PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAN SEBAGAI PENDIDIKAN KERUKUNANA ANTAR UMAT BERAGAMA Zulkarnain1 dan Matang2 Mahasiswa Pascasarjana Program Studi PPKn Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Kajian Penididikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dewasa ini hanya berkutat pada kewarganegaraan sebagai sebuah status dan Pancasila hanya sebagai jargon, sudah seharusnya PPKn bukan lagi sebuah jargon dan sebuah studi tentang status kewarganegaraan semata namun sebagai sebuah praktik kewarganegaraan dengan berlandaskan Pancasila. Pendidikan kewarganegaraan selalu bertujuan untuk mempersiapkan warganegara muda yang aktif dan baik (good and active citizen), namun pendidikan kewarganegaraan sangat jarang mendalami tentang kewarganegaran sebagai sebuah praktik dalam kehidupan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, lebih-lebih kajian multikulturalisme agama, oleh sebab itu membumikan konsep pendidikan kewarganegaraan sebagai sebuah pendidikan kerukunan umat beragama (religious harmony education) dalam kajian pendidikan kewarganegaran baik di tingkat persekolahan maupun kemasyarakatan secara komprehensif dan berlanjut menjadi sebuah keniscayaan. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan di Indonesia sebagai wadah pembangunan warga negara muda (youth citizen) yang transformative, toleran dan solutif ditengah-tengah tingginya intensitas intolernasi di Indonesia dewasa ini. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan menjadi salah satu harapan terbesar bangsa Indonesia dalam membangun watak para warga negara muda sebagai garda terdepan dalam menjaga keragaman dalam bingkai kerukunan antar umat beragama yang berselimutkan Bhinneka Tunggal Ika. Kata kunci: Pendidikan kewarganegaraan, warga negara muda, kerukunan antar umat beragama
Pendahuluan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia merdeka merupakan landasan negara yang tak terbantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditanah ibu pertiwi Republik Indonesia. Pancsila beserta lima silanya merupakan dasar fundamental warga negara Indonesia yang wajib dilaksankan sebagai bentuk warga negara Indonesia yang baik (Indonesian Good citizen). Salah satu permasalahan bangsa Indonesia dalam membangun watak warga negara yang baik (good citizen) sejak puluhan tahun hingga sekarang selain kemiskinan adalah kerukunan antar umat beragama ditengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Kebijakan sentarlistik yang diterapkan pada masa orde baru tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di berbagai daerah di tanah air khususnya tentang permasalahan keagamaan dengan cara damai, kritis
dan rasional. Kontrol ketat yang dilakukan pada orde baru diberbagai bidang kehidupan masyarakat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai keragaman (diversity) menjadi keseragaman dengan dalih kepentingan nasional. Dampak dari hal tersebut terasa hingga pasca reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Konflik bernuansa politik dan keagamaan seolah-olah menjadi momok menakutkan pasca reformasi hingga saat ini. Konflik keagamaan semakin marak terjadi bebagai daerah-daerah di Indonesia, bahkan Jakarata sebagai ibu kota negara menjadi sarang konflik keagaamaan teresar akhir-akhir ini. Berdasarkan data yang rilis oleh kementrian agama dan beberapa lembaga survei pada tahun 2015-2016 tentang kerukunan umat beragama seperti Wahid Institute, Setara Institute dan majalah Tempo menempatkan provinsi-provinsi besar di Indonesia dimana menduduki peringkat teratas yakni Jawa Barat dengan 41 jumlah peristiwa dan DKI Jakarta dengan 31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
jumlah peristiwa menempatkan kedua provinsi sebagai provinsi paling intoleran dalam kehidupan beragama. Secara statistik Setara Institute melakukan riset panjang tentang toleransi beragama di indonesia sejak tahun 2007 hingga 2016 bahkan tarus berlanjut hingga sekarang, selama kurun waktu 2007 hingga 2016 minoritas merupakan korban terbesar dalam tindakan dan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (Halili, 2017). Jika dihitung ditas kertas mungkin persentasenya tidak menakutkan namun jangan salah hal ini bagaikan harimau muda yang kapan saja siap menerkam kemajemukan agama di Indonesia, dengan kata lain kerukunan umat beragam di Indonesia sangatlah menghawatirkan. Kerukunan umat beragama sesungguhnya menjadi pekerjaaan rumah kita bersama sebagai warga negara dengan pemerintah Indonesia dalam menjaga dan merawat kerukunan antar umat beragama melalui berbagai cara, sudut pandang, dan profesi yang kita miliki. Salah satu upaya dalam menjaga dan merawatnya yakni melalui dunia pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu tombak kemajuan negara memiliki posisi yang strategis dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan yang harmonis dan toleran untuk difahami dan dipraktikkkan ssebagai sebuah praktik kewarganegaraan (act of citizenship) oleh warga negara dan khsusnya warga negara muda (youth citizen) sebagai penerus kehidupan berbangsa dan bernegara yang religious dan harmonis. Pendidikan kewarganegaraan di Asia memiliki ciri khas di bandingkan dengan pendidikan kewarganegaraan barat yang cenderung sekuler yang mengeyampingkan kajian agama dalam pendidikan kewarganegaraan, sedangkan kajian kewarganeagaraa di Asia salah konsennya adalah membangun kerukuan antar umat beragamaan (religious harmony) ditengah-tengah diversitas agama di Asia, hal ini merupakan salah satu identitas kajian pendidikan
kewarganegaraan di negara-negara Asia (Lee, 2004). Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dalam konteks Indonesia di era kontemporer bukan lagi pendidikan yang bertujuan sebagai upaya pendidikan yang berbau ideologis semata, apalagi sebagai hanya sebagai alat pemerintah untuk mempertahankan status quo (melanggengkan kekuasaanya) dan tindakan anarkisme atas nama Pancasila namun pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan di era ini memiliki tujuan yang lebih aplikatif dan solutif dalam memabngun kemampuan berfikir peserta didik tentang multikulturalisme dan toleransi beragama. Menurut David Kerr (1999) dalam artikelnya yang berjudul “Citizenship education in the curriculum:an international review” mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan pendidikan kewarganegaran di suatu negara salah satunya adalah sejarah nasional sutau negara. Secara historis Indonesia merupakan negara Bhinneka Tunggal Ika atau dengan Bahasa lain negara multicultural oleh sebab itulah salah satu focus pendidikan kewarganegaran Indonesia adalah terus merawat dan menjaga multikulturalisme Indonesia secara kontinyu dan konsisten. Indonesia sebagai nation-state memiliki sejarah panjang tentang multikulturalisme yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan keberagaman bangsa Indonesia. Keberagaman ini tak jarang menimbulkna berbagai konflik horizontal diberbagai daerah di Indonesia dari puluhan tahun yang lalu hingga peristiwa-peristiwa hari ini yang menggambarkan bahwa ke-Bhinnekaan bangsa Indonesia terus tergoyahkan oleh koflik-konflik yang bernuansa politik dan agama. Kehadiran pendidikan dalam memberikan solusi dan upaya-upaya alternative lain yang bersifat kontinyu sangatlah dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, salah satunya ialah Pendidikan Pancasila dan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Kewarganegaraan sebagai pendidikan yang bertujuan menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia (Indonesian religious harmony). Hal ini merupakan cita-cita besar para pendiri bangsa (the founding Father) Indonesia sejak bertahun-tahun lamanya. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia sudah seyogyanya kita bangun dan rawat bersama melalui berbagai sudut pandang keilmuan. PPKn sebagai disiplin ilmu dan mata pelajaran wajib disemua jenjang pendidikan formal di Indonesia sangat memiliki potensi yang besar dalam mewujudkan kerukunan umat beragama (religious harmony) di Indonesia . Oleh sebab itu sangat penting mengkaji PPKn dalam persfektik multikulturalisme dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. PEMBAHASAN a. Sejarah Kerukunan umat beragama di Indonesia Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyang Bangsa Indonesia yang di ambil dari penggalan kakawin Sutasoma maha karya Mpu Tantular pada zaman Keprabonan Majapahit pada abad 14 yang berarti bercerai berai tetapi tetap satu. Motto ini digunakan sebagai ilustrasi jati diri atau identitas bangsa Indonesia yang secara natural dan sosio kultural yang terbangun diatas keberagaman suku, agama, Bahasa, golongan dan etnis (Winataputa, 2012). Indonesia sebagai negara medeka pada tahun 1945 telah menentukan dasar negara Indonesia merdeka oleh para (founding father) pendiri bangsa Indonesia dengan nama Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila yang digali dan disusun dari sejarah dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya (Latif, 2011). Berbicara Pancasila tentu tidak lengkap rasnya jika tidak menampilkan sang penggali nilai-
nilai Pancasila yakni Putra Sang Fajar, Soekarno. Ditengah-tengah perdebatan para pendiri bangsa tentang pemilihan dasar negara Indoneia menggunakan dasar negara islam atau tidak ia menjadi penegaha yang bijka di tengahtengah pertentangan Indonesia sebagai negara agama, hal ini dapat ditelusuri dalam risalah Sidang Badang Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam risalah itu digambarkan secara jelas bagaiamana beberapa para the founding father kita bersikukuh untuk memperjuangakan negara agama dalam hal ini islam sebagai dasarnya, namun hal itu gagal dilakukan sehingga membuat kesepakatan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi bukan negara sekuler (Latif, 2011; Muslih & Qohar, 2014:37-39). Perdebatan sila ketuhanan menjadi topik bahasan yang sangat sensitive pada saat itu karena menyangkut keyakinan beragama warga negara Indonesia. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan itu tidak pernah usang untuk diperdebatkan oleh para penolak perubahan sila pertama “kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemelukpemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa . Akibatnya tidak jarang setiap orang memiliki tafsir masing-masing terhadap sila pertama Pancasila. Namun rujukan yang paling relevan dalam memberikan tafsir pada sila pertama adalah statement Soekarno pada sidang BPUPK. Sebagai salah satu statement paling pokok dalam menafsiran sila pertama (ketuhanan) (Halili, 2017), Soekarno mengatakan bahwa “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia harus berTuhan, Tetapi masingmasing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.... Marilah semuanya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
berTuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoism agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”. Jika dicermatai maka sesungguhnya kerukunan antar umat Bergama merupakan sebuah cita-cita para pendiri bangsa Indonesia sejak merdeka yang di tuangkan dalam sila pertama pancasila. Namun yang lebih penting dari hal tersebut adalah bagaimana Pancasila bukan hanya di jadilan sebagai jargon ideologis semata, namun Pancasila sebagai dasar negara, filosofis, ideologis, pandangan hidup dan menjadai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Pancasila selanjutnya di diturunkan menjadi konstitusi yang lebih kongkrit, aplikatif dan mengikat seluruh warga negara Indoneia. Jaminan konstitusional ini dapat kita lihat pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneia tahun 1945 (UUD 1945). Pancasila sebagai dasar negara telah memberikan jaminan yang jelas atas kebebabasan berkeyakinan dan beragama sejak negara Indonesia merdeka. Setidaknya ada dua bentuk tafsir sila Pancasila yang paradoksial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia sejak Pancasila di lahirkan hingga sekarang. Pertama, agama/kepercayaan hanya sebagai sebuah formalitas kenegaraan sebagai bentuk legalisasi agama warga negara yang dominan secara jumlah. Kedua. Sila ketuhanan sering dimaknai sebagai upaya agama islam melegitimasi dominasi agama di Indonesia sehingga menjadikan agama islam agama
utama sedangkan yang lainya agama kedua dan seterusnya. Akibatnya kedudukan agama tidak sama, sehingga agama yang lain cenderung terpinggirkan dan menjadi minoritas-minoritas agama di Indonesia. Sebagai negara demokrasi sudah seyogyanya kebebasan beragama di Indonesia menjadi hak mutlak warga negara. Secara teoritis negara demokrasi memiliki kewajiabn untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak warga negara terutama hak-hak warga negara minoritas. Karena hak minoritas merupakan bagian dari HAM itu sendiri sehingga Indonesia sebagai negara demokrasi harus menjadikan hak minoritas sebagai salah satu prioritas yang terintegrasi dalam system politik, hokum dan kebijakan pemerintah. Jaminan kebebasan beragama secara implisit dijelaskan dalam pasal 28 Edalam UUD 1945. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa negara Indoneaia secara hokum memberikan jaminan kepada setiap warga negara Indoneaia untuk memeluk beragama/berkeyakinan berdasarkan agama yang diyakininya. Sejarah panjang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia menunjukkan bahwa betapa pentingya upaya memberikan hakhak warga negara dalam memilih agama dan keyakinan yang diyakininya. Berdasarkan pentingnya hak tersebut maka beragama termasuk dalam nonderogable right yakni hak warga negara yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau tidak dapat dicaput oleh apapun. Hala ini dinyatakan dalam pasal 28I ayat 1 UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda dan dikurangi oleh apapun.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
b.
Pendidikan Kewarganegaraan dan Warga negara muda yang toleran Secara umum pendidikan kewarganegaraan dalam konteks Asia memiliki focus kajian dalam upaya menajaga keharmonisan kehidupan warga negara di tengahtengah kehidupan multicultural di Asia. Keragaman agama di Asia menjadi salah satu tantangan dan pekerjaan rumah para negaranegara di Asia. Negara-negara Asia yang termasuk terus mengembangkan dan membangun focus kajian kerukunan umat beragama (religious harmony) dalam pendidikan kewarganegaraan adalah Malaysia, China, Hongkong, Solomon, Singapura (Lee, 2004). Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang bertujuan untuk bagaiamana membangun dan mempersiapkan warga negara muda (youth citizen) untuk menjadi warga negara yang baik dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Kerr, 199; Winatarputra, 2012). Pendidikan kewarganegaraan dalam konteks Indonesia tentu akan mengidealkan output beruapa warga negara muda yang baik dan aktif berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar dan ideology bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan beragama keharmonisan dalam kehidupan beragama tidak akan mungkin berjalan dengan baik jika para warga negara tidak terus disadarkan akan pentingnya toleransi beragama melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan. Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia cenderung melihat kewarganegaraan hanya sebagai sebuah status legal formal dari negara sebagai warga negara. Hal inilah yang perlu kita fahami kembali bahwa sesungguhnya
pendidikan kewarganegaraan bukan terus membahas kewarganegaraan sebagai sebuah status semata namun bagaiman pendidikan kewarganegaraan sebagai sebuah tindakan dan praktik kewarganegraan (Kalidjernih, 2011). Hal ini dapat kita lihat bahwa pendidikan kewarganegaran sejak orde baru hingga sekarang pendidikan kita masih menekankan hanya pada ranah kognitif sebagai titik utama pendidikan kewarganegaraan (Wintaputra, 2012). Warga negara muda adalah garda terdepan sebagai generasi penjaga dan pembangun kewarganegaraan sebagai sebuah parktik bukan hanya sebagai status semata. Bahkan tim peduli reformasi pendidikan (1999) mengatakan bahwa sangat penting membangun upaya pemetaan persatuan, dan kesatuan bangsa, alih generasi dan pemberdayaan generasi muda atau warga negara muda (youth citizen) untuk masa depan. Persiapan warga negara muda dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dengan bentuk toleransi beragama merupakan keharusan bagi para parktisi dan ahli dalam bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara umum pendidikan kewarganegaraan memiliki untuk membangun kompetensi atau kemampuan warga negara yang terdiri dari “civic knowledge, civic dispotitions, civic skill, civic competence, civic confidence, and civic commitment” (Branson, 1999). Semua kemampuan tersebut bertujuan untuk mempersipakan warga negara yang baik, warga negara yang baik idealnya dalam konteks Indonesia adalah warga negara pancasilais. Nilai ketuhanan dalam Pancasila memberikan legalitas formal akan pentingay menjaga dan menghormati keberagaman agama di Indonesia.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Sebagai warganegara yang baik semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” semakin memperkuat bahwa sesungguhnya warga negara Indonesia yang baik ialah yang mampu menjadikan praktik toleransi antara warga negara yang berbeda, suku, ras, etnis, golongan dan agama. Dalam kata lain kerukunan umat beragama merupakan amanat para pendiri bangsa Indoneia untuk terus di jaga dan dirawat dengan berbagai sudut pandang keilmuan dan profesi dan sebuah keharusan bagi pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan untuk terus membangun dan mempersiapkan warga negara muda dalam tataran formal dan praktik kewarganegaran. Namun pertanyan besar akan mucul ketika dianalisa lebih mendalam tentang wacana pembelajaran pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Dimankah kategori pendidikan kewarganegaraan Indoneia?. Menurut david Kerr (1999) ada dua kategori pendidikan kewarganegaraan di dunia yang pertama kategori minimal dan yang kedua kategori maksimal. Berdasarkan tesis tersebut Indonesia termasuk dalam kategori minimal karena pendidikan kewarganegaraan Indonesia memiliki ciri-ciri “Thin, Exclusive , Elitist, formal, Content led, Knowledge based, Didactic transmission, Easier to achieve, measure in practice” sedangkan beberapa negara di eropa dan Amerika sudah menerapkan standar maximal dalam pendidikan kewarganegaraannya dengan ciriciri “Thick, Inclusive, Activist, Participative, Process led, Values based, Interactive interpretation, More difficult to achieve, and measure in practice”. Jika dianalisis lebih mendalam standar maksimal tersebut maka pendidikan kewarganegaran tersebut dijadikan
sebagai sebuah praktik atau tindakan bagi warga negara, itu artinya pendidikan kewarganegaraan pada kategori maksimal bertujuan mempersiapkan warga negara muda sebagai penerus bangsa agar benarbenar menerapkan dasar-dasar negara yang telah ditentukan secara konstitusional oleh pemerintah. Salah satunya adalah mempersipakan warga negara muda untuk toleran terhadap perbedaan suku, ras, budaya, dan agama. Berdasarkan hal tersebut sudah sepatutnya pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mempertimbangkan untuk beranjan ke kategori pendidikan kewarganegaraan maksimal dengan menerapkan pendidikan kewarganegaran sebagai sebuah praktik atau tindakan kewarganegaran dalam menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Sehingga cita-cita besar para pendiri bangsa Indonesia benar-benar bisa terwujud melalui pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan di Indoneisa. PPkn sebagai di era kontemporer harus mulai bangkit dari hanya mengajarkan kewarganegaraan dan Pancasila sebagai sebuah status dan jargon semeta. Namun menjadikan kewarganegaraan dan Pancasila sebagai way of life warga negara Indonesia. Sehingga diharapkan akan muncul warga negara muda (youth citizen) sebagai garda terdepan menjaga toleransi sekaligus sebagai penggagas dan pemberi solusi untuk berbagai masalah kerukunan umat beragama di Indonesia. c. PPKn sebagai pendidikan kerukunan umat beragama Indonesia dalam konteks negara-bangsa memiliki sejarah panjang akan keragaman diberbagai aspek kehidupan warga negaranya. Dalam konsep negara modern hal ini dapat kita lihat dari sejak
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
diprol;a,irlam kemerdekaan bangsa indoneia oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 19945 (Winataputra, 2012). Hal ini dijadikan sebagai tombak awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara modern yang berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi perbedaan dalam memeluk agama, hal ini yang menjadi dasar terbentuknya undang-undang dasar dan undangundang lainya selama tiga rezim pemerintahan Indonesia hingga saenat ini. Dalam praktik kehidupan warga negara Indonesia sejak merdeka hingga sekarang dinamika kehidupan beragama terus menjadai perdebatan panjang ditengahtengah masyarakat dan para intelektual dan politisi. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan ditengah perbedaan bangsa Indonesia terus mendapat ujian hingga saat ini, hal ini disebabkan oleh banyak factor seperti etnosentrisme, fanatisme, sukuisme, primodilisme sempit dan berbagai factor-faktor komplesk lainya. Berdasarkan hal itu sangat penting kiramya dalam tulisan ini ingin mengangkat kembali KeBhinnekaan bangsa Indonesia dalam konteks pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dalam rangka menjaga dan merawat kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Membangun Toleransi sebagai praktik kewarganegaraan Salah satu tantangan PPKn dalam kehidupan beragama di Indonesia adalah toleransi umat beragama. Toleransi beragama meupakan sebuah kewajiban yang menjadi dasar warga negara Indonesia dalam bertindak dan berprilaku dalam menjaga dan merawat keharmonisan beragama di Indonesia. Wacana kerukunan antar umat beragama bukan merupakan barang baru di Indonesia bahkan telah digagas sejak zaman orde lama dan orde baru sekitar
tahun 1970-an namun hal ini terus menjadi permasalahan yang sangat penting dan harus terus menerus dibangun dalam konteks akademis. Secara konstitusional PPKn menempatkan tujuan pendidikan nasional sebagai acuan dalam menjalan misi negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman dan beraqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan UU nomor 20 tahun 2003. Pancasila sebagai ideologi dan dasar konstitusional negara-bangsa (nation-state) Indonesia merupakan citacita luhur dan kekuatan bangsa Indonesia dalam menjaga toleransi antar umat beragama. Maka kekuaatan itu terletak pada “hati” bangsa Indonesia. Dalam rangka merawat “hati” tersebut diperlukan beberapa hal yang sangat penting untuk hati bangsa Indonesia tetap terjaga dari berbagai penyakitpenyakit disintegrasi antar umat beragama. Dalam menjaga toleransi antar umat beragama PPKn sebagai mata pelajaran tidaklah cukup untuk terus mengkampanyekan dan memabngun budaya toleransi antar umat beragama di Indonesia, dibutuhkan berbagai macam komponen dan pihak-pihak yang mendukung toleransi beragama di lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat lebih-lebih pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendapat diatas didukung oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dalam kongres Pancasila IX di Universitas Gajah Mada, ia memaparkan bahwa dalam merawat Pancasila sebagai hati bangsa Indoneia tentu tidak hanya dilakukan melalui sekolah atau lembaga pendidikan. Urusan hati bukan hanya urusan sekolah, guru, dan bahkan bukan urusan manusia semata. Hati adalah urusan sang pemilik hati yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya jika hanya sekedar melalui lembaga pendidikan hati tidak selalu berhasil diperbaiki. Hal ini sangat relevan dalam konteks
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
masyarakat Indonesia saat ini banyak kita temukan orang-orang yang bahkan memiliki pendidikan tinggi namun masih melakukan tindakan-tindakan yang diluar nilai-nilai ketuhanan termasuk melakukan intoleransi beragama. Fakta ini menjadikan betapa pentingnya PPKn dimasyarakatkan, dalam artian bahwa seharusnya PPkn tidak hanya ada dalam konteks sekolah namun PPKn di ajarkan di tengahtengah masyarakat sebagai upaya kongkrit sosialisasi nilai-nilai toleransi beragama di Indoneia. Salah satu langkah kongkrit misalnya sosialisai keberagman di masyarakat yang dilakukan oleh komunitas PPKn di berbagai tempat di Indonesia. Melihat kenyataan tersebut sesungguhnya permasalahan dan solusi dari masalah bangsa Indonesia dalam toleransi beragama adalah bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam kata lain konflik intoleransi di Indonesia tidak selalu disebabkan oleh keterlibatan bangas dan negara lain. Solusi yang ditawarkan PPkn dalam menajaga toleransi beragama akan berjalan lancer jika masyarakat sekolah formal dan masyarakat Indonesia bekerjasama dalam merawat Ke-Bhinekaan bangsa Indonesia. Pendidikan kerukunan umat beragama Membangun kerukunan umat beragama di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan atau mengedipkakan kelopak mata namun benar-benar harus di bangun sejak dini dan diberbagai bidag kehidupan masyarakat, hal ini di sampaikan oleh Bupati Alor pada konres Pancasila IX di Universitas Gajah Mada pada juli 2017 lalu. Lebih lanjut ia menagtakan bahwa sinergi antar sejarah, pemerintah, tokoh agama, sekolah, dan masyarakat memiliki kontribusi yang sangat besar dalam membangun kesadaran akan indahnya perbedaan. Kabupaten Alor menjadi salah satu daerah di Indoneia yang mampu menjaga kerukunan antar umat beragama, berdasarkan prestasi itu Kabupaten Alor mendapatkan
penghargaan sebagai daerah terharmonis dalam kehidupan beragama. Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada Kabupaten Alor sebagai Kabupaten yang berhak menerima Harmony award 2016 dan kembali menyabet piala tersebut pada tahun 2017. Prestasi menjaga kerukunan merupakan bukti bahwa kerukunan umat beragama di Alor sangat terjaga dan terpelihara. Pengalaman itu sangat penting kita angkat dan dijadikan sebagai teknik dan metode dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dalam pendidikan sebagai misi dalam menjaga kerukunan umat beragama dalam mata pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Dalam mewujudkan hal tersebut harus dimulai dengan perubahan orientasi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang selama ini lebih menekankan kognitif saja. Perubahan orientasi PPKn dalam proses dan tujuan pembelajaran di harapkan mampu memberikan peran aktif peserta didik dalam mengamati dan memahami keberagaman di Indonesia. Dalam menjalankan misi pendidikan kerukunan umat beragama dengan ppkn ada beberapa hal yang harus ditiru dari wilayah-wilayah di indonesia yang mampu dan terus menjaga kerukunan umat beragama di berbagai daerah-daerah di nusantara. salah satunya adalah kabupaten alor, adapun beberapa yang menjadi dasar terjalin kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: (1) membangun kesadaran (awareness) seluruh potensi – pemerintah dan masyarakat - bahwa menciptakan harmoni sosial adalah cara mengelola keragaman untuk mencapai satu tujuan kolektif; (2) membangun semangat (enthusiastic) seluruh kalangan – pemerintah dan masyarakat – bahwa melayani rakyat dengan program yang sesuai dengan keperluan dasar dan aspirasi rakyat harus dilakukan secara nyata dan terasakan, dengan meggerakkan lini birokrasi sebagai ekstensi pelayanan; (3) membangun apresiasi (appreciation)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
terhadap inisiatif positif, kreatif, inovatif dan produktif, baik dari kalangan masyarakat maupun kalangan penyelenggara pemerintahan; (4) membangun penghormatan (respect) terhadap seluruh unsur pimpinan formal, informal dan non formal, sebagai teladan bagi masyarakat – rakyat; (5) membangun cinta kasih – rahman dan rahim antar sesama warga masyarakat – rakyat, dimulai oleh dan dari lingkungan para pemimpinnya. Lima prinsip-prinsip tersebut, yang harus terus kita tanamkan kepada peserta didik diberbagai jenjang pendidikan melalui pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, sehingga peserta didik sadar masyarakat Indonesia yang beragam dan terikat dalam satu kesatuan integral masyarakat, negara dan bangsa untuk mencapai satu tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan rakyat Indoneia. Di dalam kebahagiaan itu terdapat kesejahteraan yang harus dapat dinikmati sebagai wujud nyata keadailan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Warga negara Indonesia terlahir berbeda dalam berbagai hal termasuk perbedaan agama, namun perbedaan tersebut tidak untuk saling memusuhi dan membenci sesamanya. Karena perbedaan itu menyadarkan kita untuk saling mendekatkan yang jauh, mengkaribkan yang dekat, guna mengikat diri dalam komitmen yang sama, yakni saling menghormati sesuai dengan nilai-bilai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan diatas sudah saatnya pendidikan kewarganegaraan Indonesia dengan nomenklatur Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) mulai untuk menerapkan PKn dalam level maksimal dalam bentuk PPKn sebagai pendidikan kerukunan antar umat beragama (religious harmony) sebagai sebuah bentuk perwujudan dari citia-cita luhur para pendiri bangsa Indonesia. Selain itu sebagai sebuah bentuk pelaksanaa nilai-
nilai Ke-Bhinnekaan di Indonesia. Selain itu rekonstruksi pemahaman tentang kewarganegaraan sebagai sebuah praktik juga merupakan sebuah keharusan bagi para praktisi PPKn di lapangan yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap pemahaman peserta didik tentang kewarganegaraan sebagai sebuah praktik. Lebih-lebih praktik kewarganegaraan dalam menjaga dan mempertahankan kerukunan antar umat beragama. Oleh sebab itu PPKn sebagai sebuah praktik kewarganegaraan harus di berikan sejak dini dalam rangka mempersiapkan warga negara muda (youth citizen) yang transformative dan solutif menghadapi berbagai permasalahan kerukunan umat beragama di Indonesia pada saat ini dan dimasa depan. DAFTAR PUSTAKA Branson, M. S. (1999). Belajar Civic education dari Amerika. Yogyakarta: Lkis Djobo, A. (2017). Merawat Keberagaman Indonesia. Disampaikan pada konres Pancasila IX yang di selanggaran oleh pusat studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Lee, W.O. (2004). Concepts and Issues of Asian Citizenship: Spirituality, Harmony and Individuality. David L. Grossman (2004) Citizenship Education in Asia and the Pacific: Concepts and issues. Hongkong: Springer science and Business media new York. Muslich & Qohar, A. (2014). Nilai-nilai universal agama-agama di Indonesia. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara Kerr, D. (1999). Citizenship education in the Curriculum: an international review. Dalam Journal of Curriculum Studies. Volume X, Number 3-4. Pp.631. Halili, (2017). Supremasi Intoleransi: Laporan Kondisi Kebebasan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
beragama/berkeyakinan dan minoritas keagamaan di Indonesia Tahun 2016 Jakarta:Setara Insitut. Latif, Y. (2011), Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia. Suprayogo, I, (2017). Manusia, Pancasila dan Indonesia. Disampaikan pada konres Pancasila IX yang di
selanggaran oleh pusat studi Pancasila Universitas Gadjah Mada. Winataputra, U. (2012). Pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif pendidikan untuk mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press.