Penderitaan Sebagai Pemaknaan Realitas Kehidupan (Suatu Telaah Terhadap Konsep Dukkha Dalam Pemikiran Buddhisme) Jatayu Jiwanda M & Herminie Soemitro1 Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK Pemaknaan penderitaan sebagai realitas kehidupan adalah momen yang dapat kita temukan dalam pemikiran Buddhisme. Latar belakang pemikiran buddhisme baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis terhadap pemaknaan realitas kehidupan inilah menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan fenomenologi-hermeneutis dalam menganalisa konsep Dukkha. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan penderitaan sebagai pemaknaan realitas kehidupan, hal tersebut memberikan relevansi terhadap kehidupan manusia. Hasil dari penelitian ini adalah pemahaman terhadap penderitaan (dukkha) yang tidak hanya dipahami sebagai konsepsi semata melainkan bentuk penghayatan dari pengalamanpengalaman hidup Siddhatta Gautama. Sang Buddha melihat kondisi kehidupan manusia dan proses kehidupan yang berjalan terus menerus. Kata Kunci : Anatta, Annica, Dukkha, Tanha, Nibbana/Nirvana
Suffering as a Meaning of Reality of Life (The Analyze Concept of Dukkha in Buddhism Thought) ABSTRACT The meaning of Suffering as a reality of life is the moment where we can found in the thought of buddhism.The basic reason of the thought as well as ontological, epistemological and axiological of the meaning of buddhism become a basic in this research. This research uses the descriptive analysis and hermeneutic phenomenology method to analyze the concept of dukkha. The purpose of this study is to explain suffering as a meaning of life, which give a relevance to human life. The result of this study is an understanding of suffering that is not only understood as concept merely, although as a form of contemplation Siddhatta Gautama. Buddha’s view is human condition and processes of life always continuous. Key words : Anatta, Annica, Dukkha, Tanha, Nibbana/Nirvana
1
Jatayu Jiwanda M adalah mahasiswa program studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 24 Juni 2013. Herminie Soemitro adalah Dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Jatayu Jiwanda dalam menulis skripsi yang berjudul “Penderitaan Sebagai Pemaknaan Realitas Kehidupan (Suatu Telaah Terhadap Konsep Dukkha Dalam Pemikiran Buddhisme)”. Tulisan ini merupakan Ringkasan dari skripsi yang dimaksud.
1
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
A. PENDAHULUAN Ketika mendengar kata penderitaan, tentu kita sering mengaitkan dengan perasaan yang menyakitkan, pahit dan tentu menganggu fisik serta mental kita pada umumnya, misalnya secara fisik kita mendapatkan suatu kecelakaan hingga mengakibatkan luka pada tubuh, musibah bencana alam yang merusak lingkungan serta menyebabkan hilangnya harta benda kita, kematian, dan sebagainya. Kemudian penderitaan secara mental misalnya seperti dikucilkan dalam pergaulan, dibuat kecewa, rasa putus asa, cemas dan sebagainya. Tentu hal-hal yang dicontohkan di atas adalah gambaran sederhana untuk kita mengerti tentang bagaimana penderitaan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kemudian, melihat dari perspektif dari beberapa ajaran agama, konsep penderitaan dianggap sebagai kutukan atau siksaan dari Tuhan atas perbuatan atau tingkah laku manusia di dunia (konsep dosa). Tentunya tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang dinilai buruk dan merugikan sesama umat manusia dan mahluk hidup lainnya. Oleh karena itulah, agama menawarkan jalan sebagai suatu pegangan serta pedoman untuk menjauhkan kita dari segala macam penderitaan kehidupan baik di dunia ini maupun di akhirat dan di samping itu melalui penderitaan dapat dimaknai sebagai suatu cara berdialog dengan Tuhan. Berdasarkan kedua perspektif di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan awal secara konsep bahwa setiap manusia mengalami penderitaan, namun tentu ada beberapa hal yang membedakannya di setiap manusia seperti waktu atau event terjadinya serta tingkatan kualitas indera dalam merasakan penderitaan (qualia). Beranjak dari kesimpulan awal di atas, dapat kita tafsirkan bahwa penderitaan adalah bagian dari kondisi faktual akan keberadaan manusia di dunia. Penderitaan seperti rasa putus asa, kecemasan, ketidakpastian dan sebagainya, pada perkembangan filsafat dijadikan landasan pikiran yang melahirkan konsep serta tindakan eksistensial yang menjadi suatu reaksi atas kehidupan sekitarnya yang kita kenal sebagai aliran eksistensialisme. Seperti kita ketahui, aliran eksistensialisme ini pada awalnya merupakan reaksi atas doktrin esensialisme dari metafisika tradisional barat yang ternyata lebih mengembangkan kolektivitas dan cenderung mengabaikan sisi individual. Secara tidak langsung aliran eksistensialisme ini menolak kebenaran yang pada saat itu menjadi doktrin kuat, yakni kebenaran yang disamakan dengan akal dan membangun kembali manusia dalam kesadarannya bereksistensi di dunia sehingga manusia menggunakan kebebasannya dalam bertindak sehingga
2
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
terbebas dari otoritas manapun, menentukan dirinya dan sebagainya2. Kebenaran yang pada saat itu dianggap sebagai kebenaran tunggal dan hanya berasal dari akal secara tersirat membuat kita sering mengambil keputusan untuk menerimanya secara bulat dan menjalankannya tanpa keraguan tanpa memikirkan aspek langsung diri kita. Tentu manusia secara individual memiliki pengalaman dan situasi kehidupan yang berbeda-beda, oleh karena itulah potensi-potensi kecemasan, rasa putus asa dan sebagainya dapat muncul akibat “pemaksaan” unsur universalitas dan kolektivisme (kebenaran tunggal) ke dalam unsur individualitas. Hal inilah tercermin dalam beberapa pemikiran filsafat barat pada filsuf-filsuf eksistensialisme, seperti gagasan kebenaran subjektif dari Kierkegaard yang menggagas semua keputusan yang esensial berakar pada subjektifitas, objektifitas hanya membawa seorang individual kepada kehilangannya ketertarikan seorang individual yang tak terbatas dan hal ini berhubungan dengan “passion” setiap individual di dunia ini. Subjektifitas adalah sebuah esensi dari “passion” seorang individual, karena “passion” merupakan ekspresi tertinggi dari sebuah subjektifitas. Hal ini tentu tidak lepas dari kondisi kehidupannya saat itu, di mana pencarian akan Tuhan dibuat tidak pasti karena kebenaran yang dibuat tunggal atau objektifkan oleh otoritas gereja, sehingga perlu suatu kesadaran akan “passion” yang menjadi ekpresi pengalaman spiritual. Pengangkatan pembahasan akan personalitas atau subjek tercermin dalam pemikiran Sartre dan Nietzche, ia menggagas bahwa sebagai suatu eksistensi manusia patut merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri untuk masa depannya, manusia harus mendekatkan dirinya sebagai subjektivitas yang mampu bertanggungjawab atas pilihan dan dirinya sendiri. Sartre menggagas bahwa penderitaan adalah suatu keadaan yang membuat kita sadar akan kebebasan. Kebebasan adalah suatu potensi sentral dan unik dari kita sebagai manusia. Nietzche pun menggagas konsep Ubermensch atau manusia unggul yang dalam hal ini memiliki arti cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, maksudnya adalah dunia trasenden yang coba ditawarkan agama Kristiani. Hal ini merupakan reaksi terhadap agama Kristen yang menurutnya menguasai moralitas budak di kebudayaan barat dan telah merendahkan hidup manusia dengan dalil kebahagiaan kekal dan tak berubah. Ubermensch adalah pengganti Tuhan yang telah dibunuhnya, hal ini mengandung 2
Lihat Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol.3 No.2 : 191-226 (Juli- Desember 2004). Ruswantoro, Alim. Eksitensialisme Teistik Muhammad Iqbal.
3
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
makna bahwa agama hanya menumbuhkan pesimisme manusia untuk menjalani kehidupan, jadi manusia harus berusaha keras, percaya pada diri sendiri serta mampu menghargai momenmomen terkecil hidupnya serta bertanggung jawab terhadap pilihannya. Berdasarkan beberapa pemikiran filsuf eksistensialisme di atas, menunjukkan adanya situasi penderitaan (seperti rasa cemas, tidak pasti, keputusasaan) yang
menyandera sisi
humanitas atau personalitas manusia yang mungkin sangatlah buruk jika tidak mencoba keluar atau bereaksi dengan membangun kesadaran akan keberadaan (eksistensi) kita di dunia ini sehingga tidak mengabaikan unsur-unsur manusia sebagai individu seperti emosi, hasrat, perasaan dan sebagainya dalam menjalani kehidupan. Selain menjadi tema-tema dalam filsafat eksistensialisme, penderitaan juga menjadi batu pijakan dari munculnya aliran etika salah satunya, hedonisme dan utilitarian yang menggagas kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dengan memaksimalkan pemuasan rasa bahagia dan meminimalisasi rasa menyakitkan. Aliran ini tentu sudah berkembang pada jaman pemikiran yunani baik dari Aristippus, kaum epikurean hingga Jeremy Bentham, J. Stuart Mill dan sebagainya. Berdasarkan pemikiran hedonisme ini, sangat jelas penderitaan sangatlah perlu untuk dihindari atau diminimalisir. Melihat perspektif dari aliran ini makin kuat menegaskan bahwa penderitaan adalah sesuatu secara tersirat sebagai sesuatu yang buruk jika kita tidak keluar darinya dan sederhananya patut untuk dihindari. Perspektif dalam pemikiran atau konsep buddhisme tentang penderitaan sangat umum kita dengar dengan memaknai hidup ini adalah penderitaan, sehingga sangat tersirat perspektif ini merupakan pencarian makna dengan melihat realitas dari kehidupan yang ada. Tentu pemaknaan ini lebih mendalam dari pemahaman penderitaan dalam kehidupan sehari-hari dan kelak dari pandangan inilah buddhisme menggagas cara memandang kehidupan yang tentu kita kenal sebagai ciri filsafat timur sebagai way of life. Melihat gagasan penderitaan ini ajaran buddha mengarahkan bagaimana kita bisa lepas dari penderitaan tersebut. Lepasnya dari penderitaan (tidak terikat oleh keduniawian) itulah yang sangat sering kita baca dalam referensi buddhisme dikenal sebagai nibbana/nirvana.
4
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
a) Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut : •
Bagaimana penderitaan dalam pandangan buddhisme?
•
Apa yang dimaksud dengan penderitaan sebagai pemakanaan realitas kehidupan?
b) Tujuan Penelitian Penulisan ini diarahkan pada tujuan untuk menjelaskan penderitaan menjadi pemaknaan terhadap realita yang memberikan relevansi terhadap pemaknaan kehidupan manusia.
B. TINJAUAN TEORITIS Penulisan ini menggunakan kerangka dasar dari ajaran buddha yakni, annica, dukkha serta anatta dan mengkaji hubungannya. Annica mengandung makna ketidakkekalan atau sifat sementara, di mana secara singkat menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini memiliki proses berkembang terus-menerus layaknya roda yang berputar, dukkha mengandung pengertian sebagai penderitaan yang timbul karena rasa ketidakpuasan sebagai akibat dari adanya ketidakkekalan
serta
anatta
(non-self)
yang
secara
singkatnya
mengandung
makna
ketidakpermanenan diri atau jiwa, hal ini dikarenakan konsep pikiran dan emosi selalu berubahubah sehingga kita selalu dibayang-bayangi oleh kesementaraan tersebut. Selain konsep di atas, penulisan ini juga menganalisis konsep dari empat kebenaran mulia (four noble truths) atau dalam bahasa palinya “Cattari ariyasaccani” yang secara singkat berisi tentang pandangan Sidharta Gautama mengenai penderitaan, penyebab penderitaan, penghentian penderitaan (keadaan setelah terbebasnya manusia dari penderitaan (nibbana/nirvana) serta jalan penghentiannya.
5
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
C. METODE PENELITIAN Metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah analisa deskriptif, historis dan refleksi kritis terhadap beberapa literatur atau kepustakaan tentang buddhisme. Namun tidak hanya sekedar analisa tersebut, penelitian ini mengarahkan pemahaman mengakar serta mendalam akan penderitaan sehingga pencarian filosofis ini cenderung sebagai analisa ontologis dengan melihat penderitaan ini sebagai suatu keberadaan (yang ada) sehingga memungkinkan pencarian konsep didapatkan, namun juga tidak mengabaikan analisa epistemologis dan aksiologis. Secara tidak langsung, dalam pencarian makna ini penulis menggunakan metode fenomenologi-hermeneutis seperti yang digagas oleh Martin Heidegger, di mana metode ini bekerja dengan membiarkan benda-benda menjadi manifest sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada benda-benda ataupun fenomena yang ada. Hermeneutis dimaksudkan dalam hal ini, sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang “Ada”, ia membutuhkan prosesi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Esensi dari hermeneutika tersebut adalah sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan dapat terungkap. D. PEMBAHASAN Penderitaan sebagai pemaknaan realitas kehidupan dalam pandangan buddhisme dimulai dari analisa historis Siddhatta Gautama sebagai Sang Buddha yang diawali dengan menyadari adanya empat hal yang sebenarnya telah diramalkan oleh Asita3 seperti mati, tua, sakit dan pengembara pada saat kelahirannya dan membawa beliau kepada adanya pemahaman realitas yang berbeda dengan dirinya yang penuh kenikmatan keduniawian yang didapatkan sejak beliau kecil hingga memutuskan untuk meninggalkan istana dan menjadi seorang pengembara dengan penuh rasa penghayatan untuk mencari bagaimana melepaskan penderitaan yang dilihatnya.
3
Seorang pertapa bernama Asita dari kaki gunung Himalaya pergi menemui anak dari Raja Suddhodana karena mendapat suatu ilham dari dewa yang berasal dari Tawatimsa yang mengatakan ada seorang anak yang kelak akan menjadi Buddha
6
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
Perjalanan panjang dijalani dengan penuh bermacam-macam situasi dimulai dari belajar mencapai tingkat konsentrasi serta meditasi tertinggi namun hal tersebut tidak menjawab serta sebagai jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan. Hingga beliau melakukan asketisme yang justru ternyata melakukan penyiksaan diri hingga beliau hampir mengalami kematian akibat tidak makan,minum, berjemur dan sebagainya, namun sangat beruntung beliau diselamatkan oleh berapa orang yang memberikan beliau makanan serta minuman hingga kondisi beliau menjadi pulih kembali. Praktik asketisme ini memberikan batu loncatan untuk pencerahan kepada Siddhatta Gautama karena praktik ini justru tidak menghasilkan gagasan pemikiran ataupun jalan untuk melepaskan penderitaan. Batu loncatan ini memberikan permenungan hingga akhirnya beliau bersandar pada pohon Bodhi yang memberikan kenyamanan dalam melakukan meditasi hingga pada akhirnya mendapatkan pencerahan (enlightment), namun ini tidak semata-mata mudah dalam mencapainya karena pada saat melakukan meditasi beliau mendapatkan godaan dari Mara yang disimbolkan sebagai godaan keduniawian. Ketika mencapai pencerahan Siddhatta Gautama kelak memahami sesungguhnya apa yang menjadi realita kehidupan yang sebelumnya banyak terpengaruh oleh pandangan tradisi klasik india, di mana pemikiran pada waktu itu sangatlah kental pada adanya tradisi atau upacaraupacara persembahan sebagai usaha pencapaian harmonisasi dalam kehidupan dan kepercayaan terhadap dewa-dewa sebagai manifestasi Tuhan. Pandangan inilah yang nantinya akan terekam dan tercatat atau terstrukturisasi serta interpretasi-interpretasinya pada Veda, sehingga tradisi ritual serta kepercayaan-kepercayaan beserta interpretasi menjadi pedoman atau bahkan aturan. Permasalahan inilah yang mengacu pada suatu kesadaran bahwa pandangan realita ini hanya mengacu pada suatu kekuatan tunggal dan metafisis seperti dewa,alam maupun Tuhan yang pada akhirnya dapat dikatakan mengesampingkan sisi humanitas manusia. Memang ada kesamaan pemikiran antara hindu dan buddha, di mana ikatan keduniawian inilah yang menyebabkan kita menderita, namun jalan dari pandangan Hindu sangat berbeda untuk kita menghindari ikatan tersebut dan mencapai moksa, yakni dengan pengalihan hasrat untuk melakukan ritual-ritual atau upacara yang mengacu pada pencapaian bersatunya atman dengan brahman. Pandangan inilah yang menjadi bahan perenungan Sang Buddha ketika melihat realitas saat beliau melakukan pengembaraan yang menurutnya pelepasan ikatan duniawi semacam ini tidak menaruh diri dalam kesadaranya melainkan ia masih terjebak dalam ikatan 7
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
duniawi dengan ritual-ritual atau persembahan yang hanyalah kepercayaan yang membutuhkan banyak sesuatu materiil sehingga kita harus mendapatkannya dalam melakukan ritual. Hingga pada akhirnya Sang Buddha merumuskan konsep Dhamma/Dharma yang memandang bahwa kehidupan ini adalah penderitaan dan empat kebenaran mulia (four noble truth) yang berisi penjelasan apa itu penderitaan yang dikenal sebagai dukkha, penyebab dukkha (penderitaan), penghentian dukkha dan jalan penghentian penderitaan. Konsep dukkha tertuang dalam bagian pertama dari empat kebenaran mulia, yakni kelahiran, usia lanjut atau penuaan, sakit, kematian, berkumpul dengan yang tidak disukai, berpisah dengan apa yang disenangi, tidak mencapai keinginan yang dinginkan dan lima kemelekatan (five aggregates)4 merupakan penderitaan5. Kata dukkha berasal dari kata “du” dan “kham”, kata “du”mengandung makna kotor, keji (sense of vile) yang digunakan untuk memanggil seorang anak yang memiliki sifat yang keji (duputta), kata “kham” memiliki makna kekosongan atau perasaan kosong (sense of empty) yang biasa dibahasakan sebagai suatu kekosongan atau ruang kosong. Jadi kata dukkha mengandung makna sebagai keburukan (penderitaan atau rasa sakit) yang disebabkan adanya kekejian atau kekotoran (vileness) dan kekosongan (emptiness)6. Namun, kata dukkha yang digunakan dalam empat kebenaran mulia menurut buddhisme ini mempunyai arti yang lebih mendalam dan mencakup bidang yang sangat luas, misalnya seperti tidak kekal, tidak sempurna, perubahan, kekosongan, tanpa roh, samsara. Konsep
dukkha
memiliki
beberapa
bentuk
seperti
yang
tertulis
dalam
Dhammacakkapavatta Sutta, yakni Dukkha-dukkha, Viparinama- dukkha, Sankhara-dukkha, Paticchanna dan Appatichanna-dukkha. Dukkha-dukkha merupakan bentuk dari dukkha sebagai penderitaan biasa atau umum. Penderitaan ini mencakup dalam kehidupan sehari-hari seperti kelahiran, sakit, usia lanjut atau tua, kematian, berkumpul dengan yang tidak disukai, berpisah dengan apa yang disukai atau disayangi, tidak tercapai keinginan yang dikehendaki, kesedihan, keputusasaan, kegelisahan, kekesalan, dan penderitaan tubuh dan bathin seperti nyeri, sakit hati,
4
Disebut sebagai pancaskkhanda yang terdiri dari Rupakkhanda, vinanakkhanda (kesadaran),sannakkhanda (pencerapan), sankharakkhanda (kehendak) dan vedanakkhanda (perasaan). Dalam pandangan Buddhisme, lima kemelekatan ini hanyalah sebagai identitas, ciri atau sebutan untuk manusia dan merupakan materi yang memiliki sifat tidak kekal atau selalu berubah terus-menerus. 5 Gowans, Christoper E. Philosophy of Buddha. ( 2003, p. 119) “Now this, bhikkhus, is the noble truth of suffering: birth is suffering,aging is suffering, illness is suffering, death is suffering; union with what is displeasing is suffering; separation from what is pleasing is suffering; not to get what one wants is suffering; in brief, the five aggregates subject to clinging are suffering”. 6 Gnanarama, Ven. Pategama. Essential of Buddhism (2000, p. 31)
8
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
sakit karena daya tahan tubuh menurun dan sebagainya. Jadi, penderitaan ini adalah penderitaan yang benar-benar telah bekerja atu dengan kata lainnya merupakan suatu aksi yang efektif. Selanjutnya, Viparinama-dukkha merupakan dukkha sebagai akibat dari perubahanperubahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua perasaan gembira dan bahagia adalah berdasarkan pada sifat ketidakkekalan (annica) sehingga hanya bersifat sementara yang berimplikasi pada cepat atau lambatnya hal itu akan berubah, dan perubahan itulah justru menciptakan keadaan sebaliknya, yakni kesedihan atau kesengsaraan. Jadi penderitaan di sini adalah penderitaan yang kausal, yaitu penderitaan yang tidak aktual atau potensial namun ada sebagai kausalitas yang menjadi penyebab perubahan penderitaan yang potensial menjadi penderitaan yang aktual. Penderitaan ini adalah sebagai penyebab saja, karena daya kerjanya ditentukan oleh syarat-syarat (kondisi). Dapat diandaikan keadaan atau bentuk dukkha ini seperti jika kita mendapatkan kesejahterahaan dari hasil kita mendapatkan harta benda namun ketika secara tibatiba hal itu menghilang karena suatu keadaan (kondisi) atau juga jika kita kehilangan sosok yang kita cintai karena kondisi kematian lalu yang muncul dalam keadaan psikis maupun mental kita hanyalah rasa sedih ataupun sengsara. Kemudian bentuk dukkha lainnya, yakni Sankhara-dukkha, di mana merupakan bentuk dukkha sebagai akibat dari keadaan yang bersyarat. Penderitaan yang dimaksud di sini adalah penderitaan potensial, yaitu penderitaan yang belum bekerja atau beraksi namun ada sebagai suatu potensi yang tersimpan untuk sewaktu-waktu muncul karena kondisi yang memungkinkan dan menjadi penderitaan yang aktual. Potensi inilah yang berasal dari lima kemelekatan, di mana indera-indera yang melekat memiliki relasi dengan objek yang berada di luarnya yang mempengaruhi adanya kehendak kita, tingkah laku dan sebagainya. Selain ketiga bentuk dari dukkha yang memiliki karakter masing-masing, seperti perubahan-perubahan (syarat) dan akibatnya, ada bentuk dukkha lainnya seperti Paticchanna dukkha dan Apaticchanna dukkha. Di mana, Paticchanna dukkha mengandung makna merupakan dukkha yang tersembunyi karena bersifat individual dan mungkin akan memiliki potensi menjadi terbuka bila diketahui oleh sosok yang memiliki intimasi dengan individu tersebut, contohnya penyakit yang lama diderita, kekhawatiran dan sebagainya. Sedangkan, Apaticchanna dukkha merupakan kebalikan dari Paticchanna yang mengandung makna dukkha yang terketahui (terbuka) karena kita bisa melihatnya secara langsung baik sengaja ataupun tidak sengaja, 9
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
misalnya bekas luka akibat suatu tikaman ataupun peluru. Kemudian dalam analisa selanjutnya, dalam bagian kedua dari empat kebenaran mulia dikhotbahkan bahwasannya penyebab dari adanya dukkha adalah tanha. Lima kemelakatan (pancakkhanda) inilah yang mengondisikan adanya keinginan yang terus-menerus sehingga menyebabkan manusia terikat oleh ikatan keduniawian (Tanha). Hal ini terlepas dari adanya lima indera yang melakukan impresi atau kontak terhadap objek-objeknya sehingga membentuk perasaan, kesadaran, pencerapan dan kehendak. Keinginan dan adanya panca indera dapat dipahami sebagai kondisi alamiah manusia. Keterikatan inilah yang pada nantinya akan memicu adanya kelahiran kembali (jati) yang terus mengalami perputaran atau proses berulang-ulang yang dikenal sebagai samsara. Analisa kejadian-kejadian termasuk situasi-situasi dalam kehidupan yang merupakan penderitaan ini tercantum dalam bagian pertama dalam empat kebenaran mulia seperti lahir (jati), mati (marana), tua (jara), perasaan dukacita (soka), ratapan atau keluhan (parideva), rasa sakit, mengalami kegagalan (domanassa), putus asa (upayasa), berkumpul dengan apa yang tidak disukainya, berpisah atau dipisahkan dengan orang atau hal-hal yang disukainya, tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan lima kemelekatan. Dengan konsekuensi kelahiran kembali maka situasisituasi ini kembali akan muncul ke dalam hidup manusia yang hanya kembali membuat manusia menderita. Dalam pandangan Buddhisme, tanha bukanlah sebab pertama karena segala sesuatu itu bersifat relatif, saling bergantungan satu sama lain. Dalam paticcasamuppada (hukum saling bergantungan) keinginan terus-menerus ini (tanha) pada hakikatnya tergantung dari adanya perasaan (vedana) dan perasaan sangat tergantung pada adanya kontak atau hubungan dengan obyek sasarannya dan begitu seterusnya seperti ketidaktahuan (Avijja/Avidya), bentuk-bentuk kamma (sankhara), kesadaran (vinnana), batin dan jasmani (nama-rupa) dan landasan indria (salayatana). Dapat dikatakan pokok pikiran atau pangkal dari tanha ini adalah ketidaktahuan (avijja/avidya) sehingga menimbulkan persepsi yang salah tentang adanya “aku” dan “diri”. Tanha tidak hanya memilki makna keterikatan atau keinginan pada hawa nafsu, harta maupun kekuasaan, akan tetapi juga keinginan tentang adanya ide-ide dan cita-cita, opini, pandangan hidup , konsepsi dan kepercayaan. Ketika hal tersebut terbentuk maka akan memunculkan suatu pola pikir yang mengacu pada kita untuk melakukan suatu tindakan (kamma). Tindakan inilah 10
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
yang pada akhirnya memiliki sifat relatif dalam baik atau buruk sehingga kita tidak akan bebas dari proses kehidupan karena memilki sifat relatif dan mengakibatkan kelahiran kembali sebagai keadaan yang penuh penderitaan dan ketidakkekalan. Dalam tanha ini, sering dikaitkan dengan tiga macam hasrat yang dikatakan akar dari kegelapan dan memiliki idea yang sama seperti raga (gairah yang sangat kuat), lobha (rakus) dan dosa (kebencian atau kemarahan) dan kondisi upadana. Kondisi upadana ini dalam hukum saling bergantungan terjadi akibat adanya tanha yang diartikan sebagai sesuatu yang melekat (berbeda dengan lima kemelekatan) dan memiliki empat bentuk ,seperti kamupadhana yang merupakan ketamakan yang berasal dari hasrat sensual (sense), kemudian berasal dari pandangan yang salah (ditthupadana) yang mengandung makna tidak mengakui adanya kamma, Buddha, arahant dan sebagainya. Bentuk selanjutnya, silabbatupadana ketamakan yang berasal hanya ingin melakukan upacara atau ritual belaka tanpa memahami apa yang menjadi esensinya dan yang terakhir adalah ketamakan yang berasal dari kepercayaan dari adanya ego atau jiwa (soul) sebagai entitas yang tinggal di dalam diri, ini disebut sebagai attavadupadana. Adanya upadana ini dikarenakan adanya situasi bahwa manusia dalam hidupnya mencari apa yang baik menurutnya, sehingga ada pengabaian yang dilakukannya, seperti nilai baik atau buruk dalam perbuatannya. Hingga pada akhirnya hal ini memiliki akibat dari terciptanya Bhava (proses menjadi), karena jika sesuatu yang dianggap baik menurutnya mengakibatkan adanya keinginan untuk tetap mempertahankan apa yang menurutnya baik tersebut ataupun sebaliknya jika pemusnahan diri dianggap baik maka itu yang akan dilakukannya. Pada dasarnya pandangan tentang keinginan terus-menerus (hawa nafsu) yang diakibatkan dari adanya ketidaktahuan (avidya) juga berasal dari pandangan Hindu yang disebutnya sebagai prinsip ahangkara (keakuan atau hawa nafsu). Dalam sloka 3.40 Kresna menjelaskan bahwa indera-indera, pikiran dan kecerdasan adalah tempat duduk hawa nafsu tersebut. Melalui indera, pikiran dan kecerdasan hawa nafsu menutupi pengetahuan sejati mahluk hidup dan membingungkan7. Selain tindakan, jika mengacu pada pemahaman sebagai pandangan hidup serta opini maka keinginan terus-menerus (tanha) inilah yang menyebabkan adanya kemungkinan untuk terciptanya suatu egoistis dalam manusia sehingga muncullah adanya pengakuan kekal dan 7
Takwin, Bagus. Filsafat Timur (2003,p.58)
11
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
lahirlah term-term seperti self (diri), soul (jiwa), aku, diri dan sebagainya. Term-term tersebut ditolak karena menurut pandangan buddhisme tidak ada sesuatu yang tidak berubah sehingga dikatakan tidak ada jiwa yang kekal atau bahkan tidak ada jiwa dalam diri manusia. Hal inilah yang dibahas dalam salah satu dari tiga karakter dari eksistensi atau keberadaan, yakni Anatta. Kata anatta singkat kata merupakan antonim dari atta yang dalam bahasa pali mengandung makna jiwa (soul) ataupun ego, kemudian kata a di depannya merupakan prefiks yang memiliki makna tidak (negatif) sehingga term anatta ini berarti tanpa ego atau jiwa (soul). Dalam bahasa pali pun kata atta setidaknya atau kurang lebih memiliki empat arti, yakni8 1. sebagai diri sendiri dalam pengertian secara konvensional (e.g., attà hiattano nàtho) 2. sebagai pengakuan personalitas termasuk aspek mental dan fisiknya (e.g., attabhàvapañilàbha) 3. “self’ sebagai entitas halus yang metafisis (e.g., atthi me attà) 4. sebagai hasil pengkajian fonetik dalam bahasa sansekerta dari kata ‘àpta yang berarti memperoleh (e.g., attaü nirattaüna hi tassa hoti ) Kata atta yang mengandung makna self (diri), being, ego, soul (jiwa) and personalitas maka kata tersebut memiliki makna yang luas dan terpilah-pilah yang ditemukan dalam penelusuran kajian seperti psikologi, filsafat dan agama. Namun dalam buddhisme, makna ini dianggap sama dapat ditukar satu sama lain dan lebih mudah kita pahami sebagai jiwa. Teori pemahaman jiwa atau ego ini berakar mendalam dari tradisi pemikiran india yang ditemukan pada Veda dan Upanisad, seperti Seperti apa yang dikatakan Krisnha kepada Arjuna dalam Bhagavadgita bahwa badan ini akan hancur dan sang atman masih tetap hidup dan kekal9. Dalam Rg. Veda yang merupakan dokumen atau catatan awal mengungkapkan suatu kepercayaan monistik, yakni konsep atman (jiwa) dan brahman merupakan penyebab tunggal yang bukan bagian dari mitologi serta bukan suatu personal serta melakukan kreasi terhadap semesta. Pada tradisi Veda, brahman ini sering dianggap sebagai sesuatu yang kekal yang dalam tujuan akhir dari hinduisme yakni, Moksa atau suatu keadaan di mana atman (jiwa) kita bersatu kembali dengan brahman yang kekal. Atman merupakan percikan kecil dari brahman yang menghidupkan manusia dan mempengaruhi kerja dari indera kita dan memiliki sifat-sifat seperti tidak terbakar oleh api, tidak bergerak, tidak berubah-ubah dan sebagainya, dapat dikatakan bahwa atman
8 9
Pategama, Gnanarama Ven. Essentials of Buddhism. (2000,p.40) Suwira Satria, Wayan. Sejarah Filsafat India (buku ajar), (2008,p.129)
12
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
merupakan penyokong dari segala aktivitas manusia. Dalam Chandyoga Upanisad dikatakan bahwa atman adalah tanpa kebusukan, kematian serta dukacita, sama halnya dengan Bhagavad Gita yeng menganggap bahwa atman tersebut merupakan abadi dan tidak terlahirkan10. Dalam pandangan buddhisme, ide tentang adanya sesuatu yang kekal dan abadi adalah ide yang bersifat khayalan belaka karena berada di luar jangkauan manusia dan merupakan keyakinan yang amat sangat membahayakan karena tidak memilki dasar sama sekali sehingga asumsi di atas sangatlah ditolak. Jiwa hanya akan membawa manusia pada keinginan- keinginan yang
mengutamakan
pemenuhan
diri
sendiri,
pikiran-pikiran
yang
tidak
baik,
kesombongan,keangkuhan,egoisme dan sebagainya. Semua yang ada pada diri manusia bersifat fana dan semua waktu akan lenyap. Manusia harus menyadari dirinya tanpa ego, tanpa jati diri dan tanpa jiwa. Menyadari diri tanpa ego akan membantu manusia untuk menyadari bahwa keinginannya pun bukan keinginan nyata karena muncul dari ego tak nyata11. Tanha memiliki tiga bentuk, yakni Kama-tanha, yakni keinginan akan menikmati hawa nafsu serta mengembangkan eksistensi. Sang Buddha menuturkan bahwa tanha berasal dari manusia itu sendiri, hal ini sejalan dengan adanya lima kemelakatan yang membawa manusia pada potensi dan situasi kenikmatan ataupun kesenangan. Bisa kita lihat bahwa indera-indera yang berkontak langsung dengan objek di luarnya tentu mendukung hal ini, seperti rasa, bau, suara, pandangan yang pada nantinya memacu hasrat pada kesenangan dan kenikmatan hingga padanya mengacu pada rasa nikmat atau senang yang berlebihan. Kemudian. Bhava-Tanha, yakni keinginan akan keberlangsungan hidup atau kelahiran kembali serta keinginan untuk mempertahankan eksistensi. Keadaan ini dapat digambarkan bagaimana suatu ketika manusia memperoleh kejayaan dari kenikmatan yang ia peroleh sehingga ia ingin sekali mempertahankan keadaan tersebut sehingga menghindarkan dirinya dari segala penderitaan. Namun, pertanyaan muncul berikutnya apakah hal ini akan dapat terjadi di dalam situasi kehidupan yang berubah terus-menerus dan kita tidak pernah mengetahui pasti situasi yang nantinya akan kita hadapi dan yang terakhir adalah Vibhava-Tanha, yakni keinginan untuk ketidaklangsungan kehidupan atau melenyapkan eksistensi diri (pemusnahan diri). Hal ini berkebalikan dengan Bhava-tanha, di mana keinginan ini tentu secara singkat dapat kita andaikan
10
11
Buswell, Robert J. Ecyclopedia of Buddhism . ( 2004,p. 18) Lihat Thesis. Noor, Zairin. Tujuan Kehidupan Dalam Buddhisme : Telaah Terhadap Nirwana. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 2005
13
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
sebagai keadaan manusia sepertinya tidak menerima kenyataan yang mungkin menyiksa atau menekankan dirinya secara fisik maupun batin sehingga terlintas dalam benaknya untuk memusnahkan atau melenyapkan dirinya dari dunia yang melingkupinya sebagai suatu reaksi atau sikap ketidaktahanannya terhadap keadaan yang ia alami dalam kehidupannya. Dengan melihat ketiga bentuk ini sangatlah jelas, adanya pemenuhan keinginan untuk dirinya sendiri sehingga sangat terlihat adanya kehausan ataupun kelaparan yang menggeluti keinginan. Keinginan yang terus-menerus ini memang adalah bagian dari salah satu bentuk hasrat dalam pandangan buddhisme, di mana hasrat semacam inilah yang haruslah diredam pada akhirnya sehingga secara tidak langsung kita tidak sangat terpengaruh oleh objek-objek indera yang menggoda dan hendaknya menaruh jarak terhadap objek-objek tersebut (bagian dari paparan tentang jalan tengah atau middle way). Kemudian analisa selanjutnya merupakan penghayatan adanya dimensi ruang dan waktu sebagai komponen yang membentuk penderitaan dikenal sebagai konsep anicca, di mana mengesankan suatu pandangan empiris oleh Sang Buddha akan ketidakpermanenan atau ketidakkekalan dalam proses kehidupan sehingga faktanya tidak pernah ada realitas yang kondisinya statis melainkan dinamis seluruhnya. Hal ini merupakan salah satu karakter dari adanya keberadaan seluruh komponen dan kondisi kehidupan. Situasi ketidakkekalan inilah yang yang menyebabkan adanya pengandaian kita tidak pernah mengerti kondisi apa yang akan terjadi ke depan serta untuk mengatasi hal ini kita sebagai manusia hanya dapat melakukan prediksi atau spekulasi. Dengan pemahaman realita kehidupan yang membentuk adanya penderitaan inilah yang selanjutnya menjadi acuan atau landasan dengan menggagas konsep penghentian dukkha yakni, nibbana/nirvana. Konsep ini mengacu pada pemadaman tanha yang merupakan sebab dari adanya penderitaan. Sehingga kita dituntun untuk melakukan penghentian dari dukkha yang menyebabkan ketidakpuasan serta menjebak pada keterikatan duniawi akibat ketamakan, kebencian serta delusi yang melekat pada tanha yang berada pada kehidupan kita ini. Jalan dalam pencapaian konsep ini adalah dengan pandangan serta perhatian yang benar, ucapan yang benar, perbuatan yang benar, pola hidup atau pencaharian yang benar, usaha yang baik, pengertian atau maksud yang benar, kesadaran yang benar dan konsentrasi yang benar. Konsep inilah yang tercantum dalam bagian ketiga dan keempat dari empat kebenaran mulia.
14
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
E. KESIMPULAN Pemahaman penderitaan (dukkha) sebagai realitas kehidupan bukan semata-mata hanya kesan belaka atau sekedar konsepsi semata melainkan bentuk penghayatan dari pengalamanpengalaman
hidup
Siddhatta
Gautama
yang
kelak
menjadi
pandangan
hidup
dan
didemonstrasikan yang kemudian dijalankan oleh para pengikutnya12 dengan melihat kondisi kehidupan manusia beserta kesadaran akan seluruh proses kehidupan, seperti kondisi tanha yang diselimuti kebencian, hawa nafsu dan kerakusan akan membawa kita pada ikatan duniawi yang membawa potensi kelahiran kembali serta konsekuensi yang terjadi atas keterlemparan kita terhadap ruang dan waktu yang termuat proses kehidupan yang terus-menerus. Dengan menyadari keterlemparan dan kondisi manusia ini jalan pelepasan atau penghentian dukkha dilakukan dengan memadamkan segala keinginan yang penuh dengan hawa nafsu, kerakusan, gairah serta kebencian yang ada dalam diri manusia.
F. KEPUSTAKAAN Buswell, Robert E. 2004. Encyclopedia of Buddhism. New York. Macmillan Reference USA. Gowans, Christoper W. 2003. Philosophy of the Buddha. New York & London. Routledge. Hardiman, F. Budi.2007. Filsafat Modern ( dari Machiavelli sampai Nietzsche). Jakarta . Gramedia Pustaka Utama. Laumakis, Stephen J. 2008. An Introduction to Buddhist Philosophy. New York. Cambridge University Press. Mahathera, Nyanatiloka dkk. 2011. Paticcasamuppada : Kemunculan yang Dependen (Laura Perdana, Jimmy Halim & Leonard Halim, Terjemahan). Vijjakumara. Pategama, Gnanarama Ven. 2000. Essentials of Buddhism. Sri Lanka. Buddha Dharma Education Association inc. Rahula,Sri Wapola. 1974. What The Buddha Taught. New York. Grove Press.
12
Takwin, Bagus. Filsafat Timur (2003,p.17)
15
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013
Satria, Wayan Suwira. 2008. Sejarah Filsafat India (buku ajar). Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Sayadaw, Mahasi. 1998. Dhammacakkappavattana Sutta. Malaysia. SukhiHotu Dhamma Publication. Takwin, Bagus. 2003. Filsafat Timur : Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur. Yogyakarta. Jalasutra Webster, David. 2005. The Philosophy of Desire In The Buddhist Pali Canon. New York. Routledgecurzon. Zimmer, Heinrich. 2011. Sejarah Filsafat India ( Agung Prihantoro, Terjemahan). Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Jurnal/Skripsi/ Thesis Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol.3 No.2 : 191-226 (Juli- Desember 2004). Ruswantoro, Alim. Eksitensialisme Teistik Muhammad Iqbal. Tjetje, Aggi. Skripsi. Pandangan Buddhisme Tentang Dimensi Ketuhanan. Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 1987 Noor, Zairin. Thesis. Tujuan Kehidupan Dalam Buddhisme : Telaah Terhadap Nirwana. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 2005. Jurnal veritas : Jurnal teologi dan pelayanan 7/2 (oktober 2006). Bedjo. Penderitaan Menurut Agama Buddha: Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristen.
16
Penderitaan sebagai ..., Jatayu Jiwanda M, FIB UI, 2013