PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DALAM DUNIA ISLAM: Tujuan dan Maksud Pendidikan Islam Oleh: Hamam Syamsuri Pendidikan Islam dan Konsep Manusia Pendidikan berarti pengalihan pengalaman dari satu generasi kepada generasi lainnya. Apa yang dialihkan dalam masyarakat bukan suatu pengalaman pribadi, tetapi kumpulan pengalaman generasi sebelumnya yang diabadikan dalam dongeng, tradisi, adat istiadat, puisi dan sebagainya. Pada gilirannya nanti, mereka akan mampu merealisasikan konsep dasar tentang dunianya bahwa suatu masyarakat telah membangun dan menghargainya. Inilah sebenarnya masyarakat Islam sebagaimana di Barat.1 Kenyataan alami sistem pendidikan dan perbedaannya dari sistemsistem lain hanya bisa dipahami secara tepat ketika konsep manusia yang mendasari hal ini dianalisis dan diuji. Dalam hal apa konsep Islam tentang manusia berbeda dengan lainnya dan sejauh mana kita menjadikan Islam sebagai cermin sistem pendidikan kita ? Harga sesuatu yang berhubungan dalam pikiran adalah bahwa Islam berkontribusi pada teori murni;2 ini dapat dipercaya bahwa manusia secara fitrah berdosa dan menghabiskan hidupnya dalam berjuang melawan ini. Sejarah pembuangan Adam adalah bagian peninggalan biasa dalam Islam dan Kristen, tetapi Islam tidak menginterpretasikan ini berarti ketidakbijaksanaan dan kejahatan melekat dalam keturunan Adam (manusia). Sebaliknya, Islam menegaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci dan jika ia mengalah pada kejahatan, dikarenakan kegagalan dalam menghadapi godaan. Tetapi setiap orang yang mengalah pada godaan tidak akan diberi pahala, karena realitanya pahala diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan. Ini bukanlah suatu kebetulan dan pula dalam Al-Quran manusia digambarkan sebagai khalifah Allah, sebagai pucuk dan pemimpin semua ciptaan-Nya.3 Intelegensi dan pengetahuan4 dikatakan sebagai pemberian terbesar-Nya yang digunakan memelihara ciptaan-Nya. Pemberian ini dan kekuatan hebat yang telah dianugerahkan padanya akan
1
Tiap masyarakat menginterpretasikan ide transformasi menurut jalan mereka sendiri, seperti John Dewey, Lenin dan Ibnu Khaldun. Untuk interpretasi dalam ilmu sosiologi lihat Olive Banks, The Sociology of Education (London, 1976). 2 Lihat hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa tiap anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), tergantung pada kedua orang tuanya untuk menjadikan dia Yahudi atau Nasrani. 3 Q.S., 2: 30. 4 Q.S., 58: 11; Shahih al-Bukhari, Kitab Ilmu, hadis XI dan Kitab Mishkat alMasabih, Vol. 1, 14.
32
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, dengan kehendaknya dia akan memilih antara dua gambaran. Sekarang, konsep manusia ini secara dapat dipertanggungjawabkan ada dalam pendidikan di masyarakat Islam untuk menjadi sebuah aktifitas yang berbeda dengan lainnya. Ini seolah-olah memiliki kekuatan tidak terbatas dalam membentuk karateristik dan mengangkat seseorang pada derajat tinggi di sisi Tuhan. Islam tidak percaya bahwa anak-anak dihukum karena kelahirannya dan berjuang demi eksistensinya dalam tingkat kejahatan, tetapi dengan kebaikan kelahiran mereka dan perjuangan mereka menuju kebaikan. Lahir dengan tanpa rintangan-rintangan yang melekat, genetik atau pun rasial, mereka mencapai tujuan yang penuh keindahan dengan kecakapan mereka sebagaimana orang tua atau masyarakat mereka yang telah mendidik mereka.5 B. Tujuan Pendidikan Apakah yang diharapkan dari penerimaan proses pendidikan ? Isi pendidikan telah kami paparkan sebelumnya, yaitu transformasi pengalaman, yang bagi Muslim dibagi menjadi dua; pengalaman dalam bentuk keahlian (skill) atau pengetahuan teknik yang merubah alam dari satu masa ke masa yang lain dan pengalaman berdasar pada kekhususan yang konstan atau nilai-nilai permanen yang dapat diletakkan dalam agama dan naskah. Yang disebut terakhir ini terdiri dari kebenaran-kebenaran abadi yang oleh orang Muslim didefinsikan atau didapat dari Al-Quran dan Sunnah. Sistem pendidikan berkarateristik masyarakat Muslim, apakah yang di Barat dinamakan pendidikan liberal atau pendidikan teknik, selalu berusaha menjunjung tinggi dasar pemikiran yang menyerahkan kepada yang di atas. Kebaikan hakiki dari kemanusiaan, pertanggungjawaban yang dimiliki manusia, adalah komitmennya untuk mengumpulkan nilai-nilai primordial pemberian Tuhan dan hal ini dibentuk berlandaskan untuk apa pendidikan bagi pemuda Muslim diberikan. Akibatnya, hal ini akan menumbuhkan suatu masyarakat dengan perbedaan generasi, kesibukan masing-masing dan pelapisan hidup yang harmonis dengan yang lain. Dimaklumi bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang-orang yang memiliki rasa keberagamaan dan pengetahuan guna mendukung yang lain, Islam tidak berpikir bahwa mencari pengetahuan harus tanpa referensi spiritual. Pengetahuan yang dipisah dari keagamaan hanyalah pengetahuan parsial. Orang yang kehilangan kepercayaan tentang Tuhan tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, seluas apapun pengetahuan yang didapat dari buku, tetapi apa yang didapat tersebut hanyalah sepotong dari yang universal. Pendidikan Islam secara konskuen meminta dengan tegas bahwa moralitas dan intelektualitas dengan jelas diakui dalam silabi sebagai tujuan yang secara sistematis harus dicapai. Pengujian terhadap beberapa silabi menyatakan bahwa hal tersebut membawa seorang murid lebih dekat dengan Tuhan. Sosok murid mungkin beberapa dari banyak murid yang sudah 5
Islam tidak mengajarkan adanya superioritas rasial. Lihat Q.S., 49: 13.
33
mampu mengenyam pendidikan di universitas, sesuatu yang lain dari pada konvensional. Tetapi dalam semua keadaan menunjukkan bahwa ini valid dan efektif yang akan membantu perkembangan pelajar. Jika hal ini tidak dipahami dengan jelas, maka akan terjadi perselisihan dengan gagasan Islam tentang pendidikan.6 Ini berasal dari pemikiran bahwa desakan pada naskah belajar seperti tahap pertama dalam sumber pendidikan. Kata Tuhan, sebagaimana dipelajari, dipercaya dapat memperkuat landasan keimanan pelajar untuk mendapatkan dunia tanpa kekhawatiran gagal dalam sikap keberagamaannya. Maka apa yang membedakan sistem pendidikan Islam dari sistem pendidikan Barat modern adalah pentingnya mengakomodasi pengetahuan dan keimanan sebagai suatu tujuan fundamentalnya. Di Barat, tujuan pendidikan adalah menghasilkan individu dan warga negara yang baik, di mana oleh Islam telah diterima (ada). Tetapi karena adanya sekulerisasi pendidikan, maka nilai-nilai moral diletakkan pada tempat lain. Masyarakat Barat sekarang berada pada disintegrasi yang membahayakan. Tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, ketika moral hakim dipertanyakan, terjadi anarki moral dan pelanggaran hukum merajalela. Sekulerisasi Pendidikan Masyarakat Muslim
di
Barat
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Kerusakan peradaban Islam dan meningkatnya modernisasi Barat ditandai dengan dukungan pada keragu-raguan dan sikap skeptis sebagai dasar kemajuan intelektual dan konskuensi penolakan terhadap berbagai nilai yang dihargai oleh Islam. Barat memiliki prestasi besar dalam bidang ilmu dan teknologi yang menjadikan hidup lebih tenteram dan bahagia. Pesawat udara, telepon, radio, televisi, komputer dan lain-lain menyimbolkan suatu kemajuan dalam perkembangan materi dari suatu yang kuno tanpa konsep.7 Perkembangan material ini tidak sebanding dengan perkembangan spiritual. Sebaliknya, orang sekarang secara spiritual kurang tenteram dari pada para pendahulunya 200 tahun silam. Disharmoni dan ketegangan menyebabkan keruntuhan kedamaian mentalnya, menjadikan peran sosialnya tidak berguna dan menghilangkan eksistensi semua arti dan tujuannya. Banyak orang Barat mencari jalan keluar tanpa dengan nilai spiritual dan keimanan, yang muncul justeru hanya kerusakan besar dan rasa sakit. Para filosof lebih suka menggunakan ajaran eksistensialisme dan logika positivisme untuk menemukan arti (hakikat) dalam sesaknya atmosfer alam ketuhanan, tetapi mereka lebih suka menghindarkan masalah sentral dan krusial tentang
6
Q.S., 6: 162. Untuk pembahasan yang lebih jelas tentang konsep ini lihat Conference Book, 76-78. 7 Untuk analisis manfaat yang dapat diperoleh dari ilmu pengetahuan modern lihat Bertrand Russell, The Impact of Science of Society.
34
keimanan, sangat suka meninggalkan kepuasan dalam menjawab masalahmasalah kehidupan.8 Tetapi mengapa, mungkin ini dipertanyakan, hal ini dapat mempengaruhi masyarakat Muslim ? Jawaban untuk pertanyaan ini berada dalam paradoks. Banyak orang Muslim mencela spiritual nihilisme Barat, karena pengabaiannya pada ilmu dan teknologi, hanya akan menciptakan situasi masyarakat yang mencekik seperti penindasan yang menyebabkan kemandulan spiritual di Barat. Ketidakpunyaan dan kemiskinan, penyakit dan epidemi, kolonialisme dan penghinaan secara ekonomi menguatkan padanya terhadap realitas bahwa hanya dengan penguasaan ilmu dan teknologi mereka dapat mengatasi persoalan-persoalan. Tetapi ketika dia beralih pada Barat demi pengetahuan ilmu dan teknologinya, dia mendapati semuanya ini dalam keadaan berlubang dengan alasan penolakan kepercayaannya. Ilmu dan teknolgi modern mengarahkannya untuk membuang Tuhan, meninggalkan keimanan dan menghambakan dirinya pada materi. Kebutuhan pada ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga, tetap penting baginya sejak muncul kesadaran terhadap perbedaan antara dirinya dengan dunia Barat. Dia berjuang mati-matian untuk menguasai rahasiarahasia ini, menyalin metodenya, menandingi contoh-contohnya, tanpa harus menunggu memikirkan resiko yang melekat dalam prosesnya. Langkah terhadap adopsi dunia Barat dimulai abad XIX di beberapa negara Muslim. Hasilnya menunjukkan bahwa diri mereka berada dalam lima belas dekade yang lalu atau juga para pemikir Muslim mulai takut. Apakah kami, mereka bertanya, berjalan pada garis edar yang sama petunjuknya menuju tujuan dunia Barat ?9 D. Modernisasi dan Identitas Kultural : Proses Rekonsiliasi Tetapi bagaimana menghindari resiko dengan tanpa meninggalkan pengetahuan modern ? Dapatkah kami menemukan makna pemisahan bebas nilai yang telah mengacaukan kehidupan Muslim dari pengetahuan yang mereka rusak ? Pengetahuan, menurut kepercayaan para pelajar Muslim, tidak membahayakan dengan sendirinya. Ini tidak berhubungan dengan nilai dan asumsi di mana orang menanamkan pengetahuan ini untuk menghasilkan spiritualitas.
8
Karya-karya besar dari para pemikir Barat yang sadar tentang situasi ini antara lain Karl Mannheim, Diagnosis of Our Time (London, 1943); Arnold J. Toynbee, Civilization on Trial; Oswald Spengler, Decline of the West, terjemah (Londo, 1926) dan Bertrand Russell, “Science and Values” dalam Impact of Science on Society, Op. cit., 9 Lihat Frithjof Schoun, Spiritual Perspective and Human Facts, ter. Matheson (London, 1954). Sayyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature; The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Longmans, 1975).
35
Ini adalah krisis alami yang dihadapi masyarakat Muslim ketika memulai modernisasi. Mereka tidak ingin kehilangan identitas, tidak ingin pandangan keberagamaannya luntur dan tidak ingin dijangkiti penyakit spiritual Barat. Mereka harus mampu mengarahkan hal-hal yang diambil dari Barat, setelah diteliti dengan cermat, yang kemudian disimpan dalam buku teks guna menghasilkan asumsi dasarnya. Untuk tujuan isolasi nilai-nilai palsu dari realitas pengetahuan, pelajar muslim membutuhkan evaluasi ulang sebagaimana biasa dalam menerima secara umum klasifikasi pengetahuan Barat dalam menerangi pokok-pokok Islam. Untuk cabang pengetahuan, apakah ini filsafat atau psikologi, epistemologi atau ekonomi, semua dapat dipisahkan dari nilai pokok pemikiran. Diferensiasi antara ilmu murni dan humaniora adalah sudut pandang yang derajatnya tidak sama. Ilmuwan yang menyatakan dirinya adalah non-partisan dalam meneliti fenomena memulai langkahnya dari penyusunan hipotesa dan ini adalah sumber dari bahan-bahan yang dipenuhi dengan nilai-nilai non-scientific. Dunia Barat telah mencoba, setidaknya sejak kelahiran paham rasionalisme, untuk menerangkan alam semesta tanpa merujuk pada Tuhan dan asumsi ini pada akhirnya akan mengganti dalam memberi warna semua penemuan ini. Tidak ada Muslim dapat menerima dengan sungguh sebuah asumsi. Konsekwensinya, tugas sulit yang ditemui dunia Muslim adalah menemukan asumsi tersembunyi tersebut yang hanya sedikit untuk bekerja dengan ilmu tetapi yang keliru dalam mencari kebenaran ilmu dengan ketidakhati-hatian. Kesulitan ini tidak berusaha menerima yang lalu atau tidak diselenggarakan dengan tuntutan keahlian. Ini adalah tentang bagaimana dua sistem pendidikan mendasari pembangunan negara-negara Muslim. Ini bukanlah dualitas pemikiran dalam kejayaan Islam, ketika Muslim menjadi pelopor perkembangan ilmu dan ketika pemikir-pemikir Muslim dan filosofnya memberikan teladan untuk diikuti oleh dunia dalam semua lapisan pengetahuan. Terjadinya pengabaian dalam proses kemajuan, mereka hanya menjumpai ketersiksaan dan berusaha bangun dari kemalasan dan tidurnya serta sadar bahwa kemajuan peradaban telah diambil Barat dengan penguasaan ilmu dan teknologi serta meninggalkan mereka jauh di belakang. Ketika mereka mencoba menemukan ilmu dan teknologi serta kemajuan baru di lapangan pengetahuan lain, langkah pertamanya adalah meletakkan sistem pendidikan Barat di atas kepunyaan mereka sendiri, tetapi selanjutnya tidak sesuai pada tiap-tiap yang lain dan berkonskwensi penyingkiran nilai kegunaan secara independen. Ini dilakukan bagi keadaan yang merugikan dari sistem tradisional, bertendensi membangun generasi baru, benar-benar mengetahui tentang pengetahuan Barat, tetapi memotong miliknya yang telah lalu yang menumbuhkan alienasi. Fenomena ini terjadi di Pakistan, India, Banglades, Iran, Turki, Mesir dan semua negara Muslim yang mendapat tantangan Barat. Pencampuradukkan solusi dicoba oleh kombinasi pengetahuan tradisional dengan jalan dalam subyek baru. Tetapi kombinasi tidak dapat bekerja dengan puas, untuk nilai-nilai yang memberitahukan sistem
36
pendidikan Barat secara halus mengadakan penetrasi terhadap pola pikir pemuda kita dan melempar mereka dari penjagaannya.10 Ini adalah bagaimana kebutuhan dapat membangun pada ujian serius keseluruhan pengetahuan dasar. Manusia Islam sebenarnya (insan kamil) berbeda dalam hal konsepsinya dengan ‘manusia’ yang dipahami oleh Barat.11 Lahir dalam kebebasan, tanpa terbebani dosa warisan dan tidak pernah kehilangan hubungan dengan Tuhannya. Dia menentang kejahatan kehidupan modern sebagai aborsi dan pembedahan hidup-hidup, serba membolehkan dan perbuatan tidak wajar, tidak berdasar atas pertimbangan benar atau salah terhadap isu dalam konteks temporal, tetapi berdasar perlawanan mereka terhadap perintah-perintah Tuhan. Kebebasan dan perbudakan, keadilan dan ketidakadilan adalah bahan-bahan yang juga dipandang sebagai sub specie eternitatis (bagian dari kekekalan kekayaan). Tes pengukur kebaikan sistem pendidikan yang digunakan adalah yang dapat membantu membangkitkan percikan kesadaran bertuhan itu tanpa menyisakan sebuah kebrutalan, suatu sistem yang digemari di Barat, meskipun bermacam-macam prestasi dengan sedih tidak sempurna. Kutipan-kutipan berikut merupakan nomor terpilih, di mana pelajar Muslim kontemporer mendiskusikan tentang tujuan pendidikan Islam dan konsep manusia yang juga mencerminkan dari beberapa sudut pandang. Mereka adalah representasi luasnya dunia Muslim, tetapi hal yang luar biasa adalah kesatuan pandangan mereka dan keseragaman perhatian terhadap kebutuhan pendekatan baru untuk masalah pendidikan dalam konsep penting.
KUTIPAN 1. Menuju Bentuk Muslim Sejati (a) Manusia Berbudi : Conference Book, hal. 76-78 Pendekatan dasar 313 sarjana Muslim yang bertemu pada Konferensi Pendidikan Muslim Sedunia Pertama yang diselenggarakan di Mekah tahun 1977 telah diuraikan dalam paragraf-paragraf berikut ini
Konsep dan Sikap Tujuan pendidikan Muslim adalah mencipatakan ‘manusia berbudi’ yang beribadah kepada Allah, yang membangun struktur kehidupan dunianya menurut syari’ah (hukum) dan menggunakannya untuk tunduk kepada agamanya. Arti ibadah, baik secara ekstensif maupun komprehensif, adalah tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik dalam ritual keagamaan, tetapi juga mencakup segala aspek aktifitas kepercayaan, pemikiran, perasaan dan pekerjaan sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, ‘Aku telah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku’ dan ‘Katakanlah, ya Allah, sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan 10
Sebagaimana disajikan dalam Memorandum pada Konferensi Pendidikan Muslim Pertama di Mekah. Lihat Conference Book, hlm. 9-29. 11 Suri tauladan terbaik adalah Nabi Muhammad SAW.
37
matiku adalah untuk Allah, Tuhan alam semesta yang tidak ada sekutu bagiNya.’ Oleh karena itu, pondasi peradaban di bumi ini, eksploitasi kekayaan, sumber daya alam dan energi-energi yang disembunyikan oleh Allah di dalam perut bumi, pencarian nafkah, tindakan-tindakan yang eksis di jalan Allah, pengetahuan tentang sifat-sifat zat, dan cara yang dapat mereka gunakan dalam melayani keimanan dan penyebaran esensi Islam dan membimbing manusia untuk mencapai kehidupan yang benar dan makmur. Ini semua dianggap sebagai bentuk-bentuk ibadah yang oleh para sarjana dan pencari Tuhan disebut dengan kontak tertutup dengan Allah. Jika konsep Islam tentang ibadah adalah seperti itu, dan jika dari sudut pandang Islam obyek pendidikan pada kebanyakan arti komprehensif terhadap ibadah adalah membangun kepercayaan sejati, itu berarti bahwa pendidikan harus mencapai dua hal. Pertama, pendidikan harus memungkinkan manusia untuk memahami Tuhannya sehingga ia menyembah-Nya dengan penuh keyakinan atas keesaan-Nya, melaksanakan ritual-ritual, mematuhi syari’ah (hukum Islam) dan perintah Tuhan. Kedua, pendidikan harus memungkinkan manusia untuk memahami aturan-aturan Allah di alam, menjelajahi bumi, dan menggunakan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah untuk menjaga keimanan dan memperkuat agama Allah seperti apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran, ‘Dialah Allah yang menciptakan bumi untukmu supaya kamu mendiami dan mewarisinya.’ Dengan demikian, ilmu pengetahuan syari’ah (hukum Islam) memperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan lain seperti ilmu kedokteran, teknik, matematika, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Semua ilmu tersebut merupakan imu-ilmu pengetahuan Islam selama ilmu-ilmu itu sesuai dengan konsep dan sikap Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan ini diperlukan oleh Muslim awam (biasa) pada tingkat yang layak, sedangkan bagi mereka yang ada pada kondisi yang lebih spesialisasi seperti para sarjana, para mujtahid dan ahli hukum ummat (bangsa), maka ilmu-ilmu pengetahuan seperti ini sangat diperlukan dan dicari. Konsep Islam tentang sains tidak memberikan batasan atau limitasi dalam teori, empiris atau sains terapan, kecuali pada satu pembatasan mengenai tujuan yang pokok di satu sisi dan efek-efek aktual di pihak lain. Dalam pengertian Islam, sains adalah suatu bentuk ibadah yang membawa manusia menuju kontak tertutup dengan Allah, bahkan sains tidak boleh disalahgunakan untuk merusak keimanan dan moral serta menimbulkan kerusakan, kecurangan, ketidakadilan dan agresi. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan keimanan tidak bermanfaat dan sarat dengan kejahatan akan ditolak dan dikutuk serta tidak memiliki kedudukan di sisi Tuhan. Setiap sistem pendidikan mewujudkan suatu filsafat khusus yang berasal dari konsep khusus yang tidak dapat dipisahkan darinya. Kita tidak bisa memiliki filsafat atau kebijakan pendidikan yang berdasarkan atas konsep yang tidak sesuai dengan Islam. Tetapi sekarang yang sedang terjadi adalah kita mengaplikasikan kebijakan pendidikan dari Inggris, Perancis, Amerika
38
atau Rusia, hal ini dimungkinkan karena kebijakan mereka menyangkal dan bertentangan dengan konsep Islam. Islam memberikan suatu konsep umum dan komprehensif yang menyokong kebijakan pendidikan yang khusus dan terkendali. Semua yang telah kita lakukan adalah untuk mendasarkan pendidikan kita pada konsep yang tersendiri, unik dan khusus ini. Ketika tujuan ini telah dicapai, maka tidak ada rasa keberatan apapun terhadap eksploitasi penuh dalam setiap eksperimen manusia yang berhasil baik selama tidak bertentangan dengan konsep Islam. Sumber-sumber pengetahuan, menurut konsep Islam, masuk dalam dua kategori : (1) Wahyu Tuhan, di mana Allah mengajarkan bahwa manusia tidak dapat membimbing dirinya sendiri menuju kebenaran Tuhan dan kehidupan tidak dapat diatur dalam cara yang tepat tanpa adanya perintah yang tetap dan tidak berubah yang diinspirasikan oleh Allah, Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui yang pengetahuan-Nya mencakup segala sesuatu (2) Kecerdasan manusia dan perangkatnya yang ada dalam interaksi konstan dengan alam fisik pada tingkat observasi, kontemplasi, eksperimentasi dan aplikasi. Manusia bebas melakukan apa sja yang mereka senangi selama dia tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah
Tujuan Pendidikan Pendidikan mengarah pada perkembangan teratur pada personalitas total manusia melalui pendidikan spirit manusia, pendidikan intelektual, rasional, jasmaniah dan emosional. Oleh karena itu, pendidikan harus memenuhi perkembangan manusia dalam segala aspeknya, spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, sains, linguistik, baik secara individu maupun berkelompok dan memotivasi semua aspek ini menuju aspek ketuhanan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan yang pokok dalam pendidikan Muslim terletak pada realisasi kepatuhan penuh kepada Allah dalam tingkat individu, masyarakat dan manusia seluruhnya. (b) Pendidikan Tentang Nilai ; Baik Absolut Maupun Kontingen Dr. A.M. Khusro ; dari Education in the Islamic Society Dr. A.M. Khusro, Wakil Rektor Universitas Muslim Aligarh (India), menekankan pada pentingnya mengklarifikasi sistem nilai yang harus diketahui dalam sistem pendidikan Islam. Bersamaan dengan penanaman dan penguatan nilai-nilai dasar, sistem pendidikan juga harus mengarah pada pendidikan pemuda Muslim dalam metode yang tepat pada penyesuaian dirinya terhadap perubahan lingkungan
Setiap sistem pendidikan, apapun namanya, harus memiliki sistem nilai. Sistem pendidikan Islam juga harus mengklarifikasikan sistem nilainya. Setiap sistem yang dinamis memiliki dua ciri yang esensial, yaitu (a)
39
memiliki beberapa sistem yang tidak dapat berubah, ciri-ciri dasar yang membedakannya dari sistem-sistem nilai yang lain. Jika ciri-ciri dasar ini hilang, maka sistem juga akan hilang (b) memiliki mekanisme untuk merubah ciri-ciri yang tidak pokok. Jika mekanisme untuk perubahan tersebut tidak ada, maka sistem tidak dapat menyesuaikan dirinya terhadap perubahan-perubahan dalam waktu dan ruang serta cenderung mati dan lenyap. Ciri-ciri dasar konstitusi Islam sebagaimana diwujudkan dalam AlQuran dan Sunah sebagai nash-nash qath’i seperti iman kepada Allah, percaya kepada rasul serta melakukan segala aktifitas di jalan Allah (pendirian dasar bahwa segala aktifitas manusia berada dalam aturan Allah). Mereka yang tidak mempercayai ini adalah non Muslim. Pendidikan Islam harus menanamkan kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap ini pada pemuda Muslim. Bersamaan dengan penanaman dan pengetahuan nilai-nilai dasar ini, pendidikan Islam harus membangun suatu kebahagiaan ke dalam pikiranpikiran pemuda Muslim, suatu penyesuaian dan suatu mekanisme untuk penyesuaian diri dalam masalah-masalah duniawi yang lain dari kepercayaan-kepercayaan fundamental. Orang-orang Arab adalah orangorang pertama yang menunjukkan kebahagiaan dan adaptasi selama masa kejayaan intelektual Islam tercabik-cabik. Mereka memperoleh pengajaran dari orang-orang Yunani, menguasainya untuk investigasi, eksperimentasi dan ekspansi pada bidang-bidang yang berbeda seperti aljabar, geometri, astronomi, navigasi, ilmu kimia dan kedokteran serta mengembangkan prinsip-prinsip ilmiah dalam paham empiris. Esensi dari sikap ilmiah empiris adalah sikap konsisten pada pergerakan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek dogmatis di dalam masalah-masalah duniawi dan memunculkan kesangsian yang sehat tentang semua permasalahan. Dengan mempertanyakan sesuatu yang dapat ditanyakan, dengan menanyakan pada setiap tindakan; “apakah begitu ?” Sikap empiris ini telah memberi kebebasan yang sangat luas untuk rasa keingintahuan manusia dan menjadi penyebab dalam penemuan-penemuan ilmiah yang besar. Kepercayankepercayaan ilmiah menjadi lebih diperoleh secara sementara dari pada secara dogmatis, dengan harapan agar selanjutnya investigasi dan eksperimentasi akan menimbulkan kepercayaan-kepercayaan alternatif. Orang-orang Arab telah membawa sikap ilmiah empiris yang baru ini ke Spanyol di antara tempat-tempat lain dan dari sanalah sikap ini menuju ke Eropa pada abad kelima belas dan keenam belas serta menyebabkan terjadinya Renaissance. Sistem pendidikan Islam sekarang harus mengadopsi paham empirisme ilmiah yang sama dalam masalah duniawi yang telah ditemukan sendiri oleh orang-orang Muslim, tetapi telah dilupakan selama lima abad yang lalu. Nilai-nilai adaptabilitas, eksperimentasi dan toleransi (seperti yang disetujui dogma) harus diwujudkan dalam sistem baru. Pada semua kemungkinan hal ini memerlukan institusi dalam ijtihad, interpretasi terhadap hukum Islam. Ijtihad tentu saja harus memiliki usaha proteksi yang penting; ijtihad tidak dapat digunakan pada masalah-masalah nash-nash atau dasar-dasar; ijtihad
40
tidak bisa tidak digunakan untuk merusakkan ruh Islam, tetapi hanya untuk meneruskannya; ijtihad tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengetahui firman Allah dan sabda Rasulullah dan tidak pula dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami dengan baik institusi atau kebiasaan duniawi. Karena banyak orang yang mempelajari dunia tidak mengetahui firman Allah dan sabda Rasulullah dan beberapa ulama tidak boleh memiliki pembukaan pada institusi duniawi, maka sistem pendidikan Islam yang baik harus membuka pintu-pintu Al-Quran dan Sunnah untuk manusia dalam agama. Sistem pendidikan baru harus menjadi kekuatan yang mengintegrasikan dan harus mempesiapkan manusia untuk ijtihad. Dan akhirnya, sistem pendidikan Islam tidak bisa menjadi ‘utilitarian’ belaka sesuai dengan karakter, pendidikan tidak bisa hanya memiliki perencanaan tetap seperti metodologi dasarnya. Utilitarianisme telah menimbulkan masalah-masalah yang luar biasa karena konsumerisme yang tidak terbatas, arena gila untuk memperoleh dan memakai barang-barang yang lebih banyak, dengan konsekuensi kotor dan tercemarnya udara dan air, kekurangan energi dan menghabiskan materi-materi yang tidak dapat diperbarui di dunia Barat. Walaupun rasa sensitif di antara para pemikir dan pendidik Barat telah merealisasikan ‘penyakit’ Barat, hal disayangkan bahwa banyak negara Islam tanpa sadar mengadopsi sikap-sikap Barat dan mengagumi suka pamer, royal, pemboros dan konsumtif yang tidak Islami. Pendidikan Islam harus mengoreksi sikap-sikap ini; pendidikan Islam harus mengajarkan perbedaan antara halal dan haram, harus menanamkan nilainilai pengendalian diri dalam hal konsumsi; pendidikan Islam harus mengembangkan konsep-konsep penghematan dan investasi, keadilan ekonomi dan re-distribusi pendapatan nasional dalam negara-negara Islam. Nilai-nilai ini tidak hanya dikembangkan di negara-negara Islam, tetapi juga pada minoritas Muslim di negara-negara lain. Untuk minoritas Muslim di negara-negara non Muslim, hal ini lebih baik bahwa Pemerintahan dalam negara-negara tersebut secara religius agak netral dari pada berpegang teguh pada satu agama yang dalam hal tersebut terikat menjadi agama mayoritas. Di dalam negara-negara netral agama, relatif lebih bebas untuk memperlengkapi diri mereka dan anak mereka dengan nilai-nilai Islam. 2. Pendidikan Untuk Kebajikan (Hikmah): Dibutuhkan Untuk Re-orientasi Sempurna Karena Kekacauan Yang Diciptakan Oleh Filsafat-Filsafat Kotor Dr. Hadi Syarifi; dari The Islamic as Apposed to the Modern Philosophy of Education Dr. Hadi Syarifi adalah profesor filsafat dan sosiologi pendidikan di Universitas Teheran, Iran. Beliau mengidentifikasikan bahwa tujuan pokok pendidikan adalah mengembangkan kepercayaan kepada Tuhan di alam dan menggambarkan perhatian yang serius pada perbedaan antara pendekatan-pendekatan Islam dan Barat terhadap suatu masalah
41
Biasanya dalam semua filsafat modern suatu aspek tertentu dalam sifat manusia (sosial, materi, individual, biologis dan psikologis) diperlukan sebagai makhluk dan sifat khusus dan sesuai dengan teori pendidikan yang dikembangkan, yang di dalam karakter komprehensif dan bersatu dalam sifat manusia, adalah sebagai akibat yang diabaikan. Jadi, filsafat-filsafat modern pendidikan merupakan awal dari semua kehidupan yang singkat; kedua, setiap tinjauan filosof dalam pendidikan bisa dikritisi dengan mudah (karena sangat terbatasnya tinjauan dan pendirian yang tidak mandiri) dan bisa ditiadakan dan akhirnya digantikan oleh yang lain; ketiga, konflik–konflik dan pertempuran yang tiada akhir di antara ide-ide dan spekulasi-spekulasi filosofis yang berbeda nampak dan menjadi suatu fenomena alami. Akan tetapi dari sudut pandang tradisional, situasi ini adalah situasi kritis, untuk alasan sederhana, bahwa perbedaan-perbedaan tajam antara sekolah-sekolah filosofis telah membawa kekacauan pada domain teori-teori pendidikan, yang biasanya mencoba untuk menegaskan tujuan-tujuan pendidikan dan mengorientasikkan praksis pendidikan. Masalah kedua adalah masalah kekacauan antara sasaran dan tujuan pendidikan di dunia modern. Masalah ini pada dasarnya merupakan akibat dari krisis dalam sistem nilai, karena bila ada hubungan antara nilai-nilai dan tujuan pendidikan, maka setiap tujuan (baik sosial, politik atau ekonomi) secara implisit maupun eksplisit berasal dari persepsi nilai. Akan tetapi imbas dari kekacauan ini pada domain praksis pendidikan di satu sisi adalah kurangnya kesepakatan dan keharmonisan di antara para guru dan orang tua, dan di sisi lain kurangnya kesepakatan dan keharmonisan di antara psikolog, sosiolog, ekonom dan ilmuwan, yang mereka semua memiliki andil dalam pendidikan anak-anak dan pemuda, tetapi masing-masing dari spesialisasi dan sudut pandang yang terbatas. Kritik tentang situasi yang kacau ini dalam masyarakat industri modern telah merangsang dua sikap yang berbeda. Satu kelompok sarjana telah mengungkapkan keraguan tentang apakah pendidikan harus memiliki tujuan-tujuan dan sikap kelompok kedua mendukung argumentasi bahwa sains adalah pendidikan, seperti setiap sains yang lain, harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. Karateristik lain dalam filsafat-filsafat modern pendidikan terletak pada fokusnya pada aspek rasionalistik manusia dan berikut kelalaian terhadap kedudukan dan arti pokok pendidikan, amnesis yang tidak mempengaruhi ide-ide pendidikan dan tindakan kebudayaan tradisional. Masalah sikap rasionalistik murni dalam pendidikan terletak pada fakta bahwa awal dari semua manusia dalam kaitannya dengan sifatnya yang komprehensif dan kesatuan adalah tidak murni makhluk rasionalistis, dan kebanyakan hidupnya (cita, seni dan mati) bukan merupakan sesuatu yang dapat ditegaskan dalam cara rasionalistis. Selain itu, ada fakta yang menakjubkan dalam kehidupan manusia sendiri, yang hanya bisa ‘dijelaskan’ sebagai keajaiban. Yang kedua, dalam mendidik anak-anak kita tidak memiliki hak untuk memusatkan kekuatan dan energi kita pada satu aspek dari keberadaan mereka dan mengabaikan yang lain. Dan akhirnya, pengabaian kedudukan hati (yang merupakan pusat manusia, yang dapat merealisasikan Kebenaran) dalam pendidikan, sama dengan kelalaian
42
terhadap dimensi transendental kehidupan manusia, untuk memberi hukuman atas persepsi-persepsi perasaan kita yang terbatas dan kekalnya sifat keduniawian kita, dan untuk “mengurung” bagi area-area yang tidak memiliki tepat bagi intelek kita dan fitrah kita. Pendidikan Islam menyelesaikan segala permasalahan dengan memberi perhatian spirit (hati) kedudukannya yang tinggi dalam sistem Membicarakan spirit dan pentingnya hal tersebut dalam pendidikan (karena hanya makna-makna yang ada di luar tingkat biasa dari kesadaran dan fitrah kita) adalah tidak dapat dipahami oleh ilmuwan-ilmuwan modern dan tidak setuju dengan standar-standar dan norma-norma kebiasaan dalam psikologi modern hanya karena sains modern terbatas pada empirisme dan hawa nafsu. Bagi ilmuwan modern atau psikolog, hati tidak lebih dari organ jasmaniah, yang memiliki fungsi biologis tertentu; dengan demikian kami perlu menjelaskan melalui kata-kata Imam Al-Ghazali, apa yang dimaksud dengan hati oleh para muslim tradisional, ”ketika kita membicarakan hati, ketahuilah bahwa kita memaksudkan realitas manusia, yang kadang-kadang disebut ruh (spirit) dan kadang-kadang disebut nafs (soul); kita tidak dapat mengartikan itu sebagai selembar daging (otot) yang terletak di sebelah kanan dada; organ tersebut tidak berguna, karena hewan ternak pun memilikinya, dan juga akan mati. Ia bisa dilihat dengan mata biasa dan apa pun yang bisa dilihat oleh mata adalah milik dunia ini, yang disebut dengan dunia nampak (syahadah). Realitas hati bukanlah alam ini; dia ada di alam ini sebagai sesuatu yang aneh atau asing, dan selembar daging yang nampak itu adalah sarana dan artinya, dan semua ciri-ciri jasmaniah adalah lengannya, dan ini merupakan Raja seluruh jasmani, realisasi Tuhan dan persepsi keindahan-Nya adalah fungsi-Nya.’ Pendidikan adalah suatu bagian integral kehidupan dan juga merupakan filsafat serta pengetahuan, dan ketiganya saling berhubungan erat. Relasi tertutup antara filsafat, pengetahuan dan pendidikan merupakan arti yang besar sekali dalam suatu budaya tradisional karena realisasi dari Realitas yang ultimate atau Kebenaran Mutlak yang terjadi melalui saluran pendidikan spiritual. Revelasi atau kebenaran doktrin spiritual biasanya memberikan dasar-dasar teoritis yang mendeskripsikan struktur Realitas dan struktur kesadaran manusia, status ontologis dunia dan semua makhluk, termasuk manusia, dan mendeskripsikan cara Realitas ini dialami oleh makna-makna pendidikan spiritual. Karena alasan ini, muncul perbedaanperbedaan yang tajam antara filsafat modern pendidikan dengan filsafat tradisional pendidikan. Karena realisasi Kebenaran dengan makna-makna pendidikan spiritual kemungkinan besar terbuka untuk setiap individu, firman Tuhan meliputi seluruh kebudayaan dan juga tidak ada ruang yang tersisa bagi skeptisisme dan agnostisisme. Dan karena Realitas tersebut, kesatuan dan keharmonisan muncul dalam kehidupan. Nilai-nilai memiliki sebuah hirarki yang dipertegas, perilaku yang teratur dan stabilitas muncul pada kancah kehidupan sosial. Stabilitas dan juga kesatuan dalam budaya
43
tradisional ini merupakan keyakinan terhadap alam surga, tanpa campur tangan Tuhan dalam kehidupan duniawi kita, kesatuan (bukan berarti keseragaman) tidak akan bisa muncul dalam kehidupan sosial, tidak pula stabilitas ini berakhir, seperti halnya dalam peradaban Islam. Jika contoh selanjutnya dianggap perlu, seseorang harus membandingkan peradaban manusia modern di masa kita dengan peradaban tradisional yang ada sebelum Renaissance di Eropa. Manusia modern, yang memiliki andil dalam perubahan luar sifat sosial, politik dan ekonomi, mengalami kondisi dan struktur perkampungan, kota, negara dan duniawinya yang selalu berubah, di mana proses ini sekarang disebut dengan perkembangan dan kemajuan. Perubahanperubahan dalam masyarakat tradisional diarahkan menuju dunia terdalam (inner world) pada manusia, dan tidak ada seorang pun yang dikecualikan dari perubahan ini kecuali orang-orang yang menurut Al-Quran “memiliki hati, tetapi tidak memahami sesuatu dengan hati mereka, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk memperhatikan, mereka memiliki telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengindahkan.” Perubahan ini mengarah pada keadaan al-insan al-kamil, ‘manusia sempurna’ dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, pendidikan ini diidentikkan dengan jalan yang memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir, permulaan jalan ini adalah keadaan manusia sebagai makhluk bumi (unsur jasmani), bahkan terbatas, tetapi akhirnya adalah manusia sempurna, yaitu khalifah Allah (representasi Tuhan di bumi). Ini adalah suatu kondisi manusia primordial, dan karena kondisi ini identik dengan realisasi Kesatuan Makhluk, dan karena itu kebenarannya sebagai Absolut, maka akhir dari jalan ini adalah terbenam dalam Ketidakterbatasan.
44