COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20
PENEGAKAN HUKUM PROSTITUSI Oleh : Ninip Hanifah, SH, MH ABA Borobudur Jakarta Abstract The controversy and the complexity of prostitution-business problem has been becoming a polemic to debate. One bf the important aspects to overcome is law aspect. The law does not empower and give rights to women which is compatible with the women convention, because of patriarchy and gender stereotype. The objective of the study is to know why the law enforcement of prostitution, particularly to the women prostitute tend to be not successful. The study was conducted by using qualitative approach based on women's perspective. The result reveals that The Code of Criminal Law does not dearly arrange prostitution business and there is not any chapters which dearly prohibits women from involving in prostitution business. The various efforts in overcoming this issue still marginalize women, and the discrimination against women still exists, despite there is the convention of women. The prostitution business is a social phenomenon which is hard to eliminate. Kata Kunci: Penegakan Hukum PENDAHULUAN Pada tahun 1984 Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Wanita). Sepuluh tahun kemudian pada akhir tahun 1994 didirikan Convention Watch oleh beberapa dosen Kajian Wanita Universitas Indonesia dan anggota LSM, karena menyadari bahwa masyarakat pada umumnya belum mengetahui akan keberadaan Konvensi Wanita ini, apalagi melaksanakannya. Convention Watch
ini bertujuan untuk memantau pelaksanaan isi Konvensi Wanita sambil mengadakan sosialisasi kepada ma-
syarakat. Menyadari bahwa Konvensi Wanita merupakan suatu instrumen hukum yang tangguh, Kelompok Kerja Convention Watch bekerja sama antara lain dengan Fakultas Hukum dari berbagai universitas di Indonesia. Hingga saat ini kegiatan sosialisasi bersama telah diadakan dengan 22 Fakultas Hukum di hampir seluruh Indonesia. Materi dalam rangka upaya mengadakan sosialisasi kepada masyarakat, terutama adalah mengenai prinsip-prinsip, tujuan, kekuatan Konvensi Wanita sebagai suatu instrumen hukum dan tolok ukur dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
10
Ninip Hanifah
Penegakan Hukum Prostitusi
sukses bisnis prostitusi tidak dapat dipisahkan dari persepsi laki-laki, bahwa perempuan merupakan sekedar objek, yang diinginkan dan dicampakkan bila objek tersebut tidak diperlukan lagi. Sikap pemerintah dalam menanggulangi prostitusi dapat dikatakan tidak mengalami kemajuan sejak zaman kolonial. Kebanyakan peraturan mengatur masalah kesehatan atau ketertiban masyarakat, dan bukan pertimbangan kesadaran moral untuk membantu keadaan kaum perempuan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara tegas mengatur bisnis prostitusi, bahkan tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perempuan terlibat dalam bisnis prostitusi. Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal sebagaimana diatur dalam pasal 296, 297, dan 506. Perempuan yang masuk ke dalam dunia bisnis prostitusi, sebenarnya terkondisikan oleh sistem sosial yang melingkupinya. Mitos keperawanan yang memposisikan perempuan yang kehilangan keperawanan ke dalam posisi marginal, atau kondisi ekonomi dan subordinasi perempuan dalam rumah tangga, merupakan situasi yang dapat mengkondisikan perempuan tertentu untuk terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Sebelum sistem sosial tersebut berubah, bisnis prostitusi tetap akan menjadi fenomena sosial yang tidak mudah dihapus.
Hasil seminar untuk sosialisasi Konvensi Wanita yang diadakan di Menado 29 Maret 1999 antara lain ditemukan masih banyak penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang merugikan fungsi dan status perempuan, masih tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan walaupun telah ada Konvensi Wanita. Hukum juga belum cukup menunjang hak dan pemberdayaan perempuan sesuai dengan Konvensi Wanita, karena budaya patriarkat dan stereotip gender belum menunjang. Dalam konteks masyarakat patriarkat, konstruksi sosial atas seksualitas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksual perempuan tak lebih sebagai pemuas nafsu laki-laki di satu sisi, dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidak memiliki kedaulatan terhadap seksualitasya sendiri. Laki-laki akan mendominasi perempuan, dan laki-laki yang lebih tua akan mendominasi laki-laki yang lebih muda. Kate Millet (1971) mengatakan bahwa dominasi ini mengakibatkan keinginan untuk mengontrol seksualitas dan institusi sosial. Kontrol tersebut dilakukan misalnya di keluarga, hubungan heteroseksual, dan prostitusi. Ketika masalah prostitusi direduksi pada persoalan perbedaan gender dan ketidakadilan, ada beberapa hal yang menjadi jelas. Pertama-tama
11
COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Met 2009, hal. 10-20
Permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah: "Mengapa penegakan hukum terhadap bisnis prostitusi cenderung kurang berhasil"?
rang, ataupun bentuk-bentuk jasa lainnya bagi kelangsungan hidupnya" (Uwiyono, dkk, 1995). Dari definisidefinisi di atas, prostitusi bisa diartikan sebagai aktivitas sekelompok perempuan yang berselingkuh untuk berhubungan seks di luar pernikahan atau menjual diri demi untuk memperoleh imbalan jasa/uang guna mencukupi kebutuhan ekonomi diri dan keluarganya. Aktivitas yang berkisar pada wilayah bisnis prostitusi merupakan kerja yang sarat dengan ideologi, termasuk ideologi yang moralis, yakni wilayah yang menyatakan apa yang baik dan apa yang buruk. Namun para perempuan yang terlibat di dalam bisnis prostitusi berada dalam posisi marginal sehingga memiliki kecenderungan tidak peduli. Keterisolasian perempuan pekerja seks sebagai suatu kategori sosial yang dianggap menyimpang, sehingga patut diperlakukan secara sembarang pula, merupakan titik lemah yang lain. Pada sisi inilah masalah seksualitas perempuan sangat dimanipulasi sekaligus mengalami proses diobjektifikasi (Sudirman Saad, 2004).
PEMBAHASAN Batasan Prostitusi Pelacur (Pekerja Seks Komersial/PSK) berasal dari kata Tacur', artinya "malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi, atau buruk laku'. Bentukan kata dari kata lacur' adalah melacur, yaitu berbuat lacur atau menjual diri sebagai pelacur (Koentjoro, 1997). Selain itu Koentjoro (1997) mengutip ungkapan Ellis yang mendefinisikan seorang PSK sebagai orang yang berprofesi memuaskan nafsu orang lain dari seks yang berbeda. Kaum feminis akan sangat menentang pendapat Ellis di atas, sebab mereka menganggap perempuan dieksploitasi dalam hubungan tersebut dan PSK tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pelanggan mereka. Batasan prostitusi juga mencakup elemen perselingkuhan. Bullough dalam Koentjoro (1997) menyatakan bahwa prostitusi memiliki kesamaan karakter dengan hubungan seks di luar pernikahan, karena keduanya ditandai dengan perselingkuhan, memperoleh kesenangan, dan berbentuk komersialisme profesional. Dalam US National Research Council, pelacuran merupakan istilah yang mengacu pada sekelompok perempuan yang melakukan aktivitas pertukaran seksual untuk mendapatkan uang, bax
Sejarah dan perkembangan Bisnis Prostitusi di Indonesia. Di Indonesia pada akhir 1960an dan 1970-an banjir tenaga kerja yang datang dari daerah/desa ke kota mulai dirasakan. Para tenaga kerja tersebut kebanyakan perempuan yang mencari peluang di sektor informal. Banyaknya jumlah tenaga perempuan
12
Ninip Hanifah
Penegakan Hukum Prostitusi
dengan membanjirnya penduduk desa ke kota untuk mencari pekerjaan, bisnis prostitusi juga makin merajalela. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya proses marginalisasi peran perempuan dalam sektor-sektor ekonomi dan publik, Proses marginalisasi tersebut diiringi dengan tuntutan kehidupan yang makin besar, sehingga membuat banyak perempuan menggunakan segala cara untuk mendatangkan uang, termasuk menjadi pekerja seks komersial (PSK). Kaum antropologis fungsional juga mengakui bahwa keberadaan bisnis prostitusi merupakan sebuah proses fungsionalisasi yang berbasis rasionalitas ekonomi. Artinya, hubungan seksual yang tidak bisa diakomodasikan dalam perkawinan itu dapat berfungsi sebagai media untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebenarnya pandangan ini berawal dari pendekatan institusional yang menganggap bahwa fenomena maraknya bisnis prostitusi ini didorong oleh kekakuan sistem moral yang menjunjung tinggi keluarga dan pada saat bersamaan menekan hubungan seksual di luar perkawinan. Padahal, kebutuhan seksual seringkali tidak dapat disalurkan melalui perkawinan, Peran pembantu inilah yang diakomodasikan oleh bisnis prostitusi (Troung, 1992).
membuat kompetisi menjadi ketat, antara pekerja perempuan dan juga antara pekerja perempuan dengan lakilaki. Terbatasnya latar pendidikan para pekerja perempuan, berdampak pula pada pekerjaan yang mereka dapatkan juga menjadi terbatas. Akhirnya, pekerjaan yang sering dilakukan adalah menjadi pedagang kecil, pedagang rokok, pembantu rumah tangga, dan sebagian lainnya menjadi pekerja seks komersial, karena rendahnya upah tenaga kerja di Indonesia. Bisnis prostitusi di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu dan sejarah yang panjang, Pada dasarnya sejarah bisnis prostitusi sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, yaitu zaman kerajaan-kerajaan khususnya di Pulau Jawa. Pada umumnya raja-raja ketika itu, selain memiliki permaisuri, juga memiliki beberapa perempuan untuk dijadikan selir yang tersebar di daerah-daerah bawahannya. Hal ini dianggap wajar pada saat itu, karena berkaitan dengan konsep kekuasaan seorang raja. Raja dianggap memiliki kekuasaan yang sangat besar, bukan hanya menyangkut batas wilayah tanah dan harta benda, tetapi juga menyangkut nyawa hamba sahaya mereka. Lebih parah lagi, perempuan dianggap seperti barang yang bisa dijadikan upeti (persembahan) kepada raja atau diperdagangkan. Setelah era penjajahan berlalu, perilaku perdagangan perempuan dalam bentuk bisnis prostitusi justru makin berkembang karena keadaan ekonomi yang tidak menentu. Seiring
Norma Hukum Bisnis Prostitusi Hukum pidana yang berlaku di Indonesia, didasarkan pada ketentuanketentuan dan asas-asas umum dalam
13
COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia, yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. KUHP yang aslinya masih berbahasa Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS), berdasarkan Staatsblad 1915 No.732 berlaku sejak 1 Januari 1918 dan diberlakukan di wilayah Indonesia (dulu Hindia Belanda) berdasarkan asas Concordantie. Sejak Indonesia merdeka 1945, WvS tersebut tetap diberlakukan di Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. WvS diterjemahkan menjadi KUHP didasarkan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto UndangUndang Nomor 73 Tahun 1958 dan diberlakukan di wilayah negara Republik Indonesia dengan berbagai perubahan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 296, 297, dan 506 hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan kepada mereka yang mempermudah terjadinya hubungan seks dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, yaitu mucikari dan germo (Muhajir Darwin dan Anna Marie Wattie, 1999). Karena KUHP tidak secara tegas melarang bisnis prostitusi terhadap para pekerja seks tersebut, maka tidak cukup landasan hukum untuk memperkarakannya di pengadilan. Hal ini berkaitan erat dengan asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana (asas legalitas). Asas tersebut menjelaskan
bahwa tiada suatu perbuatan dapat disebut pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya (pasal 1 ayat (1) KUHP). Berdasarkan batasan dalam KUHP di atas, perbuatan melacurkan diri pekerja seks bukan dianggap sebagai suatu kejahatan. Ketentuan untuk menjerat para pekerja seks dalam persidangan di pengadilan adalah pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan perbuatan kesusilaan, yaitu Bab XIV Buku II mengenai Kejahatan Kesusilaan dan Bab VI Buku III tentang pelanggaran kesusilaan (Arief dan Irsan dalam Supanto, 1999). Selain itu mereka juga dapat dijerat dengan tuduhan melanggar ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Bab II Buku III KUHP khususnya pasal 503 ayat (1), 505 dan 506 KUHP. Sudirman Saad (2004) menyatakan bahwa Pasal-pasal mengenai pelanggaran ketertiban umum ini digunakan oleh pihak kepolisian ketika hendak melakukan razia terhadap pekerja seks. Pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan praktik bisnis prostitusi adalah sebagai berikut: Pasal 295 (1) Diancam: 1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak
14
Ninip Hanifah
Penegakan Hukum Prostitusi
angkatnya, atau anak yang di bawah pengawasannya yang belum dewasa, yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain; 2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir (1) di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, pidana dapat ditambah sepertiga.
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Pasal 503 Ay at (1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah, barangsiapa membikin hingar atau riuh sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu. Pasal 505 (1) Barangsiapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Berdasarkan pasal 295, 296,dan 503 tersebut di atas, sebenarnya yang dapat dikenakan pidana adalah orang yang dengan sengaja mengadakan atau memudahkan terjadinya perbuatan cabul, yaitu germo atau mucikari, dan bukan terhadap pekerja seksnya. Pasal 503 dan 505 KUHP hanya ditujukan terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran ketertiban umum, yaitu membikin hingar atau riuh sehingga mengganggu ketertiban malam dan menjadi gelandangan. Akan tetapi pasal inilah yang sering digunakan untuk menjerat para pekerja seks yang beroperasi di jalan atau tempat-tempat
Pasal 296 Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan dijadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah. Pasal 506 Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang perempuan dan menjadikan sebagai pencaharian
15
COSTITUTUM Vol. 9 No. 1, Mei 2009, hal. 10-20
umum, namun tidak untuk laki-laki yang menjadi konsumennya. Pasalpasal ini sangat lemah dan sangsi hukum yang diberikan juga sangat ringan, sering disebut dengan tipiring (tindak pidana ringan), sehingga tidak memberikan efek yang signifikan, misalnya dalam bentuk perubahan perilaku dari terpidana. Hukum Agama Respon Agama terhadap fenomena bisnis prostitusi bervariasi dari pandangan yang paling radikal atau tekstual ke pandangan yang moderat atau konstektual. Pandangan paling radikal yang cenderung ortodoks menegaskan bahwa perbuatan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh agama. Perbuatan tersebut adalah tergolong perbuatan zina dengan ancaman hukuman yang sanga berat, yaitu hukum raj am sampai meninggal bagi mereka yang telah terikat tali pernikahan dan hukuman cambuk bagi yang belum menikah. Sebagai contoh, dalam hukum Islam disebutkan bahwa perbuatan zina (melacurkan diri) adalah suatu perbuatan yang dikutuk oleh Allah dan merupakan salah satu dosa besar. Menurut Alam (1984) yang dikutip oleh Darwin Saad, bila dilihat dari normanorma yang hidup dalam masyarakat, agama, kebudayaan, dan kesusilaan dari berbagai golongan masyarakat di Indonesia, memandang bahwa perbuatan melacurkan diri dari seseorang perempuan dianggap sebagai kejaha-
tan berat dan harus dihukum. Oleh karena itu bilamana ada anggapan bahwa para pekerja seks tidak dapat dihukum menurut hukum pidana positif, dapat diterapkan hukum agama atau hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat). Dalam pandangan ini tampak jelas bahwa norma agama dan masyarakat cenderung menyalahkan perempuan dalam kaitannya dengan bisnis prostitusi ini. Berbagai tindakan dan langkahlangkah strategis telah diambil pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan persuasif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang prostitusi tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi, prostitusi tidak dapat dihilangkan, melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala bisnis prostitusi ini merupakan bagian dari tracking (perdagangan orang atau perempuan). Perempuan dan anak juga mempunyai risiko tinggi untuk diperdagangkan karena faktor-faktor seperti: perempuan dipersepsikan sebagai sesuai untuk mengisi peran stereotip tertentu. Perempuan dianggap mudah dibohongi dengan berbagai janji dan perempuan menyukai jenis pekerjaan tertentu. Dari menjadi babysitter sampai menjadi penari dan penyanyi di dunia entertainment yang kebanyakan merupakan industri seks terselubung,
16
Penegakan Hukum Prostitusi
Ninip Hanifah
tetapi tidak selalu diketahui oleh perempuan yang menjadi sasaran pedagang manusia yang melakukan kegiatannya tanpa kontrol ketat dari para penegak hukum atau pejabat setempat. Kondisi sosial pikologis dan politik belum memberi perlindungan yang diperlukan perempuan dan anak untuk tidak diperdagangkan. Para germo, mucikari, calo perdagangan manusia masih dibiarkan bertindak secara leluasa. Perempuan dan anak yang diperdagangkan berisiko tinggi untuk terjerat dalam mafia perdagangan manusia interaasional (Saparinah Sadli, 2006). Artikel 6 dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) menyatakan: ^negara akan mengambil langkah-langkah yang sesuai termasuk perundang-undangan, untuk memberantas semua bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan' telah menimbulkan berbagai perdebatan. Apakah negara seharusnya memerangi prostitusi atau hanya eksploitasi prostitusi. Prostitusi harus dilihat secara objektif sebagai suatu fenomena yang berkembang dalam masyarakat dan fenomena ini harus dipandang secara utuh tanpa menitikberatkan pada satu sisi saja yaitu agama, budaya, atau adat istiadat. Tetapi harus dilihat dari segala sisi termasuk kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, agar persoalan prostitusi dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik.
Prostitusi dan perdagangan orang memiliki korelasi yang sangat erat karena prostitusi merupakan salah satu motif utama terjadinya tindak pidana perdagangan orang/'trafficking. Oleh karena itu dalam upaya melakukan pemberantasan perdagangan orang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang "Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang", perlu juga untuk "memberantas atau mengatur" masalah prostitusi dengan suatu Undang-Undang khusus. "Memberantas atau mengatur" prostitusi merupakan suatu alternatif yang perlu dipilih secara bijak, dengan melihat secara objektif persoalan prostitusi sebagai masalah nasional yang sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat, dari kota sampai desa, dari daerah berkembang sampai daerah terpencil, dari daerah yang maju sampai daerah yang terbelakang dan dari semua tingkat sosial ekonomi, semua masyarakat tidak luput dari permasalahan prostitusi (http://opinimanadopost.blogspot.com/2008). Bisnis prostitusi merupakan lingkaran setan yang akan selalu terus berputar selama masih ada supply and demand serta penegakan hukum sangat lemah. Menurut Adi Andoyo (2000), "lemahnya penegakan hukum disebabkan selain kurangnya sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, juga disebabkan moral yang bejat serta mental yang bobrok dari aparat yang menanganinya. Dan ini merajalela di semua segmen sistem
17
COSTITUTUM Vol. 9 No. I, Mei 2009, hal. 10-20
peradilan pidana, dari polisi, jaksa sampai hakim". Tidak mudah memutus rantai bisnis ini, tidak hanya karena umur bisnis ini setua kehidupan manusia, tetapi juga karena kompleksitas permasalahannya, sehingga menjadikan bisnis prostitusi ini tidak mudah dihapuskan.
5. Keadaan tersebut di atas semakin menempatkan posisi perempuan dalam bisnis prostitusi menjadi termarginalkan dan terpinggirkan. Saran-Saran 1. Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum diharapkan bisa tegas dalam menjalankan mekanisme peradilan, jangan hanya perempuan pekerja seks saja yang dipersalahkan namun konsumennya juga harus ditindak. 2. Perlu adanya Undang-Undang yang mengatur persoalan prostitusi yang sekaligus mencegah dan memberantas tindak pidana trafiking, agar masalah tersebut dapat terselesaikan secara komprehensif, utuh dan menyeluruh, sehingga dampak dari kegiatan tersebut dapat diminimalisir, dikelola dan ditanggulangi secara baik dan profesional. 3. Perempuan perlu diberdayakan dengan memberikan latihan-latihan ketrampilan yang dapat menghasilkan nilai tambah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan diberikan pembekalan pendidikan agar mereka tidak mudah terbujuk rayu oleh germo, mucikari, dan para pedagang manusia yang berkedok mencarikan pekerjaan.. 4. Dari sudut agama, misalnya hukum Islam menyebutkan bahwa melacurkan diri adalah suatu perbuatan yang dikutuk oleh Allah dan merupakan salah satu dosa
PENUTUP Kesimpulan 1. Hukum di Indonesia terhadap perlindungan perempuan terkesan main-main, bukan saja isi pasalpasalnya, tetapi juga seluruh mekanismenya. Di banyak negara termasuk negara maju, undangundang perlindungan terhadap perempuan dikoreksi terus dan hukuman tambah diperberat. 2. Terdapat inkonsistensi dalam penegakan hukum, tidak terdapat aturan dalam sistem perundangundangan Indonesia yang secara tegas melarang bisnis pelacuran. 3. Tidak ada juga landasan hukum yang melegalkan praktik bisnis pelacuran, apalagi yang melindungi para pekerja seks dari tindakan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak lain, seperti trafiking, eksploitasi, pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan. 4. Masih adanya diskriminasi terhadap perempuan, karena selama ini yang dikejar-kejar hanya perempuan pekerja seks, sedangkan konsumennya didiamkan bebas tidak pernah terjerat hukum.
18
Penegakan Hukum Prostitusi
Ninip Hanifah
besar, sehingga para ulama dan pemuka agama perlu terus menerus melakukan pendekatan spiritual dan mengingatkan para pelaku bisnis prostitusi ini, khususnya para pekerja seks agar mereka kembali ke jalan yang benar. DAFTARPUSTAKA Adi andoyo Soetjipto, Penyebab Tindakan Main Hakim Sendiri oleh Massa: Suatu Analisa Pendahuluan dalam Maftuchah Yusuf, 80 Tahun Prof. Dr. Maftuchah Yusuf Mencipta Generasi Membangun Bangsa, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000. A. Uwiyono, dkk, "Lokalisasi dan Hukum suatu Tinjauan Yuridis terhadap Bertahannya Praktik Pelacur an DKI Jakarta", AIDS dan Hukum/Etika Jaringan Epidemologi Nasional, Jakarta, 1995. Gadis Arivia, Prostitusi Berkah atau Kutukan dalam Jurnal Perempuan Vol. 02 Desember/Januari 1997, Jakarta, 1997. Koentjoro, Understanding Prostitution from Rural Communities of Indonesia, Phd, Thesis, La Trobe University, Victoria, 1997. L.M. Ghandi Lapian dan Hetty A. Geru (Ed.), Trafiking Perempuan dan Anak, Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. Millet, Kate, Sexual Politics, Virgo, London, 1971.
19
Muhajir Darwin dan Anna Marie Wattie, Pembatasan Pelacuran dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999. Ratna Batara Munti, Adokasi Kebijakan Pro Perempuan: Agenda Politik untuk Demokrasi dan Kesetaraan, Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2008. Saparinah Sadli, Viktimisasi Perempuan dalam L.M. Ghandi Lapian dan Hetty A Geru (Ed.), Traficking Perempuan dan Anak, Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. Sudirman Saad dan Muhajir Darwin, Penegakan Hukum Pelacuran, dan HIV/AIDS: Derajad S. Widhyarto dan Sri Purwaningsih (Ed.), Kerja sama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2004. Supanto, Kebijakan Hukum Pidana mengenai Pelecehan seksual, Kerja sama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada dan The Ford Foundation, Yogyakarta, 1999. Truong, Thanh Dam, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, Pe-
COSTITUTUM Vol. 9 No. I, Mei 2009, hal. 10-20
nerjemah Ade Armando, LP3ES, Jakarta, 1992.
http://opinimanadopost.blogspot.com/2008 /02/pelacuran-dan-perda...
20