i
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI KETAHANAN TERHADAP LAYU BAKTERI PADA TOMAT HIBRIDA HASIL PERSILANGAN ANTAR GENOTIPE LOKAL
RIMA MARGARETA RETNYO GUMELAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016
Rima Margareta R. Gumelar NIM A253140366
ii
RINGKASAN RIMA MARGARETA R. GUMELAR. Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan Terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal. Dibimbing oleh SURJONO HADI SUTJAHJO dan DESTA WIRNAS. Produksi yang masih rendah dan serangan penyakit merupakan permasalahan utama dalam budidaya tomat. Penyakit yang banyak menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah menanam varietas berdaya hasil tinggi dan tahan penyakit layu bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai parameter genetik, daya gabung, heterosis, interaksi genetik dan lingkungan di dua lingkungan, dan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan populasi hibrida hasil persilangan antar genotipe tomat lokal. Penelitian terdiri atas beberapa percobaan yaitu analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal. Materi genetik yang digunakan yaitu empat genotipe tomat lokal sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel. Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor (± 196 m dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang (±1 250 m dpl). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada tetua dan hibrida yang digunakan dalam penelitian. Pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa tomat yang diuji di dataran tinggi memiliki keragaan lebih baik dan produksi lebih tinggi. Aceh-5 Lombok-4 memiliki produksi tinggi di dataran rendah dan dataran tinggi jika dibandingkan hibrida lain yang diuji. Pendugaan terhadap daya gabung di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa Aceh-5 Lombok-4 memiliki daya gabung khusus tinggi untuk panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah. Aceh-5 Lombok-4 juga memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter jumlah dan bobot buah per tanaman. Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri di dataran rendah menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida tahan yaitu Kudamati-1 Aceh-5 dan Aceh-5 Lombok-4. Diantara hibrida yang diuji, Aceh-5 Lombok-4 dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi. Kata kunci: dialel, daya gabung, keragaman genetik, Ralstonia solanacearum
iii
SUMMARY RIMA MARGARETA R. GUMELAR. Genetics Parameter Estimation and Resistance Selection Against Bacterial Wilt in Hybrid Cross among Local Tomato Genotypes. Supervised by SURJONO HADI SUTJAHJO and DESTA WIRNAS. Low production and disease are two major problems in tomatoes cultivation. The disease that is very common in tomato crops and cause a lot of yield losses is bacterial wilt which is caused by Ralstonia solanacearum. One effort that can be used to solve the problem is growing high-yielding and bacterial wilt-resistant varieties. This study aimed to obtain information on genetic parameters, combining ability, heterosis, genotype environment interaction, and resistance to bacterial wilt disease in a population of F1 hybrids and their parents. The study consisted of several experiments. The experiments are genetic analysis on populations of hybrid tomato in the lowland and highland, analysis of genetic and environtmental interaction to the yield in two environtments, and the selection of bacterial wilt-resistance on the hybrid cross among local tomato genotypes and their parents. Genetic materials evaluated are four local tomato genotype which is used as a parent and six half diallel crosses of F1. Four parents used are Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, and Lombok-4. Kudamati-1 derived from Ambon, Ranti derived from Situbondo, Aceh-5 from Aceh and Lombok-4 from Lombok. Research conducted at the Experimental Field Leuwikopo Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor (196 m asl) and Experimental Field Vegetable Crops Research Institute (Balitsa), Lembang (1 250 m asl). The results showed that there are variations among the parents and hybrid used in the study. The test in the two environments showed that the tested tomatoes had a better performance and higher production in the highlands. When compared to other hybrids tested, Aceh-5 Lombok-4 has the high production in lowland and highland. The estimate of combining ability at each location indicate that the Aceh-5 Lombok-4 has a high specific combining ability for fruit length, fruit diameter, fruit number and fruit weight. Aceh-5 Lombok-4 also had high heterosis value in fruit number and fruit weight. The results of testing bacterial wilt-resistance in lowland indicate that there are two resistance hybrids, Kudamati-1 Aceh and Aceh-5 Lombok-4. Based on this, the Aceh-5 Lombok-4 can be recommended to be developed hybrid varieties of high yielding and resistant to bacterial wilt in lowland or highland. Keywords: diallel, combining ability, genetic diversity, Ralstonia solanacearu
ii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI KETAHANAN TERHADAP LAYU BAKTERI PADA TOMAT HIBRIDA HASIL PERSILANGAN ANTAR GENOTIPE LOKAL
RIMA MARGARETA RETNYO GUMELAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iv
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ketty Suketi, MSi
vi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. DIKTI selaku pemberi beasiswa melalui Program Beasiswa Fresh Graduate (FG) tahun 2014. 2. Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo MS dan Dr Desta Wirnas SP MSi selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, kritik, saran, kesabaran, dan motivasi selama penelitian hingga penulisan tesis. 3. Dr Ir Ketty Suketi MSi selaku penguji pada ujian akhir tesis atas arahan, kritik, dan saran untuk perbaikan. 4. Kementrian Pertanian yang telah memberikan dana penelitian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) dengan judul Perakitan Kultivar Tomat Tahan Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) dan Toleran Pecah Buah Berbasis Plasma Nutfah Lokal 5. Seluruh staf pengajar program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama masa studi. 6. Staf Balitsa, Ibu Ineu, Ibu Dedeh, Bapak Ujang, dan semua pihak yang sudah membantu melancarkan pelaksanaan penelitian di lapang. 7. Bapak dan Ibu tercinta, Suradianto dan Andriani, serta adikku tersayang Dita Satupa Agustin Gen Gumelar atas doa, kasih sayang, dukungan, kekuatan, dan motivasi yang selama ini telah diberikan. 8. Keluarga besar Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman I, rekan-rekan AGH (angkatan 2010, dan rekan-rekan PBT (angkatan 2013 dan 2014) atas bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama pendidikan, penelitian, dan penyusunan tesis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 9. Semua pihak yang membantu menyelesaikan masa studi dan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.
Bogor, Oktober 2016
Rima Margareta Retnyo Gumelar
vii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Tomat 2.2 Persilangan Dialel 2.3 Layu Bakteri 2.4 Pemuliaan Tanaman Tomat 3 METODE PENELITIAN 3.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah adan Dataran Tinggi 3.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua aLingkungan 3.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida aHasil Persilangan Setengah Dialel antar Genotipe Lokal 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah adan Dataran Tinggi 4.1.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah 4.1.2 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Tinggi 4.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua aLingkungan 4.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida aHasil Persilangan Setengah Dialel Genotipe Lokal 5 PEMBAHASAN UMUM 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii viii ix x 1 1 2 2 3 4 4 5 6 7 9 9 13 13 16 16 16 28 38 41 44 47 47 47 48 56 62
viii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Persilangan setengah dialel menggunakan empat tetua Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode II Griffing Sidik ragam gabungan satu musim di beberapa lokasi pengujian (Roy 2000) Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada tetua di dataran rendah Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua di dataran rendah Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat hibrida di dataran rendah Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat hibrida di dataran rendah Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat hibrida di dataran rendah Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran rendah Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran rendah Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi
9 11 12 13 16 17 17 19 20 20 21 21 23 23 23 25 25 26 27 28 29 30 31
ix
DAFTAR TABEL (Lanjutan) 24 Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada tomat di dataran tinggi 25 Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua di dataran tinggi 26 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 27 Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 28 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat hibrida di dataran tinggi 29 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat hibrida di dataran tinggi 30 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat hibrida di dataran tinggi 31 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran tinggi 32 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran tinggi 33 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 34 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 35 Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan (L), dan interaksi G x L pada karakter agronomi F1 hasil persilangan genotipe tomat lokal 36 Nilai tengah bobot per tanaman, bobot per bedeng, dan produktivitas 37 Perubahan peringkat karakter produktivitas tetua dan hibrida tomat hasil persilangan setengah dialel 38 Keragaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel
32 32 33 33 34 34 34 35 36 36 37
38 39 40 41
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Diagram alir penelitian Teknik persilangan buatan pada tomat Produktivitas tetua dan hibrida tomat di Bogor dan Lembang Kurva perkembangan penyakit pada hibrida tomat Kurva perkembangan penyakit pada tomat yang dijadikan tetua
3 14 40 42 42
x
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Data iklim Dramaga Data iklim Lembang Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran rendah Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran tinggi Keragaan Kudamati-1 (K1) Ranti (R) di dataran tinggi Keragaan Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi Keragaan Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi Keragaan Ranti (R) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi Keragaan Ranti (R) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi Keragaan Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) di dataran tinggi 11 Pengujiam ketahaan terhadap layu bakteri
57 57 57 58 58 59 59 60 60 61 61
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura bernilai ekonomi tinggi yang dapat dikonsumsi segar atau olahan. Tomat juga mengandung beberapa nutrisi penting untuk kesehatan, yaitu potasium, asam folat, vitamin C, vitamin E, likopen dan β-karoten (Willcox et al. 2003). Likopen yang terkandung dalam tomat berfungsi sebagai antioksidan dan berpengaruh dalam menurunkan resiko berbagai penyakit kronis termasuk kanker (Agarwal & Rao 2000; Kailaku et al. 2007). Tomat juga sangat sesuai dikonsumsi oleh masyarakat yang saat ini lebih banyak menerapkan pola hidup sehat. Produksi tomat tahun 2014 sebesar 915 987 ton dan menurun menjadi 878 741 ton di tahun 2015. Salah satu yang menyebabkan penurunan produksi adalah berkurangnya area panen tomat. Luas area panen tahun 2014 adalah 59 008 ha dan menurun menjadi 53 696 ha pada tahun 2015 (DEPTAN 2016a). Penurunan area panen dan produksi tomat menyebabkan permintaan tomat dalam negeri tidak terpenuhi sehingga dilakukan impor. Tahun 2014 Indonesia mengimpor tomat sebesar 11 365 ton dan meningkat menjadi 12 309 ton di tahun 2015 (DEPTAN 2016b). Menurut PUSDATIN (2014), pola perkembangan konsumsi tomat dari 2002-2013 cenderung fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 3.66% per tahun. Berdasarkan hal tersebut maka, tomat yang memiliki produktivitas tinggi sangat dibutuhkan untuk memenuhi permitaan karena luas lahan pertanian akan semakin berkurang. Perakitan varietas hibrida merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi tomat. Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat menyebabkan produktivitas lebih tinggi (Poespodarsono 1988). Varietas hibrida juga memiliki fenotipe yang lebih seragam karena setiap tanaman memiliki genotipe sama (Phoelman & Slepper 1979). Masalah yang dihadapi pada tanaman menyerbuk sendiri dalam perakitan varietas hibrida adalah jumlah biji yang dihasilkan dari suatu persilangan relatif terbatas, namun pada tanaman yang buahnya memiliki banyak biji seperti tomat, pembentukan hibrida melalui persilangan masih ekonomis (Poespodarsono 1988). Langkah awal untuk merakit varietas hibrida adalah mencari tetua yang memiliki daya gabung baik. Daya gabung terbagi menjadi daya gabung umum dan daya gabung khusus. Daya gabung umum dapat digunakan dalam menduga genotipe superior untuk dijadikan tetua dan daya gabung khusus dapat mengidentifikasi kombinasi persilangan terbaik untuk mendukung pengembangan hibrida (Saleem et al. 2008). Tujuan pemuliaan tanaman pada tomat tidak hanya peningkatan produksi, namun juga perakitan varietas tahan penyakit (Nuez & Diez 2013). Salah satu penyakit yang menyerang tomat adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (sebelumnya bernama Pseudomonas solanacearum) (Nakaho et al. 2004; Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010). Penyakit ini menyebabkan kehilangan produksi buah segar mencapai 29% pada tomat di Taiwan, di Filipina mencapai 15% (Hartman et al. 1994; Hsu et al.1993), dan di
2 daerah Tomohon, Sulawesi Utara menyebabkan kehilangan hasil 80-90% (Paath 1994). Kehilangan hasil yang cukup signifikan tersebut menjadi latar belakang perlunya dirakit varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit layu bakteri. Plasma nutfah yang dimiliki Indonesia dapat menjadi sumber keragaman untuk diseleksi dan digunakan sebagai tetua. Tetua-tetua tersebut dapat disilangkan untuk merakit varietas unggul berbasis plasma nutfah lokal. Studi genetik pada rekombinan hasil persilangan perlu dilakukan dari awal untuk mengetahui status genetik genotipe tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Genotipe – genotipe tersebut selanjutnya diseleksi dan diharapkan terdapat kandidat yang potensial untuk peningkatan produksi dan tahan terhadap layu bakteri. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya (Sutjahjo et al. 2014; Sutjahjo et al. 2015). Saat ini telah diperoleh sejumlah genotipe F1 yang perlu dievaluasi lebih lanjut di dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran rendah berada pada ketinggian < 350 m dpl, dataran menengah 350 – 700 m dpl, dan dataran tinggi > 700 m dpl (DEPTAN 2006). Pengujian pada dua lokasi atau lebih memungkinkan untuk dilakukan analisis interaksi genetik dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai parameter genetik, daya gabung, heterosis, interaksi genetik dengan lingkungan, dan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada populasi hibrida hasil persilangan genotipe tomat lokal.
1.2 Tujuan Penelitian 1. Memperoleh informasi mengenai parameter genetik karakter-karakter agronomi pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel. 2. Memperoleh informasi daya gabung umum, daya gabung khusus, dan heterosis pada genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel. 3. Memperoleh informasi tentang interaksi genotipe dengan lingkungan pada tetua dan hibrida yang diuji di dua lingkungan. 4. Memperoleh tomat hibrida berproduksi tinggi dan tahan layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.
1.3 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan karakter agronomi dan kualitas buah antar tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel. 2. Terdapat perbedaan nilai daya gabung umum dan daya gabung khusus diantara tetua. 3. Terdapat tomat hibrida yang memiliki heterosis tinggi. 4. Terdapat tomat hibrida yang beproduksi tinggi dan tahan layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.
3 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian terdiri atas beberapa percobaan yaitu analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal. Kegiatan penelitian secara rinci dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 1.
Genotipe Tomat Lokal Koleksi Dep AGH IPB
Studi keragaan genotipe tomat lokal
Pembentukan populasi hibrida
Seleksi ketahanan tomat terhadap layu bakteri yang disebabkan Ralstonia solanacearum di dataran rendah
Pengujian tetua dan hibrida di dataran rendah
Pengujian tetua dan hibrida di dataran tinggi
Keragaan genotipe di dataran rendah dan dataran tinggi, pendugaan daya gabung, heterosis, dan parameter genetik, serta analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan
Genotipe dengan potensi hasil tinggi dan tahan layu bakteri serta dapat beradaptasi di dataran tinggi atau rendah
Gambar 1 Diagram alir penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicom esculantum Mill) berasal dari Amerika Latin khususnya Peru, Kepulauan Galapagos, dan Mexico (Jones 2008). Semua varietas tomat yang berada di Eropa dan Asia dibawa oleh bangsa Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 (Villareal 1979). Awalnya buah tomat dianggap beracun, namun pada abad ke-18 sudah mulai dimakan (Jones 2008). Tanaman tomat termasuk tanaman diploid dan memiliki jumlah kromosom dasar x = 12. Jumlah kromosom normal tomat adalah 2n = 2x = 24. Tanaman tomat tergolong famili Solanaceae dan genus Lycopersicon. Spesies yang tergolong dalam sub genus Lycopersicon adalah L. esculentum, L. pimpinelifolium, L. cheesmaniae dan L. galapagense., namun spesies L. esculentum yang sering dibudidayakan. Tanaman tomat memiliki beberapa organ yaitu akar, batang, daun, bunga, dan buah. Tomat memiliki akar tunggang, tumbuh baik secara horizontal maupun vertikal. Batangnya berbentuk bulat dan lunak saat muda, setelah tua berbentuk persegi empat dan keras, serta bercabang banyak. Tanaman tomat berdaun majemuk ganjil dengan jumlah 5 hingga 7 helai (Harjadi 1989). Satu hingga dua daun yang berukuran kecil biasanya tumbuh di antara daun yang berukuran besar. Bagian tepi daun bergerigi dan membentuk celah menyirip agak melengkung ke dalam (Jaya 1997). Bunga tomat merupakan bunga sempurna karena benang sari dan putik terletak pada bunga yang sama. Diameter bunga berkisar 2 cm, memiliki mahkota bunga berbentuk bintang berwarna kuning dan kepala sari berwarna kuning menyatu membentuk tabung. Bentuk, ukuran, warna, kekerasan, dan rasa buah tomat bervariasi tergantung jenisnya. Buah tomat adalah buni (beri) berdaging, permukannya gak berbulu ketika masih muda, namun halus ketika matang. Buah biasanya mengaandung banyak biji yang berbentuk pipih dan berwarna krem muda hingga coklat. Biji biasanya memiliki panjang 2 sampai 3 mm (Rubatzky & Yamaguchi 1977). Tanaman tomat memerlukan suhu optimum 20 oC sampai 28 oC. Tanaman ini menghendaki suhu siang panas dan suhu malam dingin untuk pembungaan yang terbaik, sehingga tomat di Indonesia banyak ditanam di dataran tinggi (Harjadi 1989). Perbedaan harian yang besar antara suhu siang dan malam cenderung meningkatkan pembungaan, pertumbuhan, dan kualitas buah (Rubatzky & Yamaguchi 1977). Suhu yang rendah akan menghambat penyerapan unsur hara dan dalam pertumbuhannya tanaman tidak memberikan tanggapan terhadap unsur hara nitrogen dan kalium. Sementara itu, suhu yang tinggi akan menyebabkan bunga rontok (Hidayat 1997). Cahaya untuk tanaman tomat sebaiknya moderat dan cahaya yang terlalu terik meningkatkan transpirasi sehingga memperbanyak gugur bunga dan buah (Harjadi 1989).
5 2.2 Persilangan Dialel Persilangan diallel merupakan persilangan yang masing-masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dalam semua kombinasi. Rancangan persilangan ini meliputi semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, resiprokalnya dan selfing-nya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Penggunaan model analisis dialel ini harus memenuhi beberapa asumsi, yaitu (1) segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokalnya, (3) tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel, (4) tidak ada multialelisme, (5) tetua homozigot dan (6) gen-gen menyebar secara bebas diantara tetua (Singh dan Chaudhary 1979; Roy 2000). Keuntungan dari teknik silang dialel adalah (1) secara eksperimental merupakan pendekatan sistematik, (2) secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi. Menurut Hayman (1954) di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya. Analisis dialel dapat dilakukan berdasarkan dua pendekatan yaitu Hayman dan Griffing. Pendekatan pertama memberikan informasi tentang parameter-parameter genetik tetua-tetua yang digunakan dalam persilangan, sedangkan pendekatan yang kedua memberikan informasi tentang daya gabung tetua-tetua dan hasil persilangannya. Analisis dialel juga memberikan informasi kendali genetik pada sifat kuantitatif, daya gabung umum (DGU) dan khusus (DGK) dari hibrida, heritabilitas dan heterosis (Kallo 1988). Menurut Grifing (1956) ada empat kemungkinan silang dialel berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) silang tunggal dengan resiprokal dan selfing (Metode I); 2) silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II); 3) silang tunggal dengan resiprokal (Metode III) dan; 4) silang tunggal tanpa resiprokal dan tanpa selfing (Metode IV). Baihaki (2010) juga menyatakan bahwa analisis silang dialel diperlukan untuk menduga efek aditif dan dominan dari suatu populasi yang selanjutnya dapat digunakan untuk menduga ragam genetik dan heritabilitas serta daya gabung masing-masing tetua. Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu tetua bila disilangkan dengan galur lain yang akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior (Allard 1960). Daya gabung terdiri atas daya gabung umum dan daya gabung khusus. Daya gabung umum dapat diartikan sebagai ukuran penampilan rata-rata tetua itu. Daya gabung khusus merupakan kemampuan suatu kombinasi persilangan untuk menunjukkan penampilan keturunan (Poespodarsono 1988). Informasi tentang daya gabung berguna dalam menyeleksi genotipe yang sesuai untuk persilangan dan juga menjelaskan besarnya aksi gen. DGU menggambarkan aksi gen aditif sedangkan DGK aksi gen non-aditif (dominan atau epistasis). DGU tinggi menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang kurang baik dibandingkan yang lain. DGK merupakan gambaran suatu kombinasi persilangan yang memiliki penampilan terbaik dibandingkan rata-rata persilangan (Sprague dan Tatum 1942).
6 2.3 Layu Bakteri Layu bakteri merupakan salah satu penyakit dalam pertanaman tomat yang disebabakan oleh Ralstonia solanacearum. Ralstonia solanacearum, sebelumnya diklasifikasikan dalam genus Bacillus dengan nama B. solanacearum pada tahun 1989, selanjutnya digolongkan dalam genus Pseudomonas dengan nama P. solanacearum, dan di tahun 1992 diklasifikasikan dalam genus Burkholderia (Alvarez et al. 2010). Penelitian terbaru oleh Yabuuchi et al. (1995), bakteri ini diklasifikasikan dalam genus Ralstonia dan masih digunakan sampai sekarang (Alvarez et al. 2010; Meng 2013; Huet 2014; Kim et al. 2016). R. solanacearum merupakan patogen tular tanah yang biasanya berkembang pada dearah yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi (Reddy 2010). R. solanacearum menyerang lebih dari 200 spesies tanaman, termasuk tanaman penting seperti kentang, tomat, terong, cabai, tembakau, dan pisang (Meng 2013). R. solanacearum mampu menyebar lintas benua dan negara, menginfeksi berbagai jenis tanaman inang. Hal ini menimbulkan kerugian yang besar sehingga patogen ini menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional dan domestik. R. solanacearum telah tersebar di seluruh dunia, termasuk di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Eropa, Asia, Afrika, maupun Australia dan Pasifik (Elphinstone 2005). R. solanacearum termasuk spesies yang sangat kompleks secara fisiologi, genetik,dan ekobiologi (Supriadi 2011). Kompleksitas sifat fisiologi dapat dilihat dari adanya lima tipe ras berdasarkan kisaran inang alaminya dan lima tipe biovar berdasarkan kemampuan mengoksidasi enam sumber karbon (Hayward 1964), keragaman reaksi serologi (Supriadi et al. 1995), dan pola pita protein (Supriadi 2011). Ras 1 memiliki kisaran inang yang cukup luas di antaranya famili Solanaceae dan Leguminoseae. Ras 2 menyerang Musa spp dan Helicinia spp dengan kiasaran inang terbatas di Amerika Tropis dan Asia. Ras 3 menyerang kentang dengan kisaran inang di daerah tropis dan subtropis. Ras 4 menyerang jahe yang berasal dari Filipina dan ras 5 menyerang mulberry. Ras paling dominan yang ditemukan di Indonesia adalah ras 1 (strain Solanaceae) dan ras 3 (strain kentang) (Semangun 2004). R. solanacearum termasuk dalam biovar 1, 2, 3, 4, dan 5 (Hayward 1964). Gejala yang timbul akibat layu bakteri yaitu beberapa daun muda layu atau menguningnya daun-daun tua (daun bagian bawah). Batang tanaman yang sakit cenderung membentuk lebih banyak akar adventif sampai setinggi bunga. Sementara itu, apabila batang, cabang atau tangkai daun tanaman sakit dibelah, akan tampak bahwa berkas pembuluh berwarna coklat. Jika batang dipotong dan dicelupkan ke dalam air, dari berkas pembuluh akan keluar massa bakteri seperti lendir berwarna putih susu (Semangun 2004). Bakteri patogen menginfeksi melalui luka pada jaringan akar. Setelah masuk ke dalam jaringan pembuluh, bakteri kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam jaringan tersebut, merusak dinding sel dengan memproduksi enzim pectinesterase, cellulase, protease dan senyawa EPS (Hayward 1964). Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan udara dan air, serta faktor kebugaran tanaman sangat memengaruhi perkembangan patogen. R. solanacearum berkembang pesat pada kondisi suhu udara 24-35 °C, tetapi perkembangannya menurun pada suhu di atas 35 °C atau di bawah 16 °C (Ciampi dan Sequeira 1980).
7 Strategi yang telah dikembangkan untuk menanggulangi penyakit ini diantaranya pencegahan masuknya patogen pada lahan sehat, pemusnahan (eradikasi), modifikasi lingkungan yang dapat menekan perkembangan patogen di dalam tanah, penanaman tanaman tahan, serta pengendalian dengan agen hayati dan pestisida nabati, namun semua cara yang paling efektif adalah penanaman tanaman tahan (Supriadi 2011; Lebeau et al. 2011; Huet 2014). Terobosan teknologi dalam pengendalian layu bakteri juga sudah banyak ditemukan, misalnya fusi protoplas dan mutasi untuk menghasilkan varietas tahan, mikroba antagonis dan pestisida nabati untuk menekan perkembangan patogen dalam tanah, serta teknik untuk menginduksi ketahanan tanaman menggunakan mikroba dan senyawa kimia penginduksi (Nakaho et al 2004; Lwin & Ranamukhaarachchi 2006; Hai et al 2008; Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010; Supriadi 2011). Evaluasi ketahanan tomat terhadap layu bakteri untuk menghasilkan varietas tahan sudah banyak dilakukan (Hanson et al. 1996; Grimault et al. 1994; Timila & Joshi 2007; Adriani et al. 2012; Kim et al. 2016). Namun, penelitian terkait ketahananan terhadap layu bakteri akan terus berlanjut karena ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi (Hayward 1991; Hanson et al. 1996).
2.4 Pemuliaan Tanaman Tomat Pemuliaan pada tomat memiliki tujuan yang sangat bervariasi bergantung pada lokasi, kebutuhan, dan sumber daya. Meningkatkan produktivitas masih menjadi tujuan utama dalam pemuliaan tomat (Nuez & Diez 2013). Tujuam lainnya adalah kegenjahan, resisten terhadap cekaman biotik dan abiotik, kualitas buah, serta perbaikan sifat hortikultura dan fisiologi (Tigchelaar 1986; Bergougnoux 2013; Nuez & Diez 2013). Tujuan perbaikan sifat hortikultura pada tomat berdasarkan ideotype yang dikehendaki, misalnya jumlah rangkai bunga per tanaman, jumlah bunga setiap rangkaian, ukuran dan warna buah, keerasan dan rasa serta sifat hortikultura lainya (Purwati 1997). Perakitan varietas baru pada tomat juga bergantung pada pasar (konsumen) yang dituju yaitu tomat segar (fresh tomato) atau tomat olahan (processing tomato) (Bergougnoux 2013). Tomat segar untuk konsumen memiliki karakteristik unik, bergantung pada pengalaman tradisional konsumen di daerah setempat, sedangkan kriteria untuk tomat olahan yaitu kandungan bahan padatnya tinggi, pH rendah, mudah dikuliti, tahan terhadap retak, warnanya menarik (Villareal 1981; Tigchelaar 1986; Purwati 1997). Kualitas pada buah tomat dapat dikelompokkan menjadi kualitas bagian luar (warna kulit, bentuk buah, ukuran buah dan kekerasan), bagian dalam (ketebalan daging, jumlah biji, dan keadaan lendir), rasa (rasa manis, rasa asam, kekenyalan dan jumlah air buah) dan kandungan nutrisi (Tigchelaar 1986; Ameriana 1998; Hazra & Dutta 2011). Tomat merupakan inang lebih dari 200 spesies hama, penyakit, dan patogen yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan (Bai dan Lindhout 2007) sehingga pemuliaan untuk ketahanan tehadap penyakit masih menjadi tantangan dalam pemuliaan tanaman sampai saat ini (Bergougnoux 2013). Penelitian terhadap plasma nutfah, pemuliaan, dan marka molekuler untuk ketahanan terhadap layu bakteri pada tomat telah banyak dilakukan. Plasma
8 nutfah resisten, termasuk beberapa varietas unggul telah diidentifikasi di India, Indonesia, Filipina, Thailand, dan USA (Boshuo 2005). Varietas Venus dan Saturn merupakan varietas tahan layu bakteri di USA, namun tidak selalu tahan jika ditanam di tempat lain (McCarter 1991). Pemuliaan pada tomat dapat diarahkan menjadi varietas inbrida atau hibrida. Varietas inbrida diperoleh dari satu tanaman yang dibiarkan menyerbuk sendiri selama beberapa generasi sedangkan varietas hibrida adalah generasi F1 dari suatu persilangan sepasang atau lebih tetua yang mempunyai sifat unggul (Poespodarsono 1988). Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis. Heterosis dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara hibrida (F1) dengan nilai tengah kedua tetuanya (Falconer & Mackay 1996). Poespodarsono (1988) dan Syukur et al. (2012), memaparkan bahwa terdapat tiga teori yang menerangkan terjadinya heterosis atas dasar genetik yaitu akumulasi gen dominan, heterozigositas dalam arti over dominan, dan interaksi antara alel berbeda lokus (non alelic interaction).
9
3 METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi beberapa percobaan yaitu, analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal.
3.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi
3.1.1 Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan merupakan empat genotipe tomat lokal yang digunakan sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel (Tabel 1). Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Kudamati-1 dan Ranti merupakan genotipe yang tahan layu bakteri, sedangkan Aceh-5 dan Lombok-4 memilki potensi hasil tinggi (Sutjahjo et al. 2015). Tabel 1 Persilangan setengah dialel menggunakan empat tetua Tetua jantan Tetua betina Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4
Lombok-4
3.1.2 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Juli 2014 sampai Desember 2014 di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor (±196 m dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang (±1 250 m dpl) pada bulan September 2014 sampai Pebruari 2015.
3.1.3 Metode Percobaan dilaksanakan berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 10 genotipe sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Jumlah individu dalam setiap satuan percobaan
10 adalah 20 tanaman. Setiap satuan percobaan merupakan bedengan berukuran 5 m x 1 m yang ditutup mulsa plastik hitam perak. Tahap pertama adalah menyemai benih, kemudian persiapan lahan yang terdiri atas penggemburan, pembuatan bedengan, pemberian pupuk dasar, dan pemasangan mulsa plastik hitam perak. Bedengan yang sudah siap diberi pupuk dasar terdiri atas pupuk kandang 10 ton ha-1, pupuk urea 400 kg ha-1, SP-36 300 kg ha-1, dan KCL 300 kg ha-1 dan selanjutnya ditutup dengan mulsa plastik hitam perak. Bibit disemai sampai umur 4 minggu dan ditanam dengan jarak 0.5 m x 0.5 m. Pemasangan ajir dilakukan bersamaan dengan pindah tanaman. Pemupukan dilakukan satu minggu sekali menggunakan larutan NPK (16:16:16) 10 g l-1 dan setiap tanaman diberi 250 mL. Penyemprotan dilakukan seminggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi tanaman menggunakan fungisida dan insektisida. Tunas air dibuang saat tunas air sudah mulai muncul di ketiak daun. Pemanenan dilakukan jika buah sudah berwarna kuning kemerah-merahan dan dilakukan dua kali seminggu. Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh untuk setiap satuan percobaan. Karakter yang diamati adalah: 1. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur setelah panen ke-2 dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tertinggi. 2. Diameter batang (mm) Diameter batang diukur setelah panen ke-2 pada bagian bawah tanaman (10 cm dari permukaan tanah). 3. Panjang buah (mm) Panjang buah diukur menggunakan jangka sorong dari ujung hingga pangkal buah yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada 10 buah tiap bedengan. 4. Diameter buah (mm) Diameter buah diukur dengan menggunakan jangka sorong pada bagian tengah buah yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada 10 buah tiap bedengan. 5. Ketebalan daging buah (mm) Diukur menggunakan jangka sorong pada buah yang sudah diiris melintang pada tiga bagian yang dipilih secara acak. 6. Padatan terlarut total (oBrix) Padatan terlarut total diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada menggunakan handrefraktometer. 7. Kekerasan buah (mm/ 50 g/ 5 s) Kekerasan buah diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat menggunakan penetrometer. Pengukuran dilakukan pada tiga titik yaitu ujung, tengah, dan pangkal. 8. Jumlah rongga buah Jumlah rongga buah diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat dengan merata-ratakan jumlah lokul yang terbentuk dari setiap buah yang diamati. 9. Jumlah buah per tanaman Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah buah yang dipanen.
11 10. Bobot buah per tanaman (g) Bobot buah per tanaman merupakan jumlah keseluruhan bobot buah yang dipanen dari tanaman contoh. Pemanenan dilakukan sebanyak tujuh kali.
3.1.4 Analisis Data Data yang telah direkapitulasi dianalisis di masing-masing lokasi menggunakan software SAS dan Microsoft Exel dengan tahapan sebagai berikut: 1. Analisis ragam dan pendugaan komponen ragam Populasi setengah dialel dianalisis menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan menggunakan model statistik : Yijk = μ + αi + βj + εijk, dimana: Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan pengelompokan ke-k µ = rataan umum αi = pengaruh perlakuan genotipe ke-i; (i) 1, 2, 3, 4, 5, ... 36 βj = pengaruh pengelompokan ke-j; (j) 1, 2, 3 εijk = pengaruh acak pada genotipe ke-i dan pengelompokan ke-k Tabel 2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) Jumlah Kuadrat Sumber keragaman Derajat bebas Nilai harapan Kuadrat tengah Ulangan r-1 Jku Genotipe g-1 JKg KTg Galat (r-1)(g-1) Jke KTe Hasil ANOVA selanjutnya digunakan untuk menduga ragam fenotipik ( ), ragam genetik ( ), ragam lingkungan ( ), dan heritabilitas arti luas ( ). = KTe/r; = (KTg-KTe)/r; = + ; = / x 100%; dimana = ragam lingkungan; = ragam genetik; = ragam fenotipe; KTg = kuadart tengah genotipe; KTe = kuadrat tengah error; r = ulangan; = heritabilitas arti luas. Pengelompokan nilai heritabilitas menurut Stanfield (1983) adalah tinggi (50%< h2< 100%), sedang (20% ≤ h2 ≤ 50%), dan rendah (h2< 20%). Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter dihitung berdasarkan ragam genetik dan standar deviasi ragam genetik menurut rumus berikut: √
{
}.
Apabila > maka keragaman genetik peubah tersebut luas, sedangkan < menandakan keragaman genetik sempit (Pinaria et al. 1995). Luas sempitnya keragaman fenotipe juga dihitung berdasarkan ragam fenotipe dan standar deviasi ragam fenotipe yang dihitung menggunakan rumus berikut: √
{
}.
12 Apabila > maka keragaman fenotipe peubah tersebut luas, sedangkan < menandakan keragaman fenotipe sempit (Syukur et al. 2010a). 2. Pendugaan daya gabung umum dan daya gabung khusus Nilai daya gung dihitung berdasarkan Metode II Griffing (Singh dan Chaudhary 1977). (gi) =
[Σ (Yi .+ Y.ii) – Y...
(sij) = Yij – [
(Yi .+ Yii + Y..j + Yii) +
Y.. ]
Keterangan: gi = daya gabung umum sij = daya gabun khusus Yi . = jumlah nilai tetua ke-i Yii = nilai tengah selfing genotipe ke-i Yi j = jumlah nilai selfing genotipe ke-i n = jumlah tetua Y.j = nilai genotipe ke-j Y... = jumlah nilai seluruh genotipe Tabel 3 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode II Griffing Sumber Kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah harapana keragaman tengah DGU (p-1) Mg σ2e + σ2DGK+ (n + 2) σ2DGU DGK p(p-1) Ms σ2e+ σ2DGK Galat (r-1)((p-1)+p(p-1)/2) Me σ2 e a
σ2DGU = (Mg - Ms)/ (n+2); σ2DGK = (Ms – Me); σ2A = 2 σ2DGU; σ2D = σ2DGK; σ2e = Me
Ragam aditif diduga dari ragam daya gabung umum ( ) dan ragam dominan diduga dari ragam daya gabung khusus ( ). Ragam aditif ( ) diduga dari dua kali ragam DGU sedangkan ragam dominan diduga dari satu kali ragam DGK. Nilai heritbilitas arti sempit diduga dari / . 3. Pendugaan nilai heterosis dan heterobeltiosis Pendugaan nilai heterosis dilihat berdasarkan nilai tengah kedua tetuanya (mid parent heterosis) sedangkan nilai heterobeltiosis dilihat dari nilai tengah tetua terbaik (best parent) (Fehr 1987). Heterosis = 100% Heterobeltiosis
=
100%
Keterangan: µF1 = nilai tengah keturunan µMP = nilai tengah kedua tetua ½ (P1 + P2) µBP = nilai tengah tetua terbaik
13 3.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua Lingkungan Bahan genetik, waktu, tempat, dan metode pada percobaan ini sama dengan percobaan sebelumnya (percobaan 3.1). Analisis hanya dilakukan terhadap bobot buah per tanaman, bobot buah per bedeng, dan produktivitas. Analisis ragam dilakukan pada semua karakter di masing-masing lokasi. Selanjutnya dilakukan uji kehomogenen ragam menggunakan uji Barlett sebelum dilakukan analisis ragam gabungan. Analisis ragam gabungan dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil yang berpengaruh nyata diuji lanjut menggunakan uji Dunnet pada α 5% (Steel dan Torrie 1980). Tabel 4 Sidik ragam gabungan satu musim di beberapa lokasi pengujian (Roy 2000) Sumber Kuadrat Kuadrat tengah Derajat bebas F hit keragaman tengah harapan Lokasi (l-1) M5 M5/M4 Ulangan/ Lokasi l (r-1) M4 + r ( )+rl ( ) Genotipe g-1 M3 M3/M2 +r( ) Genotipe*Lokasi (g-1)(l-1) M2 M2/M1 Galat l (g-1)(r-1) M1 =ragam lingkungan;
=ragam genetik;
=ragam interaksi genetik dan lokasi
3.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil aPersilangan Setengah Dialel antar Genotipe Lokal 3.3.1 Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan merupakan empat genotipe tomat lokal yang digunakan sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel (Tabel 1). Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok.
3.3.2 Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Percobaan ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2015.
14 3.3.3 Metode dan Analisis Data Kegiatan penelitian ini diawali dengan pembentukan populasi hibrida (F1). Rancangan persilangan yang digunakan adalah setengah dialel. Bagan persilangan ditunjukkan pada Tabel 1. Kastrasi, emaskulasi dan penyerbukan dilakukan pagi hari pada pukul 06.00-09.00 wib. Kastrasi dan emaskulasi menggunakan pinset pada saat tetua betina reseptif. Serbuk sari diambil menggunakan pinset dari tetua jantan yang sudah antesis, selanjutnya ditempelkan ke stigma betina. Bunga yang sudah diserbuki diberi label yang berisi informasi nama-nama tetua dan tanggal persilangan (Gambar 2).
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Gambar 2 Teknik persilangan buatan pada tomat A. Bunga betina yang siap diserbuki; B. Kastrasi dan emaskulasi; C. Hasil kastrasi dan emaskulasi; D. Bunga jantan yang siap diambil serbuk sari; E. Pengambilan polen; F. Penyerbukan dengan pinset; G. Bunga betina yang sudah diserbuki; H. Pemasangan label; I. Persilangan berhasil (buah yang berwarna hijau masih muda dan yang berwarna merah siap dipanen). Bakal buah akan mulai membesar dalam waktu 5-7 hari jika persilangan berhasil sedangkan jika persilangan gagal maka bunga akan gugur. Buah hasil persilangan dipanen saat buah tomat berwarna merah. Setiap buah yang dipanen
15 ditempatkan pada kantung terpisah yang sudah diberi label. Buah selanjutnya diekstrasi untuk diambil bijnya dan digunakan sebagai benih F1. Benih tomat yang diperoleh disemai dalam tray yang telah diisi media tanam. Setiap lubang ditanami satu benih tomat. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman dan pemupukan. Penyiraman dilakukan setiap pagi atau sore. Pupuk diberikan dalam bentuk cair yaitu campuran NPK mutiara (2 g l-1) dan Gandasil D (2 g l-1). Bibit disemai sampai umur 4 minggu dan sebelum pindah tanam diinokulasi dahulu dengan bakteri R. solanacearum. Bakteri R. solanacearum yang digunakan merupakan isolat yang diambil dari tanaman sakit di lapang. Tanaman tomat yang sakit dipotong pangkal batangnya dengan kemiringan 450 dan direndam dengan menggunakan aquades steril selama 24 jam. Tanaman yang mengeluarkan ooz bakteri digunakan sebagai sumber inokulum. Inokulasi dilakukan pada saat pindah tanam yaitu pada bibit berumur ±4 minggu. Tanaman yang akan diinokulasi dilukai terlebih dahulu dengan mengguting ujung akarnya, kemudian akar direndam dalam suspensi bakteri sebanyak 20 ml selama 30 menit. Selanjutnya tanaman ditanam di polybag dan suspensi bakteri sisa rendaman disiram ke tanaman. Pengamatan dilakukan pada beberapa peubah yang meliputi: 1. Periode laten Periode laten diamati setelah dilakukan inokulasi yaitu munculnya gejala awal yang ditandai dengan layunya daun-daun muda dan merupakan layu permanen 2. Kejadian penyakit Perhitungan tingkat kejadian penyakit pada tanaman dilakukan dengan cara mengamati gejala eksternal pada tanaman. Perhitungan dilakukan setiap minggu setelah timbulnya gejala awal. Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut: KP = n/ N x 100% Keterangan: KP = Kejadian penyakit; n = jumlah tanaman terserang; N = Jumlah total tanaman. Respon ketahanan ditentukan berdasarkan Peter et al. (1993) yang dimodifikasi yaitu sangat tahan jika 0 ≤ KP < 5; tahan jika 5 ≤ KP ≤ 20; agak tahan jika 20 < KP ≤ 40; agak rentan jika 40 < KP ≤ 60; rentan jika 60 < KP ≤ 80; dan sangat rentan jika KP>80. 3. Area Under Disease Progress Curve (AUDPC). AUDPC dihitung berdasarkan rumus Van der Plank (1963). AUDPC = ∑ ( ) ) Keterangan: = data pengamatan ke-i+1, = data pengamatan ke-i, = waktu pengamatan ke-i+1, dan = waktu pengamatan ke-i
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah dan aDataran Tinggi 4.1.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah 4.1.1.1 Keragaan Nilai Tengah Karakter Agronomi pada Hibrida dan Tetua Materi genetik yang digunakan merupakan tomat lokal yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati 1, Ranti, Aceh 5, dan Lombok 4. Kudamati 1 dan Ranti merupakan genotipe genotipe lokal yang tahan layu bakteri sedangkan Aceh 5 dan Lombok 4 merupakan genotipe lokal yang memilki potensi hasil tinggi (Sutjahjo et al. 2015). Hibrida yang diharapkan dari persilangan antar genotipe tersebut adalah hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Keragaan fenotipe bentuk buah empat tetua tersebut juga berbeda. Kudamati 1 dan Ranti memiliki buah berbentuk gelombang, sedangkan Aceh 5 dan Lombok 4 buahnya lebih besar dan tidak bergelombang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap semua karakter yang diamati kecuali diameter batang, padatan terlarut total, dan diameter buah (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat keragaman di antara tetua dan F1 pada sebagian besar karakter yang diamati. Hasil analisis yang tidak nyata menunjukkan bahwa pada karakter diameter batang, padatan terlarut total, dan diameter buah tidak beragam. Tabel 5 Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Kuadrat tengah Karakter F-Value Genotipe Galat Tinggi tanaman 712.40 83.07 8.58** Diameter batang 1.48 1.34 1.10tn Tebal buah 0.72 0.21 3.53* Kekerasan buah 1650.40 340.43 28.02** Padatan terlaut total 4.13 4.31 2.19tn Jumlah rongga buah 18.77 0.09 202.02** Panjang buah 72.64 7.95 9.13** Diameter buah 93.79 69.55 1.18tn Jumlah buah 107.68 37.11 2.90* Bobot buah 26370.43 10759.65 2.45* * = berpengaruh nyata pada α = 5% dan ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%
4.1.1.1.1 Tinggi tanaman dan Diameter Batang Keragaan tanaman Kudamati-1 dan Ranti lebih tinggi jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok-4. Kudamati-1 Aceh-5 merupakan hibrida yang paling tinggi sedangkan Aceh-5 Lombok-4 adalah yang paling rendah diantara hibrida
17 lainnya. Diameter batang berada pada kisaran 7.27 sampai 9.88 mm dan berdasarkan uji statistik tidak berbeda nyata. Tetua maupun hibrida memiliki diameter batang yang tidak beragam (Tabel 6). Tabel 6 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Genotipe Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (mm) Kudamati-1 Ranti 75.83abc 8.32 Kudamati-1 Aceh-5 80.16abc 8.88 a Kudamati-1 Lombok-4 89.00 9.83 Ranti Aceh-5 61.64cd 7.27 bcd Ranti Lombok-4 67.83 9.90 Aceh-5 Lombok-4 49.60de 8.77 a Kudamati-1 88.61 8.25 Ranti 81.93ab 8.42 de Aceh-5 51.87 8.80 Lombok-4 42.61e 8.53 Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
4.1.1.1.2 Karakter Buah Kudamati-1 dan Ranti memiliki daging buah lebih tipis, sedangkan Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki daging buah lebih tebal. Persilangan Kudamati-1 dan Ranti dengan Aceh-5 memiliki hibrida dengan daging buah yang lebih tebal. Hasil persilangan Kudamati-1 dan Ranti dengan Lombok-4 juga menunjukkan hal yang sama. Persilangan antara dua tetua yang memiliki daging buah tipis (Kudamati-1 Ranti) menghasilkan hibrida dengan daging buah tipis juga. Persilangan antara tetua dengan daging buah tebal (Aceh-5 Lombok-4) menghasilkan hibrida dengan daging buah paling tebal yaitu 3.65 mm (Tabel 7). Tabel 7 Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Padatan Tebal Kekerasan Jumlah terlarut Genotipe daging buah (mm/ rongga total buah (mm) 50 g/ 5 s) buah (0Brix) Kudamati-1 Ranti 2.31c 91.08a 6.97 7.71b abc b Kudamati-1 Aceh-5 3.11 66.76 7.33 3.10c Kudamati-1 Lombok-4 3.28ab 72.81b 7.25 2.98c bc b Ranti Aceh-5 2.62 68.88 7.45 3.24c Ranti Lombok-4 3.01abc 66.26b 7.83 3.07c a c Aceh-5 Lombok-4 3.65 46.45 7.08 2.09d Kudamati-1 2.31c 101.45a 6.88 7.14b c a Ranti 2.32 90.69 6.87 8.81a Aceh-5 3.27ab 54.83c 7.11 2.30d Lombok-4 3.51ab 45.50c 6.91 2.20d Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
18 Nilai yang rendah pada hasil pengukuran kekerasan buah menunjukkan bahwa buah lebih keras sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan bahwa buah tersebut lebih lunak. Hasil penelitian menunjukkan Kudamati-1 dan Ranti memiliki buah lebih lunak jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok-4. Persilangan antara buah lunak (Kudamati-1 Ranti) menghasilkan buah yang lunak juga. Hibrida Aceh-5 Lombok-4 memiliki buah yang keras, sama dengan kedua tetuanya. Persilangan antara buah lunak dengan buah keras (Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati 1 Lombok-4, Ranti Aceh-5, dan Ranti Lombok-4) menghasilkan hibrida yang buahnya lebih lunak jika dibandingkan dengan salah satu tetua yang buahnya keras (Tabel 7). Tomat diharapkan memiliki buah yang lebih keras sehingga dapat lebih lama disimpan dan tidak mudah rusak selama ditransportasikan (Hazra & Dutta 2011). Padatan terlarut total (PTT) berpengaruh terhadap rasa. Rasa asam akan berkurang dengan bertambahnya nilai PTT. Tomat diharapkan memiliki rasa yang tidak terlalu asam atau memiliki padatan terlarut total yang tinggi (Saputra 2014). Nilai PTT berada pada kisaran 6-7 0Brix dan tidak berbeda antara tetua maupun hibrida. PTT pada tomat dipengaruhi oleh lingkungan maupun faktor genetik. Intesitas cahaya yang lebih tinggi, penyinaran lebih lama, dan cuaca yang kering saat panen dapat meningkatkan PTT (Tigchelaar 1986). Tomat yang buahnya lebih kecil dan memiliki tipe pertumbuhan indeterminate juga memiliki PTT lebih tinggi (Emery & Munger 1970). Kudamati-1 dan Ranti merupakan tetua yang memiliki jumlah rongga lebih banyak jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok-4. Kombinasi persilangan yang salah satu tetuanya memiliki rongga buah sedikit akan menghasilkan hibrida dengan jumlah rongga yang sedikit. Hal ini dapat dilihat pada Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati-1 Lombok-4, Ranti Aceh-5, dan Ranti Lombok-4. Semua kombinasi persilangan tersebut memiliki jumlah rongga buah 2 atau 3 (Tabel 7). Jumlah rongga buah memiliki peran penting dalam menentukan kualitas buah dan berkorelasi positif dengan ukuran buah dan jumlah buah per tanaman (Bhutani & Kallo 1991). Genotipe yang memiliki rongga buah banyak, umumnya mengandung banyak air (Hazra & Dutta 2011). Hal ini dapat dilihat pada Kudamati-1, Ranti, dan Kudamati-1 Ranti. Tiga genotipe tersebut memilki jumlah rongga buah banyak dan mengandung banyak air karena buahnya lunak (Tabel 7). 4.1.1.1.3 Komponen Hasil Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki buah lebih panjang jika dibandingkan Kudamati-1 dan Ranti. Persilangan antara Kudamati-1 dengan Ranti dan Aceh-5 dengan Lombok-4 menghasilkan hibrida yang buahnya lebih pendek dari kedua tetuanya. Persilangan antara buah pendek (Kudamati-1 dan Ranti) dengan buah panjang (Aceh-5 dan Lombok-4) memiliki buah yang panjangnya berada diantara kedua tetua, tidak lebih panjang atau lebih pendek. Diameter buah tetua berkisar 28.62 – 32.88 mm dan diameter buah hibrida berkisar 26.02 – 31.89 mm. Kisaran diameter buah antara tetua dan hibrida yang tidak jauh berbeda menunjukkan bahwa diameter buah lebih seragam (Tabel 8). Jumlah buah per tanaman pada tetua berada pada kisaran 10 – 30 dan jumlah buah per tanaman pada hibrida berada pada kisaran 10 – 24. Semua
19 hibrida memiliki jumlah buah diantara kisaran tetua, tidak ada yang lebih sedikit atau lebih banyak. Bobot buah per tanaman merupakan salah satu komponen hasil yang akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Kudamati-1 merupakan tetua yang memiliki bobot buah tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan tiga tetua lainnya (Tabel 8). Kudamati-1 Ranti dan Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi jika dibandingkan hibrida lainnya. Hal tersebut terjadi karena Kudamati-1 Ranti ukuran buahnya lebih kecil namun jumlahnya lebih banyak, sedangkan Aceh-5 Lombok-4 ukuran buahnya lebih besar namun jumlah buahnya lebih sedikit (Tabel 8). Panjang buah, diameter buah, dan jumlah buah merupakan karakter-karakter yang akan berpengaruh terhadap bobot buah. Panjang dan diameter buah akan menentukan ukuran buah. Bobot buah yang tinggi bisa disebabkan oleh jumlah buah yang lebih banyak dengan ukuran kecil, jumlah buah lebih sedikit dengan ukuran buah lebih besar, atau jumlah lebih banyak dan ukuran lebih besar. Tabel 8 Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah Panjang Diameter Jumlah Bobot buah Genotipe buah buah buah per (g/ tan) (mm) (mm) tanaman Kudamati-1 Ranti 22.13b 31.89 23.67ab 313.71ab b ab Kudamati-1 Aceh-5 25.61 28.96 24.55 249.74abc Kudamati-1 Lombok-4 27.89b 29.17 22.66abc 263.43abc b c Ranti Aceh-5 25.33 26.02 10.22 89.57c Ranti Lombok-4 24.48b 28.36 18.27abc 211.76bc a bc Aceh-5 Lombok-4 33.21 29.39 15.47 304.53ab Kudamati-1 22.71b 32.88 30.07a 444.55a b abc Ranti 23.09 32.09 21.56 359.64ab Aceh-5 35.23a 28.62 19.92abc 277.05abc a c Lombok-4 35.98 31.92 10.99 249.96abc Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
4.1.1.2 Pendugaan Daya Gabung Umum dan Daya Gabung Khusus Daya gabung umum (DGU) terbaik dipilih pada tetua yang memiliki nilai DGU tinggi pada karakter tinggi tanaman, diameter batang, tebal daging buah, padatan terlarut total (PTT), panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Nilai yang dipilih pada karakter kekerasan buah dan jumlah rongga buah adalah nilai terkecil karena seleksi kedua karakter tersebut adalah seleksi negatif, yaitu mengurangi kekerasan buah dan jumlah rongga buah pada genotipe terpilih. Berdasarkan analisis daya gabung, genotipe Kudamati-1 merupakan penggabung terbaik untuk karakter tinggi tanaman, diameter buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa Kudamati-1 berpotensi untuk digunakan sebagai tetua dalam perbaikan hasil (Tabel 9; Tabel 10).
20 Genotipe Aceh-5 merupakan tetua terbaik untuk memperlebar diameter batang, menebalkan daging buah, meningkatkan padatan terlarut total, dan memperpanjang buah. Nilai daya gabung pada karakter tersebut secara berurut sebesar 0.35, 0.32, 0.23, dan 3.87. Lombok-4 merupakan penggabung terbaik untuk karakter kekerasan buah dengan nilai DGU sebesar -16.54 dan jumlah rongga buah dengan nilai DGU sebesar -1.64 (Tabel 9; Tabel 10). Hasil analisis DGU menunjukkan bahwa tidak ada tetua yang memiliki daya gabung terbaik untuk semua karakter. Satu tetua dapat memiliki DGU tinggi pada satu atau beberapa karakter namun juga memiliki DGU rendah pada karakter lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa tetua untuk memperbaiki karakter yang dituju. Tabel 9
Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada tetua di dataran rendah
Tetua Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4
Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
10.99 7.09 -6.79 -11.29
-0.03 0.32 0.35 -0.64
Tebal daging buah (mm) -0.15 -0.24 0.32 0.07
Kekerasan buah (mm/ 50 g/ 5 s) 14.69 10.58 -8.73 -16.54
Padatan terlarut total (0Brix) 0.11 0.21 0.23 -0.55
Jumlah rongga buah 1.19 1.77 -1.33 -1.64
Tabel 10 Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua di dataran rendah Tetua Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4
Panjang buah (mm) -1.87 -2.22 3.87 0.21
Diameter buah (mm) 1.82 1.11 -0.37 -2.56
Jumlah buah per tanaman 4.97 0.27 -0.22 -5.02
Bobot buah (g/ tan ) 55.30 6.32 -16.41 -45.20
Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukkan nilai daya gabung khusus (DGK) yang bervariasi pada berbagai karakter dan kombinasi persilangan. Ranti Lombok-4 memiliki DGK terbaik pada tinggi tanaman yaitu sebesar 10.23, diikutti Kudamati-1 Aceh-5 sebesar 7.18. Hibrida yang memilki DGK terendah pada karakter tinggi tanaman adalah Ranti Aceh-5 dengan nilai DGK sebesar -8.52. Nilai DGK pada karakter diameter batang berada pada kisaran -1.48 sampai 2.13. Ranti Lombok-4 memiliki DGK terbaik dan Kudamati-1 Lombok-4 memiliki DGK terendah. Hibrida Aceh-5 Lombok-4 memiliki DGK terbaik untuk karakter tebal buah, diikiti Ranti Lombok-4 dan Kudamati-1 Aceh-5. Ranti Aceh-5 merupakan hibrida yang memiliki DGK terbaik untuk karakter kekerasan buah dan jumlah rongga buah. Buah yang diharapkan adalah yang lebih keras dan memilki sedikit rongga biah sehingga pada dua karakter tersebut hibrida yang memiliki nilai DGK terkecil adalah yang terbaik. Karakter PTT memiliki keragaman DGK pada kisaran -1.92 (Kudamati-1 Lombok-4) sampai 1.72 (Ranti Lombok-4).
21 Nilai DGK tertinggi adalah yang diharapakan pada karakter panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Karakter panjang buah memliki DGK pada kisaran -9.36 sampai 4.53 sedangkan pada karakter diameter buah berada pada kisaran -10.42 sampai 5.29. Persilangan yang memiliki DGK terbaik pada panjang buah dan diameter buah adalah Aceh-5 Lombok-4. Persilangan Ranti Lombok-4 memiliki DGK terbaik untuk karakter jumlah buah per tanaman yaitu sebesar 4.39. Pada karakter bobot buah, persilangan Aceh-5 Lombok-4 memiliki DGK terbaik dengan nilai 106.86 dan terendah sebesar -159.62 pada persilangan Ranti Aceh-5. Tabel 11 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Kombinasi persilangan
Tinggi tanaman (cm)
Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Diameter batang (mm)
-27.79 15.69 -0.63 1.08 11.76 7.42
-0.06 0.47 -0.86 -1.48 2.13 0.97
Tebal daging buah (mm) 0.07 0.32 -0.36 -0.97 0.55 0.64
Kekerasan Padatan Jumlah buah terlarut rongga (mm/ 50 total buah g/ 5 s) (0Brix) 1.58 0.20 0.76 -3.43 0.55 -0.75 -13.84 -1.18 -1.55 -20.16 -1.92 -2.27 7.99 1.72 -1.05 7.49 0.95 1.07
Tabel 12 Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Panjang buah (mm) 1.62 -0.98 -4.35 -9.36 1.89 4.53
Diameter buah (mm) 1.94 0.48 -6.84 -10.42 2.79 5.29
Jumlah buah per tanaman -0.31 1.08 -3.57 -8.56 4.30 1.99
Bobot buah (g/ tan) -7.18 -48.43 -93.75 -159.62 -8.64 106.86
Nilai daya gabung yang negatif menunjukkan bahwa genotipe-genotipe maupun kombinasi persilangan yang diuji berkontribusi terhadap penurunan keragaan karakter dan sebaliknya. Seleksi terhadap daya hasil diarahkan pada tetua yang memiliki nilai DGU tinggi dan positif atau hibrida yang memiliki nilai DGK tinggi dan positif. Sebaliknya, seleksi terhadap kejadian atau serangan penyakit diarahkan pada genotipe yang memiliki nilai daya gabung negatif. Gen-gen positif pada karakter yang memiliki nilai DGU tinggi akan berkumpul pada generasi lanjut sehingga genotipe tersebut direkomendasikan sebagai tetua untuk merakit varietas galur murni (Sujiprihati et al. 2007; Saputra et al. 2014). Nilai DGU tinggi pada tetua juga mengindikasikan bahwa tetua tersebut mampu berkombinasi dengan baik dengan tetua lainnya dalam menghasilkan hibrida. Nilai DGK tinggi umumnya diperoleh dari tetua yang memiliki nilai DGU tinggi (Sujiprihati et al. 2007; Iriany et al. 2011). Pada penelitian ini dapat dilihat
22 pada karakter panjang buah. Hibrida yang memiliki panjang buah terbaik berasal dari persilangan antara Aceh-5 yang memiliki DGU tinggi (3.87) dengan Lombok-4 yang memiliki nilai DGU tinggi juga (0.21). Hibrida yang memiliki daya gabung khusus terbaik tidak semuanya berasal dari tetua dengan daya gabung umum tinggi (Kumar et al. 2015). Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat hibrida yang memilki daya gabung khusus terbaik berasal dari tetua yang memiliki daya gabung umum tinggi pada salah satu tetuanya. Hal ini dapat dilihat pada persilangan Ranti Lombok-4 yang memiliki daya gabung khusus terbaik pada karakter jumlah buah per tanaman. Kombinasi persilangan tersebut berasal dari Ranti yang memiliki daya gabung umum tinggi (0.27) dan Lombok-4 yang memiliki daya gabung umum rendah (-5.02). Aceh-5 Lombok-4 juga memiliki daya gabung khusus terbaik pada karakter bobot buah per tanaman. Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki daya gabung umum bernilai rendah dan negatif yaitu -16.41 dan -45.20 (Tabel 10). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Sekhar et al. (2010) dan Saputra et al. (2014) bahwa nilai DGK tinggi dan positif pada karakter bobot buah per tanaman terdapat pada kombinasi persilangan DGU tinggi DGU rendah dan DGU negatif DGU negatif. El-Gabry et al. (2014) memaparkan bahwa tidak semua tetua yang memiliki daya gabung umum terbaik akan menghasilkan hibrida dengan nilai daya gabung khusus tinggi. Iriany et al. (2011), menduga bahwa fenomena ini terjadi akibat gen-gen yang menguntungkan pada suatu genotipe dapat menutupi gen-gen yang merugikan pada genotipe pasangannya dan mampu bergabung dengan baik. Kemampuan daya gabung umum dapat digunakan untuk menduga genotipe tetua superior dan daya gabung khusus dapat digunakan untuk mengindentifikasi persilangan terbaik yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi varietas hibrida (Saleem et al. 2008; El-Gabry et al. 2014). Perakitan varietas hibrida lebih diarahkan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki daya hasil tinggi, dalam hal ini karakter bobot buah per tanaman menjadi karakter penting dalam menentukan kombinasi yang diharapkan (Saputra et al. 2014). Berdasarkan hal tersebut kombinasi persilangan Aceh-5 Lombok-4 dapat diarahkan untuk varietas hibrida. Kombinasi persilangan tersebut memiliki nilai daya gabung khusus positif dan tinggi untuk karakter panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaan, dan bobot buah per tanaman (Tabel 10). 4.1.1.3 Heterosis dan Heterobeltiosis Peristiwa heterosis sangat penting dalam perakitan kultivar hibrida karena menjadi indakator diperolehnya hibrida yang lebih baik dari tetuanya. Heterosis merupakan fenomena biologis yang menunjukkan keunggulan hasil persilangan F1 atau hibrida melebihi kedua tetuanya. Heterosis dapat terjadi akibat akumulasi gen dominan, overdominan, dan interaksi antar alel berbeda lokus (Birchler et.al 2010; Syukur et.al 2012). Menurut Premalatha (2006) hibrida potensial dipilih dengan menggabungkan informasi nilai rata-rata, daya gabung, dan heterosis. Efek yang timbul dari vigor hibrida (heterosis) antara lain dapat meningkatnya pertumbuhan vegetatif tanaman dan produksi, selain itu vigor juga dapat direfleksikan dalam ukuran sel, tinggi tanaman, lebar daun, dan ukuran biji. Heterosis sebagian besar ditunjukkan dalam karakter kuantitatif seperti
23 peningkatan hasil panen. Heterosis dapat pula meningkatkan kemampuan reproduksi, adaptasi, kecepatan tumbuh, dan perbaikan parameter kualitas (Chattopadhyay & Paul 2012). Tabel 13 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat hibrida di dataran rendah Tinggi tanaman (cm) MP BP 3.89 1.76 13.24 -3.99 42.32 6.60 -10.75 -23.00 11.53 -15.27 -0.45 -14.60
Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Diameter batang (mm) MP BP -0.20 -1.21 4.13 0.84 17.23 15.33 -15.53 -17.38 16.78 16.05 1.17 2.82
Tabel 14 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat hibrida di dataran rendah Kombinasi persilangan
Tebal daging buah (mm)
Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
MP -0.37 14.11 35.64 -7.86 8.93 5.00
BP -4.13 -9.54 0.43 -24.76 -17.21 -4.37
Kekerasan buah (mm/ 50g/ 5s) MP BP -5.20 0.43 -14.56 21.76 -0.90 60.01 -5.33 25.62 -2.70 45.61 -7.41 2.08
Padatan terlarut total (0Brix) MP BP 1.36 1.26 4.80 3.12 5.17 4.99 6.49 4.68 13.65 13.34 0.97 -0.48
Jumlah rongga buah MP -3.39 -34.21 -36.18 -41.70 -44.18 -7.07
BP 7.94 34.82 35.29 40.65 39.53 -4.96
Tabel 15 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat hibrida di dataran rendah Kombinasi persilangan
Kudamati-1Ranti Kudamati-1Aceh-5 Kudamati-1Lombok-4
Panjang buah (mm)
Diameter buah (mm)
Jumlah buah per tanaman
Bobot buah (g/ tan)
MP
BP
MP
BP
MP
BP
MP
BP
-3.37
-4.15
-1.82
-3.00
-1.76
-21.29
-21.98
-63.57
-11.61
-27.31
-5.81
-11.91
-3.89
-18.34
-30.78
-71.00
-4.97
-22.49
-9.97
-11.28
10.40
-24.62
-24.14
-69.41
RantiAceh-5
-13.12
-28.10
-14.27
-18.90
-50.75
-52.59
-71.87
-75.10
RantiLombok-4
-17.12
-31.97
-11.40
-11.63
12.29
-15.23
-30.53
-41.12
-6.74
-7.71
-2.91
-7.93
0.12
-26.42
15.57
9.92
Aceh-5Lombok-4
Nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi pada karakter tinggi tanaman terdapat pada persilangan Kudamati-1 Lombok-4 (42.33%; 6.60%). Nilai heterosis tertinggi pada karakter diameter batang dimiliki oleh Kudamati1 Lombok-4 (17.23%), sedangkan heterobeltiosis tertinggi dimiliki oleh Ranti Lombok-4 (16.05) (Tabel 13).
24 Karakter tebal daging buah memiliki nilai duga heterosis -6.41-12.71% dan nilai duga heterobeltiosis berkisar -19.91-3.96%. heterosis terbesar dimiliki oleh Kudamati-1 Lombok-4 sedangkan heterobeltiosis terbesar dimiliki Aceh-5 Lombok-4. Kudamati-1 Aceh-5 memiliki heterosis terbaik pada karakter keerasan buah sedangkan heerobeltiosis terbaik dimiliki oleh Kudamati-1 Ranti. Persilangan Ranti Lombok-4 memiliki nilai heterosis sebesar 13.65 dan heterobeltiosis sebesar 13.34% untuk karakter padatan terlarut total. Ranti Lombok-4 memiliki nilai heterosis sebesar -44.18% dan Aceh-5 Lombok-4 memiliki nilai heterobeltiosis sebesar -4.96 untuk karakter jumlah rongga buah (Tabel 14). Karakter panjang buah dan diameter buah memilki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif untuk semua persilangan. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dihasilkan memiliki ukuran buah lebih kecil dari rataan tetua maupun tetua terbaik. Hibrida hasil persilangan memiliki jumlah lebih banyak dari rataan tetua namun tidak melebihi tetua yang memiliki jumlah buah terbanyak. Hal ini dapat dilihat dari nilai duga heterosis dan heterobeltiosis. Pada karakter jumlah buah hanya persilangan Ranti Lombok-4, Kudamati-1 Lombok-4, dan Aceh-5 Lombok-4 yang memiliki nilai heterosis positif sedangkan semua kombinasi persilangan lain memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif. Heterosis dan heterobeltiosis positif pada karakter bobot buah hanya dimiliki Aceh-5 Lombok-4 (Tabel 13; Tabel 14). Nilai heterosis dan heterosis pada tanaman tomat umumnya rendah, namun dapat digunakan untuk memperoleh tanaman genjah, memperbaiki vigor dan mempercepat pengembangan varietas dengan kombinasi karakter yang diinginkan (Wahyuni 2014). Perakitan varietas hibrida sering memanfaatkan fenomena heterosis dan heterobeltiosis, namun keragaan tanaman juga menjadi faktor penting dalam menilai keunggulan hibrida sehingga, meskipun hibrida memiliki heterosis dan heterobeltiosis terbaik tetapi tidak memiliki keragaan yang terbaik maka hibrida tersebut sulit dimanfaatkan sebagai varietas hibrida (Saputra 2014). Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki keragaan terbaik serta memilki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter bobot buah jika dibandingkan hibrida lainnya (Tabel 8; Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa Aceh-5 Lombok-4 dapat dikembangkan lebih lanjut untuk varietas hibrida berdaya hasil tinggi di dataran rendah. 4.1.1.4 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Hasil analisis yang menunjukkan pengaruh ragam DGU dan DGK pada karakter pengamatan disajikan dalam Tabel 16 dan Tabel 17. Daya gabung umum pada karakter tinggi tanaman, kekerasan buah, dan jumlah buah per tanaman beragam, sedangkan daya gabung khususnya tidak beragam. Karakter diameter batang, tebal daging buah, padatan terlarut total, panjang buah, diameter buah, dan bobot buah memiliki daya gabung umum dan daya gabung khusus yang tidak beragam. Karakter yang memiliki keragaman pada daya gabung umum dan daya gabung khusus adalah jumlah rongga buah. Daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) yang tidak nyata untuk sebagian besar karakter menunjukkan bahwa daya gabung yang dimiliki tetua atau hibrida tidak beragam. Nilai kuadrat tengah DGU dan DGK
25 dapat digunakan untuk menduga ragam DGU (σ ) dan ragam DGK (σ ) yang selanjutnya digunakan untuk menduga ragam aditif dan ragam dominan (Singh & Chaudhary 1979). Tabel 16 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran rendah Sumber keragaman DGU DGK Galat
db
Tinggi tanaman (cm)
** 3 876.37 tn 6 48.83 18 117.61
Kuadrat tengah Tebal Diameter daging Kekerasan batang buah buah (mm) (mm) 1.26tn 22.49tn 1354.62** tn 1.67 35.65tn 147.89tn 1.69 23.18 113.47
Padatan terlarut total (Brix) 0.81tn 1.65tn 1.43
Jumlah rongga buah 18.04** 2.45** 0.21
* = berpengaruh nyata pada α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%, dan tn = tidak berpengaruh nyata
Tabel 17 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran rendah Sumber keragaman
db
Panjang buah (mm)
DGU DGK Galat
3 6 18
46.80tn 25.94tn 21.15
Kuadrat tengah Jumlah Diameter buah per buah (mm) tanaman tn 22.49 100.13** 35.65tn 21.03tn 23.18 15.95
Bobot buah (g/ tan) 10820.22tn 10666.06tn 3969.27
* = berpengaruh nyata pada α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%, dan tn = tidak berpengaruh nyata
Keragaman akibat gen non aditif, terutama aksi gen dominan dalam mengendalikan suatu karakter sangat dibutuhkan untuk merakit varietas hibrida (Pradhan et al. 2016). Nilai ragam daya gabung umum (σ ) yang lebih tinggi daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ /σ lebih besar dari satu, dan ragam aditif ( ) lebih besar dibandingkan ragam dominan ( ) menunjukkan bahwa gen aditif lebih berperan dalam menentukan keragaan fenotipiknya. Apabila nilai ragam daya gabung umum (σ ) yang lebih rendah daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ /σ lebih kecil dari satu, dan ragam dominan ( ) lebih besar dibandingkan ragam aditif ( ) maka keragaan fenotipiknya lebih dipengaruhi oleh gen non-aditif seperti dominan dan epistasis (Rini 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman, kekerasan buah, jumlah rongga buah, dan jumlah buah per tanaman lebih dipengaruhi oleh gen aditif. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai (σ ) yang lebih tinggi daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ /σ lebih besar dari satu, dan ragam dominan ( ) lebih kecil dibandingkan ragam aditif ( ). Diameter batang, tebal daging buah, padatan terlarut total, panjang buah, diameter buah, dan bobot buah lebih banyak dipengaruhi oleh gen non aditif dibandingkan gen aditif. Hal
26 tersebut dapat dilihat dari nilai (σ ) yang lebih rendah daripada nilai ragam ), rasio σ /σ lebih kecil dari satu, dan ragam daya gabung khusus (σ aditif ( ) lebih kecil dibandingkan ragam dominan ( ) (Tabel 18; Tabel 19). Aksi gen yang terlibat dapat terlihat dari derajat dominansi. Derajat dominansi yang berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, jika derajat dominansi berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna, jika derajat dominansi = 0 menunjukkan tidak ada dominansi pada karakter tersebut, jika derajat dominansi = 1 atau = -1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan sempurna atau resesif sempurna, dan jika derajat dominansi < -1 atau derajat dominansi > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen over dominan (Petr & Frey 1966). Tabel 18 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Komponen ragam
Kriteria
Kriteria
Rasio ragam ( / ) Ragam aditif Ragam dominan Derajat dominansi ( / )1/2 Heritabilitas arti luas Heritabilitas arti sempit
Tebal daging Kekerasan buah buah (mm) 0.24 550.13 0.20 469.16 Luas Luas 0.17 436.66
Padatan terlarut Jumlah total rongga (0Brix) 1.50 6.26 1.17 5.34 Luas Luas 0.06 6.23
Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
237.47 202.51 Luas 209.77
1.53 1.31 Luas 1.09
203.35 Luas 72.08 38.44
1.34 sempit -0.07 -0.02
0.21 sempit 0.00 0.03
475.22 sempit 201.12 34.42
1.52 Sempit -0.14 0.22
5.34 Luas 2.599 2.245
1.88
3.18
0.14
5.84
-0.64
1.16
144.17 38.44
|-0.14| |-0.02|
0.01 0.03
402.24 34.42
|-0.28| 0.22
5.198 2.245
0.52
0.40
1.87
0.29
0.89
0.66
0.88
0.71
0.72
0.79
0.04
1.00
0.61
0.00
0.03
0.73
0.00
0.83
Berdasarkan Tabel 18 dan Tabel 19 dapat diketahui bahwa tinggi tanaman, diameter batang, kekerasan buah, padatan terlarut total, panjang buah dan jumlah buah per tanaman dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna karena memilki nilai derajat dominansi diantara 0 dan 1. Tebal daging buah, diameter buah, dan bobot buah dikendalikan oleh aksi gen over dominan yang ditandai dengan derajat dominansi > 1. Pengaruh gen dominan yang tidak sempurna pada karakter tinggi tanaman, diameter batang, kekerasan buah, padatan terlarut total, panjang buah dan jumlah
27 buah per tanaman menunjukkan bahwa masih ada gen aditif yang terlibat dalam mengendalikan karakter tersebut. Diameter buah dan bobot buah per tanaman merupakan beberapa komponen hasil yang berpengaruh terhadap produktivitas sehingga aksi gen over dominan pada karakter tersebut memberi peluang pada kombinasi persilangan yang ada untuk dikembangkan menjadi hibrida berdaya hasil tinggi. Tabel 19 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah Komponen ragam
Kriteria
Kriteria
Rasio ragam ( / Ragam aditif Ragam dominan Derajat dominansi ( / Heritabilitas arti luas Heritabilitas arti sempit
)
)1/2
Panjang buah (mm) 24.21 20.65 Luas 21.56 20.72 luas 3.48 4.79 0.73 6.95 4.79 0.83 0.89 0.29
Diameter buah (mm) 31.26 26.66 Luas 8.08 30.82 sempit -2.19 12.47 -0.18 |-4.39| 12.47 1.69 0.26 0.14
Jumlah buah per tanaman 35.89 30.61 Luas 23.52 31.70 Sempit 13.18 5.08 2.60 26.37 5.08 0.44 0.66 0.73
Bobot buah (g/ tan) 8790.14 7496.26 Luas 5203.59 7868.35 sempit 25.69 6696.79 0.00 51.39 6696.79 11.42 0.59 0.01
Heritabilitas merupakan proporsi keragaman teramati yang disebabkan oleh sifat menurun (Poespodarsono 1988). Berdasarkan komponen ragam genetik, heritabilitas dibagi menjadi dua dua yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas memepertimbangkan keragaman total genetik dalam kaitannya dengan keragaman fenotipik yang berarti pengaruh semua gen dilibatkan secara bersama-sama, sedangkan heritabilitas arti sempit lebih spesifik yaitu melihat pengaruh ragam aditif terhadap keragaman fenotipiknya (Poehlman & Sleeper 1979; Poespodarsono 1988) Berdasarkan Stansfield (1983), nilai heritabilitas dikelompokkan menjadi tiga kriteria yaitu tinggi (0.5<X≤1), sedang (0.2<X≤0.5), dan rendah (0<X≤0.2). Heritabilitas dengan nilai 0 berarti bahwa keragaman fenotipe disebabkan lingkungan sedangkan heritabilitas dengan nilai 1 berari keragaman fenotipe hanya disebabkan oleh genotipe. Pengelompokan ini juga digunakan dalam beberapa penelitian tentang tomat (Seed et al. 2007; Islam et al. 2012; Reddy et al. 2013; Wahyuni et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai heritailitas arti luas berada pada kisaran 0.26 – 1 sedangkan heritabilitas arti sempit berada pada kisaran 0.01-0.85 (Tabel 18; Tabel 19). Heritabilitas arti luas pada karakter tinggi tanaman, diameter batang, tebal daging buah, kekerasan buah, jumlah rongga buah, panjang buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman termasuk dalam kriteria tinggi. Perbaikan karakter pada
28 pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan melakukan seleksi pada karakterkarakter yang memiliki nilai duga heritabilitas tinggi (Vidya et al. 2002; Handayani & Hidayat 2012; Novita et al. 2014). Heritabilitas arti sempit cenderung lebih rendah daripada heritabilitas arti luas. Salah satu contohnya pada karakter bobot buah per tanaman. Karakter tersebut memiliki heritabilitas arti luas dalam kriteria luas dan menurun menjadi kriteria rendah pada heritabilitas arti sempit. Karakter-karakter yang lebih dipengaruhi gen aditif ( tinggi) memiliki kriteria heritabilitas arti luas dan arti sempit sama yaitu tinggi. Hal ini terjadi pada karakter kekerasan buah, jumlah rongga buah, dan jumlah buah per tanaman (Tabel 18; Tabel 19). Nilai heritabilitas arti sempit yang rendah sampai sedang menunjukkan bahwa gen-gen non aditif lebih banyak berpengaruh terhadap fenotipe tanamana dibandingkan gen-gen aditif. 4.1.2 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Tinggi 4.1.2.1 Keragaan Nilai Tengah Karakter Agronomi pada Hibrida dan Tetua di Dataran Tinggi Hasil analisis ragam pada karakter-karakter yang diamati di dataran tinggi disajikan dalam Tabel 20. Semua karakter yang diamati memiliki keragaman, kecuali pada jumlah buah per tanaman. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, tebal buah, kekerasan buah, jumlah rongga buah, panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per tanaman. Tabel 20 Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Kuadarat tengah Karakter F-Value Genotipe Galat Tinggi tanaman 758.25 38.02 19.94** Diameter batang 6.29 21.60 3.21* Tebal buah 2.819 0.15 18.47** Kekerasan buah 4565.30 537.06 28.88** Padatan terlaut total 7.21 1.38 3.12* Jumlah rongga buah 23.28 1.01 32.36** Panjang buah 273.11 4.45 61.34** Diameter buah 22.229 3.79 5.86** Jumlah buah 454.95 197.21 2.31tn Bobot buah 595658.4 79928.26 7.45** * = berpengaruh nyata pada α = 5% dan ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%
4.1.2.1.1 Tinggi Tanaman dan Diameter Batang Kudamati-1 dan Ranti merupakan tetua yang memiliki keragaan tanaman lebih tinggi jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok 4. Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati-1 Lombok-4, dan Ranti Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki keragaan tanaman paling tinggi di antara hibrida lain.
29 Kudamati-1 Ranti, Ranti Aceh-5, dan Aceh-5 Lombok-4 merupakan kombinasi persilangan yang tinggi tanamannya tidak berbeda dengan tinggi tanaman kedua tetuanya (Tabel 21). Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4 meupakan tetua yang memiliki diameter batang lebih lebar jika dibandingkan Kudamati-1 sedangkan sebagian kombinasi persilangannya memiliki diameter batang yang tidak berbeda dengan kedua tetuanya. Hal ini dapat terlihat pada Kudamati-1 Ranti, Kudamati-1 Aceh-5, Ranti Lombok-4, dan Aceh-5 Lombok-4 (Tabel 21). Tabel 21 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Genotipe Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (mm) Kudamati-1 Ranti 65.52bc 9.76abc Kudamati-1 Aceh-5 88.71a 9.58abc Kudamati-1 Lombok-4 97.28a 9.21bc cd Ranti Aceh-5 60.66 10.16a Ranti Lombok-4 101.41a 9.82abc bcd Aceh-5 Lombok-4 62.84 9.92ab Kudamati-1 75.03b 9.14c bc Ranti 73.99 10.10a Aceh-5 62.00bcd 10.00a d Lombok-4 51.24 9.91ab Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
4.1.2.1.2 Karakter Buah Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki daging buah paling tebal dan tidak berbeda dengan Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati-1 Lombok-4, Ranti Lombok-4, dan Aceh-5 Lombok-4. Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki daging buah lebih tebal jika dibandingkan dengan tomat yang ditanam di dataran rendah. Hal ini dapat dilikhat pada Aceh-5 Lombok-4, di dataran rendah hibrida tersebut memiliki daging buah dengan tebal 3.65 mm (Tabel 7), sedangkan di dataran tinggi ketebalannya mencapai 5.25 mm (Tabel 22). Aceh-5, Lombok-4 dan persilangan keduanya (Aceh-5 Lombok-4) memiliki buah yang paling keras, sedangkan genotipe lainnya buahnya lebih lunak. Persilangan antara tetua yang memiliki buah lunak akan menghasilkan hibrida yang memiliki buah lunak juga. Hal ini terjadi pada persilangan Kudamati-1 dengan Ranti (Tabel 22). Tomat diharapkan memiliki buah lebih keras sehingga dapat lebih lama disimpan (Saputra 2014). Padatan terlarut total merupakan karakter yang digunakan dalam menentukan rasa. Rasa asam akan semakin berkurang dengan bertambahnya nilai PTT. Niilai PTT berada pada kisaran 3 – 5.27 0Brix. Kudamati-1 Ranti memiliki nilai PTT tertinggi dan tidak berbeda dengan Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati-1 Lombok-4, Ranti Lombok-4, serta Aceh-5 Lombok-4. Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki nilai PTT lebih rendah jika dibandingkan tomat yang ditanam di dataran rendah. Nilai PTT di dataran rendah mencapai 7 0Brix, sedangkan di dataran tinggi hanya mencapai 5 0Brix (Tabel 7; Tabel 22).
30 Tetua yang memiliki rongga buah sedikit adalah Aceh-5 dan Lombok-4 dan persilangan antar keduanya maupun kombinasi persilangan yang menggunakan Aceh-5 atau Lombok-4 akan memiliki jumlah rongga buah sedikit (Tabel 22). Tomat yang memiliki rongga buah banyak, seperti Kudamati-1, Ranti, dan Kudamati-1 Ranti, akan tetap memiliki jumlah rongga lebih banyak saat ditanam di dataran rendah atau dataran tinggi (Tabel 7; Tabel 22). Tabel 22 Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Padatan Tebal Kekerasan Jumlah terlarut Genotipe daging buah (mm/ rongga total buah (mm) 50g/ 5s) buah (0Brix) Kudamati-1 Ranti 3.14c 111.44a 5.27a 7.90a ab b ab Kudamati-1 Aceh-5 5.10 78.86 4.24 3.54b Kudamati-1 Lombok-4 4.54b 86.09b 4.72ab 3.40b c a bc Ranti Aceh-5 3.67 118.16 4.00 3.80b Ranti Lombok-4 4.73b 85.22b 5.08ab 3.63b ab c ab Aceh-5 Lombok-4 5.25 47.10 4.22 2.46b Kudamati-1 3.05c 118.41a 5.06ab 6.99a Ranti 2.95c 121.57a 4.38ab 8.48a a c c Aceh-5 5.93 44.33 3.00 3.00b Lombok-4 5.44ab 38.33c 4.41ab 2.30b Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
4.1.2.1.3 Komponen Hasil Buah Aceh-5 dan Lombok-4 lebih panjang jika dibandingkan Kudamati-1 dan Ranti. Semua kombinasi persilangan antara buah pendek dengan buah panjang menghasilkan hibrida yang memiliki buah lebih panjang daripada tetua betina (Kudamati-1 Aceh-5, Kudamati-1 Lombok-4, Ranti Aceh-5, dan Ranti Lombok-4). Persilangan antar tetua yang memiliki buah pendek (Kudamati-1 Ranti), buahnya juga pendek dan tidak berbeda dengan kedua tetuanya (Tabel 23). Tabel 23 menyajikan keragaan nilai tengah komponen hasil yang terdiri atas panjang buah diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah. Diameter buah berada pada kisaran 40.55 – 49.69 mm. Diameter buah Aceh-5 dan Lombok-4 lebih lebar jika dibandingkan dengan Kudamati-1 dan Ranti. Tomat yang ditanam didataran tinggi memiliki buah lebih panjang dan lebih lebar jika dibandingkan dengan yang ditanam di dataran rendah (Tabel 8; Tabel 23). Jumlah buah per tanaman berada pada kisaran 18-59 sedangkan bobot buah berada pada kisaran 474 - 2 800 g/ tan. Aceh-5 memiliki bobot buah tertinggi diantara tetua maupun hibrida sedangkan Kudamati-1 Lombok-4, Ranti Lombok-4, Aceh-5 Lombok-4, Ranti, dan Lombok-4 memiliki bobot buah yang tidak berbeda (Tabel 23). Tomat di dataran tinggi memiliki jumlah lebih banyak dan bobot buah per tanaman lebih tinggi jika dibandingkan tomat yang ditanam di dataran rendah (Tabel 8; Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa, tomat
31 yang ditanam di dataran tinggi akan memiliki produksi lebih tinggi, sedangkan tomat yang ditanam di dataran rendah produksinya akan lebih rendah. Tabel 23 Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi Panjang Diameter Jumlah Bobot buah Genotipe buah buah buah (g/ tan) (mm) (mm) Kudamati-1 Ranti 24.44e 41.92cd 29.59 452.2c c ab Kudamati-1 Aceh-5 38.15 46.55 29.48 884.0bc Kudamati-1 Lombok-4 32.78d 39.09d 60.29 1237.3b d d Ranti Aceh-5 33.32 40.55 19.25 475.0c Ranti Lombok-4 35.45cd 42.85bcd 29.22 762.2bc b bcd Aceh-5 Lombok-4 47.09 43.21 42.99 1071.5bc Kudamati-1 25.18e 39.30d 32.39 569.7c Ranti 24.76e 43.69bcd 34.98 639.9bc a a Aceh-5 54.00 49.69 59.00 2800.0a Lombok-4 54.06a 46.14abc 18.43 690.0bc Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
Bobot buah per tanaman memiliki korelasi positif dengan panjang buah, diameter buah, ukuran buah, bobot per buah dan jumlah buah per tanaman (Golani et al. 2007; Saputra 2014). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan dengan meningkatakan panjang, diameter, ukuran, dan jumlah buah. 4.1.2.2 Pendugaan Daya Gabung Umum dan Daya Gabung Khusus Kudamati-1 memiliki daya gabung umum tertinggi untuk karakter tinggi tanaman sehingga dapat dijadikan penggabung untuk memeperoleh keturunan yang tanamannya lebih tinggi. Aceh-5 memiliki DGU terendah sehingga dapat digunakan sebagai penggabung untuk menghasilkan keturunana dengan tanaman lebih pendek. Diameter batang pada tomat diharapkan lebih besar sehingga lebih kokoh dan tidak mudah roboh. Lombok-4 memiliki nilai daya gabung umum positif pada karakter diameter batang sehingga genotipe tersebut merupakan penggabung terbaik untuk karakter diameter batang (Tabel 24). Lombok-4 merupakan penggabung terbaik untuk tebal daging dan padatan terlarut total karena memiliki nilai daya gabung umum positif dan tinggi untuk karakter tersebut. Jumlah rongga yang diinginkan konsumen adalah tidak terlalu banyak sehingga dibutuhkan tetua yang memiliki nilai daya gabung umum negatif pada karakter tersebut. Aceh-5 dan Lombok-4 merupakan tetua yang dapat dijadikan penggabung untuk memperoleh keturunan yang memiliki rongga buah lebih sedikit. Aceh-5 dan Lombok-4 merupakan tetua yang memiliki nilai daya gabung umum negatif dan kecil untuk karakter kekerasan buah sehingga genotipe tersebut merupakan penggabung terbaik untuk mendapatkan buah yang lebih keras (Tabel 24).
32
Tabel 24 Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada tomat di dataran tinggi Tetua Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4
Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
12.19 1.11 -19.23 5.93
0.79 0.18 -2.09 1.12
Tebal daging buah (mm) 0.18 -0.47 -0.38 0.66
Kekerasan buah 24.84 19.16 -28.22 -15.78
Padatan terlarut total (0Brix) 0.87 0.22 -1.22 0.13
Jumlah rongga buah 1.45 1.61 -1.81 -1.26
Tabel 25 Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua di dataran tinggi Tetua
Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4
Panjang buah (mm)
Diameter buah (mm)
Jumlah buah per tanaman
-0.13 -4.33 -2.36 6.82
4.57 1.16 -7.05 1.32
5.40 -2.76 -5.58 2.94
Bobot buah (g/ tan)
2.27 -174.45 46.87 125.30
Gen-gen positif pada karakter yang memiliki nilai daya gabung umum tinggi akan berkumpul pada generasi lanjut sehingga genotipe tersebut direkomendasikan sebagai tetua untuk merakit varietas galur murni (Sujiprihati et al. 2007; Saputra et al. 2014). Nilai daya gabung umum yang tinggi pada tetua juga mengindikasikan bahwa tetua tersebut mampu berkombinasi dengan baik dengan tetua lainnya dalam menghasilkan hibrida. Lombok-4 memiliki nilai daya gabung umum tertinggi untuk karakter panjang buah dan bobot buah sedangkan Kudamati-1 untuk karakter diameter buah dan jumlah buah per tanaman (Tabel 25). Tetua-tetua tersebut dapat digunakan untuk merakit galur murni yang memiliki buah lebih panjang, diameter lebih lebar, jumlah buah per tanaman lebih banyak atau bobot buah lebih tinggi. Tomat diharapkan memiliki buah lebih keras dan rongga buah lebih sedikit, sehingga dibutuhkan tetua yang memilki nilai DGU negatif untuk karakter tersebut. Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki DGU negatif untuk karakter tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai tetua untuk merakit varietas galur murni yang memiliki buah lebih keras dan jumlah rongga buah yang sedikit (Tabel 25). Pendugaan daya gabung khusus disajikan dalam Tabel 26 dan Tabel 27. Daya gabung khusus pada karakter tinggi tanaman berkisar -27.37 sampai 30.06 sedangkan pada diameter batang berkisar -3.12 sampai 2.48. Daya gabung khusus tertinggi pada tinggi tanaman dan diameter batang berturut-turut dimiliki oleh Kudamati-1 Aceh-5 dan Aceh-5 Lombok-4. Daya gabung terbaik pada karakter tebal daging buah, kekerasan buah, padatan terlarut total, dan jumlah rongga buah dimiliki oleh hibrida yang berbeda. Secara berurut, hibrida yang memiliki daya gabung khusus terbaik pada karakter tersebut adalah Kudamati-1 Aceh-5, Ranti Aceh-5, Aceh-5 Lombok-4, dan Ranti Aceh-5.
33 Tabel 26 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
-13.47 30.06 13.48 -27.36 28.68 10.45
0.37 2.46 -1.11 -3.12 0.11 2.48
Tebal daging buah (mm) -0.13 1.74 0.13 -1.50 0.98 1.41
Kekerasan buah -5.40 9.40 4.20 -24.40 9.00 18.26
Padatan terlarut total (0Brix) 0.36 0.77 -0.11 -1.49 0.91 1.49
Jumlah rongga buah 0.82 -0.12 -0.82 -2.56 -0.74 1.51
Panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah merupakan karakter-karakter yang akan berpengaruh terhadap hasil sehingga harus memiliki nilai daya gabung posistif. Nilai daya gabung khusus tertinggi pada panjang buah dimiliki oleh Aceh-5 Lombok-4 dan pada diameter buah dimilliki Kudamati-1 Aceh-5. Kudamati-1 Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4 memiliki daya gabung khusus terbaik untuk jumlah buah dan bobot buah. Daya gabung khusus merupakan salah satu parameter untuk menentukan hibrida terbaik (El-Gabry et al. 2014). Nilai DGK tinggi dapat diperoleh apabila salah satu tetua memiliki DGU tinggi dan tetua lainnya memiliki DGU rendah (Hannan et al. 2007a). Hal ini dapat dilihat pada Kudamati-1 Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4. Lombok-4 merupakan penggabung terbaik untuk karakter bobot buah per tanaman (Tabel 25) dan hibridanya (Kudamati-1 Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4) memiliki nilai daya gabung khusus tinggi (Tabel 27). Hasil penelitian Louis et al. (2016), juga menunjukkan hal yang sama untuk karakter jumlah buah per tanaman pada tomat. Tabel 27 Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Panjang buah (mm)
-0.40 11.34 -3.20 -11.51 3.67 13.33
Diameter buah (mm)
0.45 13.29 -2.55 -16.34 4.62 13.20
Jumlah buah per tanaman
Bobot buah (g/ tan)
-3.40 -0.68 21.60 -15.59 -1.31 15.29
-115.46 94.96 369.92 -453.95 71.48 159.52
4.1.2.3 Heterosis dan Heterobeltiosis Nilai heterosis dan heterobeltiosis sangat dibutuhkan untuk menenetukan hibrida terbaik. Kedua nilai tersebut dapat digunakan untuk melihat keragaan hibrida yang lebih baik dari tetuanya. Nilai heterosis terbaik untuk tinggi tanaman dimiliki oleh Kudamati-1 Aceh-5 dan yang melebihi tinggi tetua terbaik adalah
34 Kudamati-1 Lombok-4. Ranti Aceh-5 merupakan hibrida yang memiliki heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk diameter batang (Tabel 28). Tabel 28 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat hibrida di dataran tinggi Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5 Ranti Lombok-4 Aceh-5 Lombok-4
Tinggi tanaman (cm) MP BP 1.02 -12.67 4.63 18.23 -8.50 29.66 -13.16 -18.01 -4.61 37.07 -9.81 1.36
Diameter batang (mm) MP BP 1.52 -3.30 0.17 -4.13 -3.30 -7.08 1.16 1.67 -1.81 -2.71 -0.31 -0.73
Tabel 29 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat hibrida di dataran tinggi Kombinasi persilangan
Tebal daging buah (mm) MP
Kudamati-1 Ranti Kudamati-1 Aceh-5 Kudamati-1 Lombok-4 Ranti Aceh-5
BP
Kekerasan buah MP
4.66
2.94
-7.13
13.61
-13.92
-3.08
6.81
-16.59
9.85
BP -5.89
Padatan terlarut total (0Brix) MP BP
Jumlah rongga buah MP
BP
11.78
4.26
2.10
12.99
77.90
5.23
-16.21
-28.98
18.27
124.60
-0.40
-6.76
-26.82
47.83
-17.44
-38.15
42.45
166.54
8.38
-8.71
-33.82
26.67
Ranti Lombok-4
12.85
-12.92
6.59
122.32
15.55
16.02
-32.61
57.97
Aceh-5 Lombok-4
-7.70
-11.52
13.97
22.89
13.98
-4.30
-6.92
7.25
Tabel 30 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat hibrida di dataran tinggi Kombinasi persilangan Kudamati-1 Ranti
Panjang buah (mm) MP BP -2.12
-2.93
Diameter buah (mm) MP BP 1.02
-4.05
Jumlah buah per tanaman MP BP
Bobot buah (g/ tan) MP BP
-12.15
-15.40
-25.23
-29.33
-3.64
-29.36
4.63
-6.31
-35.49
-50.04
-47.53
-68.43
Kudamati-1 Lombok-4
-17.25
-39.35
-8.50
-15.28
137.27
86.16
96.45
79.33
Ranti Aceh-5
-15.39
-38.29
-13.16
-18.40
-59.03
-67.37
-72.38
-83.04
Ranti Lombok-4
-10.04
-34.41
-4.61
-7.14
9.41
-16.46
14.62
10.46
Aceh-5 Lombok-4
-12.85
-12.90
-9.81
-13.03
11.03
-27.14
-38.59
-61.73
Kudamati-1 Aceh-5
Hibrida Kudamati-1 Aceh-5 memiliki nilai heterosis tertinggi dan Kudamati-1 Ranti memiliki heterobeltiosis tertinggi untuk karakter tebal daging buah. Kudamati-1 Ranti dan Ranti Lombok-4, masing-masing memilki memeiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis terbaik untuk karakter kakarasan buah dan padatan terlarut total. Nilai heterosis dan heterobeltiosis terbaik untuk jumlah rongga dimiliki oleh hibrida yang berbeda yaitu Ranti Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4 (Tabel 29).
35 Semua hibrida tidak memiliki panjang buah yang lebih baik dari tetuanya karena memiliki nilai heterosis maupun heterobeltiosis negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua hibrida terjadi penurunan panjang buah. Hibrida yang memiliki heterosis positif pada diameter buah hanya Kudamati-1 Aceh-5 dan Kudamati-1 Ranti namun tidak ada yang memiliki diameter buah melebihi tetuanya. Kudamati-1 Lombok-4 memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi pada jumlah buah dan bobot buah. Nilai heterosis pada karakter jumlah buah mencapai 137.27 % dan pada bobot buah mencapai 96.45% (Tabel 30). Nilai heterosis ≥ 20% untuk komponen hasil pada tanaman menyerbuk sendiri seperti tomat, sudah memiliki peluang untuk dirakit menjadi varietas hibrida (Satoto & Suprihatno 1998). Hasil penelitian Hannan et al. (2007b), Sekhar et al. (2010), Ahmad et al. (2011), Farzane et al. (2012), dan Souza et al. (2012) juga menunjukkan bahwa karakter bobot buah per tanaman memiliki heterosis yang tinggi yaitu berkisar -39.19-211.00 %. Menurut Falconer dan Mackay (1996) serta Wricke dan Weber (1986), heterosis yang tinggi mencerminkan perbedaan frekuensi alel-alel yang dimiliki oleh tetuanya sangat besar dan tetua tersebut memiliki gen-gen yang menguntungkan serta berinteraksi positif jika digabungkan. 4.1.2.4 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Hasil analisis ragam daya gabung umum dan daya gabung khusus tidak berbeda nyata pada karakter tebal daging buah, panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang beragam terdapat pada karakter tinggi tanaman, padatan terlarut total, dan jumlah rongga buah, sedangkan pada diameter batang dan kekerasan buah hanya daya gabung umum yang beragam (Tabel 31 dan Tabel 32). Ragam daya gabung umum digunakan untuk menduga ragam aditif sedangkan ragam daya gabung khusus digunakan untuk menduga ragam dominan (Singh & Chaudhary 1979). Pengaruh yang tidak nyata pada ragam daya gabung umum menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh gen dominan sedangkan pengaruh yang tidak nyata pada ragam daya gabung khusus menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh gen aditif. Tabel 31 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran tinggi Sumber db keragaman DGU DGK Galat
Tinggi tanaaman (cm)
3 1109.17** 6 657.46** 18 86.41
Diameter batang (mm) 12.53** 4.53tn 2.09
Kuadrat tengah Tebal Padatan daging Kekerasan terlarut buah buah total (mm) (Brix) 1.66tn 4058.60** 4.63** tn 1.89 253.35tn 1.28* 0.81 179.02 0.46
Jumlah rongga buah 19.08** 2.10** 0.33
* = berpengaruh nyata pada α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%, dan tn = tidak berpengaruh nyata
36 Tabel 32 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat di dataran tinggi Sumber keragaman
db
Panjang buah (mm)
DGU DGK Galat
3 6 18
141.62tn 97.54tn 70.02
Kuadrat tengah Jumlah Diameter buah per buah (mm) tanaman tn 147.56 153.24tn 132.12tn 242.26tn 60.90 98.11
Bobot buah (g/ tan) 96668.15tn 98089.78tn 109200.30
* = berpengaruh nyata pada α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%, dan tn = tidak berpengaruh nyata
Semua karakter yang diamati memiliki keragaman fenotipe luas namun tidak semua memiliki keragaman genetik luas. Diameter batang, padatan terlarut total, diameter buah, dan jumlah buah per tanaman adalah karakter-karakter yang memiliki karagaman genetik sempit. Karakter yang memiliki keragaman genetik luas akan memiliki keragaman fenotipe yang luas namun karakter yang memiliki keragaman genetik sempit belum tentu memiliki keragaman fenotipe yang sempit (Tabel 33 & Tabel 34). Hal tersebut disebabkan keragaman fenotipe dipengaruhi oleh keragaman genetik dan lingkungan (Syukur et al. 2010b). Tabel 33 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi Komponen ragam
Kriteria
Kriteria
Rasio ragam ( / ) Ragam aditif Ragam dominan Derajat dominansi ( / )1/2 Heritabilitas arti luas Heritabilitas arti sempit
Tebal daging Kekerasan buah buah (mm) 0.94 1521.77
Padatan terlarut Jumlah total rongga (0Brix) 2.86 7.76
Tinggi tanaman (cm)
Diameter batang (mm)
252.75
12.30
215.55 Luas 240.08
1.79 Luas 5.10
0.80 Luas 0.89
1297.77 Luas 1342.75
2.05 Luas 2.40
6.62 Luas 7.42
215.71 luas 75.28 571.05
5.12 sempit 1.33 2.44
0.80 Luas -0.04 1.08
1303.24 Luas 634.21 74.33
2.07 Luas 0.56 0.83
6.62 luas 2.83 1.77
0.13 150.57 571.05
0.55 2.67 2.44
-0.04 |-0.08| 1.08
8.53 1268.42 74.33
0.68 1.12 0.83
1.60 5.660 1.765
1.95
0.96
3.75
0.24
0.86
0.56
0.95
0.41
0.95
0.88
0.84
0.96
0.60
0.22
0.00
0.83
0.39
0.73
37 Ragam aditif dapat diduga dari ragam daya gabung umum ( ) dan ragam dominan dapat diduga dari ragam daya gabung khusus ( ). Ragam aditif diduga dari dua kali ragam DGU sedangkan ragam dominan diduga dari satu kali ragam DGK (Singh & Chaudhary 1979). Karakter tinggi tanaman, tebal daging buah, panjang buah, diameter buah, dan jumlah buah lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen non-aditif. Hal tersebut dapat diketahui dari ragam dominan yang lebih besar dari ragam aditif pada karakter-karakter tersebut Diameter batang, kekerasan buah, padatan terlarut total, jumlah rongga buah, dan bobot lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen aditif dan hal tersebut menunjukkan bahwa gen aditif lebih berkontribusi terhadap fenotipe tanaman untuk karakter yang disebutkan sebelumnya (Tabel 33). Gen aditif dan non-aditif secara bersama terlibat dalam mengendalikan suatu karakter namun gen non-aditif diketahui lebih banyak terlibat dalam mengendalikan sebagian besar karakter (Saleem et al. 2009; Solieman 2009; Saleem et al. 2015). Derajat dominansi menunjukkan aksi gen yang terlibat dalam mengendalikan suatu karakter. Diameter batang, kekerasan buah, padatan terlarut total, dan jumlah rongga buah memilliki derajat dominansi diantara 0 dan 1. Oleh karena itu karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Pengaruh gen dominan yang tidak sempurna menunjukkan bahwa masih ada gen aditif yang terlibat dalam mengendalikan karakter tersebut. Menurut Arif (2010), jika karakter yang dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna maka nilai rata-rata F1 cenderung mendekati nilai rata-rata tetua terbaik. Tabel 34 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi Komponen ragam
Kriteria
Kriteria
Rasio ragam ( / Ragam aditif Ragam dominan Derajat dominansi ( / Heritabilitas arti luas Heritabilitas arti sempit
)
)1/2
Panjang buah (mm) 91.04 77.64 Luas 89.55
Diameter buah (mm) 7.41 6.32 Luas 6.15
77.64 luas 7.35 27.52 0.27 14.69 27.52 1.37 0.98 0.16
6.37 sempit 2.57 71.22 0.04 5.15 71.22 3.72 0.83 0.69
Jumlah buah per tanaman 151.65 129.33 Luas 85.91 136.55 sempit -14.84 144.15 -0.10 |-29.67| 144.15 2.20 0.57 0.00
Bobot buah (g/ tan) 198552.80 169326.39 Luas 171910.04 170255.43 Luas -236.94 -11110.48 0.02 |-473.88| |-11110.48| 4.84 0.87 0.00
Panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah dikendalikan oleh aksi gen over dominan karena memiliki derajat dominansi lebih dari 1. Aksi gen over dominan yang terlibat dalam karakter komponen hasil mengindikasikan
38 bahwa perakitan hibrida dapat digunakan untuk meningkatkan atau memperbaiki produksi (Tabel 34). Nilai duga heritabilitas dapat digunakan untuk memilih karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi (Tenaya et al. 2003; Lestari et al. 2006). Nilai heritabilitas yang tinggi mengindikasikan bahwa keragaman fenotipe pada generasi tersebut merupakan keragaman yang diwariskan pada keturunannya (Jambormias et al. 2004). Nilai duga heritabilitas dengan kriteria tinggi juga dapat digunakan secara langsung sebagai karakter seleksi pada generasi awal (Hadiati et al. 2003). Tabel 33 dan 34 menunjukkan bahwa semua karakter memiliki nilai heritabilitas arti luas lebih tinggi daripada heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas menunjukkan bahwa suatu karakter lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, sedangkan heritabilitas arti sempit menunjukkan aksi gen yang memengaruhi suatu karakter.
4.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua Lingkungan
Genotipe-genotipe yang diuji sama seperti genotipe pada percobaan sebelumnya yaitu empat tetua dan 6 kombinasi persilangan setengah dialel. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Kudamati-1 dan Ranti tahan layu bakteri, sedangkan Aceh-5 dan Lombok-4 memilki potensi hasil tinggi (Sutjahjo et al. 2014; Sutjahjo et al. 2015; Harquasum 2016). Semua genotipe tomat, tetua maupun kombinasi persilangannya kemudian ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi untuk melihat interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Informasi tentang interaksi genotipe lingkungan (GE) diperlukan pemulia tanaman untuk membantu proses identifikasi genotipe unggul (Dewi et al. 2015). Tabel 35 Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan (L), dan interaksi G x L pada karakter agronomi F1 hasil persilangan genotipe tomat lokal Sumber keragaman Kuadarat tengah Genotipe (G) Lingkungan (L) Tinggi tanaman 309.19** Diameter batang 0.91tn Tebal buah 0.48* Kekerasan buah 284.32** Padatan terlaut total 0.53* Jumlah rongga buah 0.12tn Panjang buah 50.86** Diameter buah 19.65* Jumlah buah 217.21tn Bobot buah 421377.00** Bobot per bedeng 168550698.00** Produktivitas 237.88** *, **, tn: berpengaruh nyata, sangat nyata, dan tidak nyata pada α = 5% dan α = 1% berdasarkam uji F
39
Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan terdapat interaksi antara genotipe lingkungan pada sebagian besar karakter yang diamati. Interaksi genotipe lingkungan yang nyata terjadi kareda kondisi di dua lingkungan tersebut berbeda (Vange et al. 2014; Saniaty 2016). Karakter-karakter yang dipengaruhi oleh interaksi genotipe lingkungan adalah tinggi tanaman, tebal buah, kekerasan buah, padatan terlarut total, panjang buah, diameter buah, bobot buah per tanaman, bobot buah per bedeng (2 m2), dan produktivitas. Diameter batang, jumlah rongga buah, dan jumlah buah per tanaman merupakan karakter-karakter yang tidak dipengaruhi oleh interaksi Genotipe Lingkungan (Tabel 35). Hasil analisis ragam gabungan yang tidak berpengaruh nyata pada karakter yang diamati menunjukkan bahwa karakter tersebut memiliki keragaan yang relatif sama di dua lingkungan pengujian. Dalam penelitian ini, lingkungan yang digunakan yaitu dataran redah dan dataran tinggi. Keragaan yang relatif sama pada diameter batang, jumlah rongga buah, dan jumlah buah per tanaman menyebabakan karakter-karakter tersebut dapat digunakan sebagai karakter seleksi. Jumlah buah per tanaman merupakan salah satu komponen hasil sehingga karakter tersebut dapat digunakan untuk melakukan seleksi genotipe berdaya hasil tinggi. Tabel 36 Nilai tengah bobot per tanaman, bobot per bedeng, dan produktivitas Genotipe
Bobot per tanaman (g/ tan) Bog Lem
Bobot per bedeng (g/ 2 m2) Bog Lem
Produktivitas (ton/ ha) Bog Lem
Kudamati-1 Ranti
313.71f-h
452.2e-h
6274f-h
9045e-h
7.45f-h
10.74e-h
Kudamati-1 Aceh-5
249.74f-h
884.0b-d
4995f-h
17679b-d
5.93f-h
21.00b-d
Kudamati-1 Lombok-4
263.43f-h
1237.3b
5269f-h
24747b
6.25f-h
29.39b
89.57h
475.0d-h
1791h
9500d-h
2.12h
11.28d-h
Ranti Lombok-4
211.76g-h
762.2c-e
4235g-h
15244c-e
5.03g-h
18.11c-e
Aceh-5 Lombok-4
304.53f-h
1071.5b-c
6091f-h
21431b-c
7.23f-h
25.46b-c
Kudamati-1
444.55e-h
569.7d-g
8891e-h
11394d-g
10.56e-h
13.5d-g
Ranti
359.64e-h
639.9d-g
7193e-h
12798d-g
8.54e-h
15.20d-g
Aceh-5
277.05f-h
2800.0a
5541f-h
56000a
6.58f-h
66.52a
Lombok-4
249.96f-h
690.0cd-f
4999f-h
13800d-f
5.93f-h
16.39d-f
Ranti Aceh-5
Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%
Lingkungan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pada genotipe yang sama. Bobot buah per tanaman merupakan komponen hasil yang akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas tanaman. Tabel 36 dan Gambar 3 menunjukkan perbedaan produktivitas di Bogor dan di Lembang. Semua tetua maupun hibrida memiliki produktivitas yang lebih tinggi di dataran tinggi dibandingkan di dataran rendah. Hal ini diduga akibat perbedaan ketinggaan antara dua lokasi tersebut sehingga terjadi perbeda suhu. Suhu di dataran tinggi relatif lebih rendah jika dibandingkan dataran rendah (Lampiran 1; Lampiran 2). Peningkatan suhu akan meningkatkan laju fotosintesis sehingga laju translokasi juga tinggi (Salisbury & Ross 1995). Berdasarkan hal tersebut maka
40
t ha -1
dapat disimpulkan bahwa suhu yang rendah akan menyebabkan proses fotosintesis lebih lama sehingga terjadi penumpukan cadangan makanan. Hal ini diduga menyebabkan genotipe tomat di dataran tinggi memiliki tanaman lebih tinggi, daging buah lebih tebal, dan ukuran buah lebih besar. Ukuran buah yang lebih besar menyebabkan bobot buah lebih tinggi. Ukuran buah yang lebih besar dapat dilihat dari keragaan buah yang lebih panjang dan memiliki diameter yang lebih lebar (Tabel 8; Tabel 23). 70 60 50 40 30 20 10 0
Bogor Lembang
Gambar 3 Produktivitas tetua dan hibrida tomat di Bogor dan Lembang Adanya interaksi antara Genetik Lingkungan akan menyebabkan perubahan rangking terhadap genotipe-genotipe yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hibrida yang memiliki produktivitas tertinggi di Bogor adalah Kudamati-1 Ranti namun turun ke peringkat terakhir di Lembang. Hibrida Kudamati-1 Lombok-4 yang memiliki produktivitas tinggi di Lembang juga turun ke peringkat 6 di Bogor (Tabel 37; Gambar 2). Tabel 37 Perubahan peringkat karakter produktivitas tetua dan hibrida tomat hasil persilangan setengah dialel Peringkat Genotipe Bogor Lembang Kudamati-1 Ranti 3 10 Kudamati-1 Aceh-5 7 4 Kudamati-1 Lombok-4 6 2 Ranti Aceh-5 10 9 Ranti Lombok-4 9 5 Aceh-5 Lombok-4 4 3 Kudamati-1 1 8 Ranti 2 7 Aceh-5 5 1 Lombok-4 8 6
41 Penurunan ini terjadi karena Bogor dan Lembang memiliki lingkungan yang berbeda. Adanya interaksi genetik lingkungan akan mempersulit pemulia dalam memilih genotipe yang memiliki produktivitas tinggi disemua lingkungan sehingga diperlukan identifikasi genotipe yang mampu beradaptasi spesifik lokasi (Voltas et al. 2002). Kudamati-1 Ranti merupakan hibrida yang memiliki produksi tertinggi dan mamapu beradaptasi dengan baik di dataran rendah (Bogor), sedangkan Kudamati-1 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki produksi tertinggi dan mampu beradaptasi baik di dataran tinggi (Lembang). Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang berpotensi untuk dikembangkan di dataran tinggi dan dataran rendah karena peringkat berdasarkan produktivitas di dua lingkungan relatif stabil, hanya turun satu peringkat (Tabel 37). Aceh-5 Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat 4 di Bogor, meskipun produktivitas di Lembang jauh lebih tinggi (Tabel 36; Gambar 3).
4.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan Setengah Dialel Genotipe Lokal
Gejala layu bakteri pada tanaman tomat ditandai dengan adanya gejala layu eksternal berupa perubahan warna daun, kemudian diikuti dengan merunduknya tangkai daun dan kelayuan menyeluruh pada tanaman yang bersifat permanen (Adriani et al. 2012; Lampiran 11). Kelayuan pada daun terjadi akibat kerusakan jaringan xylem oleh patogen sehingga pasokan air ke daun berkurang (Agrios 2005). Kerusakan yang sudah parah akan menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan pada pembuluh pengangkut dan apabila batang dibelah akan mengeluarkan ooz jika dimasukkan ke dalam air (Semangun 2004; Lampiran 11). Tabel 38 Keragaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel Inkubasi Kejadian Respon Genotipe AUDPC (HSI) penyakit (%) ketahanan Aceh-5 Lombok-4 25 13.33 80.00 Tahan Kudamati-1 Aceh-5 20 20.00 223.33 Tahan Ranti Lombok-4 21 40.00 413.33 Agak tahan Kudamati-1 Lombok-4 17 53.33 786.67 Agak rentan Ranti Aceh-5 12 46.67 950.00 Agak rentan Kudamati-1 Ranti 15 73.33 1243.33 Rentan Ranti 10 6.67 150.00 Tahan Kudamati-1 19 20.00 236.67 Tahan Lombok-4 11 30.00 694.44 Agak tahan Aceh-5 5 46.67 1488.46 Agak rentan Siklus hidup R. solanacearum dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun melalui luka yang dibuat oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat pertanian (Agrios 2005; Supriadi 2011). Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum
42 akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya xylem oleh jutaan sel R. solanacearum, transportasi air dan mineral dari tanah terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Hartati et al. 1994; Supriadi et al. 1995). Hasil pengujian ketahanan empat tetua dan enam hibrida tomat terhadap bakteri Ralstonia solanacearum menunjukkan respon yang beragam. Masa inkubasi berada pada kisaran 5 – 25 hari setelah inokulasi (HSI). Genotipe rentan masa inkubasinya relatif lebih cepat jika dibandingkan genotipe tahan (Tabel 38). Genotipe yang memiliki masa inkubasi cepat cenderung lebih mudah terserang penyakit sehingga nilai kejadian penyakit lebih besar. Hal ini terjadi pada Aceh-5 dan Ranti Aceh-5. Aceh-5 paling cepat terserang layu bakteri jika dibandingkan tetua lain dan Ranti Aceh-5 merupakan hibrida yang paling cepat terserang jika dibandingkan hibrida lain (Tabel 38). 80
Kdm-1 x Rnt
Kejadian penyakit (%)
70
Kdm-1 x Ach-5
60 50
Kdm-1 x Lom4 Rnt x Ach-5
40 30 20 10
Rnt x Lom-4
0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari pengamatan ke-
Gambar 4 Kurva perkembangan penyakit pada hibrida tomat 80 Kejadian penyakit (%)
70 60 50
Kudamati1 (Kdm-1) Ranti (Rnt)
40 30
Aceh-5 (Ach-5) Lombok-4 (Lom-4)
20 10 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari pengamatan ke-
Gambar 5 Kurva perkembangan penyakit pada tomat yang dijadikan tetua
43 Perbedaan masa inkubasi pada setiap genotipe diduga erat kaitannya dengan ketahanan gen dan ketahanan varietas tanaman terhadap patogen tertentu sangat bervariasi. Banyaknya variasi dalam ketahanan terhadap patogen antara varietas tanaman diduga disebabkan perbedaan jumlah gen untuk ketahanan bervariasi mulai dari yang sangat kecil sampai besar tergantung pada fungsi yang dikendalikan (Agrios 2005). Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) digunakan untuk melihat perkembangan penyakit. Nilai AUDPC yang kecil mengindikasikan bahwa genotipe tersebut tahan (Tabel 38; Gambar 4; Gambar 5). Hal ini dapat dilihat pada dua hibrida tahan yaitu Aceh-5 Lombok-4 dan Aceh-5 Lombok-4. Dua hibrida tersebut memilki nilai AUDPC paling kecil jika dibandingkan hibrida lainnya (Tabel 38). Pengujian terhadap tetua menunjukkan bahwa terdapat tiga tetua tahan (Kudamati-1, Ranti, dan Lombok-4) serta satu tetua agak rentan yaitu Aceh-5. Aceh-5 memiliki niali AUDPC paling tinggi, masa inkubasi paling cepat, dan kejadian penyakit paling tinggi jika dibandingkan tetua lain sehingga Aceh-5 termasuk dalam kategori agak rentan terhadap layu bakteri (Tabel 38; Gambar 4). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gumelar et al. (2014). Pengamatan terhadap layu bakteri pada penelitian tersebut dilakukan dilapang dan hasilnya menunjukkna bahwa Aceh-5 rentan sedangkan Kudamati-1 dan Ranti tahan terhadap serangan layu bakteri. Persilangan antar tetua tahan tidak selalu menghasilkan hibrida tahan. Hal ini dapat dilihat pada persilangan Kudamati-1 Ranti, Kudamati-1 Lombok-4, dan Ranti Lombok-4. Kombinasi persilangan tersebut menghasilkan hibrida rentan, agak rentan, dan agak tahan terhadap layu bakteri. Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida tahan yang berasal dari persilangan tetua agak rentan dangan agak tahan dan Kudamati-1 Aceh-5 merupakan hibrida tahan yang berasal dari persilangan tetua tahan dangan agak rentan (Tabel 38). Hal ini diduga terjadi karena pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Lebeau et al. (2011) juga menyatakan bahwa masih terbatasnya informasi mengenai mekanisme untuk menentukan karakteristik tanaman tahan, mengenai genetik Ralstonia solanacearum, dan interaksi genetik yang terlibat antara tanaman tahan dengan bakteri yang menyerang.
44
5 PEMBAHASAN UMUM Perakitan varietas baru merupakan salah satu upaya dalam mengatasi masalah produksi pada beberapa komoditas hortikultura yang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya impor yang dilakukan oleh pemeritah. Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sampai saat ini masih impor. Volume impor pada komoditas ini cenderung menungkat setiap tahunnya (DEPTAN 2016b). Masalah lain yang dihadapi pada pertanaman tomat adalah serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Penyakit layu bakteri menyebabkan kematian pada tomat sehingga terjadi kehilangan hasil yang cukup tinggi. Permasalahan ini dapat diatasi salah satunya dengan menanam varietas tomat yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Varietas tomat yang ditanam di Indonesia merupakan varietas yang menyerbuk alami (OP) dan varietas hibrida (F1). Penggunaan varietas hibrida menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun bersamaan dengan perkembangan industri perbenihan sayuran (Purwati 2009). Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat meningkatkan keragaan turunan hasil persilangan (F1). Oleh karena itu, pada penelitian ini dirakit varietas hibrida yang bertujuan untuk memperoleh keragaman baru dan diharapkan pada salah satu kombinasi persilangannya terdapat hibrida (F1) berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Materi genetik yang digunakan merupakan genotipe tomat lokal yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia yaitu Kudamati-1 yang berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam perakitan varietas hibrida adalah pendugaan daya gabung. Daya gabung umum digunakan untuk menentukan tetua superior sedangkan daya gabung khusus untuk menentukan kombinasi persilangan terbaik. Hasil analisis ragam daya gabung umum maupun daya gabung khusus tidak nyata pada sebagian besar karakter. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu genotipe saling silang dengan genotipe lain atau disilangkan dengan genotipe tertentu akan menghasilkan hibrida yang tidak jauh berbeda karena memeliki kemampuan bergabung yang tidak beragam. Namun apabila berkaitan dengan produksi, meskipun perbedaanya sedikit akan berdampak besar jika diaplikasikan pada lahan yang lebih luas. Kudamati-1 Ranti merupakan hibrida yang memilki bobot buah per tanaman paling tinggi di dataran rendah (Tabel 8), namun memiliki daya gabung khusus rendah untuk karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman (Tabel 12). Nilai heterosis pada karakter tersebut juga rendah (Tabel 15). Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri juga menunjukkan bahwa Kudamati-1 Ranti rentan terhadap layu bakteri (Tabel 38). Di dataran tinggi, hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi adalah Kudamati-1 Lombok 4 (Tabel 23). Nilai daya gabung khusus pada hibrida tersebut untuk karakter panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per tanaman tinggi (Tabel 27). Nilai heterosis untuk karakter jumlah buah dan bobot buah juga
45 tinggi (Tabel 30), namun Kudamati-1 Lombok 4 agak rentan terhadap penyakit layu bakteri (Tabel 38). Peristiwa heterosis merupakan suatu fenomena yang dimanfaatkan dalam perakitan hibrida. Efek ini hanya terjadi pada F1 atau hibrida dan tidak ditemukan pada varietas bersari bebas. Heterosis banyak diteliti pada tanaman menyerbuk silang seperti jagung namun juga dikembangkan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti tomat (Poespodarsono 1988). Efek heterosis dapat berupa penambahan atau penurunan hibrida terhadap nilai rata-rata tetua. Hibrida yang diharapkan untuk meningkatkan produksi adalah hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi dan positif. Aceh-5 Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter bobot buah di dataran rendah (Tabel 15), sedangkan di dataran tinggi dimiliki oleh Kudamati-1 Lombok 4 (Tabel 30). Pengujian hibrida hasil persilangan setengah dialel dilakukan di dua lingkungan berbeda yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Pengujian di dataran rendah dilakukan di Bogor (196 m dpl) dan di dataran tinggi dilakukan di Lembang (1 250 m dpl). Dilakukannya pengujian di dua lingkungan ini untuk mengetahui daya hasil tomat di masing-masing lokasi dan sebagai salah satu upaya untuk memperluas area tanam tomat di dataran rendah. Lahan untuk penanaman tomat di datarn tinggi semakin terbatas karena adanya persaingan dengan komoditas hortikultura lain dan konversi lahan di dataran tinggi semakin meningkat. Produksi tomat di dataran rendah juga relatif lebih rendah (Dane et al. 1991; Hanson et al. 2002) dan jumlah varietas tomat yang sudah dilepas untuk dataran rendah masih terbatas (Purwati 2007). Hasil pengujian menunjukkan bahwa hibrida ataupun tetua tomat yang ditanam di Lembang (dataran tinggi) memiliki produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan di Bogor (dataran rendah) (Tabel 36). Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki buah lebih besar sehingga bobot per tanaman juga lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dirakit pada penelitian ini memiliki adaptasi lebih baik di dataran tinggi. Hibrida-hibrida ini dapat juga ditanam di dataran rendah namun produksinya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan di dataran tinggi. Aceh-5 Lombok-4 tidak memiliki produksi tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi, sehingga hibrida tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida untuk dataran rendah dan dataran tinggi. Peringkat untuk produktivitas pada Aceh-5 Lombok-4 juga relatif stabil di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Aceh-5 Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat empat di Bogor (Tabel 37). Aceh-5 Lombok-4 juga memiliki nilai daya gabung khusus tinggi pada karakter bobot buah (Tabel 12; Tabel 27). Kombinasi persilangan yang memiliki daya gabung khusus tinggi dapat direkomendasikan untuk merakit varietas hibrida (Saleem et al. 2013). Layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan (Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010). Cara paling efektif untuk mengendalikan layu bakteri adalah menanam varietas tahan (Hayward 1991; Supriadi 2011). Penanaman varietas kacang tanah yang tahan, seperti Schwarz-21 dan keturunannya telah berhasil mengurangi kerugian akibat penyakit bakteri (Machmud 1985). Hal yang
46 sama terjadi pada penanaman varietas tahan tembakau NC95, Coker 347 dan Speight G-140 dan varietas tahan tomat Hawaii 7996, telah berhasil meredam serangan layu bakteri (Boshou 2005). Pengujian ketahanan terhadap layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida yang tahan. Persilangan antara tetua agak rentan (Aceh-5) dengan tetua agak tahan (Lombok-4) dan persilangan tetua tahan (Kudamati-1) dengan tetua agak rentan (Aceh-5) menghasilkan hibrida tahan. Menurut Grimault et al. (1994) pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dikendalikan satu gen, menurut (Osiru et al. 2001) dikendalikan dua gen, menurut Shou et al. (2006) pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dipengaruhi oleh efek maternal, dan menurut Haquarsum (2016), dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi duplikat resesif epistasis tanpa adanya pengaruh maternal. Hal tersebut menunjukkan bahwa informasi pewarisan karakter ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam dan belum konsisten sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil yang masih beragam ini diduga terjadi karena perbedaan materi genetik dan isolat bakteri R. solanacearum yang digunakan serta lingkungan pengujian yang berbeda. Hayward (1991) dan Hanson et al. (1996) juga memaparkan bahwa ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi.
47
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada tetua maupun hibrida yang digunakan dalam penelitian. Pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa tomat yang diuji memiliki keragaan lebih baik dan produksi lebih tinggi di dataran tinggi. Aceh-5 Lombok-4 memiliki produksi yang tinggi dan relatif stabil di dataran rendah dan dataran tinggi jika dibandingkan hibrida lain. Pendugaan terhadap daya gabung di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa Aceh-5 Lombok-4 memiliki daya gabung khusus tinggi untuk panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah. Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida tahan yaitu Kudamati-1 Aceh-5 dan Aceh-5 Lombok-4. Aceh-5 Lombok-4 dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.
6.2 Saran Kudamati-1 Ranti dan Kudamati-1 Lombok-4 berpotensi menjadi hibrida berdaya hasil tinggi, sedangkan Aceh-5 Lombok-4 berpotensi untuk menjadi hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri sehingga diperlukan uji lanjutan agar dapat dilepas menjadi varietas. Penambahan karakter pengamatan untuk kualitas buah juga perlu dilakukan.
48
DAFTAR PUSTAKA Adriani, Rahman A, Gusnawati HS, Khaeruni A. 2012. Respon ketahanan berbagai varietas tomat terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum). J Agroteknos. 2(2):63-68. Agarwal S, Rao AV. 2000. Tomato lycopene and its role in human health and cronic disease. CMAJ. 163(6):739-744. Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th Edition. Elsevier Academic Press: California (US). Ahmad S, Quamruzzaman AKM, Islam MR. 2011. Estimate of heterosis in tomato (Solanum lycopersicon L.). Bangladesh J Agril Res. 36(3):521-527. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York (US): John Willey & Sons Inc. 485p. Alvarez B, Elena B, Biosca, Lopez MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Formatex. 267-279. Ameriana M. 1998. Perbaikan Kualitas Sayuran Berdasarkan Preferensi Konsumen. Lembang (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 20 hlm. Arif AB. 2010. Pendugaan parameter genetik pada beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada tiga kelompok cabai (Capsicum annum L.). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bai Y, Lindhout P. 2007. Domestication and breeding: what we gained and what can we gain in the future. Annals of Botany. 100:1085-1094. Baihaki. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Bergougnoux V. 2013. The history of tomato: from domestication to biopharming. Biotechnol Adv. (2013):1-20 Bhutani RD, Kallo G. 1991. Inheritance studies of locule number in tomato. Haryana J Hor Sci. 20:119-124 Birchler JA, Yao H, Chudalayandi S, Vaiman D, Veitia RA. 2010. Heterosis. The Plant Cell. 22(2):2105-2112. Boshuo L. 2005. A broad review and perspective on breeding for resistance to bacterial wilt. Di dalam: Allen C, Prior P, Hayward AC, editor. Bacterial wilt disease and the Ralstonia solanacearum species complex. St Paul, Minnesota (US): APS Pr. Hlm 225-232. Chattopadhyay A, Paul A. 2012. Studies on heterosis for different fruit quality parameter in tomato. Intl J Agric Env Biotech. 5(4):405-410. Ciampi L, Sequeira L. 1980. Influence of temperature on virulence of race 3 strains of Pseudomonas solanacearum. Am Potato J. 57: 307-317. Dane F, Hunter AG, Chambliss OL. 1991. Fruit set, pollen fertility, and combining ability of selected tomato genotypes under high temperature field condition. J Amer Soc Hort Sci. 116(5):906-910. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Jakarta (ID): Deptan. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2016a. Luas panen tomat dan produksi tomat menurut provinsi 2011-2015 [Internet]. [diunduh 2016 Juni 7]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2015/.
49 [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2016b. Impor tomat pernegara asal periode Januari s/d Desember 2015 [Internet]. [diunduh 2014 Juni 28]. Tersedia pada: https://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2012/imporNegara.asp. Dewi SM, Sobir, Syukur M. 2015. Interaksi genotipe x lingkungan hasil dan komponen hasil 14 genotipe tomat di empat lingkungan dataran rendah. J Agron Indonesia. 43(1):59-65. El-Gabry MAH, Solieman TIHM, Abido AIA. 2014. Combining ability and heritability of some tomato (Solanum lycopersicum L.) cultivars. Scientia Horticulturae. 167:153-157. Elphinstone JG. 2008. The current bacterial wilt situation: a global overview. Di dalam: Allen C, Prior P, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. Minnesota (US): APS Pr. Hlm 9-22. Emery JC, Munger HM. 1970. Effect of inherited differences in groeth habit on fruit size and soluble solids in tomato. J Am Soc Hortic Sci. 95:410-412. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Essex (GB): Longman. Farzane A, Nemati A, Arouiee H, Mirshamsi A, Kakhki, Vahdati N. 2012. The estimate of combining ability and heterosis for yield and yield componenets in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) J Biol Environ Sci. 6(17): 129-124. Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development Vol. 1. New York (US): Macmillan. Golani IJ, Mehta DR, Purohit VL, Pandya HM, Kanzaria MV. 2007. Genetic variability, correlation and path coefficient studies in tomato. Indian J Agric Res. 41(2):146-149. Griffing B. 1956. Concept of general and spesific combining ability in relation to diallel crossing system. Aust Biol Sci. 9(4):463-493. Grimault V, Anals G, Prior P. 1994. Distribution of Pseudomonas solanacearum in the stem tissue of tomato plant with different levels of resistance to bacterial wilt. Plant Pathol. 43.669-674. Gumelar RMR, Sutjahjo SH, Marwiyah S, Nindita A. 2014. Karakterisasi dan respon pemangkasan tunas air terhadap produksi serta kualitas buah genotipe tomat lokal. J Hort Indonesia. 5(2):73-83. Hadiati, Murdhaningsih, Baihaki A, Rostini N. 2003. Parameter genetik karakter komponen buah pada beberapa aksesi nanas. Zuriat 14(2):47-52. Hai TTH, Esch E, Wang JF. 2008. Resistance to Taiwanese race 1 strains of Ralstonia solanacearum in wild tomato germplasm. Eur J Plant Pathol. 122:471-479. Handayani T, Hidayat IM. 2012. Keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter utama pada kedelai sayur dan implikasinya untuk seleksi perbaikan produksi. J Hort. 22:327-333. Hannan MM, Ahmed MB, Roy UK, Razvy MA, Haydar A, Rahman MA, Islam MA, Islam R. 2007a. Heterosis, combining ability and genetics for brix, days to firdt fruit ripening, and yield in tomato (Lycopersicon esculentum Mill). Middle-East J Sci Res. 2(3):128-131.
50 Hannan K, Conti S, Briggle LW. 2007b. Research on heterosis and components of phenotypic variance in long fruited tomato hybrids. Rivista Agronomica. 8:283-392. Hanson PM, Chen J, Kuo G. 2002. Gen action and heritability of high temperature fruit set in tomato line CL5915. Hortscience. 37(1):172-175. Hanson PM, Wang JF, Licardo O, Hanudin MSY, Hartman GL, Lin YC. 1996. Variable reaction of tomato lines to bacterial wilt evaluated at several locations in Southeast Asia. Hortscience. 31:143-146. Harquasum EJV. 2016. Seleksi dan studi pewarisan serta pengembangan marka SSR terkait ketahanan terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harjadi SS. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Jurusan Budi Daya Pertanian. 500 hlm. Hartati SY, Supriadi, Adhi EM, Karyani N. 1994. Colonization of Pseudomonas syzygii and Pseudomonas solanacearum in clove seedlings. J Spice Med Crops. 2(2): 24-28. Hartman GL, Elphinstone JG. 1994. Advances in the control of Pseudomonas solanacearum race 1 in major food crops. Di dalam: Hayward AC, Hartman GJ. Editors. Bacterial wilt. The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum. Wallingford: CAB International. Hal:157-177. Hayman BI. 1954. The theory and analysis of diallel crosses. Genetics. 39:789809. Hayward AC. 1964. Characteristics of Pseudomonas solanacearum. J Appl Bacteriol. 27(2):265-277. Hayward AC. 1991. Biology and epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Annu Rev Phytopathol. 29:65-87. Hazra P, Dutta AK. 2011. Vegetable breeding for quality traits. Di dalam: Rana MK, editor. Breeding and Protection of Vegetables. India (IN): New India Publishing Agency. Hlm 255-314. Hidayat A. 1997. Ekologi tanaman tomat. Di dalam: Duriat AS, Hadisoeganda WW, Permadi RH, Sinaga RM, Hilman Y, Basuki RS, editor. Teknologi Produksi Tomat. Lembang (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hlm 59-61. Huet G. 2014. Breeding for resistances to Ralstonoa solanacearum. Fronties in Plant Science. 5:1-5. Hsu ST, Chen CC, Liu HY, Tzeng KC.1993. Colonization of roots and control of bacterial wilt of tomato by fluorescens pseudomonas. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC. Editors. Bacterial wilt. Proceedings of an international symposium. Kaohsiung, Taiwan, ROC, 28-30 October 1992. ACIAR Proceedings No.45, Canberra ACIAR. Hal:305-311. Iriany RN, Sujiprihati S, Syukur M, Koswara J, Yunus M. 2011. Evaluasi daya gabung dan heterosis lima galur jagung manis (Zea mays var. saccharata) hasil persilangan dialel. J Agron Indonesia. 39:103-111. Islam MS, Mohanta HC, Ismail MR, Malek MA. 2012. Genetic variability and trait relationship in cherry tomato (Solanum lycopersicum L. Var Cerasiorme (Dunnsl) A. Gray). Bangladesh J Bot. 41:163-167.
51 Jambormias E, Sutjahjo SH, Jusuf M, Suharsono. 2004. Keragaan, keragaman genetik dan heritabilitas 11 karakter kuantitatif kedelai (Glycine max L. Merrill) pada generasi 5 persilangan varietas Slamet x Nakhonsaan. Jurnal Pertanian Kepulauan. 3(2):334-340. Jaya B. 1997. Botani tanaman tomat. Di dalam: Duriat AS, Hadisoeganda WW, Permadi RH, Sinaga RM, Hilman Y, Basuki RS, editor. Teknologi Produksi Tomat. Lembang (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hlm 25-37. Jones JB Jr. 2008. Tomato Plant Culture in the Field, Greenhouse, and Home Garden. New York (US). CRC Pr. Hlm 1-7. Kailaku SI, Dewandari KT, Sunarmani. 2007. Potensi likopen dalam tomat untuk kesehatan. Bul Pascapanen Tanaman Pertanian. 3:50-58. Kallo. 1988. Vegetable breeding. Volume I. Florida (US): CRC Press Ink. 213 hlm. Kim SG, Hur OS, Ro NY, Ko hc, Rhee JH, Sung JS, Ryu KY, Lee SY, Baek HJ. 2016. Evaluation of resistance to Ralstonia solanacearum in tomato genetic resources at seedling stage. Plant Pathol J. 32(1):58-64. Kumar V, Jindal SK, Dhaliwal MS. 2015. Combining ability studies in tomato (Solanum lycopersicum L.). Agric Res J. 52(2):121-125. Lebeau A, Daunay MC, Frary A, Palloix A, Wang JF, Dintinger J, Chiroleu F, Wicker E, Prior P. 2011. Bacterial wilt resistance in tomato, pepper, and eggplant: genetic resources respond to diverse strains in the Ralstonoa solanacearum species complex. Phytopathology. 101(1):154-165. Lestari AD, Dewi WW, Qosim WA, Rahardja M, Rustini N, Setiamihardja R. 2006. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter komponen hasil dan hasil lima belas genotipe cabai merah. Zuriat. 17(1):99-142. Louis SJ, Enang EM, Simon SY, Jatto MI. 2016. Combining ability of yield related traits and gene interaction on tomato (Lycopersicon escullentum Mill.) in Yola. AJEA. 11(1):1-7. Lwin M, Ranamukhaarachchi. 2006. Development of biological control of Ralstonia solanacearum through antagonistic microbiol population. Int J Agri Biol. 8(5):657-660. Machmud M. 1985. Bacterial wilt in Indonesia. Di dalam: Persley GJ. Editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pasific. Proc. International Workshop heald at PCARRD, Los Banos, 8 – 10 Okt 1985. Canberra: PCARRD, CIP, SAPPRAD, ACIAR. Hlm 30-34. McCarter SM. 1991. Bacterial wilt. Di dalam: Jones JB, Jones JP, Stall RE, Zitter TA, editor. Compedium of tomato diseases. Minnesota (US): APS Pr. Hlm 28-29. Meng F. 2013. Ralstonia solanacearum species complex and bacterial wilt disease. J Bacteriol Parasitol. 4(2):1-4. Nakaho K, Inoue H, Takayama T, Miyagawa H. 2004. Distribution and multiplication of Ralstonia solanacearum in tomato plants with resistance derived from different origins. J Gen Plant Pathol. 70:115-119. Nguyen MT, Ranamukhaarachchi SL. 2010. Soil-borne antagonists for biological control of bacterial wilt disease caused by Ralstonia solanacearum in tomato and pepper. Journal of Plant Pathology. 92(2):395-406.
52 Novita L, Haksa N, Surahman M, Wahyu Y. 2014. Pendugaan parameter genetik karakter morfo-agronomi dan seleksi genotipe untuk peraikan genetik jarak pagar. J Agron Indonesia. 42:236-243. Nuez F, Diez MJ. 2013. Solanum lycopersicum var. Lycopersicum (Tomato). Brenner’s Encyclopedia of Genetics. 6(2):476-480. Osiru MO, Rubaihayo PR, Opio AF. 2001. Inheritance of resistance of tomato to bacterial wilt and its implication for potato improvement in Uganda. Afr Crop Sci J. 9:9-16. Paath JM. 1994. Pengendalian hayati penyakit layu bakteri pada tanaman tomat dengan menggunakan tiga isolat Trichoderma spp. Eugenia. 13:40-47. Peter RA, Gopalakrishnan TR, Rajan S, Kumar SPG. 1993. Breeding for resistance bacterial wilt in tomato, eggplant and pepper. Di dalam: Hartman GL, Hayward AC, editor. Bacterial Wilt. International Conferance; 1992 Okt 28-1; Kaohsiung, Taiwan. Taiwan (TW): ACIAR. Hlm 183-190. Petr FC, Ffrey KJ. 1966. Genotypic corelation, dominance, and heritability o quantitative characters in oats. Crop Sci. 10:259-262. Pinaria A, Baaihaki A, Setiamiharja R, Daradjat AA. 1995. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat. 6(2):88-92. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID): PAU,Institut Pertanian Bogor. 169 hlm. Poehlman JM, Sleeper DA. 1979. Breeding Fields Crops. Lowa (US): Lowa State University Press. Pradhan SK, Bose LK, Mehar J. 2006. Studi on gen action and combining ability analysis in basmati rice. J. Eu. Agric. 7(2):267-272. Premalatha N, Kumaravadivel N, Veerabadhiran. 2006. Heterosis and combining ability for grain yield and it’s components in Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Indian J Genet. 66(2): 123-126. Purwati E. 1997. Pemuliaan tanaman tomat. Di dalam: Duriat AS, Hadisoeganda WW, Permadi RH, Sinaga RM, Hilman Y, Basuki RS, editor. Teknologi produksi tomat. Lembang (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hlm 42-58. Purwati E. 2007. Varietas unggul hibrida (F1) dari BALITSA. Iptek Hort. 3:34-40. Purwati E. 2009. Daya hasil tomat hibrida (F1) di dataran medium. J. Hort. 19(2):125-130. Rini EP. 2015. Pendugaan parameter genetik dan analisis sterilisasi untuk seleksi tetua hibrida sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench). [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Reddy PP. 2010. Bacterial and Viral Diseases and their Management in Horticultural Crops. India (IN): Scientific Publishers. 288 hal. Reddy BR, Begum H, Sunil N, Rajkumar BV. 2013. Genetic variability studies for yield and quality traits in exotic line of tomato (Solanum lycopersicum L.). Env&Ecology. 31:1881-1883. Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi (IN): Narosa Publisisng House. 701 hal.
53 Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1999. Sayuran Dunia 3 Prinsip, Produksi, dan Gizi. Ed ke-2. Herison C, Penerjemah. Bandung(ID). ITB Pr. Terjemahan dari: World vegetable: Principle, Production, and Nutritive Values. Hlm 1-2. Saleem MY, Mirza JI, Haq MA. 2008. Heritability, genetic advance and heterosis in line x tester crosses of basmati rice. J. Agric. Res. 46 (1):15-27. Saleem MY, Asghar M, Haq MA, Rafique T, Kamran A, Khan AA. 2009. Genetic analysis to identify suitable parents for hybrid seed production in tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Pak J Bot. 41(3):1107-1116. Saleem MY, Asghar M, Iqbal Q, Rahman AU, Akram M. 2015. Dialel analysis of yield and some yield components in tomato (Solanum Lycopersicum L.). Pak J Bot. 45(4):1247-1250. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. Ed ke-4. Lukman R, Sumaryono, penerjemah. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Plant Physiology. Saniaty A. 2016. Keragaan karakter dan interaksi genetik x lingkungan galur-galur sorgum di dua lingkungan. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Saputra HE. 2014. Pewarisan karakter kuantitatif tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) untuk dataran rendah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Saputra HE, Syukur M, Aisya SI. 2014. Pendugaan daya gabung dan heritabilitas komponen hasil tomat pada persilangan dialel penuh. J Agron Indonesia. 42:203-209. Satoto, Suprihatno B. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida padi turunan galur mandul jantan IR62829A dan IR58025A. Penel Pert Tan Pangan. 13:33-37. Seed A, Hayat K, Khan AL, Iqbal S, Abbas G. 2007. Assessment of genetic variability and heritability in Lycopersicon esculentum Mill. Int J Agri Biol. 9:375-377. Sekhar L, Prakash B, Salimath PM, Channayya, Hiremath P, Sridevi O, Patil AA. 2010. Implication of heterosis and combining ability among productive single cross hybrid in tomato. Elec J Plant Breeding. 1(4):706-711. Semangun H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada Univ. Press: Yogyakarta (ID). Shou SY, Feng ZZ, Miao LX, Liao FB. 2006. Identification of AFLP markers linked to bacterial wilt resistance gene in tomato. Hereditas. 28(2):195-199. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical method in Quantitatif Genetical Analysis. New Delhi (IN): Kalyani Pblication. Solieman THI. 2009. Diallel analysis of five tomato cultivars and estimation of some genetic parameters for growth and yield characters. J Alex Sci Exch. 30(2):274-288. Souza LM, Paterniani MEAGZ, de Melo PC, de Melo AMT. 2013. Diallel cross among fresh market tomato inbreeding lines. Horticultura Brasileira 30:246-251. Sprague GF, Tatum LA. 1942. General vs specific combining ability in single crosses of corn. J Amer Soc Agron. 34:923-932. Stansfield WD. 1988. Genetics. New York (US): McGraw Hill Book Company.
54 Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics: a Biometrical Approach. 2nd ed. New York (US): McGraw-Hill. Hlm 187-188. Sujiprihati S, Syukur M, Yunianti R, Undang. 2007. Pendugaan nilai heterosis dan daya gabung beberapa komponen hasil pada persilangan dialel penuh enem genotipe cabai (Capsicum annuum L). Bul Agron. 35(1):28-35. Supriadi, Elphinstone JG, Eden-Green SJ, Hartati SY. 1995. Physiological, serological and pathological variation amongst isolates of Pseudomonas solanacearum from ginger and other hosts in Indonesia. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 1(2): 88-98. Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peran teknologi pengendaliannya. Pengembangan inovasi pertanian. 4(4): 279-293. Sutjahjo SH, Herison C, Sulastrini I, Nindita A. 2014. Perakitan kultivar tomat tahan layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dan toleran pecah buah berbasis plasma nutfah lokal. [Laporan penelitian program KKP3N]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutjahjo SH, Herison C, Sulastrini I, Marwiyah S. 2015. Pendugaan keragaman genetik beberapa karakter pertumbuhan dan hasil pada 30 genotipe tomat lokal. J Hort. 25(4):304-310. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Nida K. 2010a. Pendugaan komponen ragam, heritabilitas, dan korelasi untuk menentukan kriteria seleksi cabai (Capsicum annuum L.) populasi F5. J Hort Indo. 1(3):74-80. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Undang. 2010b. Diallel analysis using hayman method to study genetic parameters of yield components in pepper (Capsicum annuum L.). Hayati J Biosci. 17(4):183-188. Syukur M, Sujipriharti S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Tenaya IMN, Setiamiharja R, Baihaki A, Natasasmita S. 2003. Heritabilitas dan aksi gen kandungan fruktosa, kandungan kapsaicin dan aktivitas peroksidase pada persilangan antar spesies cabai rawit x cabai merah. Zuriat. 14 (1):26-34. Tigchelaar EC. 1986. Tomato breeding. Di dalam: Bassett MJ, editor. Breeding Vegetable Crops. Connecticut (US): Avi Publishing Company. Timila RD, Joshi S. 2007. Participatory evaluation of some tomato genotypes for resistance to bacterial wilt. Nepal Agric Res J. 8:50-55. Valtos J, Eeuwijk FV, Igartua E, Del Moral, Molina-Cano JL, Romagosa I. 2002. Di dalam: Slafer GA, Molina-Cano JL, Savin R, Araus JL, Ramagosa I, editor. Barley science: Recent Advance from Molecular Biology to Agronomy of Yield and Quality. New York (US): The Harworth Press Inc. Van der Plank JE. 1963. Plant Disease: Epidemics an Control. Academic Pr: London (UK). Vange T, Ango, Nache I, Adedzwa DK. 2014. Stability analysis of six improved sorghum genotypes across four environment in the southern Guinea savana agroecological zone of Nigeria. Int Adv Agric Sci Technol. 2(2):1-14. Vidya C, Sunny K, Kumar V. 2002. Genetic variability and heritability of yield and related characters in yard-long bean. J Trao Agric. 40:11-13.
55 Villareal RL. 1979. Tomato production in the tropics-problem and progress. Di dalam: Cowell R, editor. 1st international symposium on tropical tomato; 1978 Oktober 23-27; Shanhua, Taiwan. Taiwan (TW): AVRDC. hlm 6-21. Villareal RL. 1981. Tomato in the Tropics. Colorado (US): Westview. Wahyuni S. 2014. Analisis genetik karakter kuantitatif dan pecah buah pada tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahyuni S, Yunianti R, Syukur M, Witono JR, Aisyah SI. 2014. Ketahanan 25 genotipe tomat (Solanum lycopersicum Mill.)nterhadap pecah buah dan korelasinya dengan karakter-karakter lain. J Agron Indonesia. 42:195-202. Wilcox JK, Catignani GL, Lazarus S. 2003. Tomatoes and cardiovascular health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 43(1):1-18. Wricke G, Weber WE. 1986. Quantitative Genetics and Selection in Plant Breeding. Berlin (DE): Walter de Gruyter. Yabuuchi E, Kosako Y, Yano I, Hotta H, Nishiuchi Y. 1995. Transfer of two Burkholderia an Alcaligenes species to Ralstonia Gen. Nov.: Proposal of Ralstonia picketii (Ralston, Palleroni and Doudoroff 1973) Comb. Nov., Ralstonia solanacearum (Smith 1896) Comb. Nov. and Ralstonia eutropha (Davis 1969) Comb. Nov. 1955. Microbiol Immunol. 39(11):897-904.
56
LAMPIRAN
57 Lampiran 1 Data iklim Dramaga Lokasi
: Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor Curah hujan Kelembaban Bulan Suhu (oC) (mm/ bulan) (%) Juni 2015 90.2 26.2 79 Juli 2014 1.6 26.1 74 Agustus 2015 112.4 26.2 75 September 2015 79.3 26.2 70 Oktober 2015 110.6 26.8 73 (BMKG Dramaga 2015) Lampiran 2 Data iklim Lembang Lokasi
: Stasiun Klimatologi Margahayu (II) Lembang Curah hujan Bulan Suhu (oC) (mm/ bulan) Oktober 2014 12.0 19.73 November 2014 289.5 19.84 Desember 2014 376.5 20.19 Januari 2015 250.0 20.24 Pebruari 2015 326.0 20.16
Kelembaban (%) 92 84 88 89 86 (Balitsa 2016)
Lampiran 3 Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran rendah
A. Kudamati-1 (K1) Ranti (R); B. Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4); C. Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5); D. Ranti (R) Aceh-5 (A5) E. Ranti (R) Lombok-4 (L4); F. Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L4)
58 Lampiran 4 Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran tinggi
A. Kudamati-1 (K1) Ranti (R); B. Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4); C. Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5); D. Ranti (R) Aceh-5 (A5) E. Ranti (R) Lombok-4 (L4); F. Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L4) Lampiran 5 Keragaan Kudamati-1 (K1) Ranti (R) di dataran tinggi
A. B. C. D.
Keragaan Kudamati-1 (K1) Ranti (R) di dataran tinggi (Lembang) Keragaan tandan buah saat masih muda Kudamati-1 (K1) Ranti (R) Keragaan buah setelah di panen Kudamati-1 (K1) Ranti (R) Keragaan jumlah rongga buah Kudamati-1 (K1) Ranti (R)
59 Lampiran 6 Keragaan Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi
A. B. C. D.
Keragaan Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi (Lembang) Keragaan tandan buah saat masih muda Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4) Keragaan buah setelah di panen Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4) Keragaan jumlah rongga buah Kudamati-1 (K1) Lombok-4 (L4)
Lampiran 7 Keragaan Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi
A. B. C. D.
Keragaan Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi (Lembang) Keragaan tandan buah saat masih muda Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5) Keragaan buah setelah di panen Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5) Keragaan jumlah rongga buah Kudamati-1 (K1) Aceh-5 (A5)
60 Lampiran 8 Keragaan Ranti (R) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi
A. B. C. D.
Keragaan Ranti (R) Aceh-5 (A5) di dataran tinggi (Lembang) Keragaan tandan buah saat masih muda Ranti (R) Aceh-5 (A5) Keragaan buah setelah di panen Ranti (R) Aceh-5 (A5) Keragaan jumlah rongga buah Ranti (R) Aceh-5 (A5)
Lampiran 9 Keragaan Ranti (R) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi
A. B. C. D.
Keragaan Ranti (R) Lombok-4 (L4) di dataran tinggi (Lembang) Keragaan tandan buah saat masih muda Ranti (R) Lombok-4 (L4) Keragaan buah setelah di panen Ranti (R) Lombok-4 (L4) Keragaan jumlah rongga buah Ranti (R) Lombok-4 (L4)
61 Lampiran 10 Keragaan Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) di dataran tinggi
A. Keragaan Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) di dataran tinggi (Lembang) B. Keragaan tandan buah saat masih muda Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) C. Keragaan buah setelah di panen Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) D. Keragaan jumlah rongga buah Aceh-5 (A5) Lombok-4 (L-4) Lampiran 11 Pengujiam ketahaan terhadap layu bakteri
A.Tetua dan hibrida yang diuji ketahanannya terhadap layu bakteri; B & C. Gejala layu dimulai dari daun muda; D. Tanaman yang layu seluruhnya; E. Perbandingan antara tanaman tahan (kiri) dengan tanaman rentan (kanan); F. Browning pada batang; F. Ooz bakteri yang keluar dari tanaman sakit.
62
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 18 Maret 1993 sebagai putri sulung dari dari dua bersaudara dari pasangan bapak Suradianto dan ibu Andriani. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Genteng. Tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2014. Penulis kemudian menempuh program pascasarjana pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2014. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI melalui Program Beasiswa Fresh Graduate (FG) tahun 2014. Karya ilmiah dengan judul Estimation of Combining Ability and Heterosis for Yield Component in Half Diallel of Local Tomatoes in Lowland yang merupakan bagian dari penelitian S2 penulis telah dipresentasikan pada SABRAO 13th Conggress and International Conference pada tanggal 14-16 September 2015 bertempat di IPB International Convention Center.