El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015, 73-95
ISSN: 2086-3594
PENDIDIKAN RELIGIOSITAS: Upaya Alternatif Pendidikan Keagamaan Abdulloh Fuadi*
Abstrak: Pendidikan agama pada umumnya, ataupun Pendidikan Religiositas mempunyai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan iman dan takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Namun ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pendidikan itu. Kalau Pendidikan Agama hanya berkutat pada dogma dan nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri. Sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Pendidikan Religiositas mempergunakan pendekatan pendidikan refleksi (paradigma pedagogi reflektif). Refleksi meliputi tiga unsur utama sebagai satu kesatuan di dalam proses pembelajarannya, yaitu: pengalaman, refleksi dan aksi. Melalui Pendidikan Religiositas ini siswa diharapkan mengalami perubahan sikap yang mendasar atas hidupnya, dimana siswa mampu menghormati martabat hidup manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, menyebarluaskan sikap dan semangat solidaritas dengan sesama, khususnya yang kecil, lemah, miskin dan tersingkirkan. Inilah transformasi kehidupan yang diharapkan tumbuh dan berkembang dalam diri siswa, baik melalui agama dan kepercayaan masing-masing maupun dalam proses komunikasi iman dengan agama dan kepercayaan lain. Kata kunci: Pendidikan Keagamaan, Pendidikan Religiositas.
T
idak hanya bagi kalangan awam, tetapi juga bagi cendekiawan Muslim, istilah „Pendidikan Religiositas‟ adalah sebuah istilah yang boleh jadi belum menjadi pusat perhatian. Hal ini cukup beralasan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim sebagai mayoritas, sehingga saat *
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Mataram. email:
[email protected]
73
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
membahas tentang pendidikan keagamaan maka yang muncul adalah pendidikan Islam, pendidikan Kristiani, Pendidikan Hindu, Pendidikan Buddha, dan seterusnya. Belum terlihat kesulitan dan kerumitan untuk membahas pendidikan keagamaan yang mencoba melibatkan semua peserta didik dari latar belakang keagamaan yang berbeda. Hal ini disebabkan, sejauh pengetahuan penulis, belum adanya lembaga pendidikan Islam yang melakukannya. Namun tidaklah demikian yang terjadi pada golongan minoritas yang mempunyai sebuah lembaga pendidikan. Sebagian dari mereka memang tidak serta merta mengikuti kebijakan Negara terkait pengajaran agama kepada peserta didiknya, yaitu sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia, nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada bab V tentang Peserta Didik, Pasal 12 ayat 1 huruf a yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (Mujiburrahman, Al-Jami„ah, Vol. 46, No. 1, 2008: 101-124). Ada upaya-upaya alternatif lain yang dilakukan terkait pendidikan keagamaan itu, yang disebut dengan pendidikan religiositas. Bagaimanakah pendidikan religiositas itu telah dilaksanakan? Apa materi-materinya? Bagaimana bentuk pelaksanaannya? Mungkinkah hal ini dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan Islam? Tulisan ini mengelaborasi hal-hal tersebut. Pendidikan Religiositas Mengajarkan pendidikan keagamaan di tengah kemajemukan bangsa menjadi tantangan sendiri. Paradigma yang dicoba dikembangkan dalam Pendidikan Religiositas adalah membangun masyarakat yang rukun, hidup damai, terbuka, penuh cinta kasih, perdamaian, serta dinamis. Kemunculan Pendidikan Religiositas dilandasi rasa keprihatinan melihat perkembangan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah yang selama ini justru membuat sekatsekat antarsiswa. Semangat yang diusung Pendidikan Religiositas
74
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
mencoba menerobos ”tembok” penghalang antarkeyakinan yang dianut siswa. Pendidikan agama pada umumnya, ataupun Pendidikan Religiositas sebenarnya sama, bertujuan meningkatkan iman dan takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Namun ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pendidikan itu. Kalau Pendidikan Agama hanya berkutat pada dogma dan nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri. Sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang dipakai ”cintailah Tuhanmu sesuai agamamu”. Dengan demikian, Pendidikan Religiositas merupakan salah satu bentuk komunikasi iman, baik antarsiswa yang seagama maupun siswa yang berbeda agama dan kepercayaan agar membantu siswa menjadi manusia yang religius, bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan sosial demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, berdasarkan nilai-nilai universal, misalnya kasih sayang, kerukunan, kedamaian, keadilan, kejujuran, pengorbanan, kepedulian, dan persaudaraan. Sedang latar belakang diadakannya Pendidikan Religiositas adalah sebagai berikut: pertama, pendidikan agama yang bertujuan luhur ternyata dalam kenyataan tidak menghasilkan seperti yang dicita-citakan, bahkan menghasilkan orang yang cenderung berpandangan sempit dan meremhkan orang lain yang tidak seagama / sealiran. Begitu juga, kaum beragama dalam kehidupan sehari-harinya belum diwarnai oleh ajaran agama yang diperolehnya, karena hanya berhenti pada pengetahuan / wacana; kedua, kehidupan dewasa ini menghendaki sebuah keterbukaan akan pluralitas budaya dan agama. Pendidikan agama haruslah menjadi medan dialog partisipatif antar lintas agama. Kemajemukan subyek didik, menghantar untuk merefleksikan betapa pendidikan agama yang doktriner tidaklah menjawab keprihatinan dan fakta sosial, akan lebih baik bagi subyek didik mendapat pendidikan kerohanian yang bermanfaat bagi hidup bersama mereka daripada mendapat pengetahuan agama doktriner satu pihak yang kiranya kurang relevan dengan agama mereka masing-masing. 75
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Fungsi Pendidikan Religiotas di sekolah setidaknya adalah sebagai berikut: pertama, mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang disemangati oleh persaudaraan sejati; kedua, mendukung agamaagama dalam mengemban tugas untuk menyampaikan firman Tuhan dan mewujudkannya dalam hidup bernegara dan bermasyarakat; ketiga, mendukung keluarga-keluarga dalam mengembangkan sikap religiositas siswa yang sudah mereka miliki dari keluarga masing-masing, agar semakin menjadi manusia yang religius, bermoral dan terbuka; keempat, mendukung siswa dalam membangun komunitas manusiawi yang dinamis melalui kegiatan komunikasi pengalaman iman. Sedang tujuan Pendidikan Religiositas di sekolah adalah sebagai berikut: pertama, menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya sehingga memiliki kepedulian dalam hidup bermasyarakat; kedua, membantu siswa menemukan dan mewujudkan nilai-nilai universal yang diperjuangkan semua agama dan kepercayaan; ketiga, menumbuhkembangkan kerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan semangat persaudaraan sejati. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam Pendidikan Religiotas adalah komunikasi iman yang bertitik tolak pada pengalaman hidup dan iman siswa, bukan indoktrinasi. Komunikasi iman tersebut meliputi pribadi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan teks, siswa dengan suasana, dan siswa dengan Tuhan. Komunikasi ini hendaknya terjadi dalam proses yang terarah dan berkesinambungan untuk merefleksikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan ajaran iman dari agama dan kepercayaannya dalam hidup nyata sehingga semakin menjadi orang beriman. Pendidikan Religiositas mempergunakan pendekatan pendidikan refleksi (paradigma pedagogi reflektif). Refleksi meliputi tiga unsur utama, sebagai satu kesatuan di dalam proses pembelajarannya, yaitu: pengalaman, refleksi dan aksi.
76
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
a. Pengalaman: pengalaman yang melatar belakangi baik secara faktual maupun aktual dari siswa. Pengalaman yang akan direfleksi ini digali dari siswa dengan menampilkan kisah kepada mereka yang bisa diambil dari koran, kisah nyata, pengalaman guru, atau pengalaman siswa sendiri, bahkan dari cerita rakyat. b. Refleksi: kegiatan untuk menemukan makna lebih, nilai, kesadaran, semangat serta sikap baru. c. Aksi: perwujudan atas gerakan/dorongan batin yang tumbuh sebagai buah dari proses refleksi, tindak lanjut dari proses pendidikan religiositas yang perlu diarahkan dan dipantau, baik berupa aksi batiniah maupun aksi lahiriah. Atas dasar pendekatan PPR (Paradigma Pedagogi Reflektif) itu, maka prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yaitu: a. Siswa Siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran, perlu: 1) Mempelajari dan mendalami ajaran agama dan kepercayaannya sendiri. 2) Memiliki sikap terbuka (menerima, menghargai, menghormati perbedaan agama dan kepercayaan lain). 3) Aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran: * Berani mengungkapkan pengalaman hidup dan ajaran agama dan kepercayaanya. * Berani mengekspresikan bakat yang dimiliki dalam proses pembelajaran. 4) Merefleksikan dan memaknai pengalaman hidup dan imannya. 5) Mewujudkan hasil refleksi dalam perbuatan nyata. b. Guru Dalam usaha memperjuangkan siswa agar mampu: 1) Mengungkapkan kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya. 2) Menanggapi kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam hidup sehari-hari. 3) Bekerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan semangat persaudaraan sejati sebagai habitus baru. 4) Membiasakan diri berefleksi atas pengalaman hidupnya, 77
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Maka diperlukan: 1) Guru yang berperan sebagai fasilitator dan pendamping. 2) Guru yang mempunyai sikap demokratis dan partisipatif. 3) Guru yang mempunyai semangat kreatif, terbuka, dan mau belajar pada hal-hal yang baru. 4) Guru yang mampu merefleksikan dan memaknai pengalaman hidup dan imannya. 5) Guru yang mampu mengamati perkembangan pribadi siswa, bersama dengan pihak lain yang terkait, sebagai hasil pembelajaran melalui perilakunya yang bebas dan spontan. c. Metode Dalam proses pembelajaran perlu memperhatikan metode yang bersifat: 1) Variatif, dinamis (kreatif), partisipatif 2) Menyenangkan 3) Eksploratif: mencari, mengembangkan, memperkaya informasi terus-menerus. d. Sarana 1) Mengoptimalkan sarana sesuai situasi dan menunjang proses pembelajaran, misalnya buku, koran, majalah atau barang cetakan lain, kaset audio, audio visual, program televisi, slide, lingkungan. 2) Menciptakan sarana sesuai kebutuhan dan menunjang proses pembelajaran, misalnya membuat lagu dan syair, puisi, gambar, poster, karikatur, slogan. e. Waktu 1) Disesuaikan kebutuhan, jangan terpaku pada alokasi waktu yang disediakan karena yang dipentingkan bukan selesainya materi tetapi proses. 2) Terbuka kemungkinan untuk penggabungan materi dalam satu kesempatan tertentu. 3) Materi dapat disesuaikan dengan waktu yang relevan dengan peristiwa keagamaan dan kepercayaan. f. Sumber Bahan 1) Buku pegangan 78
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
2) Sumber bahan yang mendukung (buku-buku referensi, berita, artikel koran/majalah, gambar, informasi internet) 3) Sumber bahan yang berkaitan dengan ajaran agama / kepercayaan tertentu hendaknya berasal dari narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan. g. Sumber Belajar 1) Siswa 2) Guru 3) Masyarakat 4) Lingkungan 5) Perpustakaan Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran Pendidikan Religiositas, salah satu proses pembelajaran yang ditawarkan berdasarkan pendekatan PPR adalah sebagai berikut: a. Pembukaan: 1) Pengantar: berisikan apersepsi dan proses untuk menghantar tema bahasan yang akan diolah di dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan; 2) Doa pembukaan: Dapat dibuka oleh siswa atau guru / pendamping yang bersifat universal atau doa masing-masing tradisi religi para siswa. b. Pengungkapan Pengalaman: 1) Narasi – Kisah: Berupa cerita rakyat atau cerita kehidupan, yang sesuai dengan bahan bahasan, yang berfungsi sebagai titik tolak untuk memasuki pengalaman siswa, kemudian narasi dapat berupa pengalaman atau gagasangagasan atau peristiwa-peristiwa yang dialami siswa sendiri. Narasi kisah merupakan media awal refleksi, maka dapat bersifat mempergunakan berbagai media, film, artikel, komik, gambar sebagai sarana untuk memperdalam refleksi pengalaman; 2) Pendalaman Narasi: Narasi yang disajikan dapat dicoba diapresiasi bersama atau didalami melalui interpretasi dan pemahaman lanjut untuk menemukan suatu nilai. c. Refleksi atas Pengalaman: Berdasarkan media dan pengungkapan pengalaman, siswa diajak untuk menemukan nilai-nilai atas pengalaman tersebut. Nilai-nilai ini menyangkut refleksi kritis atas pengalaman yang ada dan sampai kepada nilainilai kemanusiaan yang universal. 79
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
d.
Pengembangan Refleksi Religiositas: Setelah siswa menemukan berbagai nilai di dalam refleksinya, maka siswa diajak untuk mendialogkan nilai refleksi dengan nilai transendenitas dan orientasi visi tradisi religi (ajaran agama) yang melatar belakangi masing-masing siswa. Siswa saling mengkomunikasikan dan saling berdialog inter-subyektif tentang kekayaan pandangan tradisi religi (ajaran agama), mengenai masalah-masalah yang diangkat dalam pokok bahasan. e. Peneguhan dan Rangkuman : Refleksi yang telah ditemukan di dalam nilai-nilai kemanusiaan dan orientasi religius oleh siswa dapat dirangkum dan diplenokan untuk sampai kepada upaya peneguhan. f. Pra aksi dan Aksi: Merupakan sebuah aktivitas kongkret yang dapat menjadi muara peneguhan dan upaya internalisasi nilai atas refleksi bersama. Pra aksi: Merupakan aktivitas di dalam pertemuan yang dapat menjadi bagian dari siswa dalam upaya mengekspresikan refleksi yang ditemukan. Pengungkapan ini dapat menjadi sarana pengembangan kelompok kepada proses belajar yang utuh. Pengungkapan refleksi dalam hal ini adalah upaya representasi antara hasil refleksi dengan simbol atau lambang yang menjadi bagian dari nilai-nilai yang ditemukan. Ekspresi lambang atau simbol atas nilai dapat diekspresikan di dalam ekspresi berkesenian sebagai berikut: 1. Dinamika kelompok, yaitu pengembangan kelompok dengan permainan-permainan, dan interaksi. 2. Ekspresi gerak, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui gerak dengan dasar gerak tubuh, seperti gerak tari rakyat, gerak indah, gerak improvisasi, dan semacamnya. 3. Ekspresi lagu dan irama, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui improvisasi komposisi irama, dapat bersifat bunyi-bunyian perkusi, maupun alat musik lainnya. 4. Ekspresi visual, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan dan pemikiran melalui bahan-bahan visual, seperti membuat gambar atau
80
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
lukisan, membuat set dekorasi, collage atau membuat estalase pamer, dan lain sebagainya. 5. Ekspresi tulis, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran ke dalam bentuk penulisan puisi, cerpen, diary, surat, artikel dan lain sebagainya. Aksi: Merupakan aktivitas kelompok atau pribadi yang mempunyai dampak sosial secara kongkret. Aksi dirumuskan sebagai bagian dari upaya untuk tindak lanjut refleksi secara nyata, di luar proses pembelajaran di ruang kelas. g. Evalusi: Evaluasi merupakan muara pertanggung jawaban sejauh mana proses pembelajaran ini berhasil dan mengena pada siswa. Evaluasi tidak harus dipandang dengan evaluasi yang sifatnya kuantitatif atau perumusan angka, melainkan juga dapat dilihat sebagai evaluasi yang bersifat kualitatif. Dalam hal ini evaluasi menjadi bagian untuk memetakan sejauh mana refleksi tersebut semakin berkembang, sebagai proses yang harus disadari dan diinternalisasi oleh siswa. Maka evaluasi tidak sekedar bersifat mengukur aspek kognitif semata, melainkan juga mengadaptasi upaya pengungkapan refleksi sebagai bagian dari evaluasi. h. Penutup: akhir dari proses pembelajaran, bersifat memperteguh proses, atau memperkembangkan pertemuan untuk pertemuan yang belum dapat diproses selama jam pertemuan. Kemudian doa penutup, dapat bersifat doa umum atau doa dari keberagamaan tradisi religi. Proses terakhir adalah evaluasi pembelajaran. Penilaian Pendidikan Religiositas dimaksudkan untuk mengukur pencapaian indikator hasil belajar. Selain penilaian tertulis, dapat juga menggunakan model penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan (project), produk (product), atau portofolio (portfolio). Penilaian tersebut harus memperhatikan tiga aspek penting, yaitu aspek kognitif, afeksi dan psiko motorik (Komisi Kateketik Keuskupan Agung, 2009).
81
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Materi Pendidikan Religiositas Berikut ini adalah contoh materi Pendidikan Religiositas untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 1. Dalam proses belajar mengajar satu tahun tersebut, materi Pendidikan Religiositas terbagi menjadi tiga bagian / tema. Setiap tema terdiri dari empat mater pokok. Tema pertama adalah Firman Tuhan kepada umatNya. Standar kompetensinya adalah sebagai berikut: memahami kekhasan dan manfaat belajar agama bagi hidupnya dan bagi hidup bermasyarakat, serta memiliki pemahaman dasar tentang interaksi antara kitab suci agama dan kitab ajaran kepercayaan dengan hidup beriman masing-masing umat beragama. Ada empat materi pokok dalam tema ini, yaitu: 1) Belajar agama dan kepercayaan untuk hidup; 2) Firman Tuhan membimbing umat; 3) Kitab Suci agama-agama dan kitab ajaran kepercayaan; 4) Kitab Suci agama-agama dan kitab ajaran kepercayaan sebagai Firman Tuhan yang disampaikan kepada umat-Nya. Tema kedua membahas tentang pesan universal agama-agama dan kepercayaan untuk memperbarui hidup. Standar kompetensinya adalah sebagai berikut: memahami aktualisasi ajaran agama-agama dan kepercayaan dalam menanggapi situasi masyarakat. Ada empat materi pokok dalam tema ini, yaitu: 1) Pesan Universal Agama-Agama dan Kepercayaan; 2) Perjuangan Peletak Dasar Agama-Agama dan Kepercayaan; 3) Umat Beragama dan Berkepercayaan Peduli dan Terlibat dalam Pembaruan Hidup Masyarakat; 4) Ajaran Agama-Agama dan Kepercayaan Membawa Pemerdekaan Sejati. Tema yang ketiga adalah tentang perjuangan universal mengatasi pandangan sempit. Standar kompetensinya adalah sebagai berikut: mengenal kehadiran Tuhan dalam pergulatan umat manusia yang berjuang mengatasi sovinisme (chauvinism) budaya, agama-agama dan kepercayaan, serta perendahan martabat kaum perempuan dan kaum miskin.
82
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
Empat materi pokok dalam tema ini adalah: 1) Sovinisme Budaya, Agama-Agama dan Kepercayaan; 2) Kehadiran Tuhan dalam Keterbukaan Umat Beragama dan Berkepercayaan; 3) Kehadiran Tuhan dalam Perjuangan mengatasi Perendahan Martabat Kaum Perempuan; 4) Kehadiran Tuhan dalam Perjuangan Mengatasi Perendahan Martabat Kaum Miskin. Kedua belas materi pokok tersebut kemudian dijabarkan dan diuraikan dengan kekhasan pembahasan masing-masing. Berikut ini adalah contoh penjabaran dari materi pokok pertama dari tema yang pertama, yaitu tentang Belajar Agama dan Kepercayaan untuk Hidup. Materi Pokok: Belajar Agama dan Kepercayaan untuk Hidup A. Kompetensi Dasar Memahami manfaat belajar agama dan kepercayaan melalui belajar Pendidikan Religiositas sehingga tumbuh sikap menghormati keberagaman agama dan kepercayaan. B. Indikator Pencapaian Hasil Belajar Pada akhir pembelajaran siswa-siswi dapat: 1. Mengidentifikasi persoalan-persoalan hidup manusia. 2. Menceritakan pengalaman hidup beragama dan berkepercayaan yang beraneka ragam dalam kebersamaan hidup sehubungan dengan persoalan-persoalan hidup manusia. 3. Mendeskripsikan nilai-nilai universal yang ditemukan dalam pengalaman beragama dan berkepercayaan dalam kebersamaan hidup. 4. Menjelaskan manfaat belajar agama dan keprcayaan masing-masnig bagi hidup pribadi maupun bersama. 5. Menjelaskan kekhasan Pendidikan Religiositas. 6. Menjelaskan manfaat belajar Pendidikan Religiositas. 7. Membuat karangan dalam bentuk puisi atau prosa yang berisi harapan-harapan belajar Pendidikan Religiositas dalam kaitannya menjawab persoalan-persoalan hidup yang dihadapi. C. Landasan Pemikiran 83
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Kenyataan hidup beragama dan berkepercayaan bagi seseorang kebanyakan diterima atau dialami begitu saja sebagai fakta sejarah hidupnya. Pada umumnya, seorang anak yang lahir dari keluarga beragama dan berkepercayaan tertentu, misalnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, akan dididik oleh keluarganya menjadi anak beriman sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya. Pengalaman hidup beragama dan kepercayaan yang membentuk diri anak mulai dipertanyakan oleh anak itu sendiri secara serius saat anak memasuki masa muda yang kritis terhadap lingkungan dan diri sendiri. Mengapa saya harus ke gereja, maajid, vihara, atau klenteng? Mengapa saya beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, atau Buddha? Mengapa saya mesti belajar agama dan kepercayaan di sekolah menengah ini? Belajar agama dan kepercayaan dalam Pendidikan Religiositas bukan sekadar mencari nilai raport, tetapi lebih pada mengangkat dan merefleksikan pengalaman hidup beragama dan berkepercayaan siswa-siswi itu sendiri agar tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai dan semangat yang sejati dalam hidup beragama dan berkepercayaan akan dikaji, direfleksi, dan diolah bersama. Apakah hidup beragama dan berkepercayaan seseorang cukup diungkapkan dengan mengikuti upacara ritual keagamaan dan kepercayaan itu serta memahami berbagai pengetahuan tentang agama dan kepercayaan saja? Tidak. Dimensi hati atau batin, yang menyadari relasinya dengan Tuhan, inilah yang akan menjadi bahan pengolahan dan refleksi oleh semua orang beriman, khususnya siwa-siswi SMA/SMK. Dalam kehidupan sehari-hari, siswa-siswi SMA/SMK menghadapi aneka pengalaman hidup, misalnya menjalin relasi dengan teman lain, menghadapi trend yang selalu berubah, melihat berbagai kejadian dan pengalaman hidup yang positif maupun yang negatif seperti tawuran, tindak kriminal, korupsi oleh para pejabat, perkembangan mode, dan sebagainya. Dalam menghadapi aneka pengalaman hidup itu mereka sering kali 84
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
bertanya dalam dirinya, apakah segala kejadian dan pengalaman hidup tersebut mempunyai hubungan erat dengan agama dan kepercayaana atau tidak. Melalui materi pokok ini mereka diajak menemukan bahwa agama dan kepercayaan menawarkan nilai-nilai hidup yang memungkinkan terjadinya keselamatan dan kebahagiaan banyak orang. Dalam Pendidikan Religiositas ini, mereka diajak untuk belajar bagaimana dapat memaknai hidup secara benar menurut agama dan kepercayaan masingmasing. Kesempatan berdialog atau berkomunikasi antar agama dan kepercayaan berbeda, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kelas, diharapkan menumbuhkan semangat toleransi dalam diri mereka terhadap keberagaman pandangan agama dan kepercayaan, serta menumbuhkan sikap hormat terhadap siswa-siswi yang beragama dan berkepercayaan lain. Pengalaman berkomunikasi atau berdialog itu mendasari dan membantu mereka dalam berproses bersama teman-teman yang lain melalui Pendidikan Religiositas. Dengan tumbuhnya semangat toleransi dan kesediaan untuk berdialog diantara mereka yang beragama dan berkeyakinan lain serta menemukan nilai-nilai hidup yang baik, siswa-siswi yang bersangkutan akan mampu melihat kebaikan Tuhan dalam dirinya sendiri, dalam sesamanya, dan dalam lingkungan hidupnya. Pada dasarnya, setiap orang dipanggil untuk berusaha bersama mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam persatuannya dengan Tuhan. Jalan untuk mencapai keselamatan itu beraneka ragam, sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan yang diakui dan diterima keberadaannya di muka bumi ini. Setiap agama dan kepercayaan mengajarkan kebaikan agar umat-Nya selamat dan mengalami persatuan dengan Tuhan. Keselamatan itu diperjuangkan oleh setiap orang dengan mengupayakan hidup yang benar, jujur, adil, saling mencintai, saling melayani sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera sesuai dengan kehendak-Nya. Hal ini dilakukan agar orang dapat mengalami kebahagiaan kekal di akhirat. 85
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Dalam pluralitas agama dan kepercayaan, mencermati dan mendalami hanya ajaran agama dan kepercayaannya sendiri atau ajaran agama dan kepercayaan tertentu rasanya tidaklah cukup, karena dapat membawa pada eksklusivitas hidup beragama dan berkepercayaan. Sebaliknya, memahami dan mencermati keberagaman agama dan kepercayaan memungkinkan terjadinya keterbukaan hidup beragama dan berkepercayaan, munculnya semangat toleransi yang sejati, sehingga menjadikan orang mampu memaknai hidupnya dalam terang iman sesuai ajaran agama dan kepercayaannya masingmasing. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan setiap pribadi dapat melihat dan menemukan kebaikan Tuhan, baik dalam dirinya sendiri, dalam sesamanya, maupun dalam lingkungan hidupnya. Melalui materi pokok ini, siswa-siswi diajak untuk melihat dan belajar bagaimana setiap agama dan kepercayaan memaknai kehidupan. Agama dan kepercayaan bukan sekadar pengetahuan, tetapi sungguh masuk dalam hidup mereka. Dengan mengenal teman-teman lain, yang berbeda agama dan kepercayaan, mereka diajak untuk semakin dapat menerima kenyataan hidup beragama dan berkepercayaan yang plural dalam berbagai aspeknya. Dengan demikian, mereka dapat saling memberi dan menerima kekayaan hidup beragama dan kepercayaan masing-masing secara utuh. Akhirnya, mereka dapat melihat dan menemukan kebaikan Tuhan di dalam dirinya sendiri, dalam diri sesamanya, dan dalam lingkungan hidupnya. Pada pertemuan pertama ini, sebaiknya diadakan perkenalan antara guru dan siswa-siswi, serta antar siswa-siswi itu sendiri agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan mendukung tercapainya tujuan yang diharapkan. D. Uraian Materi Pokok 1. Pengalaman persoalan-persoalan hidup manusia.
86
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
2. Pengalaman hidup beragama dan berkepercayaan yang beraneka ragam dalam kebersamaan hidup sehubungan dengan persoalan-persoalan hidup manusia. 3. Nilai-nilai universal yang ditemukan dalam cerita pengalaman beragama dan berkepercayaan dalam kebersamaan hidup. 4. Manfaat belajar agama dan kepercayaan masing-masing bagi hidup pribadi maupun bersama. 5. Kekhasan Pendidikan Religiositas. 6. Manfaat belajar Pendidikan Religiositas. E. Sumber Bahan Sumber-sumber bahan ini dapat dipakai sebagai acuan untuk menambah wawasan dalam menyampaikan materi pokok: 1. Gagasan siswa-siswi dan guru. 2. Majalah, surat kabar, jurnal, atau buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas. F. Pengalaman Belajar 1. Mengkaji dan mendiskusikan tentang persoalan-persoalan hidup manusia, pengalaman hidup beragama dan berkepercayaan untuk menemukan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya (kecakapan hidup: menggali dan mengolah informasi / kasus). 2. Menyimpulkan temuan bersama tentang manfaat belajar agama dan kepercayaan masing-masing bagi hidup pribadi maupun bersama dan kekhasan Pendidikan Religiositas (kecakapan hidup: merumuskan kesimpulan). 3. Merefleksi dengan membuat karangan dalam bentuk puisi atau prosa yang berisikan harapan-harapan belajar Pendidikan Religiositas dalam kaitannya menjawab persoalan-persoalan hidup yang dihadapi (kecakapan hidup: kesadaran akan potensi diri). G. Alokasi Waktu Materi diberikan dalam 6 X 45 menit, tetapi dapat juga diolah sesuai dengan situasi. H. Proses Pembelajaran 87
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Tanpa mengurangi kebebasan untuk mengolah proses pembelajaran, guru disarankan untuk menyampaikan materi pokok ini dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Narasi Setelah Bertemu Guru Kesembilan Sejak kecil, Supriyono sudah akrab dengan ilmu bela diri, terutama pencak silat. Ayahnya yang menjadi perangkat desa Pringapus, Ungaran, adalah seorang guru silat. Masa kecilnya sama seperti anak-anak desa yang lain; lugu, jujur, dan tekun bekerja. Usia SLTP dan SMU, Supriyono mulai mempelajari ilmu kebal dengan cara puasa dan tirakat. Lulus SMU dia melamar menjadi tentara, untuk mewujud kancita-citanya sejak kecil. Pertama kali mendaftar tentara, ia gagal. Tidak putus asa, dia mengulang kembali pada tahun-tahun berikutnya sampai lima kali. Dan dia masih saja gagal, meskipun sudah memilih berganti haluan mendaftar sebagai polisi. Dalam keputusasaannya, dia melihat ayahnya sedang bekerja di ladang. Perasaan bersalah dan iba menderanya. Jutaan rupiah sudah dihabiskannya sia-sia untuk mewujudkan keinginannya menjadi tentara dan ternyata gagal. Sementara ayahnya harus membanting tulang mengharapkan panen yang tak seberapa hasilnya. Dia pingsan tak jauh dari ayahnya yang sedang mencangkul. Sejak kejadian itu, perangainya berubah, menjadi kasar dan beringas. Cita-citanya menjadi tentara dicampakkannya diganti dengan cita-cita ingin mati. Namun bukan mati siasia, ia ingin mati secara terkenal. Dan jalan yang ditempuhnya adalah berkelahi. Ilmu bela diri yang dimilikinya dari delapan guru, yang berasal dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur, membuatnya menjadi orang sakti dan ditakuti. Sikapnya pongah, penampilannya acak-acakan dan terkesan menakutkan. Dikeroyok banyak orang dia masih menang. Dia juga menjadi tenaga upahan yang dibayar untuk mencelakakan orang, atas permintaan 88
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
seseorang. Ayahnya dan orang-orang lain yang memiliki ilmu sudah tak mampu menghadapinya. Namun, semua itu akhirnya berubah. Suatu sore dia kehabisan rokok, dan dia mencari kakaknya yang kerja di pabrik pengolah kayu. “Mas, minta rokoknya,” katanya dengan kasar seperti biasa. “Ambil sendiri di tas saya,” jawab kakaknya. Saat merogoh tas, Suproyono merasakan tangannya menyentuh sebuah buku kecil, yang dikiranya sebuah komik. Waktu itu, dia sedang suka membaca novel dan komik. Sambil merokok, dia membolak-balik buku kecil itu, tetapi yang ditemuinya hanya kalimat-kalimat yang asing baginya. “Buku apa ini?” tanyanya dengan nada tinggi. “Itu kitab suci agama,” jawab kakaknya. Supriyono terperanjat mendengar jawaban itu. Dengan pongah dia mengembalikannya dan bertanya, apakah perlu menyucikan diri dulu untuk memegang kitab itu. Kakaknya menjawab, tidak. Dia bertambah heran, lalu membuangnya sambil berkata, “Kitab tidak Sakti!” Kakaknya tidak marah. Dengan sabar dia mengingatkan tindakan adiknya. Dia mengambil kitab itu, membersihkannya dari kotoran dan memasukkanya kembali ke dalam tas. Kejadian itu terulang kembali, namun bukunya berbeda dengan buku yang pertama. Dia membuka buku kecil itu dan menemukan sebuah sejarah / perjalanan hidup seorang tokoh agama. Ajaran-ajaran yang disampaikan sang tokoh telah membuatnya tersentak, menghancurkan semua pemikiran dan pandangan hidupnya. Ada Nabi kok mau mengalah. Ini ajaran yang sangat aneh. Kalau Nabi saja mau mengalah, saya kok justru sering membuat celaka orang lain. Setelah itu, dia memberanikan diri mengikuti kakaknya belajar agama. Meskipun sangat sulit pada mulanya, dia mencoba bertahan. Dan akhirnya setelah selama setahun penuh mengikuti pelajaran agama, dia berubah perangai. Pembawaannya yang kasar, tukang berkelahi, telah 89
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
ditinggalkannya. Bahkan dia berhasil membentuk keluarga dan dikaruniai dua orang putri yang manis. Dia menghidupi keluarganya dengan menjadi penjahit. Namun, karena kurang beruntung, usaha itu akhirnya tutup dan dia berganti haluan menekuni bisnis kayu jati, tentu saja bisnis ini legal. Ia ingin menjalani sisa-sisa hidupnya dengan tenang dan damai. Tuhan telah mengubah jalan hidupnya dengan cara yang sangat unik. 2. Pendalaman dan Refleksi Setelah siswa-siswi membaca atau mendengarkan kisah di atas, guru dapat mengajukan pertanyaan berikut ini untuk dibahas secara bersama-sama: a) Mengapa Supriyono ingin menjadi tentara? b) Apa yang dilakukan Supriyono setelah gagal menjadi tentara? c) Bagaimana Supriyono disentuh oleh pengalaman tentang hidup beragama? d) Apakah dia menemukan makna hidupnya? e) Hal-hal apa saja yang dapat Anda simpulkan dari pengalaman Supriyono? 3. Pengembangan Religiositas a) Diskusi Kelompok Siswa-siswi diajak merefleksikan pengalamannya melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini sebagai bahan diskusi kelompok: 1) Ceritakanlah satu atau dua pengalaman mengesankan yang pernah Anda alami! 2) Menurut Anda, apakah agama dan kepercayaan mempunyai peranan dalam kehidupan Anda? Jelaskan! 3) Apakah belajar agama dan kepercayaan bisa membantu untuk mengartikan pengalaman hidup manusiawi Anda? 4) Jelaskan manfaat belajar agama dan kepercayaan masing-masing bagi hidup pribadi maupun bersama! 90
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
5) Jelaskan kekhasan Pendidikan Religiositas! 6) Jelaskan manfaat belajar Pendidikan Religiositas! b) Pleno Setelah siswa-siswi menyelesaikan diskusi kelompok, mereka diminta untuk melaporkan hasil diskusinya dalam pleno. Guru mencermati gagasan penting yang muncul dalam laporan kelompok. 4. Rangkuman dan Peneguhan Guru memberikan rangkuman dan peneguhan. 5. Praaksi dan Aksi a) Praaksi Siswa-siswi diminta untuk membuat karangan dalam bentuk puisi atau prosa, yang berisi tentang harapanharapan belajar Pendididkan Religiositas untuk menjawab persoalan-persoalan hidup yang dihadapi. b) Aksi Siswa-siswi diminta melakukan salah astu tindakan berikut ini agar mampu menemukan arti hidupnya: 1) Mengunjungi panti jompo untuk bertemu dan mengetahui kehidupan para manula. 2) Melakukan aksi sosial ke lembaga pemasyarakatan untuk bertemu dengan para napi dan mengetahui perjalanan hidupnya. 3) Mewawancarai penjaga makam atau pembuat nisan, yang sering berhubungan dengan kematian, untuk mengetahui pandangan mereka tentang kehidupan. Setelah siswa-siswi melakukan aksi, mereka diminta membuat laporan tertulis dan dikumpulkan untuk dinilai. I. Penilaian 1. Jenis Tagihan Pertanyaan lisan, pertanyaan tertulis, tugas individu. 2. Bentuk Instrumen Jawaban singkat, portofolio. 3. Contoh Instrumen 91
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
a) Identifikasikan secara singkat 3 (tiga) persoalan hidup sehari-hari manusia! b) Ceritakan secara singkat pengalaman hidup beragama dan berkepercayaan yang menjawab persoalan hidup sehari-hari! c) Deskripsikan 5 (lima) nilai universal yang dapat ditemukan dalam hidup beragama dan berkepercayaan! d) Jelaskan manfaat Pendidikan Religiositas bagi kita! e) Jelaskan kekhasan Pendidikan Religiositas! f) Apakah kekeringan, korupsi, bencana alam, tawuran, kemiskinan merupakan persoalan hidup yang perlu ditanggapi oleh agama dan kepercayaan? Mengapa? g) Buatlah karangan dalam bentuk puisi atau prosa yang berisi harapan-harapan belajar Pendidikan Religositas dalam kaitannya menjawab persoalan-persoalan hidup yang dihadapi! (Suroyo, dkk, 2006:17-25) Refleksi Penjabaran tentang pengertian Pendidikan Religiositas serta contoh materi yang diajarkan dalam Pendidikan Religiositas di atas kiranya dapat memberikan acuan awal untuk memahami apa yang dimaksud dengan Pendidikan Religiositas itu. Meskipun harus disadari bahwa pemahaman terhadap Pendidikan Religiositas baru bisa didapatkan secara penuh jika telah melihat praktek pelaksanaannya serta dampaknya terhadap peserta didik yang mengikutinya. Dalam hal ini, penulis telah beberapa kali mengikuti proses belajar mengajar Pendidikan Religiositas itu di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Ada nuansa unik yang tercipta, karena semua peserta didik dari latar belakang agama yang berbeda saling bertukar informasi tentang agama-agama masing, saling menggali dan memperluas wawasan keagamaannya serta prakteknya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kelebihan Pendidikan Religiositas adalah pengayaan nilai-nilai iman. Pendapat dari semua agama dikutip untuk menambah wawasan pengetahuan siswa, bahkan kadang-kadang 92
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
pendapat dari golongan aliran kepercayaanpun dikutip, demi memperdalam suatu materi pembelajaran. Siswa tidak harus tahu semua pendapat agama di buku materi. Namun siswa diajak membuka cakrawala hati dan pikiran bahwa sebuah pendapat pada agama yang dianutnya ternyata juga muncul pendapat serupa di agama lain. Benang merah inilah yang menjadi inti dan kekuatan Pendidikan Religiositas. Dari pembelajaran seperti ini, siswa diajak bersikap terbuka bahwa nilai-nilai kebenaran tidak mutlak dimiliki agama yang mereka anut. Ternyata nilai-nilai itu juga bisa muncul di agama yang lain (Kung, 1991; Kung, 1996; Twiss and Grelle, 2000). Dalam Pendidikan Religiositas itu, para siswa dari pelbagai agama mendapat kesempatan luas dan bebas untuk mengkomunikasikan pengalaman keagamaannya masing-masing mengenai berbagai peristiwa pengalaman hidupnya. Para siswa tidak hanya didampingi untuk mempelajari pengetahuan saja, tetapi juga membentuk persaudaraan antar umat beragama sehingga diharapkan dapat menjalin kerja sama dalam kehidupan sehari-hari (Esack, 1997). Melalui Pendidikan Religiositas ini siswa diharapkan mengalami perubahan sikap yang mendasar atas hidupnya, dimana siswa mampu menghormati martabat hidup manusia, memperjuangkan kebaikan bersama, menyebarluaskan sikap dan semangat solidaritas dengan sesama, khususnya yang kecil, lemah, miskin dan tersingkirkan (Kennedy, 1993:49; Nelson-Pallmeyer, 1992: 96). Inilah transformasi kehidupan yang diharapkan tumbuh dan berkembang dalam diri siswa, baik melalui agama dan kepercayaan masing-masing maupun dalam proses komunikasi iman dengan agama dan kepercayaan lain. Harapan-harapan pun bermunculan di media massa. Misalnya M Basuki Sugita berkata: “Sungguh elok kehidupan di bumi Pertiwi, jika semua siswa berbeda keyakinan duduk berdampingan mempelajari kebaikan nilai-nilai kehidupan, serta nilai-nilai kebaikan Tuhan. Anak manusia yang berkedudukan sama di hadapan Tuhan, akan duduk berdampingan belajar Pendidikan Religiositas seperti halnya mereka belajar mata pelajaran lain. Perbedaan antar keya93
El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
kinan agama memang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Jadi, mengapa kita sekarang harus memperuncing perbedaan?” (Suara Merdeka, 25 Januari 2014). Dalam diskursus dialog antaragama, Pendidikan Religiositas itu merupakan aplikasi konkrit dari sebuah dialog yang saling mengenal sekaligus berbagi pengetahuan dan pengalaman. Setidaknya, ada empat kategori dialog antaragama, dimana masing-masing tidaklah eksklusif dan sejatinya saling tumpang tindih dalam prakteknya: 1) Dialog tentang kehidupan sehari-harih, dimana orang-orang berusaha untuk hidup dalam spirit saling terbuka dan kekeluargaan, saling berbagi dalam suka dan duka, menumbuhkan pertemanan yang didasarkan pada saling percaya yang bisa jadi mengarah pada sharing tentang kepercayaan dan pengalaman religious masingmasing; 2) Dialog aksi, dimana orang-orang dari beragam agama berkolaborasi bagi kebaikan bumi dan bagi pertumbuhan dan kebebasan kemanusiaan; 3) Dialog teologis, dimana para peserta dialog berupaya mendalami pemahaman mereka tentang warisan keagamaan masing-masing dan mengapresiasi kepercayaan dan nilai-nilai spiritualitas kepercayaan yang lain; 4) Dialog pengalaman keagamaan, dimana orang-orang, berdasarkan tradisi keagamaan mereka, saling berbagai kekayaan spiritualitas mereka, misalnya tentang doa dan kontemplasi, upacara keagaman dan tempattempat suci, serta tentang ibadah (Ecumenical & Interfaith Commission, East Melbourne, Victoria: http://eic.cam.org.au). Catatan Akhir Tentu saja, proses belajar mengajar melalui Pendidikan Religiositas itu tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Namun setidaknya hal ini perlu direnungkan dan dicoba sebagai terobosan dan alternatif dari semua kalangan orang beragama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan persaudaran yang erat, terutama sebagai usaha untuk menumbuhkan kasih sayang sesama tanpa memandang perbedaan latar belakangnya, terutama menyangkut keyakinan.
94
Pendidikan Religiositas… (Abulloh Fuadi)
Daftar Pustaka Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997. Hans Kung, Global Responsibility – In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad, 1991. Hans Kung (ed.), Yes to a Global Ethic.London: SCM Press LTD, 1996. Jack Nelson-Pallmeyer, Brave New World Order. Maryknoll: Orbis Books, 1992. Mujiburrahman, State Policies in Religious Diversity in Indonesia. AlJami„ah, Vol. 46, No. 1, 2008 M/1429 H. Komisi Kateketik Keuskupan Agung, Pendidikan Religiositas – Gagasan, Isi, dan Pelaksanaannya. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Paul Kennedy, Preparing for the Twenty-First Century. New York: Random House, 1993. Summer B. Twiss and Bruce Grelle (edt.), Explorations in Global Ethics – Comparative Religious Ethics and interreligious Dialogue. USA: Westview Press, 2000. Suroyo, dkk, Agama dan Kepercayaan Membawa Pembaruan – untuk SMA/SMK Kelas 1. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Ecumenical & Interfaith Commission, East Melbourne, Victoria: http://eic.cam.org.au.
95