Pendidikan Pancasila (Pendekatan yang mengIndonesiakan) Oleh Winarno Surakhmad Abstrak Tidak ada ideologi yang dapat hidup subur tanpa pendekatan yang sadar tujuan, terarah, dan bermakna terhadap segenap bangsa. Pancasila tidak terkecuali harus disadari bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah edukatif yang menghidupsuburkan Pancasila sebagai kekuatan moral yang mengindonesiakan. Salah satu model pemasyarakatan Pancasila yang pernah diselenggarakan adalah melalui P4, dengan pendekatan kognitif mendominasi metode pendidikan Pancasila. Itulah akhirnya yang dihidupkan di dalam program penataran. Pendekatan kognitif ini, pada gilirannya merangsang pendangkalan, yang paling sering dilakukan melalui hafalan sejumlah 'butir' P4. Pendekatan kognitif ini hanya menyiksa peserta dengan belajar nilai, tetapi tidak belajar menilai dalam kaitannya dengan ideologi Pancasila. Belajar menghayati tanpa penghayatan. Pada gilirannya ini melahirkan sikap kontra Pancasila. Oleh karena itu pendidikan ideologi harus menggunakan bahasa Pancasila sebagai bahasa bangsa, bukan sekedar sebagai bahasa Indonesia dalam arti sesempit mata pelajaran bahsa di sekolah. Yang terpenting ialah bahwa bahasa bangsa itu adalah bahsa yang hidup sebagai living realities. Hal ini harus memotivasi dosen-dosen Pancasila untuk mencari model metode partisipatif Pancasila yang bertujuan adanya perubahan dalam arti pembudayaan dan kemandirian. Inilah semangat Pancasila yang ditinjau sebagai ideologi terbuka dengan konstitusi antara lain: a) visinya ke depan, b) jiwanya demokratis, c) problematiknya membumi, d) fokusnya kontekstual, e) keberpihakannya populis, f) implikasinya realistis. 1. Pengantar Dengan pemahaman yang wajar, dengan niat yang Ikhlas, dengan sikap batiniah yang positif, dengan komitmen yang pantang berkompromi untuk membangun bangsa yang besar, kuat, dan terhormat, Pancasila seharusnya dapat berkembang sebagai ideologi visioner yang solid, dengan moral pembangunan yang mampu semakin mengindonesiakan bangsa ini. Tetapi hampir semua orang termasuk yang bukan warga negara Indonesia sekalipun mengetahui bahwa itu tidak terjadi. Alih-alih, pertikaian tentang Pancasila telah manimbulkan perang saudara yang hampir-hampir saja menghilangkan eksistensi bangsa ini dalam usianya yang masih begitu muda. Dimana letak kesalahnnya? Pancasila tidak salah apa-apa. Yang salah adalah mereka, yang ketika duduk sebagai pemimpin dan penentu kebijakan mengemban tugas membangun kehidupan bangsa ini, ternyata telah beramai-ramai atau secara 1
sendiri-sendiri menyalahtafsirkan, menyalahterapkan, dan menyalahgunakan Pancasila sebagai ideologi berbangsa untuk kepentingan yang lain. Didalam mengemban tugas mulia itu, mereka justru mewujudkan ambisi politik dan kepentingan kekuasaan mereka masing-masing, jauh diatas kepentingan bangsa sebagai yang diamanahkan didalam Undang-undang Dasar 1945. Tidak jarang, demi ambisi dan kepentingan itu, kepentingan bangsa justru makin dikorbankan. Fungsi Pancasila diubah, dari ideologi berbangsa menjadi alat perjuangan politik demi mempertahankan dan melindungi aspirasi dan kepentingan mereka. Pancasila yang seharusnya menjadi nilai dasar yang mencerdaskan kehidupan politik bangsa, dijadikan doktrin tertutup yang justru semakin membodohkan nalar dan mendangkalkan moral bangsa. Terlalu mudah orang melupakan bahwa Pancasila adalah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pemimpin yang oportunis. Tetapi itulah yang terjadi. Hal ini terbukti bahwa di mana pun, pendekatan doktriner seperti itu tidak pernah dapat bertahan lama. Ditangan pemerintahan yang bertangan besi sekalipun, walau indoktrinasi dapat melahirkan keberhasilan semu dalam waktu yang singkat, sekaligus dipastikan memupuk antipati, kegersangan, kebohongan, ketidakpedulian, kebencian, dan terutama perlawanan terhadapnya. Pendekatan indoktrinasi seperti itulah yang sempat melumpuhkan Pancasila, hampir sepanjang usianya. Tetapi dari sejarah itu pula kita menemukan sebuah sebuah hikmah bahwa ambisi politik penguasa dimasa lalu telah menjadi blessing in disguise: Ambisi kekuasaan dimasa lalu, ternyata bukan saja tidak berhasil mengubah hakikat Pancasila, tetapi juga melahirkan kekuatan penghancuran diri. Sekarang Pancasila seakan-akan harus dilahirkan kembali. Penyalahgunaan Pancasila memang telah mencederainya. Tetapi sebagai dasar negara, Pancasila tidak mati; bahkan berubah pun tidak. Adalah kotradiktif apabila NKRI dipertahankan sedangkan Pancasila ditolak. NKRI adalah Pancasila in action. Karena itulah Pancasila bertahan sebagai realitas. Ia akan tetap hidup (dan mati) bersama dengan hidupnya (atau matinya) NKRI. Hanya saja, tidak ada ideologi yang dapat hidup subur tanpa pendekatan yang sadar-tujuan, terarah, dan bermakna terhadap segenap bangsa. Pancasila tidak terkecuali. Harus disadari bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah sebuah kekayaan moral. Inilah yang dengan singkat dibahas didalam makalah: mengembangkan pendekatan edulatif yang menghidupsuburkan Pancasila sebagai kekuatan moral yang mengindonesiakan. 2. Pendidikan Idiologi sebagai Pertarungan Nilai Secara umum ideologi dapat dirumuskan sebagai pandangan hidup yang merupakan kristalisasi pilihan nilai-nilai hidup yang disepakati bersama oleh suatu bangsa, maka sejumlah kemungkinan nilai hidup yang lain, yang tidak disepakati oleh bangsa itu, dapat dipandang berbeda, bertentangan, dan 2
berpotensi membahayakan. Oleh karena itu harus diwaspadai, dikawal, atau dihancurkan. (Bukankah setiap ideologi umumnya bersikap demikian?) Dengan demikian, hal tersebut dianggap wajar-wajar saja apabila bangsa tersebut (1) memperkuat kesepakatan mengenai ideologinya sendiri, sekaligus (2) menciptakan benteng pertahanan untuk menangkal masuknya penaruh ideologi yang lain. Karena itu, pendidikan ideologi umumnya mencakup penyadaran “ideologi kita” yang benar versus “ideologi mereka” yang salah dan harus dilawan. Sehubungan dengan hal diatas yang terjadi ialah kita (bangsa indonesia) menghadapi pertentangan antara ideologi yang disepakati (Pancasila) dengan ideologi lain yang ditolak (anti Pancasila). Ini juga berarti menghadapi pertentangan antara sebuah ideologi dengan semua ideologi lainnya yang dinilai sebagai kontra ideologi. Tetapi kita tidak siap menghadapinya. Kadang-kadang, perbedaan itu dengan mudah dapat diketahui, tetapi dalam banyak hal tidak selalu demikian. Adakalanya sifat pertentangan itu laten, adakalanya aktual; adakalanya melalui forum terbuka, adakalanya bersifat subversif; adakalanya bersifat dingin, adakalanya menjadi panas. Adakalanya melalui diplomasi, adakalanya revolusi. Namun, di dalam aktivitas pendidikan ideologi dalam berbagai wujud, mutatis mutandis, pada hakikatnya itulah yang terjadi. Bagaimanapun besar perbedaan antara ideologi satu dengan yang lain, ideologi diperlakukan oleh setiap pemerintahan sebagai sebuah potensi jiwa berbangsa yang bukan saja perlu disebarluaskan di semua kaiangan bangsa, tetapi juga perlu dipahami, dilindungi dan dibela bersama-sama. Makin kuat kebersamaan, makin layak ideologi tersebut dinilai bersifat kokoh dalam konteks nasional. Memang, umum diterima bahwa satu di antara hal yang dianggap menentukan kekuatan suatu bangsa adalah kekuatan ideologinya. Dalam perang dan damai, ideologi menjadi kebutuhan, bukan sekedar alternatif atau mode. Menghancurkan eksistensi sebuah bangsa sering dimulai dengan menghancurkan Ideologinya. Mengubah sifat atau haluan sebuah negara biasanya dilakukan dengan mengubah ideologinya. Tidak ada sebuah negara yang dapat menyatakan diri tidak memerlukan sebuah ideologi, walaupun mungkin dengan esensi, format, wujud, dan karakteristik yang berbeda-beda. Bukan saja negara setengah maju dan yang baru lahir, besar dan kecil, yang sangat membutuhkan sejenis ideologi. Negara yang sudah mapan seperti Amerika Serikat pun tetap memerlukannya, karena ideologi itulah yang memberikan roh, corak, ciri, dan citra bangsa, baik kompleks ataupun sederhana rumusannya. Tentu saja kekuatan ideologi itu tidak sama, dan tidak selalu komparabel. Memang mungkin tidak perlu demikian. Tetapi dari pengamatan dapat disimpulkan bahwa seburuk-buruknya sebuah ideologi di dalam sebuah negara, masih saja lebih baik daripada sama sekali tidak ada ideologi. Logisnya, setiap kumpulan manusia akan mengutamakan seperangkat nilai 3
yang disepakati sebagai yang terbaik, dan secara sederhana itulah yang mereka rujuk sebagai ideologi. Tanpa itu, kehidupan akan menjadi kacau. Pancasila bukan sebuah mukjizat keramat yang begitu saja turun dari langit, dibawa oleh bidadari melalui sebuah pelangi. Pancasila adalah hasil dan proses perjuangan yang panjang melalui keringat dan darah, yang kemudian dipilih dan dinilai terbaik oleh dan untuk bangsa ini, tidak berbeda dari semua ideologi yang dikenal dalam sejarah. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, yang perlu kita persoalkan ialah bagaimana memaknai dan melesatrikan kesepakatan itu. 3. Isu Metodologi : Belajar Nilai atau Belajar Menilai? Kita harus jelas dan semula apakah esensi ideologi itu pengetahuan (knowledge) atau nilai (value). Isu yang terkait di sini ialah bahwa kalau ideologi itu esensinya dengan pengetahuan, pendekatan untuk “mendidikkannya” akan berbeda dengan pendekatan ideologi yang esensinya adalah nilai. Kalau pengetahuan, kita mentransfer pengetahuan; kalau nilai, kita mentransfer nilai. Dua jenis transfer itu, walaupun dapat saling terkait, masing-masing memerlukan proses yang berbeda. Esensi Pancasila itu apa: pengetahuan atau nilai? Di dalam niat dan di atas kertas, Pancasila adalah nilai; artinya, semua atau hampir semua aspek yang secara esensial harus dihayati yang terkait dengan ideologi tersebut adalah nilai. Bahkan: Pancasila adalah kehidupan! Itu di atas kertas sebagai tertuang di dalam Bahan Penataran P4, UUD 1945, dan GBHN (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 10 Nov 1978). Tetapi di dalam benak mayoritas “pendidik” Pancasila, dari Manggala sampai pada guru Pancasila yang berpegang pada Bahan Penataran di dalam menjabarkan implikasi metodologinya, niai-niIai itu lambat laun (atau Iebih tepat: terlalu cepat) berubah dan disederhanakan menjadi rangkaian pengetahuan. Alhasil, Pancasila menjadi tirani kata-kata kosong; tidak kurang, dan tidak Iebih. Di sini muncul sebuah fenomen yang sering sekali tidak disadari oleh mereka yang bertanggung-jawab di dalam aktivitas penataran dan pembelajaran Pancasila. Fenomen itu ialah kaburnya persepsi mereka mengenai apakah sesungguhnya esensi P4; bukan karena mereka tidak dapat membedakan mana pengetahuan dan mana nilai, tetapi karena di dalam praktik, mereka merancukan dan mencarnpuradukkan n//al sekadar sebagai pengetahuan. Setidak-tidaknya, itulah yang mulai mengemuka ketika esensi Pancasila untuk pertama kalinya ditatarkan di Istana Bogor (1 Okt 1978). Semua orang menerima bahwa yang ditatarkan memang hal yang berkaitan dengan nilai, tetapi tanpa sadar, nilai itulah yang ternyata direduksi menjadi pengetahuan verbal! Artinya: pengetahuan abstrak, tercabut dan konteks kehidupan nyata. Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang diharapkan diterapkan sebagai nilai hidup 4
dinamis Pancasila, cepat dan pasti ternyata berubah menjadi pengetahuan baku tentang Pancasila. Apa yang „diperoleh‟ seseorang dan penataran atau pendidikan pancasila akan sama dengan apa yang diperoleh oleh semua orang: karena yang dituju memang adalah keseragaman yang mutlak, maka dari bahan pelajaran yang sama, dengan pola yang sama, dengan metodologi yang sama, maka hasilnya -- kedalamannya atau kedangkalannya -diasumsikan terjamin sama. Konsekuensi yang sangat merugikan P4 menjadi semakin nyata ketika penataran mulai dimasyarakatkan. Pendekatan kognitif mendominasi metode pendidikan Pancasila. Asumsinya (yang jelas salah tetapi yang umumnya tidak disadari) adalah bahwa untuk menjadi manusia Pancasila yang baik, orang itu harus tahu banyak tentang Pancasila. Itukah penghayatan? Jelas dan tegas: bukan. Lalu bagaimana pengamalannya? Perbanyak berbicara tentang Pancasila? [Apakah mungkin karena tu, maka Pancasila memerlukan Juru Bicara?] Berbicara berapi-api dalam kesempatan apapun? Entah!! Entah? Tetapi itulah akhirnya yang dihidupkan di dalam program penataran. Pendekatan kognitif ini, pada gilirannya merangsang pendangkalan, yang paling sering dilakukan melalui hafalan sejumlah „butir‟ P4 [bayangkan: Pancasila dibutiri!], yang menghafalnya sudah tidak memerlukan pemahaman. Kita tahu cerita sedih selanjutnya, tetapi itu tidak penting lagi. Yang paling penting sekarang ialah belajar dari sejarah kesalahan kita sendiri, dengan menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara kegiatan mempelajari nilai (value) dengan belajar menilai (valueing). Apa yang paling sering (dan paling salah) dilakukan di dalam hampir semua penataran dan pendidikan Pancasila ialah menyiksa para pembelajar, dari siswa sampai duta besar, untuk sekadar belajar nilai yang berkaitan dengan ideologi Pancasila, dan tidak sedikitpun berpeluang belajar menilai, Ini menyebabkan aktivitas itu menjadi usaha pelaziman (conditioning) “berpikir” ala psikologi yang sangat behavioristik, tertutup, dogmatis, dan doktriner. Sifatnya menjadi anti pedagogis. Belajar menghayati tanpa penghayatan! Seperti belajar berenang tanpa sekalipun masuk air. 4. Mempancasilakan Dengan Sifat Kontra Pancasila Pada awalnya, pendekatan inilah yang diterapkan di Indonesia. Satu di antara penyebabnya, sebagai terekam oleh sejarah, ialah kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Telah beberapa lalu PKI berusaha mengubah, bahkan menghancurkan dan mengganti Pancasila. Di antaranya, melalui infiltrasi sistem pendidikan, penyusupan nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi, sampai pada pemberontakan berdarah di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dampaknya hampir-hampir tidak terkendali. Penguasa menjadi sangat reaktif dan supresif. Ketika literatur tentang komunisme dilarang beredar dan tidak dibenarkan diajarkan, dan ketika anggota keluarga eksponen PKI yang tidak mengena dengan kegiatan eksponen tersebut dikucilkan karena tidak bersih 5
lingkungan, kita perlu mempertanyakan efektifitas metode ini di dalam menghidupkan Pancasila. Apakah ini adalah cara yang paling tepat? Atau apakah ini bukan metode pendidikan yang sesat? Kalau ya, mengapa berpandangan begitu sempit? Mengapa begitu panik? Apakah karena pemerintah tidak berani mengambil risiko lebih jauh? Kita dapat memahami mengapa pemerintah bersikap begitu tegas dan keras (dan mungkin berlebihan) terhadap PKI yang rnembawa ideologi komunisme marxisme, yang dinilai tidak sejalan — bahkan dinilai bertentangan — dengan Pancasila, walaupun ada juga yang melihat bahwa sikap pemerintah masih terlalu lunak. Memang pada awalnya, sikap ini tidak menjadi agenda perjuangan yang tegas. Pancasila diperlakukan sangat toleran dan santai. Para petinggi dan pewaris republik ini misalnya, lebih sering meributkan tanggal lahirnya Pancasila, oleh siapa dan di mana. Ada pula di antara mereka yang lebih gemar mempersoalkan apakah ada pengganti Pancasila yang lebih baik. Walau pikiran itu tidak harus salah, tetapi agenda besar untuk menegaskan relevansi Pancasila di dalam perjuangan mengisi kemerdekaan, hampir - hampir tidak mendapat prioritas. Dalam pada itu, cengkeraman ideologi komunisme marxisme semakin menyulitkan kehidupan Pancasila. Rakyat jugalah yang menjadi korban. Lahirnya Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, dan dimulainya Penataran Calon Penatar Pegawai Negeri R.I. pada tanggal 1 Oktober 1978, adalah awal dari serangkaian strategi secara sisteatik untuk di satu pihak tetap menghidupkan Pancasila, dan di lain pihak untuk mempertahankannya dari berbagai kemungkinan pengaruh ideologi luar (dan dalam negeri !). Pemerintah mengambil sebuah sikap keras yang lebih eksplisit. Strategi dalam bentuk penataran ini bahkan dilembagakan melalui badan khusus (BP-7) di tingkat pusat sampai di daerah. Tetapi apa yang tersisa sampai sekarang? Sampai sejauh itu, tidak ada yang tampak terlalu salah. Di dalam buku pintar Bahan Penataran bahkan dengan jelas ditegaskan bahwa Penataran ini tidak merupakan indoktrinasi. Melainkan … … … merupakan gerakan untuk memahami kembali, meresapi, menghayati, dan mengamalkan gagasan-gagasan kita mengenai masyarakat yang kita cita-citakan. Tetapi apa yang terjadi sesudah itu ternyata bertentangan dengan penegasan yang dimasyarakatkan. Tanpa kemungkinan untuk berdialog terbuka secara nasional, ketika Pancasila ditegaskan sebagai sakti, sebagai perjanjian luhur Bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan secara „murni dan konsekuen‟, dan dijelaskan (?) sebagai Eka Prasetia Pancakarsa, serta diperkaya dengan berbagai ungkapan (tafsir resmi !), yang bersifat harga mati, maka tidak disangsikan lagi, P4 berubah menjadi bahan indoktrinasi, menjadi dogma yang tertutup rapat. 6
Secara filosofis, Pancasila itu sendiri bukan doktrin yang dogmatis. Tetapi dengan memperlakukannya sebagai doktrin tertutup maka -- ironinya -penataran Pancasila justru melahirkan semangat yang semakin anti penataran, yang kemudian disimpulkan saja sebagai sikap kontra Pancasila. Perhatikan: metodologi yang begitu membosankan melahirkan kesan bahwa Pancasilalah yang membosankan. Para penatar (dan guru-guru) lupa bahwa penyajian dan pendalaman sebuah isu yang menarik sekalipun, tetap memerlukan pendekatan yang menarik. The message is in the method, adalah pesan yang begitu sering ditekankan oleh para pakar psikologi komunikasi. Nilai demokrasi dapat ditransfer dengan efektif hanya dengan metode yang demokratis, tidak dengan metode otoriter. Pendidikan agar anak tidak ringan tangan dan mudah memukul tidak dapat ditanamkan oleh orangtua yang melaksanakannya dengan jalan memukul. Apakah lagi jalan yang paling mudah untuk membuat orang betul-betul bosan terhadap Pancasila kecuali hidangan ceramah-ceramah yang begitu membosankan? The message is in the method! Dengan pendekatan yang semakin doktriner, metodologi memasyarakatkan P4 memancing cemoohan, cibiran, pelesetan, sarkasme, kebosanan, kebencian, kepura-puraan, penghinaan, yang semuanya bermuara pada semakin hilangnya relevansi P4, dan berlanjut pada hilangnya penghormatan terhadap Pancasila. Tetapi mengapa mekanisme pendidikan Pancasila kehilangan kepekaan, kehilangan segala kesegaran, segala keindahan, segala kewajaran? Apakah untuk membuat Pancasila nampak supra keramat? Ah, apanya yang keramat? Di dalam masyarakat luas, dampak negatif itu makin lama makin menjadi lebih masif. Di kalangan pemegang kekuasaan, P4 menjadi convenient tool, alat politik praktis yang tersedia, yang dengan mudah digunakan untuk membedakan dan memisahkan manusia Pancasila dari yang bukan, berdasarkan paranoia, dengan sistem reward-n-punishment yang seringkali menggelikan, kalau tidak mengerikan. Akibat selanjutnya ialah bahwa manusia Indonesia gagal menjadi bangsa Pancasila, yang hidup sebagai bangsa seasal, sedarah, dan senafas. Sebaliknya, manusia Indonesia terpaksa terbagi dua : golongan kami dan golongan mereka. Yang Pancasilais dan yang bukan. Yang pro dan yang anti. Yang dipromosikan (rewarded) dan yang dihukum (punished). Sebagai alat, Pancasila menjadi anti pedagogis, anti budaya berbangsa, dan semakin tidak bernilai manusiawi. Alat itu gagal menumbuhkan komitmen bahwa setiap warga negara pertama-tama adalah warga Indonesia Pancasila, dan baru sesudah itu dia menjadi warga Indonesia dengan kekhususan yang lain. Artinya, tidak seharusnya ada warga yang merasa memiliki hak prerogatif lebih Pancasila dari yang lain. GOLKAR tidak seharusnva rnengklaim lebih Pancasila dan PPP, misalnya Pegawai negeri tidak ada alasan merasa lebih Pancasila dari “orang swasta”. Yang sudah ditatar P4 lebih istimewa dari yang tidak. Tetapi apa yang terjadi? Metodologi memasyarakatkan P4 menjadi metodologi bunuh diri. 7
5. Pendidikan Pancasila yang Mengindonesiakan Untuk memastikan agar metodologi pendidikan Pancasila tidak lagi mengotak-kotakkan manusia Indonesia seperti yang terjadi di masa lampau, pendidikan ke depan harus dengan sadar direkayasa menjadi pendidikan untuk seluruh bangsa. Ini a.l. berarti bahwa pendidikan ideologi harus menggunakan bahasa Pancasila sebagai hahasa bangsa, bukan sekedar sebagai bahasa Indonesia dalarn arti sesempit mata pelajaran bahasa di sekolah. Bahasa bangsa bermakna bahasa yang menyuarakan dan memihak pada kepentingan dan kebutuhan seluruh bangsa: bahasa kehidupan. Pemimpin harus mempelajarinya karena bahasa yang diperlukan haruslah realistis dan bermakna. Bahasa Pancasila bukan bahasa tradisi; bukan bahasa feodalisme; bukan bahasa partai politik; bukan bahasa birokrasi, tetapi bahasa kehidupan seluruh rakyat! Bahasa itu harus membumi yang mudah dipahami, bukan bahasa visi misi yang hanya mampu melahirkan mimpi dan ilusi. Yang terpenting ialah bahwa bahasa bangsa itu adalah bahasa yang hidup sebagai living realities, keluar sebagai suara hati bangsa, bukan sebagai bahasa yang diteriakkan ke daun telinga yang justru memekakkan mereka. Bahasa bangsa adalah bahasa yang diucapkan aktif dan dalam, bukan yang didengar pasif dari luar. Pancasila yang sebenar-benarnya Pancasila harus tumbuh, teruji, bermanfaat, dan bertambah kuat di dalam kehidupan yang nyata, bukan di dalam ruang penataran. Di dalam segala segi kehidupan yang riil itulah, Pancasila d/aktualisasikan. Ini yang agaknya memotivasi dan membangkitkan semangat para guru dan dosen Pancasila di dalam seminar agaknya dapat untuk mencari model metode partisipatif pendidikan Pancasila. Arah pemikiran ini memang benar, karena dengan mencari model metode partisipatif, mereka sebenarnya sekaligus menilai bahwa metode yang lalu tidak partisipatif, dan bahwa metode yang tidak partisipatif itulah yang menyebabkan Pancasila mati suri. Betul, tetapi belum seluruhnya. Arah pemikiran itu masih harus diperkaya dengan berbagai penegasan, karena sebenannya metode pendidikan Pancasila di masa lalu bukan tidak partisipatif dan bukan tidak mengenal dialog, walaupun dalam konotasi yang berbeda dari yang dimaksud sekarang. Pemerintah paling diktator pun memerlukan pantisipasi masyarakatnya. Hanya saja, partisipasi dan dialog masyarakat di dalam pemerintahan diktator Orde Baru terbatas pada keikutsertaan rakyat dalam permainan politik yang difasilitasi dan disutradarai oleh kekuasaan, tetapi tidak berlanjut pada perubahan. Dialog adalah untuk mengondisi dan memperkuat keseragaman pikir, bukan untuk mengundang kreativitas, pemikiran kritis, dan perbedaan. Perbedaan bukan saja tidak ditolerir, tetapi tidak dimungkinkan. Partisipasi sekedar untuk mendemonstrasikan solidaritas, bukan untuk menyuburkan gairah persatuan dan kesatuan. Ringkasnya, semua itu hanya 8
sandiwara politik. Metode partisipatif tidak akan berguna apabila tidak berakhir dengan perubahan dalam arti pemberdayaan dan kemandirian. Pembendayaan dan kemandirian itulah yang membedakan peran dan makna metode partisipasi di masa lalu dengan yang diharapkan terjadi sekarang dan seterusnya. Lima pokok yang diusulkan Yayasan dan Asosiasi Guru dan Dosen Pendidikan Pancasila Jawa Timur perlu dikaji Iebih dalam dan komprehensif dari sudut yang lebih luas sebagai yang implisit dan eksplisit dikemukakan di dalam tulisan ini. Motivasi “perjuangan tetap eksisnya mata ajar Pendidikan Pancasila di jenjang Pendidikan Dasar, Sekolah Menengah Umum serta mata kuliah Pendidikan Pancasila di Perguruan tinggi”, menyentuh hanya sebagian dan persoalan pendidikan ideologi Pancasila. Kita harus lebih kritis. Apabila tidak, maka pokok-pokok yang diusulkan itu dapat tetap terperangkap di dalam konvensi berpikir masa lalu yang justru akan (harus) ditinggalkan. Dari sudut urgensi reformasi fundamental kehidupan politik berbangsa, perjuangan memprioritaskan tetap eksisnya mata pelajaran Pancasila menjadi terlalu sempit. Peningkatan efisiensi pendidikan di jalur formal hanya bisa berhasil apabila didukung secara menyeluruh dan sinkron dengan usaha-usaha di luar jalur pendidikan sekolah, yang justru harus mendapat peran jauh lebih besar dari masa-masa sebelumnya, sebab di situlah pada awalnya konsep dasar dan amanah Pancasila menghadapi ujian yang sesungguhnya. Pengalaman di masa lalu memperkuat perlunya pendekatan yang jauh lebih komprehensif. Di dalam lapisan masyarakat keberadaan Tuhan makin sering diperolokolokkan dan diabaikan, di nilai kemanusiaan tercabik-cabik oleh kebiadaban, rasa persatuan terancam oleh rasa permusuhan, kedaulatan justru makin menyengsarakan rakyat, kerinduan akan keadilan hanya berakhir dengan kekecewaan yang mendalam, di situlah seharusnya keagungan Pancasila tampil memberikan berkah. Di situlah pendidikan Pancasila menjadi maha penting. Tetapi di mana Pancasila itu sekarang? Masalah apa yang mencuat di dalam kehidupan sekarang yang diangkat di dalam pendidikan Pancasila? Problematik pembinaan bangsa menjadi juah lebih musykil hari ini (dan besok) dibandingkan dengan kondisi yang dominan di masa lalu. Sedikitdikitnya, kita semua perlu mempelajari implikasi meluasnya semangat globalisasi yang dapat merupakan tantangan langsung semangat nasionalisme, perkembangan ilmu dan teknologi yang tidak jarang membawa konsekuensi moral, pengantian generasi yang semakin sering terjadi tanpa persiapan, dan desentralisasi serta otonomi daerah yang berpotensi mengancam keindonesiaan. Karena itu, sebagai bahan pertimbangan seianjutnya, sangat diharapkan agar di dalam Iokakarya-lokakarya dieja secara lebih eksplisit implikasi pendekatan yang bertolak dari pemikiran mendasar bahwa Pancasila harus dipahami dan ditangani sebagai ideologi terbuka, dengan karakteristik utama sebagai berikut: 9
(1) visinya ke depan. (2) jiwanya demokratis. (3) problematiknya membumi. (4) fokusnya kontekstual. (5) keberpihakannya populis. (6) implikasinya realistis. Ukuran keberhasilan kita di dalam membangun sebuah Indonesia yang berdiri di atas nilai-nilai Pancasila ialah apabola kita sudah dapat dengan lega menyaksikan proses perkembangan Indonesia sebagai proses perkembangan Pancasila, dan sebaiiknya, proses perkembangan Pancasila sebagai proses perkembangan Indonesia. Ini hanya dapat diwujudkan apabila kita semua secara konsekuen memperjuangkan agar negara bangsa ini dibangun dari, oleh, dan untuk kepentingan bangsa. Kalau kedua-duanya berjalan sendiri-sendiri maka tidak salah bila disimpulkan bahwa Pancasila belum ada di Indonesia, atau Indonesia belum berpancasila. Kalau tidak begitu, kita mau bilang apa agi? Makalah yang berkaitan: (1) Winarno Surakhmad, Prinsip dan Kaedah Sosialisasi Nilai Ideologi, Akademi Pengajian Brunei 1997. (2) Winarno Surakhmad, Pancasila sebagai Ideologi Terbuka: Implikasi Sebuah Pilihan, BP-7 Pusat 1997.
10