PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK PERILAKU TOLERAN PADA WARGA SEKOLAH Selviyanti Kaawoan IAIN Sultan Amai Gorontalo ABSTRAK Salah satu karakteristik PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial. Jika kesalehan individu merupakan hak pribadi, maka bagaimana dengan keshalehan sosial yang senantiasa memperhatikan dan peduli akan kondisi sosial sekitar kita. Dalam kehidupan sosial, dimana sekolah merupakan salah satu lembaga yang mewakili lingkungan sosial ditengah masyarakat harus menjadi agen sosial pendidikan dalam membentuk perilaku peserta didik yang senantiasa memiliki sikap terbuka dan toleran dalam membangun semangat ukhuwah Islamiyah. Untuk itu tanggungjawab pendidikan adalah bagaimana kegiatan pembelajaran dapat memberi kemampuan berdialog dan mencari cammon ground yang akan menjadi dasar pijakan dan bekal bagi peserta didik untuk berdialog dengan realitas disekitarnya khususnya realitas keragaman. Kata Kunci: toleran, PAI, kurikulum PAI,
A. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari konfigurasi geografis dan etnogrfasi sangat kaya dibandingkan dengan Negara lain, ini dibuktikan dengan gugusan pulau-pulau yang terbentang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berjumlah kurang lebih 13.000 pulau, baik dalam ukuran besar maupun kecil, ditambah lagi dengan populasi penduduknya berjumlah lebih dari 240 juta jiwa, terdiri dari 300 suku bangsa dengan menggu-nakan hampir 200 bahasa yang berbeda serta menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta 1 berbagai aliran kepercayaan. Keragaman tersebut disatu sisi merupakan kekayaan bangsa yang sangat berharga dan potensial untuk mendukung kepentingan pembangunan dan kesejahteraan bangsa, namun disisi lain menyimpan sejumlah potensi konflik sosial yang bisa mengancam keutuhan negara (disintegrasi bangsa), betapa tidak keragaman sering dimanfaatkan dan disalahtafsirkan oleh orang atau kelompok tertentu untuk menyulut ketegangan antar suku, agama, ras, 2 dan antar golongan (SARA). Lihat saja kasus yang pernah mendera tanah air yang dilatarbelakangi oleh perbedaan SARA diantaranya adalah kasus Ambon dan Poso (konflik antar agama), peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, dan Sampit (konflik antar etnis Dayak/Melayu dengan Madura) serta peristiwa Mei 1998 (konflik politik berimbas pada sentimen anti Cina).
Kasus-kasus yang disebutkan di atas, sesungguhnya hanyalah beberapa di antara sekian kasus yang muncul ke ruang publik. Mungkin, ada ribuan kasus yang belum kita ketahui, karena, tidak dipublikasikan media massa, dengan argumentasi bahwa isunya belum “layak” diangkat kepermukaan sebab kalah aktual dengan isu politik di tanah air yang jauh lebih menggiurkan bagi kalangan media massa pada umumnya. Maklum saja, sesuai dengan teori jurnalistik, isu di masyarakat yang diangkat oleh media massa kebanyakan memang masalah kekerasan, konflik politik dan seks. Alasannya karena, isu seperti itu lebih menguntungkan pangsa 3 pasar. Namun, sesungguhnya yang lebih penting bukan pada wilayah mempersoalkan atau meperdebatkan apakah konflik terpublikasi atau tidak oleh media massa, tetapi lebih diarahkan pada ranah bagaimana memikirkan secara serius, sistematis, dan komprehensif untuk memini-malisir konflik serta dalam skala lebih luas membangun sebuah kesadaran kolektif atas realitas keberagaman dalam masyarakat. Tumbuhnya kesadaran semacam ini akan melahirkan budaya toleran dan memandang mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan dihargai, bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan. Konflik simbolis keagamaan di berbagai daerah menjelang dan sesudah reformasi banyak disinyalir juga terjadi antara lain karena tipisnya saling pengertian dan penghargaan terhadap 4 perbedaan dan multikul-turalisme. Padahal sifat masyarakat Nusantara (Indonesia), sebagaimana 3
1
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: CrossKultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 3-4. 2 Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi antar Etnis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 1
64
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4. 4 Suhadi Cholil (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS), 2008), h. 29
kita ketahui, kental dengan ciri yang bersifat plural (bhineka). Ciri plural ini juga merupakan argumen atas ciri Islam Indonesia, sehingga dengan ciri itu sejak lama telah muncul prediksi bahwa kebangkitan peradaban Islam pada masa modern akan terbit dari 5 Indonesia. Zuhairi Misrawi, menggambarkan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, sehingga corak Islam Indonesia mempunyai ciri khas yang membedakannya dari ciri Islam secara global dan apalagi dari ciri Islam ala negara yang ada di Timur 6 Tengah. Toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adatistiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam Qs. al-Hujurat ayat 13. Penghargaan terhadap kemajemukan atau keragaman etnik dan agama tak terelakkan lagi menjadi kepentingan mendasar bangsa Indonesia 7 yang plural. Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaanperbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya. Untuk menumbuhkan sikap tersebut pendidikanlah yang paling tepat, utamanya pendidikan Islam untuk dijadikan wadah menyemai benih toleransi, harmoni kehidupan dan penghargaan yang tulus atas realitas keragaman kultural-religius masyarakat. Sebab pendidikan Islam yang menjadi subsistem pendidikan nasional menjadi salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi 8 secara konstruktif. Minimal, pendidikan Islam mampu memberi penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan sesuatu hal yang baik untuk dibudayakan dan mampu memberi tawaran-tawaran yang mencer-daskan, antara lain dengan cara mendesain materi, motode, hingga kurikulum yang memberi ruang penyadaran kepada 5
M. Dawam Raharjo “Pengantar Fanatisme dan Toleransi” dalam Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung:Mizan, 2011), h. xvi 6 Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 15 7 Suhadi Cholil (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS), 2008), h. 29. 8 Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 8
masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan 9 budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Hal-hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah kegelisahan akademik tersendiri bagi peneliti, diperparah lagi dengan munculnya kontradiksi atau paradoks antara intensitas dialog antara komunitas (agama) namun benih konflik tumbuh dimana-mana, serta adanya fenomena baru kekerasan atas nama agama (Islam) dengan melibatkan generasi muda (usia SMA, SMK & MA) untuk dijadikan eksekutor antarsesama tanpa empati kemanusiaan sedikitpun. Kajian dalam tulisan ini diarahkan untuk mengelaborasi apakah pendidikan agama Islam di SMA telah memberi ruang untuk tumbuhnya perilaku toleransi bagi warga sekolah ataukah sebaliknya justru terjadi penyempitan dan penutupan ruang itu dengan menggunakan model prejudaise dan menanamkan budaya eksklusifisme atau permusuhan terselubung dalam memaknai sebuah realitas keragaman serta memunculkan konsekwensi logis dari pola pembelajaran tersebut.
B. PEMBAHASAN 1.
Tinjauan Pendidikan Agama Islam a. Pengertian PAI Menurut Tafsir, Pendidikan Agama Islam meru-pakan suatu nama kegiatan mendidikkan agama Islam. Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menjadi dinamakan “Agama Islam”. Sehingga sama seperti mata pelajaran lainnya di sekolah seperti mata pelajaran Fisika, Biologi, Matematika dan bukan mata pelajaran pendidikan Fisika, pendidikan 10 Biologi atau pendidikan Matematika. Karakteristik Pendidikan Agama Islam; 1) PAI berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apapun; 2) PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan hadis serta otentisitas keduanya sebagai sumber ajaran Islam; 3) PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian; 4) PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial; 5) PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan budaya serta aspek-aspek kehidupan lainnya; 6) substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra rasional; 7) PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan (peradaban ) Islam; dan 8) dalam beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat ukhuwah 11 Islamiyah. b. Landasan Pelaksanaan PAI 9
Choirul Mahfud, Pendidikan, h. 5 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, h. 11 H. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006), h. 102 10
65
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional, terutama padapenjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ayat (2) Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. H. 1 Selanjutnya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa (1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama; (2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, meng-hayati, dan mengamalkan nilainilai agama yang menye-rasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c.
Kurikulum PAI Dalam pembahasan kurikulum Pendidikan Agama Islam, tertuang dalam pasal 5 ayat 1 sampai ayat 9 yang berbunyi : (1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik. (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
66
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. (8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan. (9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, 12 dan kedalaman materi. Djohar MS, mengemukakan bahwa pendidikan agama saat ini memasuki babak baru sehingga kurikulumnya harus menekankan pada pemahaman muatan dan materi pembelajaran. Misalnya bagaimana siswa berdialog dan mencari cammon ground yang akan menjadi dasar pijakan dan bekal bagi siswa untuk berdialog dengan realitas disekitarnya khususnya realitas 13 keragaman. Apalagi dengan adanya kurikulum tingkat satuan pelajaran, yang memung-kinkan guru untuk dapat lebih kreatif dalam mendesain sebuah kurikulum yang berbasis kebutuhan lokal. Oleh sebab itu sekolah memiliki potensi yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tersebut dimana guru itu melakukan proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan melihat realitas lokal, maka desain kurikulum harus bisa membedakan antara materi sekunder dan primer yang harus diajarkan di 14 sekolah. 2.
Model Pendidikan Agama (Islam) Menjadikan model pendidikan agama (Islam) sebagai basis telaah dan analisis atas sejumlah problem sosial-kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat plural seperti Indonesia menjadi menarik dan fungsional. Pengajaran pendidikan agama menurut Jack L. Seymour harus menggunakan model yang memungkinkan terbentuknya sikap penerimaan antarsesama atau sikap toleran diantara siswa. Hal ini bisa terjadi bila pendidikan agama tidak sekedar mengajarkan pengetahuan dan ajaran agama yang diyakininya tetapi mengajarkan pengetahuan agama lain diluar agama yang 15 diyakininya. Sementara Tabita Kartika Christiani merumuskan tiga model pendidikan dan pembelajaran agama, yaitu, pertama, model in the wall. Model ini lebih menekankan pada pendidikan dan 12
Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, h. 13 Suhadi Cholil (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS), 2008), h. 33 14 Suhadi Cholil (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS), 2008), h. 33 15 Jack L. Seymour, et.al, Educating Christian: The Intersection of Meaning, Learning, and Vocation, (Nashville: Parthenon Press, 1997), h. 121.
pembelajaran agama yang berorentasi terbatas pada agama sendiri, dan tidak mengajarkan agama lain. Kalau pun diajarkan tentang agama lain lebih cenderung mengungkap sisi negatif dan kurang proporsional. Agama lain ditempatkan sebagai ancaman, patut dicurigai, dan tidak membawa kebenaran dan keleselamatan. Atau dengan kata lain model ini mengajarkan agama dengan sangat eksklusif dengan realitas keragaman agama sekitar. Kedua, model at the well. Berbeda dengan pembelajaran model at the well. Model pendidikan dan pembelajaran mengutamakan tidak hanya semata-mata mengajarkan agama sendiri, tetapi mendialogkannya dengan agama lain. Dengan model ini, mendorong lahirnya satu persepsi dan sikap yang saling memahami dan mulai tertarik untuk mendialogkan kebenaran masing-masing demi menemukan sisi kesamaan dan tidak saling menegasikan. Dalam model ini sikap inklusif atas realitas keragaman agama mulai menemuan bentuknya. Ketiga, model beyond the well. Pendidikan dan pembelajaran agama dengan model ini, tidak saja menunjukan sikap penerimaan atau dialog dengan orang yang beda agama, tetapi lebih menekankan pada sikap beragama yang toleran dan dapat bekerja sama dalam membangun perdamaian, keadilan, harmoni, dan keterlibatan aktif dalam 16 aktivitas kemanusiaan. Dari ketika model pembelajaran agama yang ditawarkan diatas penulis lebih mengapresiasi model pembelajaran agama yang ketika yang menonjolkan penerimaan aspek-aspek sosial tanpa meninggalkan aspek keTuhanan, yang harus dipengangi oleh setiap individu atas keyakinan agamanya, apatah lagi bagi para warga sekolah yang yang heterogen, sehingga harus mampu menciptakan suasana yang lebih terbuka dan bukan tertutup pada pemahaman agamanya sendiri. Dalam penilaian M. Agus Nuryatno, pendidikan agama dalam konteks Indonesia yang pluralis, terutama pendidikan agama Islam masih ditemukan praktik dominan menggunakan model in the wall. Ia berharap bahwa, pendidikan agama Islam sudah saatnya digeser ke model at the wall, dan model beyond the wall. Agar siswa muslim memiliki pemahaman dan sikap terbuka dan proporsional dalam melihat perbedaan keyakinan. Dalam moment tertentu model model at the wall, dan model beyond the wall ini menempatkan bahwa musuh bersama bukanlah perbedaan suku, agama, ras, gologan, dan etnis tetapi musuh bersama adalah kekerasan, penistaan, kemiskinan, ketidakadilan, 17 korupsi dan sejenisnya. 16
Tabika Kartika Christiani, “Blessed are The Peacemaker: Christian Religiuos Education for Peacebuilding in The Pluralistic Indonesian Context”, Dissertation, The Graduate School of Arts and Sciences Institute of Religious Education, and Pastoral Ministery of Boston College, 2005, h. 180-181. 17 M. Agus Nuryatno, “Islamic Education in Pluralistic Society”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic
Lain lagi pembacaan Th. Sumartana, dkk yang terangkum dalam buku Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia bahwa, pendidikan agama di sekolah adalah pendidikan agama yang bersifat ideologis-otoriter. Tidak ada nuansa dialog disana. Perdebatan masalah-masalah “penting” dari agama tidak pernah dikemukakan secara transparan demi mendapatkan titik temu bersama. Pendidikan agama diajarkan secara tekstual-formalistik sehingga respon yang diberikan terhadap realitas kemajemukan menjadi begitu kaku dan tidak berdaya. Sebaliknya bila pembelajaran agama yang mencoba menumbuhkan kritisisme dan apresiasi atas agama sendiri atau agama orang lain bahkan 18 bisa dikategorikan menyesatkan. Lebih lanjut dalam penilaian Kautsar Azhari Noer bahwa, penekanan pendidikan agama (Islam) selama ini pada proses transfer ilmu agama kepada anak didik, bukan pada proses transformasi nilai-niai luhur keagamaan kepada anak didik untuk membimbing agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat 19 dan berakhlak mulia. Proses yang lebih banyak berlangsung dalam pendidikan agama selama ini adalah “pengajaran” agama, bukan “pendidikan” 20 agama. Hal senada juga diungkap secara gamblang oleh Amin Abdullah bahwa, praktek di lapangan, memperlihatkan bahwa pendidikan dan pembelajaran agama pada umumnya, hingga saat ini masih lebih menekankan sisi keselamatan individu dan kelompoknya sendiri, dengan mengetepikan keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri. Visi dan misi pendidikan agama tampak sekali diwarnai dan didominasi oleh asumsi dasar paradigma klasikskolastik dari para konseptor dan perancangnya yang terlalu meng-garisbawahi keyakinan dan anggapan bahwa “keselamatan sosial” dan “keselamatan kelompok” amat ditentukan oleh dan tergantung pada “keselamatan individu”. Dengan kata lain, bahwa keselamatan individual
Studies, Vol. 49, Number 2, 2011/1432, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 411-430. 18 Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001), h. vii. 19 Kautsar Azhari Noer, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama” dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001), h. 233. 20 Perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian peserta didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini suatu bangsa atau negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka siap menyongsong kehidupan. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 5.
67
bagaimanapun juga adalah jauh lebih pokok dan 21 lebih utama dari pada keselamatan sosial. 3. Perilaku Toleran Perilaku toleransi, berasal dari dua kata “ perilaku dan toleran”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, kata “perilaku” merupakan jenis kata benda, yang memiliki arti “tanggapan atau reaksi terhadap rangsangan atau 22 lingkungan” . Selanjutnya kata “toleran” merupakan kata sifat yang memiliki arti “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya), yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan kata “toleransi” merupakan kata kerja yang memiliki tiga makna yaitu: 1) sifat atau sikap toleran; 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam 23 pengukuran kerja. Kata toleransi begitu mudah diucapkan, namun sulit dan berat untuk dilakukan dalam sikap dan perbuatan karena berbagai kepentingan dan egoisme. Sebenarnya kepentingan diri sendiri atau golongan untuk toleransi bukan diabaikan, namun dilakukan upaya titik temu yang dapat memuaskan semua pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Kepentingan harus ditempatkan dalam keseimbangan sehingga terbangun keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara.Tidak adanya toleransi menyebabkan tata kehidupan bercerai-berai, saling bermusuhan, saling serang dan merusak tata kehidupan dan semua elemen akan mengalamai kerugian, sakit. Tidak ada keuntungan dari tidak adanya toleransi. Perbedaan akan menjadi kekuatan apabila bersinergi dalam membentuk tata kehidupan. Membangun toleransi harus diawali dari diri sendiri, bahwa saya ingin senang dan orang lain juga demikian, jangan sampai kesenangan saya mengganggu orang lain. Apabila kesenangan diperoleh dengan mengganggu orang lain, toleransi menjadi berkurang, apabila tidak segera diselesaikan permasalahan komunikasi timbul dan sikap permusuhan akan dengan mudah terjadi. Setiap tujuan yang akan dicapai hendaknya dilakukan dengan proses yang baik dan berdampak positif kepada semua pihak yang terkait, baik 21
M. Amin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan Teologi dalam Era Kemajemukan di Indonesia: Sebuah Kajian Teori dan Metode” dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001), h.253. 22 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), h. 1161 23 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1722
68
langsung maupun tidak langsung. Semua pihak yang terkait harus memiliki pemahaman yang sama dan terdapat keterbukaan informasi, sehingga semua pihak sadar dan menjadi peduli untuk pencapaian tujuan bersama. Dalam kondisi yang berbedabeda para pihak yang terlibat memberikan dukungan sesuai peran dan fungsinya. Toleransi yang sebenarnya adalah pemberiaan maaf untuk suatu kesalahan bukan atas suatu perbedaaan. Perbedaaan bukan kesalahan, kita semua tidak bisa memilih untuk hadir di dunia ini menjadi berbeda dan semua sudah harus terjadi untuk berbeda. Hambatan dalam membangun toleransi adalah kurangnya pengetahuan tentang adanya perbedaan yang menyebabkan orang menjadi egois dan sombong, merasa lebih baik, dan tidak peduli dengan saudara, teman, tetangga dan masyarakat. Orang yang tidak tahu seperti berada dalam ruang yang gelap, sikap dan tindakanya hanya berdasarkan prasangka. Prasangka terutama prasangka negatif harus dijauhi, karena ini merupakan dosa yang menyebabkan rusaknya hubungan persaudaraan. Pengetahuan adanya perbedaan sebagai cahaya atau penunjuk jalan agar kita bisa menempatkan diri, mengatur peran dan fungsi agar tata kehidupan dapat berjalan dengan damai dan sejahtera. Toleransi bukan untuk mengesampingkan hak dan kewajiban. Saling menghormati merupakan kewajiban dan mendapat penghormatan merupakan hak. Hak dan kewajiban harus berjalan seimbang pada semua orang. Tuhan telah menciptakan kita dalam kondisi yang berbeda-beda. Semua orang dihadapan Tuhan sama meski berbeda suku, ras, agama, kaya, dan miskin. Dalam perilaku berbertoleransi dapat memberikan manfaat misalnya dapat menghindari perpecahan, mempererat hubungan, mengokohkan iman. Ada beberapa contoh bertoleransi yang dapat kita lakukan misalnya adanya saling menghormati, tidak menganggu dan berpartisipasi dalam hal yang positif. Diakui atau tidak salah satu kehidupan yang memiliki konstribusi untuk kuatnya atau lemahnya pemahaman multikulturalisme adalah pendidikan di sekolah. Sekolah sebenarnya menyediakan ruang dimungkinkannya memperkuat basis pengetahuan dan pengalaman hidup siswa menghargai perbedaan 24 dan kemajemukan. Kesalahan memahami toleransi sebagai bentuk ketidakpedulian pasif (passive indifference) yang nampak pada sikap acuh tak acuh yang tidak positif, atau pasif secara apatis tidak mau 24
Suhadi Cholil (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS), 2008), h. 29.
memberikan penilaian apapun terhadap orang lain karena tidak gairah dan komitmen. Untuk itu dalam membangun perilaku toleran akan tetap memberikan penilaian, baik positif maupun negatif, terhadap pendapat orang lain dengan komitmen moral dan kesadaran menghormatinya. Oleh sebab itu bertoleransi bukan berarti kita bersikap acuh tak acuh, sehingga kritik secara sopan, dan empatik dalam berdialog. Setiap orang harus menghormati perbedaan sebagaimana juga harus secara kritis mengoreksi pemahaman sendiri dan orang lain dalam proses mencari pemahaman yang lebih baik. Konsep ini disebut dengan “toleransi kritis” (critical toleration) yang berdiri di 25 atas prinsip “interaksi kritis” (critical interaction). Toleransi dalam tradisi Islam klasik, dapat di lihat pada sikap imam Malik bin Anas (w. 179 H), yang senantiasa menghargai perbedaan pendapat, pembelaan terhadap perbedaan pendapat ini nampak pada peristiwa ketika Harun al-Rasyid (w.193 H) berinisiatif menggantung kitab al-Muwatta karya Malik bin Anas di atas Ka’bah dan memerintahkan semua orang agar mengikuti kitab tersebut. Namun, Malik menolak keinginan itu dengan menyatakan bahwa “wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah anda gantung kitab itu diatas Ka’bah, sebab para sahabat Nabi telah berbeda 26 pendapat”. Jawaban Malik bin Anas ini menunjukkan adanya kerendahan hati dan keramahan dalam menghargai pendapat orang lain, dan hal ini menunjukkan sikap toleran yang elegan dan rasa empati yang patut diteladani. Toleransi yang merupakan nifestasi dari sikap sederhana dengan melakukan kritik diri (self-criticism) dan pengakuan terhadap pemahaman manusia. Ulama yang tidak takut untuk mengakui kebodohan dan ketidakpastian pendapatnya sendiri. Hal ini juga yang dilakukan imam Malik bin Anas dengan pernyataannya bahwa “aku hanyalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah maka ambillah, jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. (ana basyarun ukhti’u wa usibu fanzhuru fi ra’yu ma wafaqa alkitaba wa al-sunnata fa khudzu bihi wa ma lam 27 yuwafiq fatrukuhu). Hal yang sama dapat dilihat pada pernyataan imam Syafi’i (w.204 H), ia menyatakan bahwa “pendapatku benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar” (ra’yi sawabun yahtamilu al-khata’a wa ra’yu ghayri khata’un yahtamilu al-sawaba). Dengan prinsip ini 25
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung:Mizan, 2011), h.9 26 Ibid., h. 17-18, Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Lihat Abu Zahra, Malik: Hayatuha wa ‘Asruhu, Arauhu wa Fiqhuhu, ( Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 2002), h. 186-187. 27 Ibid, h. 18, Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, LihatYusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amalu ma’a al-Turats wa Tamadhub wa al-Ikhtilaf, h. 75
imam Syafi’i di satu sisi berusaha terhindar dari dogmatisme dan obsolutisme yang menganggap bahwa dirinya sendiri adalah benar sedangkan orang lain salah. Dan di sisi lain Syafi’i berusaha menghindari jebakan relativisme yang membenarkan semua pendapat tergantung perspektif masingmasing. Pandangan moderat imam Syafi’i ini tentunya memberi inspirasi bahwa “menyalahkan” orang lain yang berbeda pendapat adalah tindakan 28 yang tidak etis. Sikap menghargai pendapat orang lain ini tentunya didasari oleh pemahaman dan wawasan yang luas dan pendidikan yang inklusif. Bukti penekanan pendidikan yang inklusif ini dapat dipahami pada dialog Syafi’i dengan muridnya Ibrahim al-Muzani (w. 264), ia berkata “wahai Ibrahim janganlah engkau mengikuti semua ucapanku, tetapi telitilah dan berpikirlah untuk dirimu sendiri” (Ya Ibrahim la tuqalliduni fi kulli ma aqulu wanzhur fi 29 dzalika li nafsika). Sikap toleran ini tentunya dipengaruhi juga oleh kematangan dalam mengola emosi diri sendiri. Toleransi dalam tradisi Islam nampak sejalan dengan filsafat Stoicisme yang menitikberatkan pada pentingnya mengontrol emosi ketika menghadapi suatu perbedaan. Al-Ghazali (1058-1111 M/450-505 H), dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulul al-Din, menjelaskan tentang pentingnya kontrol emosi (‘ilaj al-ghadab) dalam menghargai perbedaan. Kontrol emosi ini dapat dilakukan melalui enam langkah; pertama, merenungi keutamaan memaafkan dan menahan amarah sebagaimana dalam Qs. Ali Imran ayat 13330 134 ; kedua, takut kepada siksa Allah terhadap pemarah; ketiga, menghindari ekses negatif dari permusuhan; kempat, membayangkan raut wajah yang amat jelek seperti binatang buas saat marah; kelima, berpikir ulang tentang penyebab kemarahan; keenam, menyadari bahwa kemarahan keluar dari
28 Ibid, h. 16-17, Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, LihatYusuf alQardhawi, Kayfa Nata’amalu ma’a al-Turats wa Tamadhub wa alIkhtila
À1XS\- \IÁªÔoWà R<\BXT ×1Á¯Pq C°K% QWm°ÝÙÓW% rQ¯ ßSÄîq\yXT °Än~¸XT °Än~ r¯Û WDSÁ °Ý=Äc WÛÏ°
˼˹
§ª¬¬¨ WÛܪ *À-Ú ° Õ1i°ÃÊ ¿º×q)]XT
§ª¬¨ |ÚÜ°=¦ÔUÀ-Ù p °VÅf XT ¥< C ¨ Wà WÛÜ°Ù\ÈÙXT [ÁÙkWÓÙ WÛÜ°-°À[ÙXT Terjemahan: 133dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(134)(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
69
kesombongan karena pemarah seakan-akan 31 perilakunya sesuai dengan maksud Allah.
C. PENUTUP Untuk menumbuhkan sikap tersebut pendidikanlah yang paling tepat, utamanya pendidikan Islam untuk dijadikan wadah menyemai benih toleransi, harmoni kehidupan dan penghargaan yang tulus atas realitas keragaman kultural-religius masyarakat. Sebab pendidikan Islam yang menjadi subsistem pendidikan nasional menjadi salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi 32 Minimal, pendidikan Islam secara konstruktif. mampu memberi penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan sesuatu hal yang baik untuk dibudayakan dan mampu memberi tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, motode, hingga kurikulum yang memberi ruang penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Untuk menjadi seorang muslim yang toleran, hendaknya mengakui dan menghargai adanya pluralitas pemahaman dan keyakinan tanpa harus membenarkan semuanya. Konsep pluralitas merupakan satu sunatullah yang diberikan oleh Allah swt, hal ini tersirat dalam Qs. Hud (11):119, “jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Dalam Qs. al-Maidah (5):48, Allah mengisyaratkan yang menandakan adanya pluralitas dengan makna bahwa “untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. DAFTAR PUSTAKA
Cholil. Suhadi (editor), Resonansi Dialog Agama dan Budaya: Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, sampai RUU Anti Pornografi, Yogyakarta: Center for Religius & Cross-Studies (CRCS. Christiani. Tabika Kartika, “Blessed are The Peacemaker: Christian Religiuos Education for Peacebuilding in The Pluralistic Indonesian Context”, Dissertation, The Graduate School of Arts and Sciences Institute of Religious Education, and Pastoral Ministery of Boston College, 2005. Masduqi. Irwan, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Bandung:Mizan, 2011. Mahfud. Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Misrawi. Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2010. Noer. Kautsar Azhari, “Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama” dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001 Nuryatno. M. Agus, “Islamic Education in Pluralistic Society”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, Vol. 49, Number 2, 2011/1432, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. H. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006. El-Banna. Ragab, Syi’ah wa al-Sunnah wa Ikhtilafat al-Fiqh wa al-Fiqr wa al-Tarikh, Kairo: Dar al-Maarif, t.th.
Abdullah. M. Amin, “Pengajaran Kalam dan Teologi dalam Era Kemajemukan di Indonesia: Sebuah Kajian Teori dan Metode” dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei, 2001.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
Azra. Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012.
Rahardjo. Turnomo, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi antar Etnis , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
31
Ibid, h. 20, Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Lihat, Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Vol.III, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2002), h. 227-233 32 Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 8
70
al-Ghazali. Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din, Vol.III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002
Raharjo. M. Dawam “Pengantar Fanatisme dan Toleransi” dalam Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Bandung:Mizan, 2011.
Seymour. Jack L., et.al, Educating Christian: The Intersection of Meaning, Learning, and Vocation, Nashville: Parthenon Press, 1997 Th.
Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa, 2008 Yaqin. M. Ainul. Pendidikan Multikultural: CrossKultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. al-Qardhawi. Yusuf, Kayfa Nata’amalu ma’a alTura
71