PENDUGAAN PENCEMARAN PERAIRAN AKIBAT KEGIATAN TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) DAN KETERKAITANNYA TERHADAP BENTOS DI PERAIRAN MANGGAR, BELITUNG TIMUR
RADISHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Pencemaran Perairan Akibat Kegiatan Tambang Inkonvensional (TI) dan Keterkaitannya terhadap Bentos di Perairan Manggar, Belitung Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Radisho NIM P052050011
ABSTRACT RADISHO. Prediction of Waters Pollution Due to Unconventional Tin Mining (TI) and Its Relation with Benthos in Manggar Waters, East Belitung. Under supervised by D. DJOKOSETIYANTO and ASIKIN DJAMALI. Unconventional tin mining (TI) has been taking place in East Belitung since several years ago. It has generated environmental quality declining especially for waters environment. The research aims to identify waters quality characteristic (water body and sediment); community structure of aquatic biota (benthos), spatial distribution of physics chemical characteristic and the effect to benthos abundance. According to the observation result, in general, the waters characteristic condition still fulfill the quality standard except the concentration of phosphate, nitrate, ammonia and some metals concentration (Cu, Pb, Hg, and Fe). Sediment texture in river dominated by silt and clay, and in offshore dominated by sand texture. Concentration of Pb and As heavy metals at those observation stations exceeded the quality standard referenced to The Canadian Council of Minister of the Environment. Spatially, concentration distribution of Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Cd, and As in general are high in the observation station of Manggar River (upstream until downstream). The highest concentration of Fe, Al, Cu, Zn, and Pb heavy metals was found in the station 15 (upstream) nearby with the unconventional tin mining activities. Keyword: unconventional tin mining (TI), waters quality, sediment, metals and benthos
RINGKASAN RADISHO. Pendugaan Pemcemaran Perairan Akibat Kegiatan Tambang Inkonvensional (TI) Dan Keterkaitannya Terhadap Bentos di Perairan Manggar, Belitung Timur. Dibimbing oleh D. DJOKOSETIYANTO dan ASIKIN DJAMALI. Salah satu sumber daya alam potensial di Kabupaten Belitung Timur adalah sumber daya mineral (timah). Potensi timah tersebar di seluruh Pulau Bangka, Belitung dan pulau-pulau kecil lainnya. Selain itu, potensi timah juga tersebar di dasar laut yang menghubungkan pulau-pulau tersebut. Pertambangan timah merupakan salah satu sumber daya andalan yang berkonstribusi bagi PAD (pendapatan asli daerah). Memasuki era otonomi daerah, kabupaten ini telah memasuki era baru dengan tidak lagi menjadikan timah sebagai primadona perekonomian daerah. Namun demikian kegiatan pertambangan timah masih tetap dilakukan oleh masyarakat sekitar terutama di sekitar lokasi bekas PT Timah. Aktivitas pertambangan timah inkonvensional (TI) mulai meningkat sejak tahun 1998. Secara ekonomi, kegiatan TI menciptakan keuntungan dan penyerapan tenaga kerja. Namun menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan lingkungan. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik kualitas perairan (badan air dan sedimen) di sekitar lokasi penambangan timah inkonvensional; mengetahui struktur komunitas bentos; menganalisis sebaran spasial karakteristik fisik kimia air dan sedimen; menganalisis kualitas fisik kimia sedimenterhadap kelimpahan bentos. Penelitian dilakukan terhadap kondisi oseanografi, kualitas badan air, kualitas sedimen, dan bentos. Metode penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu mempertimbangan kondisi daerah penelitian. Pengambilan contoh air, sedimen, dan bentos dilakukan pada 15 lokasi stasiun pengamatan yang dikelompokkan 3 lokasi, yaitu perairan sungai (sekitar lokasi penambangan), estuari (pantai) dan lepas pantai. Parameter kualitas air laut dan sungai dianalisis secara tabulasi dan deskriptif serta dibandingkan dengan baku mutu sesuai KepMenLH No. 51 tahun 2004 dan PP RI No. 82 tahun 2001. Hasil analisis tekstur sedimen (pasir, debu dan liat) dikelompokkan kedalam segitiga tekstur. Konsentrasi logam berat dan pH pada sedimen dianalisis secara tabulasi dan deskriptif. Indeks keragaman, keseragaman, dan dominansi bentos dikategorikan sesuai Shannon-Wiener (1949) dalam Krebs (1989) dan Odum (1996). Analisis keterkaitan untuk mengetahui hubungan antara komponen fisik kimia sedimen dengan kelimpahan bentos, dan konsentrasi elemen logam dengan ukuran butiran tekstur sedimen menggunakan analisis regresi dan korelasi. Sebaran spasial karakteristik fisik kimia air dan sedimen antar stasiun pengamatan digunakan pendekatan analisis komponen utama (principle component analysis) (Bengen, 2000). Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software Minitab versi 14. Hasil penelitian menunjukkan kondisi batimetri perairan Belitung Timur merupakan perairan yang relatif landai dari pantai dengan kedalaman perairan rata-rata mencapai 25 meter pada lepas pantai. Kondisi pasang surut di lokasi
penelitian tergolong tipe diurnal (tunggal) dengan nilai bilangan Formzhal sebesar 7,6 (DISHIDROS, 2006). Berdasarkan tipe pasang surut tersebut, maka lokasi penelitian dicirikan dengan sekali pasang dan sekali surut dalam sehari. Hasil pengukuran arah dan kecepatan arus di lokasi penelitian menunjukkan arus permukaan lebih kuat dari arus dasar. Kecepatan arus permukaan berkisar 11,41 – 51 cm/detik, sedangkan arus dasar berkisar 10,06-32,21 cm/detik. Kondisi karakteristik fisik kimia perairan secara umum masih tergolong normal dan memenuhi baku mutu kualitas air laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 untuk air sungai. Namun untuk konsentrasi fosfat, nitrat, amoniak, dan beberapa unsur logam seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), dan air raksa (Hg) telah melebihi baku mutu perairan laut. Suhu permukaan perairan berkisar antara 28,9 – 29,8 OC dengan suhu perairan maksimal ditemukan di stasiun 1 (lepas pantai). Kecerahan perairan berkisar antara 26,7-71,4 % dari kedalaman perairan. Kecerahan cenderung meningkat dari muara sungai ke lokasi yang jauh dari pantai dan tidak dilalui jalur pelayaran kapal. Nilai TSS berkisar antara 20-34 mg/L dengan nilai tertinggi ditemukan pada stasiun 8 yang terletak di pantai dan dilalui jalur pelayaran kapal nelayan. Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 32,64 – 33, 28 O/oo dengan rata-rata sebesar 33 O/oo. Nilai salinitas tertinggi ditemukan di stasiun 4 dan terendah di stasiun 1. Nilai pH di lokasi penelitian masih memenuhi baku mutu yaitu berkisar 8,00-8,17 dengan nilai tertinggi ditemukan di stasiun 1 yaitu perairan lepas pantai dan berdekatan dengan pulau-pulau kecil (Pulau Memperak dan Bakau). Nilai pH perairan di lokasi penelitian tergolong normal dan tidak terpengaruh limbah akibat aktivitas tambang inkonvensional yang memiliki pH cenderung rendah (asam). Kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 4,03-4,15 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian umumnya merata dengan nilai rerata sebesar 4,10 mg/l. Kandungan fosfat, nitrat, dan amoniak di lokasi penelitian tergolong tinggi dan berada di atas baku mutu kualitas air laut. Hal ini diduga adanya pengaruh pembuangan limbah bahan organik dari aktivitas penduduk di daratan. Kandungan fosfat, nitrat, dan nitrit tertinggi ditemukan di stasiun 5 (perairan sekitar pantai Burung Mandi) namun demikian kandungan amoniak tergolong rendah. Karakteristik logam berat perairan di lokasi penelitian meliputi Fe, Cu, Zn, Pb, Cd, dan Hg. Konsentrasi Cu, Pb, dan Hg telah melebihi baku mutu kualitas air laut. Bahkan kandungan Cu telah melebihi baku mutu di 15 stasiun pengamatan. Konsentrasi tembaga (Cu) di perairan lokasi penelitian berkisar 0,035-0,073 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di stasiun 14 (Sungai Manggar) dan terendah di stasiun 6 (perairan pantai). Bila dibandingkan dengan baku mutu kualitas air laut, maka konsentrasi Cu telah melebihi baku mutu. Tingginya konsentrasi Cu diduga adanya masukan dari Sungai Manggar yang diduga telah terkontaminasi konsentrasi Cu akibat aktivitas pertambangan timah di daratan. Konsentrasi timbal (Pb) di perairan tergolong tinggi dan melebihi baku mutu. Tingginya konsentrasi Pb tidak terjadi pada semua stasiun pengamatan. Konsetrasi Pb di peraian berkisar antara 0,001-0,45 mg/l. Konsentrasi Pb tertinggi ditemukan di stasiun 7 yaitu perairan pantai yang berada sekitar 2 km dari pantai. Tingginya konsentrasi Pb umumnya ditemukan pada stasiun-stasiun
pengamatan yang berada di sungai dan perairan pantai. Namun demikian di stasiun 1 dan stasiun 2 yang berada jauh dari pantai juga memiliki konsentrasi Pb yang melebihi baku mutu, masing-masing sebesar 0,031 mg/l dan 0,019 mg/l. Tingginya konsentrasi di perairan sungai dan perairan pantai diduga akibat aktivitas pertambangan timah inkonvensional yang masih berjalan. Konsentrasi Pb di perairan kolong tambang timah di Bangka tidak memenuhi baku mutu kelas I, II, dan II (PP No. 82 Tahun 2001) dengan konsentrasi 0,1-0,5 mg/l (Brahmana et al., 2004). Konsentrasi merkuri (Hg) berkisar antara <0,001-0,053 mg/l. Pada stasiun 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, dan 15 masih memenuhi baku mutu dengan konsentrasi <0,001 mg/l. Sementara pada stasiun 2, 3, 4, 7, dan 12 telah melebihi baku mutu kualitas air laut. Stasiun 12 berada di perairan sungai yang berdekatan dengan pelabuhan kapal. Konsentrasi seng (Zn) berkisar 0,003-0,010 mg/l. Konsentrasi Zn di semua lokasi pengamatan tergolong masih dibawah baku mutu yang ditetapkan. Konsentrasi logam besi (Fe) di stasiun pengamatan umumnya tidak memenuhi baku mutu Kelas I (sekitar 60%). Konsentrasi Fe berkisar antara 0,090-0,993 mg/l dengan konsentrasi tertinggi ditemukan di stasiun 13 (Sungai Manggar) dan terendah di stasiun 2 (lepas pantai). Tingginya konsentrasi Fe di perairan sungai dan pantai diduga adanya masukan limbah dari daratan dikarenakan meningkatnya erosi tanah. Berdasarkan hasil analisis korelasi, parameter yang memiliki korelasi yang nyata (<5%) adalah pH terhadap oksigen terlarut dan kecepatan arus (korelasi positif); oksigen terlarut dan nitrat (korelasi negatif); oksigen terlarut dan arah arus (korelasi positif). Sementara nitrit berkorelasi negatif dengan amoniak. Korelasi positif menunjukkan hubungan antar parameter berbanding lurus dan hubungan negatif menunjukkan sebaliknya. Tekstur sedimen di Sungai Manggar didominasi oleh jenis liat dan debu, di pantai dan lepas pantai didominasi oleh pasir. Nilai pH sedimen tergolong normal (tidak asam) dan tidak berbeda jauh dengan kondisi pH perairan. Hal ini mengindikasikasikan bahwa pengaruh kegiatan pertambangan timah inkonvensional di darat tidak mempengaruhi pH sedimen perairan baik sungai, pantai maupun ke lepas pantai. Konsentrasi Fe pada sedimen berkisar antara 18014.651 mg/kg. Konsentrasi Al berkisar antara 273-29.841 mg/kg dengan rata-rata sebesar 7.550 mg/kg. Konsentrasi Cu, Zn, Pb, Cd, dan As masing-masing berkisar antara 0-10,5 mg/kg; 0,49-47,0 mg/kg; 0,50-34,2 mg/kg; 0,001-0,065 mg/kg; dan 0,80-28,3 mg/kg. Konsentrasi logam berat tersebut umumnya tinggi pada stasiun pengamatan di Sungai Manggar. Konsentrasi logam Fe, Al, Cu, Zn, dan Pb tertinggi ditemukan pada stasiun 15 (hulu sungai). Kondisi ini diduga adanya konstribusi kegiatan di darat terutama pertambangan timah (TI). Berdasarkan The Canadian Council of Minester of the Environment, maka konsentrasi logam Pb sebagian telah melebihi baku mutu. Kondisi ini ditemukan pada stasiun 13 dan stasiun 15 (perairan Sungai Manggar). Sementara konsentrasi logam As, ditemukan melebihi baku pada 10 stasiun pengamatan yaitu di perairan sungai dan sebagian di perairan pantai dan lepas pantai. Hasil analisis komponen utama menghasilkan analisis eigen yang terdiri dari eigenvalue, persentase, dan persentase kumulatifnya. Eigenvalue atau akar ciri adalah nilai varian komponen utama (principal component, PC). Output untuk eigenvalue komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua
(PC2) masing-masing adalah 8,5183 dan 1,5106 yang mewakili 71% dan 12,6%. Kumulatif kedua komponen utama tersebut adalah 86,3%. Dengan demikian kedua variabel baru sudah dapat menjelaskan 86,3% dari total variabilitas 12 variabel (karakteristik fisik kimia sedimen). Berdasarkan hasil korelasi tersebut memperlihatkan bahwa pada sumbu PC1 (negatif) adanya korelasi yang cukup besar antara logam berat Cu, Zn, Pb, dan Al dengan substrat liat dengan konstribusi sebesar 11,7%, 9,3%, 9,8%, 6%, dan 7,1%. Sementara pada sumbu PC1 (positif), korelasi terjadi antara variabel pH, tekstur pasir, dan Se dengan konstribusi sebesar 35,6%, 47,1%, dan 35,6%. Berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan pada komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2) diperoleh 6 pengelompokan stasiun pengamatan yaitu kelompok I (13, 14, dan 15), II (7, 8, 9, dan 10), III (4, 6, dan 12), IV (1, 2, dan 11), V (5), dan VI (3). Karakteristik sedimen sangat berpengaruhi nyata terhadap konsentrasi logam berat dalam sedimen. Hasil analisis korelasi pearson memperlihatkan bahwa tekstur liat sangat berkorelasi nyata terhadap konsentrasi Fe, Al, Cu, Zn, dan Pb dengan P-value sebesar 0,000 (<0,01). Sementara korelasi yang sangat nyata antar logam berat sendiri yaitu Fe terhadap Al, Cu, Zn, dan Pb dengan Pvalue sebesar 0,000. Al juga berkorelasi sangat nyata terhadap Cu, Zn, dan Pb. Bentos yang teridentifikasi terdiri atas 16 species yang termasuk dalam marga Polychaeta, Crustacea, Gastropoda, dan Pelecypoda. Pada stasiun pengamatan sungai yang diduga tercemar kegiatan pertambangan timah inkonvensional di darat (stasiun 12, 13, 14, dan 15) ditemukan species Lumbriculus sp., Paranoies sp., Sigambra sp., Leptochelia sp., dan Solen sp. Pada stasiun pengamatan di perairan pantai teridentifikasi species Lumbriculus sp., Nephtys sp., Ophelina sp., Paralacydonia sp., Amphilisca sp., Pinnotheres sp., Terebra sp., Tellina sp., Donax sp., Chione sp. dan Macona sp. Sementara di lepas pantai ditemukan species Nephtys sp., Cirratullus sp., dan Tellina sp. Jumlah individu per stasiun pengamatan berkisar antara tidak ditemukan hingga 6 species dengan jumlah species terbanyak ditemukan di stasiun 4. Keanekaragaman jenis bentos tergolong rendah hingga sedang dengan indeks keanekaragaman sebesar 0-2,56. Keaneragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 4 (Perairan Pantai Burung Mandi). Kelimpahan bentos berkisar antara 0-702 ind/m2, kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun 3 (perairan lepas pantai). Berdasarkan analisis korelasi dan regresi tersebut, jenis tekstur yang berpengaruh terhadap kelimpahan bentos adalah jenis debu (fine sediment) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 44,2 % dan P-value sebesar 0,007 (<0,01). Sementara karakteristik kimia sedimen yang meliputi pH, Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Cd, Se, dan As tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan bentos. Kata kunci: tambang timah inkonvensional (TI), kualitas air, sedimen, logam dan bentos
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENDUGAAN PENCEMARAN PERAIRAN AKIBAT KEGIATAN TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) DAN KETERKAITANNYA TERHADAP BENTOS DI PERAIRAN MANGGAR, BELITUNG TIMUR
RADISHO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Etty Riani, M.S
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2006 yaitu pencemaran lingkungan dengan judul Pendugaan Pencemaran Perairan Akibat Kegiatan Tambang Inkonvensional (TI) dan Keterkaitannya terhadap Bentos di Perairan Manggar, Belitung Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.D.Djokosetiyanto, DEA dan Bapak Prof.Dr.Ir.Asikin Djamali selaku pembimbing, serta Ibu Dr.Ir.Etty Riani, M.S selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.S selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) beserta staf yang telah banyak memberikan informasi dan pelayanan terbaik. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Imam Soeseno (Direktur Eksekutif) dan Ibu Ir. Nunik A Heranita, MM (Sekretaris Eksekutif) PT EOS Consultants Bogor atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan selama studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua dan istri tercinta (Tati Rahmawati, SP) serta seluruh keluarga (keluarga besar Bapak Drs. Sri Raharjo (almarhum) dan keluarga besar Bapak Abdul Hamid Arief) atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja di PT EOS Consultants Bogor, rekan-rekan tim peneliti P2O-LIPI, dan rekan-rekan mahasiswa PS-PSL IPB angkatan tahun 2005. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2009
Radisho
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 10 Februari 1973. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Rabil dan Ibu Sarwina (almarhumah). Penulis menyelesaikan Pendidikan SD hingga SMA di Cirebon. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri Palimanan Cirebon dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan memilih Program Studi Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Gelar sarjana diraih pada tahun 1997. Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana IPB. Program Studi yang diambil adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Bidang pekerjaan yang pernah ditekuni penulis setelah lulus sarjana perikanan diawali sebagai supervisor pada PT Central Pertiwi Bahari, di Lampung selama satu tahun (1998-1999). Sejak tahun 2001 sampai saat ini penulis bergabung di PT EOS Consultants di Bogor.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
iv
DAFTAR TABEL.......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran.....................................................................
4
1.3. Perumusan Masalah .....................................................................
6
1.4. Tujuan Penelitian .........................................................................
7
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
8
2.1. Pertambangan Timah Belitung Timur.......................................
8
2.1.1. Pertambangan Timah dan Dampaknya .........................
8
2.1.2. Sejarah Timah Bangka Belitung ...................................
9
II.
2.1.3. Tambang Inkonvensional, Potensi dan Permasalahannya 11 2.2. Karakteristik Kualitas Perairan .................................................
14
2.2.1. Parameter Fisika............................................................
15
2.2.2. Parameter Kimia............................................................
15
2.3. Pencemaran Perairan.................................................................
21
2.4. Sedimen Dasar Perairan ............................................................
23
2.4.1. Pengertian Sedimen dan Klasifikasinya........................
23
2.4.2. Sumber dan Karakteristik Fisika Kimia Sedimen.........
24
2.4.3. Kualitas dan Sebaran Sedimen......................................
28
2.5. Bentos........................................................................................
35
2.5.1. Pengertian dan Klasifikasi Bentos ................................
35
2.5.2. Zoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan.............
37
i
III. METODE PENELITIAN...................................................................
40
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................
40
3.2. Bahan dan Alat Penelitian.........................................................
40
3.3. Rancangan Penelitian ................................................................
41
3.3.1. Komponen Fisika dan Kimia ........................................
41
3.3.2. Komponen Biologi ........................................................
48
3.3.3. Analisis Keterkaitan antar Komponen Fisik Kimia dan Biologi...........................................................................
50
3.3.4. Sebaran Spasial Karakteristik Fisika Kimia Air dan Sedimen.........................................................................
51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
54
4.1. Kondisi Hidrooseanografi .........................................................
54
4.1.1. Batimetri Perairan .........................................................
54
4.1.2. Pasang Surut..................................................................
54
4.1.3. Arah dan Kecepatan Arus .............................................
56
4.2. Karakteristik Kualitas Air .........................................................
57
4.2.1. Karakteristik Fisik Perairan...........................................
57
4.2.2. Karakteristik Kimia Perairan.........................................
58
4.2.3. Analisis Hubungan Parameter Fisik Kimia Perairan ....
65
4.3. Karakteristik Sedimen Dasar Perairan ......................................
66
4.3.1. Karakteristik Fisik Sedimen..........................................
66
4.3.2. Karakteristik Kimia Sedimen........................................
69
4.3.3. Sebaran Spasial Karakteristik Sedimen ........................
73
4.3.4. Karakteristik Tekstur Sedimen terhadap Kandungan Logam Berat..................................................................
76
4.4. Struktur Komunitas Bentos .......................................................
77
4.4.1. Hubungan Karakteristik Sedimen terhadap Keberadaan Bentos............................................................................
ii
80
V.
KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
82
5.1. Kesimpulan ...............................................................................
82
5.2. Saran .......................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
84
LAMPIRAN................................................................................................
89
iii
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1
Kerangka pemikiran penelitian .............................................
5
2
Bagan alir sistem penjualan timah ........................................
14
3.
Beberapa jenis bentos di pantai pasir datar (Nybakken, 2005)..................................................................
39
4.
Peta lokasi pengamatan dan pengambilan contoh.................
44
5.
Segitiga tekstur sedimen (Arsyad, 2006) . ............................
48
6.
Kondisi batimetri di lokasi penelitian ...................................
55
7.
Kondisi pasut pada saat penelitian ........................................
56
8.
Konsentrasi Cu di lokasi penelitian ......................................
61
9.
Konsentrasi Pb di lokasi penelitian .......................................
62
10.
Konsentrasi Hg di lokasi penelitian ......................................
63
11.
Konsentrasi Zn di lokasi penelitian.......................................
64
12.
Konsentrasi Fe di lokasi penelitian .......................................
64
13.
Tekstur sedimen di lokasi penelitian.....................................
67
14.
Hasil analisis segitiga tekstur sedimen..................................
68
15.
Sebaran tekstur sedimen di lokasi penelitian ........................
69
16.
Konsentrasi Cu, Zn, Pb, dan As pada sedimen .....................
72
17.
Grafik analisis komponen utama karakteristik sedimen .......
74
18.
Dendogram klasifikasi hirarki stasiun pengamatan ..............
75
19.
Struktur komunitas bentos di lokasi penelitian .....................
78
20.
Sebaran kelimpahan bentos...................................................
79
iv
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1
Dampak keberadaan TI ......................................................
13
2.
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan....................................................
17
3.
Klasifikasi dan ukuran sedimen .........................................
25
4.
Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan skala Wentworth 25
5.
Kategori ukuran partikel sedimen menurut USDA............
26
6.
Kategori ukuran partikel sedimen menurut ISSS...............
26
7.
Hsil penelitian logam berat pada sedimen .........................
32
8.
Pedoman mutu sedimen NOAA dan FDEP .......................
33
9.
Pedoman mutu sedimen berdasarkan CCME.....................
33
10.
Kriteria tipe pasut...............................................................
41
11.
Lokasi pengamatan dan pengambilan contoh kualitas air
43
12.
Parameter dan metode pengukuran kualitas air .................
46
13.
Kategori nilai indeks keragaman........................................
49
14.
Kategori nilai indeks keseragaman ....................................
50
15.
Kondisi parameter fisik perairan di lokasi penelitian ........
57
16.
Karakteristik kimia perairan di lokasi penelitian ...............
58
17.
Karakteristik logam berat di lokasi penelitian ...................
60
18.
Analisis korelasi antar parameter fisik kimia perairan.......
65
19.
Tekstur sedimen di lokasi penelitian..................................
67
20.
Konsentrasi pH dan beberapa unsur logam berat...............
70
21.
Konsentrasi logam Pb, Cd, Cu, dan Zn di lokasi penelitian dan beberapa perairan di Indonesia ...................
22.
71
Pengelompokan stasiun pengamatan dan ciri karakteristik sedimen ..............................................................................
75
23.
Hasil analisis korelasi logam berat dan tekstur ..................
76
24.
Hasil analisis regresi parameter logam berat terhadap tekstur
77
25.
Hasil analisis regresi parameter fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos..............................................................
v
80
DAFTAR LAMPIRAN No. 1
Teks
Halaman
Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004................
2.
89
Sebaran logam berat perairan (Fe, Cu, Zn, Pb, dan Hg) di lokasi penelitian .............................................................
91
3.
Hasil analisis fisik kimia sedimen di lokasi penelitian ......
94
4.
Hasil analisis korelasi dan regresi tekstur terhadap logam berat sedimen ..............................................................................
96
5.
Hasil identifikasi bentos di lokasi penelitian .....................
97
6.
Hasil analisis regresi fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos di lokasi penelitian..................................................
7.
8.
99
Hasil analisis regresi fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan jenis bentos (Nephtys sp., Ophellium sp., dan Tellina sp.)
109
Dokumentasi sekitar lokasi penelitian ..............................
123
vi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi baru sesuai Undang - Undang No. 27 tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Wilayah provinsi ini meliputi Pulau Bangka, Belitung dan 254 pulau kecil lainnya. Salah satu kabupaten termuda di provinsi ini adalah Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung Timur ditetapkan sebagai kabupaten baru sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 2003. Kabupaten ini merupakan pemekaran Kabupaten Belitung. Sejak ditetapkannya sebagai provinsi baru, maka Bangka Belitung secara otonom berhak mengelola potensi sumber daya alam yang dimiliki. Potensi sumber daya alam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meliputi sumber daya mineral (timah), pertanian lada, perikanan laut, wisata alam, dan budaya. Potensi timah tersebar di seluruh Pulau Bangka, Belitung dan pulaupulau kecil lainnya. Selain itu, potensi timah juga tersebar di dasar laut yang menghubungkan pulau-pulau tersebut. Sebagaimana potensi sumber daya alam di Bangka Belitung pada umumnya, pertambangan timah merupakan salah satu sumber daya andalan yang berkonstribusi bagi PAD (pendapatan asli daerah). Namun sejak ditutupnya PT Timah pada tahun 1991 dan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, Kabupaten Belitung Timur telah memasukai era baru dengan tidak lagi menjadikan timah sebagai primadona perekonomian daerah. Potensi sumber daya alam lainnya yaitu pertanian dan kehutanan, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan, pariwisata, dan industri. Namun demikian kegiatan pertambangan timah di Kabupaten Belitung Timur masih tetap dilakukan oleh masyarakat sekitar terutama di sekitar lokasi bekas PT Timah dalam skala kecil. Sampai saat ini pertambangan timah dan bahan galian lainnya masih menjadi salah satu faktor penggerak pembangunan di Kabupaten Belitung Timur. Hal ini dikarenakan pertambangan timah dan bahan galian lainnya bersifat cepat mendapatkan hasil (quick yield).
2 Aktivitas pertambangan timah inkonvensional mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 1998. Kegiatan ini semakin meningkat sejak dikeluarkannya SK Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999, dan timah dikategorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis sehingga tidak ada monopoli oleh BUMN dan dapat dieksport bebas oleh siapapun. Areal pertambangan timah inkonvensional di Kabupaten Belitung Timur tersebar di semua kecamatan yaitu Kecamatan Manggar, Dendang, Gantung, dan Kelapa Kampit. Areal pertambangan TI terluas terdapat di Kecamatan Gantung (52,2%) disusul Kecamatan Manggar (31,56%) (Belitung Timur dalam Angka, 2004).
Kegiatan TI di Belitung dilakukan di
sepanjang jalur antara Tanjung Pandan, Bidang, Kelapa Kampit, dan Manggar (sepanjang 91 km) dan antara Manggar, Gantung, Badau, dan Tanjung Pandan (sekitar 105 km). Kegiatan TI secara ekonomi telah menciptakan keuntungan bagi pemerintahan daerah
(PAD) dan penyerapan tenaga kerja.
Namun kegiatan
penambangan telah menimbulkan dampak negatif bagi kerusakan lingkungan antara lain berupa penurunan kualitas lahan dan penurunan kualitas sumberdaya air.
Kerusakan lingkungan diakibatkan karena penambangan timah yang
dilakukan masyarakat kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Lahanlahan bekas tambang yang sudah menurun deposit timahnya biasanya dibiarkan tanpa adanya kegiatan reklamasi. Selain itu, pada lokasi penambangan timah yang dilakukan secara terbuka (open mining) menimbulkan dampak penurunan kualitas lingkungan yang lebih serius.
Dampak yang ditmbulkan berupa pelongsoran tanah, ketidakstabilan
lereng, bahaya pencemaran lingkungan, rendahnya air tanah, penggundulan vegetasi penutup, perusakan dan gangguan pada habitat, perubahan kondisi masyarakat sekitar (pola hidup yang meliputi sosial dan budaya), dan perubahan tekstur tanah menjadi pasir (Badri, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Brahmana et al. (2004), karakteristik kualitas air kolong bekas tambang timah di Bangka bergantung pada umurnya. Kolong yang masih muda (<5 tahun) memiliki karakteristik pH, DHL, kadar zat terlarut, dan kadar logam yang tinggi. Pada kolong yang sudah tergolong tua, kualitas
3 airnya lebih baik dikarenakan adanya pelarutan logam oleh asam dan pergeseran secara bertahap.
Karakteristik sumber air kolong umumnya tidak memenuhi
persyaratan sebagai sumber baku air minum untuk parameter pH, residu terlarut, klorida, dan logam-logam berat lainnya yaitu besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), tembaga (Cu) dan timbal (Pb). Mineral bijih utama timah di Bangka Belitung didominasi jenis casiterit (SnO2) dengan kandungan konsentrat 99,9 % berupa Sn (timah putih) dan sisanya berupa unsur-unsur pengotor yang terdiri atas Pb, Co, As, Sb, dan Bi (PT. Koba Tin dalam Herman, 2005). Namun demikian, keberadaan Sn di kolong-kolong bekas area pertambangan timah tidak terdeteksi konsentrasi Sn baik pada kolong muda maupun tua (Brahmana et al., 2004).
Penelitian lain menjelaskan
konsentrasi Sn di badan air Sungai Manggar terdeteksi hanya 0,03 mg/L dimana kondisi ini masih memenuhi baku mutu lingkungan sesuai Peraturan Menteri No. 04 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan Atau Kegiatan Pertambangan Bijih Timah (PPLH, 2003). Berdasarkan hasil penelitian LIPI di Kabupaten Bangka, karakteristik kolong bekas tambang timah memiliki kandungan logam berat yang tinggi. Air kolong bekas penambangan tidak direkomendasi untuk budidaya ikan air tawar maupun sumber air minum tanpa pengelolaan terlebih dahulu.
Hal ini
dikarenakan logam berat dalam air kolong akan cepat terakumulasi dalam tubuh ikan dan berdampak pada kesehatan manusia. Kadar Pb dalam air rata-rata diatas baku mutu untuk budidaya ikan (Henny, 2007). Karakteristik kualitas air sungai di sekitar lokasi kegiatan TI di Belitung Timur belum banyak diinventarisasi sehingga potensi resiko ekologi juga belum banyak diketahui, baik pada lokasi tambang yang masih berjalan maupun pada sekitar bekas tambang.
Dampak yang ditimbulkan kegiatan tambang secara
langsung dan tidak langsung berpengaruh pada keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya lainnya. Sebagai pembanding, karakteristik kualitas air sungai dan sedimen di lokasi lain (Perairan Telaga Tujuh Karimun, Kepulauan Riau) dicirikan dengan kandungan pH air yang rendah (4-5), konsentrasi Pb dan Zn yang relatif tinggi pada sedimen masing-masing berkisar 83,33-98,33 ppm dan 66,80-149,33 ppm serta konsentrasi Cu yang relatif rendah (Amin, 2002).
4 Kandungan pH yang rendah dan beberapa logam berat (Pb dan Zn) yang relatif tinggi di perairan sekitar lokasi tambang akan diabsorsi oleh biota perairan (plankton dan bentos) dan pada akhirnya terakumulasi pada ikan. Logam-logam seperti Ag, Hg, Cu, Cd dan Pb yang merupakan unsur – unsur esensial bagi kehidupan organisme.
Dalam jumlah berlebih bersifat racun dan biasanya
menghambat kerja enzim yang bertanggung jawab pada aktivitas katalistik (Valle dan Wacker, 1970 dalam Sibarani et al., 2006). Berdasarkan hasil penelitian P2O LIPI (2005) di perairan Kabupaten Belitung, dilaporkan bahwa kegiatan pertambangan teridentifikasi sebagai penyebab penurunan kualitas perairan. Penambangan rakyat di daratan Pulau Belitung diduga telah mengakibatkan sedimentasi yang menyebabkan perairan menjadi keruh. Selain itu, penambangan timah yang berpeluang meningkatkan kekeruhan perlu diwaspadai.
Hal ini dikarenakan akan dapat mengkibatkan
menurunnya kepadatan plankton. Pemerintah Kabupaten Belitung mulai menyadari kegiatan penambangan ini dinilai telah menimbulkan dampak negatif terutama terhadap penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu Pemkab Belitung Timur telah mengambil kebijakan untuk membatasi perluasan area tambang dan lebih memfokuskan pada kegiatan pengolahan hasil tambang dan pengembangan komoditas sumberdaya alam lainnya seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan serta pariwisata. 1.2. Kerangka Pemikiran Sebagaimana potensi sumberdaya alam di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada umumnya, sumberdaya alam Kabupaten Belitung Timur juga masih bertumpuh pada timah dan lada. Sejak menurunnya harga lada di pasaran, timah merupakan primadona di Kabupaten Belitung Timur. Timah yang merupakan sumberdaya tak terbarukan (unrenewable) menghadapi suatu permasalahan pemanfaatan sumber daya alam. Eksploitasi timah telah dilakukan berlebihan tanpa adanya pengelolaan lingkungan yang jelas. Ribuan tambang timah liar/inkonvensional (TI) oleh masyarakat lokal masih beroperasi di beberapa lokasi. Kegiatan penambangan TI
5 tidak terkendali dan tanpa diikuti dengan tindakan reklamasi yang jelas sehingga terjadi kerusakan lingkungan (tanah, air dan hutan). Kegiatan TI di darat berdampak negatif terhadap penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan TI di darat dilakukan di kebun dan pekarangan masyarakat yang sebagian besar tidak dilakukan kegiatan reklamasi (penimbunan tanah) sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Selain berkurangnya vegetasi dan kerusakan tanah, kegiatan TI diduga menimbulkan pencemaran di sungai akibat penggunaan air untuk pencucian bijih timah. Penambangan TI di darat akan menimbulkan sedimentasi di pantai dan secara tidak langsung mengganggu siklus hidup biota perairan. Dampak lingkungan akibat penambangan di darat berpotensi menurunkan kualitas lingkungan.
Bila kondisi ini terus berlangsung tanpa adanya
pengendalian dan pengelolaan yang tepat maka perkembangan potensi perikanan dan
pariwisata bahari sebagai salah satu unggulan dan sumber pendapatan
ekonomi daerah akan tersendat dan terancam. Oleh karena itu diperlukan strategi pengelolaan sumber daya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian disampaikan pada Gambar 1.
1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Kegiatan penambangan di darat menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Penambangan timah di darat akan meningkatkan sedimentasi di pantai.
Penelitian dilakukan terhadap pengaruh kegiatan TI terhadap karakteristik kualitas perairan di sekitarnya, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung.
Pemanfaatan sumber daya alam tidak bertumpu pada salah satu potensi saja (mineral/timah) dan berorientasi jangka panjang. Potensi sumber daya alam lainnya (perikanan dan wisata) yang juga berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi perlu dikembangkan dengan tetap memperhatikan faktor sosial dan lingkungan.
6
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
7 Berkaitan hal tersebut beberapa pertanyaan penelitian antara lain: 1. Seberapa besar dampak penambangan timah inkonvensional (TI) terhadap penurunan kualitas perairan sungai (kualitas badan air dan sedimen) dan pola sebarannya ke pantai dan perairan laut? 2. Bagaimana pengaruh penurunan kualitas perairan terhadap keberadaan bentos?
1.4.Tujuan Penelitian Beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Mengetahui karakteristik kualitas perairan (badan air dan sedimen) di sekitar lokasi penambangan timah inkonvensional. 2. Mengetahui struktur komunitas bentos di perairan. 3. Menganalisis sebaran spasial karakteristik fisik kimia air dan sedimen. 4. Menganalisis kualitas fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah sebagai berikut: 1. Sebagai informasi dasar bagi pemerintah daerah tentang kondisi kualitas lingkungan perairan akibat kegiatan penambangan inkonvensional. 2. Memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan pemanfaatan potensi sumber daya alam yang memperhatikan aspek ekologi berkelanjutan. 3. Sebagai bahan referensi dan informasi dalam penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertambangan Timah Belitung Timur 2.1.1. Pertambangan Timah dan Dampaknya Mineral timah yang mempunyai nilai ekonomis adalah cassiterite yang lebih dikenal sebagai tin ore (biji timah) atau tinstone. Mineral timah (SnO2) mengandung 21,4% oksigen dan 78,6% timah. Timah ditemukan di pulau-pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun Kundur yaitu pada jalur sabuk timah Asia Tenggara (The South East Asia Tin Belt). Selain itu, timah ditemukan di Bangkinang, daratan Sumatera (Sujitno, 1996). Sukandarrumudi (2007) menjelaskan di Pulau Bangka dan Belitung, batuan tertua terdiri dari batuan endapan malioh yang berumur Permokarbon hingga Trias.
Batuan tersebut diterobos oleh granit biotit yang diperkirakan
sebagai penyebab terbentuknya endapan timah yang ada. Endapan timah primer terdapat pada batuan granit dan daerah sentuhan dan pada batuan endapan malih dengan jenis pertama terutama di Tikus, bagian barat Pulau Belitung. Endapan timah di Kelapakampit mempunyai jenis yang khas karena terdapat sebagai urat pada bidang perlapisan dan terhampar mengikuti bidang jurus perlapisan. Kegiatan penambangan timah menimbulkan perubahan morfologi lahan (Atmo dan Widodo, 1992 dalam Badri, 2004). Ciri-ciri tanah yang terganggu yaitu horizon tanah sudah tidak teratur, lapisan hitam dan lapisan-lapisan lainnya sudah terbalik. Selain unsur Sn, timah putih juga mengandung Pb yang biasanya banyak terdapat di timah hitam (Suwardi dan Hidayat, 1998 dalam Badri, 2004). Logam timah terakumulasi secara alami dibawah permukaan tanah. Timah dan komponennya terakumulasi dalam tanah dan sedimen karena kemampuan terurainya yang rendah dan relatif babas dari degradasi mikroba. Beberapa hasil penelitian di Wales, Inggris mengindikasikan bahwa lapisan permukaan tanah (0-15cm) di lahan tambang memiliki kandungan Pb berkisar antara 15-106 µm/g (Munggoro, et al.,1999 dalam Badri, 2004). Hasil penelitian Zimdahl dan Skogerbae dalam Alloway (1992) menunjukan bahwa selain bahan organik, pH, dan KTK tanah merupakan faktor panting yang berpengaruh terhadap imobilisasi Pb. Hanya sedikit
9 Pb dalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman, terutama jenis rumput - rumputan tertentu (Badri, 2004). Penambangan timah akan menghasilkan limbah berupa bahan material (pasir) yang disebut tailing. Tailing menimbulkan dampak negatif pada penurunan kualitas lingkungan, yaitu rusaknya vegetasi hutan, rusaknya sistem tata air, meningkatnya laju erosi permukaan, menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan. Sifat tailing yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman adalah konsentrasi logam berat dan garam tinggi, kurangnya unsur hara penting dan kurangnya mikroorganisma, sifat dan struktur tanah yang membatasi aerasi dan infiltrasi serta tingginya daya pemantulan sinar (PT.Timah,1990 dalam Badri, 2004). 2.1.2. Sejarah Timah Bangka Belitung Penemuan sumber mineral timah di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan tidak ada catatan yang pasti kapan komoditas timah ini ditemukan di Bangka Belitung. Namun sejarah panjang, sebelum pemerintahan Kolonial Belanda melalui Kesultanan Palembang telah memonopoli perdagangan timah sejak awal abad ke-18 (Sujitno, 1996). Herman (2005) menjelaskan sumberdaya mineral timah Bangka Belitung sudah dikenal dan dieksploitasi sejak Kesultanan Palembang (1850) dan diteruskan jaman penjajahan Belanda hingga tahun 1953. Sumberdaya timah tersebar di daratan dan perairan Pulau Bangka, Belitung, Singkep, Karimun dan Kundur. Pertama kali, timah di Bangka dikelola oleh badan usaha milik Kolonial Belanda bernama Banka Tin Winning Bedrijf (BTW), sementara di Pulau Belitung dan Singkep diusahakan oleh perusahaan swasta Belanda yaitu Gemeenschappelijke Mijnbow Maatschappij Biliton (GMB) dan NV. Singkep Tin Explitatie Maatschappij (NV.SITEM). Memasuki masa kemerdekaan RI, pada tahun 1953 – 1958 ketiga perusahaan tersebut dinasionalisasi menjadi tiga
perusahaan
negara
terpisah.
Pada tahun 1961, dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambangtambang
Timah
Negara
(BPU
PN
Tambang
mengkoordinasi ketiga perusahaan tersebut.
Timah)
yang
bertugas
Kemudian sejak tahun 1968,
keempat perusahaan tersebut digabungkan menjadi satu perusahaan bernama Perusahan Negara (PN) Tambang Timah (PT Timah, 2002 dalam Herman, 2005).
10 Memasuki tahun 1976, berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1969, status PN Tambang Timah dan Proyek Peleburan Timah Mentok diubah menjadi PT. Tambang Timah (Persero). Krisis industri timah dunia akibat hancurnya The International Tin Council (ITC), memicu perusahaan melaksanakan perubahan mendasar (restrukturisasi) untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan.
Restrukturisasi dilakukan dalam
kurun waktu 1991-1995 dan berhasil berhasil memulihkan dan meningkatkan daya saing perusahaan (PT Timah, 2002 dalam Herman, 2005). Pada tahun 1998, PT. Timah Tbk melakukan diversifikasi usaha dan melakukan reorganisasi kelompok usaha dengan cara pemisahan operasi perusahaan menjadi tiga anak perusahaan dengan PT Timah Tbk sebagai induk perusahaan (holding company). PT. Timah Tbk dikenal sebagai perusahaan penghasil logam timah terbesar di dunia dan sedang dalam proses pengembangan usaha di luar penambangan timah dengan tetap berpijak pada kompetensi yang dimiliki (PT Timah, 2002 dalam Herman, 2005). Selain PT. Timah Tbk, perusahaan lain yang beroperasi di wilayah Pulau Bangka adalah PT. Koba Tin, sebuah Perusahaan Modal Asing (PMA) yang berdiri pada tahun 1971. Perusahan ini memiliki wilayah pertambangan seluas 41.680 Ha yang termasuk kedalam wilayah Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan. Perjanjian kontrak karya pertama PT. Koba Tin yaitu tahun 1973 – 2003 (tiga puluh tahun) dan diperpanjang selama sepuluh tahun dari tahun 2003 – 2013. Selain kedua perusahaan besar diatas, usaha pertambangan dilakukan juga oleh Perusahaan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Daerah, smelter-smelter baru berukuran kecil, kolektor/perusahaan imbalan jasa dan pengusaha tambang inkonvensional (PT Koba Tin, 2004 dalam Herman, 2005).
11 2.1.3. Tambang Inkonvensional, Potensi dan Permasalahannya Istilah tambang inkonvensional (TI) secara sederhana diartikan sebagai kegiatan penambangan timah yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana dan modal usaha berkisar antara Rp 10 – 15 juta. Secara legal formal, TI sebenarnya kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena pada umumnya tidak memiliki izin penambangan (Anonim, 2001). Secara aspek hukum kegiatan TI merupakan pelanggaran terhadap Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 50 ayat 3); Perda Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum (Pasal 8 ayat 2) dan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 443/MPP/KEP/5/2002 tentang pelarangan ekspor bijih timah (Herman, 2005). Sebelum era reformasi (1997), munculnya kegiatan TI dikarenakan PT Timah melakukan kegiatan pendulangan di daerah-daerah yang tidak ekonomis dengan melibatkan masyarakat sekitar dan hasilnya dijual ke PT. Timah Tbk. Pada tahun 2001, kegiatan tersebut dilakukan di areal kuasa penambangan (KP) PT Timah Tbk, dan setelah cadangan timah habis dipindahkan ke lokasi yang telah ditetapkan PT. Timah Tbk. Kegiatan TI hanya melakukan kegiatan penambangan timah (PT Timah, 2002 dalam Herman, 2005). Memasuki era reformasi, kegiatan TI berkembang sangat pesat dari pelaku penambangan menjadi pengolah dan eksportir bijih timah bahkan munculnya pabrik-pabrik peleburan skala kecil dan eksport logam timah tanpa merk.
Kegiatan TI tersebut menjadi semakin marak sejak dikeluarkannya
SK Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 bahwa Timah diketegorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat dieskpor secara bebas oleh siapapun (BIP, 2006). Lokasi penambangan juga tidak terbatas pada areal kuasa pertambangan (KP) PT Timah Tbk, namun pelaku TI mencari alternatif lokasi baru di luar areal KP PT Timah Tbk. Pengolahan bahan timah dan eksport timah tanpa merek oleh
12 pelaku TI menyebabkan terjadinya pasar gelap dan menyebabkan penurunan harga timah di pasar internasional (Herman, 2005). Berdasarkan data tahun 2001, bila diasumsikan terdapat 6000 unit TI dengan rata-rata produksi 10 ton pasir timah, maka jumlah produksi bijih timah yang dihasilkan mencapai 60.000 ton per tahun. Jumlah ini lebih besar dari produksi bijih timah PT. Timah Tbk dan PT. Koba Tin yang hanya mencapai 45.000 ton per tahun. Sementara pada tahun 2006, total eksport logam timah Indonesia diperkirakan mencapai 123.500 ton. Bank Indonesia Palembang (BIP) Tahun 2006 melaporkan bahwa konstribusi PT. Timah Tbk sebesar 43.000 ton dan PT. Koba Tin sebesar 20.500 ton dan sisanya berasal dari smelter swasta illegal sebesar 60.000 ton atau hampir sepertiga produksi timah dunia. Kegiatan TI di Belitung Timur awalnya juga dilakukan di bekas areal PT Timah Tbk yang sudah ditinggalkan (Anonim, 2001). Kemudian berkembang ke lokasi-lokasi lain dan bahkan perkebunan lada yang dinilai kurang ekonomis dikonversi menjadi areal pertambangan. Lokasi TI tersebar pada jalur antara Tanjung Pandan, Bidang, Kelapa Kampit dan Manggar (sepanjang 91 km) dan antara Manggar, Gantung, Badau dan Tanjung Pandan (sekitar 105 km). Kegiatan TI berdampak positif bagi perkembangan perekonomian Bangka Belitung terutama sektor pertambangan dan penyerapan tenaga kerja. Namun menimbulkan permasalahan lain (dampak turunan) yang lebih besar antara lain merugikan ekonomi sektor lain terutama pertanian, kerusakan lingkungan dan sosial (BIP, 2006). Dampak keberadaan TI disampaikan pada Tabel 1. Dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan TI (Widyastuti, 2007) antara lain: •
Lubang bekas galian yang tidak direklamasi membentuk cekungan-cekungan (kolong tambang) dan terisi air pada saat hujan sehingga daerah tersebut menjadi tandus dan gersang.
•
Terjadinya pendangkalan sungai di sekitar lokasi penambangan. Kegiatan tambang menggunakan air sungai untuk melakukan penyemprotan untuk pelepasan tanah dari pasir timah.
•
Rusak dan hilangnya vegetasi diakibatkan penebangan dan asap mesin eksavator.
13 •
Penurunan kualitas air sungai akibat pembuangan tailing (lumpur) hasil pemisahan bijih timah.
•
Rusaknya daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan produksi dan bahkan hutan lindung. Tabel 1 Dampak keberadaan TI No. 1.
Sektor Pertambangan
Dampak Meningkatkan produksi timah (Indonesia menguasai 40% produksi timah dunia Memunculkan negara eksportir timah baru seperti Malaysia, Thailand dan Singapura (meskipun bukan penghasil timah) yang mendapat timah dari Indonesia. Pasokan timah dunia melimpah Harga timah dunia menurun 2. Pertanian Penyusutan lahan perkebunan lada seluas 50.000 ha (tahun 2000 hingga 2004) menjadi lahan pertambangan timah Penurunan produktivitas lada dari 2 ton menjadi 1 ton per hektar. 3. Ketenagakerjaan Peningkatan penyerapan tenaga kerja Mengurangi pengangguran secara signifikan 4. Lingkungan Menimbulkan kerusakan lingkungan (sumberdaya air dan hutan) 5. Pendidikan Peningkatan angka putus sekolah sekitar 16.000 (Juni 2005) karena bekerja di penambangan timah 6. Pendapatan daerah Peningkatan pendapatan daerah dari royalti timah Sumber: Laporan Perekonomian dan Perbankan Kepulauan Bangka Belitung, 2006
Sistem penambangan TI Menurut Widyastuti (2007) sistem penambangan TI dilakukan secara berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya (bergantung pada cadangan timah yang tersedia). Besarnya cadangan timah di suatu tempat belum dapat diketahui sebelumnya secara pasti. Modal yang digunakan bervariasi tergantung pada luas area penambangan, kedalaman, dan jarak dengan lokasi sumber air (sungai). Semakin luas area penambangan, maka alat-alat yang digunakan juga semakin banyak. Bahan bakar untuk mesin-mesin penambangan berbahan bakar solar. Biaya penggunaan bahan bakar kegiatan TI di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka rata-rata berkisar
14 Rp 100.000 – Rp 200.000 dengan produktivitas perolehan timah berkisar 15 – 50 kg per hari (Widyastuti, 2007). Sistem penjualan Timah Sistem penjualan timah yang dilakukan oleh pemilik TI yaitu dijual secara langsung kepada tengkulak kecil (kolektor). Kolektor biasanya berbentuk badan hukum CV akan menetapkan harga timah sesuai kualitas timah yang diperoleh dan berat hasil penimbangan. Kemudian, kolektor akan menjual hasil timah yang telah dikeringkan kepada smelter yaitu usaha industri logam timah. Industri logam timah akan melakukan pengolahan timah lanjutan dengan cara peleburan bijih timah hingga pembentukan logam timah yang berbentuk batangan. Smelter akan menjual hasil pengolahan kepada mitra usaha seperti PT. Timah Tbk. Rendahnya harga jual pasar domestik menyebabkan banyaknya penyelundupan timah ke luar negeri dengan harga jual yang relatif tinggi (Widyastuti, 2007). Bagan alir sistem penjualan timah dijelaskan pada Gambar 2.
Pemilik TI
Kolektor
Smelter
PT Timah Tbk
Pasar Luar Negeri = Jalur resmi = Jalur tidak resmi
Gambar 2 Bagan alir sistem penjualan timah
2.2.
Karakteristik Kualitas Perairan Kualitas perairan merupakan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen lain dalam air. Kualitas perairan terdiri atas parameter kimia, fisika, dan parameter biologi (Effendi, 2003). Parameter fisika meliputi antara lain suhu, kekeruhan, padatan terlarut, padatan tersuspensi. Parameter kimia meliputi antara lain pH, oksigen terlarut, BOD, COD, unsur-unsur logam. Sementara parameter biologi meliputi antara lain plankton, bentos, dan bakteri.
15 2.2.1. Parameter Fisika a. Suhu Suhu merupakan parameter fisika yang penting di perairan.
Bersama
dengan salinitas, dapat mengidentifikasi massa air tertentu. Sedangkan bersama tekanan, suhu mampu menentukan densitas air laut (Romimohtarto, 1984). Kenaikan suhu mempercepat reaksi-reaksi kimiawi; menurut hukum van't Hoff kenaikan suhu 10°C menjadi dua kali lipat kecepatan reaksi, walaupun hukum ini tidak selalu berlaku. Proses metabolisme akan menaik sampai puncaknya dengan kenaikan suhu tetapi kemudian menurun lagi. Setiap perubahan suhu cenderung untuk mempengaruhi banyak proses kimiawi yang terjadi secara bersamaan pada jaringan tanaman dan binatang, karenanya juga mempengaruhi biota secara keseluruhan. b. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Timbulnya kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003). c. Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid) Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada saringan millipore (diameter pori 0,45 μm) yang terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Nilai TSS bergantung pada kikisan tanah atau erosi tanah yang dapat diendapkan di daratan dan terbawa ke perairan laut. 2.2.2. Parameter Kimia a. Salinitas Salinitas merupakan konsentrasi dari total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988).
Nilai salinitas ini menggambarkan padatan total di dalam air
setelah semua karbonat di konversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi.
16 b. Nilai pH Nilai pH menggambarkan konsentrasi ion hidrogen. Nilai pH berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup biota perairan dan dapat mempengaruhi kecepatan dan bentuk reaksi kimia serta interaksi biologis air. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan nilai pH dan hidup optimal pada pH sekitar 7 - 8.5. Perubahan nilai pH secara mendadak pada kisaran tertentu dapat menyebabkan kematian biota perairan (Effendi, 2003). Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Pada pH rendah, toksisitas logam mengalami peningkatan (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Demikian juga senyawa amoniak mengalami mudah terionisasi pada kondisi pH rendah dan tidak toksik. Namun pada pH tinggi (kondisi alkalis), amoniak umumnya tidak terionisasi dan bersifat toksik. c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan jumlah gas oksigen yang ditemukan terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan keberadaan limbah yang masuk ke badan air. Distribusi oksigen terlarut sangatlah penting bagi banyak organisme akuatik, selain itu oksigen terlarut juga mempengaruhi kelarutan dan keberadaan unsur-unsur nutrien (Wetzel, 2001). Sumber oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari proses difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan produk dari aktivitas fotosintesa oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Sebaliknya berkurangnya kadar oksigen di perairan sebagai akibat dari terpakainya oksigen untuk respirasi biota akuatik dan juga terpakainya oksigen oleh mikroba dalam proses dekomposisi bahan organik secara aerobik (Effendi, 2003). Rendahnya kadar oksigen terlarut dikaitkan dengan pemakaian oksigen oleh mikroba dalam proses dekomposisi yang cenderung melebihi pasokan oksigen oleh aktivitas fotosintesa dan difusi langsung dari udara. Normalnya pasokan oksigen dari aktivitas fotosintesa dapat dikorelasikan dengan rendahnya kadar padatan terlarut dan tersuspensi. Rendahnya kadar padatan terlarut dan
17 tersuspensi
perairan
didukung
dengan
relatif
jernihnya
perairan
yang
memungkinkan penetrasi cahaya matahari menembus hingga dasar perairan dan memfasilitasi terjadinya proses fotosintesa pada seluruh kolom air. Kadar oksigen yang sangat rendah dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan karena terganggunya proses respirasi seperti terlihat pada Tabel 2. Semakin rendah kadar oksigen terlarut semakin tinggi toksisitas (daya racun) beberapa logam seperti seng, tembaga, timbal, dan juga toksisitas beberapa gas seperti sulfida dan ammonia bebas (Boyd, 1990). Tabel 2
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan
Kadar oksigen terlarut (mg/l)
Pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan
< 0,3
Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat (short exposure)
0,3 – 1,0
Pemaparan yang lama (long mengakibatkan kematian ikan
exposure)
dapat
1,0 – 5,0
Ikan dapat bertahan hidup, tetapi pertumbuhannya terganggu
> 5,0 Hampir smeua organisme akuatik menyukai kondisi ini Sumber: Modifikasi Swingle (1969) dalam Boyd (1990)
d. Biological Oxygen Demand (BOD) Kadar BOD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air.
Penentuan kadar BOD selama 5 hari inkubasi dimaksudkan untuk
meminimalkan pengaruh oksidasi ammonia dan berdasarkan perkiraan bahwa sekitar 70-80% bahan organik telah mengalami oksidasi pada hari kelima. Kadar BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan tersebut e. Chemical Oxygen Demand (COD) COD (chemical oxygen demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oksidator kuat dalam mengoksidasi bahan organik secara kimiawi (Mays, 1996). Kalium dikromat adalah salah satu oksidator kuat yang biasanya digunakan dalam uji COD. Bahan organik yang dioksidasi dalam penentuan COD ini meliputi bahan organik yang bisa didegradasi secara biologis maupun yang sulit. Nilai
18 COD biasanya selalu lebih besar daripada nilai BOD. Oksidator (kalium dikromat) yang digunakan dalam uji COD dapat mengoksidasi bahan organik dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan bakteri (Sastrawijaya, 2000). Hasil pengamatan terhadap beberapa perairan alami menunjukkan nilai COD yang bervariasi antara < 2 mg/l - 100 mg/l (Mays, 1996). d. Amoniak Total (NH3-N), Nitrit (NO2-N), dan Nitrat (NO3-N) Amonia (NH3) adalah salah satu bentuk senyawa nitrogen yang ditemukan di perairan. Ion amonium (NH4+) adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia di perairan berasal dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, selain itu amonia juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Amonia yang terukur pada perairan alami adalah amonia total (NH3 dan NH4+) (Boyd, 1990). Kadar amonia bebas pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l (Effendi, 2003).
Toksisitas
konsentrasi amonia bebas terhadap ikan air tawar bervariasi antara 0,7 - 2,4 mg/l (Boyd, 1990). Nitrit (NO2) merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika di perairan terdapat oksigen. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses perombakan bahan organik secara biologis dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah (Novotny dan Olem, 1994). Kadar nitrit (sebagai N) di perairan alami sekitar 0,001 mg/l (Effendi, 2003). Nilai LC50 (96 jam) nitrit (sebagai N) terhadap ikan air tawar bervariasi antara 0,66 - 200 mg/l (Boyd, 1990). Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami.
Nitrat
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Semua bahan yang mengandung nitrogen bertendensi untuk teroksidasi menjadi nitrat. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi, 2003). Kadar nitrat (sebagai N) pada perairan alami umumnya kurang dari 5 mg/l (Mays, 1996).
19 Keberadaan amonia, nitrit, dan nitrat di perairan dipengaruhi oleh proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Proses nitrifikasi dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter pada kondisi aerob; pada kadar DO < 2 mg/l reaksi akan berjalan lambat. Nilai pH optimum bagi proses nitrifikasi ini adalah 8 – 9; pada pH < 6 reaksi akan berhenti. Dan suhu optimum bagi proses nitrifikasi adalah 20 – 25oC; kecepatan nitrifikasi berkurang pada suhu kurang atau lebih dari kisaran tersebut. Proses denitrifikasi juga dilakukan oleh mikroba, namun proses ini terjadi pada kondisi anaerob (Effendi, 2003). e. Fosfor (PO4-P) Fosfor merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga fosfor menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik; fosfor juga sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan.
Ortofosfat (PO43-)
adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Polifosfat harus mengalami hidrolosis dulu membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. tumbuhan
akan
mengalami
Fosfat anorganik ini setelah masuk ke
perubahan
menjadi
organofosfat.
Total-P
menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, dan berupa anorganik maupun organik. f. Silika (SiO2) Silikon ditemukan dalam bentuk silika (SiO2) di kerak bumi dalam jumlah yang berlimpah. Silikon tidak ditemukan dalam bentuk elemen bebas, tetapi berikatan dengan oksigen dan elemen lain (Effendi, 2003). Silika tidak larut dalam air maupun asam dan biasanya dalam bentuk koloid. Perairan tawar alami memiliki kadar silika kurang dari 5 mg/l, perairan sungai dan danau memiliki kadar silika sekitar 5-25 mg/l (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003). Perairan payau dan laut, kadar silika tergolong tinggi berkisar 1.000-4.000 mg/l. Keberadan silika di perairan tidak menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup karena tidak bersifat toksik.
20 g. Logam berat Logam berat didefinisikan sebagai logam yang mempunyai densitas lebih dari 5 gr/cm3. Dengan demikian logam yang memiliki densitas kurang dari 5 gr/cm3 tergolong logam ringan. Istilah lain menyebutkan sebagai logam trace yaitu logam yang dalam keadaan alami berjumlah sangat sedikit (Darmono, 1995). Widowati et al. (2008) menjelaskan logam berat terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia yang ada di muka bumi. Logam berat dibedakan atas 2 jenis yaitu: a. Logam berat esensial, yaitu logam yang dalam jumlah tertentu dibutuhkan oleh organisme. Namun dalam jumlah yang berlebihan menimbulkan efek toksik. Logam-logam tersebut antara lain: Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lainnya. b. Logam berat tidak esensial, yaitu logam yang keberadaanya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik antara lain Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain. Tingginya kandungan logam berat dalam perairan dapat disebabkan oleh kegiatan pertanian yang terbawa ke perairan laut, aktivitas vulkanik, pelapukan batuan dan proses alam lainnya. Logam berat juga dapat berasal dari proses resuspensi (pengadukan) dasar perairan yang terjadi di perairan dangkal dan terbawa oleh pergerakan massa air. Hampir semua jenis logam berat dibutuhkan oleh biota perairan dan makhluk hidup lainnya pada kandungan tertentu. Beberapa unsur logam yang termasuk elemen mikro merupakan kelompok logam berat yang tidak mempunyai fungsi biologik sama sekali. Logam tersebut pada kadar tertentu bahkan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada mahluk hidup. Jenis logam tersebut antara lain timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg), arsen (As) dan aluminium (Al). Toksisitas logam pada manusia menyebabkan pengaruh negatif, terutama mengakibatkan kerusakan jaringan detoksikasi dan eksresi (hati dan ginjal). Beberapa logam toksik tersebut dapat menyerang saraf sehingga mengakibatkan kelainan tingkah laku. Logam berat dapat menimbulkan efek pada kesehatan manusia, bergantung pada tingkat paparan dan bagian mana yang terikat logam berat dalam tubuh.
Toksisitas logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga
menggangu metabolisme tubuh, menimbulkan alergi, bersifat mutagen, teratogen,
21 atau karsinogenik bagi manusia dan hewan (Widowati et al., 2008). Toksisitas logam berat dalam hewan air dari yang paling toksik yaitu Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Sementara toksisitas logam berat bagi manusia dimulai dari Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn. 2.3. Pencemaran Perairan Pencemaran atau polusi lingkungan perairan menurut Odum (1996) adalah perubahan yang tidak diinginkan pada udara, daratan, dan air secara fisik, kimiawi, ataupun biologi yang mungkin (atau akan) merupakan bahaya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, ataupun bagi proses-proses industri, lingkungan hidup, dan nilai-nilai kebudayaan.
Sementara menurut
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, pencemaran didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia. Pencemaran perairan disebabkan adanya masukan limbah dari kegiatan industri, pertambangan dan lainnya. Pencemaran perairan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pencemaran perairan banyak disebabkan akibat manusia. Sumber pencemaran utama di perairan Kabupaten Balitung adalah kegiatan eksploitasi penambangan timah baik secara legal maupun ilegal, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, transportasi laut, dan wisata bahari. Sumber pencemaran perairan dari penambangan timah berasal dari penambangan di darat dan di laut. Lebih lanjut Widowati et al. (2008) menjelaskan pencemaran perairan oleh kegiatan manusia berasal dari kegiatan industri, pertambangan, pembakaran bahan bakar, dan kegiatan domestik lain yang berpotensi meningkatkan logam di lingkungan. Pencemaran logam pada lingkungan perairan (sungai/laut) berpotensi mencemari manusia melalui ikan, air minum, atau air irigasi lahan pertanian sehingga tanaman menjadi tercemar logam. Pencemaran logam berat di perairan menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup dan kesehatan manusia. Darmono (1995) mengatakan bahwa logam-logam tertentu menjadi sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi di perairan.
Hal ini dikarenakan logam tersebut memiliki sifat yang merusak
jaringan tubuh makhluk hidup.
Logam-logam berbahaya tersebut antara lain
22 kadmium (Cd), timbal (Pb), dan merkuri (Hg). Kegiatan pertambangan timah inkonvensional di daratan berpotensi menimbulkan pencemaran logam berat ke perairan. Kolong-kolong bekas penambangan timah merupakan perairan yang mengandung logam berat yang relatif tinggi. Kolong didefinikan sebagai bagian dari perairan umum yang berbentuk kolam. Kolong dapat juga berbentuk danau atau waduk sebagai akibat adanya aktivitas penambangan bahan galian (Badri, 2004). Hasil
penelitian
menunjukkan
kondisi
perairan
kolong
bekas
penambangan timah memiliki pH air yang cenderung asam. Pembentukan asam disebabkan oleh oksidasi mineral sulfida yang terekspos dengan oksigen dan air pada saaat penambangan (Subarja dan Santoso, 2007). Kolong yang berumur muda (<5 tahun) cenderung memiliki kandungan logam yang tinggi. Semakin tua usia kolong, maka kondisi kualitas perairan semakin baik karena adanya pelarutan logam oleh asam dan pengenceran seiring bertambahnya waktu (Brahmana et al., 2004). Beberapa logam yang terdeteksi tinggi yaitu logam seng (Zn), mangan (Mn), besi (Fe), tembaga (Cu), dan timbal (Pb). Kolong-kolong bekas penambangan timah umumnya telah tercemar logam berat seperti timbal (Pb), besi (Fe), dan arsen (As). Hasil penelitian LIPI di Kabupaten Bangka, perairan kolong bekas penambangan memiliki rata-rata kandunga Pb yang tinggi dan diatas baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan. Selain itu, tanah kolong muda melepaskan logam berat karena memiliki derajat keasaman yang rendah (Henny, 2007). Kolong-kolong air yang berusia muda dengan kedalaman kurang dari 10 m sangat beresiko untuk budidaya ikan air tawar. Hal ini dikarenakan sangat mungkin logam berat akan terserap kedalam tubuh ikan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Selanjutnya, Henny (2007) mengatakan bahwa kolong-kolong yang berusia tua dan kedalaman air lebih dari 10 m bisa untuk budidaya perikanan. Namun tetap perlu dilakukan pemantauan terhadap kualitas air kolong secara periodik.
23 2.4. Sedimen Dasar Perairan 2.4.1. Pengertian Sedimen dan Klasifikasinya Sedimen atau lumpur merupakan bagian dari sungai, muara dan lautan. Kepekatannya beragam, bergantung kepada keadaan, seperti curah hujan, ciri-ciri daerah aliran sungai, jenis tanah, dan komposisi bahan kimia atau biologinya. Sementara lumpur adalah padatan tersuspensi dapat berasal dari aliran atau dimasukkan ke dalam massa air oleh sedimen yang merupakan bagian utama dasar perairan, yang terlarut kembali ke dalam sistem perairan atau pengendapan kembali ke dasar perairan yang disebut juga sebagai proses sedimentasi. Sedimen merupakan suatu bahan kimia baik berupa fragmen material padatan atau bahan organik yang terbawa atau terendapkan secara alamiah (angin, air atau proses pembekuan sungai es) di dalam dasar perairan/laut (EncyclopediaColombia Univercity Press). Berdasarkan proses pembentukannya, sedimen secara umum diklasifikasikan kedalam 3 golongan utama, yaitu secara mekanik, kimiawi, dan organik. Secara mekanik Secara mekanik atau klastik sedimen dibagi berdasarkan proses erosi dari batuan muda di permukaan bumi atau di lautan, yang kemudian terbawa oleh aliran, angin atau glester es ke tempat terjadinya endapan.
Aliran endapan
sedimen atau partikel ini terbawa ke laut, dimana pengendapan terjadi. Secara kimiawi Endapan kimiawi terbentuk melalui reaksi kimia di air laut sebagai hasil pengendapan mineral kristal halus, yang terendapkan didasar laut membentuk sedikitnya lapisan sedimen kimia yang jika sedimen diuapkan akan menghasilkan sedimen kering yang mengandung gypsum dan garam batu. Secara organik Secara organik berasal dari hasil tanaman atau hewan melalui pembusukan tanaman dan kemudian memadat seperti tanah gambut dan batu bara.
24 2.4.2. Sumber dan Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen a. Sumber Sedimen Sedimen meliputi pasir, tanah, lumpur, dan partikel lain yang terendapkan di dasar perairan.
Sumber sedimen daerah pegunungan, aliran sungai, erosi
daerah pertanian dan lain-lain. Disamping itu sumber dari sedimen meliputi pula akibat aktivitas manusia seperti pertambangan, penebangan hutan, dan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain (urbanisasi). Muatan sedimen dapat dibagi ke dalam tiga tipe yakni muatan dasar, suspensi, dan terlarut. Muatan dasar adalah sedimen yang berpindah dan selalu kontak dengan badan perairan. Muatan suspensi merupakan sedimen berasal dari sungai/aliran dasar yang sewaktu-waktu berubah akibat turbulensi air. Sedangkan muatan terlarut merupakan sedimen halus berukuran lebih kecil dari 63µ berasal dari akibat erosi tanah ataupun dataran pegunungan/tanah tinggi. Namun demikian sedimen merupakan komponen sistem perairan (akibat perusakan material induk), kelebihan jumlah sedimen dapat merusak badan air (KLH dan PKRKL-FMIPAUI, 2005). Sedimen pada perairan atau laut merupakan habitat yang penting bagi kehidupan biota laut, yang merupakan pula adanya kandungan nutrien yang sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan biota di dasar laut dan perairan umumnya. Sedimen juga mempengaruhi kondisi lingkungan dari berbagai bahan berbahaya yang terdapat dalam perairan.
Umumnya bahan pencemar toksik
terakumulasi pada sedimen yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan biota laut secara langsung, dan juga berbahaya bagi kesehatan manusia secara tidak langsung bila mengkonsumsi biota laut yang sudah tercemar. b.
Karakteristik Fisika dan Kimia Sedimen Sifat fisik sedimen seperti ukuran butir sedimen dan densitas, sangat
penting dalam sedimentasi dan proses transport.
Sedimen memiliki ukuran
partikel yang heterogen dari ukuran milimeter hingga sub- mikron. Klasifikasi partikel sedimen berdasarkan ukuran butiran disampaikan pada Tabel 3. Berdasarkan tipenya, sedimen memiliki karakteristik sebagai material kasar, fraksi liat/debu dan pasir. Partikel >2mm tergolong kerang, batuan, kayu dan material terendap lainnya dan bukan sumber bahan bioavailable (Mudroch et al., 1997
25 dalam NRMMC-PIMC Australia Government). Fraksi liat/debu mempunyai area permukaan yang tinggi sehingga lebih menyerap bahan organik dan logam berat. Tabel 3 Klasifikasi dan ukuran sedimen No.
Nama Partikel
Ukuran (um)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Liat halus (fine clay) Liat sedang (medium clay) Liat kasar (coarse clay) Debu halus (fine silt) Debu sedang (medium silt) Debu kasar (coarse silt) Pasir (sand) Material kasar, batu dan endapan (coarse material, rocks, detritus)
<0,06 0,06-0.2 ;0,2-0,63 0,63-2 2-6,3 6,3-20 20-63 >63 >2mm
Sumber: Mudroch et al. (1997) dalam NRMMC-PIMC (2000) Tekstur sedimen mempengaruhi penyebaran, komposisi dan jumlah mikroorganisme. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikelnya (Tabel 4) sesuai penggolongan skala Wentworth (Holme dan McIntyre, 1971 dalam Setiabudi, 2007). Tabel 4 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan skala Wentworth No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Partikel Batuan (boulder) Batuan bulat (cobble) Batuan kerikil (pebble) Butiran (granule) Pasir paling kasar (very coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (very fine sand) Debu (silt) Liat (clay)
Sumber: Holme dan McIntire (1971) dalam Setiabudi (2007)
Ukuran (mm) 256 256-64 64-4 4-2 2-1 1-0,5 0,5-0,25 0,25-0,125 0,125-0,0625 0,0625-0,0039 <0,0039
26 Menurut Arsyad (2006), mengelompokkan tektur sedimen dengan menggunakan pedoman dari USDA (United Nations Department of Agriculture) dan pedoman internasional yaitu ISSS system (International Soil Science Society System). Kategori ukuran sedimen berdasarkan USDA dan ISSS disampaikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Kategori ukuran partikel sedimen menurut USDA Kategori Liat (clay) Debu (silt) Pasir sangat halus (very fine sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sangat kasar (very coarse sand) Sumber: USDA dalam Arsyad, 2006
Diameter partikel mm µm <0,002 <2 0,002-0,05 2-50 0,05-0,10 50-100 0,10-0,25 100-250 0,25-0,50 250-500 0,50-1,0 500-1000 1,0-2,0 1000-2000
Tabel 6 Kategori ukuran partikel sedimen menurut ISSS Kategori IV III II I Sumber: ISSS dalam Arsyad, 2006
Diameter partikel mm µm <0,002 <2 0,002-0,02 2-20 0,02-0,20 20-200 0,20-2,0 20-2000
Tekstur sedimen menentukan juga dalam daya dukung terhadap limbah. Semakin besar ukuran sedimen, maka kemampuan menerima limpasan limbah semakin besar.
Hal ini berkaitan dengan kondisi oksidatif sedimen yang
menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik namun bisa lebih bermanfaat bagi organisme akuatik. Tekstur sedimen halus memiliki daya dukung terhadap limpasan limbah semakin kecil. Hal ini karena sudah ada konsentrasi bahan organik yang halus didekomposisi sebelumnya.
Masukan limbah (semakin banyak atau konstan)
menyebabkan keadaan ’anoksik’ pada sedimen yang menyebabkan hasil dekomposisi bahan-bahan organik bersifat toksik bagi organisme akuatik.
27 Besar ukuran dan luas permukaan sedimen berpengaruh dalam proses kapasitas proses pertukaran ion logam dan ketersediaan logam secara alamiah ataupun penyerapan total organic carbon (TOC), besi (Fe) dan mangan (Mn) oksida, asam sulfida (H2S)
serta logam-logam pencemar lainnya.
Sedimen
dengan ukuran partikel yang kecil (halus), seperti lumpur dan tanah umumnya memiliki ratio luas permukaan yang besar terhadap volumenya dan dapat menyerap logam jauh lebih banyak dibandingkan sedimen dengan ukuran besar, seperti pasir. Senyawa total organik karbon yang terdapat pada sedimen awalnya merupakan proses hasil dekomposisi alamiah tanaman dan hewan dan organik karbon dapat mengabsorpsi logam-logam perairan disamping juga senyawa organik lainnya (Liber et al., 1996 dalam KLH dan PKRKL-FMIPA-UI, 2005). Tinggi atau rendahnya kandungan materi organik dalam sedimen sangat berhubungan dengan kemampuan pengurangan bioavilitas dan toksisitas logam (Ankleyet et al., 1996 dalam KLH dan KRKL-FMIPA-UI, 2005). Ion Fe dan Mn merupakan komponen utama logam yang terdapat dalam tanah maupun sedimen dan berada dalam endapan maupun terlarut.
Melalui
pergantian ion maka ke dua logam tersebut dapat mengalami pertukaran dengan logam-logam berat lainnya (Fan & Wang, 2001 dalam Bentivegna et al., 2004 ). Ion sulfida dapat berinteraksi dengan Fe dalam kondisi anaerob membentuk padatan (FeS), dan begitu pula logam tembaga (Cu), Timbal (Pb), Nikel (Ni) dan Seng (Zn) dapat digantikan oleh Fe membentuk endapan garam sulfida. Hasil mekanisme ini yang sering dijadikan sebagai parameter indikator dalam menentukan kualitas atau pencemaran sedimen. Kondisi asam basa atau pH sedimen memiliki operasional sebagai aktivitas ion hidrogen. Kisaran pH normal pada ekosisitem laut berkisar 7.5-8.4. Pada kawasan pesisir yang memiliki muara sungai, rata-rata pH kurang dari 8.4 (Chester 1990).
Nilai pH mengindikasikan ekosistem laut khususnya pesisir
bersifat basa (lebih dari 7) dan banyak terdapat ion OH- yang menandakan suatu larutan bersifat basa. Berdasarkan skala waktu geologi, pH dikendalikan oleh kesetimbangan antara kolom air dan mineral alami yang ada di sedimen (Chester, 1990).
28 Relatif tingginya nilai pH pada kawasan pesisir dikarenakan lingkungan pesisir dipengaruhi oleh dua ekosistem besar.
Pada daerah yang berhadapan
langsung dengan daratan atau dengan lautan terbuka terdapat perbedaan nilai pH yang besar. Kondisi fisik sedimen juga mempengaruhi nilai pH, berkaitan dengan konsentrasi bahan-bahan organik yang ada di sedimen. Semakin kecil ukuran sedimen, nilai pH cenderung lebih rendah (asam) dan juga sebaliknya (Alongi, 1990). 2.4.3. Kualitas dan Sebaran Sedimen a. Kualitas Sedimen Banyak polutan organik dan anorganik diperairan laut diserap oleh partikulat dalam air yang kemudian membentuk sedimen pada dasar laut. Masuknya bahan pencemar kelingkungan perairan dan terendapkan atau teradsorpsi pada permukaan sedimen, maka akan mengakibatkan terjadinya pengaruh/perubahan kualitas sedimen. Sehingga sedimen sering dijadikan sebagai proses akhir pembawaan persisten polutan kedalam lingkungan perairan. Sedimen sangat diperlukan bagi kehidupan biota laut, termasuk pula spesies penting makanan yang diperdagangkan. Senyawa toksik yang terakumulasi dalam sedimen memiliki potensi yang berbahaya terhadap organisme laut dan bila dikonsumsi akan berbahaya bagi kesehatan bagi manusia. U.S. Environmental Protection Agency (EPA) sebelumnya telah menetapkan kriteria kualitas sedimen didasarkan pada situasi, atau kondisi tertentu, dimana total organic carbon sama atau melebihi 0,2 % dari berat sedimen kering (1998). U.S. EPA mendefinisikan bahwa sedimen yang terkontaminasi adalah sedimen perairan yang mengandung bahan kimia yang melebihi aspek kesesuaian perairan yang mengandung bahan kimia sedimen dan kesesuaian geokimiawi, toksikologi, kriteria kualitas sedimen dan kesesuaian pengukuran, atau dipertimbangkan sebaliknya memiliki sifat ancaman bahaya bagi kesehatan dan lingkungan . Ada beberapa alasan penting mengapa kriteria kualitas sedimen diperlukan untuk melengkapi kriteria kualitas perairan, seperti sejumlah kontaminan di badan air yang dapat terakumulasi pada tingkat berbahaya pada sedimen (Chapman , 1992).
29 Kualitas sedimen juga dapat mengintegrasikan gambaran konsentrasi (kuantitas) kontaminan dalam jangka panjang. Lebih jauh bahwa sedimen sangat penting bagi ekosistem perairan, lahan kehidupan, sumber hara, makanan bagi biota perairan. Demikian juga faktor kondisi lingkungan bentik yang terdiri dari cacing, krustasea, dan larva serangga yang hidup pada sedimen didasar badan air sering dijadikan salah satu indikator penting dalam menentukan kualitas sedimen diperairan. Dikarenakan sifat kontaminan yang dapat mematikan atau membuat stress
organisme bentik, dan mengurangi ketersediaan makanan bagi hewan
besar, sehingga kondisi keberadaan lingkungan bentik sering dijadikan indikator keberadaan kontaminan atau parameter kualitas sedimen dilingkungan perairan tersebut. Namun
demikian
didalam
menentukan
kriteria
kualitas
penting
diperhatikan terutama maksud dan tujuannya, hal ini dikarenakan sifat sedimen yang berubah-ubah yakni karena sifatnya yang dapat terlarut diperairan ataupun terendapkan kembali ke dasar air akibat adanya pengaruh lingkungan perairannya. Sehingga di dalam penentuan kriteria kualitas sedimen , beberapa hal perlu diperhatikan yaitu: adanya petunjuk yang digunakan dalam menentukan kualitas sedimen diantaranya berdasarkan sejauh mana efek/kerusakan biota dilingkungan perairan. b. Logam dalam Sedimen Logam memasuki sistem perairan sebagai akibat pelapukan batuan dan tanah, dari erupsi vulkanik dan berbagai aktivitas manusia, meliputi pertambangan, pengelolaan atau penggunaan logam dan/atau bahan yang mengandung logam. Logam berat pencemar yang paling utama adalah timbal, merkuri, kadmium, krom, arsen, dan tembaga. Terdapat berbagai jenis sumber polutan logam: sumber tak bergerak, dimana polutan berasal dari sumber tunggal (polusi terlokalisasi) yang dapat diidentifikasi. Sumber tipe kedua adalah sumber bergerak, dimana polutan berasal dari sumber terdispersi (dan seringkali sulit diidentifikasi). Terdapat beberapa contoh sumber pencemaran logam terlokalisasi, seperti pelapukan alamiah dari bijih batuan dan partikel logam yang berasal dari pabrik bertenaga bahan bakar batu bara, melalui cerobong asap di udara, air dan tanah di sekitar pabrik. Polusi logam dalam air paling umum berasal dari industri
30 pertambangan. Umumnya industri pertambangan menggunakan sistem drainase pertambangan asam untuk melepas logam berat dari bijihnya, karena logam umumnya sangat mudah larut dalam larutan asam.
Setelah sistem drainase,
larutan asam tersebut terdispersi dalam air tanah, mengandung logam dalam konsentrasi tinggi (KLH dan PKRKL-FMIPA-UI, 2005). Berdasarkan kajian pendahuluan KLH dan PKRKL-FMIPA-UI (2005) dijelaskan bahwa jika pH dalam air menurun, kelarutan logam meningkat dan partikel logam menjadi lebih mudah terlepas.
Hal ini menyebabkan
logam
bersifat lebih toksik dalam air lunak. Logam dapat menjadi “terkunci” di dasar sedimen, dan logam tersebut dapat bertahan selama bertahun-tahun. Aliran yang berasal dari drainase di wilayah pertambangan umumnya bersifat sangat asam dan mengandung logam terlarut dalam konsentrasi tinggi dengan sedikit kehidupan akuatik didalamnya.
Kedua jenis pencemaran logam, baik yang terlokalisasi
maupun terdispersi, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan karena logam tidak dapat mengalami biodegradasi. Secara umum, bentuk ion suatu logam bersifat lebih beracun, karena dapat membentuk senyawa yang toksik dengan ion lainnya. Beberapa logam seperti mangan, besi, tembaga, dan seng merupakan mikronutrien. Logam-logam tersebut bersifat esensial terhadap kehidupan dalam konsentrasi yang tepat, namun jika berlebih, bahan kimia tersebut dapat bersifat racun.
Pada saat yang sama, paparan dalam konsentrasi rendah dan jangka
panjang terhadap logam berat dapat menyebabkan efek kesehatan yang serius di waktu mendatang. Adanya toleransi terhadap logam juga telah diketahui dalam invertebrata dan dalam ikan. Sedimen merupakan “adsorben alami” yang mampu mengikat senyawasenyawa organik dan anorganik dalam konsentrasi tinggi.
Pada kebanyakan
ekosistem perairan, sedimen mengandung berbagai jenis kontaminan dalam konsentrasi yang tinggi, tergantung pada sifat-sifat adsorpsi dan desorpsi sedimen (Haerudin, 2006). Jenis-jenis polutan yang dapat ditemukan dalam sedimen atas (US-EPA, 2004):
Nutrien, termasuk kedalamnya senyawa posfor dan nitrogen seperti ammonia. Kadar posfor yang tinggi dalam air dapat menyebabkan pertumbuhan alga
31 yang tidak terkendali.
Bilamana alga mati dan mengalami dekomposisi,
kandungan oksigen dalam air menurun tajam. Konsentrasi amoniak yang tinggi dapat meracuni hewan bentos
Hidrokarbon terhalogenasi atau senyawa-senyawa organik persisten, yaitu kelompok bahan kimia yang sulit diurai seperti DDT dan PCB
Hidrokarbon polisiklik aromatik (PAH = polycyclic aromatic hydrocarbon) yaitu kelompok bahan kimia yang dihasilkan oleh industri perminyakan dan hasil sampingannya
Logam termasuk kedalamnya besi, mangan, timbal, kadmium, seng dan raksa; metalloid seperti arsen dan selenium Konsentrasi logam dalam sedimen biasanya mencapai 3 – 5 kali lebih
tinggi dari konsentrasi logam dalam air di atasnya (Bryan and Langston, 1992 dalam Haerudin, 2006). Oleh karena itu identifikasi berbagai jenis logam yang berasal dari berbagai sumber pada kawasan pesisir, dapat diidentifikasi lebih cepat dengan menganalisis sedimen dibanding kuantifikasi konsentrasi logam yang terdapat dalam air (Forster and Wittmann, 1981 dalam Haerudin, 2006). Sumber utama logam berat di dalam lingkungan ada 5 yaitu: erosi batuan, kegiatan industri pertambangan biji besi dan logam lainnya, pemanfaatan logam dan senyawaan logam dalam industri, pembakaran bahan bakar fosil dan leaching dari tempat pembuangan sampah (Wittman and Fotstner, 1980 dalam Haerudin, 2006). Logam berat dikelompokkan sebagai polutan konservatif oleh karena tidak dapat diurai oleh mikroba dan masih tersedia dalam taraf tertentu untuk tumbuhan dan hewan dan kadang-kadang menimbulkan efek yang berbahaya (Dryssen and Wedborg, 1980 dalam Haerudin, 2006). Saat ini, baku mutu logam dalam sedimen belum ditetapkan dalam regulasi di Indonesia.
Namun beberapa negara telah mengeluarkan quality
guideline untuk logam dan organik dalam sedimen. NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Administration) melalui program National Status dan Trends di US menetapkan pedoman mutu sedimen dengan pendekatan ERL (effects range-low) dan ERM (effects range-median).
ERL adalah
konsentrasi elemen logam atau organik dalam sedimen pada persentil kesepuluh yang tidak atau jarang menunjukkan efek toksisitas. Sementara ERM adalah
32 konsentrasi elemen logam atau organik dalam sedimen pada persentil kesepuluh yang menunjukkan efek toksik. Berdasarkan hasil penelitian National Status and Trends Program US di lingkungan pesisir dan lautan teridentifikasi konsentrasi beberapa logam berat di dalam sedimen. Konsentrasi arsen (As) dikategorikan tinggi pada konsentrasi 13 μg/g dry wt, kadmium (Cd) pada konsentrasi 0,54 μg/g dry wt, dan timbal (Pb) pada konsentrasi 45 μg/g dry wt (Daskalakis dan O’Connor, 1995 dalam Neff, 2001). Hasil penelitian konsentrasi logam berat pada sedimen di lingkungan pesisir dan lautan selengkapnya disampaikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil penelitian konsentrasi logam berat pada sedimen Parameter
ERL
ERM
Konsentrasi Tinggi
---------------- μg/g dry wt ----------------
Arsenic (As) 8,2 70 Cadmium (Cd) 1,2 9,6 Chromium (Cr) 81 370 Copper (Cu) 34 270 Lead (Pb) 46,7 218 Mercury (Hg) 0,15 0,71 Zink (Zn) 150 410 Sumber: The National Status and Trends Program US
13 0,54 125 42 45 0,22 135
Florida melalui lembaga FDEP (Florida Department of Enviromental Protection) menetapkan pedoman mutu sedimen dengan pendekatan TEL (treshold effects level) dan PEL (probable effect level). TEL didefinisikan sebagai batas tertinggi (upper limit) dari konsentrasi dalam sedimen yang tidak berpengaruh (>75%, data tidak berpengaruh).
Sementara PEL adalah batas
terendah (lower limit) kisaran konsentrasi yang berlawanan dengan pengaruh biologi (>75% data berpengaruh). Pedoman mutu sedimen logam dalam sedimen dari NOAA dan FDEP disampaikan pada Tabel 8.
33 Tabel 8. Pedoman mutu sedimen NOAA dan FDEP
Parameter
NOAA Guidelines FDEP Guideline ERL ERM TEL PEL --------------- mg/kg dry wt -----------------
Cadmium (Cd) 1,2 Chromium (Cr) 81 Copper (Cu) 34 Lead (Pb) 46,7 Mercury (Hg) 0,15 Nickel (Ni) 20,9 Silver 1,0 Zink (Zn) 150 Sumber: NOAA (1990) dan FDEP (1996)
9,6 370 270 218 0,71 51,6 3,7 410
0,68 52,3 18,7 30,2 0,13 15,9 0,73 124
4,21 160 108 112 0,7 42,8 1,77 271
Pada tahun 1999, Kanada juga telah mengeluarkan pedoman mutu sedimen melaui CCME (The Canadian Council of Minester of the Environment). Pendekatan ini berdasarkan FDEP melalui nilai-nilai PEL dan TEL. Pedoman mutu logam berat pada sedimen berdasarkan CCME disampaikan pada Tabel 9. Tabel 9 Pedoman mutu sedimen berdasarkan CCME No.
Parameter
IGM PEL-M IGF PEL-F ------------ (mg/kg dry wt) ------------
1. Arsenic (As) 7.24 41.6 123 315 2. Cadmium (Cd) 0.7 4.2 0.6 3.5 3. Chromium (Cr) 52.3 160 37.3 90.0 4. Copper (Cu) 18.7 108 35.7 197 5. Lead (Pb) 30.2 112 35 91.3 6. Mercury (Hg) 0.13 0.70 0.17 0.486 7. Zinc (Zn) 124 271 123 315 Sumber: CCME, 1999; IGM: interim guideline marine; PEL-M: probable effect level marine; IGF: interim guideline freshwater; PEL-F: probable effect levelfreshwater.
34 c. Sebaran Spasial Sedimen Keberadaan lumpur di dasar perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawa oleh air tawar dan air laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi tersebut, seperti arus dari laut (Nybakken, 1988). Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur. Selanjutnya dijelaskan bahwa lumpur yang terdapat didalam muara merupakan penjebak bahan organik yang baik. Knox (1986) menyatakan bahwa sedimen estuaria merupakan lingkungan yang sangat kompleks, karena sedimen yang berada di muara berasal dari beberapa sumber, meliputi dari daratan yang dibawa air sungai (fluvial sediment), dan sedimen dari laut (marine sediment). Odum (1996) menyatakan bahwa nilai pH substrat erat hubungannya dengan bahan organik substrat, jenis substrat dan kandungan oksigen. Kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa perairan yang arusnya kuat akan banyak ditemukan substrat berpasir. Akumulasi logam berat ke dalam sedimen dipengaruhi oleh jenis sedimen. Tipe sedimen dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen, dengan kategori kandungan logam berat dalam lumpur>lumpur berpasir>berpasir (Korzeniewski & Neugabieuer, 1991 dalam Amin, 2002). Aktivitas pertambangan timah di Telaga Tujuh Karimun, Kepulauan Riau hanya sedikit menyumbang logam Cu dan lebih banyak menyumbang logam Pb dan Zn.
Namun demikian beberapa aktivitas seperti pelabuhan, pelayaran,
pembuatan kapal, perikanan, dan pemukiman penduduk sudah mulai memberikan pengaruh peningkatan Cu (Efriyeldi, 1991). Meador et al. (1998) menyatakan bahwa paling sedikit ada 4 faktor yang dapat mempengaruhi distribusi polutan dalam sedimen yaitu: ukuran butiran sedimen, status redoks, karbon organik dan bioturbasi. Konsentrasi logam berat pada lumpur (sedimen), tidak saja ditentukan oleh proses pelapukan batuan, tetapi juga dipengaruhi konsentrasi bahan organik, komposisi mineral serta ukuran (partikel) endapan lumpur tersebut (Togwell, 1979 dalam Haerudin, 2006).
35 Sedimen yang berukuran halus (clay dengan diameter 20 mikron) mampu menyerap polutan dalam jumlah yang lebih besar dibanding sedimen berukuran besar. Karbon mampu melakukan ikatan dengan sedimen dalam bentuk ikatan komplek, sehingga semakin tinggi konsentrasi karbon organik dalam sedimen, kemungkinan akan semakin tinggi konsentrasi polutan yang terdapat didalamnya. Sedimen halus memiliki presentasi bahan organik yang lebih tinggi dibanding sedimen kasar. Hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Wood, 1987 dalam Haerudin, 2006). Dalam sedimen kasar kandungan bahan organik biasanya rendah, karena partikel halus tidak mengendap. Sedimen yang halus biasanya mempunyai kendungan bahan organik yang tinggi, karena adanya gaya tarik menarik elektronika antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikat oleh sekresi lendir organisme. 2.5. Bentos 2.5.1. Pengertian dan Klasifikasi Bentos Bentos merupakan biota air yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dalam atau di dasar perairan yang pergerakannya relatif lambat. Namun cukup berperan sebagai makanan hewan dasar maupun akan berkembang menjadi dewasa sebagai kerang-kerangan.
Makrozoobentos merupakan organisme
penghuni dasar perairan yang relatif menetap atau tidak berpindah tempat. Dari segi mata rantai makanan makrozoobentos umumnya sebagai detritus feeder, filter feeder dan scavanger (pemakan bangkai). Dengan demikian, organisme hewani ini berperan dalam memanfaatkan kembali energi yang relatif akan hilang ke dasar perairan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos. Semakin halus tekstur substrat semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik. Selain itu, daerah yang kandungan bahan organiknya sangat tinggi berhubungan dengan daerah dimana banyak pemeliharaan kerang-kerangan (mussel), karena berhubungan erat dengan jumlah feses yang banyak dari mussel yang dipelihara (Lopez-Jamar 1981 dalam Efriyeldi, 1999).
36 Berdasarkan ukurannya, bentos dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu makrozoobentos (makrofauna) yang berukuran lebih besar dari 1 mm, meizoobentos (meiofauna) yang berukuran 0,1 – 1 mm dan mikrozoobentos (mikrofauna)
berukuran
lebih
kecil
dari
0,1
mm
(Nybakken,
1988).
Makrozoobentos terdiri dari banyak kelompok organisme di dasar termasuk dalam kelompok taksonomi, kelas Polychaeta, kelas Crustacea, filum Echinodermata dan kelas Mollusca. Bentos ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok nabati yang disebut fitobentos dan kelompok hewani yang disebut zoobentos. Substrat dasar perairan terdiri dari sedimen lumpur, pasir, liat dan sedikit substrat keras, yang merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap komposisi dan distribusi organisme bentos (Hawkes, 1978 dalam Mustamin, 2000). Berdasarkan sebaran secara vertikal, bentos terbagi menjadi dua, yaitu epifauna, yaitu organisme dasar yang hidup pada permukaan substrat, dan infauna yaitu organisme yang hidup di dalam substrat dasar (Nybakken, 1988). Perkembangan maksimum dari epifauna dijumpai di daerah pasang surut, tetapi dapat juga meluas di daerah yang lebih dalam. Infauna mencapai perkembangan maksimum di daerah yang lebih dari kelompok epifauna (Odum, 1996). Berdasarkan kebiasaan makan, makrozoobentos dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu suspension feeders adalah makrozoobentos yang menyaring partikel-partikel yang melayang-melayang di perairan dan cenderung melimpah pada substrat berpasir yang mengandung sedikit bahan organik, sedangkan deposit feeders adalah organisme yang mempunyai sifat mengumpulkan detritius sebagai makanannya di dasar dan cenderung melimpah pada sedimen lumpur yang mengandung banyak bahan organik (Nybakken, 1988). Romimohtarto dan Juwana (2005) menjelaskan bahwa bentos meliputi biota yang menempel, merayap, meliang di dasar laut yang menyebar dari garis pasut sampai abisal.
Berdasarkan jenis makanannya, bentos dikelompokkan
sebagai biota autotrof yaitu biota yang menghasilkan makanan sendiri dan heterotrof yaitu tidak menghasilkan makanan sendiri.
37 Pada umumnya makrozoobentos merupakan non selektif feeders, yaitu mengambil semua makanan yang ukurannya sesuai dengan ukuran mulutnya (Cummins, 1975; Levinton, 1982 dalam Mustamin, 2000). Berdasarkan makanannya makrozoobentos dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (a) Perumput dan penggaruk (grazers dan scraper): herbivora, pemakan alga dasar; (b) Shredder: pemakan detritius, berupa partikel berukuran relatif besar; (c) Pengumpul (collector): pemakan detritius berukuran kecil dan tersuspensi (filter); (d) Predator: pemangsa. 2.5.2. Zoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Makrozoobentos hidupnya relatif menetap dan tidak dapat menghindar dari kontak dengan bahan pencemar serta jangka hidupnya relatif lama, oleh sebab itu makrozoobentos sangat representatif menduga pencemaran perairan (Price, 1979; Abel, 1989 dalam Mustamin, 2002). Beberapa keuntungan penggunaan makrozoobentos untuk menduga kualitas air yang tercemar, yakni: a. Jumlahnya banyak dan terdiri dari berbagai jenis b. Gerakkannya relatif lambat c. Siklus hidupnya relatif panjang d. Kunci identifikasinya telah cukup berkembang, sehingga memungkinkan didapatkan organisme sampai pada tingkat takson yang dibutuhkan e. Teknik samplingnya telah berkembang. Dengan sifatnya yang relatif menetap, maka komunitas organisme makrozoobentos merupakan organisme yang paling menderita terkena dampak lingkungan perairan. Oleh karena itu, struktur komunitas makrozoobentos merupakan indikator yang baik bagi dampak lingkungan perairan. Makrozoobentos mempunyai beberapa peranan dalam ekosistem perairan. Hewan ini mempunyai hubungan yang erat dengan sumberdaya perikanan melalui rantai makanan. Odum (1996) menyatakan bahwa hubungan tersebut berdasarkan rantai makanan detritius, yang dimulai dari organisme mati. Peranan lain adalah indikator biologis perubahan lingkungan.
38 Makrozoobentos mempunyai sifat kepekaan yang berbeda-beda terhadap berbagai jenis bahan pencemar, mempunyai kecepatan mobilitas yang rendah dan mudah ditangkap serta mempunyai kelangsungan hidup yang panjang (Hawkes, 1976 dalam Mustamin, 2000). Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan termasuk ke dalam sedimen dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis. Seberapa jauh akibat suatu pencemaran terhadap organisme dapat diketahui dengan analisis struktur komunitas (Krebs, 1978). Sebagai upaya untuk tetap hidup makrozoobentos akan beradaptasi terhadap lingkungan, termasuk berusaha untuk menghindari diri dari perubahan lingkungan yang jelek dan predator. Bentos sebagai organisme dasar perairan mempunyai habitat yang relatif menetap. Perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya (Odum, 1996). Selanjutnya faktor yang sangat berpengaruh langsung terhadap komposisi dan distribusi organisme bentos terdiri dari sedimen lumpur, pasir, liat dan sedikit substrat keras. Deposit feeders cenderung melimpah pada sedimen lumpur yang mengandung banyak bahan organik, sedangkan suspension feeders melimpah pada substrat berpasir yang mengandung sedikit bahan organik (Nybakken, 1988). Hewan pemakan bahan-bahan tersuspensi mampu menyaring partikel dari kolom air.
Partikel-partikel tersebut dapat berupa organisme plankton atau
berbagai partikel organik yang tersuspensi kembali dari dasar pada saat gelombang lewat. Kelompok pemakan bahan tersuspensi yang dominan di pantai pasir yaitu moluska bivalva. Pada pasir datar yang terlindung, pemakan bahan suspensi termasuk bivalva kecil (Gemma) dan amfipoda (Nybakken, 2005). Beberapa jenis bentos di pantai pasir datar disampaikan pada Gambar 3.
39
A. B. E. C. D. H. I. J.
Keterangan: Pemakan detritus di permukaan Spiophanes bombyx Saccoglossus kowalewskyi Pygospio elegans Pemakan detritus di dasar Aricidea sp. Oligochaeta Exogone hebes Scoloplos spp. Nephtys spp.
Gambar 3
G. F. K. L.
Pemakan suspensi Gemma gemma Protohaustorius deichmannae Acanthohaustorius millsi Pemakan detritus terdasar Clymenella torquata
Beberapa jenis bentos di pantai pasir datar (Nybakken, 2005)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan sungai dan pantai timur Manggar Kabupaten Belitung Timur. Lokasi pengamatan dan pengambilan sampel terutama dilakukan
di
sekitar
lokasi-lokasi
penambangan
timah
inkonvensional.
Pelaksanaan pengamatan dan pengumpulan data sekunder dan primer telah dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2006. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan kimia untuk pengawet dan analisis kualitas air berupa larutan asam (H2SO4 dan HNO3). Pengawetan sampel air dengan H2SO4 untuk parameter COD, amoniak, fenol dan nitrat. Sementara pengawetan dengan larutan HNO3 untuk analisis logam berat. Peralatan penelitian yang digunakan terdiri dari peralatan pengukuran dan pengambilan kualitas air, sedimen, biota perairan serta peralatan pendukung lainnya. Beberapa peralatan yang digunakan antara lain:
Perahu/kapal motor
GPS (geografic position system) untuk menentukan koordinat sampling
Kompas
Peralatan pengukuran arah dan kecepatan arus (direct reading CM-2 current meter).
Peralatan pengukuran insitu kualitas air (DOmeter, pHmeter, refraktometer, sechi disk, dan termometer).
Peralatan pengambilan sampel air, sedimen, dan bentos (Van Dorn sampler, Petersen grab, botol polietilen, kantong plastik dan cool box).
41 3.3. Rancangan Penelitian 3.3.1. Komponen Fisika dan Kimia 3.3.1.1. Fisika Oseanografi a. Tujuan Pengumpulan dan pengukuran data fisika oseanografi untuk mengetahui kondisi fisika oseanografi di sekitar lokasi penelitian. b. Pengumpulan Data Data fisika oseanografi meliputi pola pasang surut, batimetri dan kondisi arus perairan. Pengumpulan data pola pasang surut dan batimetri diperoleh dari data sekunder (DISHIDROS TNI AL).
Sementara arah dan kecepatan arus
dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan (data primer). Pengukuran arah dan kecepatan arus dilakukan pada permukaan (0m), tengah dan dasar perairan. c. Metode Analisis Data Persamaan Formzahl digunakan untuk memperoleh tipe pasut di Indonesia (Pariwono, 1989). Komponen pasut tunggal dan ganda diperlukan dalam penggunaan persamaan berikut ini: + O1 F = K1 S2 + M 2 F K1 O1 S2 M2
= = = = =
Formzahl Number Komponen pasut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik matahari Komponen pasut tunggal yang disebabkan gaya tarik bulan Komponen pasut ganda utama yang disebabkan gaya tarik matahari Komponen pasut ganda utama yang disebabkan gaya tarik bulan
Klasifikasi tipe pasut disampaikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kriteria tipe pasut (Pariwono, 1989) No
Bilangan Formzahl
Tipe Pasut
1. 2. 3. 4.
0 - 0,25 0,26 – 1,50 1,51 – 3,00 > 3,00
Semi diurnal Kombinasi, cenderung semi diurnal Kombinasi, cenderung diurnal Diurnal
42 3.3.1.2. Kualitas Air a. Tujuan Tujuan pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air di sungai, estuari (pantai) dan laut yaitu mengetahui status mutu kualitas air di sekitar lokasi penambangan timah. b. Pengumpulan Data Metode penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu suatu cara penentuan stasiun sampling dengan melihat pertimbangan kondisi daerah penelitian.
Berdasarkan hal tersebut, lokasi
pengamatan kondisi kualitas air akan dikelompokkan 3 lokasi, yaitu perairan sungai (sekitar lokasi penambangan), estuari (pantai) dan laut. Lokasi pengambilan contoh air selengkapnya disampaikan pada Tabel 11 dan peta lokasi penelitian disampaikan pada Gambar 4. Contoh air sungai dan laut diambil secara komposit pada setiap lokasi pengamatan. Pengambilan contoh air laut menggunakan botol Van Dorn sampler. Contoh air sebanyak 2 liter dimasukkan ke dalam beberapa botol polietilen dengan preservasi seperlunya untuk dianalisis di laboratorium. Sebanyak 500 ml contoh air lainnya disimpan dalam botol gelas gelap untuk analisis minyak dan fenol. Penambahan pengawet H2SO4 atau HNO3 disesuaikan dengan analisis kualitas air yang akan dilakukan. Analisis contoh kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB. Variabel kualitas air yang diamati terdiri atas komponen fisik dan kimia air sungai dan laut (Tabel 12). Beberapa variabel fisik kimia perairan meliputi suhu kecerahan, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, amonia, nitrit, nitrat, dan silikat merupakan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan oleh tim P2O-LIPI. c.
Metode Analisis Data Parameter kualitas air laut yang dianalisis secara tabulasi dan deskriptif
serta dibandingkan dengan baku mutu yang ada. Baku mutu kualitas air laut mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (Lampiran 1), sedangkan baku mutu kualitas air sungai
43 mengacu pada PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Pengendalian Pencemaran Air. Tabel 11 Lokasi pengamatan dan pengambilan contoh kualitas air Stasiun
Lokasi
1.
Laut
2.
Laut
3.
Laut
4.
Perairan pantai
5.
Perairan pantai
6.
Perairan pantai
7.
Perairan pantai
8.
Perairan pantai
9.
Perairan pantai
10
Perairan pantai
11.
Muara S. Manggar
12.
Sungai Manggar
13.
Sungai Manggar
14.
Sungai Manggar
15.
Sungai Manggar Total
Koordinat 02O45’18.2’’LS 108O24’18.5’ BT 02O43’27.5’’LS 108O25’09.8’ BT 02O43’08.8’’LS 108O23’06.3’ BT 02O44’51.7’’LS 108O17’30.7’ BT 02O47’16.5’’LS 108O17’10.4’ BT 02O50’40.8’’LS 108O18’03.6’ BT 02O51’21.9’’LS 108O19’09.8’ BT 02O53’10.0’’LS 108O18’28.7’ BT 02O52’50.4’’LS 108O18’18.1’ BT 02O50’46.1’’LS 108O18’13.5’ BT 02O50’54.1’’LS 108O17’45.7’ BT 02O51’00.8’’LS 108O17’35.6’ BT 02O50’40.8’’LS 108O17’20.3’ BT 02O50’59.2’’LS 108O17’07.5’ BT 02O51’04.7’’LS 108O16’59.5’ BT 15
Keterangan Perairan laut Manggar
Pantai Burung mandi Pantai Burung mandi Pantai Manggar Pantai Manggar Pantai Manggar Pantai Manggar Pantai Manggar Sungai sekitar lokasi kegiatan TI Sungai sekitar lokasi kegiatan TI Sungai sekitar lokasi kegiatan TI Sungai sekitar lokasi kegiatan TI Sungai sekitar lokasi kegiatan TI
108° 0' 0" BT
108° 15' 0" BT 31
108° 30' 0" BT
Karang Corcyra
32
32
25
43
26
34 29
30
36
18
8 3
7 1
P. Maranai
2
Kr
27
4
15
U
B
23
5
34 23
2
2
25
Tg. Burungmandi St5
Lokasi sampling (kualitas air, sedimen dan biota)
5
St14
g ng Ma
St9 St8 Tg. Samak
4
7
27
14 2
7
55
4
2
22
2 2
22 22
55
7
3
RIAU
0°N
0.000000
20
P. Kabung
P. Penebang
p. kayuanak
JAMBI
P. Karimata
N
p.bangka W
E
9
4
0
4
Lokasi Kegiatan
p. bulu
p. lepar p. ru
SUMSEL
P. Datu p. ayer
BENGKULU
S
250 kilometers
LAMPUNG 1007
PETA INDEKS
29
6°S
11
P. Busungjong 12
P. Sugi Besar P. Panjang Natuna
S. Sodor P. Sambu P, Pangkil P. Katalingga P. Buaya P. Ujung Beting P. Singkep
14 1
114°E
108°E
102°E
NAD
23
24
2
4 15
P. Gantung 7
96°E
SUMBAR
10
2
g gan ing S. L
3
6°N
16
MALAYSIA
4
Tg. Medong
20
SUMUT
3
4
12
21
14
4
3
Terumbukarang
21
25 12
2
15
16
20
St10 2 3 St11 St7 5 St12 3
2
P. Bukulimau
25 4
Daratan
5
20
arSt15 gg an ar
7
31
22
7
Batas kecamatan
17 3
C5s14M St13 St6
Sungai
35
P. Siadung
18
10
Legenda:
24
24 8
5 kilometres
15
Manggar
SIDEMAR
30
29
20 St1
0
12
St2
St4
Skala
2° 45' 0" LS
2
12
S
2
P. Mempirak
2
22
2
7
St3
2
30
BURUNGMANDI
M S.
27
222
P. Bakau
T
29
12 15
Kelapa Kampit
Gantung
5
27
2
S. Pering
25
22
2
Tg. Sengaran
13
2
30
+4 32 20
22
2
13
Karang Hidrograf
32
C5s16m11M 2
7
16
RADISHO - P052050011 TESIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA IPB
2
Rint
35
P. Kanis
2
11
5 43
30
20
2
Tk Buding
23
22
2
13
8
29
Karang Busungserlang
9
2
23
2
22
22
2
30
2
22
2
2
2
2
P.2Keran
2
26
2
5
30 20
3° 0' 0" LS
Sumber : - Peta Dinas Hidro-Oseanografi lembar 51-06 - Survai lapang, Desember 2006
44
Gambar 4a Peta lokasi pengamatan dan pengambilan contoh
108° 15' 0" BT
108° 20' 0" BT
108° 25’ 0" BT
2° 45' 0" LS
RADISHO - P052050011 TESIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA IPB
U
B
T
S
Skala 0
5 kilometres
2° 50’ 0" LS 102°E
6°N
114°E
96°E
108°E
NAD MALAYSIA P. Sugi Besar P. Panjang Natuna
SUMUT
RIAU
0°N
0.000000
S. Sodor P. Sambu P, Pangkil P. Katalingga P. Buaya P. Ujung Beting
P. Kabung
P. Singkep
SUMBAR P. Penebang
p. kayuanak
JAMBI
P. Karimata
N
p.bangka W
E
Lokasi Kegiatan P. Datu
p. ayer
BENGKULU
S
0
p. bulu
p. leparp. ru
SUMSEL
250 kilometers
LAMPUNG 1007
PETA INDEKS 6°S
Sumber: - Survai lapang, Desember 2006 - Google Earth, 2007
45
Gambar 4b Peta lokasi pengamatan dan pengambilan contoh
46 Tabel 12 Parameter dan metode pengukuran kualitas air No.
Parameter
FISIKA 1. Suhu 2. Kecerahan 3.
Metode Analisis
Pemuaian Visual
Padatan tersuspensi Penimbangan
Peralatan
Termometer Secchi disk Timbangan Elektronik, Oven
Baku Mutu* Alami >3 m Coral: 20 mg/l
KIMIA 4.
Salinitas
Berat Jenis
Refraktometer
5.
Elektrometrik Titrimetric Winkler/Elektrokimia Spektrofotometrik Biru Indofenol Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik
pH Meter
7. 8. 9. 10. 11.
pH Oksigen terlarut (DO) Fosfat Amonia (NH3-N) Nitrit (N-NO2) Nitrat (N-NO3) Silikat (SiO3)
12.
Air raksa (Hg)
Spektroskopi serapan atom
13.
Besi (Fe)
Spektroskopi Serapan Atom
14.
Kadmium (Cd)
Spektroskopi Serapan Atom
15.
Tembaga (Cu)
Spektroskopi Serapan Atom
16.
Timbal (Pb)
Spektroskopi Serapan Atom
17.
Seng (Zn)
Spektroskopi Serapan Atom
6.
Baku mutu sesuai KepMenLH No. 51 tahun 2001 (air sungai).
Titrasi/DO Meter
Coral: 33-34 O /oo 7-8,5 >5 mg/l
Spektrofotometer 0,015 mg/l Spektrofotometer 0,3 mg/l Spektrofotometer Spektrofotometer 0,008 mg/l Spektrofotometer 0,001mg/l Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorption ≤0,01 mg/l Spectrophotometer (AAS) 0,008 mg/l Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorption ≤0,008 mg/l Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorption ≤0,05 mg/l Spectrophotometer (AAS) (air laut) dan PP No. 82 Tahun 2001
47 3.3.1.3. Sedimen Dasar Perairan a.
Tujuan Pengambilan sedimen perairan bertujuan untuk mengetahui komposisi
sedimen (persentase pasir, debu dan liat) dan kandungan logam berat, terutama di sungai sekitar lokasi penambangan. b.
Pengumpulan Data Contoh sedimen diambil dengan menggunakan Peterson Grab. Contoh
sedimen (1 kg) dimasukkan ke dalam wadah plastik dan dianalisis di laboratorium. Lokasi pengambilan contoh sedimen sama dengan lokasi pengambilan contoh kualitas air. Sedimen dianalisis untuk mengamati tekstur, pH, dan kandungan logam (Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Cd, Se, As, dan Hg). Tekstur sedimen dianalisis dengan metode distribusi gradasi butir dengan dasar ASTM, sedangkan kandungan logam dianalisis dengan menggunakan spektroskopi serapan atom (metode AAS). Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah, Departemen Pertanian, Bogor. c.
Metode Analisis Hasil analisis tekstur sedimen (pasir, debu dan liat) dikelompokkan
kedalam segitiga milar (Gambar 5).
Kandungan logam berat pada sedimen
dianalisis secara tabulasi dan deskriptif.
Baku mutu sedimen untuk perairan
Indonesia hingga saat ini belum tersedia (masih tahap studi oleh KLH).
48
Gambar 5 Segitiga tekstur sedimen (Arsyad, 2006) 3.3.2. Komponen Biologi 3.3.2.1. Bentos a. Tujuan Pengambilan sample bentos untuk mengetahui respon bentos terhadap perubahan kualitas sedimen. b. Pengumpulan Data Pengambilan sampel bentos menggunakan Peterson Grab pada 15 lokasi pengamatan. Kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan saringan bertingkat untuk memisahkan bentos dan lumpur/sedimen di lokasi sampling. Sampel bentos dimasukkan ke kantong plastik dan segera diawetkan dengan formalin
4%.
Identifikasi
dan
pencacahan
dilakukan
di
Laboratorium
Produktivitas dan Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB. c. Metode Analisis Analisis bentos meliputi kelimpahan, keragaman, keseragaman, dan dominansi. Kepadatan bentos adalah jumlah individu bentos per meter persegi. Kepadatan bentos adalah: ni Xi = L
49 keterangan: Xi = kelimpahan fauna bentos (ind/m2) ni = jumlah spesies individu L
= luas area peralatan sampling (m2)
Indeks keanekaragaman jenis bentos menggambarkan spesies penyusun komunitas, ditentukan dengan persamaan Shannon (Shannon-Wiener,1949 dalam Krebs, 1989), sebagai berikut: i= n
H ′ = - Σ pi log 2 pi i= 1
keterangan: H = indeks keanekaragaman jenis pi = ni/N; ni = jumlah total individu ke-i; N
= jumlah total individu
Nilai indeks keanekaragaman ini berkisar antara 0 sampai ~ (tak terhingga). Nilai keragaman mencapai maksimum apabila semua jenis/genera menyebar secara merata. Kategori nilai keragaman menurut Shannon-Wiener (1949) dalam Krebs (1989) disampaikan pada Tabel 13. Tabel 13 Kategori nilai indeks keragaman No.
Nilai Indeks
Katagori
1.
0 < H’ < 2,302
Keanekaragaman Rendah
2.
2,302 < H’ > 6,907
Keanekaragaman Sedang
3.
H’ > 6,907
Keanekaragaman Tinggi
Indeks keseragaman merupakan penggambaran distribusi individu yang merata dari suatu spesies dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman dihitung dengan persamaan Odum (1996): E=
H′ H ′ max
keterangan: E
= indeks keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman aktual H’max = indeks keanekaragaman maksimum (log2 S) S = jumlah spesies
50 Nilai ini berkisar antara 0 – 1 (tanpa unit). Kategori keseragaman biota menurut Simpson (1949) dalam Odum (1996) disampaikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kategori Nilai Indeks Keseragaman No.
Nilai Indeks
Kategori
1.
E < 0,4
Keseragaman Rendah
2.
0,4 < E < 0,6
Keseragaman Sedang
3.
E > 0,6
Keseragaman Tinggi
Nilai indeks keseragaman yang semakin kecil menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama sehingga ada kecenderungan satu jenis/individu mendominasi. Semakin besar nilai indeks keseragaman menunjukkan semakin kecilnya kemungkinan dominasi individu pada masing-masing jenis. Indeks dominansi (D) yang digunakan mengikuti metode Simpson dalam Odum (1993), yaitu : ⎛ ni ⎞ D = ∑⎜ ⎟ i =1 ⎝ N ⎠ n
2
keterangan: D
= Nilai dominansi
ni
= Jumlah individu spesies ke-i
N
= Jumlah individu
Nilai indeks mempunyai kisaran 0 – 1, nilai indeks semakin mendekati nol maka dominansi semakin kecil dan sebaliknya apabila indeks mendekati nilai 1. 3.3.3. Analisis Keterkaitan antar Komponen Fisik Kimia dan Biologi Analisis keterkaitan untuk mengetahui hubungan antara komponen fisik kimia sedimen dengan kelimpahan bentos, dan konsentrasi elemen logam dengan ukuran butiran tekstur sedimen menggunakan analisis regresi dan korelasi. Analisis regresi dan korelasi dilakukan dengan menggunakan komputer software Minitab versi 14. Model regresi terdiri atas variabel dependent/respons (y) dan variabel independent/predictor (x). Variabel dependent merupakan variable yang
51 dipengaruhi oleh suatu variabel independent. Model regresi linear sederhana dengan satu variabel dependent dan satu variabel independent dinyatakan dalam persamaan (Iriawan dan Astuti, 2006): y = β 0 + β1 x + ε Dengan βo dan β1 merupakan parameter model dan ε adalah eror/residual model yaitu jarak antara nilai sebenarnya dengan taksiran. Persamaan regresi untuk menganalisis hubungan beberapa variabel independent dan satu variabel dependent dinyatakan dalam persamaan: y = β 0 + β1 x1 + β 2 x 2 + ... + β k x k + ε Dengan konstanta βo adalah intersep yaitu nilai variable dependent ketika variable independent bernilai 0 (nol). β1, β2 …dan βk adalah parameter-parameter model regresi untuk variabel x1, x2, …, xk dan tidak dibenarkan mendekati nol. Dimana ε adalah eror/residual model. Kecukupan model regresi diukur dengan melihat koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien determinasi berkisar antara 0-1 dimana semakin mendekati 1, maka hubungan antarvariabel semakin kuat. Keeratan hubungan linear antara kedua peubah dapat diukur oleh koefisien korelasi Pearson (Aminuddin, 2005), dinyatakan dalam persamaan: r=
∑( x1 − x )( y1 − y ) ∑( x1 − x ) 2 ∑( y1 − y ) 2
Nilai koefisien korelasi berkisar antara –1 hingga +1. 3.3.4. Sebaran Spasial Karakteristik Fisik Kimia Air dan Sedimen Sebaran spasial karakteristik fisik kimia air dan sedimen antar stasiun pengamatan digunakan pendekatan analisis komponen utama (principle component analysis) (Legendre dan Legendre, 1998; Bengen, 2000). Analisis Komponen utama dilakukan dengan menggunakan software Minitab versi 14. Analisis komponen utama (AKU) merupakan metode statistik deskriptif yang dimaksudkan untuk mempresentasikan dalam bentuk grafik informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matrik data. Matrik data tersebut terdiri
52 dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan karakteristik fisik kimia air atau sedimen sebagai parameter/variabel kuantitatif (kolom). Sebelum dilakukan AKU, data tersebut harus dinormalkan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Hal ini dikarenakan parameter-paremater tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama. Hasil analisis AKU tidak direalisasikan atau dihitung dari nilai-nilai parameter pengamatan (initial), tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear nilai-nilai parameter inisial (Legendre dan Legendre, 1998). Pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai parameter pengamatan dengan nilai rata-rata parameter dengan rumus:
C = X ij − X i keterangan C = Nilai pusat Xij = Nilai parameter ke-i untuk pengamatan ke-j Xi = Nilai rata-rata parameter ke-i Pereduksian merupakan hasil bagi antara nilai parameter yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku parameter, dengan rumus:
R=
C Sd
keterangan R = Nilai reduksi C = Nilai pusat Sd = Nilai simpangan baku parameter Dalam menentukan hubungan antara dua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan rumus:
Bsxn = Asxn A t nxs keterangan Bsxn = Matriks korelasi, rij Asxn = Matriks korelasi sintetik, nij Atnxs = Matriks kebalikan (transpose) dari Asxn
53 Korelasi linear antara 2 parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah peragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalkan. Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, AKU mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam stasiunnya yang maksimum yang disebut komponen utama pertama (sumbu utama 1 (F1)). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun dijelaskan oleh komponen utama ini. Kemudian dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil (tidak berkorelasi) dengan komponen utama (F1). Komponen utama kedua memberikan informasi tersebar kedua sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini terus berlanjut, hingga diperoleh komponen ke-p, yaitu bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil, yaitu apabila terjadi penurunan nilai kasar ciri secara drastis atau nilai akar ciri lebih kecil dari peluang satu variabel. Pada prinsipnya AKU menggunakan pengukuran jarak euklidean (jumlah kuadrat perbedaan antara stasiun untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euiklidean didasarkan pada persamaan: p
d 2 (i, i ' ) = ∑ ( X ij − X i ' j ) 2 j =1
keterangan i’j = 2 stasiun (pada baris) j
= parameter (karakteristik) sedimen (pada kolom, bervariasi dari 1 ke p)
Interpretasi jarak euklidean adalah semakin kecil jarak euklidean antara dua stasiun, maka semakin mirip karakteristik fisika kimia air atau sedimen antara kedua stasiun tersebut. Sebaliknya, semakin besar jarak euklidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik fisika kimia air atau sedimen antara kedua stasiun tersebut. Pengelompokkan stasiun yang terbentuk selanjutnya dikonfirmasikan dengan klasifikasi hierarki yang diwujudkan dalam dendogram. Ordinasi klasifikasi dihitung dari jarak euklidean dengan kriteria agregasi yang didasarkan pada keterikatan rata-rata (average linkage).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Hidrooseanografi Kondisi hidrooseanografi di lokasi penelitian dideskripsikan dengan kondisi batimetri, kondisi pasang surut, dan arus perairan. Perairan Belitung Timur secara geografis dipengaruhi oleh perairan laut sekitarnya yaitu bagian utara dipengaruhi Laut China Selatan, bagian selatan Laut Jawa, dan bagian timur Selat Karimata. 4.1.1. Batimetri Perairan Kondisi batimetri perairan Belitung Timur merupakan perairan yang relatif landai dari pantai dengan kedalaman perairan rata-rata mencapai 25 m pada lepas pantai. Pada muara Sungai Manggar hingga jarak sekitar 1,5 km ke arah utara, kedalaman perairan berkisar 2-14 m, sementara pada jarak lebih dari 10 km dari muara sungai kedalaman perairan mencapai 20-30 m. Peta batimetri perairan pantai timur Manggar, Belitung Timur disampaikan pada Gambar 6. Perairan pantai timur Manggar, Belitung Timur juga terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Pada radius sekitar 22 km dari pantai timur Manggar, terdapat pulau-pulau kecil yaitu Pulau Mempirak, Bakau, dan Maranai. Pada pulau-pulau ini terdapat ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem penting. 4.1.2. Pasang Surut Kondisi pasang surut di lokasi penelitian tergolong tipe diurnal (tunggal) dengan nilai bilangan formzhal sebesar 7,6 (Dinas Hidrooseanografi TNI AL Tahun 2006, lokasi Tanjung Pandan-Belitung). Berdasarkan tipe pasang surut tersebut, maka lokasi penelitian dicirikan dengan sekali pasang dan sekali surut dalam sehari. Kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 1,25 m dengan ketinggian air pasang maksimum sebesar 1,4 m dan ketinggian air pada saat surut terendah (minimum) sebesar 0,15 m. Kondisi pasang surut pada saat penelitian disampaikan pada Gambar 7.
108° 0' 0" BT
108° 15' 0" BT 31
26
34 29
30
2
18
8 3
7
15 1
P. Maranai
2
Kr
27
4
5
27
B
15
23
5
34 23
2
25 15
Tg. Burungmandi St5
Lokasi sampling (kualitas air, sedimen dan biota)
5
16
St10 2 St7 5
2
12
St9 St8 Tg. Samak
12
21
27
14
22
3
1
114°E
108°E
102°E
NAD
23
24
RIAU
0°N
2
4
0.000000
P. Kabung
20
P. Penebang
p. kayuanak
JAMBI
P. Karimata
N
p.bangka
15
W
E
SUMSEL
9
4
4
Lokasi Kegiatan
p. bulu
p. lepar p. ru
P. Datu p. ayer
BENGKULU
S
0
250 kilometers
LAMPUNG 1007
PETA INDEKS
29
6°S
11
P. Busungjong 12
P. Sugi Besar P. Panjang Natuna
S. Sodor P. Sambu P, Pangkil P. Katalingga P. Buaya P. Ujung Beting P. Singkep
14
2
2 2
22 22
an g
55
7
P. Gantung 7
96°E
SUMBAR
10
2
g ing S. L
3
6°N
16
4
7 2
7
55
4
20
MALAYSIA
4
Tg. Medong
Kedalaman laut
SUMUT
3
4
Terumbukarang
14
4
3
20
25
3
15
21
2
P. Bukulimau
20
3 St11
St12
2
2
4
Daratan
5
20
Ma
7
31 25
7
C5s14M St13 St6 St14
Batas kecamatan
17 3
arSt15 gg an ar . M ngg
Sungai
35
P. Siadung
18
10
Legenda:
24
24 8
5 kilometres
15
Manggar
SIDEMAR
0
1 30
29
St1
20
12
St2
4
St4
Skala
2° 45' 0" LS
2
12
S
2
P. Mempirak
2
22
2
7
St3
2
30
BURUNGMANDI
S
27
222
P. Bakau
2
T
29
12
Kelapa Kampit
Gantung
U
2
S. Pering
25
22
2
Tg. Sengaran
13
2
30
+4 32 20
22
2
13
Karang Hidrograf
32
C5s16m11M 2
7
16
RADISHO - P052050011 TESIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA IPB
2
Rint
35
2
11
43
30
P. Kanis
2
23
2
Tk Buding
9 20
22
2
13
5
22
23
2
8
29
Karang Busungserlang
2
22
2
36 45
2
30
2
26
P.2Keran 2
25
43
2
3 22
32
32 1
5 2
108° 30' 0" BT
Karang Corcyra
30 20
3° 0' 0" LS
55
Gambar 6 Peta batimetri di lokasi penelitian
Sumber : - Peta Dinas Hidro-Oseanografi lembar 51-06 - Survai lapang, Desember 2006
56
Kondisi pasang surut di lokasi penelitian dipengaruhi oleh perjalanan pasang surut di Selat Karimata dan Laut Jawa, kondisi morfologi pantai, dan kondisi batimetri perairan. Pasang surut di Selat Karimata dan Laut Jawa bertipe diurnal (tunggal).
Elevasi (m)
Elevasi Pasang Surut Manggar - Belitung Desember 2006 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 15
16
17
18
19
Tanggal
Gambar 7 Kondisi pasut pada saat penelitian
4.1.3. Arah dan Kecepatan Arus Arus di lokasi penelitian merupakan arus yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan. Arus pasang surut terjadi pada perairan pesisir dan selat yang relatif sempit. Arah arus biasanya bolak-balik, yakni pada kondisi pasang (peningkatan muka air) arus mengalir masuk, dan pada kondisi surut (penurunan muka air) arus akan ke luar (Nontji, 2002). Hasil pengukuran arah dan kecepatan arus di lokasi penelitian menunjukkan arus permukaan lebih kuat dari arus dasar.
Kecepatan arus
permukaan berkisar 11,41 – 51 cm/detik, sedangkan arus dasar berkisar 10,0632,21 cm/detik. Arah arus permukaan tertinggi (51 cm/detik) adalah 313O (barat laut) dan terendah (11,41 cm/detik) pada 103O (timur laut). Arus pasang surut di daerah pesisir dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan bisa mencapai lapisan yang lebih dalam (Nontji, 2002). Selain kondisi pasang surut, faktor lainnya adalah kondisi morfologi perairan, dan arah dan kecepatan angin. Pada saat penelitian angin bertiup dari timur ke barat. Pergerakan arus dari Laut Jawa ke perairan ini didominasi arah arus ke barat namun pertemuan arus dari Laut Cina Selatan yang bergerak dari utara ke selatan menyebabkan arah arus di perairan ini bergerak kearah barat daya di lapisan permukaan dan kedalaman 10 m.
57
4.2.
Karakteristik Kualitas Air Pengamatan karakteristik fisik dan kimia perairan dilakukan pada bulan
Oktober 2006 dan Desember 2006 . Parameter fisik meliputi suhu, kecerahan, dan padatan tersuspensi (TSS).
Parameter kimia meliputi pH, salinitas, oksigen
terlarut, fosfat, nitrat, nitrit, silikat, dan beberapa unsur logam berat (Fe, Cu, Cd, Pb, Zn, dan Hg). Kondisi karakteristik fisik kimia perairan secara umum masih tergolong normal dan memenuhi baku mutu kualitas air laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 untuk air sungai. Namun untuk konsentrasi fosfat, nitrat, amoniak, dan beberapa unsur logam seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), dan air raksa (Hg) telah melebihi baku mutu perairan laut. 4.2.1. Karakteristik Fisik Perairan Suhu permukaan perairan berkisar antara 28,9 – 29,8OC dengan suhu perairan maksimal ditemukan di stasiun 1 dan suhu minimal ditemukan di stasiun 2 (Tabel 15).
Kedua lokasi tersebut terletak jauh dari perairan pantai
(lepas pantai) dengan kedalaman sekitar 30 meter. Kondisi ini tergolong normal untuk perairan tropis. Tabel 15 Kondisi parameter fisik perairan di lokasi penelitian Stasiun
Suhu (OC)
Kecerahan
TSS (mg/l)
meter
%
1
29,79
10,00
34,48
31,0
2
28,92
8,00
26,67
23,0
3
29,16
9,00
30,00
22,0
4
29,24
6,00
46,15
21,0
5
29,18
4,00
50,00
20,0
6
29,28
3,00
42,86
32,0
7
29,15
5,00
71,43
23,0
8
29,15
5,00
71,43
34,0
9
29,15
2,00
66,67
25,0
10
29,15
3,00
42,86
31,0
Baku Mutu
Alami
>3 m
20 mg/l (coral)
58
Kecerahan perairan berkisar antara 26,7-71,4 % dari kedalaman perairan. Kecerahan cenderung meningkat dari muara sungai ke lokasi yang jauh dari pantai dan tidak dilalui jalur pelayaran kapal. Transportasi kapal nelayan sangat berpotensi pada peningkatan kekeruhan dan penurunan kecerahan. Selain itu, adanya pengaruh aliran sungai yang membawa partikel tersuspensi dan pengaruh arus pasang surut air laut. Hasil
pengukuran
terhadap
padatan
tersuspensi
(TSS)
perairan
menunjukkan bahwa lokasi pengamatan yang dekat dengan muara sungai dan pantai memiliki nilai TSS yang lebih tinggi dibanding lokasi pengamatan di lepas pantai. Nilai TSS berkisar antara 20-34 mg/L dengan nilai tertinggi ditemukan pada stasiun 8 yang terletak di pantai dan dilalui jalur pelayaran kapal nelayan. Secara umum nilai TSS di semua lokasi pengamatan telah melebihi baku mutu untuk lokasi habitat terumbu karang (>20 mg/l). 4.2.2. Karakteristik Kimia Perairan Karakteristik kimia perairan meliputi salinitas, oksigen terlarut (DO), pH, fosfat, nitrat, nitrit, amoniak, silikat, dan beberapa unsur logam berat (Fe, Cu, Cd, Pb, Zn, dan Hg). Hasil pengukuran parameter salinitas, pH, DO, fosfat, nitrat, nitrit, amoniak, dan silikat disampaikan pada Tabel 16. Tabel 16 Karakteristik kimia perairan di lokasi penelitian Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Min Maks Rerata Baku mutu
Salinitas (O/oo) 32,64 32,92 33,18 33,28 32,90 32,94 32,92 33,07 33,07 33,07 32,64 33,28 33,00
pH 8,17 8,12 8,06 8,05 8,00 8,01 8,05 8,09 8,05 8,12 8,00 8,17 8,07
33-34
7-8
DO Fosfat Nitrat Nitrit Amoniak Silikat ----------------------------(mg/l)-----------------------------4,15 0,53 0,58 0,08 1,45 1,72 4,12 0,55 0,65 0,10 1,67 1,75 4,08 0,57 0,62 0,09 1,47 1,83 4,10 0,54 0,74 0,10 1,17 1,73 4,07 0,71 0,86 0,18 1,29 1,92 4,03 0,59 0,78 0,13 1,44 2,26 4,08 0,42 0,57 0,10 1,53 1,85 4,11 0,56 0,52 0,17 1,70 2,45 4,15 0,45 0,45 0,15 1,55 2,45 4,13 0,44 0,42 0,07 1,54 1,87 4,03 0,42 0,42 0,07 1,17 1,72 4,15 0,71 0,86 0,18 1,70 2,45 4,10 0,54 0,62 0,12 1,48 1,98 >5
0,015
0,008
-
0,3
-
59
Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 32,64 – 33, 28 O/oo dengan rata-rata sebesar 33 O/oo. Nilai salinitas tertinggi ditemukan di stasiun 4 dan terendah di stasiun 1.
Kondisi ini masih berada dalam kisaran normal dan
memenuhi baku mutu untuk kawasan perairan tropis. Baku mutu salinitas di ekosistem terumbu karang adalah 33-34 O/oo. Perairan pantai timur Manggar merupakan pantai yang landai dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal. Nilai pH di lokasi penelitian masih memenuhi baku mutu yaitu berkisar 8,00-8,17 dengan nilai tertinggi ditemukan di Stasiun 1 yaitu perairan lepas lantai dan berdekatan dengan pulau-pulau kecil (Pulau Memperak dan Bakau). pH perairan di lokasi tergolong normal dan tidak terpengaruh limbah akibat aktivitas tambang inkonvensional yang memiliki pH yang cenderung rendah (asam). Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter indikator perairan selain suhu, salinitas dan pH. Kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 4,03-4,15 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian umumnya merata dengan nilai rerata sebesar 4,10 mg/l. Karakteristik nutrien perairan diukur melalui parameter fosfat, nitrat, nitrit, amoniak, dan silikat. Kandungan fosfat, nitrat, dan amoniak di lokasi penelitian tergolong tinggi dan berada di atas baku mutu kualitas air laut. Hal ini diduga adanya pengaruh pembuangan limbah bahan organik dari aktivitas penduduk di daratan. Kandungan fostat perairan berkisar 0,42-0,71 mg/l, nitrat berkisar 0,42-0,86 mg/l, nitrit sebesar 0,07-0,18 mg/l, amoniak sebesar 1,171,70mg/l, dan silikat sebesar 1,72-2,45 mg/l. Kandungan fosfat, nitrat, dan nitrit tertinggi ditemukan di stasiun 5 namun demikian kandungan amoniak tergolong rendah. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada stasiun 5 kaya akan bahan organik dan jauh dari limbah aktivitas manusia. Stasiun 5 terletak perairan pantai Burung Mandi yaitu di sebelah utara dari muara Sungai Manggar. Kandungan amoniak tertinggi ditemukan di stasiun 8 (1,70 mg/l) diduga pada stasiun ini banyak dipengaruhi limbah domestik dari aktivitas pemukiman di sekitar pantai Manggar.
60
Karakterisk Logam Berat Perairan Karakteristik logam berat perairan di lokasi penelitian meliputi Fe, Cu, Zn, Pb, Cd, dan Hg (Tabel 17).
Berdasarkan Tabel 16
dapat dikatakan bahwa
konsentrasi Cu, Pb, dan Hg telah melebihi baku mutu kualitas air laut. Bahkan kandungan Cu telah melebihi baku mutu di 15 stasiun pengamatan. Sebaran logam berat perairan di lokasi penelitian dideskripsikan pada Lampiran 2. Tabel 17 Karakteristik logam berat di lokasi penelitian Stasiun
Fe
Cu
Zn
Pb
Cd
Hg
------------------------------------ mg/l ------------------------------------1
0,376
0,054
0,010
0,031
<0,001
0,002
2
0,090
0,058
0,004
0,019
<0,001
0,024
3
0,103
0,046
0,004
0,001
<0,001
0,013
4
0,261
0,058
0,003
0,005
<0,001
0,046
5
0,329
0,038
0,005
0,005
<0,001
<0.001
6
0,146
0,035
0,006
0,013
<0,001
<0.001
7
0,256
0,043
0,004
0,045
<0,001
0,007
8
0,239
0,045
0,003
0,025
<0,001
<0.001
9
0,312
0,059
0,004
0,027
<0,001
<0.001
10
0,342
0,068
0,004
0,020
<0,001
0,002
11
0,495
0,063
0,004
0,019
<0,001
<0.001
12
0,852
0,054
0,004
0,003
<0,001
0,053
13
0,993
0,056
0,004
0,018
<0,001
<0.001
14
0,648
0,073
0,004
0,027
<0,001
<0.001
15
0,580
0,059
0,003
0,012
<0,001
<0.001
Min
0,090
0,035
0,003
0,001
-
<0,001
Maks
0,993
0,073
0,010
0,045
-
0,053
Rerata
0,401
0,054
0,004
0,018
<0,001
0,021
Baku mutu
-
0,008
0,050
0,008
0,001
0,001
Konsentrasi tembaga (Cu) di perairan lokasi penelitian berkisar 0,0350,073 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di Stasiun 14 (Sungai Manggar) dan terendah di Stasiun 6 (perairan pantai).
Konsentrasi Cu dideskripsikan pada
Gambar 8. Bila dibandingkan dengan baku mutu kualitas air laut, maka konsentrasi Cu telah melebihi baku mutu.
Tingginya konsentrasi Cu diduga
adanya masukan dari Sungai Manggar yang diduga telah terkontaminasi konsentrasi Cu akibat aktivitas pertambangan timah di daratan.
Sebagai
61
perbandingan penelitian Brahmana et al. (2004) di beberapa kolong tambang timah di Bangka konsentrasi Cu tidak memenuhi baku mutu perairan kelas I, II, dan III (PP 82 Tahun 2001) dengan konsentrasi rata-rata sebesar 0,03 mg/l (Brahmana et al., 2004). Konsentrasi Cu
Konsentrasi Cu (mg/L)
0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Lokasi Pengam atan
Gambar 8 Konsentrasi Cu di lokasi penelitian
Selain Cu, konsentrasi logam berat perairan yang tinggi dan melebihi baku mutu adalah timbal (Pb). Namun demikian, tingginya konsentrasi Pb tidak terjadi pada semua stasiun pengamatan (Gambar 9). Konsetrasi Pb di peraian berkisar antara 0,001-0,45 mg/l. Konsentrasi Pb tertinggi ditemukan di Stasiun 7 yaitu perairan pantai yang berada sekitar 2 km dari pantai. Tingginya konsentrasi Pb umumnya ditemukan pada stasiun-stasiun pengamatan yang berada di sungai dan perairan pantai. Namun demikian di Stasiun 1 dan Stasiun 2 yang berada jauh dari pantai juga memiliki konsentrasi Pb yang melebihi baku mutu, masingmasing sebesar 0,031 mg/l dan 0,019 mg/l. Tingginya konsentrasi di perairan sungai dan perairan pantai diduga akibat aktivitas pertambangan timah inkonvensional yang masih berjalan. Konsentrasi Pb di perairan kolong tambang timah di Bangka tidak memenuhi baku mutu Kelas I, II, dan III (PP No. 82 Tahun 2001) dengan konsentrasi 0,1-0,5 mg/l (Brahmana et al., 2004). Dalam bijih timah terkandung bijih timah primer, alluvial, elluvial, dan mineral-mineral antara lain xenotim, kuarsa. feldspar, ilmenit, zirkon, monazit, pyrit, turmalin, dan limonit. Dalam timah putih, selain unsur timah (Sn) juga
62
terkandung timbal (Pb) yang banyak terdapat pada timah hitam (Badri, 2004). Sn dan Pb merupakan logam yang tergolong kelompok logam jarang yaitu logamlogam yang sedikit ditemukan dalam lapisan tanah dan batuan bumi (Skinner, 1969 dalam Palar, 2004). Konsentrasi Pb 0,05 Konsentrasi Pb (mg/L)
0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Lokasi Pengam atan
Gambar 9 Konsentrasi Pb di lokasi penelitian Pada penelitian terdahulu oleh LIPI Tahun 2007 di 40 kolong air pasca penambangan timah di Kabupaten Bangka, diketahui bahwa rata-rata konsentrasi logam Pb berada diatas baku mutu dan kurang layak untuk budidaya ikan (Henny, 2007). Hal ini dikarenakan air kolong yang memiliki pH yang rendah (masam) sehingga mudah melarutkan logam-logam berat. Selain Pb, logam-logam lainnya yang tergolong tinggi adalah besi (Fe). Brahmana (2004) melaporkan bahwa konsentrasi logam berat seperti Fe, Mn, Zn, Cu, dan Pb tidak memenuhi persyaratan pemanfaatan. Bertambahnya usia kolong dan pengenceran, maka pelarutan logam oleh asam
semakin berkurang sehingga mutu kualitas air
semakin membaik. Hasil penelitian lain di perairan Teluk Kelabat Bangka yang dilakukan P2O-LIPI pada Tahun 2006-2007 dilaporkan bahwa konsentrasi logam berat Cd, Pb, dan Cu merupakan logam berat yang sering ditemukan dalam konsentrasi tinggi di lokasi tambang timah inkonvesional apung di Perairan Teluk Kelabat. Namun setelah pasca penambangan, konsentrasi ketiga logam tersebut mengalami penurunan dan memenuhi baku mutu kualitas air laut (Hindarti, 2007).
63
Konsentrasi merkuri (Hg) berkisar antara <0,001-0,053 mg/l.
Pada
Stasiun 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, dan 15 masih memenuhi baku mutu dengan konsentrasi <0,001 mg/l. Sementara pada Stasiun 2, 3, 4, 7, dan 12 telah melebihi baku mutu kualitas air laut (Gambar 10). Stasiun 12 berada di perairan sungai yang berdekatan dengan pelabuhan kapal. Tingginya konsentrasi Hg pada beberapa lokasi pengamatan diduga akibat limbah aktivitas pertanian dan kegiatan pelabuhan kapal di Manggar. Selain itu, diduga juga merupakan kondisi alami perairan. Pada penelitian lain di lokasi bekas pertambangan timah di Dabo Singkep, konsentrasi merkuri (Hg) di air kolong tergolong kecil dan memenuhi baku mutu (Badri, 2004). Konsentrasi Hg
Konsentrasi Hg (mg/L)
0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Lokasi Pengam atan
Gambar 10 Konsentrasi Hg di lokasi penelitian Konsentrasi seng (Zn) berkisar 0,003-0,010 mg/l.
Konsentrasi Zn di
semua lokasi pengamatan tergolong masih dibawah baku mutu yang ditetapkan. Konsentrasi tertinggi ditemukan di stasiun 1 (lepas pantai) dan terendah di Stasiun 4 dan Stasiun 15 (Gambar 11). Seng merupakan salah satu logam berat esensial yang dalam konsentrasi tinggi akan bersifat toksik (Palar, 2004). Toksisitas seng dan copper bersifat sinergik yang mengalami peningkatan dan lebih toksit daripada penjumlahan keduanya (Peavy et al., 1985 dalam Effendi, 2003).
64
Konsentrasi Zn
Konsentrasi Zn (mg/L)
0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Lokasi Pengam atan
Gambar 11 Konsentrasi Zn di lokasi penelitian Konsentrasi logam besi (Fe) di stasiun pengamatan umumnya tidak memenuhi baku mutu kelas I (sekitar 60%). Konsentrasi Fe berkisar antara 0,0900,993 mg/l dengan konsentrasi tertinggi ditemukan di Stasiun 13 (Sungai Manggar) dan terendah di Stasiun 2 (lepas pantai). Tingginya konsentrasi Fe di perairan sungai dan pantai diduga adanya masukan limbah dari daratan dikarenakan meningkatkan erosi tanah.
Brahmana (2004) melaporkan bahwa
konsentrasi logam besi di kolong bekas tambang timah tidak memenuhi baku mutu kelas I (>0,3 mg/l). Sebaran konsentrasi Fe disampaikan pada Gambar 12.
Konsentrasi Fe (mg/l)
1 Fe BM (Kelas I)
0,8 0,6 0,4 0,2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Stasiun Pengamatan
Gambar 12 Konsentrasi Fe di lokasi penelitian
65
4.2.3. Analisis Hubungan Parameter Fisik Kimia Perairan Analisis hubungan parameter fisik kimia perairan menggunakan pendekatan analisis uji korelasi pearson (Tabel 18). Berdasarkan hasil analisis korelasi tersebut parameter yang memiliki korelasi yang nyata (<5%) adalah pH terhadap oksigen terlarut dan kecepatan arus (korelasi positif); oksigen terlarut dan nitrat (korelasi negatif); oksigen terlarut dan arah arus (korelasi positif). Sementara
nitrit
berkorelasi
negatif
dengan
amoniak.
Korelasi
positif
menunjukkan hubungan antar parameter berbanding lurus dan hubungan negatif menunjukkan sebaliknya. Hasil korelasi lainnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel tersebut. Tabel 18 Analisis korelasi antar parameter fisik kimia perairan Suhu
Salinitas
pH
O2
PO4
NO3
Salinitas
-0,552 0,098
pH
0,373 0,289
-0,376 0,284
O2
0,209 0,562
-0,134 0,713
0,751 0,012*
PO4
0,035 0,924
-0,104 0,774
-0,395 0,258
-0,492 0,148
NO3
0,025 0,946
-0,075 0,837
-0,575 0,082
-0,707 0,022*
0,816 0,004*
NO2
-0,235 0,513
0,034 0,926
-0,589 0,073
-0,255 0,477
0,531 0,114
0,316 0,374
NH3
-0,321 0,366
-0,201 0,578
0,440 0,203
0,320 0,367
-0,377 0,282
-0,639 0,047*
SiO3
-0,181 0,617
0,157 0,664
-0,337 0,341
-0,050 0,891
-0,030 0,935
-0,255 0,478
Kec Arus
0,718 0,019*
-0,412 0,237
0,650 0,042*
0,535 0,111
-0,033 0,928
-0,124 0,732
Arah Arus
0,732 0,016*
-0,496 0,145
0,624 0,054
0,740 0,014*
-0,246 0,493
-0,342 0,334
Kecerahan
0,371 0,291
-0,269 0,452
0,564 0,089
0,194 0,591
0,154 0,672
0,105 0,773
66
Tabel 18 Analisis korelasi antar parameter fisik kimia perairan (lanjutan) NH3
SiO3
NO2 0,022 0,951
NH3
0,694 0,026*
0,398 0,254
SiO3
Kec Arus
Kec Arus
-0,457 0,185
-0,179 0,622
-0,564 0,089
Arah Arus
-0,228 0,527
0,007 0,986
-0,135 0,711
0,822 0,004*
Kecerahan
-0,485 0,155
0,001 0,997
-0,640 0,046*
0,779 0,008*
Arah Arus
0,437 0,207
Cell Contents: Pearson correlation P-Value; *=correlation is significant at the 0,05 level
Pergerakan arus akan mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan. Korelasi positif antara oksigen terlarut dengan arus menunjukkan kondisi tersebut. Oksigen terlarut juga berkorelasi negatif terhadap nitrat. Nitrat dihasilkan dari proses nitrifikasi di perairan dan oksigen terlarut mempengaruhi proses nitrifikasi. 4.3. Karakteristik Sedimen Dasar Perairan 4.3.1. Karakteristik Fisik Sedimen Karakteristik fisik sedimen dilakukan terhadap tekstur sedimen yang meliputi 10 fraksi dan kemudian dikelompokkan kedalam fraksi liat, debu, dan pasir (Tabel 19 dan Gambar 13). Tekstur sedimen di Sungai Manggar didominasi oleh jenis liat dan debu, di pantai didominasi oleh tekstur pasir, dan di lepas pantai didominasi oleh pasir. Hasil analisis sedimen selengkapnya disampaikan pada Lampiran 3. Berdasarkan analisis segitiga tekstur, tekstur sedimen di lokasi penelitian dapat dikategorikan menjadi 6 kelompok yaitu pasir, pasir berlempung, lempung berdebu, lempung berpasir, lempung liat berpasir, dan lempung berliat. Tekstur pasir banyak dominan ditemukan pada stasiun 1, 2, 7, 8, 9, 10, dan 11. Hasil analisis segitiga tekstur (Arsyad, 2006) disampaikan pada Gambar 14.
67
Tabel 19 Tekstur sedimen di lokasi penelitian Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pasir (%) 94,7 96,0 25,6 65,6 84,6 64,4 93,0 96,7 95,0 93,0 94,2 24 58 58 29
Debu (%) 0,9 1,8 73,6 26,7 6,8 23,5 3,7 1,1 3,4 3,1 3,8 54 22 25 38
Liat (%) 3,6 2,3 0,8 7,7 8,6 12,1 3,3 2,2 1,6 3,9 2,0 22 20 17 33
Ketegori Pasir Pasir Lempung berdebu Lempung berpasir Pasir berlempung Lempung berpasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Lempung berdebu Lempung liat berpasir Lempung berpasir Lempung berliat
120,0 100,0 80,0
Liat Debu
60,0
Pasir 40,0 20,0 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Gambar 13 Tekstur sedimen n di lokasi penelitian
68
Gambar 14 Hasil analisis segitiga tekstur sedimen Pada stasiun pengamatan di sungai dan muara sungai banyak ditemukan tekstur liat dan debu (Gambar 15). Kondisi ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1988) bahwa ekosistem estuari didominasi oleh substrat lumpur (tekstur liat dan debu). Sumber substrat di muara sungai berasal dari daratan (fluvial sediment) yang dibawa aliran sungai dan juga sedimen dari laut (marine sediment). Substrat lumpur banyak mengandung bahan organik dan mengandung logam berat yang cenderung
tinggi
bila
dibandingkan
dengan
substrat
lumpur
berpasir
(Korzeniewski & Neugabieuer ,1991 dalam Amin, 2002). Sementara pada stasiun pengamatan di pantai dan lepas pantai didominasi oleh substrat berpasir. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengaruh arus pasang surut yang kuat sehingga aliran sedimen dari daratan yang membawa substrat lumpur tidak sampai ke perairan pantai dan lepas pantai.
69
Liat 23% Pasir 42%
Debu 35%
a. Tekstur sedimen di Sungai Manggar
Debu 10%
Liat 6%
Pasir 84%
b. Tekstur sedimen di Pantai Manggar
Debu 25%
Liat 2%
Pasir 73%
c. Tekstur sedimen di Lepas Pantai Manggar Gambar 15 Sebaran tekstur sedimen di lokasi penelitian
70
4.3.2. Karakteristik Kimia Sedimen Karakteristik kimia sedimen yang diteliti meliputi parameter pH dan beberapa unsur logam berat meliputi besi (Fe), alumunium (Al), tembaga (Cu), seng (Zn), timah hitam (Pb), kadmium (Cd), selenium (Se), arsen (As), dan merkuri (Hg). Hasil analisis parameter kimia sedimen disampaikan pada Tabel 20. Tabel 20 Konsentrasi pH dan beberapa unsur logam berat Stasiun
pH
Fe
Al Cu Zn Pb Cd Se As --------------------------- mg/kg----------------------------1 8,5 2589 1450 0,7 2,7 3,0 0,008 3,0 9,6 2 8,5 2919 1053 0,3 2,0 2,9 0,007 2,7 7,4 3 8,5 2778 733 0,6 2,5 2,9 0,001 1,7 14,0 4 8,4 7723 14425 2,7 18,4 10,0 0,007 3,0 10,5 5 8,5 3252 5803 1,2 7,1 5,6 0,001 1,3 12,7 6 8,3 6984 12787 3,6 17,3 14,7 0,001 0,8 12,1 7 8,2 345 510 0,6 1,0 1,1 0,001 3,2 0,8 8 8,2 180 286 0,3 1,3 0,5 0,001 4,0 3,9 9 8,2 305 273 0,0 0,9 0,9 0,001 7,0 5,4 10 8,5 713 474 0,3 1,2 1,6 0,001 9,5 7,4 11 8,3 312 338 0,6 3,4 1,2 0,001 0,8 16,3 12 8,2 9292 12959 4,7 22,6 18,3 0,007 3,0 26,7 13 8,0 10099 15737 7,2 37,0 31,1 0,050 0,6 27,3 14 8,0 10787 16582 7,1 28,9 24,8 0,065 3,6 28,3 15 8,0 14651 29841 10,5 47,0 34,2 0,042 3,7 21,1 Rerata 8,3 4862 7550 2,69 12,9 10,19 0,013 3,19 13,57 BM 18,7 124 30,2 0,7 7,24 BM: Baku mutu sedimen berdasarkan The Canadian Council of Minester of the Environment
Nilai pH sedimen tergolong normal (tidak asam) dan tidak berbeda jauh dengan kondisi pH perairan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh kegiatan pertambangan timah inkonvensional di darat tidak mempengaruhi pH sedimen perairan baik sungai, pantai maupun ke lepas pantai. Konsentrasi Fe pada sedimen berkisar antara 180-14.651 mg/kg. Konsentrasi Al berkisar antara 273-29.841 mg/kg dengan rata-rata sebesar 7.550. Konsentrasi Cu, Zn, Pb, Cd, dan As masing-masing berkisar antara 0-10,5 mg/kg; 0,49-47,0 mg/kg; 0,50-34,2 mg/kg; 0,001-0,065 mg/kg; dan 0,80-28,3. Konsentrasi logam berat tersebut umumnya tinggi pada stasiun pengamatan di Sungai Manggar. Konsentrasi logam Fe, Al, Cu, Zn, dan Pb tertinggi ditemukan pada Stasiun 15 (hulu sungai). Kondisi ini diduga adanya konstribusi kegiatan di
71
darat terutama pertambangan timah (TI). Sebaran konsentrasi Cu, Zn, Pb, dan As disampaikan pada Gambar 16. Bila dibandingkan dengan baku mutu sedimen yang dikeluarkan oleh The Canadian Council of Minester of the Environment, maka konsentrasi logam Pb sebagian telah melebihi baku mutu. Kondisi ini ditemukan pada Stasiun 13 dan Stasiun 15 (perairan Sungai Manggar).
Sementara konsentrasi logam As,
ditemukan melebihi baku pada 10 stasiun pengamatan yaitu di perairan sungai dan sebagian di perairan lepas pantai dan pantai. Konsentrasi logam Pb, Cd, Cu, dan Zn pada sedimen di lokasi penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya di beberapa perairan Indonesia disampaikan pada Tabel 21. Konsentrasi Pb di lokasi penelitian rata-rata lebih rendah dibandingkan pada perairan Teluk Klabat, perairan Siak, Teluk Banten dan Teluk Jakarta. Namun rata-rata konsentrasi Cu tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Teluk Klabat, Bangka. Tabel 21
Konsentrasi logam Pb, Cd, Cu, dan Zn di lokasi penelitian dan beberapa perairan lain di Indonesia
Lokasi1 Teluk Klabat, Perairan Teluk Teluk5 Jakarta Penelitian Bangka2 Siak3 Banten4 Pb (mg/kg) 0,50-34,2 1,06-58,19 29,1-47,4 38,1-59,5 10,9-105 (10,19) (49+5) (42+24) (14,06+15,32) (42+3,4) Cd (mg/kg) 0,001-0,065 0,01-0,10 0,40-0,75 0,19-0,98 0,24-0,80 (0,013) (0,04+ 0,03) (0,5+0,2) (0,5+0,2) (0,6+0,1) Cu (mg/kg) 0,0-10,5 0,28-5,67 4,2-8,1 5,2-18,4 10,5-106 (2,69) (11+3,1) (53+27) (1,86+1,62) (5,9+1,5) Zn (mg/kg) 0,9-47,0 0,43-36,85 40,0-73,1 48,5-78,4 121-508 (12,9) (59+7,8) (250+129) (14,39+11,06) (57+13) 1: data penelitian; 2: Lestari et al. (2003); 3,4,5: Hutagalung , 1995 dalam Lestari et al., 2003 Parameter
72
140,0
18,0 16,0
Konsentrasi Zn (ppm)
Konsentrasi Cu (ppm)
20,0
Cu
14,0
BM
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
120,0 Zn
100,0
BM 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
1
2
3
4
5
Stasiun Pengamatan
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Stasiun Pengamatan
30,0
40,0
Konsentrasi As (ppm)
35,0
Konsentrasi Pb (ppm)
6
30,0 25,0
Pb BM
20,0 15,0 10,0 5,0
25,0 20,0 As BM
15,0 10,0 5,0 0,0
0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Stasiun Pengamatan
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Stasiun Pengamatan
Konsentrasi Cu, Zn, Pb, dan As pada sedimen
72
Gambar 16
1
73 4.3.3. Sebaran Spasial Karakteristik Sedimen Sebaran spasial karakteritik sedimen antar stasiun pengamatan dilakukan dengan pendekatan analisis multivariate yaitu analisis komponen utama/AKU (principle components analysis) dan analisis cluster. Pendekatan ini dilakukan dikarenakan antar variabel diduga terjadi hubungan multikolinearitas. Hasil analisis komponen utama menghasilkan analisis eigen yang terdiri dari eigenvalue, persentase, dan persentase kumulatifnya. Eigenvalue atau akar ciri adalah nilai varian komponen utama (principal component, PC). Output untuk eigenvalue komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2) masing-masing adalah 8,5183 dan 1,5106 yang mewakili 71% dan 12,6%. Kumulatif kedua komponen utama tersebut adalah 86,3%. Dengan demikian kedua variabel baru sudah dapat menjelaskan 86,3% dari total variabilitas 12 variabel (karakteristik fisik kimia sedimen). Hasil korelasi antar variabel sumbu komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2) disampaikan pada Gambar 17. Berdasarkan hasil korelasi tersebut memperlihatkan bahwa pada sumbu PC1 (negatif) adanya korelasi yang cukup besar antara logam berat Cu, Zn, Pb, dan Al dengan substrat liat dengan konstribusi sebesar 11,7%, 9,3%, 9,8%, 6%, dan 7,1%. Pada sumbu PC1 (positif), korelasi terjadi antara variabel pH, tekstur pasir, dan Se dengan konstribusi sebesar 35,6%, 47,1%, dan 35,6%. Berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan pada komponen utama pertama (PC1) dan komponen utama kedua (PC2) diperoleh 6 pengelompokan stasiun
pengamatan.
Pengelompokkan
stasiun
pengamatan
kemudian
dikonfirmasi dalam bentuk dendogram klasifikasi hirarki (Gambar 18). Pengelompokkan stasiun pengamatan dicirikan dengan karakteristik sedimen yang berbeda (Tabel 22).
74 Loading Plot of pH; ...; Liat 0,75 Debu
A Second Component
0,50 pH
0,25 As Fe
0,00
Al Liat Zn Pb Cu
-0,25
Cd Se Pasir
-0,50 -0,4
-0,3
-0,2
-0,1 0,0 First Component
0,1
0,2
0,3
Score Plot of pH; ...; Liat 4
3 Second Component
3
B
2
12
1
6
4
5 11
0 15
-1
12 7 8
13
9
14
-6
-4
-2 0 First Component
2
10
4
Gambar 17 Grafik analisis komponen utama karakteristik sedimen A. Korelasi antar karakteristik sedimen (PC1xPC2) B. Sebaran stasiun penelitian
75 Dendrogram with Average Linkage and Euclidean Distance
Distance
6,26
4,17
2,09
0,00
1
2
11
7
8
9
10 5 3 Observations
4
6
12
13
14
15
Gambar 18 Dendogram klasifikasi hirarki stasiun pengamatan
Tabel 22 Pengelompokan stasiun pengamatan dan ciri karakteristik sedimen Kelompok keI
Stasiun Pengamatan 13, 14, dan 15
II
7,8,9, dan 10
III
4,6, dan 12
IV
1, 2, dan 11
V
5
VI
3
Karakteristik Sedimen Tekstur liat yang relatif tinggi dan konsentrasi logam Cu, Zn, Pb, Al, dan Fe yang tinggi pula Didominasi oleh tektur pasir dan konsentrasi Se yang tinggi Tekstur debu dan konsentrasi As yang tinggi serta konsentrasi Se yang rendah Kandungan tekstur liat dan konsentrasi logam Cu, Zn, Pb, Al, dan Fe yang relatif rendah pH yang tinggi dan konsentrasi Cd yang rendah pH relatif tinggi, tekstur debu dan konsentrasi Se dan Cd yang rendah
76 4.3.4. Karakteristik Tekstur Sedimen Terhadap Kandungan Logam Berat Karakteristik sedimen sangat berpengaruhi nyata terhadap konsentrasi logam berat dalam sedimen.
Hasil analisis korelasi pearson memperlihatkan
bahwa tekstur liat sangat berkorelasi nyata terhadap konsentrasi Fe, Al, Cu, Zn, dan Pb dengan nilai P-value sebesar 0,000 (<0,01). Sementara korelasi yang sangat nyata antar logam berat sendiri yaitu Fe terhadap Al, Cu, Zn, dan Pb dengan nilai P-value sebesar 0,000 (Tabel 23). Al juga berkorelasi sangat nyata terhadap Cu, Zn, dan Pb. Tabel 23 Hasil analisis korelasi logam berat dan tekstur Pasir
Debu
Liat
Fe
Al
Cu
Zn
Pb
Cd
Debu
-0,949 0,000
Liat
-0,695 0,004
0,433 0,107
Fe
-0,749 0,001
0,530 0,042
0,933 0,000
Al
-0,678 0,006
0,438 0,102
0,940 0,000
0,971 0,000
Cu
-0,677 0,006
0,429 0,111
0,959 0,000
0,958 0,000
0,958 0,000
Zn
-0,678 0,005
0,434 0,106
0,953 0,000
0,967 0,000
0,970 0,000
0,989 0,000
Pb
-0,676 0,006
0,433 0,107
0,946 0,000
0,958 0,000
0,938 0,000
0,987 0,000
0,989 0,000
Cd
-0,404 0,135
0,202 0,470
0,695 0,004
0,763 0,001
0,710 0,003
0,839 0,000
0,805 0,000
0,842 0,000
Se
0,277 0,318
-0,271 0,328
-0,170 0,544
-0,266 0,339
-0,214 0,445
-0,213 0,445
-0,248 0,372
-0,256 0,358
-0,124 0,661
As
-0,701 0,004
0,546 0,035
0,758 0,001
0,792 0,000
0,691 0,004
0,787 0,000
0,786 0,001
0,820 0,000
0,746 0,001
Se -0,356 0,193 Cell Contents: Pearson correlation P-Value; *=correlation is significant at the 0,05 level As
Korelasi antara tekstur sedimen terhadap logam berat dilakukan uji lanjut dengan menggunaan analisis regresi sebagaimana disampaikan pada Tabel 24 dan selengkapnya disampaikan pada Lampiran 4.
Berdasarkan analisis regresi
dihasilkan bahwa liat berpengaruhi nyata terhadap konsentrasi tembaga (Cu), seng (Zn), timbal (Pb), alumunium (Al), dan besi (Fe). Nilai koefisien determinasi (R2) terhadap kelima parameter tersebut masing-masing adalah 91,9%, 90,7%,,
77 89,6%, 88,4%, dan 87,1% dengan nilai P sebesar 0,000.
Nilai koefisien
determinasi tertinggi dihasilkan pada analisis regresi antara tektur liat terhadap tembaga. Tabel 24 Hasil analisis regresi parameter logam berat terhadap tekstur Logam Berat Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As)
4.4.
Pasir P R2 (%) 56,1 0,001 45,9 0,006 45,8 0,006 46,0 0,005 45,7 0,006 16,3 0,135 7,6 0,318 49,1 0,004
Debu R2 (%) P 28,1 0,042 19,2 0,102 18,4 0,111 18,8 0,106 18,7 0,107 4,1 0,470 7,4 0,328 29,8 0,035
Liat R2 (%) P 87,1 0,000 88,4 0,000 91,9 0,000 90,7 0,000 89,6 0,000 48,4 0,004 2,9 0,544 57,5 0,001
Struktur Komunitas Bentos Struktur komunitas bentos di lokasi penelitian disampaikan pada
Gambar 19.
Bentos yang teridentifikasi terdiri atas 16 jenis/species yang
termasuk dalam marga Polychaeta, Crustacea, Gastropoda, dan Pelecypoda. Pada stasiun pengamatan sungai yang diduga tercemar kegiatan pertambangan timah inkonvensional di darat (stasiun 12, 13, 14, dan 15) ditemukan species Lumbriculus sp., Paranoies sp., Sigambra sp., Leptochelia sp., dan Solen sp. Pada stasiun pengamatan di perairan pantai teridentifikasi species Lumbriculus sp., Nephtys sp., Ophelina sp., Paralacydonia sp., Amphilisca sp., Pinnotheres sp., Terebra sp., Tellina sp., Donax sp., Chione sp. dan Macona sp. Sementara di lepas pantai ditemukan species Nephtys sp., Cirratullus sp., dan Tellina sp. Hasil identifikasi bentos selengkapnya disampaikan pada Lampiran 5.
78 8 7
Jumlah Indiv idu Kelimpahan (x100 ind/m2)
6
Keanekaragaman
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Stasiun Pengam atan
Gambar 19 Struktur komunitas bentos di lokasi penelitian
Jumlah individu per stasiun pengamatan berkisar antara tidak ditemukan hingga 6 species dengan jumlah species terbanyak ditemukan di stasiun 4. Pada stasiun 15 (hulu Sungai Manggar) tidak ditemukan bentos. Tidak ditemukannya bentos pada stasiun 15 menunjukkan lingkungan perairan telah mengalami tekanan ekologis yang berat. Keanekaragaman jenis bentos tergolong rendah hingga sedang dengan indeks keanekaragaman sebesar 0-2,56. Keaneragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 4 (perairan Pantai Burung Mandi). Pada stasiun ini tidak banyak ditemukan aktivitas penduduk (pelayaran dan industri) dan jauh dari pemukiman. Kelimpahan bentos berkisar antara 0-702 ind/m2, kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun 3 (perairan lepas pantai).
Sebaran kelimpahan bentos di stasiun
pengamatan disampaikan pada Gambar 20.
- 2.72
St3
D
D
St2 Radisho P052050011 TESIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA IPB
- 2.74
St4
C
St1
- 2.76
D
U
B
T
S
Skala
- 2.78
2.5
0
Tg. Burungmandi
kilometres
CSt5
P. Siadung
- 2.8
Legenda: Kelimpahan Bentos
- 2.82
0-150 ind/m2
451-600 ind/m2
151-300 ind/m2 301-450 ind/m2
601-750 ind/m2
Stasiun Pengamatan
P. Bukulimau
St13 St14 St15 A
- 2 86 .
S.
M
an
gg
A A
C A
St12
B
2 C
Terumbukarang
A = Sungai Manggar B = Muara Sungai Manggar C = Pantai Manggar D = Laut Lepas
St7
ar
St9 C
n Ma 107.55
St10
St11
ar gg
- 2 88 .
C
2
C5s14M
2
St6
22
- 2 84 .
Daratan
107.57
Sumber : - Peta Dinas Hidro-Oseanografi lembar 51-06 - Survai lapang, Desember 2006
C St8 107.59
108.1
108.32
108.34
108.36
108.38
108.4
79
Gambar 20 Sebaran kelimpahan bentos
80 4.4.1. Hubungan Karakteristik Sedimen Terhadap Keberadaan Bentos Pengaruh karakteristik fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos dilakukan dengan analisis korelasi dan regresi. Berdasarkan analisis tersebut, jenis tekstur yang berpengaruh terhadap kelimpahan bentos adalah jenis debu (fine sediment) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 44,2 % dan P-value sebesar 0,007 (<0,01). Sementara karakteristik kimia sedimen yang meliputi pH, Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Cd, Se, dan As tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan bentos (Tabel 25). Hasil analisis regresi fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos selengkapnya disampaikan pada Lampiran 6. Tabel 25
Hasil analisis regresi parameter fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos
Parameter Sedimen Pasir Debu Liat pH Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As)
Kelimpahan Bentos (KB) Persamaan Regresi R2 (%) KB = 2,85 – 0,027 Pasir 18,0 KB = -0,093 + 0,053 Debu 44,2 KB = 1,43 – 0,055 Liat 9,2 KB = -20,77 + 2,62 pH 8,3 KB = 1,21 - 0,00006 Fe 2,6 KB = 1,26 - 0,000045 Al 5,4 KB = 1,25 – 0,122 Cu 5,3 KB = 1,25 – 0,026 Zn 5,0 KB = 1,26 – 0,033 Pb 5,0 KB = 1,14 – 17,43 Cd 4,4 KB = 1,25 – 0,104 Se 2,0 KB = 1,07 – 0,011 As 0,3
P 0,115 0,007 0,271 0,297 0,569 0,407 0,411 0,425 0,424 0,452 0,614 0,842
Berdasarkan analisis regresi beberapa spesies bentos yang ditemukan dominan di lokasi penelitian (Nephtys sp., Ophellium sp., dan Tellina sp.) dengan karakteristik sedimen perairan menunjukkan bahwa faktor kimia sedimen tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan bentos di perairan.
Sementara
karakteristik fisik sedimen yaitu tekstur debu cukup berpengaruh terhadap penyebaran kelimpahan jenis bentos. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis regresi antara Tellina sp. dengan substrak sedimen (debu). Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 46,6% dengan P-value sebesar 0,01 (P<0,05). Hasil analisis regresi karakteristik sedimen terhadap spesies bentos (Nephtys sp., Ophellium sp., dan Tellina sp.) disampaikan pada Lampiran 7.
81 Hasil analisis ini diperkuat dengan temuan Nybaken (1988) bahwa Tellina sp. merupakan salah satu spesies bivalva pemakan suspensi yang mampu beradaptasi pada tekstur pasir berlumpur. Tellina sp. ditemukan dominan pada stasiun 3 dengan karakteristik habitat sedimen yaitu pH relatif tinggi, tekstur dominan debu, dan konsentrasi Se dan Cd yang rendah (hasil pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan karakteristik sedimen).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN 1. a. Karakteristik fisik kimia badan Perairan Manggar secara umum masih memenuhi baku mutu perairan laut kecuali fosfat, nitrat, amoniak dan beberapa unsur logam berat. Konsentrasi logam berat yang telah melebihi baku mutu adalah tembaga (Cu), timah hitam (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe). Konsentrasi Cu telah melebihi baku mutu di semua stasiun pengamatan. Tingginya konsentrasi beberapa unsur logam berat diduga adanya konstribusi masukan limbah dari aktivitas pertambangan timah inkonvensional di daratan yang masuk melalui Sungai Manggar. b. Karakteristik tekstur sedimen di stasiun pengamatan di Sungai Manggar didominasi oleh tekstur liat dan debu (lumpur), di pantai dan lepas pantai didominasi tekstur pasir.
Konsentrasi logam berat Pb dan As pada
beberapa stasiun pengamatan telah melebihi baku mutu sedimen sesuai The Canadian Council of Minester of the Environment. Konsentrasi Pb ditemukan tinggi pada 2 stasiun pengamatan dan konsentrasi As ditemukan tinggi pada 10 stasiun pengamatan. c. Secara spasial konsentrasi logam berat Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Cd, dan As umumnya tinggi pada stasiun pengamatan di Sungai Manggar (hulu hingga hilir). Sementara konsentrasi logam berat Fe, Al, Cu, Zn, dan Pb tertinggi ditemukan pada stasiun 15 (hulu sungai) yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan timah inkonvensional. d. Berdasarkan analisis komponen utama dan regresi menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Cu, Zn, Pb, dan Al dan tekstur liat pada sedimen merupakan ciri utama dari karakteristik di stasiun pengamatan. Hal ini ditemukan pada stasiun 13, 14, dan 15.
Korelasi yang sangat nyata
berpengaruh adalah tekstur liat terhadap logam berat tembaga (Cu) yang memiliki koefisien determinasi tertinggi (91,9%). 2. Bentos yang ditemukan di stasiun pengamatan terdiri atas 16 spesies yang termasuk
dalam
kelompok
Polychaeta,
Crustacea,
Gastropoda,
dan
Pelecypoda. Struktur komunitas bentos menunjukkan keanekaragaman bentos
83 tergolong rendah hingga sedang. Kondisi ini menunjukkan bahwa habitat bentos telah mengalami tekanan ekologis yang cukup berat. 3. Korelasi karakteristik tekstur sedimen dan logam berat terhadap kelimpahan sedimen umumnya tidak berpengaruh nyata kecuali tekstur debu (lumpur) tergolong cukup berpengaruh terhadap keberadaan bentos dengan nilai koefiesien determinasi sebesar 44,2 %. 4. Parameter sedimen yang berpengaruh terhadap kelimpahan bentos adalah tekstur sedimen debu (fine sediment) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 44,2 % dan P-value sebesar 0,007 (<0,01).
Tekstur debu cukup
berpengaruh terhadap kelimpahan Tellina sp. 5.2. SARAN Perlu dilakukan pemantauan secara periodik terhadap kualitas lingkungan perairan di sekitar lokasi kegiatan pertambangan timah inkonvensional. Hasil pemantauan nantinya dapat dijadikan ukuran (barometer) dalam pengelolaan lingkungan perairan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ainuddin. 2005. Statistik: Rancangan dan Analisis Data. Bogor: IPB Press. Alloway BJ. 1992. Heavy Metals in Soil. Second Edition. United Kingdom: Balckie Academic and Profesional. Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Process. Boca Radon, Florida: CRC Press. Amin B. 2002. Distribusi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn pada Sedimen di Perairan Telaga Tujuh Kepulauan Riau. Jurnal Natur Indonesia 5 (1): 9-16 (2002) ISSN 1410-9379. Pekanbaru: Universitas Riau. Anonim. 2001. Tambang Inkonvensional, Oh TI. http://www.dim.kompas.com/ kompas-cetak/0106/27/daerah/tamb26.htm. [28 Agustus 2007]. [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard method for the examination of water and wastewater. 18th edition. Washington DC: APHA, AWWA (American Water Work Association) dan WPCF (Water Pollution Control Federation). Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Badri LS. 2004. Karaktristik Tanah, Vegetasi, dan Air Kolong Pasca Tambang Timah dan Tehnik Rehabilitasi Lahan untuk Keperluan Revegetasi (Studi Kasus Lahan Pasca Tambang Timah Dabo Singkep) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BIP] Bank Indonesia Palembang. 2006. Laporan Perkembangan Ekonomi dan Perbankan Kepulauan Bangka dan Belitung sub bab Kontroversi TI dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Babel. Hal: 13-17. www.bi.go.id/ NR/rdonlyres/8A8E9D6C-IDF3-4319A225EBAEF547B78B/5873/boks1. pdf. [22 Agustus 2007] Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, FPIK, IPB. Bentivegna CS, JE Alfano, SM Bugel dan K Czechowics. 2004. Influence of Sediment Characteristic on Heavy Metal Toxicity in Urban Marsh. Urban Habitats. Volume2. Number I – ISSN 1541-7115. Departement of Biology, Seton Hall University, South Orange, NJ 07079;
[email protected]. Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Birmingham Publishing Co.
Birmingham,
85 Brahmana SS, Armaita S, Widhya S, dan Anong S. 2004. Potensi Pemanfaatan Sumber Air pada Kolam Bekas Penambangan Timah di Pulau Bangka. http://www.pusair-pu.go.id/dete/jurnal/3 simon_s_%20 brahmana.doc. [10 April 2007] Chapman D, editor. 1992. Water Quality Assessments, a guide to the use of Biota, Sediment and Water in Environmental Monitoring. London: Chapman & Hall Ltd. Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London: UnWin Hyman Ltd. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UIPress. [DEPERINDAG-RI] Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 1999. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 416/Kep/4/1999 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik indonesia. DEPERINDAG. Jakarta. [DISHIDROS] Dinas Hidrooseanografi TNI AL. Perairan Indonesia. Jakarta: DISHIDROS.
2006.
Data Pasang Surut
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Efriyeldi. 1999. Sebaran Spasial Karakteristik Sedimen dan Kualitas Air Muara Sungai Bantan Tengah, Bengkalis Kalitannya dengan Budidaya KJA (Keramba Jaring Apung). Jurnal Natur Indonesia II (1): 85-92 (1999). Pekanbaru: Universitas Riau. Gunawan AW, Suminar SA, dan Laksmi A. 2008. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Ed ke-2. Bogor: IPB Press dan Sekolah Pascasarjana IPB. Haerudin. 2006. Analisis Terpadu Sedimen Dalam Penetapan Status Pencemaran Perairan Eastuari Wakak Plumbon Kabupaten Kendal, Jawa Tengah [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Henny C. 4 September 2007. Kandungan logam tinggi: budidaya ikan tak direkomendasi. Jakarta: Kompas. Herman DZ. 2005. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumberdaya Mineral Daerah Bangka Tengah, Provinsi Bangka-Belitung. Hasil Kegiatan Subdit TA 2005. Pusat Sumber Daya Geologi - Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. http://www.dim.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=176&Itemid=213. [21 Mei 2007].
86 Hindarti D. 2007. Ekotoksikologi Logam Berat dan Pestisida di Perairan Teluk Klabat. Laporan Tahunan 2007. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Hlm 60-62. Iriawan N dan SP Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Kantor Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Nomor 27 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kantor Sekretaris Negara RI. Kantor Sekretaris Negara Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: Kantor Sekretaris Negara RI. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup dan [PKRKL-FMIPA-UI] Pusat Kajian Risiko dan Keselamatan Lingkungan-Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Indonesia. 2005. Studi Kajian Baku Mutu Sedimen Dasar Laut [laporan pendahuluan]. Jakarta: MENKLH dan PKRKL-FMIPA-UI. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Timah . Jakarta: MENKLH. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: MENKLH. Knox GA. 1986. Estuary Ecosystem: A System Approach. Volume I. Boca Raton, Florida: CRC. Press, Inc. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper and Row. Legendre L and Pierre L. 1983. Numerical Ecology. Amsterdam, Netherlands: Elsevier Scientific Publishing Company. Lestari, JM Manik, dan A. Rozak. 2003. Kualitas Perairan Teluk Klabat Ditinjau dari Aspek Logam Berat. Jakarta: P2O-LIPI. Mays LW. 1996. Water Resources Handbook. New York: McGraw-Hill. Meador JP, Robisch PA, Clark RC, Ernest DW. 1998. Element in Fish and Sediment from the Pasific Coast of the United States: result from the national benthic surveillance project. Mar. Poll. Bull. Vol. 37 (1-2): 5666.
87 Mustamin I. 2000. Analisis Pencemaran dan Karaktersitik Sedimen terhadap Struktur Komunitas Zoobentos di Perairan Pesisir Kotamadya Palu [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Neff JM. 2001. Bioaccumulation in Marine Organisms: Effect of Contaminants from Oil Well Produced Water. Duxbury, USA: Coastal Resources and Environmental Management. Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Novotny, V and Olem. 1994. Water Quality: Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nostrand Reinhold. [NRMMC] Natural Resource Management Minister Council and [PIMC] Primary Industruies Minister Council – Australia Government. 2000. Sediment quality guideline: version october 2000: page 8.4-1-30. http://www.mincos.gov.au/__data/assets/pdf_file/0003/316137/gfmwqguidelines-vol2-8-4.pdf. [28 Maret 2007]. Nybakken JW. 2005. Marine Biology: An Ecology Approach. Ed ke-6. San Francisco: Pearson Education Inc. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pedekatan Ekologi. Eidman M, Koesoebiono, Dietrich GB, Malikusworo H dan Sukristijono S, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecology Approach. Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Tjahjono S, penerjemah; B. Srigandono, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Cet ke-2. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Pariwono JI. 1989. Kondisi Pasang Surut di Indonesia. Di dalam: Ongkosongo OSR dan Suyarso. Pasang-Surut. Asean-Australia Cooperative Programs on Marine Science. Project I: Tides and Tidal Phenomena. ISBN: 9798105-00-1. Jakarta: LIPI-P3O. [P2O–LIPI] Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2005. Potensi Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Kepulauan Bangka Belitung untuk Mendukung Industri Perikanan Terpadu di Teluk Klabat. Jakarta: P2O-LIPI. [PPLH-IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Institut Pertanian Bogor. 2003. Studi Evaluasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup di Kabupaten Belitung: kerjasama PPLH IPB dengan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bogor: PPLHIPB.
88 Romimohtarto K dan Sri J. 2005. Biologi Laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Cet ke-2. Jakarta: Djambatan. Romimohtarto K. 1984. Kualitas Air dalam Budidaya Laut [WBL/85/WP-13]. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E13.htm. [29 April 2006]. Sastrawijaya AT. 2000. Pencemaran lingkungan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Setiabudi GI. 2007. Karakteristik Fisik Kimia Sedimen di Teluk Kaplin Bali: Hubungannya dengan Komposisi dan Kelimpahan Bakteri [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sibarani M, ES Djapardi, dan Setyohadi. 2006. Logam Berat Biang Keladi Pencemaran Laut. http://www.persi.or.id/?show=detailnews&kode=896& tbl=kesling. [29 April 2007]. Subardja A dan Arianto BS. 2007. Alternatif Pengolahan Pasif Air Limbah Penambangan Timah di Pulau Bangka. Di dalam: Delinon RM, editor. Sumber Daya Air di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta: LIPI-Press. Sujitno S. 1996. Sejarah Timah Indonesia. Cet ke-1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sukandarrumudi. 2007. Geologi Mineral Logam. Cet ke-1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [US-EPA] United States-Environmental Protection Agency. 2004. Contaminated sediments: major contaminated of sediments. http://www.epa.gov/water science/cs. [27 April 2007]. Wetzel RG. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystems. Academic Press.
San Diego:
Widowati W, Astiana S, dan Raymond J. 2008. Efek Toksik Logam: Pencegahan dan Pebanggulangan Pencemaran. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Widyastuti M. 2007. Analisis Ekonomi Usaha Timah Tambang Inkonvensional (TI) di Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
89 Lampiran 1 Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut Lampiran III. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Tahun 2004 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
No.
Parameter
Satuan
Baku mutu
1.
FISIKA Kecerahana
m
2. 3. 4.
Kebauan Kekeruhan a Padatan tersuspensi total b
5. 6.
Sampah Suhu c
7.
Lapisan minyak 5
coral: >5 mangrove: lamun: >3 alami3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami 3(c) coral: 28-30 (c) mangrove: 28-32 (c) lamun: 28-30 (c) nihil 1(5)
1. 2.
KIMIA pH d Salinitas e
3. 4. 5 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14 15. 16.
Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisida f TBT (tributil tin) 7
NTU mg/l
C
o
-
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7 - 8,5 (d) Alami 3 (e) coral: 33-34 (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: 33-34 (e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003
mg/l μg/l mg/l MBAS mg/l μg/l μg/l
0,002 0,01 1 1 0,01 0,01
%o
90 No.
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 1. 2. 3. 1
Parameter Logam terlarut: Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) BIOLOGI Coliform (total)g Patogen Plankton RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui
Satuan
Baku mutu
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0,05
MPN/100 ml sel/100 ml sel/100 ml
1000 (g) nihil1 tidak bloom 6
Bq/l
4
Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
91 Lampiran 2 Sebaran logam berat perairan (Fe, Cu, Zn, Pb, dan Hg) di lokasi penelitian (a)
Sebaran Fe
(b) Sebaran Cu
92 (c) Sebaran Zn
(d) Sebaran Pb
93 (e)
Sebaran Hg
94
Lampiran 3 Hasil analisis sedimen di lokasi penelitian
STASIUN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Min Maks Rata-rata
STASIUN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Min Maks Rata-rata
I (1-2mm) pasir plg kasar 1,3 6,3 4,6 5,1 2,5 0,0 2,2 3,2 2,5 9,2 5,7
II (0.5-1mm) pasir kasar
0,0 9,2 3,9
0,1 37,9 16,0
0,5 64,0 37,5
3,5 44,8 19,7
0,1 28,3 4,9
VI (20-50um) debu
VII (5-20um) debu
VIII (2-5um) debu
IX (0.2-2um) liat
X (<0.2um) liat
0,3 0,9 0,1 4,7 4,4 14,4 0,9 0,3 1,4 0,5 0,3
0,3 0,5 73,1 15,1 1,2 6,3 1,2 0,3 0,7 1,3 1,7
0,3 0,4 0,4 6,9 1,2 2,8 1,6 0,5 1,3 1,3 1,8
0,8 1,6 0,1 4,1 2,7 5,9 0,9 1,4 0,3 1,4 0,4
3,6 0,7 0,7 3,6 5,9 6,2 2,4 0,8 1,3 2,5 1,6
0,1 14,4 2,6
0,3 73,1 9,2
0,3 6,9 1,7
0,1 5,9 1,9
0,7 6,2 2,7
11,7 16,7 8,0 11,0 14,7 0,1 12,8 20,8 12,7 29,6 37,9
III (0.2-0.5mm) IV (0.1-0.2mm) V (50um-0.1mm) pasir sedang pasir sgt pasir sgt halus halus 57,1 24,3 0,3 31,3 13,4 28,3 9,4 3,5 0,1 29,8 18,4 1,3 20,8 44,8 1,8 0,5 43,3 20,5 64,0 13,9 0,1 59,3 13,1 0,3 53,7 25,9 0,2 40,4 12,7 1,1 46,7 3,7 0,2
95
Lampiran 3 Hasil analisis sedimen di lokasi penelitian (lanjutan) Stasiun
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Min Maks Rata-rata
8,5 8,5 8,5 8,4 8,5 8,3 8,2 8,2 8,2 8,5 8,3 8,2 8,0 8,0 8,0 8,5 8,0 8,3
Stasiun
Pb
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Min Maks Rata-rata
3,0 2,9 2,9 10,0 5,6 14,7 1,1 0,5 0,9 1,6 1,2 18,3 31,1 24,8 34,2 34,2 0,50 10,19
Fe Al Cu ------------------ mg/kg -------------------2589 1450 0,7 2919 1053 0,3 2778 733 0,6 7723 14425 2,7 3252 5803 1,2 6984 12787 3,6 345 510 0,6 180 286 0,3 305 273 0,0 713 474 0,3 312 338 0,6 9292 12959 4,7 10099 15737 7,2 10787 16582 7,1 14651 29841 10,5 14651 29841 10,5 180 273 0,00 4862 7550 2,69
Cd Se -------------mg/kg------------0,008 3,0 0,007 2,7 0,001 1,7 0,007 3,0 0,001 1,3 0,001 0,8 0,001 3,2 0,001 4,0 0,001 7,0 0,001 9,5 0,001 0,8 0,007 3,0 0,050 0,6 0,065 3,6 0,042 3,7 0,065 9,5 0,001 0,60 0,013 3,19
As 9,6 7,4 14,0 10,5 12,7 12,1 0,8 3,9 5,4 7,4 16,3 26,7 27,3 28,3 21,1 28,3 0,80 13,57
Zn 2,7 2,0 2,5 18,4 7,1 17,3 1,0 1,3 0,9 1,2 3,4 22,6 37,0 28,9 47,0 47,0 0,9 12,9
Hg (ug/kg) 9,4
4,4
0,7
9,5 9,5 0,70 6,00
96 Lampiran 4 Hasil analisis korelasi dan regresi tekstur terhadap logam berat Correlations: Pasir; Debu; Liat; Fe; Al; Cu; Zn; Pb; Cd; Se; As Pasir -0,949 0,000
Debu
Liat
-0,695 0,004
0,433 0,107
Fe
-0,749 0,001
0,530 0,042
0,933 0,000
Al
-0,678 0,006
0,438 0,102
0,940 0,000
0,971 0,000
Cu
-0,677 0,006
0,429 0,111
0,959 0,000
0,958 0,000
0,958 0,000
Zn
-0,678 0,005
0,434 0,106
0,953 0,000
0,967 0,000
0,970 0,000
0,989 0,000
Pb
-0,676 0,006
0,433 0,107
0,946 0,000
0,958 0,000
0,938 0,000
0,987 0,000
0,989 0,000
Cd
-0,404 0,135
0,202 0,470
0,695 0,004
0,763 0,001
0,710 0,003
0,839 0,000
0,805 0,000
0,842 0,000
Se
0,277 0,318
-0,271 0,328
-0,170 0,544
-0,266 0,339
-0,214 0,445
-0,213 0,445
-0,248 0,372
-0,256 0,358
-0,124 0,661
As
-0,701 0,004 Se -0,356 0,193
0,546 0,035
0,758 0,001
0,792 0,000
0,691 0,004
0,787 0,000
0,786 0,001
0,820 0,000
0,746 0,001
Debu
As
Liat
Fe
Al
Cu
Zn
Pb
Cd
Hasil regresi logam berat terhadap tekstur (pasir, debu dan liat) Logam Berat Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As)
Pasir R2 (%) P 56,1 0,001 45,9 0,006 45,8 0,006 46,0 0,005 45,7 0,006 16,3 0,135 7,6 0,318 49,1 0,004
Debu R2 (%) P 28,1 0,042 19,2 0,102 18,4 0,111 18,8 0,106 18,7 0,107 4,1 0,470 7,4 0,328 29,8 0,035
Liat R2 (%) 87,1 88,4 91,9 90,7 89,6 48,4 2,9 57,5
P 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,004 0,544 0,001
97
Lampiran 5 Hasil identifikasi bentos di lokasi penelitian ORGANISME
St-1
Stasiun Pengamatan St-4 St-5 St-6
St-3
St-7
St-8
POLYCHAETA : Lumbriculus sp. Nephtys sp. Cirratulus sp. Paraonis sp. Ophelina sp. Sigambra sp. Paralacydonia sp.
26 -
182 -
26 26
26 -
26 -
26 -
26 78 -
CRUSTACEAE : Amphelisca sp. Leptochelia sp. Pinnotheres sp.
-
-
26
-
-
-
-
GASTROPODA : Terebra sp.
-
-
-
-
-
26
-
PELECYPODA : Tellina sp. Donax sp. Solen sp. Chione sp. Macoma sp.
-
520 -
26 26 26
-
-
-
26 -
1
2
6
1
1
2
3
26 0 1,00
702 0,83 0,83 0,62
156 2,58 1,00 0,17
26 0 1,00
26 0 1,00
52 1,00 1,00 0,50
130 1,37 0,86 0,44
Jumlah Taksa 2
Jumlah Individu/m Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
98
Lampiran 5 Hasil identifikasi bentos di lokasi penelitian (lanjutan) ORGANISME
St-9
Stasiun Pengamatan St-11 St-12 St-13
St-10
St-14
St-15
POLYCHAETA : Lumbriculus sp. Nephtys sp. Cirratulus sp. Paraonis sp. Ophelina sp. Sigambra sp. Paralacydonia sp.
-
-
26 -
26 -
26 26 -
-
-
CRUSTACEAE : Amphelisca sp. Leptochelia sp. Pinnotheres sp.
-
26 -
-
26 -
-
-
-
GASTROPODA : Terebra sp.
-
-
-
-
-
-
-
PELECYPODA : Tellina sp. Donax sp. Solen sp. Chione sp. Macoma sp.
78 -
-
-
-
-
26 -
-
1
1
1
2
2
1
-
78 0 1,00
26 0 1,00
26 0 1,00
52 1,00 1,00 0,50
52 1,00 1,00 0,50
26 0 1,00
-
Jumlah Taksa 2
Jumlah Individu/m Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi
99 Lampiran 6 Hasil analisis regresi fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan bentos di lokasi penelitian
Correlations: kelimpahan (; pH; Fe; Al; Cu; Zn; Pb; Cd; ... Kelimpahan ( 0,288 0,297
pH
Fe
-0,160 0,569
-0,593 0,020
Al
-0,231 0,407
-0,627 0,012
0,971 0,000
Cu
-0,229 0,411
-0,748 0,001
0,958 0,000
0,958 0,000
Zn
-0,223 0,425
-0,716 0,003
0,967 0,000
0,970 0,000
Pb
-0,223 0,424
-0,728 0,002
0,958 0,000
0,938 0,000
Cd
-0,210 0,452
-0,728 0,002
0,763 0,001
0,710 0,003
Se
-0,142 0,614
0,076 0,787
-0,266 0,339
-0,214 0,445
As
-0,056 0,842
-0,540 0,038
0,792 0,000
0,691 0,004
Pasir
-0,425 0,115
0,342 0,212
-0,749 0,001
-0,678 0,006
Debu
0,665 0,007
-0,135 0,631
0,530 0,042
0,438 0,102
Liat
-0,304 0,271
-0,675 0,006
0,933 0,000
0,940 0,000
Cu 0,989 0,000
Zn
Pb
Cd
Pb
0,987 0,000
0,989 0,000
Cd
0,839 0,000
0,805 0,000
0,842 0,000
Se
-0,213 0,445
-0,248 0,372
-0,256 0,358
-0,124 0,661
As
0,787 0,000
0,786 0,001
0,820 0,000
0,746 0,001
-0,677 0,006
-0,678 0,005
-0,676 0,006
-0,404 0,135
pH
Zn
Pasir
Fe
Al
100 Debu
0,429 0,111
0,434 0,106
0,433 0,107
0,202 0,470
Liat
0,959 0,000
0,953 0,000
0,946 0,000
0,695 0,004
Se -0,356 0,193
As
Pasir
Debu
Pasir
0,277 0,318
-0,701 0,004
Debu
-0,271 0,328
0,546 0,035
-0,949 0,000
Liat
-0,170 0,544
0,758 0,001
-0,695 0,004
As
0,433 0,107
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression aAnalysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus pH; Fe; ... The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 48,1 + 1,63 pH - 0,000719 Fe + 0,000190 Al 0,773 Cu + 0,120 Zn + 0,047 Pb + 78,4 Cd - 0,0799 Se - 0,0885 As - 0,601 Pasir - 0,489 Debu 0,627 Liat Predictor Constant pH Fe Al Cu Zn Pb Cd Se As Pasir Debu Liat
Coef 48,12 1,632 -0,0007187 0,0001903 -0,7734 0,1202 0,0469 78,44 -0,07995 -0,08848 -0,6011 -0,4886 -0,6269
S = 0,564200
SE Coef 90,51 1,678 0,0003419 0,0002254 0,8223 0,1376 0,1674 41,32 0,08386 0,04650 0,8528 0,8477 0,8500
R-Sq = 98,5%
T 0,53 0,97 -2,10 0,84 -0,94 0,87 0,28 1,90 -0,95 -1,90 -0,70 -0,58 -0,74
P 0,648 0,433 0,170 0,487 0,446 0,475 0,805 0,198 0,441 0,197 0,554 0,623 0,538
R-Sq(adj) = 89,5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source pH Fe Al Cu
DF 1 1 1 1
DF 12 2 14
Seq SS 3,5424 0,0080 2,9804 0,0623
SS 41,9333 0,6366 42,5700
MS 3,4944 0,3183
F 10,98
P 0,086
101 Zn Pb Cd Se As Pasir Debu Liat
1 1 1 1 1 1 1 1
0,0014 3,0777 0,8491 0,4747 0,2685 30,0577 0,4381 0,1731
Unusual Observations
Obs 1 5 6 13
pH 8,50 8,50 8,30 8,00
Kelimpahan (x100 ind/m2) 0,260 0,260 0,260 0,520
Fit 0,246 0,228 0,227 0,555
SE Fit 0,564 0,563 0,561 0,563
Residual 0,014 0,032 0,033 -0,035
St Resid 0,59 0,91 0,59 -0,88
X X X X
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus pH The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = - 20,77 + 2,617 pH
S = 1,73266
R-Sq = 8,3%
R-Sq(adj) = 1,3%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 3,5424 39,0276 42,5700
MS 3,54239 3,00212
F 1,18
P 0,297
Regression aAnalysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Fe The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,208 - 0,000060 Fe
S = 1,78628
R-Sq = 2,6%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 1,0898 41,4802 42,5700
MS 1,08981 3,19078
F 0,34
P 0,569
102 Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Al The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,257 - 0,000045 Al
S = 1,76046
R-Sq = 5,4%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 2,2799 40,2900 42,5700
MS 2,27994 3,09923
F 0,74
P 0,407
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2)versus Cu The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,249 - 0,1225 Cu
S = 1,76133
R-Sq = 5,3%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 2,2405 40,3295 42,5700
MS 2,24051 3,10227
F 0,72
P 0,411
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Zn The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,252 - 0,02588 Zn
S = 1,76409
R-Sq = 5,0%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 2,1136 40,4564 42,5700
MS 2,11362 3,11203
F 0,68
P 0,425
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Pb The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,258 - 0,03329 Pb
S = 1,76404
R-Sq = 5,0%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source
DF
SS
MS
F
P
103 Regression Error Total
1 13 14
2,1159 40,4541 42,5700
2,11589 3,11185
0,68
0,424
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Cd The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,144 - 17,43 Cd
S = 1,76913
R-Sq = 4,4%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 1,8824 40,6876 42,5700
MS 1,88236 3,12982
F 0,60
P 0,452
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus Se The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,249 - 0,1036 Se
S = 1,79133
R-Sq = 2,0%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 0,8550 41,7150 42,5700
MS 0,85495 3,20885
F 0,27
P 0,614
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus As The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,071 - 0,01126 As
S = 1,80670
R-Sq = 0,3%
R-Sq(adj) = 0,0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 0,1357 42,4343 42,5700
MS 0,13565 3,26418
F 0,04
P 0,842
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus pasir The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 2,845 - 0,02697 Pasir
S = 1,63834
R-Sq = 18,0%
R-Sq(adj) = 11,7%
104
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 7,6759 34,8940 42,5700
MS 7,67593 2,68416
F 2,86
P 0,115
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus debu The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = - 0,0932 + 0,05281 Debu
S = 1,35183
R-Sq = 44,2%
R-Sq(adj) = 39,9%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 18,8132 23,7568 42,5700
MS 18,8132 1,8274
F 10,29
P 0,007
Regression analysis: kelimpahan (x100 ind/m2) versus liat The regression equation is Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,434 - 0,05517 Liat
S = 1,72415
R-Sq = 9,2%
R-Sq(adj) = 2,2%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 13 14
SS 3,9248 38,6452 42,5700
MS 3,92478 2,97271
F 1,32
P 0,271
105
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = - 20,77 + 2,617 pH
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6
S R-Sq R-Sq(adj)
1,73266 8,3% 1,3%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,78628 2,6% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,76046 5,4% 0,0%
5 4 3 2 1 0 8,0
8,1
8,2
8,3
8,4
8,5
pH
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,208 - 0,000060 Fe
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
2000
4000
6000
8000 Fe
10000 12000 14000 16000
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,257 - 0,000045 Al
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
5000
10000
15000 Al
20000
25000
30000
106 Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,249 - 0,1225 Cu
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6
S R-Sq R-Sq(adj)
1,76133 5,3% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,76409 5,0% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,76404 5,0% 0,0%
5 4 3 2 1 0 0
2
4
6 Cu
8
10
12
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,252 - 0,02588 Zn
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
Zn
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,258 - 0,03329 Pb
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
5
10
15
20 Pb
25
30
35
107 Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,144 - 17,43 Cd
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6
S R-Sq R-Sq(adj)
1,76913 4,4% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,79133 2,0% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,80670 0,3% 0,0%
5 4 3 2 1 0 0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Cd
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,249 - 0,1036 Se
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
Se
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,071 - 0,01126 As
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
5
10
15 As
20
25
30
108 Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 2,845 - 0,02697 Pasir
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6
S R-Sq R-Sq(adj)
1,63834 18,0% 11,7%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,35183 44,2% 39,9%
S R-Sq R-Sq(adj)
1,72415 9,2% 2,2%
5 4 3 2 1 0 20
30
40
50
60 Pasir
70
80
90
100
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = - 0,0932 + 0,05281 Debu
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40 Debu
50
60
70
80
Fitted Line Plot Kelimpahan (x100 ind/m2) = 1,434 - 0,05517 Liat
Kelimpahan (x100 ind/m2)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
5
10
15
20 Liat
25
30
35
109 Lampiran 7 Analisis regresi parameter fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan Nephtys sp, Ophellina sp., dan Tellina sp. Parameter Sedimen pH Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As) Pasir Debu Liat
Parameter Sedimen pH Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As) Pasir Debu Liat
Kelimpahan Nephtys sp.(KN) Persamaan R2 (%) KN = - 22,9 + 4,02 pH 0,1 KN = 17,80 - 0,0015 Fe 11,0 KN = 15,28 - 0,0006 Al 7,3 KN = 15,68 - 1,961 Cu 8,9 KN = 15,59 - 0,403 Zn 7,9 KN = 16,70 - 0,618 Pb 11,3 KN = 13,58 - 245,8 Cd 5,8 KN = 10,78 - 0,117 Se 0,0 KN = 21,38 - 0,809 As 10,8 KN = - 9,99 + 0,285 pasir 13,3 KN = 16,33 - 0,309 debu 9,9 KN = 17,21 - 0,728 liat 10,6
P 0,90 0,23 0,33 0,28 0,31 0,22 0,39 0,96 0,23 0,18 0,25 0,24
Kelimpahan Ophellina sp.(KO) Persamaan R2 (%) KO = 53,1 + 7,04 pH 1,6 KO = 6,846 - 0,00034 Fe 2,2 KO = 5,814 - 0,00008 Al 0,5 KO = 6,457 - 0,4667 Cu 2,0 KO = 6,608 - 0,109 Zn 2,3 KO = 6,47 - 0,125 Pb 1,8 KO = 7,142 - 150,2 Cd 8,6 KO = 9,66 - 1,396 Se 9,6 KO = 10,18 - 0,367 As 8,9 KO = 0,336 + 0,0681 pasir 3,0 KO = 6,934 - 0,09 debu 3,4 KO = 5,957 - 0,081 liat 0,5
P 0,66 0,60 0,81 0,62 0,59 0,63 0,29 0,26 0,28 0,54 0,51 0,80
110
Lampiran 7 Analisis regresi parameter fisik kimia sedimen terhadap kelimpahan Nephtys sp, Ophellina sp., dan Tellina sp. Parameter Sedimen pH Besi (Fe) Alumunium (Al) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timbal (Pb) Kadmium (Cd) Selenium (Se) Arsen (As) Pasir Debu Liat
Kelimpahan Tellina sp. (KT) Persamaan R2 (%) KT = -1750 + 215,8 pH 9,6 KT = 56,01 - 0,0036 Fe 1,7 KT = 61,77 - 0,0031 Al 4,5 KT = 58,89 - 7,71 Cu 3,5 KT = 60,84 - 1,762 Zn 3,9 KT = 59,71 - 2,118 Pb 3,4 KT = 52,05 - 1076 Cd 2,9 KT = 68,61 - 9,54 Se 2,9 KT = 39,47 - 0,099 As 0,0 KT = 196,1 - 2,211 pasir 20,6 KT = - 41,50 + 4,16 debu 46,6 KT = 71,95 - 3,621 liat 6,8
P 0,26 0,65 0,45 0,50 0,48 0,51 0,55 0,54 0,98 0,09 0,01 0,35
111 Species bentos vs sedimen Bentos (species) vs pH
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = - 22,9 + 4,02 pH 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
22,3284 0,1% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0829 1,6% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
131,808 9,6% 2,7%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 8,0
8,1
8,2
8,3
8,4
8,5
pH
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = - 53,1 + 7,04 pH
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 8,0
8,1
8,2
8,3
8,4
8,5
pH
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = - 1750 + 215,8 pH 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 8,0
8,1
8,2
8,3 pH
8,4
8,5
112 Bentos (species) vs Fe
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 17,80 - 0,001522 Fe 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,0802 11,0% 4,1%
S R-Sq R-Sq(adj)
137,500 1,7% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0494 2,2% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
2000
4000
6000
8000 10000 12000 14000 16000 Fe
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 56,01 - 0,003677 Fe 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
2000
4000
6000
8000 10000 12000 14000 16000 Fe
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 6,846 - 0,000339 Fe
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
2000
4000
6000
8000 10000 12000 14000 16000 Fe
113 Bentos (species) vs Al
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 15,28 - 0,000646 Al 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,5108 7,3% 0,2%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,1455 0,5% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
135,537 4,5% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
5000
10000
15000 Al
20000
25000
30000
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 5,814 - 0,000081 Al
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
5000
10000
15000 Al
20000
25000
30000
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 61,77 - 0,003130 Al 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
5000
10000
15000 Al
20000
25000
30000
114 Bentos (species) vsCu
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 15,68 - 1,961 Cu 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,3318 8,8% 1,8%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0589 2,0% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
136,177 3,5% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
6 Cu
8
10
12
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 6,457 - 0,4667 Cu
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
2
4
6 Cu
8
10
12
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 58,89 - 7,71 Cu 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
2
4
6 Cu
8
10
12
115 Bentos (species) vs Zn
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 15,59 - 0,4031 Zn 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,4420 7,9% 0,8%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0409 2,3% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
135,915 3,9% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
Zn
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 6,608 - 0,1093 Zn
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
Zn
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 60,84 - 1,762 Zn 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
10
20
30 Zn
40
50
116 Bentos (species) vs Pb
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 16,70 - 0,6183 Pb 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,0483 11,3% 4,4%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0687 1,8% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
136,260 3,4% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Pb
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 6,470 - 0,1247 Pb
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Pb
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 59,71 - 2,118 Pb 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
5
10
15
20 Pb
25
30
35
117 Bentos (species) vs Cd
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 13,58 - 245,8 Cd 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,6886 5,8% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
10,6794 8,6% 1,6%
S R-Sq R-Sq(adj)
136,653 2,9% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Cd
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 7,142 - 150,2 Cd 30
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Cd
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 52,05 - 1076 Cd 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0,00
0,01
0,02
0,03
0,04 Cd
0,05
0,06
0,07
118 Bentos (species) vs Se
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 10,78 - 0,117 Se 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
22,3409 0,0% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
10,6229 9,6% 2,6%
S R-Sq R-Sq(adj)
136,630 2,9% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
Se
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 9,659 - 1,396 Se 30
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 -5 0
2
4
6
8
10
Se
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 68,61 - 9,54 Se 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
2
4
6 Se
8
10
119 Bentos (species) vs As
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 21,38 - 0,8093 As 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,1021 10,8% 3,9%
S R-Sq R-Sq(adj)
10,6638 8,9% 1,9%
S R-Sq R-Sq(adj)
138,655 0,0% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15 As
20
25
30
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 10,18 - 0,3670 As
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15 As
20
25
30
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 39,47 - 0,099 As 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
5
10
15 As
20
25
30
120 ntos (species) vs pasir
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = - 9,99 + 0,2854 Pasir 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
20,8099 13,3% 6,6%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,0017 3,0% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
123,518 20,6% 14,5%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 20
30
40
50
60 Pasir
70
80
90
100
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 0,336 + 0,0681 Pasir
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 20
30
40
50
60 Pasir
70
80
90
100
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 196,1 - 2,211 Pasir 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 20
30
40
50
60 Pasir
70
80
90
100
121 Bentos (species) vs debu
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 16,33 - 0,3094 Debu 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,2024 9,9% 3,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
10,9795 3,4% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
101,306 46,6% 42,5%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 -10 0
10
20
30
40 Debu
50
60
70
80
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 6,934 - 0,0905 Debu
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40 Debu
50
60
70
80
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = - 41,50 + 4,156 Debu 500
Tellina (ind/m3)
400 300 200 100 0 0
10
20
30
40 Debu
50
60
70
80
122 Bentos (species) vs liat
Fitted Line Plot Nephtys (ind/m3) = 17,21 - 0,7287 Liat 80 70
S R-Sq R-Sq(adj)
21,1313 10,6% 3,7%
S R-Sq R-Sq(adj)
11,1422 0,5% 0,0%
S R-Sq R-Sq(adj)
133,887 6,8% 0,0%
Nephtys (ind/m3)
60 50 40 30 20 10 0 -10 0
5
10
15
20
25
30
35
Liat
Fitted Line Plot Ophelyna (ind/m3) = 5,957 - 0,0811 Liat
Ophelyna (ind/m3)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Liat
Fitted Line Plot Tellina (ind/m3) = 71,95 - 3,621 Liat 600
Tellina (ind/m3)
500 400 300 200 100 0 0
5
10
15
20 Liat
25
30
35
123 Lampiran 8 Dokumentasi pengambian sampel penelitian
Kolong bekas tambang timah inkonvensional (TI) (Sumber: dokumentasi Djamali, 2006)
Pantai Manggar, Belitung Timur (Sumber: survai lapang Desember 2006)
Kondisi perairan lepas pantai , Belitung Timur (Sumber: survai lapang Desember 2006)
124
Pengambilan sampel sedimen dan bentos (Sumber: survai lapang Desember 2006)
Sungai Manggar, Belitung Timur (Sumber: survai lapang Desember 2006)
Suasana TPI Manggar di pagi hari (Sumber: survai lapang Desember 2006)