Ners
PENELITIAN
JURNAL KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS
Perbandingan Kemajuan Terapi Anak Autisme Dengan Diet CFGF Dan Tanpa Diet CFGF Pada Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) Padang Yonrizal Nurdina Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Terapi yang diberikan adalah terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi, dan diet Casein Free gluten Free (Diet CFGF). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan penatalaksanaan terapi dan diet CFGF terhadap kemajuan anak autisme. Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif dengan pendekatan studi komparasi. Pemilihan sampel secara purposive sampling di Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) Padang sebanyak 30 anak yang dibagi menjadi kelompok I dan kelompok II. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi dengan melakukan observasi kemajuan anak autisme. Tehnik analisa data yang digunakan adalah uji T. Hasil penelitian diperoleh kemajuan pada anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi dengan diet CFGF dan tanpa diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua, secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Kemajuan pada anak autisme kelompok I yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi dengan diet CFGF dibandingkan dengan kelompok II anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi tanpa diet CFGF, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Oleh karena itu perlu dilakukan terapi terhadap anak autisme secara terpadu dan anak autisme yang menjalani diet CFGF diperlukan kontrol secara ketat. Kata Kunci:
Pendahuluan Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma atau kumpulan gejala dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (Yatim, 2003).
Autisme dapat terjadi pada seluruh anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survei yang diambil dari beberapa negara menunjukkan bahwa 2-4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang autisme dengan rasio perbandingan 3:1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki-laki lebih rentan menyandang autisme dibandingkan anak perempuan namun pada anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Bahkan diprediksi oleh para ahli bahwa
kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi anak diseluruh dunia (Hembing, 2004). Prevalensi anak yang terkena autisme makin bertambah. Di Inggris pada awal tahun 2002 dilaporkan angka kejadian autisme meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisme. Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi autisme 10–20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Indonesia pada tahun 2003 angka kejadian autisme mencapai 15-20 anak per 10.000 anak (0,15-0,2%), angka ini meningkat tajam dibandingkan sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 anak per 10.000 anak (Hadiyanto, 2003). Berdasarkan survey tentang penderita autisme di Sumatera Barat, khususnya di kota Padang tahun 2006 ada delapan yayasan yang menangani anak autisme yaitu : Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA), Yayasan Bina Mandiri Anak (Yayasan BIMA), Solusi Terapi Autisme, Harapan Bunda, Kasih Umi, Mitra Ananda, Yayasan Mitra Keluarga Lancar, dan Sayang Ibu. Berbagai jenis terapi telah dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Dengan terapi dini, terpadu, dan intensif gejala–gejala autisme dapat dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya bahkan membina keluarga. Hal ini dikarenakan intervensi dini membuat sel–sel otak baru tumbuh, menutup sel–sel lama yang rusak. Jika anak autisme tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala autisme bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Melalui beberapa terapi anak autisme akan mengalami kemajuan seperti anak normal lainnya . Tentunya terapi untuk tiap–tiap anak autisme berbeda-beda tergantung pada gejala-gejala tertentu yang dimilikinya (Danuatmaja, 2003). Gangguan yang dialami anak autisme begitu luas, yaitu mencakup gangguan dalam komunikasi verbal dan non verbal serta
terganggu dalam interaksi sosial dan kontrol emosi, maka terapi yang dilakukan juga terapi multidisipliner dan terpadu mulai dari terapi perilaku (behavior therapy), terapi okupasi, terapi wicara (speech therapy), terapi biomedis, terapi medikamentosa dan pendidikan khusus (Danuatmaja, 2003). Pratiwi dan Hadi (2004), mengatakan bahwa melihat kompleksnya permasalahan pada penyandang autisme, dibutuhkan penanganan terpadu yang melibatkan kerja sama tenaga ahli professional baik dalam aspek medis (dokter anak dan psikiatri), psikologi, terapis, dan ahli gizi dalam tim kerja. Selama ini medis, psikolog dan terapis sudah biasa melakukan kerjasama, kenyataannya belumlah cukup. Pengaturan pola makan sangat penting bagi anak autisme karena suplai makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter. Di samping itu, sebagian besar anak autisme juga mengalami reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi. Efeknya, zat-zat makanan yang seharusnya membentuk neurotransmitter untuk menunjang kesinambungan kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autisme diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni saraf dan neurotoksin (Hembing, 2004). Saat ini mulai diperkenalkan diet khusus untuk penyandang autisme yang dikenal dengan Diet Casein Free Gluten Free (Diet CFGF) yang merupakan bagian dari intervensi biomedis (Pratiwi dan Hadi, 2004). Intervensi biomedis menuntut anak untuk menjalani diet tertentu dan pada umumnya anak autisme dilarang mengkonsumsi susu sapi dan makanan yang mengandung tepung terigu (Persi, 2004). Diet CFGF dilaksanakan pada anak autisme dengan cara mengganti semua bahan makanan yang berasal dari susu sapi dan tepung terigu. Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Menurut Dr. Rudi Sutadi, SpA spesialis anak dari pusat terapi Kid Autis, tubuh anak-anak autisme tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna, sehingga rantai protein tidak terpecah total melainkan
menjadi rantai-rantai pendek asam amino yang disebut peptida. Uraian senyawa yang tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin. Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat-pusat saraf sehingga anak berperilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan diet kasein dan gluten dapat meminimalkan gangguan morfin dan merangsang kemampuan anak dalam menerima terapi (Persi, 2004). Diet CFGF adalah terapi yang dilaksanakan dari dalam tubuh dan apabila dilaksanakan dengan terapi lain, seperti terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi yang bersifat fisik akan lebih baik. Setelah mengikuti dan menjalani diet CFGF banyak anak autisme mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan bersosialisasi dan mengejar ketinggalan dari anak-anak lain (Danuatmaja, 2003). Survei awal yang peneliti lakukan di Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) pusat terapi autisme di kota Padang, diperoleh jumlah anak yang diterapi tahun 2006 adalah sebanyak 55 anak. Dari 55 anak yang diterapi didapatkan 50 anak sudah menjalani terapi selama lebih kurang dua tahun, sedangkan 5 anak lagi tercatat sebagai murid baru. Terapi yang diberikan disekolah tersebut berupa terapi perilaku yang diterapkan dengan metoda ABA (Applied Behavioral Analysis), terapi okupasi, dan terapi wicara. Setiap anak mempunyai buku harian yang berisikan perkembangan dan kemajuan dari terapi mereka, serta ada juga laporan program terapi per semester yang diisi oleh terapis terhadap kemajuan yang dicapai masingmasing anak selama satu semester. Kemajuan yang dicapai oleh anak bersifat individual dan setiap anak yang di terapi tidak mempunyai target waktu yang ditentukan karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai jangka waktu yang pasti dan tergantung dari banyak hal, salah satunya adalah dengan pengaturan makan (diet) pada anak autisme ini.
Berdasarkan studi pendahuluan di YPPA didapatkan bahwa dari 55 anak autisme yang diterapi di yayasan tersebut, sebanyak 35 anak juga menjalani diet CFGF. Dari 35 anak yang menjalani diet CFGF hanya sebagian kecil yang menjalani diet dengan ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19 anak. Dari catatan yang ada di yayasan didapatkan anak autisme yang menjalani diet CFGF rata-rata sudah menjalani selama lebih kurang satu tahun ini. Adanya kenyataan bahwa anak autisme yang diterapi di yayasan tersebut ada yang menjalani terapi dengan melaksanakan diet CFGF dan ada yang menjalani terapi tanpa melaksanakan diet CFGF, akan tetapi evaluasi kemajuan anak antara yang melaksanakan terapi dengan diet CFGF dan tanpa diet CFGF tidak terdokumentasi secara jelas sehingga kemajuan perkembangan anak autisme tersebut tidak jelas terlihat. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik membandingkan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi dan diet CFGF dengan anak autisme yang hanya diberikan terapi tanpa melaksanakan diet CFGF di YPPA Padang. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian ini adalah ”apakah terdapat perbedaan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, okupasi dengan diet CFGF dan tanpa diet CFGF di YPPA Padang ”. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi komparatif. Penelitian dilakukan di Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) Padang. Populasi pada penelitian ini adalah semua anak autisme yang terdaftar menjalani terapi di YPPA Padang, sebanyak 55 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 anak, terdiri dari 15 anak yang menjalani terapi dengan diet CFGF dan 15 anak yang menjalani terapi tanpa diet CFGF. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Statistical
Program for Social science (SPSS). Analisa data menggunakan uji T Berpasangan dan Uji T Independen. Uji T berpasangan dilakukan untuk melihat kemajuan anak autisme yang melaksanakan terapi dengan dan tanpa diet CFGF antara pengukuran pada data awal, pengukuran pertama dan pengukuran pada data akhir. Pengukuran kedua. Uji T Independen dilakukan dengan membandingkan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi dengan dan tanpa diet CFGF dengan tingkat kemaknaan p≤0,05. Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di sekolah autisme Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) Padang. Sampel adalah anak autisme yang menjalani terapi di YPPA dengan umur dibawah 5 tahun dengan kriteria autisme ringan dan sedang. Sampel berjumlah 30 anak autisme yang dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 15 anak. Kelompok I adalah anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi dengan menjalani diet Casein Free Gluten Free (CFGF) sedangkan kelompok II adalah anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi tanpa menjalani diet CFGF. Masing-masing kelompok sampel dilakukan dua kali pengukuran yaitu pengukuran pertama dilakukan dengan menghitung jumlah skor/nilai kemajuan anak autisme selama 1 tahun terapi, akhir tahun 2005 dan pengukuran kedua dilakukan dengan menghitung jumlah skor/nilai kemajuan anak autisme selama 2 tahun terapi, akhir tahun 2006. Tabel 1. Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Perilaku Dengan Diet CFGF Menurut Pengukuran awal Dan akhir Terapi Perilaku Dengan Nilai Diet CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 97 135 Rata-Rata 6,47 9,00 Standar Deviasi 1,506 1,134 Nilai p=0,000
Berdasarkan uji T berpasangan, nilai ratarata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku dengan diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 6,47 dengan standar deviasi 1,506. Pada pengukuran kedua didapat nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku dengan diet CFGF adalah 9,00 dengan standar deviasi 1,134. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000. Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku dengan diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 2 : Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Perilaku Tanpa Diet CFGF Menurut Pengukuran Pertama Dan Kedua Terapi Perilaku Tanpa Diet Nilai CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 97 129 Rata-Rata 6,47 8,60 Standar Deviasi 1,506 ,986 Nilai p=0,000
Berdasarkan dengan uji T berpasangan, nilai rata-rata kemajuan pada anak autisme yang menjalani terapi perilaku tanpa diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 6,47 dengan standar deviasi 1,506. Pada pengukuran kedua didapat nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku tanpa diet CFGF adalah 8,60 dengan standar deviasi 0,986. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku tanpa diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 3: Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Wicara Dengan Diet CFGF Menurut Pengukuran Pertama Dan Kedua Terapi Wicara Dengan Diet Nilai CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 70 115 Rata-Rata 4,67 7,67 Standar Deviasi 1,113 1,397 Nilai p=0,000
Berdasarkan uji T berpasangan nilai, rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 4,67 dengan standar deviasi 1.113. Pada pengukuran kedua didapatkan nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF adalah 7,67 dengan standar deviasi 1,397. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000. Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 4: Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Wicara Tanpa Diet CFGF Menurut Pengukuran Pertama Dan Kedua Terapi Wiacara Tanpa Diet Nilai CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 70 104 Rata-Rata 4,67 6,93 Standar Deviasi 1,113 1,223 Nilai p=0,000
Berdasarkan uji T berpasangan nilai, rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara tanpa diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 4,67 dengan standar deviasi 1.113. Pada pengukuran kedua didapatkan nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara tanpa diet CFGF adalah 6,93 dengan standar deviasi 1,223. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000. Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme menjalani terapi wicara tanpa diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 5: Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Okupasi Dengan Diet CFGF Menurut Pengukuran Pertama Dan Kedua Terapi Okupasi Dengan No. Sampel Diet CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 74 120 Rata-Rata 4,93 8,00 Standar Deviasi ,799 ,926 Nilai p=0,000
Berdasarkan uji T berpasangan nilai, rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi
okupasi dengan diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 4,93 dengan standar deviasi 0,799. Pada pengukuran kedua didapatkan nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi dengan diet CFGF adalah 8,00 dengan standar deviasi 0,926. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000> Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi dengan diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 6: Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Okupasi Tanpa Diet CFGF Menurut Pengukuran Pertama Dan Kedua Terapi Okupasi Tanpa Diet No. Sampel CFGF Nilai Awal Nilai Akhir Total 74 113 Rata-Rata 4,93 7,53 Standar Deviasi ,799 ,915 Nilai p=0,000
Berdasarkan uji T berpasangan nilai, rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi tanpa diet CFGF pada pengukuran pertama adalah 4,93 dengan standar deviasi 0,799. Pada pengukuran kedua didapatkan nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi tanpa diet CFGF adalah 7,53 dengan standar deviasi 0,915. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000. Dapat disimpulkan ada perbedaan yang signifikan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi tanpa diet CFGF antara pengukuran pertama dan kedua. Tabel 7: Perbandingan Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Perilaku Dengan Dan Tanpa Diet CFGF X Terapi X Terapi Nilai Perilaku perilaku Dengan Tanpa Diet Diet CFGF CFGF Total 116 113 Rata-Rata 7,73 7,53 Standar Deviasi 1,147 1,187 Nilai p = 0,643
Berdasarkan uji T Independen, nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku dengan diet CFGF adalah 7,73
dengan standar deviasi 1,147. Sedangkan nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku tanpa diet CFGF adalah 7,53 dengan standar deviasi 1,187. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,643 berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemajuan anak autisme antara yang menjalani terapi perilaku dengan diet CFGF dengan yang menjalani terapi perilaku tanpa diet CFGF.
dengan standar deviasi 0,694. Sedangkan rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi tanpa diet CFGF adalah 6,23 dengan standar deviasi 0,799. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,400, berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemajuan anak autisme antara yang menjalani terapi okupasi dengan diet CFGF dengan anak autisme yang menjalani terapi okupasi tanpa diet CFGF.
Tabel 8 : Perbandingan Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Wicara Dengan Dan Tanpa Diet CFGF X Terapi Nilai Wicara X Terapi Dengan Wicara Diet CFGF Tanpa Diet CFGF Total 92,5 87 Rata-Rata 6,17 5,80 Standar Deviasi 1,114 1,099 Nilai p = 0,378
PEMBAHASAN Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Perilaku Dengan Diet CFGF dan Tanpa Diet CFGF Hasil pengukuran terhadap kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku dengan dan tanpa diet CFGF dilakukan dengan membandingkan antara pengukuran pertama dan kedua. Didapatkan pada pengukuran kedua kemajuan anak autisme yang melaksanakan terapi perilaku dengan diet CFGF lebih tinggi dengan nilai rata-rata (9,00) dari anak autisme yang melaksanakan terapi perilaku tanpa diet CFGF pada pengukuran kedua dengan nilai rata-rata 8,60.
Berdasarkan uji T Independen, nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF adalah 6,17 dengan standar deviasi 1,144. Sedangkan rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara tanpa diet CFGF adalah 5,80 dengan standar deviasi 1,099. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,378, berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemajuan anak autisme antara yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF dengan anak autisme yang menjalani terapi wicara tanpa diet CFGF. Tabel 9: Perbandingan Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Okupasi Dengan Dan Tanpa Diet CFGF X Terapi X Terapi Nilai Okupasi Okupasi Dengan Tanpa Diet Diet CFGF CFGF Total 97 93,5 Rata-Rata 6,47 6,23 Standar Deviasi ,694 ,799 Nilai p= 0,400
Berdasarkan uji T Independen, nilai rata-rata kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi dengan diet CFGF adalah 6,47
Hal ini diyakini karena diet CFGF dengan menghindari makanan yang mengandung tepung terigu dan susu sapi, dapat mengurangi efek morfin pada anak autisme. Makanan yang mengandung tepung terigu dan susu sapi dalam tubuh anak autisme tidak dapat dicerna dengan baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Judarwanto (2006), penelitian dilakukan terhadap anak dengan gangguan saluran cerna dan gangguan perilaku. Setelah dilakukan penghindaran makanan tertentu ternyata gangguan saluran cerna dan gangguan perilaku seperti gangguan emosi, perilaku agresif, gangguan tidur, dan beberapa gejala yang ada pada penderita autisme terdapat perbaikan secara drastis. Menurut Sutadi (Persi, 2004) pemberian terapi perilaku dengan metoda ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis memberikan kemajuan yang pesat terhadap anak autisme. Metoda ABA digunakan
pertama kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas. Metoda ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Pada tahun 1967, Lovaas sudah membuktikan metoda ABA bisa memperbaiki ketidaknormalan anak autisme dengan tingkat keberhasilan sampai 89 %. Sedangkan intervensi biomedis diperlukan untuk membenahi kerusakan sel-sel tubuh akibat keracunan logam berat dan mengusir kendala-kendala yang menghalangi masuknya nutrisi ke otak. Jenis makanan yang dipantang bergantung kondisi seberapa parah keracunan yang terjadi. Umumnya anak autisme dilarang mengkonsumsi susu sapi dan makanan yang mengandung tepung terigu. Terapi perilaku yang dilakukan di Yayasan Pengembangan Potensi Anak (YPPA) Padang didukung oleh fasilitas yang memadai, dimana pada saat diberikan terapi perilaku satu anak autisme mendapatkan satu ruangan dan satu terapis sehingga anak bebas dari gangguan lingkungan sekitarnya, seperti bunyi-bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak untuk menerima materi dengan mudah karena lebih konsentrasi. Hal ini juga sesuai menurut Danuatmaja (2003) bahwa pada saat pemberian terapi perilaku gangguan seperti kebisingan bisa membuat anak tidak fokus dan kehilangan konsentrasi. Kemudian dibantu dengan pengaturan makanan yang dikonsumsi anak autisme dengan menghindari makanan yang mengandung tepung terigu dan susu sapi, ternyata sangat membantu mengurangi kelainan perilaku pada anak. Secara umum diet CFGF diberikan pada anak autisme selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan yang diderita anak autisme, diet ini juga bisa mengurangi gejala dan tingkah laku autistik. Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Wicara Dengan Diet CFGF Dan Tanpa Diet CFGF Hasil pengukuran terhadap kemajuan anak autisme yang menjalani terapi wicara dengan dan tanpa diet CFGF dilakukan dengan
membandingkan antara pengukuran pertama dan kedua. Didapatkan pada pengukuran kedua kemajuan anak autisme yang melaksanakan terapi wicara dengan diet CFGF lebih tinggi dengan nilai rata-rata (7,67) dari anak autisme yang melaksanakan terapi wicara tanpa diet CFGF pada pengukuran kedua dengan nilai rata-rata (6,93). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Judarwanto (2006) yang menyatakan dengan melakukan penghindaran makanan tertentu terdapat perbaikan pada saluran cerna dan keterlambatan bicara pada anak autisme. Peran orang tua sangat penting terhadap anak yang menjalani terapi wicara dengan diet CFGF, dimana karena harus memberikan makanan dan minuman yang tepat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan perkembangan bicaranya dan kemampuan persepsinya (Danuatmaja, 2003). Menurut peneliti pemberian terapi wicara dengan diet CFGF akan sangat membantu kemajuan anak autisme. Pada terapi wicara ini peran orang tua dalam memberikan makanan dan minuman yang tepat akan membantu meningkatkan perkembangan bicara anak, sehingga kesinambungan kerja sistem saraf yang sebelumnya pada anak autisme terganggu oleh konsumsi makanan yang mengandung kasein dan gluten akan dapat diminimalkan bahkan dihilangkan secara perlahan-lahan dari tubuh anak, sehingga anak lebih fokus dan bisa berkonsentrasi terhadap materi yang diajarkan. Di samping itu pada penelitian ini kemajuan yang dicapai oleh anak autisme yang menjalani terapi wicara disebabkan oleh teknik dan kemampuan terapis dalam memberikan materi. Dengan metoda yang baik dan pendekatan serta pengetahuan terapis yang baik terhadap anak autisme dengan menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga dapat memotivasi anak untuk menerima materi yang diberikan. Hal ini juga sesuai menurut Handoyo (2003), bahwa pada saat terapi wicara dilakukan terapis menciptakan suasana percakapan yang menyenangkan sambil mengajak anak
bermain sehingga membangkitkan minat anak untuk berkomunikasi. Kemajuan Anak Autisme Yang menjalani Terapi Okupasi Dengan Dan Tanpa Diet CFGF. Hasil pengukuran terhadap kemajuan anak autisme yang menjalani terapi okupasi dengan dan tanpa diet CFGF dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran pertama dengan pengukuran kedua. Didapatkan pada pengukuran kedua kemajuan anak autisme yang melaksanakan terapi okupasi dengan diet CFGF lebih tinggi dengan nilai rata-rata (8,00) dari anak autisme yang melaksanakan terapi okupasi tanpa diet CFGF pada pengukuran kedua dengan nilai rata-rata (7,53). Hal ini sesuai menurut Sutadi (Persi, 2004) dengan pemberian diet CFGF pada anak autisme dapat meminimalkan gangguan morfin dan merangsang kemampuan anak dalam menerima terapi. Terapi okupasi dilakukan untuk membantu anak autisme yang mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik antara lain gerak-gerik yang kasar dan kurang luwes. Diet CFGF sangat dibutuhkan pada terapi okupasi ini karena salah satu sasaran terapi okupasi meliputi peningkatan dan pertumbuhan fisik yang memerlukan daya tahan tubuh, kecepatan gerak, kemampuan gerak, dan kekuatan (Danuatmaja, 2003). Menurut peneliti terapi okupasi secara fisik yang dipadu dengan terapi dari dalam melalui pengaturan makanan yaitu diet CFGF dapat membantu anak dalam menerima materi terapi yang diberikan oleh karena peningkatan daya tahan tubuh anak yang sebelumnya rentan akibat reaksi yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung kasein dan gluten. Menurut Hembing ( 2004 ), zat makanan yang berbahan dasar kasein dan gluten tidak dapat dicerna dengan baik oleh usus dan kemudian terbawa dalam aliran darah yang bersifat meracuni otak anak autisme.
Penatalaksanaan terapi okupasi di YPPA dilaksanakan oleh terapis dengan persiapan yang baik. Latihan yang diberikan tidak terlalu lama tetapi sering. Terapis akan menghentikan kegiatan apabila anak tampak bosan. Anak diberikan aktivitas yang lebih, sehingga dapat mengembangkan proses pengolahan informasi sensorik yang lebih baik. Kemudian dibantu dengan menghindari makanan yang mengandung tepung terigu dan susu sapi, sehingga perkembangan motorik anak lebih baik. Perbandingan Kemajuan Anak Autisme Yang Menjalani Terapi Perilaku, Terapi Wicara, Terapi Okupasi Dengan dan Tanpa Diet CFGF Untuk melihat perbedaan kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi dengan diet CFGF dan anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi tanpa diet CFGF dilakukan dengan membandingkan kemajuan antara anak autisme tersebut. Pada kelompok I anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi dengan diet CFGF terjadi peningkatan kemajuan anak autisme lebih tinggi dibanding kelompok II yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi tanpa diet CFGF. Hal ini disebabkan oleh diet CFGF yang dilaksanakan oleh anak autisme pada kelompok I. Menurut Sutadi (Persi, 2004) tubuh anak autisme tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna, uraian senyawa yang tidak sempurna ini masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin yang mempengaruhi kerja otak dan pusat-pusat saraf. Dengan diet CFGF dapat meminimalkan gangguan morfin dan membantu anak autisme lebih fokus serta merangsang kemampuan anak dalam menerima terapi. Setelah dilakukan perbandingan antara kemajuan anak autisme pada kelompok I anak autisme yang menjalani terapi dengan diet CFGF dengan kelompok II anak autisme yang menjalani terapi tanpa diet CFGF secara analisis statistik tidak bermakna (p>0,05). Hal ini mungkin disebabkan oleh karena :
a. Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan data dari yang sudah ada berdasarkan terapi dan diet CFGF yang telah dijalani anak autisme. b. Peneliti tidak melakukan intervensi secara langsung dan tidak melakukan pengontrolan terhadap diet CFGF yang diberikan terhadap anak autisme, sehingga peneliti tidak bisa memastikan diet CFGF yang dijalani oleh anak autisme sudah sesuai dengan panduan dokter atau belum. c. Kondisi kesehatan setiap anak autisme tidak sama karena mereka unik. Begitupun dalam menerapkan diet CFGF, orang tua tidak bisa 100% “mengintip” diet anak autis lainnya. Ini karena diet CFGF bersifat individual dan tidak bisa diseragamkan. Ada beberapa hal yang membedakan diet anak auitsme yang satu dengan yang lainnya karena perbedaan kondisi kesehatan mereka, misalnya ada anak autisme yang memiliki riwayat alergi dan intoleransi makanan. KESIMPULAN 1. Terdapat perbedaan kemajuan anak autisme yang bermakna p=0,000 setelah pengukuran kedua dibandingkan pengukuran pertama terapi perilaku dengan dan tanpa diet CFGF di YPPA Padang. 2. Terdapat perbedaan kemajuan anak autisme yang bermakna p=0,000 setelah pengukuran kedua dibandingkan pengukuran pertama terapi wicara dengan dan tanpa diet CFGF di YPPA Padang 3. Terdapat perbedaan kemajuan anak autisme yang bermakna p=0,000 setelah pengukuran kedua dibandingkan pengukuran pertama terapi okupasi dengan dan tanpa diet CFGF di YPPA Padang 4. Kemajuan anak autisme yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi dengan diet CFGF lebih tinggi dibandingkan yang menjalani terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi tanpa diet
CFGF, walaupun secara statisitik tidak bermakna (p>0,05). SARAN 1. Penatalaksanaan pada anak autisme memerlukan terapi dini, terpadu dan intensif dengan memberikan terapi secara fisik (terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi) dan dari dalam tubuh, seperti diet CFGF yang termasuk dalam bagian terapi biomedis. 2. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan intervensi secara langsung terhadap diet CFGF yang dijalani anak autisme. a
Staf Pengajar Keperawatan Komunitas Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unand
Daftar Pustaka Budhiman, M. 2001. Langkah Awal Menanggulangi Autisme. Jakarta : Nirmala Buie, T. 2002. Autis dan Gangguan Serius Pencernaan. Diakses dari http://www.puterakembara.org/rm/anrew.sht ml Danuatmaja, B. 2003. Terapi Anak Autisme Di Rumah. Jakarta : Swara Puspa _______. 2004. Menu Autis, Panduan Diet Tepat untuk Anak Autis. Jakarta Swara Puspa Hadiyanto, Y. 2004. Autisme, Diakses dari www.google.com Handoyo, Y. 2003. Autisma. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer Hastono, S. 2001. Analisis Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Hembing, W. 2004. Psikoterapi Anak Autisme. Jakarta : Pustaka popular Obor Judarwanto, W. 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. Diakses dari
http://childrenallergycenter.joeuser.co m/printer.asp/AID=134680 _______. 2006. Terapi Diet untuk Gangguan Perilaku Anak. Diakses dari http://chiidrenallergycenter.joeuser.com/print er.asp/AID=134680 _______. 2006. Pencegahan Autis Pada Anak. Diakses dari http://puterakembara.org/archives10/0000005 6.shtml
Persi, Pd. 2004. Peluang Sembuh Penderita Autisme Sudah Terbuka. Diakses dari http://www.pdpersi.co.id/show=detailnews& kode=930&tbl=artikel Pratiwi, S.E dan Hadi, E.S. 2004. Penanganan Terpadu Anak Autisme. Diakses dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1104/28/hikmah/lain02.htm
Notoatmojo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta : PT Rineka Cipta
Sabri, R., Yerizel, E., Adistimira. 2006. Pengaruh Terapi Terhadap Kemajuan Anak Autisme. Penelitian Dosen Muda. Fakultas Kedokteran UNAND
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Yatim, F. 2003. Autisme Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak. Jakarta : Pustaka Populer Obor
Peeters, T. 2004. Autisme. Jakarta : Dian rakyat