sebagai calon obat perlu ditentukan tipe kinetika inhibisinya untuk melihat mekanisme inhibisi yang terjadi. Tipe kinetika inhibisi yang terbentuk selanjutnya dapat menjelaskan kekuatan ikatan antara enzim sebagai target dan senyawa calon obat.
Perumusan Masalah Biosensor xantina telah dikembangkan secara luas untuk mengukur kadar xantina yang menjadi indikasi kadar asam urat. Namun, kinerja biosensor xantina harus tetap ditingkatkan untuk menghasilkan aktivitas dan sensitivitas yang lebih baik agar dapat diaplikasikan lebih luas, sehingga diperlukan pemodifikasi seperti magnetit yang diharapkan berfungsi sebagai elektrokatalitik. Suatu senyawa bahan alam yang akan digunakan sebagai calon obat perlu ditentukan tipe kinetika inhibisinya untuk melihat mekanisme inhibisi yang terjadi. Sehingga elektrode tersebut diaplikasikan untuk menentukan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh ekstrak S. polyanthum yang merupakan suatu senyawa bahan alam.
Tujuan Penelitian Meningkatkan kinerja elektrode pasta karbon dengan menggunakan nanosphere magnetit sebagai pemodifikasi sehingga elektrode tersebut dapat diaplikasikan untuk menentukan tipe kinetika inhibisi ekstrak S. polyanthum terhadap enzim xantina oksidase. Manfaat Penelitian Magnetit diharapkan dapat meningkatkan kinerja analitik elektrode pasta karbon sebagai biosensor xantina dan dapat diaplikasikan untuk menentukan mekanisme inhibisi ekstrak S. polyanthum sebagai inhibitor enzim xantina oksidase sehingga dapat digunakan untuk penelitian aktivitas enzim selanjutnya.
Hipotesis 1. Magnetit dapat meningkatkan kinerja analitik elektrode pasta karbon 2. Elektrode Pasta Karbon termodifikasi magnetit dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan tipe kinetika inhibisi ekstrak Syzygium polyanthum terhadap enzim xantina oksidase
3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan atas tiga tahapan utama, yaitu: Sintesis magnetit menggunakan teknik hidrotermal dan karakterisasinya menggunakan XRD (untuk mengetahui kristal hasil sintesis merupakan nanomagnetit atau tidak), SEM (untuk mengetahui morfologi kristal hasil sintesis), dan AAS (untuk mengetahui konsentrasi Fe terendapkan). Tahapan selanjutnya adalah pembuatan elektrode pasta karbon termodifikasi nanomagnetit dan pengujian kinerjanya (sensitivitas, linearitas dan limit deteksi). Kemudian penentuan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh ekstrak S. polyanthum (ekstraksi menggunakan teknik maserasi) menggunakan elektrode termodifikasi magnetit. Diagram alir penelitian disajikan pada Lampiran 1.
2 TINJAUAN PUSTAKA Xantina dan Asam Urat Xantina adalah prekursor dari asam urat yang dikonversi oleh xantina oksidase dari hipoxantina dan dikonversi oleh guanin deaminase dari guanin. Asam urat (AU) adalah sebuah kristal putih yang terbentuk di dalam tubuh sebagai akibat dari hasil metabolisme protein. Meningkatnya kadar asam urat (Hiperuisemia) sering disebut penyakit asam urat. AU telah dikenal sejak abad 5 SM yang terdiri dari komponen karbon, nitrogen, oksigen dan hidrogen dengan rumus molekul C5H4N4O3. Pada pH alkali kuat, AU membentuk ion urat dua kali lebih banyak dari pada pH asam.
Gambar 1 Struktur Asam Urat (Ringertz 1966).
Purin yang berasal dari katabolisme asam nukleat dalam diet diubah menjadi asam urat secara lansung. Pemecahan nukleotida purin terjadi di semua sel, tetapi asam urat hanya dihasilkan oleh jaringan yang mengandung xantina oxidase terutama di hati dan usus kecil. Asam urat diproduksi secara normal setiap harinya 600-800 mg yang tidak akan terakumulasi selama produksi dan eliminasinya melalui 2 jalur yaitu sekitar dua pertiga akan diekskresikan lewat urin, sedangkan sisanya diekskresikan melalui usus (Voet dan Voet 1995). Enzim xantina oksidase (XO) merupakan katalis biologi dalam pembentukan asam urat. Enzim XO mengoksidasi hipoxantina dan xantina menjadi asam urat (Gambar 2):
4
Gambar 2 Reaksi enzimatis xantina oksidase mengoksidasi xantina menjadi asam Urat (Zen et al. 2002)
Biosensor dan Elektrokimia Penelitian terkait biosensor telah mengalami perkembangan lebih dari dua dekade terakhir. Biosensor umumnya didefinisikan sebagai perangkat analisis yang mengubah respons biologis menjadi sinyal yang dapat diukur. Gambar 3 menjelaskan pengenalan pengukuran biosensing dengan aspek elektronik untuk mendapatkan informasi dari sistem biologis. Bagian-bagian dari biosensor adalah: Bioreseptor (Gambar 3a) yang merupakan biomolekul yang dapat mengenali analat target; Tranduser (Gambar 3b), merupakan bagian perangkat fisika untuk mengubah sinyal yang dihasilkan menjadi sinyal yang dapat diukur dengan diperkuat oleh sebuah rangkaian detektor dengan menggunakan referensi yang sesuai (Gambar 3c) dan dikirim untuk diproses oleh perangkat lunak komputer (Gambar 3d) untuk dikonversi ke parameter fisik yang menjelaskan proses analisis. Akhirnya, hasil yang terukur akan ditampilkan dalam bentuk keluaran grafik yang dapat dibaca (Gambar 3e). Biosensors dapat diterapkan untuk berbagai macam sampel, yaitu: cairan tubuh, sampel makanan, kultur sel dan sampel lingkungan (Grieshaber et al. 2008).
Gambar 3 Elemen dan pemilihan komponen untuk tipe biosensor (Grieshaber 2008)
5 Teknik deteksi elektrokimia didominasi menggunakan enzim. Hal ini dikarenakan enzim memiliki kemampuan dan aktivitas biokatalitik tertentu. Unsur biorecognition lain misalnya: antibodi, asam nukleat, sel-sel dan mikro-organisme. Metode yang paling umum dilakukan pada teknik biosensor seperti: voltametri siklik, kronoamperometri, kronopotensiometri, impedansi spektroskopi, dan berbagai metode yang berbasis transistor field-effect yang disajikan sepanjang pemilihan pendekatan baru, seperti penggunaan nanowire atau magnet berbasis nanopartikel (Grieshaber 2008). Metode yang sering digunakan adalah metode voltametri. Voltametri merupakan metode elektroanalisis yang didasarkan pada pengukuran arus listrik sebagai fungsi perubahan potensial listrik yang diterapkan pada sel elektrolisis. Sel elektrolisis terdiri atas elektrode kerja (working electrode) yaitu elektrode tempat terjadinya reaksi, elektrode bantu (counter electrode) yaitu sebuah elektrode inert yang berfungsi membawa sebagian besar arus listrik dan elektrode pembanding (reference electrode) yaitu elektrode yang memiliki nilai potensial tetap. Ketiga elektrode ini merupakan penghantar/ sistem yang memungkinkan pengaliran elektron/ antar aksi komponen kimia tertentu dalam elektrolit sehingga dapat dilakukan pengukuran besaran potensial. Arus listrik pada elektrode kerja disebabkan oleh transfer elektron yang disebut arus faraday (Skoog et al. 1998; Wang 2000). Pemodifikasi dan Nanomagnetit Peningkatan kinerja elektrode kerja dapat dilakukan dengan penambahan pemodifikasi yang akan mempercepat reaksi transfer elektron sehingga dapat meningkatkan respon analit agar dapat terukur (Wang 2000). Suatu zat yang digunakan sebagai pemodifikasi harus merupakan zat yang dapat bereaksi dengan cepat baik dengan enzim maupun electrode yang bersifat stabil, tidak bergantung kepada nilai pH, tidak bersifat toksik dan dapat diimobilisasi pada permukaan elektrode. Salah satu pemodifikasi yang dilaporkan adalah pemodifikasi 2,3dimetoksi-5-metil-1,4-benzokuinon (Q0). Menurut hasil dari tiga zat yang digunakan sebagai pemodifikasi, yaitu Q0, K3[Fe(SCN)6] dan Fe(C5H5)2. Pemodifikasi Q0 terpilih untuk memediasi transfer elektron yang dihasilkan dari reaksi oksidasi asam urat yang dikatalisis oleh enzim urikase yang diimmobilisasi pada permukaan elektrode. Hal ini terlihat dari puncak oksidasi yang dihasilkan dari transfer elektron yang dimediasi Q0 adalah yang tertinggi di antara pemodifikasi lainnya (Iswantini et al. 2014). Magnetit (Fe3O4) adalah suatu material yang menunjukkan sifat kemagnetannya, dan pada ukuran tertentu seperti skala nano atau mikro, nanopartikel (NPs) memiliki domain magnetik tunggal, menghasilkan sifat superparamagnetik di atas temperatur normal (Yuan et al. 2011). Magnetit merupakan mineral oksida Fe (II/III) yang secara natural berada di alam dan memiliki reaktivitas permukaan (Salazar-Camacho et al. 2013). Nanomagnetit memiliki sifat kemagnetan, katalitik, dan konduktivitas yang baik, serta kompatibilitas biologis, oleh karena itu nanopartikel superparamagnetik saat ini telah banyak dimanfaatkan diantaranya dalam bidang teknologi biomedis karena dapat bekerja pada molekul biologis berukuran kecil (Yuan et al. 2011; Matsura et al. 2004). Magnetit yang berukuran nano efektif meningkatkan sensitivitas sensor.
6 Hal ini sesuai dengan prinsip adsorpsi, yaitu semakin kecil ukuran partikel, semakin luas bidang sentuh untuk melakukan reaksi sehingga semakin banyak analit yang mengalami reaksi redoks (Roonasii 2007). Kombinasi magnetik dengan elektrokimia dalam aplikasi sensing sering disebut teknik magnetoresistif. Ditemukan oleh Thomson pada tahun 1856, efek magnetoresistif adalah perubahan resistivitas bahan dalam menanggapi medan magnet (Grieshaber et al. 2008). Kinetika dan Inhibisi Enzim Enzim adalah katalis yang meningkatkan laju reaksi tanpa merubah dirinya sendiri di dalam proses. Tanpa adanya enzim, reaksi sulit untuk dilanjutkan. Namun dengan adanya enzim sebagai katalis, laju reaksi dapat ditingkatkan sampai 107 kali lipat (Hames & Hooper 2005). Energi aktivasi adalah besarnya energi yang harus dicapai agar reaksi kimia dapat berlangsung. Enzim ini diyakini dapat menurunkan energi aktivasi tersebut yang menyebabkan reaksi kimia lebih cepat terjadi.
Gambar 4 Grafik Michaelis-Menten
Gambar 4 menunjukkan laju reaksi versus konsentrasi substrat untuk reaksi terkatalisis enzim pada konsentrasi enzim konstan. Tetapi penentuan harga KM secara tepat dari sebuah grafik Michaelis-Menten sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, digunakan metode lain untuk menganalisis data yang ada, yaitu Grafik Lineweaver-Burk (Gambar 5). Grafik hubungan 1/v dan 1/[S] merupakan suatu garis lurus dengan slope KM/VMAKS dan intercept sumbu y 1/VMAKS.
1 𝐾𝑀 1 1 =( ) + 𝑉 𝑉𝑀𝐴𝐾𝑆 [𝑆] 𝑉𝑀𝐴𝐾𝑆
7
Gambar 5 Grafik Lineweaver-Burk
Berbagai faktor penentu laju aktivitas enzim harus dipelajari dengan seksama dan mengatur kondisinya sedemikian rupa agar diperoleh reaksi yang lebih terkendali dan murni yang melibatkan interaksi enzim-substrat. Untuk mengetahui kemampuan senyawa bioaktif sebagai obat, apakah bersifat inhibitor atau aktivator, dapat dilihat dari pola kinetikanya. Untuk melihat perubahan pola kinetikanya, terhadap lingkungan tempat reaksi enzim tersebut berlangsung ditambahkan senyawa bioaktif dengan konsentrasi tertentu dan pola kinetika yang terbentuk diperbandingkan dengan pola kinetika dasarnya (hanya interaksi enzim-substrat) (Price & Stevens 1996). Dengan menggunakan bantuan grafik, melalui persamaan MichaelisMenten atau melalui persamaan Lineweaver-Burk, dapat ditentukan pola kinetika enzim yang terbentuk akibat adanya inhibitor ataupun aktivator. Inhibitor enzim adalah zat yang mengubah tindakan katalis enzim yang akibatnya aktivitas enzim tersebut menjadi lambat/turun, atau dalam beberapa kasus, dapat menghentikan kerja katalis/enzim. Pola kinetika enzim yang terbentuk dapat bervariasi, tergantung pada mekanisme reaksi yang terjadi. Mekanisme inhibisi dapat berlangsung secara inhibisi kompetitif, inhibisi nonkompetitif, maupun inhibisi unkompetitif (Voet et. al. 2001). Inhibisi Kompetitif Inhibisi kompetitif adalah inhibisi yang terjadi di bagian sisi pengikatan (binding site) dari enzim. Inhibisi ini dapat terjadi karena inhibitor kompetitif memiliki struktur yang hamper sama atau menyerupai struktur dari substrat enzim tersebut, akibatnya jika inhibitor terlebih dahulu berikatan dengan enzim, maka substrat tidak dapat berinteraksi dengan enzim. Untuk menghilangkan efek inhibisi dari inhibitor kompetitif, maka konsentrasi subsrat perlu ditambahkan (jumlahnya harus lebih banyak dari konsentrasi inhibitor) untuk meminimalkan peluang interaksi inhibitor dengan enzim. Akibatnya, proses penjenuhan enzim oleh subsrat menjadi lebih lambat, sehingga nilai KM akhir setelah inhibisi akan menjadi lebih besar, tapi nilai VMAKS tidak berubah karena ES tidak terganggu. Gambar 6 menjelaskan bahwa (a) Inhibitor kompetitif bersaing dengan substrat untuk mengikat di situs aktif enzim; (b) enzim dapat mengikat baik substrat atau inhibitor
8 kompetitif tetapi tidak keduanya; (c) Lineweaver-Burk plot menunjukkan efek inhibitor kompetitif di KM dan VMAKS (Hames & Hooper 2005).
Gambar 6 Karakteristik inhibisi kompetitif (Hames & Hooper 2005).
Inhibisi Nonkompetitif Inhibisi non-kompetitif adalah inhibisi yang terjadi baik ketika subsrat belum maupun sudah terikat pada sisi aktif enzim. Inhibitor jenis ini tidak terikat dan tidak mengganggu sisi aktif dari enzim, melainkan melekat pada sisi selain sisi aktif, atau sisi pelekatan inhibitornya muncul ketika enzim telah membentuk kompleks dengan subsrat. Karena sisi aktif enzim tidak terpengaruh oleh keberadaan dari inhibitor, maka nilai KM-nya tidak berubah, tetapi VMAKS menjadi lebih kecil. Pada Gambar 7 dijelaskan: (a) Inhibitor nonkompetitif dianggap menjadi zat yang ketika ditambahkan ke enzim dapat mengubah enzim menjadi tidak dapat menerima substrat; (b) Inhibitor tidak mengganggu pembentukan kompleks antara, tetapi menyekat hidrolisis atau reaksi selanjutnya; (c) Lineweaver-Burk plot menunjukkan efek inhibitor nonkompetitif di KM dan VMAKS (Hames & Hooper 2005).
Gambar 7 Karakteristik inhibisi nonkompetitif (Hames & Hooper 2005).
Inhibisi Unkompetitif Inhibisi unkompetitif adalah inhibisi yang terjadi pada enzim yang telah terikat dengan subsrat (kompleks ES). Gambar 8 menjelaskan bahwa inhibisi ini dapat terjadi karena ketika enzim berikatan dengan subsrat, terjadi perubahan
9 konformasi pada enzim yang menyebabkan munculnya sisi pengikatan untuk inhibitor. Akan tetapi inhibitor unkompetitif tidak dapat terikat pada enzim bebas. Efek inhibisi dari inhibitor ini tidak dapat diatasi dengan penambahan konsentrasi subsrat, melainkan dengan cara menambahkan senyawa tertentu yang dapat berinteraksi dengan inhibitor sehingga inhibitor tidak dapat membentuk kompleks ESI. Semakin banyak konsentrasi subsrat ditambahkan, maka semakin banyak pula kompleks ESI yang dapat terbentuk, sehingga enzim lebih cepat jenuh oleh subsrat ketika diinhibisi, akibatnya nilai Km akhir setelah inhibisi akan menjadi lebih kecil dari KM sebelum inhibisi, begitu pula dengan nilai VMAKS.
Gambar 8
Karakteristik inhibisi unkompetitif (a) Inhibitor unkompetitif hanya bereaksi dengan kompleks ES, dan tidak bisa bereaksi dengan enzim bebas; (b) Reaksi yang melibatkan inhibitor unkompetitif; (c) Lineweaver-Burk plot menunjukkan efek inhibitor unkompetitif di KM dan VMAKS (Voet et al. 2001).
Syzygium polyanthum (Daun Salam) S. polyanthum dikenal masyarakat Indonesia sebagai bumbu masakan yang penggunaannya banyak ditemukan pada setiap masakan. S. polyanthum digunakan terutama sebagai rempah pengharum masakan di sejumlah negeri di Asia Tenggara. S. polyanthum tumbuh liar di hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan dan di sekitar rumah. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran rendah sampai 1400 mdpl. Tinggi pohon salam mencapai 25 m, batang bulat, bertajuk rimbun dan berakar tunggang. Daun tunggal, letak berhadapan, panjang tangkai daun 0.5-1 cm, jika diremas berbau harum/khas (Tjitrosoepomo 2002). S. polyanthum diklasifikasikan ke dalam kingdom plantae, divisi magnoliophyta, kelas magnoliopsida, suku myrtaceae, marga syzygium, dan jenis Syzygium polyanthum. Nama asing S. polyanthum adalah Indonesian bayleaf atau Indonesian laurel (Inggris). Nama daerah dari tanaman ini bermacam-macam, seperti di Sumatera dikenal sebagai “ubar serai dan meselangan”, di Jawa tanaman ini dikenal dengan nama “manting dan salam”, sedangkan di Madura dikenal dengan nama “salam”. Identitas simplisia S. polyanthum (Gambar 9) adalah daun kering yang berwarna kecoklatan, bau aromatik lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun 5-10 mm. Ujung dan pangkal daun meruncing, tepi rata, helai daun berbentuk jorong memanjang (panjang: 7-15 cm; lebag 5-10 cm), permukaan atas berwarna coklat kehijauan, licin, mengkilat, permukaan bawah
10 berwarna coklat tua, tulang daun menyirip, dan menonjol pada permukaan bawah, tulang cabang halus (Farmakope Herbal Indonesia 2009).
Gambar 9 Syzygium polyanthum kering (Farmakope Herbal Indonesia 2009)
Kandungan kimia yang terdapat dalam S. polyanthum adalah saponin, triterpenoid, flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang terdiri dari sesquiterpen, lakton dan fenol (Studiawan et al. 2005; Dewanti & Wahyudi 2011), terdapat hidroksikavikol yang berlimpah (Kato E et al. 2013). Winarto (2004) dan Sumono & Wulan (2008) juga menyatakan bahwa S. polyanthum mempunyai kandungan kimia yaitu tanin, flavonoid, dan minyak asiri 0.05 % yang terdiri dari eugenol dan sitral. S. polyanthum diketahui mengandung flavonoid total tidak kurang dari 0.40% dihitung sebagai kuarsetin (Farmakope Herbal Indonesia 2009). S. polyanthum selain sebagai bumbu masakan, dapat digunakan juga sebagai tanaman obat diantaranya sebagai antiobesitas (Kato F et al. 2013), antibakteri (Sumono & Wulan 2008), antidiabetes (Suharmiati & Roosihermiatie 2012), kolesterol (Situmorang 2013), obat berbagai penyakit seperti: maag, hipertensi, antiinflamasi, mabuk, penyakit kulit (Sumono & Wulan 2008) hipertensi (Ismail 2013), antiproliferatif (Sulistiyani et al. 2014), termasuk asam urat (Ariyanti et al. 2007; Ngestiningsih D et al. 2011; Ngestiningsih D et al. 2012).
11 3 METODE
Bahan Xantina oksidase (XO) dari bovine milk (aktivitas spesifik > 7 units/mg), xantina, dan glutaraldehide (GA) dari Sigma-Aldirch, (USA); FeCl3.6H2O, natrium sitrat, urea, grafit, parafin cair, etanol, 2,3-dimethoxy-5-metil-1,4-benzoquinone (Q0), Bovine Serum Albumin (BSA), NaH2PO4 and Na2HPO4 dari Merk (Germany); Syzygium polyanthum (Daun salam) yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, IPB. Alat Spektroskopi serapan atom/ AAS (Shimadzu AA-6300), difraksi sinar-X/ XRD (Shimadzu 7000), Mikroskop elektron payaran/ SEM (Zeiss), Potensiostat yang dilengkapi dengan perangkat lunak Echem v2.1.0 (eDAQ), elektrode Ag/AgCl sebagai elektrode referensi (eDAQ), elektrode platina sebagai elektrode pembantu (eDAQ), pipet mikro (Eppendorf) dan peralatan gelas yang diperlukan. Prosedur Kerja Sintesis dan Karakterisasi Nanosphere magnetit Nanosphere magnetit disintesis menggunakan metode hidrotermal yang mengacu pada Saprudin et al. (2013). Sebanyak 0.5406 g FeCl3·6H2O (2 mmol/0.05 M), 1.1764 g natrium sitrat (4 mmol/0.10 M), dan 0.3604 g urea (6 mmol/0.15 M) dilarutkan dalam 40 mL akuades, diaduk hingga larut sempurna, lalu dimasukkan ke dalam wadah teflon. Wadah tersebut dimasukkan ke dalam oven dan diatur pada suhu 200°C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada suhu ruang. Endapan hitam yang terbentuk dipisahkan, dicuci dengan air dan etanol, lalu dikeringkan pada oven suhu 60°C semalam. Serbuk hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD dan SEM, sedangkan filtrat hasil sintesis diukur kadar Fe-nya menggunakan AAS. Pembuatan dan karakterisasi elektrode pasta karbon (EPK) Pada penelitian ini dibuat 3 jenis elektrode, elektrode pasta karbon tanpa pemodifikasi (EPK), elektrode pasta karbon dengan pemodifikasi Q0 (EPKQ) dan elektrode pasta karbon termodifikasi Nanosphere magnetit (EPKM). EPK dibuat sesuai prosedur Saprudin et al. 2013. Modifikasi elektrode pasta karbon dilakukan dengan cara mencampurkan Q0 atau serbuk Nanosphere magnetit hasil sintesis (komposisi 5%, 10% dan 15%) pada pasta karbon dengan komposisi grafit yang berkurang seiring komposisi pemodifikasi dan parafin cair yang tetap. Elektrode pasta karbon yang telah dibuat dikarakterisasi terlebih dahulu menggunakan larutan elektrolit KCl dan K3[Fe(CN)6]. Immobilisasi Enzim Xantina oksidase (Nakatani et al. 2005) Enzim XO diimmobilisasi ke permukaan elektrode secara cross-linking dengan BSA dan GA. 15 µL enzim XO 25 U/mL direaksikan dengan 5 µL BSA 10% (w/v) dan 5 µL GA 5% (v/v) dan diaduk hingga homogen. 10 µL larutan XOGA-BSA kemudian diteteskan ke permukaan elektrode dan dikeringkan pada suhu
12 ruang. Kemudian ditutup dengan membran dialisis dan jaringan nilon yang diikat menggunakan parafilm. Akhirnya, elektrode dicuci dengan 0.05 M buffer fosfat pH 7. Saat elektrode tidak digunakan, maka disimpan dalam buffer fosfat pH 7 pada suhu 4ºC. Pengukuran Elektrokimia (Devi et al. 2013) Sebanyak 15 mL larutan buffer fosfat 0.05 M pH 7 ditambahkan ke dalam sel elektrokimia dan puncak arus anode yang terbentuk diamati sebagai blanko. Selanjutnya ditambahkan substrat 0.1 mL xantina (0.15 mM) ke dalam sel elektrokimia yang terdiri dari elektrode kerja, elektrode bantu, dan elektrode pembanding. Setelah penambahan setiap zat ke dalam larutan, perubahan arus yang terjadi diamati. Optimasi Aktivitas Xantina Oksidase dengan Respons Surface Method (Myers et al. 2009) Optimasi dilakukan pada suhu (10-30oC), pH (6-9), konsentrasi xantina (0.11.0 mM) dan konsentrasi Nanosphere magnetit (5-15%). Metode permukaan respons (RSM) digunakan untuk menentukan kondisi optimum aktivitas XO. Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan kombinasi faktor-faktor peubah bebas pada perangkat lunak statistika Minitab.v.16 English. Pengujian Kinerja Elektrode Kinerja elektrode didentifikasi untuk 3 jenis elektrode pada kondisi optimum. Kinerja yang ditentukan adalah sensitivitas elektrode, linearitas elektrode dan limit deteksi elektrode sesuai dengan prosedur pada (Devi et al. 2013). Penetuan Kinetika Inhibisi Enzim Xantina Oksidase oleh Ekstrak kasar S. polyanthum Ekstraksi S. polyanthum (FHI, 2009) Ekstraksi S. polyanthum mengacu pada Badan Farmakope Herbal Indonesia/FHI (2009). Sampel S. polyanthum yang telah dibersihkan dan dikeringkan kemudian dihaluskan, dan diekstraksi menggunakan metode maserasi. Serbuk S. polyanthum diekstraksi dengan pelarut etanol 70% (dengan rasio 1:10), sampel beserta pelarut dikocok selama 6 jam menggunakan shaker, kemudian didiamkan selama 18 jam. Filtrat dipisahkan dan proses tersebut diulangi 3 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua filtrat dikumpulkan dan diuapkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental, kemudian dikeringkan, ditimbang dan dihitung rendemennya. Pengukuran Aktivitas Enzim (Pengujian daya inhibisi terhadap XO dan penentuan IC50) (Thandavan et al. 2013) Uji daya inhibisi ekstrak kasar terhadap XO dilakukan pada kondisi optimumnya. Pengukuran dilakukan pada kondisi optimum yang telah diperoleh sebelumnya sesuai dengan prosedur pengukuran elektrokimia. Akan tetapi sebelum ditambahkan substrat xantina, ke dalam sel elektrokimia ditambahkan ekstrak S. polyanthum dengan variasi konsentrasi tertentu. Nilai IC50 diperoleh dari persamaan regresi yang diperoleh dari hasil pengukuran uji daya
13 inhibisi dengan memasukkan nilai y=50. Kontrol positif digunakan obat komersil asam urat yaitu Allopurinol. Pengujian kinetika inhibisi ekstrak terhadap XO Prosedur uji kinetika inhibisi mirip dengan pelaksanaan uji penentuan daya inhibisi, hanya saja pada uji kinetika, konsentrasi substrat (xantina) divariasikan mulai dari 0.01 hingga 1.00 mM. Diuji sebagaimana penentuan daya inhibisi, dari sini akan diperoleh kinetika enzim XO dalam keadaan normal. Selanjutnya ke dalam sederetan konsentrasi substrat yang lain ditambahkan ekstrak (konsentrasi terpilih) sehingga diperoleh kinetika inhibitor enzim XO. Data yang diperoleh kemudian dikonversi dan diinterpretasikan ke dalam persamaan kinetika enzim dalam bentuk grafik. Selanjutnya dicari persamaan garis yang terbentuk dan tipe hambatannya berdasarkan perpotongan garis antara kinetika enzim normal dengan kinetika enzim setelah mendapat perlakuan ekstrak kasar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis dan Karakterisasi Magnetit Sintesis magnetit Magnetit disintesis menggunakan metode hidrotermal, yaitu metode yang sudah dikenal baik untuk mensintesis nanomagnetit dengan temperatur tinggi (200ºC) dan tekanan autogenous (Ramimoghadam et al. 2014). Cheng et al. 2010 berhasil mensintesis nanomagnetit dengan metode hidrotermal menggunakan 4 bahan kimia yaitu FeCl3, natrium sitrat, poliakrilamida dan urea. Namun poliakrilamida merupakan bahan yang mahal, sehingga dilakukan sintesis nanomagnetit tanpa poliakrilamida yang telah berhasil dilakukan oleh Saprudin et al. 2013 menggunakan 3 bahan kimia yaitu FeCl3, natrium sitrat, dan urea. Pembentukan nanomagnetit dilakukan selama 12 jam pada suhu 2000C, karena nanomagnetit dapat terbentuk sempurna pada waktu 12 jam pemanasan (Saprudin et al. 2013). Pembentukan magnetit menggunakan 3 bahan kimia ini diduga mekanismenya adalah sebagai berikut: FeCl3 digunakan sebagai sumber besi yang menyediakan Fe3+ seperti pada reaksi (1): →
FeCl3
Fe3+ + 3Cl-
(1)
Natrium sitrat digunakan sebagai pereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (reaksi 2) diawali dengan mengionnya natrium sitrat menjadi ion sitrat. Kemudian, ion sitrat dan Fe3+ membentuk kompleks Fe(III)-sitrat. Adanya ion H+ dalam larutan mengakibatkan terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sedangkan sitrat teroksidasi. 𝑁atrium sitrat, kalor
Fe3+ + e →
Fe2+
(2)
14 Sedangkan urea sebagai pemberi suasana basa. Urea pada saat pemanasan akan terdekomposisi menjadi NH3 dan CO2 (reaksi 3) yang membuat suasana basa dalam sistem reaksi (reaksi 4). Suasana basa ini mengakibatkan terbentuknya Fe(OH)3 (reaksi 5) dan Fe(OH)2 (reaksi 6). Sehingga Fe(OH)3 dan Fe(OH)2 akan membentuk Fe3O4 dengan proses dehidrasi (reaksi 7). CO(NH2)2 + H2O → 2NH3 + CO2 NH3 + H2O → NH4+ + OHFe3+ + 3OH- → Fe(OH)3 Fe2+ + 2OH- → Fe(OH)2 2Fe(OH)3 + Fe(OH)2 → Fe3O4 + 4H2O
(3) (4) (5) (6) (7)
Hasil sintesis yang diperoleh merupakan serbuk berwarna hitam yang tertarik oleh magnet (Lampiran 2). Filtrat dari hasil sintesis diperoleh berwarna kuning jernih yang merupakan indikasi keberhasilan terbentuknya magnetit (Liang et al. 2011). Untuk mengetahui Fe-terendapkan, di ukur kadar Fe pada filtrat hasil sintesis menggunakan AAS. Hasil diperoleh bahwa kadar Fe yang terendapkan hanya sekitar 0.01% yang menunjukkan bahwa 99.99% Fe telah terkonversi menjadi produk. Karakterisasi magnetit Serbuk hitam hasil sintesis dicirikan menggunakan XRD untuk melihat derajat kristalinitas, ukuran kristal, bentuk kristal, dan pembuktian hasil sintesis dengan magnetit standar JCPDS. Dari hasil pencirian, diperoleh derajat kristalinitas hasil sintesis yaitu 76.2% dan ukuran kristal rata-rata adalah 38.21 nm yang ditentukan dari setengah lebar garis difraksi menggunakan persamaan Scherrer (perhitungan ukuran kristal pada Lampiran 5). 300
Magnetite nanosphere synthesized JCPDS 19-0629
Intensitas (cps)
250 200 150 100 50 0 10
20
30
40
50
60
70
80
2θ (º)
Gambar 10 Difraktogram serbuk hasil sintesis dan standar magnetit (JCPDS) No. 19-0629
15 Gambar 10 menunjukkan puncak difraksi yang sesuai dengan standar magnetit pada JCPDS No: 19-0629, hal ini menunjukkan serbuk hasil sintesis adalah magnetit. Dari perbandingan sudut difraksi antara standar magnetit dengan serbuk hasil sintesis menunjukkan kemiripan puncak difraksi yang timbul, terutama puncak tertinggi sebagai ciri khas magnetit yaitu pada 2θ: 35.519 (pada hasil sintesis) yang mendekati standar magnetit yang timbul pada 2θ: 35.422 (JCPDS 190629). Hal ini menunjukkan bahwa serbuk hasil sintesis benar merupakan nanomagnetit. Tabel 1 Pola nilai hkl magnetit 2θ 18.3800 35.5190 43.0890 53.6240 57.0330 62.9610
hkl 111 311 400 422 511 440
h2 + k2 + l2 3 11 16 24 27 32
Berdasarkan pola hkl pada Tabel 1 menunjukkan bahwa bentuk kristal magnetit hasil sintesis tersebut adalah kubus berpusat muka dengan menyesuaikan pada Tabel 2 dan penentuan pola hkl ini ditunjukkan pada Lampiran 4. Tabel 2 Penentuan struktur kristal (Klug, H.P dan Alexander, L.E. 1974) Struktur Kristal Simple Cubic (SC) Body Centered Cubic (BCC) Face Centered Cubic (FCC)
h2 + k2 + l2 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,.... 2,4,6,8,10,12,14,16,.... 3,4,8,11,12,16,19,20,24,27,....
Gambar 11 menunjukkan pencirian SEM untuk magnetit hasil sintesis berbentuk seperti bola yang berkumpul membentuk bulatan (spherical) yang menandakan adanya efek magnetisasi (Cheng et al. 2010). Gaya magnet yang terdapat dalam magnetit menyebabkan partikel-partikel magnetit tersebut saling tarik menarik membentuk bulatan (Zhao dan Asuha 2010). Gambar 11 (a) pada perbesaran 1.000× terlihat spherical magnetit yang seragam. Sedangkan pada Gambar 11 (b) menunjukkan salah satu ukuran kumpulan spherical magnetit yang terlihat dengan perbesaran 12.500×. Diameter partikel spherical magnetit berukuran 121.5 nm. Pencirian SEM sesuai dengan laporan Cheng et al. (2010) bahwa diperoleh nanomagnetit yang berbentuk bulat. Liang et al. (2011) melaporkan berbagai bentuk pencirian SEM nanomagnetit yaitu: berbentuk memanjang seperti batang, bulat dan terbentuk aglomerasi butiran, serta bulat dengan ukuran partikel yang seragam. Pada penelitian ini dengan tidak adanya poliakrilamida dapat menghasilkan nanomagnetit yang berbentuk bulat dan seragam, namun masih terdapat agregasi antar sperical. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak adanya surfaktan seperti poliakrilamida yang dapat bersifat sebagai stabilizer ukuran nano, sehingga jika disimpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan antar partikel atau kumpulan partikel beragregasi membentuk ukuran yang lebih besar. Berdasarkan Setyoningsih et al. 2010 yang menggunakan asam oleat sebagai stabilizer ukuran, menunjukkan bahwa penambahan asam oleat pada sintesis nanokristal magnetit
16 mampu menurunkan ukuran kristal magnetit. Penambahan asam oleat dalam suasana basa akan menghasilkan suatu surfaktan natrium oleat yang akan melapisi partikel-partikel magnetit. Ukuran kristal yang dilaporkan oleh Setyoningsih et al. 2010 lebih kecil dibandingkan pada penelitian ini yaitu sekittar 36.93 nm, sedangkan ukuran kristal yang lebih besar juga dilaporkan oleh Fauziah et al. 2012 yaitu 46.66 nm. Penggunaan teknik hidrotermal pada sintesis magnetit akan menghasilkan tekanan di atas 1 atm sehingga mampu menghasilkan ukuran kristal yang lebih kecil (Setyoningsih et al. 2012).
(a)
(b)
Gambar 11 Pencirian SEM serbuk magnetit hasil sintesis a). Perbesaran 3.000×; b) perbesaran 12.500×
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dengan melihat bentuk dan warna serbuk serta filtrat hasil sintesis, analisis AAS, analisis XRD dan SEM menunjukkan bahwa sintesis nanosphere magnetit berhasil dilakukan. Karakterisasi Elektrode Elektrode dibuat 3 jenis, yaitu elektrode tanpa pemodifikasi (EPK), elektrode dengan pemodifikasi Q0 (EPKQ) dan elektrode dengan pemodifikasi nanomagnetit (EPKM). Untuk menguji elektrode tersebut baik untuk pengukuran, maka dilakukan karakterisasi dengan larutan elektrolit KCl dan K3[Fe(CN)6]. Pada KCl diharapkan tidak menimbulkan puncak, dan pada K3[Fe(CN)6] diharapkan dapat melihat puncak oksidasi dan reduksinya. Gambar 12 menunjukkan elektrode yang dibuat dapat mendeteksi arus yang ditimbulkan dari larutan elektrolit KCl yang tidak menimbulkan puncak dan dari larutan elektrolit K3[Fe(CN6)] yang menimbulkan puncak pada daerah sekitar 0.5 Volt yang menunjukkan elektrode yang dibuat berfungsi dengan baik. Dapat dilihat dari Tabel 3 bahwa K3[Fe(CN)6] mengalami oksidasi lebih awal (pada potensial lebih rendah) pada EPKM dibandingkan pada EPKQ dan EPK, yang menunjukkan bahwa dengan adanya nanosphere magnetit dapat mempercepat laju reaksi redoks dari elektrolit K3[Fe(CN)6]. Selain itu EPKM juga memiliki ∆Ep yang paling kecil (Tabel 3) dibandingkan dua elektrode lainnya (EPKQ dan EPK). Menurut Scholz (2010), berdasarkan persamaan energi bebas Gibbs, jika beda potensial antara puncak oksidasi dan reduksi lebih kecil sama dengan 54 mV, maka
17 reaksi redoks tersebut termasuk reaksi reversibel. Ketiga elektrode tersebut tidak bersifat reversibel, karena beda potensial yang dihasilkan melebihi 54 mV, namun semakin kecil beda potensial yang dihasilkan maka semakin mendekati reversibel dan EPKM nerupakan elektrode terbaik dibandingkan dua elektrode lainnya. Tabel 3 Nilai perubahan potensial anodik dan katodik K3[Fe(CN6)] pada 3 jenis elektrode Potensial
Jenis Elektrode EPKQ 0.568 0.346 0.222 225.85 188.76 1.196
EPK 0.606 0.290 0.316 107.34 86.39 1.242
Epa (Volt) Epc (Volt) ∆E (Volt) Ipa (µA) Ipa (µA) Ipa/Ipc(µA)
EPKM 0.500 0.320 0.180 313 320 0.978
EPKM juga dapat mendeteksi puncak rata-rata oksidasi dan reduksi K3[Fe(CN)6] 1.52 and 3.27 lebih tinggi daripada EPKQ dan EPK, berturut-turut dengan nilai Ipa/Ipc pada EPKM lebih mendekati 1 dibandingkan EPKQ dan EPK. Elektrode terbaik adalah yang memiliki nilai Ipa/Ipc mendekati 1. Dari Tabel 3 dapat dilihat pada EPK dan EPK nilai puncak anodik lebih tinggi dari puncak katodik, hal ini disebabkan karena adanya lapisan pada permukaan elektrode yang menghalangi transfer elektron. Namun dapat dilihat pada EPKM puncak katodik hampir sama tingginya dengan puncak anodik, hal ini membuktikan bahwa adanya magnetit dapat semakin memediasi reaksi redoks sehingga dapat meningkatkan puncak katodik. Hal ini menunjukkan nanosphere magnetit dapat meningkatkan laju transfer elektron pada K3[Fe(CN)6], yang membuktikan bahwa nanosphere magnetit hasil sintesis bersifat elektrokatalitik. Proses elektrokatalitik dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran partikel katalis. Sehingga penggunaan nanosphere magnetit diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas dari elektrode. 150
40
(a)
(b)
100
20
0
Current (A)
Current (A)
50
-20
-40
0 -50 -100
KCl K3[Fe(CN)6]
-60
KCl K3[Fe(CN)6]
-150 -200
-80 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
-0,6
Potential Vs Ag/AgCl (Volt)
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
V vs Ag/AgCl (Volt) 200
(c) Current (A)
100
0
-100
KCl K3[Fe(CN)6]
-200
-300 -0,6
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
V vs Ag/AgCl (Volt)
Gambar 12 Voltamogram siklik antara arus dan potensial pada (a) EPK, (b) EPKQ, (c) EPKM 10% dalam larutan elektrolit KCl (hitam) dan K3[Fe(CN)6] (merah)
18 Immobilisasi enzim Enzim xantina oksidase diimmobilisasi ke permukaan elektrode dengan media immobiisasi adalah BSA (Bovine serum abumine) dan Glutaradehida dengan ikatan cross linking. Keberhasilan immobilisasi ditandai dengan terdeteksinya arus yang ditimbulkan dari proses antara xantina sebagai analit dengan enzim xantin oksidase yang terimmobilisasi pada permukaan elektrode yang menunjukkan timbulnya puncak pada daerah sekitar 0.5-0.6 volt (Gambar 13). Adapun skema dugaan reaksi kimia yang terjadi saat immobilisasi enzim pada elektrode kerja siklik EPK ditunjukkan pada (Gambar 14).25 25 Voltamogram Voltamogram siklik EPK 20
VoltamogramEPK siklik EPK
20 15 10
I (A)
5
Arus A) I ((A)
I (A)
0 -5 -10 -15
Blanko (Buffer) Xantina 1mM
-20 -25 -30 -35 -0,6 -0,4 -0,2 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
Potensial (Volt) E (Volt)
E (Volt)
E (Volt)
(a) 20
(b)25 Voltamogram pengukuran EPKM 15%
EPKM 15%
20
15
(c)
Cyclic Voltamogram of QCPE
EPKQ
15 10
10
5
5 I (
Arus (
Voltamogram siklik EPKM 10%
Voltamogram pengukuran EPKM5%
EPKM 5% 20 20 EPKM 10% 1525 15 15 1020 10 515 10 5 010 5 0 -5 5 0 -5 -10 0 -10 -5 -15 -5 -15 Blanko (Buffer) -10 -20-10 Blanko (Buffer) Blanko1mM (Buffer) -20 Xantina -25-15 Xantina 1mM -15 Xantina 1mM Blanko (Buffer) -25 -30-20 Xantina 1mM -20 -30 -35-25 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -0,2 0,00,0 0,20,2 0,4 0,40,6 0,60,8 0,8 1,0 1,41,2 1,4 -35 -0,6 -0,6 -0,4 -0,4 -0,2 1,0 1,2 E (Volt) -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 I (A)
25
0
0 -5
-5
-10
Blanko (Buffer) Xantina 1mM
-10
Blanko (Buffer) Xantina 1 mM
-15 -20
-15 -0,6 -0,4 -0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
Potensial (Volt)
(d)
1,0
1,2
1,4
-0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4
E (Volt)
(e)
Gambar 13 Voltamogram siklik pengukuran xantina dengan immobilisasi xantina oksidase a,b,c,d, dan e berturut-turut untuk EPK, EPKM 5%, EPKM 10%, EPKM 15%, dan EPKQ.
Dari Gambar 13 terlihat bahwa kelima elektrode dapat mendeteksi arus oksidasi yang ditimbulkan dari transfer elektron pada reaksi dalam larutan analit (setelah ditambahkan xantina) yang dapat dibandingkan dengan arus blanko/buffer (sebelum ditambahkan xantina) seperti pada Gambar 13. Hal ini menunjukkan bahwa immobilisasi enzim secara cross linking dengan BSA dan GA berhasil dilakukan. Namun arus reduksi tidak dapat terukur (sangat kecil), hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya mediator yang cocok pada pengujian elektrokimia yang akan membantu proses reduksi. Sehingga diharapkan untuk penelitian
19 lanjutan menggunakan mediator yang cocok agar arus reduksinya juga dapat dideteksi, beberapa mediatot yang sering digunakan adalah ferrosena dan K3[Fe(CN)6].
Gambar 14 Dugaan skematis dari reaksi kimia yang terlibat dalam fabrikasi elektrode EPKnFe3O4-BSA-GA-XO
Dapat dilihat dari Gambar 14 bahwa diduga pasta karbon akan berikatan kovalen dengan nanomagnetit membentuk EPK/nano-Fe3O4 (Thandavan et al. 2013), matriks immobilisasi enzim xantina oksiadse yang digunakan adalah BSA (Bovine serum albumin) dan GA (glutaraldehida), Secara cross-linking BSA akan berikatan dengan GA, GA juga berperan sebagai agen penjebak untuk enzim xantina oksidase, sehingga BSA akan berikatan dengan nanomagnetit membentuk EPKM-BSA-GA-XO. Menurut Pundir dan Devi (2014) metode cross linking (gabungan antara ikatan kovalen dan penjebakan) adalah metode terbaik dalam mengimmobilisasikan enzim XO dibandingkan metode lainnya. Sebagian besar digunakan untuk menstabilkan penyerapan XO dan mencegah kebocorannya. Metode ini juga memberikan immobilisasi yang sangat kuat dengan enzim. Penentuan Kondisi Optimum XO Untuk menentukan kondisi optimum dari elektrode kerja, dilakukan optimasi elektrode secara kualitatif menggunakan Respons Surface Method (RSM) dengan metode Central Composite Design (CCD) yang terdapat pada perangkat lunak statistik Minitab.v.16 English. Pada metode RSM, kondisi optimum yang diperoleh adalah memperhatikan hubungan masing-masing parameter terhadap respon dan hubungan antar-parameter terhadap respons. Berbeda dengan optimasi secara konvensional yang kondisi optimum untuk masing-masing parameternya ditentukan secara terpisah tanpa memperhatikan hubungan antar parameter dalam waktu yang sama. Parameter yang digunakan adalah suhu (10-300C), pH (6-9), konsentrasi xantina (0.1-1.0 mM) dan konsentrasi magnetit (5-15%). Kombinasi
20 faktor-faktor peubah bebas dari keempat variabel tersebut dapat dilihat pada (Lampiran 6). Pengukuran dilakukan pada rentang -500 hingga 1500 mV dengan laju sebesar 100 mV/s. Kontur hubungan antar variabel terhadap arus oksidasi yang dihasilkan ditampilkan pada Gambar 15.
c
a
d
e
Gambar 15 Kontur hubungan 4 parameter: pH, konsentrasi xantina, konsentrasi magnetite, dan suhu pada optimasi aktivitas xantina oksidase
21 Kontur menunjukkan perubahan arus puncak oksidasi yang tertinggi pada daerah dengan warna hijau gelap. Dari kontur ini dicari variabel yang paling berpengaruh terhadap arus. Dari P value pada output minitab, diperoleh faktor yang berpengaruh adalah pH dengan P<0.05 (0.018) dan hubungan pH dengan [magnetit] (P= 0.038). Dari kontur yang dihasilkan (a-f) diketahui bahwa arus yang paling tinggi dihasilkan pada kontur b dan d (>9 µA). Dari kontur a dan d dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi xantina, maka semakin tinggi pula arus yang dihasilkan, selain itu kedua kontur ditinjau dari pH sekitar 7.5, dan konsentrasi magnetit sekitar 10%. untuk menentukan optimasinya, diperlukan data optimizer yang diperoleh dari output Minitab (Lampiran 6). Dengan menggunakan optimizer, output minitab menunjukkan kondisi optimim yang menghasilkan aktivitas enzim terbaik adalah pada pH 7, konsentrasi magnetit 10%, konsentrasi xantina 1mM dan pada suhu 20ºC. Kondisi optimum ini digunakan untuk kondisi pengukuran analit selanjutnya. Kondisi suhu optimum yang sama juga dilaporkan oleh Iswantini and Darusman (2003) namun berbeda dengan pH dan konsentrasi xantina optimum berturut-turut yaitu 7.5 dan 0.7mM. Konsentrasi xantina yang sama juga dilaporkan oleh Iswantini et al. (2014) dengan nilai pH dan suhu yang berbeda yaitu 7.5 dan 30ºC. Cengiz et al. (2012) melaporkan kondisi optimum aktivitas xantina oksidase yang berbeda yaitu pada pH 9 dan suhu 37ºC. Perbedaan kondisi optimum aktivitas xantina oksidase ini dapat terjadi karena perbedaan waktu pengukuran, alat, kondisi lingkungan, dan metode yang digunakan.
Gambar 16 Voltamogram siklik pengukuran xantina pada kondisi optimum untuk perbandingan arus yang dihasilkan pada a). EPKM 5% (hitam), EPKM 10% (merah), EPKM 15% (hijau); b). EPK (hitam), EPKQ (merah) dan EPKM 10% (hijau)
Dari Gambar 16 (a) dapat dilihat perbandingan arus puncak oksidasi yang dihasilkan dari 3 jenis elektrode termodifikasi magnetit dengan konsentrasi bervariasi yaitu 5%, 10% dan 15%. Diperoleh Arus yang terdeteksi oleh EPKM 10% > EPKM 15% > EPKM 5%. Sehingga elektrode pasta karbon termodifikasi magnetit yang digunakan untuk pengukuran selanjutnya adalah EPKM 10%, hal ini sesuai dengan hasil optimizer dari RSM. Kemudian EPKM 10% terpilih dibandingkan dengan elektrode termodifikasi Q0 (EPKQ) dan elektrode tanpa pemodifikasi (Gambar 16 b). Elektrode yang menghasilkan arus oksidasi paling tinggi adalah elektrode pasta karbon yang dipemodifikasi Nanosphere magnetit diikuti oleh elektrode pasta karbon dengan pemodifikasi Q0 dan yang terakhir adalah elektrode
22 pasta karbon yang tidak dipemodifikasi. Dari hal ini dapat diketahui bahwa magnetit dapat meningkatkan arus oksidasi xantina menjadi asam urat dan dibandingkan dengan Q0 sebagai pemodifikasi yang sering digunakan untuk biosensor asam urat (Iswantini et al. 2014). Adapun reaksi yang terjadi pada elektrode tersebut hingga dihasilkan puncak oksidasi adalah seperti persamaan reaksi di bawah ini berdasarkan Devi et al. (2013): 𝑋𝑂𝐷
Xantina + O2 + H2O →
Asam Urat + H2O2
𝐴𝑔
𝑉 𝑣𝑠(𝐴𝑔𝐶𝑙)
H2O2 →
2H+ + O2 + 2e-
2e- → Elektrode Kerja Berdasarkan prinsip dasar biosensor xantina menurut Devi et al. (2013), xantina akan teroksidasi menjadi asam urat dan peroksida, kemudian dengan diberikan potensial maka peroksida tersebut teroksidasi menghasilkan elektron dan elektron inilah yang dikonversi menjadi sinyal yang dapat terbaca sebagai puncak pada voltamogram hasil pengukuran. Pada penelitian ini peran Fe 3O4 (nanosphere magnetit) adalah mempercepat (katalisis) proses transfer elektron yang dihasilkan dari oksidasi H2O2 dengan adanya potensial menuju elektrode kerja hingga munculnya puncak. Kinerja Elektrode Kinerja analitik seperti sensitivitas, linearitas dan limit deteksi ditentukan untuk EPK, EPKQ dan EPKM 10%. Rentang konsentrasi xantina yang dipakai adalah 1µM hingga 1mM. Diperoleh LOD (limit deteksi) untuk EPK, EPKQ, dan EPKM 10% berturut-turut adalah 0.025 mM, 0.010 mM dan 0.005 mM. EPKM 10% menghasilkan limit deteksi terbaik diantara dua lainnya. Adapun penelitian yang melaporkan limit deteksi yang lebih besar dari EPKM 10% yaitu 0.2 mM (Villalonga et al. 2007). Sedangkan limit deteksi yang lebih kecil untuk biosensor xantina yaitu 0.1 μM (Devi et al. 2013; Gao et al. 2009) dan 0.75 µM (Torres et al. 2013). Voltamogram siklik EPK Voltamogram siklik EPK
25
25
25 20
20
15 20
15
0 -10 -15 -5 -20 -10 -25 -15 -30
-20 -35
1 mM
10
5 10 0 5 -5
5 0 I (A)
Current (A) I (A)
10 15
-5 -10 -15 -20 -25
Blanko (Buffer) Xantina 1mMBlanko (Buffer) Xantina 1mM
0,01 mM
-30
-0,6 -0,4 -35 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 E (Volt)
1,2 1,4
1,4
Potential vs Ag/AgCl E (Volt) (Volt)
Gambar 17 Voltamogram siklik dari Linearitas arus yang dihasilkan dengan variasi konsentrasi xantina dari 0.01-1.00 mM
23 Dari Gambar 17 dapat dilihat voltamogram siklik dari EPKM 10% yang menunjukkan linearitasnya dari konsentrasi substrat xantina oksidase 0.01 mM hingga 1 mM, yang menunjukkan semakin besar konsentrasi xantina maka semakin tinggi juga arus yang dihasilkan. Perubahan arus yang diperoleh dapat diasumsikan sebagai aktivitas xantina oksidase dan kemudian di plotkan pada grafik hubungan antara aktivitas xantina oksidase dengan konsentrasi substrat, baik pada EPK, EPKQ maupun EPKM yang dapat dilihat pada Gambar 18.
6
y = 5,1611x + 0,5139 R² = 0,9924
5
∆I (µA)
4
y = 3,9904x + 0,0049 R² = 0,9777
3 y = 1,2946x - 0,0321 R² = 0,9415
2 1
EPK EPKQ EPKM
0 0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,700,750,800,850,900,951,00
[Xantina] (mM) Gambar 18 Persamaan regresi dan linearitas hubungan konsentrasi substrat dengan aktivitas xantin oksidase
Grafik menunjukkan perbedaan arus yang dihasilkan dari pengukuran xantina menggunakan EPK, EPKQ, dan EPKM 10%. Dari Gambar 18 dapat diketahui sensitivitas dan linearitasnya. Linearitas dilihat dari nilai regresi linearnya (R2). R2 EPKM 10% > EPKQ > EPK dengan nilainya berturut-turut (0.01-1mM) dengan R2=99.24%; (0.1-1mM) dengan R2=97.77%; (0.1-1.0mM) dengan R2=94.15%. Pada dasarnya ketiga elektrode berada pada daerah yang linier, namun EPKM 10% merupakan elektrode terbaik dilihat dari ketiga kinerja elektrode yang diamati. Linearitas EPKM 10% dapat dilihat pada voltamogram di Gambar (17). Hasil yang diperoleh untuk elektrode pasta karbon termodifikasi nanosphere magnetit lebih baik dibandingakan linearitas yang dilaporkan Iswantini et al. (2014) pada rentang yang sama yaitu 0.01-1.00mM dengan R2 yang lebih kecil (0.978). Penelitian lain yang melaporkan rentang linearitas yang lebih sempit adalah 0.00150.07mM (Dodevska et al. 2010) dan 0.1-300 µM (Devi et al. 2013). Sensitivitas dapat dilihat dari persamaan garis yang diperoleh, EPKM adalah elektrode yang memiliki sensitivitas terbesar dibandingkan dengan kedua elektrode lainnya yaitu sebesar 5.16 µA mM-1, 1.3× lebih tinggi dibandingkan EPKQ (3.99 µA mM-1) dan 4× lebih tinggi dibandingkan EPK (1.29 µA mM-1). Hasil ini berkorelasi dengan hasil karakterisasi elektrode menggunakan K3[Fe(CN)6] yang menunjukkan magnetit dapat mempercepat transfer elektron sehingga dapat meningkatkan arus puncak oksidasi K3[Fe(CN)6] dan lebih cepat teroksidasi dibandingkan dua elektrode lainnya (EPKQ dan EPK). Penelitian lain yang melaporkan nilai sensitivitas yang lebih kecil di antaranya adalah sebesar 0.95 μA mM-1 (Iswantini et al. 2014). Adapun nilai sensitivitas yang lebih besar di antaranya dilaporkan oleh Zhao et al. (2009) sebesar 29.5 μA mM-1.
24 Ekstraksi dan Daya inhibisi (IC50) dari ekstrak air S. polyanthum Ekstraksi Syzygium polyanthum (daun salam) dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut air. Pemilihan pelarut ini berdasarkan hasil penelitian pendahuluan antara dua pelarut yaitu etanol dan air. Sebagai hasil, ekstrak air S. polyanthum lebih berpotensi dalam menginhibisi aktivitas xantina oksidase dibandingkan ekstrak etanol (Gambar 19). Rendemen ekstrak air S. polyanthum diperoleh sebesar 6.62% dengan kadar air sebesar 7.44% (perhitungan pada lampiran 7). Analisis daya inhibisi terhadap xantina oksidase oleh ekstrak air S. polyanthum dilakukan dengan konsentrasi ekstrak yang bervariasi. Tujuan divariasikannya konsentrasi ekstrak ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi ekstrak terhadap peningkatan inhibisi xantina oksidase. Dengan divariasikannya konsentrasi ekstrak maka akan diperoleh nilai IC50 dari ektrak sebagai pemilihan konsentrasi untuk penetuan kinetika inhibisi enzim selanjutnya. Hubungan konsentrasi ekstrak air daun salam dengan daya inhibisinya terhadap xantina oksidase ditunjukkan pada Tabel 4 dan konsentrasi allupurinol pada Tabel 5. Tabel 4 Daya inhibisi ekstrak S. polyanthum terhadap xantina oksidase secara elektrokimia No 1 2 3 4 5 6 7
[Ekstrak] (ppm) 0 5 10 20 50 100 200
Aktivitas Enzim (ΔIpa) (µA) 12.670 9.533 9.033 8.610 7.376 6.113 4.053
% Inhibisi 0.000 24.756 28.703 32.044 41.778 51.749 68.008
Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak S. polyanthum maka bertambah pula inhibisi terhadap enzim xantina oksidase. Hal ini juga ditunjukkan dengan berkurangnya arus yang terdeteksi oleh elektrode pasta karbon termodifikasi magnetit yang dianalogikan sebagai aktivitas enzim xantina oksidase setelah penambahan ekstrak S. polyanthum berbagai konsentrasi. Dari Grafik (Gambar 19) diperoleh persamaan logaritmik antara % inhibisi dengan konsentrasi ekstrak S. polyanthum. Dari persamaan tersebut dapat diketahui nilai IC50 (Konsentrasi terendah yang dapat menghambat 50% aktivitas enzim Xantina Oksidase). Diperoleh IC50 untuk ekstrak etanol S. polyanthum adalah 238,07 ppm sedangkan IC50 untuk ekstrak air S. polyanthum adalah 69,47 ppm. Semakin kecil nilai IC50, maka ekstrak tersebut semakin berpotensi untuk menghambat aktivitas Xantina Oksidase. Ekstrak air S. polyanthum memiliki IC50 lebih kecil dibandingkan ekstrak etanol S. polyanthum, sehingga untuk pengujian selanjutnya digunakan ekstrak air S. polyanthum. Menurut Thuong et al. (2006) suatu senyawa dikatakan aktif apabila memiliki nilai IC 50 kurang dari 100 ppm. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak air S. polyanthum aktif sebagai inhibitor XO.
25 70 65
y = 11,217ln(x) + 2,4297 R² = 0,9268
60
% Inhibisi
55 y = 7,2655ln(x) + 10,239 R² = 0,983
50 45
ekstrak etanol
40
ekstrak air
35 30 25 20 0
20
40
60
80
100 120 140 160 180 200
Konsentrasi Ekstrak S. polyanthum (ppm)
Gambar 19 Hubungan antara % inhibisi dengan ekstrak S. polyanthum menggunakan pelarut a). Etanol; b). Air
Sebagai perbandingan ekstrak air daun salam juga diuji penghambatannya terhadap enzim xantina oksidase secara spektrofotometri (Lampiran 8). Diperoleh nilai IC50 sebesar 99.566 ppm dengan persamaan garis yaitu y = 11,751ln(x) – 4,0643. Sedangkan secara elektrokimia persamaan garis yang diperoleh adalah y = 11,217ln(x) + 2,4297. Hal ini menunjukkan pengukuran secara elektrokimia memiliki sensitivitas yang lebih baik dari metode spektrofotometri, dan menghasilkan nilai IC50 ekstrak air S. polyanthum lebih kecil dibandingakan secara spektrofotometri. Ditinjau dari penggunaan enzim xantina oksidase, metode elektrokimia jauh lebih sedikit menggunakan enzim xantina oksidase, sehingga metode elektrokimia ini lebih ekonomis dibandingkan metode spektrofotometri. Untuk kontrol positif, digunakan allupurinol yang merupakan obat komersial asam urat dengan cara kerja menghambat enzim xantina oksidase. Pengaruh penambahan konsentrasi allupurinol terhadap xantina oksiadse ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Daya inhibisi allupurinol terhadap xantina oksidase No 1 2 3 4 5 6 7
[Allupurinol] (ppm) 0.0 0.1 0.5 1.0 2.0 4.0 6.0
Aktivitas Enzim (ΔIpa) (µA) 12.670 11.373 9.810 8.246 6.997 3.987 2.597
% Inhibisi 0.000 10.234 22.573 34.912 44.778 68.535 68.008
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh regresi untuk inhibisi allupurinol adalah y = 14,97ln(x) +38,95. Berdasarkan persamaan ini diperoleh IC50 allupurinol sebesar 2.092 ppm (Gambar 20). Penelitian lainnya tentang daya inhibisi allopurinol menunjukkan IC50 allopurinol yang bervariasi di antaranya sebesar 6.10 ppm (Umamaheswari et al. 2009; Apaya dan Cristine 2011), 3.74 ppm (Azmi et al.
26 2012), 4.29 ppm (Septianingsih et al. 2012), dan 2.45 (Iswantini et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa metode elektrokimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan nilai IC50 yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode spektrofotometri yang dilaporkan oleh Apaya et al. (2009), Azmi et al. (2012), Umamaheswari et al. 2009, Septianingsih et al. (2012), dan (Iswantini et al. 2014). Sedangkan pengujian IC50 Allupurinol secara spektrofotometri pada penelitian ini adalah sebesar 3.119 ppm (Gambar 21) 80 70 y = 14,97ln(x) + 38,95 R² = 0,907
% Inhibisi
60 50 40 30 20 10 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
[Allupurinol] (ppm)
Gambar 20 Grafik hubungan antara konsentrasi Allupurinol terhadap % inhibisi enzim xantina oksidase secara elektrokimia. 70 y = 16,943ln(x) + 30,727 R² = 0,9532
60
% Inhibition
50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
[Allupurinol] (ppm)
Gambar 21 Grafik hubungan antara konsentrasi Allupurinol terhadap % inhibisi enzim xantina oksidase secara spektrofotometri.
Namun demikian penelitian lainnya juga melaporkan nilai IC50 allopurinol yang relatif lebih kecil sebesar 0.60 ppm (Wang et al. 2008). Perbedaan nilai IC50 dapat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi pengujian (McPherson et al. 2007; Sarawek 2007).
27 Kinetika Inhibisi XO oleh Syzygium polyanthum (Daun Salam) Konsentrasi ekstrak yang dipilih dalam uji kinetika inhibisi adalah 100 ppm. Pemilihan ini berdasarkan pada kemampuan daya inhibisinya yang besar (> 50%), dan konsentrasi ini juga merupakan konsentrasi terdekat dari nilai IC50 ekstrak air S. polyanthum yang telah diperoleh sebelumnya. Analisis kinetika inhibisi dari ekstrak ditentukan dengan metode Lineweaver-Burk dan EadieHofstee. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 9), nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari metode Lineweaver-Burk relatif lebih baik sehingga penentuan parameter kinetik (KM dan VMAKS) dilakukan dengan metode ini (Gambar 22). 16
Tanpa Inhibitor Inhibitor
1/∆Ipa (µA-1)
14 12
y = 0,144x + 0,2554 R² = 0,9991
10 8 y = 0,0509x + 0,2553 R² = 0,9886
6 4 2 0 0
10
20
30
40
50
1/[xantina]
60
70
80
90
100
(mM-1)
Gambar 22 Kinetika inhibisi ekstrak S. polyanthum menurut grafik Lineweaver Burk
Penentuan tipe kinetika inhibisi dilakukan dengan menentukan perubahan nilai konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (VMAKS) yang dianalogikan sebagai arus maksimum (IMAKS). Berdasarkan analisis terhadap grafik, Hasilnya diperoleh bahwa perubahan nilai KM yang signifikan dan perubahan yang sangat kecil pada nilai Imax app. Peningkatan KM adalah dari 0.1994 mM-1 menjadi 0.5638 mM-1 atau meningkat sebesar 64,64 %. Nilai IMAKS menurun dari 3.9169 µA-1 menjadi 3.9154 µA-1 dan penurunan nilai IMAKS yang sangat kecil dapat diasumsikan tidak terdapat perubahan (Iswantini et al. 2012). Inhibitor kompetitif akan menyebabkan perubahan nilai KM sedangkan inhibitor nonkompetitif akan menyebabkan perubahan IMAKS (Bintang 2010). Peningkatan nilai KM dan nilai IMAKS yang relatif tetap setelah penambahan inhibitor mengindikasikan bahwa ekstrak air S. polyanthum mengarah pada tipe kinetika inhibisi kompetitif. Pada kinetika inhibisi kompetitif ini, inhibitor bereaksi dengan enzim secara kompetitif terhadap substrat untuk mengikat sisi aktif dari enzim. Inhibisi ini dapat terjadi karena inhibitor kompetitif memiliki struktur yang hampir sama atau menyerupai struktur dari substrat enzim tersebut, akibatnya jika inhibitor terlebih dahulu berikatan dengan enzim, maka substrat tidak dapat berinteraksi dengan enzim. Untuk menghilangkan efek inhibisi dari inhibitor kompetitif, maka konsentrasi subsrat perlu ditambahkan (jumlahnya harus lebih banyak dari konsentrasi inhibitor) untuk meminimalkan peluang interaksi inhibitor dengan enzim. Akibatnya, proses penjenuhan enzim oleh subsrat menjadi lebih lambat, sehingga nilai KM akhir setelah inhibisi akan menjadi lebih besar, tapi nilai IMAKS tidak berubah karena ES tidak terganggu (Hames & Hooper 2005).
28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Nanosphere magnetit hasil sintesis dapat meningkatkan kinerja analitik elektrode pasta karbon (sensitivitas, linearitas dan limit deteksi elektrode) dibandingkan dengan elektrode pasta karbon termodifikasi Q0 dan elektrode pasta karbon tanpa pemodifikasi. Hal ini menunjukkan nanosphere magnetit berfungsi sebagai elektrokatalitik pada biosensor xantina. Elektrode pasta karbon termodifikasi nanosphere magnetit dapat digunakan untuk menentukan kinetika inhibisi enzim xantina oksidase oleh ekstrak daun salam (Syzygium polyanthum). Ekstrak S. polyanthum menyebabkan nilai KM meningkat dan nilai VMAKS (IMAKS) tidak berubah, Hal ini menunjukkan bahwa tipe kinetika inhibisi xantina oksidase oleh ekstrak S. polyanthum adalah inhibisi kompetitif. .
Saran
Pada proses sintesis nanomagnetit, disarankan menambahkan stabilizer seperti poliakrilamida atau asam oleat agar magnetit yang diperoleh tidak beraglomerasi, dan sampel yang dikarakterisasi sebaiknya dilakukan langsung setelah sintesis tanpa disimpan terlebih dahulu. Untuk lebih membuktikan ukuran magnetit, perlu dilakukan karakterisasi serbuk hasil sintesis dengan PSA, SEM yang dapat melihat perbesaran hingga 50.000 kali dan karakterisasi dengan TEM. Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui kestabilan enzim xantina oksidase yang diimmobilisasi ke permukaan EPKM dengan matrik BSA-GA. Untuk pengukuran elektrokimia disarankan menggunakan mediator seperti ferrosena atau K3[Fe(CN)6] untuk dapat membantu pendeteksian arus reduksi. Disarankan dapat melakukan penelitian dengan metode amperometrik untuk mengetahui waktu respon dari biosensor. Diperlukan juga pengujian adanya pengganggu (interferensi) untuk mengetahui selektivitas dari biosensor.
29
DAFTAR PUSTAKA [FHI] Farmakope Herbal Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Farmakope herbal Indonesia (Acuan dan standar bagi Industri Obat Tradisional). Edisi Pertama. Jakarta. Apaya KL dan Christine LC. 2011. Xanthine oxidase inhibition of selected Philippine medicinal plants. J Med Plant Res. 5(2):289-292. Arikyants, Sarkissian A, Hesse A. 2007. Xanthinuria type I : A rare cause of urolithiasis, Pediatr. Nephrol. 22:310–314. Ariyanti, Wahyuningtias, Wahyuni. 2007. Pengaruh pemberian infusa daun salam (Syzygium polyanthum wight) terhadap penurunan kadar asam urat darah mencit putih jantan yang diinduksi dengan potasium oksonat. Pharmacon. 8: 56-63. Arvand M, Hassannezhad M. 2014. Magnetic core–shell Fe3O4@SiO2/MWCNT nanocomposite modified carbon paste electrode for amplified electrochemical sensing of uric acid. J. Mater Sci Eng. 36:160-167. Azmi S, Jamal P, Amid A. 2012. Xanthine oxidase inhibitory activity from potential Malaysian medicinal plant as remedies for gout. Inter Food R J 19(1): 159165. Bintang M. 2010. Biokimia-Teknik Penelitian. Jakarta: Erlangga. Cengiz S, Cavaz L, Yurdakoc K, Aksu S. 2012. Inhibition of xanthine oxidase by Caulerpenyne from Caulerpa prolifera. Turk J Biochem. 37(4):445–451. Cheng W, Gellings T, Tang K, Qi Y, Sheng J, Liu Z. 2010. One-step synthesis of superparamagnetic monodisperse porous Fe3O4 hollow and core-shell spheres. J Mater Chem. 20(1):1799-1805. Devi R, Yadav Sa, Nehra R, Yadav Su, Pundir CS. 2013. Electrochemical biosensor based on gold coated iron nanoparticles/chitosan composite bound xanthine oxidase for detection of xanthine in fish meat. J. Food Eng. 115:207-214. Dewanti S, Wahyudi MT. 2011. Antibacteri activity of bay leaf infuse (Folia syzygium polyanthum wight) to escherichia coli in-vitro. J Med. Plant. 1:7881. Dodevska, T., Horozova, E., Dimcheva, N., 2010. Design of an amperometric xanthine biosensor based on a graphite transducer patterned with noble metal microparticles. Cent Eur J. Chem. 8(1): 19-27. Fauziah H, Maddu A, Saprudin D. 2012. Nanomagnetit sebagai Peningkat Sensitivitas Elektrode Pasta Karbon untuk Analisis Iodida secara Voltammetri Siklik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gao, Y., Shen, C., Di, J., Tu, Y. 2009. Fabrication of amperometric xanthine biosensors based on direct chemistry of xanthine oxidase. Mat. Sci. Eng. C, 29: 2213-2216. Grieshaber D, MacKenziel R, Vorosl J, Reimhult E. 2008. Review paper guanine and adenine biosensor. J Biosen Bioelect. 24: 591-599. Hames D, Hooper N. 2005. Biochemstry (Third edition). New York: Taylor & Francis Group. Ioachimescu AG, Brennan DM, Hoar BM, Hazen SL, Hoogwerf BJ. 2008. Serum Uric Acid Is an Independent Predictor of All-Cause Mortality in Patients at High Risk of Cardiovascular Disease. J.art. 58(2):623–630.
30 Ismail A, Mohamed M, Sulaiman SA, Ahmad WAN. 2013. Autonomic nervous system mediates the hypotensive effects of aqueous and residual methanolic extracts ofsyzygium polyanthum (wight) walp. Var. Polyanthum leaves in anaesthetized rats. Hindawi: 1-16.doi:10.1155/2013/716532. Iswantini D, Nadinah, Darusman LK dan Trivadila. 2012. Inhibition kinetic of Apium graveolens L. ethanol extract and its fraction on the activity of xanthine oxidase and its active compound. J of Biol Sci. 12 (1): 51-56. Iswantini, D., Darusman, L.K., 2003. Effect of sidaguri extract as an uric acid lowering agent on the activity of xanthine oxidase enzyme. Proceedings of International Symposium On Biomedicines Biopharmaca Research, Bogor Agricultural University. Iswantini, D., Yulian, M., Mulijani,S., Trivadila, 2014. inhibition kinetics of sida rhombifolia l. extract toward xanthine oxidase by electrochemical method. Indo. J. Chem. 14(1): 71-77. Kato E, Nakagomi N, Maria DPT, Puteri G, Kawabata J. 2013. Identification of hydroxychavicol and its dimers, the lipase inhibitors contained in the Indonesian spice, Syzygium polyanthum. J. Food Chem. 36:1239–1242.doi: 10.1016/j.foodchem.2012.09.013. Klug H. P, Alexander E. 1974. X-Ray Diffraction Procedure, Monroe (ed). Jhon Willey & Sons, New York. Kumari M, Pittman C.U, Mohan D. 2014. Heavy Metals [ Chromium ( VI ) and Lead ( II )] Removal from Water Using Mesoporous Magnetite (Fe3O4) Nanospheres, J. Coll. Interf. Sci. Larosa C, Mcmullen L, Bakdash S, Ellis D, Moritz M.L. 2007. Acute renal failure from xanthine nephropathy during management of acute leukemia, Ped. Neph. 22: 132–135.N. Liang, X., Shi, H., Jia, X., Yang, Y., Liu, X., 2011. Dispersibility, Shape and Magnetic Properties of Nano-Fe3O4 Particles J. Mater. Sci. and App. Vol. 2, pp. 1644-1653. Loh KS, Lee YH, Musa A, SalmahAA, Zamri I. 2008. Use of Fe3O4 nanoparticles for enhancement of biosensor response to the herbicide 2,4dichlorophenoxyacetic acid. Sensors. 8:5775-5791. Matsura V, Guari Y, Larionova I, Gue´rin C, Caneschi A, Sangregorio C, LancelleBeltran E, Mehdi A, Corriu RJP. 2004. Synthesis of magnetic silica-based nanocomposites containing Fe3O4 nanoparticles. J Mater Chem. 14:30263033. doi: 10.1039/B409449B. McPherson, Richard, Matthew. 2007. Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Philadelphia: Saunders Elsevier. Myers HR, Montgomery CD, Anderson-Cook MC. 2009. Response Surface Methodology (Process and Product Optimization Using Designed Experiments). Third Edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Nakatani H.S, dos Santos L.V, Pelegrine C. P, Gomes S.T.M, Matsushita M, de Souza N.E, 2005. Biosensor Based on Xanthine Oxidase for Monitoring Hypoxanthine in Fish Meat. Am. J. Biochem. Biotechnol. 2: 85–89. Ngestiningsih D, Hadi S. 2011. Ekstrak Herbal (Daun Salam, Jintan Hitam dan Daun Seledri) dengan Allopurinol terhadap Kadar IL-6 dan TNF-α Serum P enderita Hiperurisemia. J. Med. Hosp. 1: 20-24. Ngestiningsih D, Widiastuti I, Wahyu T, Hadi S, Suntoko B. 2012. Perbedaan Pemberian Ekstrak Herbal (Daun Salam, Jintan Hitam dan Daun Seledri) dan
31 Kadar IL-6 Plasma Penderita Hiperurisemia. J. Media medica indo. 45(2): 113-117. Price NC, Stevens L. 1996. Fundamental of enzymology. 2nd Edition. New York: Oxford University Press. Pundir C. S, Devi R. 2014. Biosensing methods for xanthine determination: a review., Enzyme Microb. Technol. 57: 55–62. Ramimoghadam D, Bagheri S, Hamid SBA. 2014. Progress in electrochemical synthesis of magnetic iron oxide nanoparticles. J. Magnetism and Magnetic Mater. 368 (2014): 207–229. Ringertz H. 1966. The molecular and Crystal Structure of Uric Acid. Acta Crys. 20: 397 Roonasi P. 2007. Adsorption and surface reaction properties of synthesized Magnetike nanoparticles [tesis]. Luleå (SE): Luleå University of Technology. Sakhaee K. 2014. Epidemiology and clinical pathophysiology of uric acid kidney stones. J. Nephrol. DOI 10.1007/s40620-013-0034-z. Salazar-Camacho C, Villalobos M, Rivas-Sánchez M, Arenas-Alatorre J, AlcarazCienfuegos J, Gutiérrez-Ruiz ME. 2013. Characterization and surface reactivity of natural and synthetic magnetites. 347:233–245.doi: /10.1016/j.chemgeo.2013.03.017. Saprudin D, Novriandi I, Buchari, Abdullah M. 2013. Nanomagnetik sebagai Pemodifikasi Elektrode Pasta Karbon untuk Analisis Iodida. Di dalam: Musryahrim, Alimuddin, Panggabean SA, Erwin, Gunawan R, Kartika R, Pasaribu S, editor. Inovasi Pendidikan dan Penelitian Kimia dalam Menyongsong Era Industrialisasi di Kalimantan Timur dan Seminar Nasional Kimia 2013. 2013 Nov 9; Kalimantan Timur (ID): Prosiding Seminar Nasional 2013. Hlm 33-43. Scholz F, editor. 2010. Electroanalytical Method Guide to Experiments and Applications. Ed ke-2. Heidelberg: Springer. Septianingsih U, Susanti H, Widyaningsih W. 2012. Penghambatan aktivitas xanthine oxidase oleh ekstrak etanol akar sambiloto (Andrographis paniculata,Ness) secara in vitro. J. Ilmiah Kefarmasian. 2(2): 153-163. Setyoningsih, Maddu A, Saprudin D. 2010. Kajian penggunaan asam oleat dan teknik hidrotermal pada sintesis nanokristal magnetit. Di dalam: Supena EDY, Nugrahani EH, Hamim, Hasim, Indahwati, Dahlan K., editor. Sains Sebagai Landasan Inovasi Teknologi dalam Pertanian dan Industri. 2010 Nov 13; Institut Pertanian Bogor (ID): Prosiding Seminar Nasional Sains III. Hlm: 282-287. Sholihah FM. 2014. Diagnosis And Treatment Gout Arthritis. J. Majority. 3(7):3945. Situmorang R. 2013. Perbedaan perubahan kadar trigliserida setelah pemberian ekstrak dan rebusan daun salam (Eugenia polyantha) pada tikus sprague dawley yang diberi pakan tinggi lemak [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1998. Fundamentals of Analytical Chemistry. Edisi ke-7. Orlando: Saunders College. Studiawan, Herra dan Santosa, Mulja Hadi. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang Diinduksi
32 Aloksan. Bagian Ilmu Bahan Alam, FF UNAIR. Media Kedokteran Hewan. 21(2): 62-65. Suharmiati, Roosihermiatie B. 2012. Studi pemanfaatan dan keamanan kombinasi metformin dengan ekstrak campuran Andrographis paniculata dan Syzygium polyanthum untuk pengobatan diabetes mellitus (preliminary study). Buletin penelitian system kesehatan. 15: 110-119 Sulistiyani, Falah S, Wahyuni WT, Sugahara T, Tachibana S, Syaefudin. 2014. Cellular mechanism of the cytotoxic effect of extracts from Syzygium polyanthum leaves. A. J. of Drug Discover. and Develop. 4(2): 90101.doi:10.3923/ajdd.2014.90.101. Sumono A, Wulan A. 2008. The use of bay leaf (Syzygium polyanthum Wight) in dentistry. Dent. J. 41: 147-150. Thandavan K, Gandhi S, Sethuraman S, Rayappan JBB. 2013. Development of electrochemical biosensor with nano-interface for xanthine sensing-A novel approach for fish freshness estimation. J. Food Chem. 139:963-969. Thuong PT, Na MK, Dang NH, Hung TM, Ky PM, Thanh TV, Nam NH, Thuan ND, Sok DE, Bae KI. 2006. Antioxidant activities of Vietnamese medicinal Plants, J Natural Prod Sci.12(1):29-37. Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan VII. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Torres, A.C., Ghica, M.E., Brett, C.M.A. 2013. Design of a new hypoxanthine biosensor: xanthine oxidase modified carbon film and multi-walled carbon nanotube/carbon film electrodes. Anal. Bio. Chem. 405:3813–3822. Umamaheswari M, Asokkumar K, Sivashanmugam AT, Remyaraju A, Subhadrevi V, Ravi TK. 2009. In vitro xanthine oxidase inhibitory activity of the fractions of Erythrina stricta Roxb. J-etnopharmacol.124(3):646-8 Villalonga, R. Matos, M., Cao, R. 2007. Construction of an amperometric biosensor for xanthine via supramolecular associations. Electrochem Commun. 9: 454458. Voet D, Voet JG. 2001. Biochemistry. New York: John Willey and Sons. Wang J. 2000. Analytical Electrochemistry 2nd Edition. USA: John Wiley & Sons Publishers. Winarto WP, Tim karyasari. 2004. Memanfaatkan bumbu dapur untuk mengatasi aneka penyakit. Jakarta: Agromedia pustaka. Wu Z, Chen L, Shen G, Yu R. 2006. Platinum nanoparticle-modified carbon fiber ultramicroelectrodes for mediator-free biosensing. Sens. Act. B Chem. 119: 295–301. Yang TY, Fang CY, Chen JS, Po HL, Chou LP, Chiang CY, Ueng KC. 2015. Association of Serum Uric Acid with Cardiovascular Disease in Taiwanese Patients with Primary Hypertension. Acta Cardiol Sin. (31):42-51 Yuan H, Wang Y, Zhou SM, Lou S. 2011. Fabrication of superparamagnetic Fe3O4 hollow microspheres with a high saturation magnetization. 175:555–560.doi: 10.1016/c.jec.2011.08.039. Zen J-M, Lai Y-Y, Yang H-H, Kumar A.S. 2002. Multianalyte sensor for the simultaneous determination of hypoxanthine, xanthine and uric acid based on a preanodized nontronite-coated screen-printed electrode. Sens. And Act. B. 84: 237–244.
33 Zhao C, Wan L, Wang Q, Liu S, Jiao K. 2009. Highly sensitive and selective uric acid biosensor based on direct electron transfer of hemoglobin-encapsulated chitosan-modified glassy carbon electrode. J Anal. Sci. 5:1013-1017. Zhao S, Asuha S. 2010. One-pot synthesis of magnetite nanopowder and their magnetic properties. Powder Tech.197 : 295–297. Zhuo Y, Yuan P, Yuan R, Chai Y, Hong C. 2009. Biomaterials Bienzyme functionalized three-layer composite magnetic nanoparticles for electrochemical immunosensors. Biomaterials. 30: 2284–2290.
34
LAMPIRAN
35 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian
36 Lampiran 2 Hasil sintesis dan Penetuan Kadar Fe terendapkan
(a) (b) (c) (d) a). Larutan hasil sintesis magnetit tanpa pemberian magnet; b). Larutan hasil sintesis dengan pemberian magnet (serbuk mulai tertarik magnet); c). Serbuk magnetit tertarik oleh magnet dan terpisah dari filtrat; d). Serbuk hitam magnetit yang telah dikeringkan. Pengukuran kadar Fe dilakukan pada filtrat hasil sintesis dengan menggunakan AAS, Dari hasil pengukuran tersebut akan diperoleh konsentrasi Fe sisa yang tidak terkonversi menjadi produk. Dilakukan 3x ulangan, data pengukuran tersebut adalah: Konsentrasi Fe dalam hasil Ulangan samping (ppm) 1 0.0256 2 0.0337 3 0.0108 Rerata 0.0234 Penentuan Fe yang berubah menjadi magnetit 1. Konsentrasi Fe awal Bobot Fe yang ditimbang: 2 mmol FeCl3 Konsentrasi Fe (ppm) dalam 40 mL air
= 2 mmol × 56 g/mol = 112 mg = 112 mg / 0.04 L = 2800 ppm
2. Konsentrasi Fe tersisa pada cairan Konsentrasi setelah diencerkan dengan HNO3 (volume HNO3 yang ditambahkan 1 mL pada 10 mL cairan magnetit) = 0.0625 ppm Konsentrasi sebelum pengencaran: 11 𝑚𝐿 [Fe cairan] = 10 𝑚𝐿 x 0.0625 ppm = 0.0688 ppm 3. Fe terendapkan (%)
=
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙
× 100 %
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑖𝑠𝑎
=
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑖𝑠𝑎
= 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 99.99 %
× 100 % ppm × 100 %
37 Lampiran 3 Standar magnetit JCPDS No. 19-0629
38 Lampiran 4 Penentuan pola h2+k2+l2
d
s
s
√s
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
1.00 1.41 1.73 2.00 2.24 2.45 2.65 2.83 3.00 3.16 3.32 3.46 3.61 3.74 3.87 4.00 4.12 4.24 4.36 4.47 4.58 4.69 4.80 4.90 5.00 5.10 5.20 5.29 5.39 5.48 5.57 5.66
d1 4.82 4.82 6.82 8.35 9.65 10.78 11.81 12.76 13.64 14.47 15.25 16.00 16.71 17.39 18.05 18.68 19.29 19.89 20.46 21.02 21.57 22.10 22.62 23.13 23.63 24.12 24.59 25.06 25.52 25.97 26.42 26.85 27.28
d2 2.53 2.53 3.57 4.37 5.05 5.65 6.19 6.68 7.14 7.58 7.99 8.38 8.75 9.11 9.45 9.78 10.10 10.41 10.71 11.01 11.29 11.57 11.85 12.11 12.37 12.63 12.88 13.12 13.36 13.60 13.83 14.06 14.29
= ( nλ ) / (2 sin θ) = ( 1 × 1.5406) / (2 × 0.16) = 4,82 = h2 + k2 + l2
dengan: d = parameter kisi n = indeks bias λ = panjang gelombang (Å)
θ = sudut payaran, misalnya 9,19
0
d3 2.10 2.10 2.97 3.63 4.20 4.69 5.14 5.55 5.93 6.29 6.63 6.96 7.27 7.56 7.85 8.12 8.39 8.65 8.90 9.14 9.38 9.61 9.84 10.06 10.28 10.49 10.70 10.90 11.10 11.30 11.49 11.68 11.87
d5 1.71 1.71 2.42 2.96 3.42 3.82 4.18 4.52 4.83 5.12 5.40 5.66 5.92 6.16 6.39 6.61 6.83 7.04 7.25 7.44 7.64 7.83 8.01 8.19 8.37 8.54 8.71 8.87 9.04 9.20 9.35 9.51 9.66
d6 1.61 1.61 2.28 2.79 3.23 3.61 3.95 4.27 4.56 4.84 5.10 5.35 5.59 5.82 6.04 6.25 6.45 6.65 6.85 7.03 7.22 7.39 7.57 7.74 7.90 8,07 8.23 8.38 8.54 8.69 8.84 8.98 9.13
d8 1.48 1.48 2.09 2.55 2.95 3.30 3.61 3.90 4.17 4.43 4.66 4.89 5.11 5.32 5.52 5.71 5.90 6.08 6.26 6.43 6.60 6.76 6.92 7.07 7.23 7.38 7.52 7.66 7.81 7.94 8.08 8.21 8.34
39 Lampiran 5 Penentuan ukuran kristal nanomagnetit hasil sintesis 2θ 18.3800
θ 9.1900
Cos θ 0.9872
0.1600
0.0028
50.1632
35.5190
17.7595
0.9523
0.3900
0.0068
21.4106
43.0890
21.5445
0.9301
0.2600
0.0045
33.1265
53.6240
26.8120
0.8925
0.1600
0.0028
55.4843
57.0330
28.5165
0.8787
0.3000
0.0052
30.3458
62.9610 Rata-rata
31.4805
0.8528
0.2400
0.0042
38.7103 38.2068
FWHM(deg)
W (rad)
ukuran (nm)
Contoh perhitungan: Ukuran kristal berdasarkan hukum Debye Scherer: Untuk 2θ pertama 𝐾𝑥𝜆 0,9 𝑥 0,15406 D = 𝑊 𝐶𝑜𝑠 𝜃 = 0,0028 𝑥 0,9872= 50.1632 nm Keterangan: D : ukuran kristal (nm) K : konstanta (0.9) λ : panjang gelombang sinar-X (0.15406 nm) W : Lebar puncak pada setengah intensitas puncak maksimum (rad)
40
Lampiran 6 Kombinasi dan Hasil Optimasi terhadap kombinasi RSM No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Optimal High D Cur 0,99947 Low
pH 6.0 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 9.0 9.0 7.5 7.5 9.0 7.5 9.0 6.0 7.5 6.0 6.0 6.0 9.0 6.0 6.0 6.0 9.0 9.0 9.0 7.5 7.5 6.0 9.0
suhu 10 20 30 20 20 20 20 10 30 10 20 20 10 20 20 20 20 30 30 10 30 10 30 10 10 30 30 20 20 30 10 pH 9,0 [6,8788] 6,0
[xantina] 1.00 1.00 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.10 1.00 0.10 0.55 0.10 0.55 0.55 0.55 0.55 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.55 0.55 1.00 0.10 suhu 30,0 [17,0707] 10,0
[magnetit] 15 10 10 10 10 10 10 10 15 5 10 10 15 10 10 10 5 15 5 5 5 15 15 5 15 15 5 15 10 5 5 [xantina 1,0 [1,0] 0,10
∆Ip (μA) 4.27 14.03 5.86 5.80 6.16 6.16 5.28 7.69 1.16 1.57 3.13 5.45 1.32 7.72 1.75 6.32 5.15 0.88 4.03 4.80 0.31 1.18 3.38 7.75 1.70 1.50 0.75 7.18 6.70 7.71 0.86 [magneti 15,0 [7,7273] 5,0
Composite Desirability 0,99947
? Ip (µA) Maximum y = 9,9947 d = 0,99947
Optimizer output Minitab untuk optimasi aktivitas enzim xantina oksidase
41 Lampiran 7 Perhitungan Kadar Air dan Rendemen Ekstrak S. polyanthum Perhitungan Kadar Air Ekstrak S. polyanthum Ulangan 1 2 3 4 5
Berat Cawan Kosong
2.0438 1.9942 2.0299 1.9602 1.9938 Rata-rata
Berat Sampel Awal (A) 2.0007 2.0037 2.0005 2.0021 2.0033
Berat Sampel Akhir (B) 1.8512 1.8552 1.8524 1.8544 1.8561
A-B
% kadar Air
0.1495 0.1485 0.1481 0.1477 0.1472
7.472385 7.411289 7.403149 7.377254 7.347876 7.441837
SD
RSD
0.046321
0.622443
Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol S. polyanthum No
Berat Cawan Kosong
Berat Sampel+ cawan akhir
Berat Sampel
Berat yang hilang
Berat % Rendemen Ekstrak
1
86.7218
5
87.6008
4.1210
0.8790
2
73.2192
5
74.0868
4.1324
0.8676
3
73.6421
5
74.5236
4.1185
0.8815
SD
RSD
0.0074
0.0084
SD
RSD
0.0128
0.0316
16.0323
0.8760
% Rendemen =
Berat Ekstrak−kadar air Berat Sampel
x 100%
Perhitungan Rendemen Ekstrak Air S. polyanthum Berat Sampel+c Berat yang awan hilang akhir 78.2696 4.5868
No
Berat Cawan Kosong
Berat Sampel
1
77.8564
5
2
83.7908
5
84.1813
4.6095
0.3905
3
84.1055
5
84.5177
4.5878
0.4122
Berat Ekstrak 0.4132
0.4053
% Rendemen =
Berat Ekstrak−kadar air Berat Sampel
% Rende men
x 100%
6.6176
42 Lampiran 8 Daya Inhibisi Ekstrak air S. polyanthum terhadap enzim xantina oksidase secara spektrofotometri Kurva Standar [xantina]
Absorbansi (A)
A rata-rata
0.109
0.108
0.05
0.10
Absorbansi (A)
0.35
0.793
0.107
0.793 0.224
0.40
0.911
0.225
0.912 0.358
0.45
0.25
0.30
0.950 0.465
0.50
1.075
0.465
1.075
0.464
1.074
0.588
0.587
0.60
1.521
0.587
1.521 0.727
1.075
1.517
0.588 0.728
0.949
0.950
0.356 0.466
0.912
0.948
0.360 0.20
0.793
0.912
0.223 0.360
A rata-rata
0.793
0.110 0.224
0.15
[xantina]
0.70
1.519
1.699
0.728
1.712
0.726
1.712
1.707
Kurva hub Absorban rata-rata dgn [xantina] 1,8 1,6 1,4
Absorban
1,2 y = 2.4055x - 0.0262 R² = 0.9854
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
[Xantina]
0,5
0,6
0,7
0,8
43 Lanjutan lampiran 8 Daya Inhibisi Ekstrak air S. polyanthum terhadap enzim xantina oksidase secara spektrofotometri Daya Inhibisi Ekstrak Air S. polyanthum Blanko Ulangan
Absorban
[xantina] sisa
[xantina] bereaksi
Aktivitas (mM/ Lmenit)
1
0.104
0.0541
0.4458
99.0831
2
0.104
0.0541
0.4458
99.0831
3
0.103
0.0537
0.4462
99.1755
Rata-rata
99.1139
[EDSA] (ppm) 5
10
20
50
100
200
500
Absorban
[xantina] sisa
[xantina] bereaksi
aktivitas
0.301
0.1360
0.3640
80.8841
0.303
0.1369
0.3631
80.6993
0.304
0.1373
0.3627
80.6069
0.342
0.1531
0.3469
77.0965
0.343
0.1535
0.3465
77.0041
0.343
0.1535
0.3465
77.0041
0.384
0.1705
0.3295
73.2165
0.410
0.1813
0.3187
70.8146
0.426
0.1880
0.3120
69.3365
0.511
0.2233
0.2767
61.4841
0.523
0.2283
0.2717
60.3755
0.513
0.2242
0.2758
61.2993
0.641
0.2774
0.2226
49.4746
0.643
0.2782
0.2218
49.2898
0.639
0.2765
0.2235
49.6593
0.768
0.3302
0.1698
37.7422
0.764
0.3285
0.1715
38.1117
0.761
0.3273
0.1727
38.3889
0.913
0.3904
0.1096
24.3470
0.924
0.3950
0.1050
23.3308
0.918
0.3925
0.1075
23.8851
aktivitas rata2
% inhibisi
80.7301
18.5481
77.0349
22.2764
71.1225
28.2417
61.0530
38.4012
49.4746
50.0831
38.0809
61.5786
23.8543
75.9325
44 Lanjutan lampiran 8 Daya inhibisi ekstrak air S. polyanthum terhadap enzim xantina oksidase secara spektrofotometri
80 70 y = 11,751ln(x) - 4,0643 R² = 0,9671
% Inhibisi
60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
[Ekstrak Air Daun Salam]
Perhitungan IC50 dari persamaan: y y ln (x) x
= 11,751ln(x) – 4,0643 = 50 = 50+4,0643 / 11,751 = 4,6008 = 99,566 ppm
200
250
45 Lampiran 9 Grafik Kinetika Inhibisi menurut metode Eadie-Hofstee Tanpa inhibitor ∆Ipa / [xantina]
Inhibitor ∆Ipa
∆Ipa / [xantina]
∆Ipa
19.000
0.19
6.800
0.068
11.800
0.59
6.800
0.340
12.900
1.29
6.500
0.650
7.800
1.56
5.800
1.160
6.767
2.03
3.500
1.050
6.450
2.58
3.325
1.330
6.500
3.25
3.260
1.630
6.183
3.71
3.100
1.860
5.743
4.02
2.900
2.030
5.900
4.72
2.963
2.370
5.511
4.96
2.778
2.500
5.710
5.71
2.870
2.870
7 6
∆Ipa (µA)
5
Without Inhibitor With Inhibitor
4 3
R² = 0,6233
2 1
R² = 0,6734
0 -1 -2
0
2
4
6
8
10
12
∆IPa / [xanthine] (µA/mM)
14
16
18
20
46 Lampiran 10 Data kinetika inhibisi menurut metode Lineaweaver Burk Xanthine oxidase activity with and without inhibitor (bayleaf extract) Xanthine Concentration (Mm) 0.01
Aktivitas ∆Ipa (µA) Tanpa Inhibitor
Inhibitor
0.19
0.07
0.05
0.59
0.34
0.10
1.29
0.65
0.20
1.56
1.16
0.30
2.03
1.05
0.40
2.58
1.33
0.50
3.25
1.63
0.60
3.71
1.86
0.70
4.02
2.03
0.80
4.72
2.37
0.90
4.96
2.50
1.00
5.71
2.87
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solok (Sumatera Barat) pada tanggal 29 Agustus 1990 dari ayahanda Israk Bustami dan Ibunda Ernawati Khairat. Penulis adalah putri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu (UNIB), masuk pada bulan September tahun 2009 dan lulus pada bulan April tahun 2013. Agustus 2013 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan sponsor Beasiswa Pascasarjana dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui Program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN).