perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN 9 DARI NADIRA KARYA LEILA S. CHUDORI
TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh RATNA SUSANTI S841008024
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN 9 DARI NADIRA KARYA LEILA S. CHUDORI
TESIS
Oleh RATNA SUSANTI S841008024
Komisi
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
……………
…….2012
Pembimbing II Dr. Nugraheni Ekowardani, M.Hum. …………….
.........2012
NIP 196204071987031001
NIP 197007162002122001
Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 10 Februari 2012 Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031001 commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN 9 DARI NADIRA KARYA LEILA S. CHUDORI
TESIS Oleh RATNA SUSANTI S841008024
Tim Penguji Jabatan
Nama
Ketua
Tanda Tangan
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ………….…
Tanggal
.……. 2012
NIP 194403151978011001 Sekretaris
Dr. Hj. Andayani, M.Pd.
…………….
….…. 2012
………....…
….…. 2012
NIP 196010301986012001 Anggota
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
Penguji
NIP 196204071987031001 Dr. Nugraheni Ekowardani, M.Hum. ………..…….
...….. 2012
NIP 197007162002122001
Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal ……………………. 2012 Direktur
Ketua Program Studi
Program Pascasarjana UNS
Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Ir.Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. commit to userNIP 196204071987031001 NIP 196107171986011001 iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa: 1.
Tesis yang berjudul PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN 9 DARI NADIRA KARYA LEILA S. CHUDORI ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan sumber kutipan serta daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsurunsur jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta gelar MAGISTER saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)
2.
Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS berhak memublikasikan pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 17 Februari 2012 Mahasiswa,
commit to user iv
Ratna Susanti S 841008024
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (Q.S. Al-Insyirah: 5-7)
Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi. (Jawaharlal Nehru)
Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang ingin terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan. (Mario Teguh)
Mereka yang membenciku selalu memotivasiku. Mereka yang mencintaiku selalu menginspirasiku. (Penulis)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Sebuah karya kecil ini dipersembahkan untuk: 1. Bapak Suramto & Ibu Sri Wartini, kedua orang tuaku yang tak pernah letih berdoa untuk kesuksesan anak-anaknya. 2. Indri Purwanto, S.H., suamiku tercinta. Terima kasih tak terhingga atas segala pintaku dan atas rasa setiamu hingga tahun ke-13 ini kita senantiasa setia melukis bersama dalam kanvas kehidupan yang penuh rona. 3. Aulia Zahra Tasyarasita, gadis kecilku semata wayang yang selalu menumbuhkan selaksa asa dalam hidupku sekaligus menginspirasi dalam segala karyaku. 4. Rekan-rekan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Angkatan 2010 (Kelas Paralel), yang selalu kompak dan semangat mendukungku serta meniupkan energi yang luar biasa dalam banyak hal. 5. Rekan-rekan Sahabat Lovers yang telah memberikan dukungan selama ini. 6. Almamaterku tercinta, UNS, tempatku mendulang ilmu.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Taala yang telah memberikan limpahan karunia, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Karya Leila S. Chudori” dengan Komisi Pembimbing I, Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., sedangkan Komisi Pembimbing II, Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2012. Cukup banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu, tidaklah berlebihan kiranya dalam tesis ini disampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini. 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur Pascasarjana UNS yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini. 2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. dan Dr. Hj. Andayani, M.Pd., Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Program
Pascasarjana UNS yang telah membantu proses
perkuliahan sehingga
dapat berjalan dengan lancar. 3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Komisi Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian, dan penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun sistematis. commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., Komisi Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan cepat. 5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. dan Dr. Hj. Andayani, M.Pd. selaku ketua dan sekretaris dewan Penguji Tesis yang telah memberikan masukan yang luar biasa demi kesempurnaan penyusunan tesis ini. 6. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak/Ibu akan menjadi bekal bagi penulis untuk menapaki hidup mengejar asa. 7. Bapak Suramto dan Ibu Sri Wartini, kedua orang tuaku yang tiada letih berdoa untuk kesuksesanku. 8. Indri Purwanto, S.H., suamiku tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi atas keinginanku untuk mengaktualisasi diri dan merelakan waktu tersita di akhir pekan. 9. Seluruh rekan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia (Kelas Paralel) atas segala dukungannya.
Kiranya sekeping mutiara yang terpatri dalam penelitian ini dapat memberikan
manfaat
yang
sebesar-besarnya
bagi
perkembangan
ilmu
pengetahuan di bidang pendidikan bahasa Indonesia, khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Februari 2012
commit to user viii
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL ………………………………………………………………….
i
PENGESAHAN PEMBIMBING ……………….............……………… ii PENGESAHAN TIM PENGUJI .............................................................. iii PERNYATAAN ....................................................................................... iv MOTTO .................................................................................................... v PERSEMBAHAN..................................................................................... vi KATA PENGANTAR .............................................................................. vii DAFTAR ISI ………………………………………………….………… ix ABSTRAK ................................................................................................ xi ABSTRACT ................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ iv BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………..
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….. 1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………. 8 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 8 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 8 BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR .………………………………. 10 A. Kajian Teori ……………………………………………………… 10 1. Pengertian Sastra ………………………………………… 10 2. Hakikat Cerpen ………………………………………….. 13 3. Ciri-ciri Cerpen …………………………………………. 16 4. Struktur Cerpen …………………………………………. 19 commit user 5. Pengertian Sosiologi Sastrato…………………………….. 28 ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Konsep Sosial-Budaya di Masyarakat ………………….. 39 7. Pengertian Nilai ………………………………………… 45 8. Pengertian Pendidikan ………………………………….. 48 9. Konsep Pendidikan Karakter …………………………… 49 10. Jenis-Jenis Nilai Pendidikan …………………………… 55 11. Penerapan Nilai Pendidikan dalam Karya Satra ………… 61 B. Penelitian yang Relevan …………………………………………. 64 C. Kerangka Berpikir ……………………………………………….. 70 BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………………… 72 A. Jenis Penelitian …………………………………………………... 72 B. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………… 73 C. Bentuk dan Strategi Penelitian …………………………………… 74 D. Data dan Sumber Data …………………………………………… 75 E. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………. 77 F. Validitas Data ……………………………………………………. 78 G. Teknik Analisis Data …………………………………………….. 79 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………. 82 A. Hasil Penelitian …………………………………………………. 82 1. Latar Belakang Sosial Budaya dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira ………………………………..……… 82 2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira………..…………………. 109 3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira….. 116 B. Pembahasan ……………………………………………………. 128 1. Latar Belakang Sosial Budaya dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira ………………………………………………. 128 commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira…………………… 140 3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira … 148 BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………………….. 165 A. Simpulan ……………………………………………………… 165 B. Implikasi ……………………………………………………… 167 C. Saran ………………………………………………………….. 171 Daftar Pustaka ………………………………………………………… 173 Lampiran ……………………………………………………………… 180
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Ratna Susanti, S 841008024, 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Karya Leila S. Chudori. Komisi Pembimbing Pertama Prof. Dr. Sarwiji Suwandi dan Komisi Pembimbing Kedua Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira; (2) mendeskripsikan pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira; dan (3) mendeskripsikan nilai pendidikan kumpulan cerpen 9 dari Nadira. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data penelitian ini berasal dari sumber data primer, yaitu kumpulan cerpen 9 dari Nadira dan sumber data sekunder, yaitu buku-buku dan informasi tentang penulis serta sumber dari internet tentang kumpulan cerpen 9 dari Nadira. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah content analysis atau analisis isi dokumen. Teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif dengan tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan: (1) latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini meliputi sistem religi/kepercayaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan; (2) pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah tokoh wanita yang maju, berwawasan luas, mempunyai intelektual dan pendidikan, tingkat sosial ekonomi yang tinggi, dan berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja di ruang publik; (3) nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira meliputi: (a) nilai agama, yaitu nilai pendidikan yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, (b) nilai moral, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan baik buruk tingkat laku manusia, (c) nilai adat/budaya, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan kebiasaan dan tradisi, (d) nilai sosial, yaitu nilai pendidikan yang menekankan pada hubungan manusia dengan sesamanya, dan (e) nilai karakter, yaitu nilai pendidikan yang berkaitan dengan kepribadian seseorang yang digunakan sebagai landasan dalam bersikap dan bertindak.
Kata Kunci: cerpen, sosiologi sastra, nilai pendidikan, latar sosial-budaya
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Ratna Susanti. S 841008024, 2012. A Literary Sociology and An Educational Value Approach of Short Story Antology 9 dari Nadira by Leila S. Chudori. The First Advisors Commision Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. and The Second Advisors Commision Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Thesis. The Study Program of Indonesian Language Education, Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta. The aim of research are: (1) to describe the socio-cultural background of the short story antology entitled 9 dari Nadira; (2) to describe the writer’s views in her short story antology entitled 9 dari Nadira; and (3) to describe the educational values of the short story antology entitled 9 dari Nadira. This is qualitative descriptive research with a literary sociology approach. Data of research consisted of primary dan secondary data. The primary data were obtained from the short story antology entitled 9 dari Nadira. The secondary data were obtained from books, comments by other writers on the short story entitled 9 dari Nadira, and information obtained from internet about short story antology 9 dari Nadira. The data of research were gathered through a content analysis technique. They were validated through teory triangulation and were analyzed by means of an interactive analysis technique with three components of analysis, namely: data reduction, data display, and conclusion drawing. According to the result of the analysis, some conclusions are drawn as follow: (1) the socio-cultural backgrounds of the short story antology of 9 dari Nadira are religion system, people organization system, knowledge system, languages, art, livelihood system, and technology system; (2) the short story antology writer’s views in her short story entitled 9 dari Nadira in general are sophisticated and intellectually high, and contain high social economy; (3) the educational values that the short story antology of 9 dari Nadira contains include: (a) religions value, education related to relation between God and human beings, (b) moral value, education related to good and bad attitudes and behaviors of human beings, (c) custom and tradition value, education related to custom and traditions, (d) social value, education related to interrelation among human beings, and (e) character value, education related to persons and attitude.
Key words: short story, literature of sociology, education value
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sinopsis 9 dari Nadira ………………………………… 181 Lampiran 2. Profil Pengarang .……………………………………… 189 Lampiran 3. Hasil Wawancara …..………………………………….. 190 1. Wawancara Leila S. Chudori dengan Radio Nederland ...... 190 2. Wawancara Leila S. Chudori dengan Tim Kampung Fiksi.. 195 Lampiran 4. Artikel tentang 9 dari Nadira .………………………… 201 Lampiran 5. Data Hasil Penelitian ….……………………………….. 212
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang menggunakan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai medianya. Karya sastra merupakan bentuk kreativitas dalam bahasa yang indah serta berisi pengalaman batin dan imajinasi pengarangnya yang bersumber dari penghayatan realitas sosial. Pada hakikatnya karya sastra merupakan gambaran dari suatu masyarakat yang mencerminkan kehidupan sosial dan sisi lainnya dibuat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan kehidupan manusia. Permasalahan tersebut dapat berupa segala sesuatu yang terjadi dalam diri pengarang maupun orang lain. Oleh karena itu, sebuah cipta sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan serta tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra mampu melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami oleh manusia. (Mursal Esten, 1990: 8). Bentuk pengungkapan inilah yang merupakan olahan pengarang dalam menggambarkan segala aspek kehidupan manusia melalui ekspresi pengarangnya. Karya sastra juga merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, commit to user dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu (Retno Winarni, 2009: 6). Karya sastra termasuk sebuah karya tulis. Jika dibandingkan dengan jenis karya tulis lainnya, karya sastra memiliki ciri berbagai keunggulan, seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapannya (Dendy Sugono, 2003: 159). Keaslian suatu karya sastra menunjukkan adanya otoritas dari setiap pengarangnya, sedangkan dari sisi keartistikannya, sastra menunjukkan bahwa karya tersebut menyuguhkan karya seni tinggi. Dengan membaca karya sastra, orang akan tahu atau paling tidak dapat meraba kondisi sosial masyarakat tertentu pada suatu masa, meskipun kondisi sosiokultural masyarakat tadi tidak selalu digambarkan persis apa adanya, mengingat kefiktifan karya sastra. Lebih dari itu, juga harus diingat bahwa pengarang memiliki subjektivitas dalam menilai dan mengamati realita yang disaksikannya. Oleh karena itu, subjektivitas inilah yang memengaruhi suatu karya sastra. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan. Kehidupan tersebut merupakan pengalaman nyata pengarang yang dicoba dihidupkan melalui karyanya yang bersifat fiktif. Dalam menginterpretasikan kehidupan, pengarang tentu tidak lepas dari akar kebudayaan dan masalah sosial yang melingkupinya. Dalam memahaminya, tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial budaya, tetapi juga harus dipahami dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dari dirinya sendiri. Jadi, pemahaman latar belakang budaya suatu karya sastra sangat diperlukan untuk meraih makna yang utuh dari suatu karya sastra tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Makna yang utuh dari suatu karya sastra dapat pula dicapai melalui berbagai pendekatan karya sastra. Menurut Abrams (dalam Wiyatmi, 2009: 79), ada beberapa pendekatan karya sastra, antara lain, pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik, dan objektif. Pendekatan mimetik menganggap bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan, atau dunia ide; pendekatan ekspresif menganggap bahwa karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya; pendekatan pragmatik menganggap bahwa karya sastra sebagai alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca; dan pendekatan objektif lebih menganggap bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang dapat berdiri sendiri dan memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri. Selain berbagai pendekatan yang disebutkan di atas, masih ada pendekatan semiotik, yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda; pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan karya sastra yang dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat; pendekatan resepsi sastra yaitu pendekatan yang menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap karya sastra tertentu; pendekatan psikologi sastra yaitu pendekatan yang digunakan untuk menginterpretasikan dan menilai karya sastra; serta pendekatan feminisme (kritik sastra feminis), yaitu pendekatan yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Sebagai karya imajinatif, karya sastra memiliki fungsi sebagai hiburan yang menyenangkan sekaligus berguna menambah pengalaman batin bagi para commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
pembacanya. Membicarakan karya sastra yang bersifat imajinatif, ada tiga jenis karya sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalan cerita pendek (cerpen). Berbagai permasalahan yang ada di sekitar kehidupan individu dapat menjadi bahan penciptaan karya sastra (cerpen). Tema seperti kritik sosial, perbedaan pandangan masyarakat, kejiwaan seseorang dalam menghadapi suatu masalah, dan masih banyak tema lain yang menjadi pokok pemikiran para cerpenis. Seorang cerpenis dapat menciptakan berbagai tema yang dirangkum dalam suatu tema utama. Semakin banyak permasalahan yang dimunculkan, semakin menarik karya sastra tersebut. Jadi, tidaklah mengherankan jika seseorang membaca cerpen, seperti sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, pembaca ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, haru, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan bacaan dan dinikmati, ada kecenderungan dapat dijadikan bahan renungan yang menarik dan banyak manfaat yang diperoleh melalui pesan positif yang disampaikan pengarangnya. Tidak hanya itu, dengan segala permasalahannya yang universal, cerpen juga menarik untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan pembelajaran di kelas. Cerpen yang akan dikaji ini adalah cerpen-cerpen karangan Leila S. Chudori yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
dibukukan menjadi buku kumpulan cerpen dengan judul 9 dari Nadira yang selanjutnya disingkat 9dN. Buku ini memuat 9 judul cerpen, yaitu (1) Mencari Seikat Seruni, (2) Nina dan Nadira, (3) Melukis Langit, (4) Tasbih, (5) Ciuman Terpanjang, (6) Kirana, (7) Sebilah Pisau, (8) Utara Bayu, dan (9) At Pedder Bay. Kumpulan cerpen dengan judul 9 dari Nadira (selanjutnya disebut 9dN) merupakan karya fiksi terbaru Leila S. Chudori. Buku ini terdiri atas sembilan cerita pendek dengan tema kehilangan yang kuat dan karakter Nadira sebagai pemersatunya. Cerita-cerita pendek tersebut ditulis dengan rentang waktu yang lama dan banyak di antaranya yang bisa berdiri sendiri. Menyimak 9dN, akan disuguhi kompleksitas tema dan karakter. Dunia reportase, tradisi, cinta, harga diri, dan masih banyak lagi bercampur dengan efektif tanpa membuatnya jatuh ke dalam formula sinetron. Buku ini mampu menyedot pembacanya ke dalam alur yang tidak linear. Dengan nyaman penulisnya melompat-lompat ke berbagai highlights dalam kehidupan Nadira. Tidak semua jawaban dari pertanyaan yang ada di dalam buku ini disimpan di cerita pendek yang terakhir. Bisa juga di cerpen-cerpen awal karena formatnya yang berupa kumpulan cerita pendek memungkinkan hal itu. Kesembilan kisah yang disodorkan Leila, bagai kepingan-kepingan kisah, yang memiliki awal dan akhir. Namun tetap memiliki benang merah cerita yaitu tokoh-tokohnya, terutama Nadira sebagai tokoh sentral. Dengan mengambil setting cerita di beberapa kota di Indonesia, Amsterdam-Belanda, Victoria, B.C., Kanada, dan New York-USA membuat cerita dalam buku ini terasa menarik dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
tidak membosankan. Meskipun dalam balutan kisah-kisah yang cenderung kelam, dengan beragam tokoh yang memiliki karakter masing-masing, namun Nadira berusaha untuk tetap tegar menghadapi segala hal dalam hidupnya. Dia tetap untuk berusaha survive dan terus hidup. Inilah esensi yang bisa ditangkap dari kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini. Kesembilan cerpen dalam buku ini fiksi, jika ada persamaan cerita atau karakter, maka itu kebetulan semata. Namun bukan hal mengherankan apabila ternyata Leila membangun karakter Nadira dengan kehidupan pribadinya sebagai landasan. Keduanya sama-sama berayahkan wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, dan menjadi wartawan di majalah berita. Alhasil sosok Nadira menjadi begitu nyatanya, sampai-sampai cerpen yang langsung berfokus pada dirinya terasa lebih menonjol daripada yang tidak. Seperti dalam Melukis Langit, Tasbih, dan Kirana. Walaupun demikian, cerpen-cerpen dengan sudut pandang karakter selain Nadira—misalnya Nina dan Nadira atau Sebilah Pisau—tidak bisa dipandang
sebelah
mata.
Selain
membuktikan
kepedulian
Leila
pada
pengembangan karakter yang lain, cerpen-cerpen tersebut juga memberikan pembaca kesempatan mengenali Nadira melalui interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya. Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam pendidikan di Indonesia, yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selanjutnya, di dalam rambu-rambunya ditegaskan pula bahwa pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalar, daya khayal, dan kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian, peran pelajaran sastra menjadi sangat penting. Hal yang menarik dari kumpulan cerpen 9dN ini adalah karena sebagai pengarang, Leila menyajikan narasi dengan tidak lazim dan unik. Penguatan tokoh dan konflik batin yang terjadi dibangun seiring dnegan rangkaian bab demi bab. Sekalipun penuturannya tidak linear, kedalaman karakter tokohnya tertuang dengan sempurna. Adapun alasan peneliti memilih kumpulan cerpen 9dN ini adalah sebagai berikut. Pertama, sejauh ini belum ada yang meneliti karya tersebut. Kedua, kumpulan cerpen 9dN ini menampilkan gambaran representasi problematika sosial di Indonesia modern dengan cita rasa yang berbeda. Ketiga, kumpulan cerpen 9dN sarat dengan nilai pendidikan (agama, sosial, adat-istiadat, dan moral). Oleh karenanya, kumpulan cerpen 9dN ini dijadikan objek penelitian dengan judul Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori. Kumpulan cerpen 9dN ini menggambarkan keberadaan manusia dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan yang melingkupinya. Permasalahan yang diangkat dalam kumpulan cerpen 9dN merupakan refleksi dari kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial, terutama kehidupan di kota-kota besar (Jakarta, Amsterdam, New York, Kanada, dan Victoria) yang merupakan tempat yang sebagian besar melatari cerita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9dN? 2. Bagaimana pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9dN? 3. Bagaimana makna nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi sastra dalam kumpulan cerpen 9dN?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9dN; 2. mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9dN; serta 3. mendeskripsikan dan menjelaskan makna nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi sastra dalam kumpulan cerpen 9dN.
D.
Manfaat Penelitian
Bukti-bukti yang akan diperoleh melalui penelitian ini, yaitu mengenai analisis kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini diharapkan commit to user dapat diambil manfaatnya sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
1. Manfaat Teoretis a.
Mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menambah wawasan di bidang sastra.
b.
Mampu menambah khazanah pustaka Indonesia agar dapat digunakan sebagai penunjang dalam kajian sastra dan bahan pijakan dalam penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis a.
Bagi guru, khususnya guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang nilai-nilai pendidikan dalam kumpulan cerpen 9dN sehingga guru dapat meningkatkan kreativitas pembelajaran yang inovatif dan tidak menimbulkan kebosanan pada peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar, khususnya pembelajaran sastra.
b.
Bagi peserta didik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan informasi tentang materi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang ditinjau secara sosiologis untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial di masyarakat.
c.
Bagi pembaca sastra, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi tentang nilai-nilai pendidikan dalam kumpulan cerpen 9dN karya Leila S. Chudori.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. 1.
Kajian Teori
Pengertian Sastra Dalam bahasa Indonesia, kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta. Akar
kata sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra menunjukkan alat atau sarana. Dengan demikian, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau buku pengajaran (Teeuw, 2003: 23). Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sastra merupakan alat atau sarana komunikasi dan interaksi antarpengarang dan masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Lebih lanjut Teeuw (2003: 21) juga mendefinisikan sastra dengan makna yang terkandung dalam kata ”sastra” tersebut dengan membandingkan nama dan pengertian tersebut dari beberapa negara. Dalam bahasa Barat, sastra disebut dengan sebutan literature (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Prancis), semua kata tersebut berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani gramatika; litteratura dan gramatika yang keduanya berdasarkan kata litera dan gramma yang berarti ”huruf” atau ”tulisan”. Menurut asalnya, litteratura dipakai untuk tata bahasa dan commit to user puisi, dalam bahasa Prancis masih dipakai kata letter. Dalam bahasa Belanda yaitu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
geletterd, yang artinya orang beradab dengan kemahiran khusus di bidang sastra. Kata litterature dan seterusnya dalam bahasa Barat Modern berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Jerman, yang selalu aktif mencari kata Jerman asli untuk konsep asing, dipakai dua kata Jerman asli, yaitu schrifftum, yang artinya segala sesuatu yang tertulis, sedangkan dichtung, yang artinya terbatas pada tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan kenyataan. Jadi, yang bersifat rekaan dan secara implisit maupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetis. Atar Semi (1993: 8) mendefinisikan sastra sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dengan kehidupannya dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Gazali (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 32) sastra adalah tulisan atau bahasa yang indah, yakni hasil ciptaan bahasa yang indah dan perwujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan. Indah, artinya sesuatu yang menimbulkan orang yang melihat dan mendengarkan dapat tergetar jiwanya, sehingga melahirkan keharuan, kemesraan, kebencian, kecemasan, dendam, dan sebagainya. Senada dengan pendapat Gazali, Slamet Muljana (dalam Wiyatmi, 2009: 19) menyebut sastra dengan ”seni kata”, yaitu penjelmaan ilham dengan kata yang tepat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa sastra merupakan hasil seni bahasa yang indah yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi belum menunjukkan sifat khusus dari tulisan yang berupa karya sastra yang indah, baik bahasa maupun isinya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Pada dasarnya karya sastra merupakan penyajian gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orangorang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Oleh karenanya, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. (1993: 109) Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orangorang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Melalui karya sastra, sering dapat diketahui kedaaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
dan cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang. Senada dengan pernyataan di atas, Sapardi Djoko Damono (2003: 2) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
2. Hakikat Cerpen Fiksi merupakan salah satu karya sastra yang kian berkembang dan banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama dan lingkungan. Sebagaimana dikatakan Burhan Nurgiyantoro, karya fiksi merupakan karya suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (2002: 2-3). Selain itu, ia juga berpendapat bahwa menulis fiksi sama dengan menafsir kehidupan. Oleh karena itu, sastra membuat model dengan kehidupan. Sastra tidak menawarkan analisis yang cerdas, tetapi pilihan-pilihan yang mungkin terhadap struktur kompleks kehidupan (2002: 12). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya cerpen merupakan karya fiksi. Sebagai karya fiksi, cerpen bersifat imajiner. Untuk menentukan sebuah karya dapat dikategorikan cerpen, bisa dilihat dari sisi panjang-pendeknya, sifat, waktu bacanya, dan pola penyajiannya. Pokok permasalahan dalam cerpen adalah pokok permasalahan manusia pada umumnya. Sekalipun dikatakan bahwa cerpen merupakan karya imajiner, pada kenyataannya banyak cerpen yang isinya justru sama dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, seolah-olah cerita dalam cerpen itu benar-benar menceritakan peristiwa yang terjadi pada saat cerpen tersebut sampai di tangan pembaca. Hal ini bisa saja terjadi karena meskipun cerpen merupakan karya imajiner, tetapi bukan berarti merupakan karya hasil lamunan. Cerpen disusun berdasarkan perenungan, penghayatan, pengalaman, dan pengamatan seorang pengarang. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut muncul adalah karena objek kajian. Objek kajian cerpen adalah manusia yang hidup dalam suatu komunitas. Pengarang juga hidup dalam komunitas yang sama. Persoalan satu manusia juga akan menjadi persoalan manusia lain. Karena, pada dasarnya, masyarakat memiliki dimensi ruang dan waktu. Sebuah masyarakat jelas memiliki dimensi ruang dan waktu, tetapi peranan seorang tokoh dalam masyarakat akan terus berubah dan berkembang dalam waktu yang tidak terbatas. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karya sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Karya sastra prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau cerita rekaan. Istilah fiksi (selanjutnya disebut cerita rekaan) sering dijumpai hanya untuk menyebut karya sastra jenis prosa. Sebenarnya, hal ini kurang tepat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
karena pernyataan tersebut memberi kesan bahwa karya sastra jenis puisi maupun drama bukanlah cerita rekaan. Padahal, ketiganya merupakan cerita rekaan yang hanya memiliki batasan (pengertian) yang agak berbeda. Cerpen (Inggris: short story) merupakan salah satu jenis karya yang sekaligus disebut fiksi. Dick Hartoko (1986: 132) menyebutkan bahwa cerpen pertama kali muncul di Amerika Serikat pada abad XIX, kemudian dipopulerkan oleh Edgar Allan Poe dan Nathaniel Howthorne. Edger yang dikutip W.H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 34), menyatakan sebagai berikut. A short strory is a prose narrative requiring from half an hour to one or two hours in its perusel. Putting the same idea into different phraseology, we may say that a short story is a story that can be easily read a single sitting. Yet while the brevity this specified is the most abvious characteristics of the kind of narrative in question, the evaluation of the story into a definite types has been accompanied by the development also of some fairly well-marked charslave, or a digest in thorty pages of matter which would have been quite as effectively, or even more effectively handled in three hundred. Berdasarkan pendapat Edgar Allan Poe, cerita pendek adalah sebuah proses narasi yang dalam proses membacanya memerlukan setengah jam hingga satu atau dua jam. Penempatan beberapa ide dalam setiap tahap berbeda-beda. Cerita pendek dapat
dibaca dengan
mudah
sekali.
Kecepatan
waktu
dalam
pembacaannya merupakan kekhususan cerita pendek karena merupakan sebagian besar karakteristik cerita pendek. Allan Poe juga menekankan bahwa cerita pendek harus dapat dibaca dalam waktu singkat dalam sekali duduk. Bahkan ia menandaskan bahwa sebuah cerita pendek yang benar tidak hanya pengurangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
skala sebuah novel atau sebuah penyingkatan cerita dari sebuah novel. Cerita pendek merupakan perpaduan beberapa peristiwa yang sangat efektif. Mengenai panjangnya suatu cerita pendek, Ian Ried (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32) menyebutkan antara 1.600 kata hingga 20.000 kata. Sementara itu, Henry Guntur Tarigan (2000: 17) menyatakan bahwa panjang cerita pendek kurang lebih 10.000 kata, 30 halaman kertas folio, dibaca 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi sangat ketat, dan kelanjutan cerita sangat cepat. Penulisan cerpen yang tidak terlalu panjang menjadikan cerpen tidak bertele-tele dalam mengungkapkan berbagai macam hal. Edgar Alan Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, berkisar antara setengah hingga dua jam, satu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan terhadap sebuah novel. Mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah karangan prosa fiksi yang memadukan beberapa peristiwa yang sangat efektif dengan panjang cerita kurang lebih 10.000 kata. Cerpen juga merupakan sebuah karangan fiksi yang singkat, dalam pengungkapannya tidak bertele-tele, ceritanya berpusat pada satu peristiwa, dan dalam pembacaannya tidak membutuhkan waktu yang lama.
3.
Ciri-ciri Cerpen Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah salah satu jenis karya prosa fiksi
dengan panjang cerita yang cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
terlalu pendek. Ukuran panjang dan pendeknya cerita ini tidak ada aturannya, tak ada satu pun kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 10) menyatakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam –suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerita yang pendek (short short strory), bahkan mungkin pendek sekali; berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri atas puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Menurut Stanton (dalam Nani Tuloli: 2000: 82), tipikal pada cerpen adalah: (1) cerpen haruslah berbentuk padat; (2) realistik; (3) alur yang mengalir dalam cerita-cerita ini bersifat fragmentasi dan cenderung inklusif. Berkenaan dengan ciri-ciri cerpen, Henry Guntur Tarigan memberikan penjelasan, antara lain: (1) singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, and intensity); (2) memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerak (scene, character, and action); (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, sugestive, and alert); (4) mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan; (5) menimbulkan efek tunggal dalam pikiran pembaca; (6) mengandung detail dan insiden yang bernar-benar terpilih; (7) memiliki pelaku utama yang menonjol dalam cerita; (8) menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi (2000: 177). Senada dengan beberapa pendapat di atas, Richard Summer (dalam Atmazaki, 2005: 78) menjelaskan bahwa suatu cerpen harus mencakup beberapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
hal, yaitu: (1) mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca; (3) merangsang pembaca terbawa oleh jalan cerita; dan (4) mengandung perincian dan insiden yang dipilih dengan sengaja. Berdasarkan pengertian cerita pendek yang telah dijelaskan bebarapa ahli di atas, ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif. Cerpen biasanya memiliki plot tunggal, hanya terdiri atas satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir. Selain itu, tema dalam cerpen hanya berisi satu tema. Hal ini berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas, meski tetap bertujuan untuk mencapai efek kepaduan. Cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity. Artinya, segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema. (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 14). Ciri-ciri lain sebuah cerpen adalah jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata, kirakira 3 halaman kuarto spasi rangkap (Tarigan dalam Antilan Purba, 2010: 52). Berkaitan dengan jumlah kata sebagaimana disebutkan di atas, maka pilihan kata dalam cerpen pun harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian. Lebih lanjut Tarigan (dalam Antilan Purba, 2010: 52) menjelaskan tentang ciri-ciri cerpen sebagai berikut. (a) Unsur utama cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak. Adegan merupakan unsur dalam cerpen yang menghendaki suatu insiden yang menguasai jalan cerita, tokoh hendaknya mampu menyajikan satu emosi tertentu, dan gerak yang menimbulkan kesan atau efek yang menarik. (b) Cerita commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. (c) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertamatama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran. (d) Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
4. Struktur Cerpen Kata struktur berasal dari kata struktur, yang mempunyai arti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang hanya bermakna dalam totalitas. Sebuah struktur karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangkaian unsur-unsurnya (Piaget, 1995: viii). Artinya, teori strukturalisme ini memberikan porsi perhatian yang cukup besar terhadap analisis unsur-unsur karya. Analisis unsur-unsur tersebut diberlakukan pada setiap karya sastra, baik karya sastra pada jenis yang sama maupun yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Teeuw, analisis struktural dilakukan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semendetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mencari antarhubungannya dari tiap-tiap unsur struktural. Di pihak satu, antarhubungan unsur dengan unsur yang lain, sedangkan di pihak lain, hubungan antarunsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak commit to user semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
tetapi juga bersifat negatif, seperti konflik dan pertentangan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 91). Karya sastra merupakan unsur-unsur yang bersistem, antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Artinya, struktur yang digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan pengaturan diri. Totalitas ini dimaksudkan bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu harus tunduk pada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem sebagai suatu sistem. Transformasi, dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan
yang
terjadi
pada
sebuah
unsur
struktur
akan
mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan bahwa struktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah intrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri apabila ada unsur yang berubah atau hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16). Unsur pembangun struktur ini, menurut Stanton (dalam Retno Winarni, 2009: 12) adalah sebagai berikut. ”Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. (1) Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. (2) Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbolsimbol, imajinasi, serta cara-cara pemilihan judul di dalam karya sastra. (3) Sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imajinasi, dan cara-cara pemilihan judul commit to user dalam karya sastra.”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Berkaitan dengan unsur pembangun struktur cerpen di atas, Abrams (dalam Siswantoro, 2010: 64) mengatakan secara jelas sebagai berikut. ”Masih ada lagi studi lain, yaitu studi objektif, yang pada dasarnya memandang karya sastra adalah karya yang mencakup diri sendiri, terbebaskan dari faktor-faktor eksternal sebagai rujukan. Sebagai karya yang mencakupi diri sendiri, karya sastra dibangun oleh bagian-bagiannya dan relasi internalnya, sehingga memberi penilaian terhadap karya sastra adalah berdasar kriteria intrinsiknya sebagai unsur-unsur pembentuk struktur.” Sebagai
cerita
rekaan,
cerpen
merupakan
sebuah
struktur
yang
diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya, work of art, dari gagasan-gagasan pengarang. Cerpen juga memiliki konvensinya sendiri, yaitu konvensi sastra sesuai ”watak otonom” karya sastra. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Teeuw (2003: 11), bahwa ”Karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, serta yang boleh dan yang harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.” Unsur-unsur pembangun cerita rekaan ini memiliki banyak aspek, menurut Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 137), bahwa unsur-unsur tersebut meliputi: (1) plot, (2) pelaku, (3) dialog dan karakteristik, (4) setting yang meliputi timing dan action, (5) gaya penceritaan (style), dan (6) filsafat hidup pengarang. Oleh karenanya, pemahaman terhadap cerita rakaan (cerpen) sudah seharusnya mempertimbangkan keutuhan struktur karya yang merupakan keutuhan konstruksi ”bangunan karya” dalam jaringan interaksi unsur-unsur naratif sebagai elemen fiksional; yang membangun commit to user totalitas karya, pada genrenya,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
berdasarkan konvensi sastranya. Demikian pula Jakob Sumardjo (1982: 11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (cerpen) sebagai berikut: (1) plot atau alur, (2) karakter atau penokohan, (3) tema, (4) setting atau latar, (5) suasana, (6) gaya, dan (7) sudut pandang penceritaan. Unsur-unsur tersebut saling terkait, jalin-menjalin, keseluruhan memberi makna pada bagian, serta antara dan keseluruhan juga saling memberi makna. Makna keseluruhan ditentukan oleh bagian-bagian, sebaliknya makna bagian ditentukan oleh keseluruhan. Hal ini senada dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2002: 68), bahwa unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (cerpen) meliputi berikut ini. a.
Tema Hutagalung dalam Wiyatmi (2009: 18) mengatakan bahwa tema adalah
persoalan yang berhasil menduduki tempat dalam cerita dan bukan pikiran pengarang. Penelaah atau pembaca bukan memahami pengarangnya, melainkan karya sastranya. Panuti Sudjiman (1991: 50) juga menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra. Tema kadangkadang didukung oleh pelukisan data di dalam penokohan. Tema bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa di dalam alur. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra (cerpen). Pengertian tema, menurut Stanton (dalam Wiyatmi, 2009: 10) adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurunsurnya dengan cara yang sederhana, yang dapat bersinonim dengan ide cerita (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Lebih lanjut Stanton mengatakan, penafsiran tema sebuah karya sastra (cerpen) seharusnya langsung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
didukung oleh penceritaan yang dihasilkannya, sehingga peristiwa konflik, pemikiran, dan unsur-unsur lainnya diusahakan mampu mencerminkan dasar utama dalam membangun karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita sehingga berbagai peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 70). b. Plot Plot merupakan suatu rangkaian cerita yang dijalin untuk menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian (Panuti Sudjiman, 1991: 21). Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, peristiwa yang diceritakan lebih dahulu, kemudian terdapat hubungan sifat yang berkaitan. Rangkaian itu dapat diwujudkan oleh adanya hubungan sebab-akibat. Lebih lanjut, William Kenney (1966: 13-14) menyatakan sebagai berikut. Plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns.
Beberapa tahapan mengenai plot menurut Saad Saleh (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 149-150) sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
(1) Tahap penyituasian (situation). Pada tahap pertama ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Pemberian informasi awal dan berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisah pada tahap berikutnya. (2) Tahap pemunculan konflik (generating circumtances). Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. (3) Tahap peningkatan konflik (rising action). Konflik yang dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal,
ataupun
keduanya,
pertentangan-pertentangan,
benturan-
benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. (4) Tahap klimaks (climax). Konflik atau pertentangan yang terjadi yang ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. (5) Tahap penyelesaian (denouement). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 110), plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113), mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dengan demikian, plot merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Pengarang
memiliki
kebebasan untuk memilih cara dalam commit to user mengembangkan plot, membangun konflik, menyiasati penyajian peristiwa, dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
sebagainya sesuai dengan selera estetisnya. Dalam usaha pengembangan plot, pengarang memiliki aturan atau kaidah yang perlu dipertimbangkan. Hal ini sebagaimana dikatakan Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2010: 135-138) berikut ini. (1) Plausibilitas (plausibility), yaitu plot sebuah cerita haruslah dapat dipercaya oleh pembaca. Plausibilitas bisa saja dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. (2) Suspense, artinya mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Unsur suspense, akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita. (3) Surprise, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. (4) Kesatupaduan, keutuhan, unity. Artinya, unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung,
atau
seluruh
pengalaman
kehidupan
yang
hendak
dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa plot merupakan jalinan urutan peristiwa yang membentuk cerita, sehingga cerita dapat berjalan beruntun, dari awal hingga akhir, dan pesan-pesan pengarang dapat diungkap oleh pembaca. Plot juga sebagai suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik di dalamnya. c. Tokoh dan Penokohan Penokohan adalah salah satu unsur terpenting, sebab keberhasilan suatu commit to user karya sastra banyak ditentukan oleh penokohan. Tokoh dalam cerita
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
diperkenalkan dengan jelas. Istilah tokoh menunjukkan pula penempatan tokoh tertentu, karakter-karakter tertentu dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165). Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki unsur fisiologis yang berkaitan dengan fisik, unsur psikologis yang menyangkut psikis tokoh, serta unsur sosiologis yang berkaitan dengan lingkungan sosial tokoh. Tokoh cerita berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh pipih (datar) dan tokoh bulat. Tokoh pipih adalah tokoh yang disoroti dari wataknya saja, sikap, atau observasi tertentu saja. Tokoh pipih bersifat statis, di dalam perkembangannya watak itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubah sama sekali. Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu segi watak yang digarap dalam cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh yang lain. Watak yang disandang tokoh tersebut sangat kompleks (Panuti Sudjiman, 1991: 21). Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Kehadiran unsur penokohan ini selanjutnya sangat berarti dalam sebuah cerita, mengingat semua peristiwa dan berbagai masalah yang muncul digambarkan melalui tokoh-tokoh cerita. Pengarang dalam ceritanya menciptakan tokoh tertentu dengan kekhasan karakternya tidak sebagai pelengkap, tetapi lebih dari itu sebagai alat untuk melukiskan persoalan-persoalan yang dilihat dalam kehidupan masyarakat atau bahkan pernah terjadi di lingkungan pembaca. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penyajian watak dan penciptaan citra tentang seseorang (tokoh) yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama tidak terletak pada frekuensi kemunculan tokoh tersebut, tetapi berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (Panuti Sudjiman, 1991: 18). d. Latar (Setting) Latar adalah tempat suasana atau lingkungan yang mewarnai peristiwa, tercakup pula lokasi atau tempat peristiwa, suasana sosial budaya maupun suasana tokoh cerita (Atmazaki, 1990: 62). Hal ini senada dengan ungkapan Panuti Sudjiman (1991: 46), bahwa latar adalah segala keterangan mengenai watak, ruang, dan suasana terjadinya dalam kenyataan. Latar adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Latar yang baik dapat dapat dideskripsikan secara lebih jelas, peristiwaperistiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi (Sugihastuti, 2007: 168). Latar juga dapat diartikan sebagai keterangan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (2002: 227) memberikan deskripsi latar karya sastra yang dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat adalah penggambaran lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
tempat-tempat dan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah-masalah ”kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyaraat mencakup berbagai masalah yang kompleks, misalnya dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
5. Pengertian Sosiologi Sastra Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius, yang artinya kawan dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ilmu. Soejono Soekanto (1996: 4) menjelaskan sebagai berikut. ”Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Selain itu, sosiologi juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial.” Menurut Sapardi Djoko Damono (1993: 11), sosiologi adalah suatu cabang ilmu yang menelaah secara ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat dan menelaah lembaga dan proses sosial. Senada dengan pendapat di atas, Soedjono (1990: 2) menyatakan bahwa commit to user sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
masyarakat dan tentang sosial maupun proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang, dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat di dalamnya. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, serta memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra
(Sanskerta) berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya
memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) dan bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup dan menembus permukaan kehidupan sosial serta menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Akibatnya, hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Sapardi, 2003: 7). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita seharihari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Lebih lanjut Sapardi (2003: 17) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan telaah sastra berdasarkan sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Sementara itu, Wellek dan Warren (1993: 111) membagi sosiolgi sastra menjadi tiga bagian, yaitu: (1) sosiologi pengarang, pendekatan ini terutama membicarakan tentang status sosial ideologi sosial pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra, membicarakan tentang masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra, (3) sosiologi sastra yang membicarakan tentang suatu penerimaan masyarakat terhadap karya sastra. Wellek dan Warren (dalam Sapardi, 2003: 94) membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut: Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical. Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra dan nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, moral, budaya, dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Sebuah karya fiksi, walaupun memiliki daya khayal yang tinggi, tetap tidak pernah terlepas dari realitas kehidupan, sebab seorang pengarang adalah anggota masyarakat yang terlibat dengan realitas kehidupan di sekitarnya. Kehidupan adalah suatu kenyataan sosial, sebagaimana dijelaskan Sapardi (2003: 1), bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 3) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut. (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (2). Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Tujuan penelitian sosiologi sastra ini adalah untuk mendapatkan gambaran commit to user yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan terhadap sastra. Lebih lanjut Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) mengatakan bahwa ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain sebagai berikut. (a) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; (b) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; (c) Pemahaman
terhadap
karya sastra sekaligus
hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi; (d) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan (e) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan Warren (1993: 111-1112) membagi sosiologi sastra sebagai berikut. (a) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang commit to user adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. (b) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (c) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. (Wellek dan Warren, 1993:122). Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut. (a) Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. (c) Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Grebsten (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 13) mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut. (a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. (b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. commit to user Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. (f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Lebih lanjut Sapardi Djoko Damono (2003: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (2003: 220) mengatakan bahwa dunia empiri tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan
ataupun peniruan. Lewat
mimesis, penelaahan
kenyataan
mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal. Suwardi Endraswara (2003: 79) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara itu, Faruk (1994: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan user penelitian mengenai lembagamengapa masyarakat itu bertahancommit hidup.toMelalui
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial.
Sosiologi
dikatakan
memperoleh
gambaran
mengenai
cara-cara
menyesuaikan dirinya dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya, individu-individu dialokasikannya dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu. Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitianpenelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut. (a) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (b) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (c) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (d) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adatistiadat dan tradisi yang lain, dalamto karya commit user sastra terkandung estetik, etika,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (e) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat. Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos
sosial.
Seperti
lingkungan
bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang membicarakan latar belakang commit to pertama user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang memengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (dalam Wiyatmi, 2009: 17). Hubungan timbalbalik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, meluruskan bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan. Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian, Eagleton (dalam Faruk, 1994: 75), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra, karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sebagaimana yang dikemukakan Swingewood (dalam Faruk, 1994: 15), dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhatihati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini senada dengan pendapat Sapardi Djoko Damono, bahwa analisis sosiologi karya sastra melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Berkaitan dengan ini, Teeuw (1984: 18) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu: (a) afirmasi, melalui norma yang sudah ada; (b) restorasi, sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang; (c) negasi, dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku; (d) inovasi, dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada. Berkenaan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (dalam Faruk, 1994: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagat yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
6. Konsep Sosial-Budaya di Masyarakat Koentjaraningrat (2000: 14) menyatakan bahwa masyarakat merupakan sekelompok manusia yang saling interaksi satu dengan lainnya. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul dan berinteraksi itu merupakan masyarakat karena suatu masyarakat harus mempunyai ikatan lain yang khusus. Adapun ikatan yang dapat membentuk kesatuan menjadi masyarakat, yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan itu. Pola itu harus bersifat mantap dan kontinu. Dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas. Berkaitan dengan pengertian masyarakat, secara khusus Koentjaraningrat (2000: 17) merumuskan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
berinteraksi memorial suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa konsep sosial dan budaya di masyarakat adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat beserta tindakan untuk kepentingan khalayak umum berjalan menurut pola dan nilai masyarakat yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sosiologi sastra, pada prinsipnya karya sastra selalu dikaitkan dengan proses penciptaan karya sastra tersebut, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial. Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan, atau sosial-budaya. Hal ini karena pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu (Nani Tuloli, 2000: 62) Sejalan dengan uraian di atas, cerpen merupakan salah satu bentuk dokumentasi sosio-budaya dalam masyarakat. Dengan mengkaji satu unsur dari dalam karya sastra tersebut dapat dihubungkan dengan suatu unsur sosio-budaya yang telah dipindahkan oleh pengarangnya. Misalnya unsur ”kafe dan bir” dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang mewakiliki unsur budaya modern, khususnya kehidupan metropolis. Unsur sosio-budaya dalam karya sastra juga dapat mengambil satu citra tentang sesuatu, misalnya perempuan, laki-laki, pendidikan, orang asing, tempat tinggal, adat/tradisi, dunia modern, dan lain-lain) dalam satu atau lebih karya sastra. Citra ini bisa diangkat dari tema atau motif, lalu citra tersebut dikaitkan dengan sosio-budaya (Retno, 2009: 168-169). Suatu karya sastra (cerpen) dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
dilihat sebagai dokumentasi sosio-budaya dengan mengambil citra yang telah disebutkan di atas. Dalam kaitannya dengan teori ini, kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang menyuguhkan citra tokoh perempuan yang menonjol dalam dikaitkan dengan sosi-budaya. Selain hal yang disebutkan di atas, pengarang dan latar belakang sosiobudayanya dapat dikaitkan dengan proses penciptaan karya sastra. Latar belakang seseorang sebelum menjadi pengarang, misalnya pengarang dari daerah tertentu dan lingkungan keluarga tertentu dengan pekerjaan tertentu. Faktor pendidikan sering pula sangat berpengaruh bagi seorang pengarang. Hal ini tentu setiap pengarang dengan latar pendidikan tertentu, akan menentukan kecenderungan yang berbeda dalam memilih tema dan kualitas karyanya. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra diciptakan dengan memasukkan aspek-aspek sosial, maka karya sastra mampu menampilkan dunia kehidupan lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan ilmi sosiologi sastra, maka yang terlibat di dalamnya adalah ilmu sosiologi dan sastra. Selain itu, karya sastra juga memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang
lain. Ketika seorang pengarang
menciptakan karya sastra, maka sudah disebut sebagai wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2000: 18) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa Sanskerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal. Jadi, Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
”daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa, dan rasa tersebut. Lebih lanjut Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan atau disingkat
budaya merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Di pihak lain, Clifford Geertz (dalam Irwan, 2006: 1) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan
mengembangkan
pengetahuan dan sikapnya terhadap
kehidupan. Lebih sepesifik lagi, E. B Taylor (dalam Elly Setiadi, 2006: 27) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berpijak dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. J. J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 2000: 7) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact. Gejala tersebut diperjelas oleh Koentjaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
kebudayaan sebagai berikut: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 2000: 8). Ketiga wujud kebudayaan sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat di atas, dapat diuraiakan bahwa wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, tak dapat diraba, dan tempatnya di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal berfungsi sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia di masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat. Wujud kedua sering disebut sistem sosial, yaitu mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain. Wujud ketiga disebut kebudayaan fisik dan bersifat paling konkret. Kebudayaan fisik yang dimiliki atau dihasilkan oleh suatu bangsa harus terlebih dahulu digolong-golongkan menurut tingkatnya masing-masing. Sebagai pangkal penggolong dapat digunakan unsur-unsur kebudayaan yang universal. Unsur-unsur kebudayaan yang universal menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah sebagai berikut: (1) sistem religi atau upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat memiliki fungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat atau naluri akan kebutuhan hidup manusia yang disebut basic human needs. Misalnya, unsur kebudayaan sistem religi atau agama. Unsur ini sangat dibutuhkan oleh manusia, terutama untuk menjawab ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang sulit diterima akal. Agama juga berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Penciptanya. Sistem pengetahuan berfungsi untuk menjawab kebutuhan manusia akan rasa ingin tahu. Dengan pengetahuan, manusia dapat memenuhi segala macam kebutuhan hidupnya. Unsur lainnya, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia yang selanjutnya bisa disebut sebagai teknologi, juga mempunyai fungsi yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan teknologi, manusia semakin mudah memenuhi segala kebutuhan. Dalam kehidupan, manusia juga memerlukan mata pencaharian atau sistem ekonomi. Dengan mata pencaharian atau sistem ekonomi, manusia dapat memenuhi
kebutuhan
produksi,
distribusi,
maupun
konsumsi.
Sistem
kemasyarakatan atau sistem sosial juga diperlukan oleh manusia. Manusia mempunyai kecenderungan untuk berkelompok sehingga mereka membentuk keluarga dan kelompok sosial lainnya yang lebih besar. Adapun unsur bahasa dan unsur kesenian juga sangat dibutuhkan oleh manusia. Tanpa bahasa, baik lisan, tulisan, maupun isyarat, manusia akan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi. Dengan kesenian, manusia mampu memenuhi kebutuhan rekreasi atau mampu mengapresiasikan perasaan seninya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
7.
Pengertian Nilai Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan.
Dengan kata lain, nilai adalan aturan yang menentukan sesuatu
benda atau
perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1993: 54). Lebih lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki atau ditolak. Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001: 69), nilai merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan lainnya. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka nilai-nilai tersebut akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Pengertian nilai menurut Bagus Lorens (2002: 19) adalah sebagai berikut. (1) Nilai dalam bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat). (2) Nilai ditinjau dari segi harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. (3) Nilai ditinjau dari segi keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”. (4) Nilai ditinjau dari sudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali mengunakan secara umum kata ”nilai”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen seperti yang dikemukakan oleh Kaswardi (1993: 4), yaitu memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik), sedangkan Bertens (2004: 141) mengungkapkan pendapatnya tentang nilai sebagai berikut. Nilai sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri, yaitu: (a) Nilai berkaitan dengan subjek, artinya jika tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai. (b) Nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subjek ingin membuat sesuatu. Artinya, dalam yang semata-mata teoretis tidak akan ada nilai. (c) Nilai menyangkut sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Artinya, objek yang sama bagi berbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan nilai, Kattsoff (dalam Soejono, 1996: 32) menyatakan tentang nilai sebagai berikut. Kata nilai mempunyai empat arti berikut ini: (a) mengandung nilai artinya berguna, (b) merupakan nilai, artinya ”baik” atau ”indah” atau ”benar”, (c) mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan (d) memberi nilai artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Suatu nilai jika dihayati seseorang akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini senada dengan pendapat Soedomo (2003: 44) yang mengatakan bahwa masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotorik dan kognitif, tetapi juga untuk perwujudannya dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang efektif. Given (2007: 66) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran atau norma tertentu, apakah baik atau buruk. Penekanan dalam nilai adalah aspek kualitas yang bersifat menyeluruh. Pengertian nilai menurut Ginanjar (2002: 14) adalah berkaitan dengan cara bertingkah laku yang disukai dan keadaan akhir dari suatu eksistensi. Perbedaan tingkah laku individu tergantung pada nilai yang diprioritaskan, yaitu memprioritaskan nilai sosial atau nilai personal. Nilai dapat dibedakan menjadi berikut ini: (1) nilai materi yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama antarsesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan, dan sebagainya; (3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai estetika yang menyangkut keindahan dan rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan kesempurnaan dan kelengkapan dirinya. (Soedomo Hadi, 2003: 17) Konsep-konsep nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat akan membentuk sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dalam tingkatan yang paling commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
abstrak. Sistem-sistem tata kelakuan dalam tingkatan lebih konkret seperti aturanaturan khusus, norma-norma berpedoman pada sistem budaya. Sistem budaya demikian kuat meresap dalam jiwa warga masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Proses pendidikan dan proses pembudayaan dalam kehidupan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendidikan dan pembudayaan bersamasama tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Secara singkat dapat disintesiskan bahwa nilai merupakan segala sesuatu tentang baik buruk yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah.
8.
Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah suatu kegiatan yang secara sadar dan sengaja serta penuh
tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001: 70). Lebih lanjut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyatakan bahwa pendidikan juga merupakan usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yang dilakukan secara terus-menerus seperti pendapat Ki Hajar Dewantara. Pendidikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
itu dimulai sejak anak dilahirkan dan berakhir setelah ia meninggal dunia (2001: 73). Menurut Soedomo (2003: 18), pendidikan adalah bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri pihak terdidik
terhadap
rangsangan
yang
diberikan
kepadanya
menuju
arah
pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar, terencana, terus-menerus, serta penuh tanggung jawab yang merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam usaha pendewasaan melalui upaya pengajaran dan latihan.
9.
Konsep Pendidikan Karakter Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya
terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang sedang bertumbuh. Dengan tindakannya mendidik, manusia mewariskan kepada generasi berikutnya nilai-nilai budaya yang berharga bagi perkembangan dan pertumbuhannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan mendidik ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan. Perbedaan sudut pandang, perbedaan konsepsi tentang manusia membuat penentuan tujuan pendidikan menjadi bermasalah, atau paling tidak memunculkan beberapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
persoalan. Tanpa gagasan tentang tujuan pendidikan, praksis pendidikan karakter akan kehilangan visi. (Doni Koesoema, 2007: 2) Doni Koesoema (2007: 3) juga menjelaskan bahwa karakter merupakan struktur antropologis manusia, di sanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekadar hasil dari suatu tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antroplogis individu, yang mau tidak mau sekadar berhenti atas determinasi kodrati, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terusmenerus. Lebih lanjut Doni Koesoema (2007: 5) mengatakan bahwa karakter lebih bersifat subjektif sebab berkaitan dengan struktur antropologis dan tindakannya dalam memaknai kebebasannya sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain. Sementara itu, pendidikan senantiasa berkaitan dengan
dimensi
sosialitas
manusia.
Manusia
sejak
kelahirannya
telah
membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang hidupnya. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya. Selanjutnya, ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain di dunia. Sebagaimana pendapat John Luther (dalam Ratna Megawangi, 2007: 11) berikut ini. ”Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talent are to some axtent a gift. Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it peace by peace –by thought, choice, courage, and determination.” Menurut Ratna Megawangi (2007: 9), pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Sebagaimana pendapat Thomas Lickona yang dikutip Ratna Megawangi (2007: 10) mengenai pendidikan karakter adalah sebagai berikut. Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Senada dengan pendapat Thomas Lickona, Ratna Megawangi (2007: 10) juga menyebutkan pilar-pilar pendidikan karakter yang berjumlah sembilan, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
kepemimpinan, (8) baik hati dan rendah hati, serta (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Menurut Doni Koesoema (2007: 15), pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh memberikan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk membentuk karakter individu menjadi pribadi keutamaan. Pilihan prioritas keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra individual, matra sosial, dan matra moral. Lebih lanjut Doni Koesoema (2007: 17) menguraikan ketiga matra tersebut dalam 12 pilar keutamaan pendidikan karakter berikut ini. Penghargaan terhadap tubuh; (2) transendental; (3) keunggulan akademik; (4) penguasaan diri; (5) keberanian; (6) cinta kebenaran; (7) terampil; (8) demokratis; (9) menghargai perbedaan; (10) tanggung jawab; (11) keadilan, dan (12) integritas moral. Kedua belas pilar keutamaan pendidikan karakter di atas dapat diuraikan satu per satu sebagai berikut. Penghargaan terhadap tubuh merupakan keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang, termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan menjaga dan merawat kesehatan jasmani. Pengembangan keutamaan transendental, baik yang bersifat religius maupun keagamaan, seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran Ilahi merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter. Keunggulan akademik sebagai keutamaan pendidikan karakter menurut Doni Koesoema (2007: 20) mencakup hal-hal di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik mencakup cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa kepenasaran intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya ilmu pengetahuan. Keutamaan pendidikan karakter lain adalah penguasaan diri yang merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh dorongan emosi pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi. Keberanian merupakan keutamaan individu untuk melakukan sesuatu dan merealisasikan cita-citanya, di antaranya, kesediaan berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, dan kerja keras. Cinta akan kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik, yang memungkinkan seseorang berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter (Doni Koesoema, 2007: 20) Syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh adalah memiliki berbagai
macam
kompetensi
dan
keterampilan
yang
dibutuhkan
bagi
perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan profesional. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti juga merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya inilah seorang individu commit to user mampu mengubah dunia. (Doni Koesoema, 2007: 21)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Selain pilar-pilar keutamaan pendidikan di atas, Doni Koesoema (2007: 2021) masih menguraikan pilar-pilar lain, yaitu demokratis. Masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Setiap individu belajar hidup bersama dan mengatur tatanan kehidupan secara bersama sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat demokrasi. Selain demokrasi, pilar pendidikan karakter lainnya adalah menghargai perbedaan, tanggung jawab, keadilan, dan integritas moral. Perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaaan merupakan sikap fundamental yang harus ditumbuhkan dalam diri individu. Tanggung jawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Bersikap adil dan mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Integritas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter yang memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga apa pun kondisi dan keadaannya. (Doni Koesoema, 2007: 21) Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilainilai karakter pada seseorang sehingga memiliki nilai dan karakter sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
karakter dirinya. Selanjutnya, ia mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya dan sebagai anggota masyarakat.
10. Jenis-Jenis Nilai Pendidikan Munandar Soeleman (2004: 4) berpendapat bahwa pendidikan sebagai keseluruhan yang kompleks berhubungan dengan akal budi dalam kehidupan seseorang menekankan pada tiga unsur (akal, perasaan, dan kehendak) secara bersamaan sehingga individu dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Berkaitan dengan moral dan jenis budaya, nilai-nilai pendidikan dapat dikelompokkan menjadi berikut ini. a. Nilai Pendidikan Religius/Agama Agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final, kemudian agama yang diyakini tersebut merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya. Setiap kelompok manusia mempunyai latar nilai sosial yang berbeda sesuai dengan agama yang dianutnya. Timbulnya hubungan dua arah sosial dan agama akan mempengaruhi tindakan manusia. (Kung, 2004: 15) Agama merupakan hal mutlak dalam kehidupan manusia sehingga pendidikan agama ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 327) menyatakan berikut ini. ”Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan, kebaktian kepada Tuhan hukum-hukum resmi. Religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Pernyataan di atas sebagaimana pendapat Koentjaraningrat (1985: 145), bahwa makin ia taat menjalankan syariat agama, makin tinggi pula tingkat religiusitasnya. Pendapat lain dikemukakan Dojosantosa (dalam Tirto Suwondo dkk., 1994: 63), bahwa religius adalah keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Keterikatan manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan cermin sikap manusia religius. Berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Sebuah karya sastra yang mengangkat sebuah kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan akan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri penikmatnya. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya. Nilai pendidikan agama dalam karya sastra sebagain menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat edukatif (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 317). Jika setiap manusia akan saling menghormati dalam menjalankan agamanya, maka hubungan yang harmonis akan terjalin dan akan menjadikan hidup manusia menjadi tenteram dan bahagia karena nilai religius merupakan keterkaitan antarmanusia dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan di dunia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
b. Nilai Pendidikan Moral Secara umum, moral merujuk pada pengertian baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Moral merupakan laku perbuatan manusia yang dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 319). Nilai moral sering disamakan dengan nilai etika, yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang dipandang dari nilai individu itu berada. Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah. Joko Widagdo (2001: 30) mengartikan moral sebagai norma dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang baik, seperti akhlak, budi pekerti, dan etika. Lebih lanjut Joko Widagdo (2001: 31-32) menyatakan sebagai berikut. ”Seseorang belum dikatakan bermoral apabila dia melihat atau melakukan kejahatan dan tidak berusaha memberantasnya, hanya dengan alasan amal perbuatan dan kejahatan itu tidak mengenai atau merugikan dirinya. Sebagai pengemban nilai-nilai moral, setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reakdi, kapan dan di mana saja melihat perbuatan yang menginjak nilai-nilai moral.” Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk commit to user mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata krama yang menjunjung tinggi budi pekerti, dan nilai susila.
c. Nilai Pendidikan Sosial Kata sosial berasal dari bahasa Latin socio, yang artinya ”menjadikan teman”. Kata socio juga berarti suatu petunjuk umum ke arah kehidupan bersama manusia dalam masyarakat (Tirto Suwondo, 1994: 128). Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Lebih lanjut Munandar Soelaeman (2004: 9) mengatakan bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. Manusia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial. Manusia disebut sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Hubungan sosial dapat terjadi antara individu dengan orang-orang di sekelilingnya. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan lainnya. Nilai sosial berkenaan dengan kemanusiaan dan mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan sifat-sifat yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan lainnya yang merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun. (Tirto Suwondo, 1994: 130) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Bertolak dari beberapa pengertian nilai sosial di atas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah suatu aspek budaya yang disertai emosi terhadap objek untuk memperoleh makna atau penghargaan. Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial, karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai sosial dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan sehingga diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan. Dengan membaca karya sastra diharapkan perasaan pembaca lebih peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaa, lebih dalam penghayatan sosialnya sehingga lebih mencintai kebenaran dan keadilan. Tata sosial tentu akan mengungkapkan suatu hal yang dapat direnungkan. Dalam karya sastra dengan ekspresinya, pengungkapan nilai sosial berpadu dengan tata kehidupan sosial yang sebenarnya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). Lebih lanjut Suyitno menjelaskan bahwa karya sastra dapat berfungsi sebagai daya pengguncangan nilai-nilai sosial yang sudah mapan. Dasar dari pendidikan sosial adalah manusia itu merupakan kawan sosial bagi manusia lain. Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini cerpen, dapat diperoleh dari hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar dapat diperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai sesuatu yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif perlu ditampilkan agar pembaca mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
d. Nilai Pendidikan Budaya Karya sastra dan kebudayaan, keduanya berbagi wilayah yang sama, yakni aktivitas manusia, meskipun dengan jalan yang berbeda. Karya sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas yang ditumpu kemampuan emosional, sedangkan
kebudayaan
melalui
kemampuan
akan
sebagai
kemampuan
intelektualitas. Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidu dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakukan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Cerita (dalam hal ini cerpen) sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sisitem nilai atau sistem budaya masyarakat pada suatu tempat dalam suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup manusia yang dianut dan dijauhi, serta hal-hal yang dijunjung tinggi. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1986: 10-11) mengemukakan tentang nilai budaya sebagai berikut. ”Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, wujud adat itu disebut adat tata kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotong royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
ialah bila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah yang dimaksud dalam kumpulan cerpen ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan. Nilai budaya kejawaan ini kadang dibalut sekaligus berbenturan dengan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh tokoh utama.
11. Penerapan Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra (Cerpen) Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk cerpen) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai pendidikan tersebut mencakup nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis (keindahan). Hal ini sebagaimana dijelaskan Herman J. Waluyo (2006: 27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Lebih lanjut Herman J. Waluyo (2006: 28) menyatakan bahwa makna nilai sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang. Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacanya itu menyentuh perasaannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai pendidikan di dalamnya tidak terbatas mengenai kebajikan dan moral, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Sastra memiliki nilai pendidikan susila, nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar. Realitas karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang kadang dapat memberikan pengalaman total kepada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, tetapi juga mampu memberikan ragam pengalaman tentang problem hidup dan kehidupan. Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang melalui rangkaian kejadian, tingkah laku, dan perwatakan para tokoh, maupun komentar yang diberikan pengarangnya. Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya, suatu karya sastra yang bermutu dan berbobot akan selalu mengandung bermacam-macam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi para pembacanya. Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam karya sastra, Suyitno (1986: 3) menyatakan sebagai berikut. ”Berbicara mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra, maka tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai hasil olahan sastrawan, yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan yang lain. Hal ini merupakan salah satu kelebihan karya sastra. Kelebihan lain adalah bahwa karya sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan mengenai commit cara hidupnya to user sendiri dan bangsanya. Sastra
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, falsafi, religi, dan sebagainya.” Lebih lanjut pengertian nilai pendidikan berkaitan dengan sastra, Nyoman Tusthi Edy (1983: 121) memaparkan sebagai berikut. ”Sastra harus bersifat mendidik. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat mendidik masyarakat tidaklah harus menggurui atau menunjukkan apa yang hendak dituju oleh seorang atau masyarakat seperti halnya yang terdapat pada sastra propaganda atau sastra slogan Lekra. Ia dapat berupa sesuatu yang menjadi alat untuk membangkitkan rasa semangat, memulihkan kepercayaan diri sendiri, dan melepaskan ketegangan-ketegangan batin. Di sinilah letak edukatif karya sastra.” Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini cerpen). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan sebagainya. Nilai sastra adalah sifat-sifat (halhal) atau merupakan sesuatu yang positif dan berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki setiap manusia. Dalam pengertian ini, nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika (indah dan buruk). Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi datang dari kesadaran bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu, juga adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang sastrawan dalam menciptakan keindahan juga berkeinginan untuk menyampaikan pikiran, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Segala sesuatu yang hendak disampaikan pengarang itulah merupakan nilai-nilai pendidikan.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang kajian sosiologi sastra yang dilakukan oleh Indri Wulandari Sukoco pada tahun 2003 yang berjudul Novel Supernova 1 dan Supernova 2 karya Dewi ”Dee” Lestari. Hasil penelitian ini adalah problem sosial budaya masyarakat. Masyarakat yang ditampilkan dalam novel Supernova adalah masyarakat modern di Kota Jakarta. Novel Supernova 1 menampilkan potret kehidupan kaum homo seksual. Kaum gay yang ditampilkan adalah mereka yang berasal dari golongan terpelajar, kaum intelektual yang bersekolah di universitas terkenal di luar negeri, dan golongan masyarakat yang memiliki status sosial tinggi. Novel Supernova 1 ini juga menampilkan kehidupan masyarakat modern di Kota Jakarta dengan berbagai sifat khas yang dimilikinya. Novel Supernova 2 menghadirkan kehidupan punk lengkap dengan ciri, yaitu cara berpakaian, gaya hidup, dan kebiasaan mereka. Komunitas punk hidup berkelompok dalam punk scane, bergaya pakaian khas, penganut asas kebebasan, dan antikemapanan. Meskipun tidak semuanya, tetapi mereka identik dengan rokok, minuman keras, judi, narkoba, dan seks bebas. Anggota komunitas punk hidup mandiri dengan mengamen, menindik, membuat fanzine, dan kadang menjadi bandar ganja atau narkoba. Novel Supernova 2 juga menghadirkan punkers yang beraliran straighedge, yaitu suatu aliran dalam punk yang tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
melakukan semua kebiasaan buruk punkers pada umumnya dan tetap berpegang pada ajaran spiritual yang diyakininya. Kritik sosial yang ditampilkan dalam novel Supernova 1-2 menyangkut problem masyarakat modern yang sangat kompleks. Problem tersebut, antara lain, masalah narkoba, pelacuran yang telah menguasai berbagai bidang kehidupan, penyelewengan seksualitas, problem rumah tangga yang sudah sangat parah, eksploitasi anak yang dilakukan orang tuanya, kesulitan ekonomi, dan kerusuhan sosial yang terjadi pada masyarakat modern karena kejenuhan terhadap penderitaan yang dialami dan keinginan untuk menaikkan status sosial mereka. Persamaan dengan penelitian di atas adalah sama-sama menggunakan kajian sosiologi sastra, sedangkan objek penelitian berbeda. Pada penelitian terdahulu menggunakan objek novel, sedangkan penelitian di atas menggunakan kumpulan cerpen. Penelitian lainnya yang relevan dilakukan oleh Ratna Purwaningtyastuti pada tahun 2006 terhadap novel Jendela, Atap, dan Pintu karya Fira Basuki yang ditinjau dari sosiologi sastra dan nilai pendidikan. Penelitian ini mengungkapkan novel trilogi karya Fira Basuki yang berjudul Jendela, Atap, dan Pintu dari segi keberanian seorang penulis wanita mengungkapkan perasaan apa adanya tanpa ditutup-tutupi yang masih jarang dilakukan oleh para pengarang wanita lainnya. Dalam penelitian ini, Ratna Purwaningtyastuti menemukan banyak sekali penyimpangan norma yang dilakukan oleh para tokoh dalam trilogi novel tersebut yang tidak baik ditiru oleh para pembaca. Penyimpangan-penyimpangan itu antara lain hubungan seks bebas, perselingkuhan, tidak menjalankan perintah agama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
dengan baik, serta pelanggaran budaya yang mengakibatkan disharmonisasi budaya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ratna Purwanintyastuti di atas, terlihat adanya relevansi antara penelitian yang akan dilakukan dnegan penelitian yang sudah ada. Relevansi itu terletak pada tinjauan yang digunakan dalam penelitian dan nilai pendidikan yang dianalisis, sedangkan subjek penelitian kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, sejauh peneliti ketahui belum ada yang meneliti. Berdasarkan hasil analisis, kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini sarat dengan nilai pendidikan yang dapat dijadikan teladan, penggugah motivasi, dan memberikan inspirasi positif bagi pembacanya. Penelitian tentang sosiologi sastra dan nilai pendidikan juga dilakukan oleh Purwoko pada tahun 2009 terhadap novel yang berjudul Kutahu Matiku karya Nwi Palupi. Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya sikap dan keyakinan Klara, seorang perempuan sebagai tokoh sentral dalam cerita tersebut, yang digambarkan sebagai tokoh yang setia menjalankan perintah agama sehingga membawa kedamaian dan ketenangan hati, sedangkan nilai pendidikan yang diperoleh terhadap novel ini adalah religius atau agama, ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik. Penelitian di atas memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaan kedua penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sam-sama menggunakan tinjauan sosiologi sastra dan menganalisis nilai pendidikan. Bahkan, tokoh utama dalam cerita pun juga seorang perempuan, sebagai tokoh yang mampu menahan berbagai gempuran kehidupan. Perbedaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitiannya. Penelitian terdahulu menggunakan objek novel, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan objek kumpulan cerpen. Brian Conway (Vol. 4, Juli 2010) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching, National University of Ireland, Maynooth.
The study of memory straddles a wide range of social science disciplines including sociology, psychology, anthropology, and geography. Within sociology, reviews of the literature have already been carried out, but these are now somewhat dated. This article takes the measure of recent prior research on the sociology of collective memory and commemoration by (1) proposing a classification of collective memory research; (2) organising the literature under the headings of theoretical developments, methodological strategies, and methodological challenges; and (3) offering suggestions for maximising the internal cohesion and external utility of the sub-field. Hasil penelitian Brian Conway yang dimuat di dalam jurnal tersebut menyatakan bahwa pembelajaran pemahaman dengan cakupan luas tentang ilmu sosial dan ilmu pengetahuan dalam sosiologi, psikologi, antropologi, dan geografi. Brian dalam penelitiannya menyatakan bahwa ilmu sosial dan ilmu lain, seperti ilmu sosiologi, antropologi, dan geografi, dapat dipelajari dan dipahami dengan mempelajari manusia sebagai salah satu unsur dalam masyarakat serta lingkungan alam yang melingkupinya. Dalam kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh Brian di atas, penelitian terhadap kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini mempunyai relevansi bahwa penelitian ini juga mendasarkan pada ilmu sosiologi yang menggabungkan commit to user dunia nyata dan dunia fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Renee N. Easter, Joseph A. Caruso and Anne P. Vonderheide (2010: 493502) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam jurnal ini mencatat perkembangan novel terbaru dan aplikasinya sehingga menjadi komprehensif, yaitu dengan mengeksplorasi kemajuan instrumental yang menunjukkan peningkatan dalam kemampuan analisis. Penelitian ini mengungkapkan bahwa novel, sebagai karya sastra, mampu mewakili perkembangan realitas di masyarakat yang mengalami perubahan secara dinamis. Terlebih jika karya sastra itu diciptakan oleh pengarang dengan latar belakang tertentu sehingga menjadikan isi cerita lebih dalam analisisnya. Senada dengan penelitian yang dilakukan Renee N. Easter, Joseph A. Caruso, dan Anne P. Vonderheide di atas, penelitian terhadap kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini memiliki relevansi, bahwa cerpen ini diciptakan oleh pengarang dengan latar belakang pekerjaan sebagai seorang wartawan. Oleh karena itu, dengan latar belakang yang mendasari penciptaan cerpen tersebut, 9 dari Nadira sangat mewakiliki kehidupan seorang wartawan dengan segala hal yang melingkupinya. Perbedaan penelitian ini terletak pada objek yang diteliti, yaitu penelitian terdahulu menggunakan novel, sedangkan penelitian ini menggunakan cerpen. Casey Brienza (Vol. 53, hal. 3) yang dimuat di dalam Journal of Documentation, journal literature: a study of sociology. This paper introduces a sociological approach to the study of art and literature and demonstrates its value as a methodological intervention in the field of comics studies. Known as the 'production of culture' perspective, this approach argues that all artistic work - including comics - is the product of commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
collective, often routinized, human activity. Therefore, it is not sufficient merely to study the text and/or the artist to whom the work is directly attributed. Rather, to fully understand any artistic work, one must also study the larger social and organizational context of its production and dissemination. In the first part of the paper, I will provide an overview of the production of culture approach, discussing some of its foundational theorists and their respective intellectual contributions. Finally, I will conclude with a discussion of the limitations of the production of culture approach and possible directions for future research.
Hasil penelitian yang dimuat di dalam jurnal ini menyatakan bahwa pendekatan sosiologis untuk mempelajari seni dan sastra dan menunjukkan nilai sebagai intervensi metodologi dalam bidang studi komik. Pendekatan ini berpendapat bahwa semua karya seni - termasuk komik - adalah produk dari aktivitas manusia kolektif. Penelitian yang dilakukan Casey Brienza ini menyatakan bahwa komik atau cerita bergambar yang isi ceritanya mudah dicerna dan lucu. Komik ditulis untuk tujuan pembaca tertentu, ada komik untuk anakanak dan komik untuk dewasa. Penciptaan komik ini memiliki fungsi untuk dibaca oleh masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa, yang tentu saja akan
berpengaruh
dalam
kehidupannya,
pandangannya,
sikapnya,
dan
pengetahuannya. Berpijak pada penelitian yang dilakukan Casey Brienza di atas, sosiologi sastra selalu mengaitkan latar belakang sosial budaya sebagai sumber penciptaannya. Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian terhadap kumpulan cerpen 9 dari Nadira, yaitu ditinjau dari aspek sosiologis. Perbedaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
kedua penelitian ini terletak pada objeknya. Penelitian terdahulu menggunakan objek komik, sedangkan penelitian ini menggunakan cerpen. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini bukanlah penelitian yang baru. Kebaruan dan perbedaan dalam penelitian ini terletak pada karya yang dibahas.
C.
Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teori tentang tinjauan sosiologi sastra dan nilai pendidikan dalam karya sastra (cerpen), dapat dibuat suatu kerangka berpikir. Karya sastra pada umumnya terbagi atas tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Karya sastra yang berupa prosa bisa berwujud novel, roman, maupun cerpen. Penelitian ini akan menganalisis kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang di dalamnya memuat sembilan cerpen. Setiap cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut, digali secara cermat mengenai strukturnya. Hubungannya dengan tinjauan sosiologi sastra dalam penelitian cerpen ini, dijelaskan tentang latar sosial budaya dalam cerpen, sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam cerpen, serta nilai pendidikan dalam cerpen, selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. Latar belakang sosial-budaya dalam cerpen ini akan diteliti dengan mengaitkan aspek sosiologi sastra dan teori tentang kebudayaan, yang mencakup unsur-unsur di dalamnya. Sosiologi sastra sebagai disiplin ilmu yang mempelajari karya sastra serta seluk beluk masyarakat di dalamnya. Dari setiap kejadian yang terjadi sehari-hari di masyarakat dapat ditemukan nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan di masyarakat. Nilai-nilai kehidupan tersebut juga ditemukan melalui commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
karakter tokoh atau penjelasan langsung dari pengarang melalui jalan cerita yang dibangun oleh pengarang. Salah satu nilai yang terkandung dalam cerpen adalah nilai pendidikan. Nilai pendidikan yang dapat ditemukan dalam cerpen, antara lain: (1) nilai pendidikan agama/religi, (2) nilai pendidikan sosial, (3) nilai pendidikan adat istiadat, (4) nilai pendidikan moral, dan (5) pendidikan ekonomi. Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian dalam kajian teori dapat dibuat suatu kerangka berpikir dalam gambar berikut ini. Karya Sastra
Puisi
Prosa
Kumpulan cerpen 9 dari Nadira
Novel
Latar sosial budaya dalam 9 dari Nadira
Agama
Drama
Roman
Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam 9 dari Nadira
Moral
Sosial
Nilai-nilai pendidikan dalam 9 dari Nadira
Budaya
Gambar 1. Kerangka Berpikir commit to user
Karakter
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat suatu individu, keadaan, atau gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 2008: 16). Penelitian kualitatif deskriptif bertujuan membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 1992: 63). Sebagaimana pendapat Whitney yang dikutip Waluyo (2006: 23-24), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasinya, termasuk hubungan kegiatan-kegiatan, sikapsikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Menurut Sumadi (1992: 24), langkah-langkah pelaksanaan metode penelitian deskriptif adalah sebagai berikut. (1) Mendefinisikan secara jelas dan spesifik tujuan yang akan dicapai. (2) Menemukan fakta-fakta dan sifat-sifat dari variabel penelitian. (3) Membuat rancangan tentang pendekatan, cara mengumpulkan data, cara menentukan sampel, alat yang digunakan, dan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data. (4) Proses pengumpulan data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
B. 1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat Penelitian Tempat penelitian ini tidak tertuju pada suatu tempat, melainkan difokuskan
pada buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori. Artinya, buku kumpulan cerpen dijadikan sumber data penelitian. Adapun pelaksanaannya dapat dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan sumber dan tempat peneliti berada, misalnya di rumah saat mengerjakan penelitian, di perpustakaan atau di toko buku saat peneliti mengumpulkan literatur yang berupa buku-buku atau penelitian terdahulu yang sesuai dengan masalah penelitian. 2.
Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi
menyusun proposal penelitian, seminar proposal, penelitian, pengumpulan data, analisis data, verifikasi data, dan penyusunan laporan penelitian. Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel. Selanjutnya, perincian mengenai waktu dan jadwal kegiatan penelitian diuraikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Perincian Waktu dan Jadwal Kegiatan Penelitian No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kegiatan
Menyusu proposal Seminar proposal Pengumpul an data Analisis data Verifikasi data Penyusunan laporan
Juni 2011
Juli 2011
1
2
3
4
√
√
√
√
1
2
√
√
3
4
Agustus 2011
Sept 2011
1
2
3
4
1
2
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
commit to user
Oktbr 2011
3
4
√
√
√
√
√
√
Nov 2011
1
2
3
4
√
√
√
√
√
√
1
2
3
4
√
√
√
√
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
C.
Bentuk dan Strategi Penelitian
Prinsip dalam penelitian sastra sebagaimana dikemukakan oleh Herman J. Waluyo (2006: 36), bahwa penelitian sastra berpegang pada teori sastra. Prosa fiksi, puisi, dan drama yang diteli merupakan wacana khas sastra dam harus diperlakukan sebagai karya imajinatif yang memiliki relevansi dengan kenyataan. Lebih lanjut Herman J. Waluyo menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian sastra juga harus pendekatan dalam konsep teori sastra dan tidak dapat menerapkan konsep yang sifatnya umum yang tidak sesuai dengan hakikat karya sastra. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi pandangan pengarang (Leila S. Chudori) terhadap cerpen-cerpen yang ditulisnya dan tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira serta nilai edukatif/nilai pendidikan dalam cerpen. Nilai edukatif/nilai pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan moral, nilai pendidikan agama, nilai pendidikan adat istiadat/kebudayaan, dan nilai pendidikan sosial. Strategi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengkaji dokumen (content analysis). Dokumen tertulis dalam bentuk buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam melakukan penelitian kualitatif ini, terutama mengarah pada latar belakang proses penciptaan buku tersebut. Hal ini senada dengan pendapat HB. Sutopo (2002: 69), bahwa dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari tertulis sederhana hingga lebih lengkap. Sumber data yang berupa dokumen biasanya merupakan sumber data pokok dalam penelitian untuk mendukung proses interpretasi dari setiap peristiwa yang diteliti. Yin (dalam HB. Sutopo, 2002: 69-70) juga menyatakan bahwa mencatat dokumen disebut sebagai content analysis, yang dimaksudkan bahwa peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu, dalam menghadapi dokumen tertulis sebagai sumber data, peneliti harus bisa bersikap kritis dan teliti.
D. 1.
Data dan Sumber Data
Data Data penelitian sastra adalah bahan penelitian atau lebih tepatnya bahan jadi
penelitian yang terdapat dalam karya sastra yang akan diteliti (Sangidu, 2004: 61). Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang terdiri atas sembilan (9) cerpen karya Leila S. Chudori.
2.
Sumber Data
a. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa melalui perantara (Siswantoro, 2004: 54). Artinya, peneliti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
memperoleh data langsung dari sumbernya. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan ukuran 13,5 cm x 20 cm. Tebal halaman kumpulan cerpen ini adalah 270 halaman yang memuat sembilan cerpen, yang meliputi: (1) Mencari Seikat Seruni, (2) Nina dan Nadira, (3) Melukis Langit, (4) Tasbih, (5) Ciuman Terpanjang, (6) Kirana, (7) Sebilah Pisau, (8) Utara Bayu, dan (9) At Pedder Bay. Tiap-tiap cerpen diawali dengan ilustrasi yang mencerminkan isi cerpen masing-masing. Ilustrasi tersebut dicetak dengan kertas jenis art cartoon yang agak mengkilap. Pada sampul depan terdapat ilustrasi seorang wanita dengan rambut tergerai seolah tertiup angin, mata terpejam, tangan menyentuh dada seolah sedang merasakan penderitaan yang menyesak di dada. Pada sampul belakang terdapat sinopsis salah satu cerita dalam kumpulan cerpen tersebut dan tiga komentar yang meliputi komentar Budi Darma (seorang sastrawan dan Guru Besar UNESA), komentar Seno Gumira Ajidarma (seorang sastrawan dan wartawan), dan komentar Linda Christanty (seorang penulis dan jurnalis). Selain kumpulan cerpen tersebut, sebagai sumber data yang berupa dokumen, juga digunakan buku-buku literatur yang mengkaji tentang sosiologi sastra dan nilainilai pendidikan. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui perantara. Data sekunder berfungsi mendukung data primer commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
(Siswantoro, 2004: 54). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber data yang diperoleh dari penelitian terdahulu, khususnya penelitian sastra dengan tinjauan sosiologi sastra.
E.
Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber data primer dan sekunder. Adapun metode yang digunakan adalah metode pustaka, yaitu mencari data mengenai hal-hal berupa buku teks, buku referensi, surat kabar, dan sebagainya. Data yang didapat berbentuk tulisan sehingga harus dibaca, dicatat, dan dijadikan acuan dalam hubungannya dengan subjek yang akan diteliti. Data yang dikumpulkan adalah deskriptif kualitatif, yaitu pengumpulan data yang berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Moleong, 1984: 7). Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membaca, mencermati, dan menganalisis isi kumpulan cerpen, kemudian mendata dan mendeskripsikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu temuan hasil penelitian dan pembahasan. Penelitian ini juga merupakan penelitian kepustakaan, sehingga untuk memperoleh data dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan memerlukan bahan pustaka sebagai landasan kajian yang harus dicari dari berbagai sumber dan perpustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen, yaitu dengan melakukan pencatatandan memberi tanda pada kalimat-kalimat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang meliputi catatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
tentang latar sosial budaya, pandangan pengarang terhadap tokoh wanita, serta nilai pendidikan. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan mengelompokkan menurut
kelompok masing-masing, yaitu tentang latar sosial budaya dalam
cerpen, pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam cerpen, maupun nilai pendidikan yang ada dalam cerpen (nilai pendidikan moral, nilai pendidikan agama, nilai adat-istiadat/budaya, dan nilai sosial, serta nilai pendidikan karakter).
F.
Validitas Data
Penarikan kesimpulan hanyalah tindakan menentukan keakuratan data primer dengan rujukan kepada konsep tertentu sebagai parameter. Keakuratan data tersebut masih harus divalidasi agar diperoleh data yang balid. Oleh karena itu, tindakan penarikan kesimpulan harus ditindaklanjuti dengan tindakan validasi dengan cara menguji kembali. Tindakan pengujian atau pengecekan kembali itu disebut verifikasi. Oleh Miles dan Humberman (1984: 22) istilah verifikasi diartikan sebagai berikut. Arti atau makna yang muncul dari data harus diuji untuk memperoleh ketepercayaan, kekuatan, dan kesesuaian, itulah validitas (dalam Siswantoro, 2010: 79)
Sekali lagi, untuk memperoleh keabsahan, data temuan empiris harus diuji lagi agar makin tepercaya. Adapun teknik yang dipergunakan di dalam proses validasi dikenal dengan nama triangulasi, yakni tindakan menguji atau mengecek data temuan dengan temuan lain selagi tidak adanya kekontrasan atau asal adanya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
kesesuaian antara satu dengan lainnya. Validitas data dimaksudkan untuk mengecek tingkat keabsahan data yang telah terkumpul dan dicatat. Dalam penelitian ini untuk memperoleh kesahihan data digunakan teknik triangulasi teori yang berfungsi sebagai cara uji kredibilitas penelitian. Patton (dalam HB. Sutopo, 2002: 78) menyatakan bahwa ada empat macam triangulasi, yaitu (1) triangulasi data (data triangulation), (2) triangulasi peneliti (investigator
triangulation),
(3)
triangulasi
metodologis
(methodological
triangulation), serta (4) triangulasi teoretis (theoretical triangulation). Dari keempat triangulasi tersebut yang dipandang relevan dengan penelitian terhadap kumpulan cerpen 9 dari Nadira adalah (4) yaitu triangulasi teoretis. Triangulasi teoretis
merujuk pada teknik
pengabsahan
data primer dengan
jalan
membandingkan hasil kajian teori setelah membaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira. Keabsahan data dalam penelitian ini difokuskan pada latar belakang sosial budaya dan nilai pendidikan yang ada dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira.
G.
Teknik Analisis Data
Analisis data meliputi empat kegiatan yang secara terus-menerus dan bersamaan dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data secara interaktif. Proses analisis data dilakukan selama maupun setelah proses pengumpulan data (Suharsimi, 2002: 11). Teknik tersebut sesuai dengan wujud data hasil penelitian ini yang berupa hasil klasifikasi data secara kategorial yang mendeskripsikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
nilai-nilai pendidikan. Data tersebut berupa kalimat atau kelompok kalimat yang menuntut penjelasan deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang digunakan Miles dan Huberman (1992: 20). Model analisis interaktif meliputi tiga komponen penting yang selalu bergerak, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Menurut Miles dan Huberman (1992: 16-17), reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan dapat ditarik dan diverifikasi. Lebih lanjut Miles dan Huberman (1992: 18) menyatakan bahwa alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Penyajian data yang digunakan pada penelitian kualitatif adalah bentuk teks naratif. Sebagaimana halnya dengan reduksi data, penyajian data tidaklah terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung (Miles dan Huberman, 1992: 19) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Gambar bagan analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi data Kesimpulankesimpulan: Penarikan/Verifikasi
Gambar 2. Komponen analisis data model interaktif (Miles & Huberman, 1992: 20)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. 1.
Hasil Penelitian
Latar Belakang Sosial Budaya Karya Sastra dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Cerita pendek sebagai salah satu bentuk cerita rekaan yang menampilkan
latar belakang sosial budaya suatu masyarakat. Oleh karenanya, para ahli sosiologi sastra memandang sastra sebagai dokumen sosial budaya. Latar belakang budaya yang ditampilkan dapat berupa sistem religi atau upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Latar belakang sosial dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah sebuah kehidupan kehidupan Jawa yang dipadukan dengan kehidupan masyarakat modern yang penuh dengan persaingan dan petualangan di kota metropolitan, seperti Kota Jakarta, Bandung, Belitung, Amsterdam, Kanada, Paris, dan New York. Selain itu, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita tersebut adalah manusiamanusia intelek, berpendidikan tinggi, dan taat menjalankan perintah agamanya. Mereka mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi, pekerjaan yang tetap, dan tempat tinggal yang nyaman. Para tokoh yang ditampilkan juga mampu memahami dan menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi, selain berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Bahkan, beberapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
tokoh sampingan ditampilkan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Jawa dan logat Sunda. Sebagaimana dijelaskan dalam landasan teori tentang konsep sosial dan budaya yang mengacu pada pendapat Koentjaraningrat, berikut ini akan diteliti latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira. a.
Sistem Religi dan Upacara Keagamaan Sistem religi berkenaan dengan agama, kepercayaan kepada Tuhan, atau
kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini digambarkan para tokohnya sebagian besar memeluk agama Islam, khususnya keluarga besar Suwandi. Meskipun belum melaksanakan semua perintah agama secara sempurna, namun para pelaku selalu berusaha menjalankan agamanya dengan baik. Bunyi geremengan surat Yasin itu terdengar seperti dengung lebah yang mengusap hati. Saling bersahutan, merubung dan memagari ibu. Dari jendela dapur, aku melihat lautan peci dan kerudung hitam yang duduk berbaris rapi seperti iring-iringan semut hitam. Tampak Ayah dan Kang Arya membacakan surat Yasin di dekat kepala Ibu, seolah ingin menjaga seluruh jasad Ibu dari gangguan siapa pun. Aku melihat seuntai tasbih berwarna cokelat tua di antara jari-jari Ayah. Aku belum pernah meihat tasbih yang kelihatan sudah tua itu. Di belakang Ayah, kulihat Kakek dan Nenek Suwandi membaca Yasin dengan suara yang lebih halus. Orang tua Ibu sudah wafat beberapa tahun silam. (Leila S. Chudori: 8) Bagi sebagian pemeluk agama Islam di Indonesia, jika ada keluarga yang meninggal dunia, akan dilakukan ritual membacakan surat Yasin dengan posisi menghadap jenazah. Selain itu, selama tujuh hari berturut-turut, juga dilakukan pembacaan surat Yasin. Surat Yasin merupakan surat dalam Alquran dengan urutan ke-36. Surat Yasin ini terdiri atas 83 ayat. Pembacaan surat Yasin yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
dilakukan oleh sebagian pemeluk agama Islam ini, juga dilakukan ketika memperingati hari kematian salah satu keluarganya, yaitu pada hari ketujuh, hari keempat puluh, hari keseratus, satu tahun, dua tahun, lalu seribu hari. Meskipun demikian, ada juga pemeluk agama Islam yang tidak menjalankan ritual seperti ini. Walaupun sebenarnya, pembacaan surat Yasin ini bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus memperhitungkan peringatan hari kematian seseorang. Jenazah Ibu akan dimakamkan setelah salat Asar. Berbaskom-baskom bunga melati di dapur itu masih menumpuk sementara geremengan pembacaan surat Yasin semakin riang. (Leila S. Chudori: 29) Agama Islam ini juga dipeluk oleh Bram (ayah Nadira). Bahkan ia sebagai seorang muslim yang taat. Meski hidup di luar negeri yang nyata-nyata menganut paham sekuler, ia tetap sebagai muslim yang taat. Terbukti ketika Kemala sebelum menjadi istri sahnya, tetapi Kemala sering menginap di apartemennya, Bram pun mengajak Kemala untuk segera menikah demi menghindari perzinaan. Tentu saja kami tak perlu berkisah bahwa tingkahku yang tidur bermalammalam di apartemennya membuat Bram gelisah dan serta-merta mengajakku kawin. Dia sudah mantap. Aku sudah melekat. Bagi Bram, dia tak bisa berpaling lagi ke arah lain, selain ke arahku. Dan karena Bram adalah muslim yang taat, sementara aku perempuan yang sedang jatuh cinta pada muslim yang taat, maka kami sepakat menikah segera. (Leila S. Chudori: 22) Setelah Bram menyelesaikan kuliahnya di Amsterdam dan kembali ke tanah air dan hidup bersama dengan Kemala dan ketiga anak-anaknya, lalu mereka hidup serumah dengan Bapak-Ibu Suwandi. Mereka tak lain adalah orang tua Bram sekaligus mertua Kemala. Bapak-Ibu Suwandi ini juga seorang muslim commit to user yang taat. Bahkan, suatu ketika Ibu Suwandi menanyakan kepada Bram tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
sejauh mana Kemala menjalankan perintah agama dan mendidik anak-anaknya dalam bidang agama. “Maksud Bapak…,” terdengar suara Bu Suwandi, ibu mertuaku, “apa dia salat, mengaji? Apa kalian mengajarkan membaca Al-Quran pada anak-anak selama kalian di Belanda?” (Leila S. Chudori: 24)
Didikan dalam bidang agama ini, sangat ditekankan oleh Bapak Suwandi kepada anak, menantu, dan cucu-cucunya secara ketat. “Sudahlah Bu… sekarang prioritasnya keluarga Bram dulu. Alhamdulillah akhirnya Bram sudah selesai sekolahnya. Sudah kembali ke Jakarta, biarpun lama betul selesainya. Nah, kita harus ajarkan Islam dulu, biar menantu dan cucu-cucu kita itu mengerti isi Quran,” Pak Suwandi menegur istrinya. (Leila S. Chudori: 25) Bapak Suwandi bahkan
menginginkan
agar cucu-cucunya tinggal
bersamanya, agar mereka dapat belajar mengaji dan salat lima waktu pada nenek dan pamannya. “Bagus! Jadi Kumala dan Bram nanti tinggal ambil baju mereka. Anakanakmu tinggal di sini saja selama libur sekolah, biar kenalan sama nenekneneknya, kenalan sama paman-bibinya dan sepupu-sepupunya sekalian belajar mengaji. Nanti neneknya juga mengajarkan salat lima waktu.” (Leila S. Chudori: 28) Ketaatan keluarga Suwandi pada ajaran agama yang dianutnya dapat pula diketahui ketika terdengar suara bedug tanda salat Zuhur tiba, mereka segera membasuh tubuh dengan air wudu untuk segera melaksanakan salat Zuhur. Bedug Zuhur sudah terdengar dan hanya beberapa detik kemudian terjadi hiruk pikuk seluruh isi rumah menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
dengan air wudu. Dari jauh aku melihat Ray, adik bungsu Bram, tengah mengajar Arya untuk mengambil air wudu. (Leila S. Chudori: 28)
Meskipun sebagian besar para tokoh dalam kumpulan cerpen ini digambarkan oleh Leila sebagai seorang muslim yang taat, namun tokoh Kemala digambarkan oleh Leila sebagai seorang muslim yang belum taat menjalankan ajaran agamanya. Dia masih mengikuti gaya hidup sekuler dan dalam menjalankan salat lima waktu pun hanya ketika ia ingin menjalankan. “Aku akan salat kalau aku ingin, kalau saya…siap,” kataku menatap matanya. (Leila S. Chudori: 28)
Leila menggambarkan bahwa dalam kumpulan cerpen ini ada suatu keyakinan dari beberapa tokoh akan sebuah benda bernama “tasbih”. Tasbih adalah untaian butir manik-manik yang dipakai untuk menghitung ucapan tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir. Manik-manik itu ada yang berjumlah 33 dan ada yang berjumlah 100 butir. Benda tasbih dalam kumpulan cerpen ini asalnya dari Bapak Suwandi yang diberikan kepada Kemala ketika ia tidak bersedia mengikuti salat berjamaah di rumah keluarga Suwandi. Bapak Suwandi diam. Tapi, lagi-lagi, dari wajah gembil yang masam itu, aku melihat sinar mata yang sangat ramah. Dia menyodorkan seuntai tasbih yang sejak tadi dipegangnya. Seuntai tasbih berwarna cokelat polos. Sangat sederhana. (Leila S. Chudori: 28)
Benda tasbih pemberian ayah mertuanya ini selanjutnya diyakini mampu memberikan ketenangan bagi Kemala. Bahkan ketika Kemala memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pun, tasbih itu masih disimpan oleh Bram. Cerita asal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
muasal benda tasbih ini diketahui Nadira melalui catatan buku harian ibunya (Kemala) yang ia temukan di gudang. “Dua tahun yang lalu, kami sedang membongkar gudang….” Tara akhirnya duduk tepat di sebelah Nadira. “Sudah dibaca?” “Ya….” Sunyi, Tara memandang sepatunya. “Ibu menyebut-nyebut seuntai tasbih….” “Seuntai apa?” “Tasbih, seuntai tasbih….” “Oh….” Mereka terdiam lagi. “Menurut catatan harian Ibu, tasbih itu diperoleh dari Kakek Suwandi.” “Ya?” “Ibu selalu merasa tenang memegang tasbih itu….” (Leila S. Chudori: 99)
b. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan Sistem merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, sedangkan organisasi merupakan kesatuan yang terdiri atas orang-orang dalam perkumpulan tersebut dengan tujuan tertentu. Suku bangsa merupakan salah satu bentuk dari sstem dan organisasi kemasyarakatan. Suku bangsa merupakan kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan akan identitas perbedaan kebudayaan. Dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini menunjukkan adanya sistem dan organisasi kemasyarakat dalam bentuk suku bangsa. Tokoh Suwandi merupakan tokoh yang diciptakan Leila sebagai seorang tokoh yang bersuku Jawa. Ibu Suwandi seorang bersuku Jawa, sedangkan Bapak Suwandi berasal dari Cirebon. Oleh karena itu, tokoh Bram adalah seorang tokoh yang bersuku Jawa. “Siapa namamu?” “Bramantyo.” “Itu nama Jawa.” “Ibu saya memang orang Jawa. Ayah saya dari Cirebon.” (Leila S. Chudori: 14) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Ketika Bram kuliah di Amsterdam, dia berkenalan dengan Kemala. Tokoh Kemala ini berasal dari keturunan Sumatra. Ibunya lahir di Lampung, sedangkan ayah Kemala berasal dari Palembang. Ibu saya di Lampung; ayah saya dari Palembang, jadi saya tumbuh dari langit, tanpa akar….” (Leila S. Chudori: 14)
Leila juga menceritakan tokoh lain yang merupakan tipikal wanita Jawa tulen, yaitu Aryati Abimanyu, ibu Bayu Utara. Bayu Utara adalah teman kerja Nadira di majalah Tera. Untuk seorang perempuan yang hari ini sudah mencapai usia 63 tahu, Aryati Abimanyu nampak seperti setangkai anggrek ungu. Anggun, klasik, kukuh, dan tak lekang dimakan usia. Dia mewakili para ibu Jawa yang rajin mengusap kulitnya dengan minyak zaitun dan mandi air mawar pada tanggal-tanggal yang sudah ditentukan. Dia tak pernah absent membersihkan wajah dengan air melati. (Leila S. Chudori: 212)
c. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan berkaitan dengan kepandaian. Kepandaian ada kaitan dengan tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Para tokoh dalam cerita ini (mayoritas) dikisahkan oleh Leila S. Chudori sebagai seorang yang mengenyam pendidikan tinggi secara formal. Dimulai dari tokoh Bramantyo Suwandi (dikenal dengan Bram). Bram adalah suami dari tokoh Kemala dan ayah dari tokoh Nadira. Bram dan Kemala awalnya adalah commit to user mahasiswa asal Indonesia yang menempuh studi di Amsterdam, Belanda. Bram
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
sebagai mahasiswa jurusan politik dan ekonomi di Gemeentelijke Universiteit (GU), sedangkan Kemala sebagai mahasiswi sastra di Vrije Universiteit (VU). Keduanya bertemu di suatu bar, yaitu De Groene Bar. Bar ini merupakan tempat tujuan Kemala ketika ia ingin mencari alkohol untuk melepaskan rasa penatnya. Di bar inilah, Bramantyo, seorang mahasiswa asal Indonesia bekerja sambilan sebagai pelayan bar (barkeeper). Leila S. Chudori begitu fasih dan lancar bercerita menggambarkan situasi bar tersebut, tempat tokoh Bram dan Kemala bertemu. Hanya dalam waktu setengah jam, tiba-tiba saja aku sudah berada di De Groene Bar yang penuh sesak; buka saja oleh mahasiswa Vrije dan Gemeentelijke Universiteit, tetapi lengkap dengan aroma tubuh mereka yang malas mandi bercampur dengan asap rokok dan alkohol. Aku tak berminat mengunjungi bar ini, karena 99 persen pengunjungnya adalah mahasiswa VU dan GU yang merasa dirinya sebagai seniman, intelektual, dan bertingkah sok bohemian. (Leila S. Chudori: 11) “Saya terpaksa menempuh pendidikan di universitas yang mau memberikan beasiswa. Semula saku menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor, karena hanya jurusan itu yang memberikan beasiswa. Lalu ada seleksi beasiswa di GU, aku langsung ikut karena sudah lama aku ingin belajar politik dan ekonomi…” (Leila S. Chudori: 15)
Selain kedua tokoh di atas, Leila S. Chudori juga menggambarkan betapa tinggi tingkat pendidikan keluarga Bram ini, dimulai dari didikan ayah Bram (Suwandi) yang memberikan aturan yang demikian ketat, yaitu bahwa anakanaknya hanya diizinkan menikah jika telah selesai sekolah (kuliah). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Ayah Bram memiliki wajah gembil yang senantiasa masam. Kesanku, wajah dan tubuhnya begitu berat seolah seluruh persoalan dunia harus disangga sendiri olehnya. Tapi aku mencoba memahaminya. Dia memiliki enam orang anak. Dan dia mempunyai peraturan yang sangat ketat, tapi progresif di sebuah zaman yang mementingkan perkawinan pada usia tertentu; semua anaknya hanya boleh menikah jika mereka sudah mencapai gelar sarjana. Bahkan adik Bram, Rania yang menempuh pendidikan kedokteran pun, tak boleh menikah sebelum dia selesai kuliah. Itu hal yang sangat berat, karena lazimnya mahasiswa kedokteran baru mencapai akhir masa studinya hingga enam atau tujuh tahun. Tapi ayah Bram yang selalu masam ini bersikukuh Rania hanya boleh menikah setelah selesai sekolah. (Leila S. Chudori: 21) Leila juga bercerita mengenai pendidikan yang ditempuh oleh tokoh Nadira dan Nina (kakak sulung Nadira), baik di dalam maupun di luar negeri, sebagaimana kutipan di bawah ini. Senja turun di Washington Square Park, jantung Greenwich Village yang selalu dipilih Nadira sebagai tempat membaca buku. Di masa Nadira sekolah di Kanada persis sembilan tahun silam, dia memilih Greenwich Village sebagai tempatnya melarikan selama musim panas. Dia bekerja di beberepa tempat –untuk mengisi koceknya selama musim panas. Nina hanya sempat mengunjunginya satu kali di New York karena dia sendiri tengah menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah di kampus Rawamangun Universitas Indonesia. (Leila S. Chudori: 48)
“Aku harus kembali ke sini untuk S2…, NYU atau Columbia,” kata Nina dengan nada penuh cita-cita. (Leila S. Chudori: 49) Pendidikan tinggi pun juga telah ditempuh oleh orang tua Nadira. Bahkan, commit to user mereka menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, Amsterdam. Cerita mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
perkuliahan orang tua Nadira ini dikemas dan disajikan oleh Leila dengan gambaran cerita yang runtut. Ibunya, Kemala Yunus, adalah putri sulung Abdi Yunus, seorang pengusaha terkemuka di zaman Bung Karno. Ia menempuh pendidikan di Belanda dengan harapan bisa meneruskan perusahaan ayahnya di masa yang akan datang. Tetapi ia bertemu dengan Bramantyo Suwandi, ayah Nadira, seorang mahasiswa beasiswa di Gemeente Universiteit di Amsterdam. (Leila S. Chudori: 70) Keluarga Nadira sebagaimana dikisahkan oleh Leila adalah keluarga yang mengedepankan pendidikan. Sebagaimana kata pepatah, “Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya,” itulah gambaran keluarga Nadira. Dimulai dari pendidikan yang ditempuh oleh kedua orang tua Nadira, berlanjut pada Nadira dan kedua kakaknya yang merupakan orang-orang berpendidikan tinggi. Selain Nina dan Nadira, kakak laki-laki Nadira satu-satunya, yaitu Arya, juga merupakan seorang sarjana kehutanan dengan gelar insinyur. Arya semakin sering bertapa di dalam hutan dan seperti tak ingin keluar lagi dengan alas an hutan jati di Indonesia membutuhkan insinyur kehutanan seperti dia: pecinta pohon dan dedaunan. Pecinta alam yang menghargai anugerah Tuhan dan merasa bertugas menjaganya. (Leila S. Chudori: 72)
“Arya baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kehutanan … di Bogor.” (Leila S. Chudori: 154)
Nadira diam. Dia tidak bisa langsung menjawab apa yang ingin diutarakannya. Kelihatannya begitu sepele, begitu remeh-temeh, hingga commit to user ingin rasanya ia meletakkan gagang telepon itu. Namun suara Yu Nina
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
yang biasanya mantap dan sedikit tergesa-gesa karena kesibukannya, kini terdengar lebih sabar. Mungkin karena dia menyadari urgensinya telepon adik bungsunya itu. Nadira memang tak terlalu sering menelepon kakak sulungnya yang tengah bergulat menyelesaikan disertasi doktornya di Amerika. (Leila S. Chudori: 75)
“Gimana sih kau, Yu? Ayah itu lulusan Gemeente Universiteit, dia sarjana politik. Semua itu dia raih dengan beasiswa sambil bekerja. (Leila S. Chudori: 76)
d. Bahasa Sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan, bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa digunakan seseorang di masyarakat sebagai alat berinteraksi, untuk bekerja sama, serta mengidentifikasi diri. Ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat dengan logat tertentu, akan diketahui identitas asal daerah orang tersebut. Dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini digunakan bahasa Indonesia yang sangat komunikatif. Pilihan kata yang digunakan Leila S. Chudori sangat mudah dipahami. Meskipun mayoritas memakai bahasa Indonesia, kumpulan cerpen ini juga diselingi dengan beberapa dialog yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, Leila juga menyelipkan beberapa dialog dengan menggunakan bahasa Belanda. Nadira menolak tubuhku. Nadira menolak susuku. Ini membuatku tak nyaman. Dia hanya memejamkan matanya sambil sesekali mengeluarkan rintihan kecil. Aku mendengar suara angina tajam yang menusuk-menusuk jendeka. Angin Desember di Amsterdam sungguh murung. “Wat een melancholische dag is het vandaag…” (Leila S. Chudori: 4) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
“Tidak demam…,” gumamnya, “kenapa… tadi kamu makan apa? Ayo, Schatj… wat scheet jou….” (Leila S. Chudori: 6)
“Jangan!” Bram berseru. “Utang kita sudah numpuk! Hoeft niet.” (Leila S. Chudori: 7)
“Saya tak pernah minta maaf pada Nadira.” Ruth memandang Nina dari balik kacamatanya. “Come again?” (Leila S. Chudori: 39)
“Let’s
drink
to
that!”
Nadira
mengacungkan
botolnya.
Mereka
mendentingkan botol berisi soda sembari mengunyah makanan jalanan. Nina memilih pretzel, Nadira mengunyah falafel. Mereka menyusuri jalan di kawasan Greenwich Village di sebuah sore di ujung musin panas. Ketika kaki sudah mulai lelah, mereka memilih duduk di bangku panjang di Washington Square. (Leila S. Chudori: 49)
“You are so relentless!” Nina menggerutu, tapi toh menghirup kopi itu. Matanya kini mulai terbuka. (Leila S. Chudori: 61)
Nadira melirik ke jam dindingnya. Jam setengah tiga pagi. “I need you….” “Of course… kalau tidak, kau tak akan segila ini. Ada apa? (Leila S. Chudori: 75)
“Kenapa, Dira? Ayah?” “Dia tidak makan makan, sudah seharian ini…,” akhirnya meluncur juga kata-kata itu. “God, that man… Sudah berapa lama?” (Leila S. Chudori: 75)
“Neen…, neen…. Ik wil de Nederlandse Ambassadeur telefoneren. Ayah mau minta daftar acara Pronk. Kita undang saja dia makan siang di sini.” (Leila S. Chudori: 86) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
“Lalu ada mimpi lain…, did I tell you?” “Yang mana lagi?” Kini Nadira duduk, dia menyenderkan punggungnya. (Leila S. Chudori: 87)
“Saya mau latte saja…, kamu mau apa, Nad?” “Oh… kopi hitam saja, Mbak.” “Tessa, nama saya Tessa…,” si lesung pipit tersenyum manis. “Terima kasih, Tessa,” kata Nadira setengah linglung. “Cream or milk?” tanya Tessa dengan suara seperti suara pramugari di atas pesawat. Nadira mengerutkan kening, lalu menggeleng. “Sugar?” Tessa bertanya lagi. (Leila S. Chudori: 133).
Mata Nadira yang bulat bercahaya menantang Tito Putranto; konglomerat muda yang tak bisa ditantang. Dia tersenyum. “Shoot your question!” (Leila S. Chudori:134) “Kirana. Judulnya Kirana, Nad.” “A very beautiful choice of title,” Nadira mengangguk. (Leila S. Chudori: 153)
“Itu sebabnya karya-karya Mas Gilang ini lebih banyak dipengaruhi tari Jawa, Yah,” kata Nina. “Of course it is a modern rendering….” (Leila S. Chudori: 154)
Bukankah tanda tangan itu bertuliskan: To Nadira and Niko, two interesting people from Indonesia. (Leila S. Chudori: 178)
“I love Indonesians….” “He?” Marc mengeluarkan rokok kretek dari kantungnya. Aku segera memahami maksudnya. (Leila S. Chudori: 236)
“Kamu tak perlu menceritakan kalau tak siap.” “No, I really want to…,” nada Nadira sangat tegas. “Saya tak mau lagi meratap karena kepergian ibu. Saya masih merindukanny; tapi saya tak mau hanyut dalam kesedihan….” (Leila S. Chudori: 246) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
“Aku rasa, aku terlalu lelah merasa sedih. Tiba-tiba Niko datang dan seperti mengajak aku melempar kesedihan itu jauh-jauh. Dia berhasil mengajak aku melihat bagian dari dunia lain yang lebih cerah. It was a bliss… for a while. (Leila S. Chudori: 247) Selain beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia yang diselipi dengan penggunaan bahasa Inggris maupun bahasa Belanda, Leila juga menyelipkan istilah dan susunan kalimat yang menggunakan logat bahasa Jawa. Terdengar bunyi sitar lamat-lamat mengeluarkan nada pentatonik: nglangut, mengusap-usap hati yang penuh rindu. Nadira mendengarkan dengan lekat. (Leila S. Chudori: 53)
“Mas Tara…,” Satimin berbisik sembari menggemgam tongkat pel, “saya ndak berani mbangunin Mbak Dira…” (Leila S. Chudori: 96)
“Hmmm?” Triyanto membaca halaman depan koran pagi itu dan menggeleng-gelengkan kepala, “Ndak tega aku, biar bagaimana beliau ini Presiden, orang tua….” (Leila S. Chudori: 214)
“Lo, ya tetap saja itu tragedi to, Mas….” “Lha iya…, tapi saya kira dia yang bunuh diri. Jadi artinya, Nadia itu masih hidup to…?” “Nadira….” “Iya, iya… Nadira. Bukan dia yang bunuh diri. Artinya dia masih hidup, masih sehat…. Lha sudah, undang saja dia ke sini. Kenalan sama Mas Priyatno.” “Lho, Mas ini… piye, kok main undang. Nadira itu bukan pacarnya Tara, Mas. (Leila S. Chudori: 215)
“Adikmu Tari sudah punya dua anak. Kamu masih wara-wiri sendirian ndak keruan. Ndak baik, Nak…. Usiamu sudah kepala 4. Bagaimana kalau Ibu meninggal besok?” (Leila S. Chudori: 225) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
Selain logat bahasa Jawa, Leila juga menyelipkan dialog dengan logat bahasa Sunda. Logat ini diucapkan oleh calon istri Kang Arya (kakak Nadira), yang bernama Amalia Jumhana. Ia memang seorang gadis yang berasal dari suku Sunda. “Ini undangannya tidak cukup atuh, Kang…, bagaimana yah?” Amalia panik, tetapi mencoba mencari cara agar undangan miliknya bisa disisihkan untuk pihak si Akang. “Ayuh,Akang…, bagaimana iniiihh?” Akang Arya menatap kekasihnya penuh cinta. “Terserah, kurangi saja jatah Ayah, Lia….” “Ya, jangan atuh… Ini saya kurangi jatah teman saya, nanti mereka saya kasih satu undangan sekaligus saja. Bagaimana?” (Leila S. Chudori: 264)
“Waduuhhh, susah amat ya, Kang….” “Kalau terlalu mudah, pasti itu bukan nasib keluargaku.” Arya mengatakan itu dengan datar, mencoba tidak pahit. “Kalau memang Nadira cinta mah, ya Nadira harus dikasih tahu bahwa Tara mau menikah, Kang,” tiba-tiba Amalia panik. (Leila S. Chudori: 265)
e. Kesenian Dengan kesenian, manusia mampu memenuhi kebutuhan rekreasi atau mampu mengapresiasikan perasaan seninya. Setelah dibaca, dicermati, dan diteliti lebih lanjut, dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini juga ditemukan adanya unsur budaya yang berupa kesenian. Kesenian yang muncul dalam cerita pendek berjudul Kirana adalah seni drama dan tari. Seorang ksatria, yang tampan dan jelita, yang tegap dan gemulai, yang bermata elang dan berambut ikal panjang membalut bumi; berjari keras berkuku lentik; berwajah lelaki bersuara perempuan, kini berdiri di tengah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
hutan. Menantang dunia. Menantang nasib. Mencari cinta. Mencari kebahagiaan di dalam Kirana (Leila S. Chudori, 2009: 172)
Kutipan di atas menyiratkan adanya deskripsi tokoh dalam sebuah drama dengan lakon Kirana. Pertunjukan drama dan tari Kirana ini diciptakan oleh tokoh Gilang Sukma. Cerita ini merupakan tafsir dari kisah Panji Semirang. Candra Kirana adalah putri Raja Daha yang teraniaya oleh ibu tirinya, Paduka Liku. Candra Kirana memutuskan untuk eksil bersama sejumlah tentara dan dayang, lalu menyamar menjadi seorang lelaki bernama Panji Semirang. Dalam penyamarannya sebagai Panji, ia mendirikan perkampungan Asmarantaka, sembari kekasihnya, pangeran dari Kediri Ini Kertapati.
f. Mata Pencaharian Hidup Mata pencaharian hidup berkenaan dengan proses pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari di masyarakat. Proses ini dilakukan dengan melakukan pekerjaan. Pekerjaan yang dilakoni para tokoh dalam cerita ini bermacam-macam. Ada yang bekerja sebagai wartawan, pengusaha, dan koreografer. Nadira, tokoh utama dalam kesembilan cerita ini, ketika masih sekolah di Kanada, ia memiliki kerja sambilan di beberapa tempat. Senja turun di Washington Square Park, jantung Greenwich Village yang selalu dipilih Nadira sebagai tempat membaca buku. Di masa Nadira sekolah di Kanada persis sembilan tahun silan, dia memilih Greenwich Village sebagai tempatnya melarikan diri selama musim panas. Dia bekerja di beberapa tempat –belakang panggung Off Broadway, magang di beberapa media lokal, dan bahkan sempat menjadi tukang cuci piring di sebuah cafécommit to user untuk mengisi koceknya selama musim panas. (Leila S. Chudori: 48)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
Berawal dari pengalaman tokoh Nadira ketika magang di beberapa media lokal di Kanada, maka setelah pulang ke Indonesia, diceritakan Nadira bekerja sebagai wartawan di Majalah Tera. Pekerjaan sebagai wartawan atau kuli tinta ini merupakan pekerjaan yang sesuai dengan dunia Nadira, yaitu kesenangannya akan dunia tulis-menulis yang sudah didalami sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika itu, Nina baru berusia 16 tahun dan Arya 15 tahun; mereka masingmasing duduk di kelas 2 dan 1 SMA. Nadira masuk di sekolah dasar dan dia mempunyai dunianya sendiri. Dia sedang asyik menulis cerita pendek. (Leila S. Chudori: 125)
Pekerjaan Nadira sebagai wartawan ini pun sebenarnya juga mewarisi ayah Nadira (Bram Suwandi), yang dahulunya juga sebagai wartawan senior. “Anu, Dir…, Pak Mahmud tadi memuji-muji wawancaramu di majalah Tera. Katanya tajam betul pertanyaanmu. Ayah bilang itu kan karena Dira keturunan Ayah…,” Ayahnya terkekeh kembali. (Leila S. Chudori: 67)
Apakah ibunya tak tahan dengan kehidupan wartawan yang ekonominya sangat pas-pasan? Ibunya, Kemala Yunus, adalah putri sulung Abdi Yunus, seorang pengusaha terkenal terkemuka di zaman Bung Karno. Ia menempuh pendidikan di Belanda dengan harapan bisa meneruskan perusahaan ayahnya di masa mendatang. Tetapi dia bertemu dengan Bramantyo Suwandi, ayah Nadira, seorang mahasiswa berbeasiswa di Gemeente Universiteit di Amsterdam. Nadira bisa membayangkan ayahnya terlalu tinggi hati untuk menerima fasilitas dan uang dari kakek Nadira yang kaya raya. Bekerja sebagai wartawan dengan tiga orang anak terlalu mengisap seluruh perhatian Bramantyo pada pekerjaannya. Ayahnya begitu semangat dengan commit to user pekerjaannya, maka sungguh mengejutkan ketika suatu hari ayahnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
mendapat tawaran kedudukan yang ganjil. Kepala Bagian Iklan. Tepatnya, bukan sebuah tawaran; melainkan sebuah perintah. Hanya Nadira yang menyadari, ayahnya mendadak lumpuh dalam hidup. Dia harus mengurus penghasilan iklan. Adalah Nadira yang perlahan meniupkan semangat ke dalam hidup ayahnya dengan terus-menerus memperlihatkan sikap berguru pada ayahnya. Dan sang ayah, seorang wartawan senior yang dihormati itu, dengan senang hati menceritakan semua latar belakang politik dan ekonomi republik yang dia cintai ini. (Leila S. Chudori: 72)
Nadira terdiam. Ranselnya sudah siap. Dia melongok ke luar jendela. Kini yang terlihat, sebuah ruang yang luas di sebuah gedung tinggi yang melambai-lambai ke langit dengan masyarakat wartawan di dalamnya. Tibatiba melalui jendela kaca itu, Nadira merasa sedang menonton kesibukan dan
ketergopohan
kawan-kawannya yang tengah memburu berita.
Masyarakat wartawan, di mata Nadira, adalah sebuah masyarakat yang selalu menuntut hal-hal yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal. Sebuah masyarakat yang, terkadang secara tidak sadar, moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai ‘masyarakat awam’. Sebuah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan memisah yang bisa menyembuhkan borok dalam pemerintah dan borok dalam masyarakat. (Leila S. Chudori: 80).
“Mana ada waktu…. Setiap hari aku mengejar deadline.” “Kamu masih menjadi wartawan, Nadira?” (Leila S. Chudori: 84)
Nadira menyenderkan punggungnya, lalu melempar pandangannya ke luar jendela dan bergumam. Tapi Utara bisa mendengar kalimat Nadira dengan jelas. Hanya untuk pekan ini, Nadira minta ditugaskan meliput sesuatu yang ringan, seperti kriminalitas atau hukum. Tara menatap Nadira. Tara user memberikan jawaban yangcommit sudahto diulang-ulang kepada hampir setiap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
reporter yang pada tahun-tahun pertama masih mencoba merengek. Nadira tak pernah merengek. Baru kali ini dia meminta sesuatu. Sebagai reporter yang sudah senior, Nadira tetap tak boleh memilih. (Leila S. Chudori: 98)
Nadira, reporter yang baru seminggu bergabung dengan majalah Tera itu langsung berdiri dengan sigap. (Leila S. Chudori: 218)
Ketika Nadira memutuskan bercerai dengan suaminya, Niko Yulinar, ia lalu terbang ke Kanada dan menetap di sana. Nadira bekerja sebagai pengajar di Victoria College. Hal ini dapat diketahui dalam kutipan berikut ini. Tara baru saja menyelesaikan laporan koresponden New York tentang temuan terbaru atas peristiwa tragedy Word Trade Center yang mengguncang dunia. New York penuh dengan poster wajah orang-orang hilang, dan setiap malam selalu saja ada kelompok yang memasang lilin dan berdoa untuk keselamatan mereka yang belum ditemukan di antara reruntuhan gedung di kawasan ground zero. Hati Tara pecah. Nadira terasa begitu jauh. Tapi dia tahu, Nadira pasti sudah sibuk mengumpulkan muridmuridnya di Victoria College untuk ikut berdoa. (Leila S. Chudori: 228)
Jenis pekerjaan yang dilakoni oleh tokoh lainnya adalah sebagai seorang koreografer. Pekerjaan ini dilakoni oleh tokoh Gilang Sukma, yaitu suami Yu Nina, kakak sulung Nadira. Gilang melambai-lambaikan tangannya agar Nadira datang menghampiri mereka. Gilang dan perempuan sintal berambut terurai hingga pinggang. Nadira membereskan buku ke dalam ransel lalu berlagak tersenyum menghampiri mereka. “Mia, ini Nadira wartawan majalah Tera. Nadira, ini Mia, calon penari untuk koreografiku yang terbaru. Dia akan menjadi Ken Dedes. (Leila S. Chudori: 43) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
Setiap kali Gilang mengajaknya untuk berkunjung ke rumahnya, Nina menolak. Tetapi, suatu malam, Gilang mengundangnya menyaksikan awal penciptaan koreografi Tungguh Ametung di studio Gilang. (Leila S. Chudori: 51)
“Yu Nina mengajar mengajar di Amerika. Tadinya ambil program Pe Ha De, kawin sama Gilang Sukma, koreografer terkenal itu…” (Leila S. Chudori: 242)
g. Teknologi dan Peralatan Teknologi dan peralatan merupakan perlengkapan kebutuhan hidup manusia yang berfungsi sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan teknologi, manusia semakin mudah memenuhi segala kebutuhan. Unsur kebudayaan yang berupa teknologi dan peralatan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira dapat ditemukan dalam kutipan di bawah ini. Dan kini, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk di muka televisi, menyaksikan adegan demi adegan tanpa berkedip, pikiran ayahnya berada jauh melayang-layang ke lapangan jurnalistik. Sudah jam delapan. Ayahnya segera mematikan televisi. (Leila S. Chudori, 2009: 73) Berdasarkan kutipan di atas, ditemukan teknologi komunikasi yang berupa pesawat televisi. Dengan pesawat televisi, seseorang mampu mengetahui berbagai peristiwa di belahan dunia mana pun yang terjadi saat itu hanya dengan duduk dan menyimak siaran melalui televisi. Selain itu, teknologi lain yang ditemukan dalam kumpulan cerita 9 dari Nadira ini adalah peralatan video yang digunakan oleh tokoh Bram, ayah Nadira, untuk menyaksikan film kesayangannya. Film tersebut commit user cara memasukkan kaset, lalu dapat disaksikan melalui peralatan videoto dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
memutar sesuai petunjuk yang ada. Jika zaman dahulu orang ingin menyaksikan film harus mendatangi bioskop, namun dengan adanya kemajuan teknologi, seseorang
tanpa harus
keluar
rumah
sudah
dapat
menyaksikan
film
kesayangannya dengan memutar kaset video. Ayahnya memasukkan kaset video yang sudah dikenalnya: All the President’s Men. Film itu sudah ditontonnya puluhan kali. (Leila S. Chudori, 2009: 74)
Nadira menggigit bibir. “Dia… dia hanya suka menonton televise, Yu. Tepatnya menonton video. Dia nonton video All the President’s Men berulang-ulang cuma untuk mengingat masa lalunya sebagai wartawan. (Leila S. Chudori, 2009: 76) Selain peralatan berupa televisi dan video, juga didapatkan teknologi komunikasi yang modern berupa telepon. Telepon merupakan salah satu alat komunikasi jarak jauh. Telepon dalam cerpen ini digunakan oleh tokoh Nadira dan Nina ketika mereka mengadakan komunikasi antara Jakarta dengan New York. Nadira kini diam, bukan karena mendengarkan kakaknya. Suara kakaknya terdengar jauh, sayup-sayup, bukan karena dia menelepon dari New York, tetapi karena Nadira sedang masuk ke sebuah periode yang aneh, yang gelap, di masa kecilnya. Nadira berbicara sendiri, setengah berbisik. Telepon itu tidak lagi diletakkan di telinga kirinya, tetapi kini sudah terkulai di atas pangkuannya, sementara Nina masih meneruskan monolognya. (Leila S. Chudori, 2009: 89) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
Komunikasi jarak jauh yang dilakukan oleh tokoh Nadira di Jakarta dan kakak perempuannya, Nina, di New York juga dilakukan melalui internet, yaitu dengan mengirim surat elektronik atau email. Nadira membaca surat elektronik itu dengan hati berdebar. Tentu saja dia menyadari perhatian Tara. Tetapi tak mungkin dia menjelaskan isi hatinya pada orang lain. (Leila S. Chudori, 2009: 257) Selain ketujuh unsur kebudayaan yang ditemukan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira di atas, ditemukan juga aspek sosial yang mendasari penciptaan karya sastra tersebut. Aspek-aspek sosial yang ditemukan adalah sebagai berikut. a. Domisili atau Tempat Tinggal Domisili atau tempat tinggal yang dijadikan latar tempat penceritaan Leila S. Chudori ini adalah Indonesia (Jakarta dan Cepu), Amerika Serikat (Kanada, New York, Victoria), serta Belanda (Amsterdam). Indonesia (khususnya Jakarta) menjadi latar sebagian besar cerita dalam cerpen-cerpen ini karena tempat tinggal keluarga Bramantyo Suwandi adalah di kota Jakarta. Pertemuan kami yang pertama, seperti halnya pertemuan kami selanjutnya, tak pernah berlangsung lancar. Dia duduk di teras depan, rumah mereka di Gang Bluntas, kawasan Salemba yang selalu terasa gerah. (Leila S. Chudori: 23)
Rumah itu terletak di sebuah pojok di kawasan Bintaro. Setiap kali Nadira baru saja mengunjungi rumah ayahnya di Bintaro pada akhir pekan, ia sengaja melalui rumah besar itu. Rumah itu menonjol sendirian di antara rumah-rumah Bintaro yang memiliki format yang mirip antara satu dengan yang lain. Rumah-rumah itu di kompleks Bintaro lazimnya lebih seperti commit to user deretan korek api yang tak memiliki kepribadian. (Leila S. Chudori: 95)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
Arya memandang Nadira yang tengah memberes-bereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam kotak kardus. Sejak Nadira pindah ke tempat kos dekat kantornya, ia hanya membawa baju dan beberapa buah buku saja, karena kamar kosnya terlalu sempit. Tetapi kini, menjelang pernikannya, Nadira dan calon suaminya berencana pindah ke sebuah rumah Niko Yuliar yang asri, yang kebetulan terletak tak jauh dari Bintaro, dekat rumah keluarga Suwandi. (Leila S. Chudori: 143) Ketika Bramantyo selesai kuliah di Amsterdam, ia kembali ke Indonesia dengan membawa istrinya (Kemala) dan ketiga anak-anaknya (Nina, Arya, dan Nadira). Mereka berlima tinggal di rumah Kakek Suwandi di Jalan Kesehatan, Jakarta. Kang Arya mencintai aroma dedaunan, tanah, dan tanah yang basah. Meskipun kami bertiga hidup di kota besar, sejak pulang dari Amsterdam, Kang Arya selalu saja yang paling betah bermain di kebun belakang rumah kami di Jalan Kesehatan, di tengah Jakarta. (Leila S. Chudori: 248)
Leila juga menceritakan Amerika Serikat melatari cerita ketika Nadira dan Nina menempuh kuliah, bahkan Nina tinggal di sana bersama anak dan suaminya. Mata Nina mengikuti aliran warga New York yang tak henti-hentinya mengalir seperti air bah. Para pekerja setengah berlari seolah kantornya akan menghilang disapu angin jika mereka tidak datang tepat waktu. Para pekerja perempuan mengenakan rok, blazer, dan –ini khas New York- sepatu kets yang nantinya pasti akan diganti dengan sepatu berhak lima sentimeter saat mereka tiba di gedung tinggi pencakar awan. Lalu para pekerja lelaki, mengenakan jas dan celana serta dasi, membawa segelas kopi. Sebagian menghilang ke bawah kerajaan subway, sebagian lagi di pinggir jalan berebut taksi. (Leila S. Chudori: 37) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
Bagi Nina, New York adalah kemegahan dan keberhasilan kapitalisme yang bisa dinikmati melalui Empire State Building di malam hari, sedangkan Nadira menikmati New York pada setiap senja di Washington Square Park sambil membaca salah satu buku yang dibelinya di toko buku bekas. Bagi Nina, New York adalah kekuatan Wall Street yang menjadi kompas bagi pergerakan saham dunia. (Leila S. Chudori: 48)
Nina tak berminta pulang ke Jakarta. Nina tak pernah berminat dengan apa pun di Indonesia. Bagi dia, adalah haknya untuk memilih domisili New York dan membiarkan kedua adiknya mengurus kepusingan keluarga. (Leila S. Chudori: 73)
Amsterdam menjadi latar cerita ketika orang tua Nadira (Kemala Yunus dan Bramantyo Suwandi) menempuh pendidikan tinggi (kuliah) dengan mendapat beasiswa. Amsterdam kota yang kontradiktif. Amsterdam selalu rapi dan rajin membasuh diri, sedangkan penduduknya malas mandi. Bram Suwandi di antara mereka –seperti juga para penduduk Indonesia di sini- terlihat paling bersih, rapi, dan rajin bertemu dengan air. Amsterdam juga serba kontradiktif, karena semasa kuliah, aku bisa mendapatkan dua tetangga yang posisi
apartemennya
sekaligus
menunjukkan
titik
spektrum
yang
berlawanan. (Leila S. Chudori: 5)
Siapa yang mau pulang? Tapi aku sudah menemukan diriku seperti besi yang mengikuti lelaki yang magnetik di awal musim semi di Amsterdam. Tidak terlalu dingin untuk ukurang Belanda, tetapi kami, para inlander, tentu saja mengenakan jaket. (Leila S. Chudori: 14) “Saya selalu merasa mengecewakan Nina…, terutama karena ketika dia lahir, kami tak memiliki apa-apa, kami hidup dengan keuangan yang sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
terbatas saat kami di Amsterdam,” Bram mengambil rokoknya lagi. (Leila S. Chudori: 127)
Setelah Nadira memutuskan bercerai dengan suaminya, Niko Yulinar, ia pun pergi ke Victoria dan bertempat tinggal di sana. Bahkan, Nadira pun melanjutkan studinya sambil mengajar di sana. Aku bahkan bisa membayangkan, setelah kamu mengajar, kamu menghabiskan waktumu menatap langit Victoria (yang pasti jauh lebih biru dan lebih bening dibanding langit Jakarta yang penuh polusi). Aku juga ingat, kamu mengatakan langit Victoria dihiasi segumpalan awan yang kau katakana mirip gulali rasa vanilla. Aku rindu mendengar suaramu, tapi aku lega kau sudah bisa mendengarkan bisikan riak Pedder Bay yang kau katakana membuatku nyaman. (Leila S. Chudori: 237)
Tapi dia tahu, Nadira pasti sudah sibuk mengumpulkan murid-muridnya di Victoria College untuk ikut berdoa. (Leila S. Chudori: 228)
b. Adat dan Kebiasaan Kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini banyak bercerita tentang kehidupan modern, tetapi juga sarat dengan pesan-pesan atau adat dan kebiasaan yang berasal dari budaya Indonesia, khususnya Jawa. Orang tua Bram (Suwandi) selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mencium tangan sebagai tanda hormat kepada orang tua. Kebiasaan ini dilakukan oleh Bram ketika ia pulang dari Belanda dan membawa istrinya (Kemala). Akhirnya, meski kebiasaan mencium tangan orang tua itu tidak biasa dilakukan oleh Kemala, namun ia melakukannya juga sebagai tanda hormat kepada kedua mertuanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
Ayah Bram memiliki wajah gembil yang senantiasa masam. Dia menatapku tanpa emosi sama sekali. Aku menghampiri kursinya dan mencium tangannya. Lalu aku mencium tangan ibu mertuaku. Dua gerakan yang tak pernah kulakukan seumur hidupku. Aku terbiasa dengan mencium pipi, mencium bibir, mencium leher… tetapi mencium tangan? Kenapa tangan harus dicium? Bagaimana
jika tangannya baru saja digunakan untuk
menyemprot ingus? (Leila S. Chudori: 26) Kebiasaan Kemala yang pada awalnya tidak pernah mengenal budaya Timur (Indonesia), setelah ia menikah dengan Bram dan memiliki anak, ia pun berubah kebiasaan dengan mengajarkan berbagai kebaikan kepada anak-anaknya (Nina, Arya, dan Nadira). Bahkan, ajaran kebaikan yang diberikan oleh ibunya ini sangat membekas pada ketiga anak-anak Kemala. Ajaran kebaikan tentang bagaimana harus bersikap sopan kepada orang lain, bagaimana berbuat baik terhadap sesama, serta mengajarkan bahwa anak yang berusia lebih tua harus bisa menjaga dan melindungi adik-adiknya. Ibunya, perempuan yang melahirkannya, yang menyusuinya, yang mengajarkan bagaimana membaca dan mencintai buku-buku hingga mereka bertiga membutuhkan buku seperti manusia membutuhkan oksigen. Ibunya yang dengan sabar mengajarkan bahwa mereka harus bersikap sopan dan ramah kepada siaja saja jika ingin diperlakukan demikian oleh orang lain. Ibunya yang mengajarkan mereka bertiga untuk memperlakukan semua orang dengan baik, tanpa melihat warna kulit, jender, status sosial, agama, atau perbedaan pemikiran. Dan ibunya yang mengajarkan bahwa sebagai kakak tertua, dia harus menjaga dan merawat adik-adiknya. (Leila S. Chudori: 39) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
Pada zaman dahulu, jika ada orang tua yang memiliki anak bandel, biasanya diadakan selamat dengan mengganti nama anak tersebut. Tujuannya adalah agar si anak menjadi tidak bandel. Demikian pula yang dilakukan oleh Bram dan Kemala (orang tua Nadira) ketika Arya (kakak laki-laki Nadira) betapa bandelnya ia karena telah meledakkan mercon di lemari pakaian atau ketika Arya mematah-matahkan meja belajar Nina untuk dijadikan kayu bakar api unggun. Melihat kebandelan Arya ini, orang tua Nadira akhirnya memutuskan untuk mengadakan selamatan dengan memasak nasi kuning dan dibagi-bagian ke tetangga sekitar, lalu mengganti nama Arya menjadi Ardian. Ibu dan Ayah memutuskan untuk mengadakan selamatan nasi kuning segala. Kang Arya hanya menyeringai melahap nasi kuning itu dengan nikmat. Toh bandelnya tidak hilang. Malah semakin menjadi-jadi. Dia pernah meletakkan balon berisi air di kursi pacarnya Nina duduk. Seluruh kursi dan celana pacar Nina basah kuyup. Pokoknya Kang Arya bandelnya sudah tak tertolong… Akhirnya, Ayah dan Ibu putus asa. Dia kembali dipanggil dengan nama Arya. (Leila S. Chudori: 251)
Selain beberapa tradisi atau adat kebiasaan di atas, dalam masyarakat di Indonesia juga ada semacam tuntutan bahwa bagi siapa pun yang telah menemukan pasangan hidup dan memutuskan untuk menikah, pastilah mengharapkan segera memiliki keturunan. Demikian pula ketika Arya (kakak laki-laki Nadira) telah menemukan pasangan hidupnya, yaitu Amalia Jumhana, dan memutuskan untuk menikah tentu mereka berharap akan segera menimang anak, dan ayah Arya maupun mertuanya pun tentu ingin menimang cucunya. Karena masyarakat Indonesia selalu mengharapkan pasangan baru commit to user langsung mempunyai keturunan. (Sudah isi? Kok belum? Ayo, ayahmu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
kan ingin menimang cucu. Masakan sudah tiga tahun belum juga ada isi, salah posisi ya?) Dan Kang Arya bukan sosok yang bakal menentang tuntutan masyarakat. Mereka akan segera beranak-pinak. (Leila S. Chudori: 255)
2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Pandangan terhadap isi cerita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini tidak lepas dari latar belakang dan proses kreatif pengarang. Leila S. Chudori adalah seorang cerpenis, jurnalis, wartawan, maupun penulis skenario. Berdasarkan data dari sumber dokumen pada Lampiran 2. Profil Pengarang pada halaman 189, pengarang kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini memiliki nama lengkap Leila Salikha Chudori. Ia memulai kariernya sebagai penulis sejak berusia 11 tahun. Saat itu, tulisan-tulisan hasil karyanya sering dimuat di majalah Hai, Si Kuncung, dan Kawanku. Semakin dewasa, hasil karya Leila mulai beredar di majalah Sastra Horison dan Matra. Cerpen pertama yang dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung adalah cerpen yang berjudul Pesan Sebatang Pohon Pisang. Cerpen ini dimuat ketika ia duduk di bangku kelas V SD. Selanjutnya, ia menulis cerita pendek dan cerita bersambung di majalah remaja Kawanku, Hai, dan Gadis. Setelah kuliah, Leila menulis cerita pendek di majalah sastra Horison, harian Kompas Minggu, Sinar Harapan, majalah Zaman, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Bahkan, cerpen Leila ada yang pernah dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S. Chudori and Women in commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
Contemporary Fiction Writing” dalam Tenggara, sebuah jurnal sastra Asia Tenggara. Leila S. Chudori, wanita kelahiran Jakarta, 12 Desember 1962 ini sekarang bekerja sebagai Redaktur Senior Tempo. Leila pernah mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of The Pasific (United World College) di Victoria, Kanada. Leila merupakan lulusan Political Science and Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Berdasarkan data dari sumber dokumen hasil wawancara Leila S. Chudori dengan Tim Kampung Fiksi pada Lampiran 2. Hasil Wawancara halaman 195, Leila menerbitkan karya fiksi berupa kumpulan cerpen yang berjudul 9 dari Nadira ini pada tahun 2009. 9 dari Nadira merupakan karya fiksi pertamanya yang diterbitkan sejak kumpulan cerpen Malam Terakhir pada tahun 1989. Ayah Leila, Mohammad Chudori adalah seorang wartawan kantor berita Antara. Buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini pun menjadi pilihan utama para dewan juri hingga mengantarkan karya ini memperoleh penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Sebagaimana komentar Leila yang mengatakan bahwa penghargaan apa pun dari berbagai institusi adalah efek terhadap sebuah buku yang sudah selesai dan sudah diterbitkan. Menurutnya, proses yang asyik sebenarnya adalah saat menulis. Hal ini menunjukkan betapa menulis sudah merupakan cinta pertama dan utama bagi Leila S. Chudori, sedangkan penghargaan yang diberikan oleh pihak lain merupakan icing of the cake baginya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
Sebagai seorang wartawan, Leila menganggap bahwa menulis berita dan menulis resensi merupakan bagian dari tugas kesehariannya, sedangkan menulis fiksi dan skenario merupakan bagian dari keinginannya. Leila menganggap bahwa menulis berita dan menulis fiksi sama-sama memiliki kegairahan dan kenikmatan tersendiri. Setiap proses menulis, bagi Leila, akan memiliki tantangan. Menulis cerita pendek, bagi Leila, memiliki tingka kesulitan yang berbeda dengan ketika menulis novel atau skenario. Tantangan ketika menulis cerita pendek adalah dalam ruangan yang sempit diharuskan menyiapkan ledakan yang dahsyat. Semua penulis, termasuk Leila, secara langsung maupun tidak langsung pasti menulis sebagian kecil pengalaman pribadinya, yang kemudian dikawinkan dengan rekaan dan plot fiktif. Salah satu hal yang penting dalam menulis cerpen adalah kemampuan dalam menaklukkan bahasa. Metafora hanyalah salah satu cara, selain itu masih ada banyak majas. Kemampuan menaklukkan bahasa ini tidak berarti harus berpretensi untuk berpuisi atau selalu menghubungkan suasana dengan alam. Banyak cara untuk berekspresi dengan menggunakan metafora yang jita, yang bisa mewakili karakter tokoh sekaligus mewakili pembaca. Bahasa adalah salah satu alat yang mengantar pembaca memasuki dunia alternatif yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, sedahsyat apa pun ide, jika disampaikan dengan buruk atau dengan datar, niscaya karya itu tidak akan bercahaya. Sebaliknya, sebuah ide yang sederhana akan meledak jika disampaikan dengan tepat, baik, dan cerdas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
Leila meyakini bahwa setiap penulis memiliki kebiasaan masing-masing. Menurutnya, semua penulis yang baik akan menyarankan bahwa pada penulis lain agar jujur saat menulis. Ketika penulis tidak jujur, maka karyanya akan terasa pretensius dan itu akan terlihat dari bahasa dan penyajiannya. Dalam menulis fiksi, Leila selalu melakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, riset sangat penting untuk pembangunan karakter dan setting. Selain itu, Leila juga kadang-kadang menulis sesuatu karena terinspirasi oleh musik atau bunyi dan kadang-kadang pula menulis saat ia dalam situasi yang sunyi hingga harus menulis di tempat yang agak terpencil. Berbagai aliran musik yang mampu menggerakkan hati dan pikiran Leila yang digunakan sebagai teman menulis, dari musik klasik (yang benar-benar klasik seperti Ravel dan Bartok), yang klasik modern seperti Erik Satie hingga musik di zaman yang lebih baru seperti The Beatles. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ketika menulis Leila juga sambil mendengarkan lagu-lagu dari Genesis, Queen, dan U2, hingga musik dari kaset pop dan rock Indonesia. Zaman sekarang ini, ketika Leila menulis, ia memilih sambil mendengarkan musik secara serabutan tanpa memedulikan genre musiknya sepanjang musik itu mengena di hatinya, pasti akan didengarkannya dan dijadikan temannya dalam menulis. Dengan
latar
belakangnya
sebagai
jurnalis
senior,
Leila
mampu
membuktikan hal itu. Kumpulan cerpen 9 dari Nadira yang terdiri atas sembilan (9) cerpen ini dengan cantiknya menggambarkan cerita yang sesungguhnya gelap dan penuh misteri. Tidak seperti kebanyakan buku-buku Amerika yang berakhir happily ever after atau si baik menang lawan si jahat atau si kuat melawan si commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
lemah, lebih ke arah kiblat Eropa, buku ini tidak menawarkan konklusi apa pun. Kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini tidak seperti tulisan sastrawan zaman sekarang yang pahit atau justru sok feminis dan mengumbar seksualitas. Cerita dalam buku ini dengan jujurnya memaparkan sudut pandang tokoh-tokohnya yang berbeda-beda di setiap bagiannya. Disukai atau tidak, disengaja atau tidak, cerita dalam 9 dari Nadira ini dipengaruhi oleh latar belakang Leila sebagai jurnalis, sangat kental mewarnai cerita dalam buku ini. 9 dari Nadira terdiri atas sembilan cerita pendek dengan tema kehilangan yang kuat dan karakter Nadira sebagai pemersatunya. 9 dari Nadira juga merupakan cerita cukup panjang yang saling terkait dan berpusar pada tokoh utama perempuan yang bernama Nadira. Hidup normal Nadira sendiri terganggu oleh kisah diari peninggalan ibunya yang mati bunuh diri, masa kecilnya yang bandel, luka terlalu dalam dengan kakak sulung perempuannya, hubungan dengan ayahnya yang mengidap post power syndrome, kakak lelakinya yang bujang lapuk, kariernya sebagai wartawati, wawancaranya dengan seorang psikopat pelaku pembunuhan berantai, rekan kerja yang mencintainya tetapi dia abaikan, serta pengalaman seksual dan perkawinannya yang bermasalah. Meskipun demikian, Leila mampu mengelaborasi antara mitos, agama, beban psikologis, trauma, kekecewaan, dan misteri batin manusia menjadi jalinan kisah yang memikat. Berdasarkan data dari sumber dokumen ”Artikel tentang 9 dari Nadira” pada Lampiran 4 halaman 201, ketika membaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini akan didapatkan suguhan kompleksitas tema dan karakter. Dunia reportase, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
tradisi, cinta, harga diri, dan masih banyak lagi bercampur dengan efektif tanpa membuatnya jatuh. Buku ini mampu menyedot pembacanya ke dalam alur yang tidak linear. Dengan nyaman, Leila menuliskan kesembilan cerita ini melompatlompat ke berbagai highlights dalam kehidupan Nadira. Tidak semua jawaban dari pertanyaan yang ada dalam buku ini disimpan di cerita pendek yang terakhir, bisa juga pada cerpen-cerpen awal karena formatnya yang merupakan kumpulan cerita pendek memungkinkan hal itu. Kesembilan cerpen dalam buku ini, jika ada persamaan cerita atau karakter, maka itu kebetulan semata. Namun, bukan hal mengherankan apabila ternyata Leila membangun karakter Nadira dengan kehidupan pribadinya sebagai landasan. Keduanya sama-sama berayahkan wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, dan menjadi wartawan di majalah berita. Alhasil sosok Nadira menjadi begitu nyata, sampai-sampai cerpen yang langsung berfokus pada dirinya terasa lebih menonjol daripada yang tidak, seperti dalam cerpen Melukis Langit, Tasbih, dan Kirana. Walaupun demikian, cerpen-cerpen dengan sudut pandang karakter Nadira, misalnya Nina dan Nadira atau Sebilah Pisau, tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain membuktikan kepedulian Leila pada pengembangan karakter yang lain, cerpen-cerpen tersebut juga memberikan kesempatan untuk mengenali Nadira melalui interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya. Kekhasan lain
dari
kumpulan cerpen ini adalah kelenturan Leila dalam melakukan senam metafora. Metaforanya tidak melulu memberikan kesan indah, tetapi juga dapat memberikan kesan sinis atau lucu, meskipun kadang-kadang agak berlebihan jika digunakan dalam percakapan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
Berdasarkan pemerian pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini tergambar bahwa peran tokoh-tokoh wanita, misanya Nadira dan Nina, adalah berperan ganda, yakni berperan sebagai ibu rumah tangga dan bekerja di ruang publik. Tokoh wanita, khususnya Nadira, mempunyai peran ganda. Peran ini mulai dilakukan semenjak ibu Nadira telah meninggal dunia. Nadira bekerja sebagai seorang jurnalis di majalah Tera, namun di sisi lain dia juga harus mengurus kebutuhan rumah tangga dengan sesekali menyiapkan makanan untuk ayahnya. Peran ini pun masih berlanjut ketika Nadira berumah tangga. Nadira tetap setia menyiapkan masakan untuk suami dan anaknya, meski dia harus bekerja sebagai wartawan. Pola kehidupan keluarga muda pasangan Nadira dan Niko Yulinar ini menunjukkan representasi kesetaraan gender. Pengaruh eksternal dan internal adanya peran ganda perempuan memengaruhi keluarga untuk mengadaptasi perubahan-perubahan. Baik istri maupun suami, sebaiknya dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan kebutuhan dan harapan peran dengan adanya peningkatan peran perempuan. Norma peran ganda perempuan dengan segala konsekuensinya terhadap kedudukan atau status perempuan dalam rumah tangga akan diinternalisasikan oleh keluarga. Kesetaraan gender juga ditunjukkan oleh Leila sebagai pengarang kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini. Dalam kehidupan sehari-hari, Leila pun memiliki peran ganda, yakni sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak sekaligus sebagai wanita yang bekerja di ruang publik dengan menjadi seorang wartawan di majalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
Tempo. Leila benar-benar menggambarkan dirinya sebagai sosok Nadira dalam dunia fiksi sebagai seorang perempuan yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga. Ideologi gender yang disampaikan Leila ini menunjukkan
adanya
ideologi
familialisme,
yakni
ideologi
yang
mengonstruksikan perempuan untuk berperan di dalam rumah tangga sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang baik. (Yoce Aliah Darma, 2009: 217)
3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Sebuah karya sastra yang baik, cerita pendek misalnya, pasti akan mengandung berbagai nilai pendidikan yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Sebuah karya sastra yang baik merupakan pengalaman spiritual melalui perenungan yang panjang akan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama. Pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri anak, baik jasmani maupun rohani, ke arah kedewasaan sehingga anak mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Pendidikan berfungsi mengembangkan manusia, masyarakat, dan alam
sekitarnya.
Fungsi
ini
digunakan
dalam
suatu
proses
yang
berkesinambungan dari satu generasi ke generasi. Pendidikan merupakan proses terpadu dan terarah untuk membantu manusia menyiapkan dan mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat menempatkan diri dalam kehidupan di masyarakat. commit to user Oleh karena itu, proses pendidikan adalah proses penyadaran akan nilai-nilai dasar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
manuasi. Selanjutnya, proses pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah atau lembaga pendidikan. Akan tetapi, di keluarga dan masyarakat
pun, proses
pendidikan selalu terjadi. Dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini didapatkan beberapa nilai pendidikan sebagai berikut. a.
Nilai Pendidikan Agama Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai petunjuk
bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia, masyarakat, serta alam sekitarnya. Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketenteraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin, atau jiwa. “Maksud Bapak…,” terdengar suara Bu Suwandi, ibu mertuaku, “apa dia salat, mengaji? Apa kalian mengajarkan membaca Al-Quran pada anak-anak selama kalian di Belanda?” (Leila S. Chudori: 24) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa setiap penganut agama wajib menjalankan semua perintah-Nya. Bagi pemeluk agama Islam, diwajibkan untuk menjalankan salat lima waktu dalam sehari dan mengaji atau membaca AlQuran serta memahami isi kandungannya untuk dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya. Bedug Zuhur sudah terdengar, dan hanya beberapa detik kemudian terjadi commitmenuju to user kamar mandi untuk membasuh hiruk-pikuk seluruh isi rumah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
tubuh dengan air wudu. Dari jauh aku melihat Ray, adik bungsu Bram, tengah mengajar Arya untuk mengambil air wudu. (Leila S. Chudori: 28)
Ajaran agama yang disampaikan melalui kutipan di atas adalah sebagai penganut agama Islam, hendaknya melakukan kewajiban salat lima waktu tanpa meninggalkan satu kali pun. Terlebih ketika mendengar suara azan sebagai tanda/seruan untuk mengajak orang melakukan salat. Sebelum salat, diwajibkan untuk melakukan wudu atau menyucikan diri sebelum salat dengan membasuh muka, tangan, kepala, dan kaki. Perintah melaksanakan salat ini dalam agama Islam termasuk rukun Islam kedua.
b. Nilai Pendidikan Moral Nilai moral yang diperoleh dalam suatu karya sastra adalah dengan membaca karya sastra. Pengarang ingin menyampaikan suatu pesan moral atau ajaran-ajaran tentang tata nilai atau norma yang berlaku bagi suatu masyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia dipandang dari nilai baik dan buruk atau benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan individu tersebut berada. Nilai pendidikan moral dibagi menjadi dua segi, yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu disampaikan agar pembaca mengetahui dan memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif juga perlu diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Tujuannya agar pembaca tidak tersesat serta bisa membedakan hal yang buruk dan hal yang baik. Seperti halnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
seseorang yang tengah belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih baik jika tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan. Kami menemui Ibu yang sudah membiru, Wajah yang membiru, bibir yang biru keunguan yang mengeluarkan busa putih. Di atas lantai yang licin itu, aku tak yakin apakah Ibu terlihat lega karena bisa mengatupkan matanya, atau karena dia kedinginan. Kami menemukan sebuah sosok yang terlentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati. (Leila S. Chudori: 3) Berdasarkan kutipan di atas, ibu Nadira telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri meminum obat tidur yang melebihi dosis (overdosis). Dengan alasan apa pun, bunuh diri merupakan tindakan yang dilarang oleh agama apa pun karena telah mendahului takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya. Hanya Allah-lah yang berhak menentukan waktu kematian seseorang. Pendidikan moral yang bernilai positif dapat dilihat dalam kutipan ketika Kemala, ibu Nadira, memberikan nasihat kepada anak-anaknya ketika mereka masih kecil. Ibunya, perempuan yang melahirkannya, yang menyusuinya, yang mengajarkan bagaimana membaca dan mencintai buku-buku hingga mereka bertiga membutuhkan buku seperti membutuhkan oksigen. Ibunya dengan sabar mengajarkan bahwa mereka harus bersikap sopan dan ramah kepada siapa saja jika ingin diperlakukan demikian oleh orang lain. Ibunya yang mengajarkan mereka bertiga untuk memperlakukan semua orang dengan baik, tanpa melihat warna kulit, jender, status sosial, agama, atau perbedaan pemikiran. Dan ibunya yang mengajarkan bahwa sebagai kakak tertua, dia harus menjaga dan merawat adik-adiknya. (Leila S. Chudori: 39) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
Kutipan di atas menjelaskan bahwa setiap orang tua tentu akan memberikan ajaran atau tuntunan kebaikan kepada anak-anaknya sebagai bekal untuk hidup bermasyarakat dengan baik. Dalam bergaul dengan orang lain, semua orang harus diperlakukan sama tanpa memandang latar belakang sosial, agama, jenis kelamin, perbedaan paham, dan sebagainya. Selain itu, sikap sopan dan ramah pun juga harus diterapkan ketika bergaul dengan orang lain karena dengan sikap tersebut, orang lain pun akan bersikap ramah dan sopan kepada kita.
c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi perananperanan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Misalnya, ketika seseorang menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu, anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berperilaku sesuai dengan nilai yang anutnya. Aku akan melakukan segala yang paling pragmatis yang tak terpikirkan oleh mereka yang tengah berkabung: melapor kepada Pak RT, mengurus tanah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
pemakaman, mencari mukena, mengatur menu makanan dan botol air mineral untuk tamu, dan sekalian mencari kain batik. (Leila S. Chudori: 2)
Kutipan di atas menggambarkan nilai sosial yang berlaku di masyarakat pada umumnya ketika dalam sebuah keluarga ada anggota keluarga yang meninggal. Dalam masyarakat Indonesia, biasanya ketika ada anggota keluarga yang meninggal, anggota keluarga yang lain akan disibukkan oleh berbagai urusan yang berhubungan dengan kebiasaan/aturan
sosial di terjadi di masyarakat
tersebut. Misalnya, salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia tersebut harus melaporkan ke perangkat desa, minimal kepada ketua RT setempat. Urusan pemakaman jenazah di pemakaman juga dituntut keterlibatan berbagai pihak, mulai dari urusan pemilihan tempat hingga biaya pemakaman, tentu harus bersinggungan dengan orang lain, minimal juru kunci pemakaman dan orangorang yang melakukan penggalian tanah kuburan. Mukena harus disiapkan untuk digunakan dalam salat jenazah. Seperti diketahui bahwa keluarga tokoh Nadira ini menganut agama Islam. Jadi, salat jenazah dilakukan sebagai salah satu kewajiban umat Islam atas seseorang yang telah meninggal. Selain itu, ketika ada berita kematian seseorang, tentu para sanak-kerabat dan tetangga sekitar akan datang untuk melayat dan mengucapkan belasungkawa. Meskipun bukan suatu keharusan, biasanya keluarga yang anggotanya keluarganya meninggal akan menyiapkan sekadar air mineral untuk para pelayat. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal, mereka menggunakan kain batik untuk menutupi keranda atau untuk menutupi tempat yang digunakan untuk meletakkancommit jenazah. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
Beberapa ibu dari kompleks tempat tinggal orang tuaku menjerit kiankemari
menyiapkan
minum
alakadarnya
dan
sesekali
meminta
persetujuanku yang, entah oleh siapa, diangkat sebagai “pimpro” acara belasungkawa ini. (Leila S. Chudori: 9) Kutipan di atas menjelaskan adanya kerja sama di masyarakat yang terjadi ketika ada salah satu warga sedang berduka atas meninggalnya salah satu anggota keluarga. Mereka biasa melakukan gotong royong untuk meringankan beban orang lain yang sedang berdua, misalnya, dengan membantu mengurus pemakaman, mengatur keperluan yang dibutuhkan para pelayat, dan sebagainya. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai budaya merupakan nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), dan simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan antara satu dengan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai budaya akan tampak pada simbol, slogan, visi, misi, atau sesuatu yang tampak sebagai acuan pokok suatu lingkungan atau organisasi dari anggapan yang dituturkan masyarakat setempat yang mengenalnya. Dengan membaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, akan diketahui berbagai budaya, yaitu budaya Indonesia (Timur) serta budaya di luar negeri (Belanda dan Amerika Serikat). Budaya Indonesia yang dipaparkan Leila melalui kumpulan cerpen ini, di antaranya, budaya cium tangan orang tua sebagai tanda bakti dan hormat anak kepada orang tua atau orang yang dihormati. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
Ayah Bram memiliki wajah gembil yang senantiasa masam. Dia menatapku tanpa emosi sama sekali. Aku menghampiri kursinya dan mencium tangannya. Lalu aku mencium tangan ibu mertuaku. (Leila S. Chudori: 26)
Seonggok tubuh tua yang bungkuk duduk di atas kursi roda, meluncur menghampirinya. Tito mendekati kursi roda itu dengan takzim dan mencium tangan orang itu. Nadira yakin seluruh tubuh perempuan itu seolah diselimuti selembar kulit penuh kerut. Rambutnya seputih salju disanggul ke belakang. Nadira mengira-ngira, usianya mungkin sudah mencapai 99 tahun. Tidak salah, tidak lain, inilah ibunda Tito. (Leila S. Chudori: 137)
Selain kedua kutipan di atas tentang tata cara menghormat orang tua dengan mencium tangannya sebagai bagian budaya Indonesia, Leila juga menjelaskan budaya Indonesia bentuk penghormatan kepada saudara yang lebih tua harus dihormati dan kepada saudara yang lebih muda harus bisa menjaga/melindungi dan menyayangi. Pesan ini disampaikan oleh Leila melalui percapakan tokoh Nadira dengan Nina dan Arya. Dalam berkomunikasi dengan kedua kakaknya, Nadira selalu menyebut dengan sebutan “kang” dan “yu”. Sebutan “kang” merupakan sebutan untuk kakak laki-laki, sedangkan sebutan “yu” merupakan sebutan untuk kakak perempuan. Kedua sebutan tersebut biasa digunakan oleh keluarga dari suku Jawa untuk orang yang lebih tua usianya atau orang yang dihormati.. Hal ini tentu berbeda dengan budaya di luar negeri, yang menyebut orang lain, meskipun lebih tua umurnya hanya dengan menyebut namanya tanpa menggunakan sebutan lainnya sebagai tanda penghormatan. Bahkan, tak jarang di luar negeri seorang anak menyebut ayahnya dengan memanggil namanya saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
Budaya ketimuran yang ingin disampaikan Leila melalui buku ini adalah betapa pentingnya mengenal seseorang lebih jauh tentang latar belakangnya sebelum memutuskan untuk berumah tangga. Hal ini karena masyarakat masih memandang negatif terhadap status seseorang yang menyandang predikat janda atau duda akibat perceraian/gagal berumah tangga. Sosok Niko itu baru kamu kenal selama enam bulan, tiba-tiba kamu sudah dilamar. Ada baiknya kalian saling mengenal dulu lebih jauh. Pernikahan kan kalau bisa sekali. Kamu sudah lihat bagaimana rumah tangga Yu Nina dan Mas Gilang. (Leila S. Chudori: 148) Budaya Barat (luar negeri) yang disampaikan Leila dalam buku ini, antara lain, pergaulan bebas yang dilakukan oleh Kemala dan Bram sewaktu mereka kuliah di Amsterdam. Kemala diceritakan sering berkunjung ke apartemen Bram pada malam hari dan sering menginap. Bram malah memelukku semakin erat. Apakah magnet terasa begini hangat, dan apakah ilmu fisika dulu sempat mengajarkan bahwa magnet bisa mengalirkan rasa panas ke dalam tubuh manusia? Malam ini kami berbincang hingga pagi di kamarku. Kami tak melakukan apa-apa, kecuali berpelukan
dan
berpegangan
tangan.
Dan
itu
sudah
cukup
menggetarkannya. (Leila S. Chudori: 18)
Tentu saja kami tak perlu berkisah bahwa tingkahku yang tidur bermalammalam di apartemennya membuat Bram gelisah dan serta-merta mengajakku kawin. (Leila S. Chudori: 22)
Yang paling romantis. Ditemani anggur merah. Selebihnya mereka akan bergulat sampai pagi… habis-habisan. Dia sangat ahli di tempat tidur. commit to user (Leila S. Chudori: 16)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
Pergaulan bebas ala budaya Barat yang diceritakan dalam buku ini juga dilakukan oleh Nina dan Gilang Sukma, meski keduanya belum terikat suami istri yang sah. Gilang tersenyum. Ujung telunjuk Gilang menyentuh dada Nina. Sekilas. Tapi itu cukup membuat Nina gelagapan. Ketika tangan Gilang perlahan membuka kancing baju Nina dan mengelus-elus buah dadanya, Nina akhirnya terjun masuk ke dalam tubuh Gilang. Dia menikmatinya. Luar biasa. Tiba-tiba saja Nina merasa dirinya seperti seorang penari yang lepas, bebas, dan mampu mencapai sebuah ketinggian yang tak pernah dirasakan sebelumnya. (Leila S. Chudori: 51)
Selain Nina dan Gilang Sukma yang telah melakukan hubungan seks sebelum mereka menikah, tokoh Nadira pun juga melakukan hubungan seks ketika ia tinggal di Kanada setelah bercerai dengan Niko Yulinar. Nadira melakukan hubungan seks bebas dengan Marc. Marc adalah lelaki Eropa yang dulunya sebagai teman Nadira sebelum ia menikah dengan Niko. Setelah bercerai dan terbang ke Kanada, Nadira bertemu kembali dengan Marc yang terpisah selama 19 tahun. Ah, dia masih mencintai Marc. Dia masih melayang setiap kali melihat jarijari panjang langsing itu mengusap tuts piano. Dan yan paling penting, Marc selalu membakarnya di tempat tidur. Bersama Marc, seprei tak pernah teduh. (Leila S. Chudori: 250) Dalam hal pergaulan, budaya Barat memang lebih cenderung bebas dibanding budaya pergaulan di Indonesia. Akan tetapi, jika dihadapkan pada gaya hidup yang rapi dan disiplin, tentu budaya Barat lebih tinggi nilainya. Hal ini commit to user diceritakan Leila melalui tokoh Nina yang memilih hidup di New York karena di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
sana lebih teratur, segala yang serba sistematis, orang-orangnya selalu rapi dan menjunjung tinggi kedisiplinan. Menurut Leila, budaya rapi dan disiplin kurang bisa ditemui pada orang-orang yang tinggal di Indonesia. Nina mencintai Amerika, jauh lebih dalam daripada cintanya pada tanah air sendiri. Seandainya dia tak menikah dengan Gilang Sukma pun, Nina akan mencari jalan dengan untuk pindah ke negara ini. Nina merasa cocok dengan keteraturan, segala yang serba sistematis, dan rapi gaya Amerika. (Leila S. Chudori: 44)
e. Nilai Pendidikan Karakter Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi (2007: 6) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Nilai pendidikan karakter dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini sudah ditanamkan oleh Suwandi (kakek Nadira) sejak Nadira masih kecil. Bentukbentuk pendidikan karakter yang diajarkan oleh nenek Nadira ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini. ”Alhamdulillah, akhirnya Bram sudah selesai sekolahnya. Sudah kembali ke Jakarta, biarpun lama betul selesainya. Nah, kita harus ajarkan Islam dulu, biar menantu dan cucu-cucu kita mengerti isi Quran,” Pak Suwandi menegur istrinya. (Leila S. Chudori, 2009: 25) Bentuk nilai karakter yang ditanamkan kakek Suwandi adalah penanaman nilai karakter yang bersifat religius atau keagamaan. Dengan selalu memahami isi commit to user Quran sebagai kitab suci agama yang dianut oleh keluarga Suwandi, yaitu agama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
Islam, kakek Suwandi berharap agar cucu-cucunya (Nina, Nadira, dan Arya) mampu memahami kebesaran Ilahi. Di sinilah terbentuk pilar keutamaan dalam pengembangan pembentukan karakter. Nilai pembentukan karakter juga dapat ditemukan pada kutipan berikut ini. Bram belum selesai kuliah, tetapi, sudah berani kawin. Dia bekerja sembari mencari nafkah tambahan di De Groene Bar dan menulis berita di kantor berita Indonesia Merdeka. (Leila S. Chudori, 2009: 22)
Kutipan di atas menunjukkan nilai pendidikan karakter Bram (ayah Nadira) sebagai orang yang bertanggung jawab. Meskipun saat itu Bram masih menempuh kuliah di Amsterdam, namun ia telah berani memutuskan untuk menikah dengan Kemala. Sebagai konsekuensi atas keputusannya itu, Bram sebagai laki-laki dan berkedudukan sebagai kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain nilai pendidikan karekter yang berupa bentuk tanggung jawab, keputusan Bram tersebut juga menunjukkan nilai karakter sebagai orang yang memiliki keberanian. Bram berani melakukan sesuatu dan merealisasikannya. Nilai karakter lainnya yang ditampilan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah nilai demokratis dan menghargai perbedaan. Kedua nilai karakter ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. ”Ibu, saya akan selalu menghormati pilihan politik Bapak, Ibu, Eyang Sur, dan Aki. Tapi ini bukan kali pertama ada yang tidak memilih NU. Bibi Sam juga memilih Muhammadiyah. Saya memilih karena keyakinan hati saya. (Leila S. Chudori, 2009: 25) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Sosial-Budaya Karya Sastra dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Para pengarang senantiasa hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka hidup dalam ruang dan waktu tertentu yang akan terlibat dengan berbagai ragam permasalahan. Pengarang, atau cerpenis, dalam tulisannya ia akan mencerminkan kejadian yang saat itu terjadi di masyarakat dan bahkan mungkin kejadian yang dialami sendiri atau dialami orang-orang di sekitarnya. Dalam bentuk yang paling nyata yaitu ruang dan waktu tertentu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai aturan nilai yang di dalamnya terjadi interaksi. Karya sastra, dalam hal ini adalah cerpen, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang otonom dan berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu diciptakan. Sebuah cerita rekaan menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Latar belakang budaya yang ditampilkan dapat berupa adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, suku, agama, kepercayaan, bahasa, dan tempat tinggal. Latar belakang sosial budaya ini akan memberi nuansa tersendiri pada karya-karya pengarang. Latar belakang sosial budaya yang ditampilkan dalam cerpen dapat dilihat dari tempat atau daerah dan dari unsure sejarah atau waktu. Latar yang ditampilkan biasanya merupakan cerminan suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu. a. Sistem Religi Sistem religi berkenaan dengan agama. Sbagaimana dijelaskan dalam kumpulan cerpen ini, bahwa Nadira adalahtopemeluk agama Islam. Ia dibesarkan di commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
lingkungan yang taat melakukan perintah agamanya, meskipun tidak secara fanatic. Di rumah kakek-neneknya, Nadira sejak kecil telah diasuh dengan didikan keagamaan yang baik. Kakek-nenek Nadira mewajibkannya harus rajin melalukan salat lima waktu dan bisa memahami isi Al-Quran. Demikian juga dengan ayah Nadira, ia adalah seorang Muslim yang taat menjalankan perintah agamanya. Namun demikian, diceritakan bahwa ibu Nadira bukanlah tokoh yang begitu taat menjalankan perintah agama Islam. Ia hanya sesekali melakukan salat lima waktu. Ia lebih sering melakukan ritual zikir dengan tasbih cokelatnya. Leila tidak menceritakan adanya agama lain, selain agama Islam, meskipun ada beberapa tokoh yang diceritakan merupakan tokoh asing. Tokoh asing ini adalah temanteman Bram ketika kuliah di Amsterdam maupun teman-teman Nadira dan Nina di luar negeri. c. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan Nadira sebagai tokoh utama dalam kumpulan cerpen ini diceritakan oleh Leila sebagai tokoh yang berasal dari suku Jawa yang hidup dari keluarga terpandang, berpendidikan tinggi, dan status sosial di masyarakat yang tinggi. Meski telah memasuki dan mengikuti kehidupan yang modern dan metropolis, Nadira masih menjunjung tinggi kebiasaan dari para leluhurnya, yaitu ketika ibu Nadira meninggal, di rumahnya diadakan tahlilan. Tahlil ini merupakan sebuah tradisi bagi masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam dan biasa dibacakan ketika salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Leila juga menceritakan adanya tokoh lain yang bersuku Jawa, yaitu keluarga Triyanto Abimanyu. Ia merupakan orang tua Utara Bayu, yang tak lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
adalah Kepala Biro majalah Tera, tempat Nadira bekerja. Istri Triyanto, Aryati, adalah tokoh dengan tipikal wanita Jawa asli, yang selalu merawat tubuhnya dengan berbagai ramuan berbahan alam Indonesia dan rajin minum jamu. Tokoh lain dalam kumpulan cerpen ini juga ada yang berasal dari suku Sunda, yaitu Amalia Djumhana. Ia merupakan calon istri Arya, kakak laki-laki Nadira, yang berasal dari Bogor dan keluarga besarnya berasal dari suku Sunda. Dengan gaya penceritaannya, Leila S. Chudori tidak mengalami kesulitan ketika ia harus menggunakan logat Jawa dan logat Sunda karena didasari latar belakang keluarganya. Dunia suku Jawa, suku Sunda, agama Islam, dan kehidupan mahasiswa di luar negeri tidak hanya dapat ditampilkan melalui tokohnya, tetapi lebih melalui latar belakang kehidupannya yang menyeluruh di rumah Leila. c. Sistem Pengetahuan Dengan bekal pengalaman pribadi kuliah di luar negeri, Leila S. Chudori memberi warna pada kumpulan cerpen ini dengan kehidupan dan segala sukaduka yang dialami mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri. Leila mampu menghadirkan hal-hal yang sifatnya umum sampai hal yang mungkin saja tidak perlu diungkapkan secara khusus. Menuntut ilmu dan mendapatkan pendidikan baik harus dilakukan oleh mahasiswa telah dideskripsikan oleh Leila dengan jelas dan menarik serta menggunakan bahasa yang sangat komunikatif. Dalam kumpulan cerpen ini banyak ditampilkan tokoh-tokoh dengan latar pendidikan yang tinggi, bahkan mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Tokoh Bramantyo Suwandi dan Kemala Yusuf, sebagai orang tua Nadira, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
dijelaskan Leila, bahwa mereka mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri (Amsterdam). Bahkan, keduanya sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Kemala menempuh pendidikan di Vrije Universiteit mengambil jurusan sastra, meski pada akhirnya ia tidak sampai tamat kuliahnya karena memutuskan fokus mengurus ketiga anaknya (Nina, Arya, dan Nadira). Tokoh Bram menempuh pendidikan tinggi di Gemeentelijke Universiteit mengambil jurusan politik dan ia menempuh pendidikan ini hingga tamat. Tokoh utama, Nadira, dalam kumpulan cerpen ini dijelaskan Leila bahwa ia juga menempuh pendidikan di luar negeri. Nadira sendiri seolah merupakan gambaran sosok Leila. Nadira diceritakan Leila telah menempuh pendidikan tinggi di dua tempat, yaitu di Lester B. Pearson College of The Pasific (Victoria, Kanada) dan di Trent University (Peterborough, Ontario, Kanada). Selain tokoh Nadira, Leila juga menjelaskan adanya tokoh lain yang juga menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, yaitu Nina (kakak perempuan Nadira). Nina menempuh pendidikan tinggi di New York hingga selesai menulis disertasinya. Sebelumnya melanjutkan kuliah di luar negeri, Nina juga sempat menyelesaikan kuliahnya di kampus Rawamangun Universitas Indonesia mengambil jurusan Sejarah. Tokoh Arya, kakak laki-laki Nadira, meski diceritakan tidak mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, tetapi ia juga merupakan sarjana kehutanan. Arya merupakan lulusan dari Institut Pertanian Bogor dan mengambil jurusan Kehutanan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
Dari beberapa tokoh yang disebutkan di atas, diketahui bahwa Leila memang menyuguhkan cerita dengan tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi, baik yang ditempuh di dalam negeri maupun di luar negeri. d. Bahasa Bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah bahasa Indonesia yang sangat komunikatif. Pilihan kata Leila S. Chudori sangat tepat sehingga para pembaca tidak mengalami kesulitan dalam menangkap maksud pengarang. Pada adegan-adegan tertentu bahkan perangan menggunakan kata-kata dan kalimat yang sangat polos, apa adanya hingga terkesan agak vulgar dan terlalu berani dalam mendeskripsikan tentang suatu masalah. Selain bahasa Indonesia, kumpulan cerpen ini juga menggunakan bahasa lainnya, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dengan logat Sunda yang tentunya ikut melatari cerita. Bahasa Belanda dan bahasa Inggris kadangkala digunakan oleh Leila ketika menceritakan tokoh Bram dan Kemala sewaktu kuliah di Amsterdam. Selain itu, bahasa Inggris digunakan oleh Leila untuk menceritakan beberapa percakapan tokoh Nadira dengan tokoh lainnya, baik ketika Nadira tinggal di luar negeri maupun di Indonesia, atau ketika Nadira harus berhubungan dengan teman-teman dari berbagai penjuru dunia. Nadira banyak menggunakan bahasa Inggris ketika ia harus berhubungan dengan Marc. Bahasa Indonesia dengan logat Jawa dan logat Sunda juga ikut mewarnai dalam kumpulan cerpen ini. Pemakaian bahasa itu tentu saja ada hubungannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
dengan keluarga Suwandi, kakek Nadira, yang notabene berasal dari suku Jawa. Selain itu, Leila juga fasih bercerita dengan bahasa Indonesia menggunakan logat Jawa ketika Satimin, tukang bersih-bersih di kantor majalah Tera, berkomunikasi dengan tokoh lainnya. Logat Jawa ini juga digunakan oleh orang tua Utara Bayu yang memang asli keturunan Jawa. Bahasa Indonesia dengan logat Sunda digunakan oleh tokoh Amalia Djumhana, calon istri Arya. Leila begitu fasih menceritakan tokoh Amalia ini berbicara dengan logat Sunda ketika berdialog dengan tokoh lainnya. e. Kesenian Kesenian berasal dari kata dasar seni, yang berarti karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti seni tari, lukisan, uikiran, dan sebagainya. Unsur kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan yang ada dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini dapat ditemukan pada cerpen yang berjudul Kirana. Kirana merupan judul pertunjukan tari yang diciptakan oleh tokoh Gilang Sukma. Gilang Sukma adalah suami dari Nina, kakak perempuan Nadira. Ia berprofesi sebagai koreografer. Cerita ini merupakan tafsir dari kisah Panji Semirang. Candra Kirana adalah putri Raja Daha yang teraniaya oleh ibu tirinya, Paduka Liku. Candra Kirana memutuskan untuk eksil bersama sejumlah tentara dan dayang, lalu menyamar menjadi seorang lelaki bernama Panji Semirang. Dalam penyamarannya sebagai Panji, ia mendirikan perkampungan Asmarantaka, sembari kekasihnya, pangeran dari Kediri Ini Kertapati. Sebagai bentuk apresiasi terhadap kisah Panji Semirang itu, tokoh Gilang Sukma menciptakan sebuah tarian yang terinspirasi oleh kisah tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 134
Pertunjukan tari yang diciptakan oleh Gilang Sukma ini berjudul Kirana dan dipentaskan di atas panggung dengan diiringi bunyi-bunyi gamelan. Sang Prabu maju dua langkah. Bunyi gamelan memberontak, memecah panggung. Aku hanya bisa menunduk dan seluruh dunia tertutup oleh rambutku. Sang Prabu menjejakkan kakinya begitu keras ke atas rambutku yang menyelimuti bumi. Dan bumi bergetar begitu hebat. (Leila S. Chudori, 2009: 167) f. Mata Pencaharian Hidup Mata pencaharian hidup bagi setiap orang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia meliputi kebutuhan produksi, distribusi, dan konsumsi. Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, setiap orang tentunya harus mempunyai pekerjaan. Pekerjaan yang dijalani para tokoh dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini beragam. Mulai dari seorang wartawan, pengajar, koreografer, hingga pengusaha. Tokoh utama, Nadira, dalam kumpulan cerpen ini bekerja sebagai reporter/wartawan. Pada awalnya, ketika Nadira menjadi mahasiswa di Kanada, ia menyambi bekerja di beberapa tempat, yaitu bekerja di belakang panggung Off Broadway, magang di beberapa media lokal, dan bahkan sempat menjadi tukang cuci piring di sebuah kafe. Pekerjaan sambilan yang terakhir itu biasa dilakukan Nadira untuk mengisi koceknya selama musim panas. Setelah kembali ke Indonesia, Nadira bergabung menjadi reporter di majalah Tera. Pekerjaan Nadira sebagai seorang jurnalis ini juga dilatarbelakangi pekerjaan pengarangnya sebagai wartawan senior di majalah Tempo. Tak heran jika Leila mampu bercerita dengan detail seluk beluk pekerjaan seorang jurnalis di commit to user media cetak. Bahkan, diceritakan pula tentang proses wawancara dengan seorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 135
narasumber yang berprofesi sebagai psikiater yang telah membunuh beberapa perempuan paruh baya. Leila menceritakannya dengan bahasa khas seorang wartawan, begitu detail pertanyaan yang diajukan untuk mengorek data lebih dalam dari seorang narasumber. Tokoh lain yang pekerjaannya sama dengan Nadira adalah tokoh Bram, ayah Nadira. Memang, Nadira mewarisi pekerjaan ayahnya yang terjun dalam dunia jurnalistik. Ia juga bekerja sebagai wartawan senior yang telah berhasil mewawancarai beberapa tokoh dunia. Dalam kumpulan cerpen ini diceritakan bahwa ayah dan anak, Bram dan Nadira, memiliki profesi atau pekerjaan yang sama, yaitu sebagai wartawan. Hal ini sebagaimana latar belakang pengarangnya yang juga bekerja sebagai wartawan di majalah Tempo, sedangkan ayah pengarang bekerja sebagai wartawan di kantor berita Antara. Selain pekerjaan sebagai wartawan, pekerjaan lain yang dijalani tokoh lainnya adalah sebagai koreografer atau penata tari. Pekerjaan ini dijalani oleh Gilang Sukma. Ia merupakan suami Nina, kakak perempuan Nadira. Kecintaannya pada dunia seni hingga mengantarkan Gilang menjadi orang terkenal dan sering membuat pementasan tari di berbagai tempat dengan sukses. Pekerjaan sebagai pengajar, lebih tepatnya dosen, dilakukan oleh Nina, kakak perempuan Nadira. Ia menjadi dosen di sebuah universitas di New York. Setelah bercerai dengan Niko, suaminya, Nadira pun melanjutkan studi di luar negeri, Victoria, dan sekaligus sebagai pengajar di Victoria College. Tokoh Triyanto Abimanyu, diceritakan Leila sebagai seorang komisaris di beberapa perusahaan. Ia merupakan pensiunan karyawan perusahaan minyak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 136
Triyanto merupakan ayah dari Utara Bayu, kepala biro di majalah Tera, tempat Nadira bekerja sebagai wartawan. Aryati Abimanyu, ibu Utara Bayu, ini memiliki ibu yang bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga sejati. Ia selalu setia menemani suaminya, Triyanto Abimanyu, menemani sarapan setiap pagi di rumahnya sambil bertukar informasi. g. Teknologi dan Peralatan Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, teknologi dan peralatan hidup manusia pun mengalami perkembangan, bahkan perubahan yang sangat signifikan. Misalnya, zaman dahulu orang makan dengan tangan, sekarang sudah digantikan dengan sendok dan garpu. Dalam kaitannya dengan teknologi dan peralatan sebagai salah satu unsur kebudayaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, didapatkan perkembangan teknologi dan peralatan dalam bidang komunikasi. Zaman dahulu seseorang sering mengalami kesulitan jika harus berkomunikasi dengan orang lain karena dibatasi jarak yang jauh. Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi, jarak dan waktu dapat diatasi jika seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, baik di belahan dunia mana pun dalam waktu yang sangat singkat. Nadira kini diam, bukan karena mendengarkan kakaknya. Suara kakaknya terdengar jauh, sayup-sayup, bukan karena dia menelepon dari New York, tetapi karena Nadira sedang masuk ke sebuah periode yang aneh, yang gelap, di masa kecilnya. Nadira berbicara sendiri, setengah berbisik. Telepon itu tidak lagi diletakkan di telinga kirinya, tetapi kini sudah terkulai di atas pangkuannya, sementara Nina masih meneruskan monolognya. (Leila S. Chudori, 2009: 89)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 137
Telepon merupakan salah satu alat komunikasi jarak jauh. Telepon dalam cerpen ini digunakan oleh tokoh Nadira dan Nina ketika mereka mengadakan komunikasi antara Jakarta dengan New York. Komunikasi jarak jauh yang dilakukan oleh tokoh Nadira di Jakarta dan kakak perempuannya, Nina, di New York juga dilakukan melalui internet, yaitu dengan mengirim surat elektronik atau email. Nadira membaca surat elektronik itu dengan hati berdebar. Tentu saja dia menyadari perhatian Tara. Tetapi tak mungkin dia menjelaskan isi hatinya pada orang lain. (Leila S. Chudori, 2009: 257)
Selain itu, teknologi informasi juga mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai siaran televisi menyuguhkan berita-berita dengan berbagai peristiwa yang terjadi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Meskipun terbentang jarak, suatu berita yang terjadi di belahan dunia mana pun dapat disaksikan saat itu melalui pesawat televisi. Dan kini, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk di muka televisi, menyaksikan adegan demi adegan tanpa berkedip, pikiran ayahnya berada jauh melayang-layang ke lapangan jurnalistik. Sudah jam delapan. Ayahnya segera mematikan televisi. (Leila S. Chudori, 2009: 73) Berdasarkan kutipan di atas, ditemukan teknologi komunikasi yang berupa pesawat televisi. Dengan pesawat televisi, seseorang mampu mengetahui berbagai peristiwa di belahan dunia mana pun yang terjadi saat itu hanya dengan duduk dan menyimak siaran melalui televisi. Selain itu, teknologi lain yang ditemukan dalam kumpulan cerita 9 dari Nadira ini adalah peralatan video yang digunakan oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 138
tokoh Bram, ayah Nadira, untuk menyaksikan film kesayangannya. Film tersebut dapat disaksikan melalui peralatan video dengan cara memasukkan kaset, lalu memutar sesuai petunjuk yang ada. Jika zaman dahulu orang ingin menyaksikan film harus mendatangi bioskop, namun dengan adanya kemajuan teknologi, seseorang
tanpa harus
keluar
rumah
sudah
dapat
menyaksikan
film
kesayangannya dengan memutar kaset video. Ayahnya memasukkan kaset video yang sudah dikenalnya: All the President’s Men. Film itu sudah ditontonnya puluhan kali. (Leila S. Chudori, 2009: 74)
Nadira menggigit bibir. “Dia… dia hanya suka menonton televise, Yu. Tepatnya menonton video. Dia nonton video All the President’s Men berulang-ulang cuma untuk mengingat masa lalunya sebagai wartawan. (Leila S. Chudori, 2009: 76) Selain ketujuh unsur kebudayaan sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini juga meliputi aspek-aspek sosial yang meliputi berikut ini. a. Tempat Tinggal Kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini mengambil latar tempat di ibu kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di luar negeri, yaitu Amsterdam, Victoria, Kanada, dan New York. Kota Amsterdam adalah tempat kelahiran tokoh utama, Nadira, sekaligus kota tempat kedua orang tuanya menempuh pendidikan tinggi. Kota Jakarta sebagai tempat tinggal keluarga Suwandi, kakek Nadira. Selain itu, ketika orang tua Nadira telah menyelesaikan kuliahnya di Amsterdam, commit to user Nadira serta kedua orang tua dan dua saudaranya juga tinggal di Jakarta, tepatnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 139
di rumah Kakek Suwandi. Selanjutnya, kota Jakarta sebagai tempat tinggal Bramantyo dan Kemala, orang tua Nadira. Nadira dan kedua saudaranya pun hingga mereka kuliah juga tinggal di Jakarta. Meski setelah itu, Nadira memutuskan untuk tinggal di Kanada dan Victoria, sedangkan Nina tinggal di New York. Leila S. Chudori ini banyak menceritakan kehidupan dengan latar belakang kedua kota tersebut, Kanada dan New York, dengan begitu detail. b. Adat Istiadat dan Kebiasaan Di tengah-tengah pembicaraan tentang kehidupan modern yang serba individual dan metropolis, kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini masih menyuguhkan cerita tentang adat istiadat dan kebiasaan yang biasa dilakukan orang Indonesia, khususnya Jawa. Kehadiran tokoh Kakek dan Nenek Suwandi, yang setiap kali muncul selalu membawa dan memberi ajaran kebaikan tentang kehidupan, martabat, dan kehidupan yang bersifat spiritual demi mengimbangi pola hidup yang metropolis. Meskipun Bram pernah tinggal di luar negeri dan mendapat pendidikan Barat, tetapi kebiasaan sebagai adat istiadat yang baik senantiasa dijunjung tinggi. Kebiasaan sungkem atau mencium tangan orang tua merupakan salah satu bukti bentuk kebiasaan baik sebagai tanda bakti Bram kepada orang tuanya. Leila S. Chudori juga menceritakan adat kebiasaan khususnya orang Jawa, ketika menikah menggunakan bunga melati sebagai hiasan bagi pengantin perempuan. Cerita ini digambarkan Leila melalui tokoh Nenek Suwandi ketika menanyakan kepada menantunya, Kemala, saat ia menikah di Amsterdam dengan anak lelaki Nenek Suwandi, yakni Bram. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 140
2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira
Sebuah karangan atau cerita selalu berkaitan atau berhubungan dengan pengarangnya. Banyak faktor yang memengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, misalnya latar belakang sosial budaya, riwayat hidup pengarang, falsafah hidup, dan sebagainya. Cerita lahir dari hasil imajinasi atau rekaan, ini bersifat fiktif atau tidak nyata. Namun demikian, tidak berarti bahwa cerita tersebut merupakan khayalan semata. Cerita tersebut juga merupakan pengalaman batin pengarang. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan Elena bahwa bekal utama suatu karya sastra adalah pengalaman batin empiris yang sudah mengendap di dalam batin pengarang (dalam Herman J. Waluyo, 2022: 53). Jadi, sebuah karya sastra lahir dari hasil imajinasi pengarang yang bersumber dari pengalaman dan realisasi batin. Lebih lanjut Herman J. Waluyo menyatakan bahwa cerita rekaan menampilkan dunia sekunder, yaitu fiksionalitas pengarang (2002: 40). Kenyataan yang tampil dalam cerita bukan kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan yang ditampilkan pengarang adalah kenyataan ciptaan pengarang dan
tidak sama
dengan kejadian sebenarnya. Kenyataan dalam dunia sekunder mungkin saja berkaitan dengan kenyatan yang sebenarnya (kenyatan primer, yakni kenyataan yang benar-benar terjadi). Akan tetapi, mungkin juga hal itu cerminan kenyataan pengarang yang dibentuk sendiri melalui imajinasinya. Kenyataan yang dialami dijadikan model dalam karangannya. Model dari kenyataan itu kemudian diberi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 141
visi, diubah, diperindah, diberi warna baru, dan sebagainya sehingga dunia yang tercipta melalui cerita itu adalah dunia sekunder. Dunia sekunder utama dikisahkan oleh pengarang dalam tokoh manusia. Nama-nama yang ditokohkan mungkin berhubungan dengan kenyataan, mungkin juga tidak. Dunia nyata seorang pengarang sedikit banyak memengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, misalnya cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini banyak bercerita tentang kehidupan seorang gadis/wanita yang berprofesi sebagai wartawan majalah berita mingguan. Hal ini tidak jauh-jauh berbeda dari kehidupan penulisnya. Bahkan, tokoh utama Nadira, bisa jadi merupakan perwujudan/model pengarang (Leila S. Chudori) ketika masih muda. Mereka sama-sama berprofesi sebagai wartawan, sekolah di Kanada, menulis cerpen, dan sama-sama anak ketiga dari seorang ayah yang juga wartawan. Tidaklah mengherankan jika Nadira bisa menjelma begitu hidup dalam cerpencerpen ini. Leila seperti sedang menulis tentang dirinya sendiri. Dunia nyata seorang pengarang sedikit banyak memengaruhi lahirnya sebuah karya. Leila S. Chudori, misalnya, dalam kumpulan cerpennya ini banyak berkisah tentang seputar kehidupan wartawan, kehidupan mahasiswa di luar negeri, serta pergaulan modern di kota metropolitan. Amsterdam dan Kanada dengan kehidupan mahasiswa di kampus-kampus terkenal disertai dengan pernakperniknya. Leila tidak akan dapat lancar menggambarkan seluk beluk tentang kehidupan metropolitan dan kehidupan kampus jika dia sendiri tidak pernah mengalaminya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 142
Pengalaman yang ada dalam diri pengarang itu berasal dari kenyataan yang dihayati baik oleh tokoh-tokohnya, jalan cerita, latar, maupun peristiwa yang dipaparkan. Latar cerita atau tempat cerita dapat digambarkan dengan hidup dan alami karena pengarang terlibat langsung, baik fisik maupun mentalnya. Problem kehidupan yang dipaparkan dalam sebuah cerita juga merupakan problem yang sudah akrab dan digelutinya setiap hari. Problem-problem atau permasalahan yang diangkat dalam cerita bisa berangkat dari kehidupan pribadi pengarang atau bisa dari orang lain atau lingkungan pengarang telah terbiasa di tempat itu. Jadi, lahirnya sebuah karya sastra tidak terlepas dari kehidupan pengarang itu sendiri. Sebagaimana dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini. Dia begitu lancar menceritakan kehidupan di kota Victoria dan New York (Amerika) saat tokoh Nadira menuntut ilmu di sana, sedangkan sang kakak tinggal di kota tersebut. Leila juga sangat memahami kehidupan di kota Amsterdam ketika alur cerita bergerak di kota tersebut. Membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini ibarat menata potongan-potongan puzzle yang berserak menjadi satu gambar penuh. Dengan demikian, sebenarnya, cerita dalam buku ini tidaklah harus dibaca secara berurutan dari halaman awal hingga akhir atau dari cerpen pertama hingga kesembilan. Apalagi, sebagaimana tertulis di awal, Leila menggunakan pola tutur sudut pandang berganti-ganti dan ulang-alik waktu kejadian. Leila juga menempatkan posisi Nadira yang berbeda-beda di setiap cerita pendeknya, bahkan setiap cerpen ini dapat berdiri sendiri, terlepas dari yang lain. Pada cerita pertama Mencari Seikat Seruni, Nadira adalah seorang anak, sementara pada cerita Tasbih, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 143
Nadira sedang berperan menjadi seorang wartawati, lalu menjadi Nadira hadir sebagai seorang pecinta dalam cerita Kirana. Jejak kesengajaan penyusunan sekumpulan cerpen ini terlihat pada pengurutan cerpen yang tidak berdasarkan waktu penulisannya. Cerpen pertama Nadira adalah Melukis Langit yang ditulis pada tahun 1991, tetapi yang menjadi pembuka dalam buku ini justru cerpen yang tergolong mutakhir, yaitu Mencari Seikat Seruni (2009). Suatu pilihan yang cerdas. Selain mengentak sebagai pembuka karena berawal dari kematian tak wajar ibu Nadira, juga memberikan semacam kerangka kepada pembaca melalui kesembilan cerpen itu, Leila hendak berbicara sesuatu. Leila berbicara tentang Nadira sebagai perempuan yang berpendidikan tinggi, seorang jurnalis andal, idealis, dan lajang yang hidup di kota metropolis, yang kemudian menikah justru dengan lelaki yang salah. Dengan pola tutur sudut pandang berganti-ganti berikut ulang alik waktu, bahkan dalam satu cerpen, Nadira menjadi semacam simpul atau titik acu untuk bercerita tentang siapa dan apa saja. Leila sangat leluasa menghadirkan dan mengeksplorasi seluruh tokoh, berikut kerumitan masalah dan latar belakang psikologis mereka. Tidak ada tindakan tanpa alasan yang mungkin saja berada jauh di masa silam. Tidak ada garis demarkasi hitam-putih dalam kehidupan. Berangkat dari titik pijak Nadira, Leila berkisah dengan sangat detail dan menyentuh tentang Kemala, ibu Nadira, perempuan yang bebas berpikir, bergaul, dan bersikap sekaligus pribadi yang memendam lelah hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dari Nadira pula, Leila bercerita tentang betapa masa lalu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 144
saudara sekandung yang tak terungkap bisa sedemikian memburu. Bukan sekadar menghantui, melainkan juga membentuk relasi yang tak ideal sama sekali. Pada masa belia, Nina yang menuduh Nadira berbohong mencelupkan kepala adik bungsunya itu ke dalam jamban pesing, berulang kali. Nina terkejar dosa, Nadira terluka hingga dewasa. Leila juga bertutur tentang Bramantyo, ayah Nadira, sang wartawan idealis dengan segudang pengalaman membanggakan yang terjerembab hingga lumpuh semangat, menderita post power syndrome, dan membuat Nadira selalu mengulang kebiasaan lama, yaitu mencelupkan kepala ke dalam bak mandi. Tokoh Nadira dan Nina, dua kakak beradik yang menikahi lelaki yang serupa, tetapi tak sama. Nina menikah dengan Gilang Sukma, seorang koreografer, sedangkan Nadira menikah dengan Niko Yulinar, seorang aktivis. Kedua lelaki itu sama-sama berhasil menyentak dua bersaudari itu dari keseharian mereka. Kedua lelaki itu pun juga sama-sama tidak disukai Arya, saudara lelaki satu-satunya. Mereka berdua sama-sama orang baru yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan
kedua perempuan
itu
dan
langsung mencuri hati mereka,
mencengkeran erat, membuat dua saudari itu seperti orang lupa daratan dan juga membuat buta keduanya hingga tak bisa melihat dan mendengar apa pun. Nina yang buta karena tidak mengindahkan peringatan orang-orang di sekitarnya tentang Gilang Sukma, bahkan peringatan adik kandungnya sendiri. Nadira pun demikian, dia buta dan tidak menyadari kehadiran Utara Bayu yang berdiri, besar dan gagah, tepat di hadapannya sambil membawa hatinya di atas nampan perak hanya untuk Nadira. Sepertinya, Leila memang sengaja membuat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 145
mereka jatuh hati pada tipe laki-laki yang sama dan mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Gambaran Leila tentang kecintaan perempuan terhadap laki-laki perayu dan pecinta ulung memang benar adanya. Dalam satu titik kehidupan perempuan, biasanya mereka pasti pernah jatuh cinta pada laki-laki tipe berikut ini, yaitu tampan, menarik, sukses, dan bersikap seolah-olah dunia ada di genggaman tangannya dan siap mempersembahkan untuk di perempuan. Tentu saja kebanyakan dari persembahan itu semu, tetapi sang perempuan tidak tahu dan akhirnya jatuh hati pula dengan perasaan yang nyata. Hal ini tentu saja berlaku untuk perempuan tipe apa pun. Semua jenis perempuan, apa pun profesinya, kesukaannya, pola pikirnya, cenderung akan bereaksi sama terhadap laki-laki seperti ini. Meskipun Nina dan Nadira memiliki tipikal yang berbeda, yang satu emosional dan yang satu pragmatis, tetapi mereka berdua sama-sama terjerembab dalam kehidupan lelaki dengan tipe yang sama. Karya sastra selalu diciptakan secara kreatif, dalam pengertian bahwa ia diciptakan dalam realitas baru, yang berarti sesuatu yang belum terlintas dan belum tertangkap oleh orang lain. Karya sastra sebagai media merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang terjadi dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 146
pernah terjadi di masyarakat, yang dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda. Lebih lanjut dikatakan Korrie Layun Rampan (dalam Sugihastuti, 2010: 82) bahwa penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran tiap-tiap anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjadi di antara keduanya merupakan tema yang menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun budaya. Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep yang penting dan tidak boleh dilupakan adalah konsep gender. Kata gender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender yang berarti jenis kelamin. Jenis kelamin adalah pembagian dua jenis kelamin manusia, yang mengacu pada ciri-ciri biologis tiap-tiap jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Lebih jelasnya Fakih (dalam Yoce Aliah Darma, 2009: 167) mengatakan bahwa gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, bukan secara kodrat (ketentuan Tuhan), melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial kultural yang panjang. Melalui keanggotaan di masyarakat dalam kelompok gender tertentu, orang dewasa belajar tentang peran gender untuk tiap-tiap jenis kelamin. Peran gender commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 147
ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat atau usia seseorang. Peran gender akan selalui ada dalam lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang. Peran gender seseorang, baik itu laki-laki atau perempuan, bergantung pada nilai-nilai budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya. Kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini dijadikan objek penelitian karena merupakan cerpen karya penulis perempuan. Alasan lainnya adalah pengarang perempuan diprediksi akan mengungkapkan permasalahan perempuan dengan gamblang dan transparan dalam menggambarkan persoalan ideologi gender. Profil yang direpresentasikan dalam kumpulan cerpen ini adalah tokoh aku (pengarang), sebagai pencerita dan pengamat cerita, Nadira sebagai tokoh utamanya, sedangkan tokoh tambahan lainya adalah Bram (ayah Nadira) Kemala (ibu Nadira), Nina (kakak perempuan Nadira), Arya (kakak laki-laki Nadira), Niko Yulinar (suami Nadira yang akhirnya bercerai), Gilang Sukma (suami Nina atau kakak ipar Nadira), dan Utara Bayu (pemimpin redaksi majalah Tera, tempat Nadira bekerja). Berdasarkan pemerian cerita, Nadira, sebagai tokoh utama, adalah seorang wanita yang mandiri dan berpendirian tegas. Nadira digambarkan sebagai sosok yang merepresentasikan ideologi gender. Selain sebagai wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga (bekerja di sektor domestik), Nadira juga berperan sebagai wanita pekerja (seorang jurnalis) yang bekerja di sektor publik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 148
3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik, termasuk cerpen, selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun adat istiadat/budaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (2002: 27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak, baik jasmani maupun rohani, ke arah kedewasaan sehingga anak mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Dalam kaitannnya dengan cerpen, nilai pendidikan yang diambil dari sebuah cerita, bisa dari hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar dapat diperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif juga perlu disampaikan kepada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar pembaca tidak tersesat dan mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk. Sebagaimana orang belajar, ia tidak akan berusaha bertindak lebih baik jika tidak mengetahui hal-hal jelek yang tidak pantas dilakukan. Setelah dibaca dan diteliti dengan cermat, kumpulan cerpen 9 dari Nadira mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Nilai pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan agama, nilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 149
pendidikan adat istiadat dan budaya, nilai pendidikan moral, dan nilai pendidikan sosial. a. Nilai Pendidikan Agama Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dengan dan tanggung jawab Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia, dan masyarakat, serta alam sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Haviland (1993: 219) berikut ini. Agama memiliki beberapa fungsi sosial yang penting. Pertama, agama merupakan sanksi untuk perilaku yang luas dengan memberi pengertian tentang baik dan jahat. Kedua, agama memberi contoh-contoh untuk perbuatan yang direstui. Ketiga, agama membebaskan manusia dari beban untuk mengambil keputusan dan menempatkan tanggung jawabnya di tangan dewa-dewa. Keempat, agama memegang peranan penting dalam pemeliharaan solidaritas sosial. Agama sungguh penting untuk pendidikan. Upacara keagamaan memperlancar cara mempelajari adat dan pengetahuan kesukaan
dan
denagan
demikian
membantuk
untuk melestarikan
kebudayaan yang buta aksara. Pandangan mengenai agama dan fungsi agama tersebut diyakini dan diterima oleh masyarakat. Pandangan tersebut berkembang terus-menerus dan tidak mati. Masyarakat percaya bahwa agama telah menjadi satu kekuatan untuk kebaikan. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa dalam cerita terkandung nilai pendidikan agama yang masih memiliki relevansi dengan kehidupan pada saat ini dan pada masa mendatang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 150
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, serta sikap menerima terhadap sesuatu yang terjadi. Pandangan hidup yang demikian memperlihatkan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa sebab agama adalah pakaian hati, batin, atau jiwa. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 328) mengemukakan bahwa agama lebih menunjuk pada lembaga kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi religiusitas. Pada pihak lain, melihat aspek yang di lubuk, riak getaran nurani pribadi, dan totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religiusitas bersifat mengatasi, lebih mendalam, dan lebih luas dari agama yang mendalam, serta lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Nilai agama menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat, serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia. Nilai agama sifatnya mutlak untuk setiap saat dan keadaan. Semua manusia yang beragama meyakini dan percaya karena ajaran agama merupakan petunjuk hidup yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban manusia sebagai hamba untuk selalu tunduk dan taat kepada aturanNya. Bagi manusia yang beragama dan beriman, nilai agama ini dijadikan dasar atau pijakan utama dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini sifatnya universal bagi semua ajaran agama. Pemahaman nilai agama yang tinggi akan menjadikan manusia saling mengasihi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 151
Apabila diteliti kandungan nilai keagamaan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, akan didapatkan bahwa tokoh utama (Nadira) dididik dengan agama Islam sejak kecil. Didikan keagamaan ini justru didapatkan dari kakek-nenek Suwandi (orang tua Bram, yang tak lain adalah ayah Nadira). Kakek-Nenek Suwandi sangat ketat dalam memberikan pendidikan agama, terutama terhadap cucu-cucunya hasil perkawinan Bramantyo dan Kemala. Cucu-cucunya tersebut adalah Nina, Arya, dan Nadira. Mereka mewajibkan cucu-cucunya itu harus bisa mengaji dan menjalankan salat lima waktu dengan baik. “Nah, Kemala… tadi Bapak sudah bicara dengan suamimu, anak-anakmu itu harus belajar mengaji….” (Leila S. Chudori: 27) “Bagus! Jadi Kemala dan Bram nanti tinggal ambil baju mereka. Anakanakmu tinggal di sini selama libur sekolah, biar kenalan sama nenekkakeknya, kenalan sama semua paman-bibinya dan sepupu-sepupunya sekalian belajar mengaji. Nanti neneknya juga mengajarkan salat lima waktu.” (Leila S. Chudori: 27-28) Ketaatan dalam menjalankan perintah agama, Islam, juga tampak dalam keluarga besar Suwandi. Mereka akan segera bergegas melaksanakan salat lima waktu jika sudah terdengar bedug tanda salat lima waktu. Bagi umat Islam, salat waktu memang sebuah kewajiban yang tidak bisa tidak harus dijalankan, apa pun kondisinya. Meskipun orang itu sakit, ia tetap berkewajiban menjalankan salat lima waktu. Ayah Bram kemudian menutup pembicaraan dengan mengangguk padaku; tanpa menanti persetujuanku. Dia mengambil tongkatnya dan berdiri. Bedug Zuhur sudah terdengar, dan hanya beberapa detik kemudian terjadi hiruk-pikuk seluruh isi rumah menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 152
dengan air wudu. Dari jauh aku melihat Ray, adik bungsu Bram, tengah mengajar Arya untuk mengambil air wudu. (Leila S. Chudori: 28)
Selain melaksanakan salat lima waktu, keluarga besar Suwandi juga rajin melakukan salat sunah. Contohnya adalah melaksanakan salat Tarawih dengan berjamaah. Bahkan, Bramantyo biasa menjadi imam salat Tarawih tersebut bergantian dengan ayahnya, Suwandi. Leila menggambar tokoh Kemala sebagai tokoh yang sekuler, tidak mementingkan urusan akhirat. Terbukti bahwa Kemala tidak pernah mengikuti salat berjamaah yang dilakukan oleh keluarga besar Suwandi. Kemala hanya melakukan ritual zikir dengan sebuah tasbih cokelat. Di saat kami salat berjamaah pada bulan Ramadhan, istri saya duduk di belakang, menghormati, tapi tak ingin ikut bergabung. (Leila S. Chudori: 123) Saya tak pernah tahu apa yang dilakukan istri saya saat kami salat. Biasaya saya menjadi imam bergantian dengan ayah saya. Tetapi, suatu hari, saya datang terlambat untuk salat tarawih. Saya datang ke Gang Bluntas untuk salat, saya lihat ayah saya sudah memulainya. Dan, seperti biasa istri saya duduk di lantai, di atas tikar di ruangan yang sama. Dia memejamkan matanya. (Leila S. Chudori: 124) “Ibu jarang ikut salah berjamaah, dia cuma duduk di belakang dan aku tidur-tiduran di pangkuan Ibu. Waktu itu aku masih lima atau enam tahun. Dan sumpah, aku masih ingat apa yang dibisikkan Ibu…,” Nadira tersenyum. Dia membisikkan kalimat-kalimat zikir itu. (Leila S. Chudori: 203) Tokoh utama, Nadira, digambarkan oleh Leila sebagai tokoh yang fasih membaca Al-Quran. Ketika Bram menguji ketiga anaknya –Nina, Arya, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 153
Nadira- ternyata Nadiralah anak yang mampu membaca Al-Quran dengan begitu merdu, sebagaimana ketika ia membaca Surah Al-Baqarah. Ayah bersikeras membiarkan Nadira sesuai alam. Karena setiap kali saat mereka diuji membaca, ternyata Nadira membaca dengan baik, dengan suara yang merdu. Memang Nadira menolak mengenakan kerudung selendang saat mengaji, karena dia kepanasan dan seluruh kulitnya bruntus saat berkeringat. Dengan keringat berleleran itu, toh Nadira mampu membaca surah Al-Baqarah dengan begitu merdu, yang membuat seluruh ruangan terdiam. Senyap. (Leila S. Chudori: 123) Kehidupan beragama dengan baik juga digambarkan pada tokoh Arya, kakak laki-laki Nadira. Diceritakan bahwa Arya adalah tokoh yang selalu rajin beribadah dan mematuhi semua pendidikan agama yang diajarkan oleh KakekNenek Suwandi sejak Arya masih kecil. Arya berdiri dan meminta permisi pada Bram, aku, dan kedua saudaranya. Aku tahu, Arya pasti mengambil air wudu dan salat. Dari ketiga anakku, dialah satu-satunya yang sangat rajin beribadah dan mematuhi semua pendidikan agama dari mertuaku. (Leila S. Chudori: 155)
Nilai agama sangat menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat, serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia. Nilai agama bersifat mutlak untuk setiap saat dan keadaan. Semua manusia yang beragama meyakini dan memercayai karena ajaran agama merupakan petunjuk hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia. Manusia berkewajiban sebagai hamba untuk selalu tunduk dan taat kepada aturan-Nya. Bagi manusia yang beriman dan beragama, nilai agama ini dijadikan dasar atau commit to user pijakan utama dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini sifatnya universal bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 154
semua ajaran agama. Pemahaman nilai agama yang tinggi akan menjadikan manusia saling mengasihi. b. Nilai Pendidikan Moral Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Pandangan tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan serta memperjuangkan hak dan martabat manusia. Moral identik dengan agama, sosial, serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan moral itu sendiri terkait erat dengan budi pekerti yang tecermin melalui tingkah laku seseorang. Cerita pendek sebagai karya sastra yang dinikmati oleh banyak kalangan bertujuan memengaruhi pembaca sehingga cerita pendek yang baik tentunya mampu memberikan pengertian yang baik pula. Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk dan benar-salah berdasarkan adapt kebiasaan tempat individu itu berada. Pesan-pesan moral yang terdapat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini bisa diketahui setelah membaca dan memahami isi ceritanya. Setelah membaca cerpen-cerpen tersebut, ditemukan segi positif dan negatifnya. Kedua hal tersebut perlu disampaikan sehingga diperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif juga perlu diketahui serta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 155
disampaikan kepada pembaca. Tujuannya agar pembaca tidak tersesat serta mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk. Segi-segi positif dan negatif yang terdapat dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah sebagai berikut. 1) Segi Positif a) Pola asuh yang baik dari orang tua kepada anak-anaknya, khususnya dalam bidang ketaatan pada pelaksanaan ajaran agamanya. Sudahlah Bu… sekarang prioritasnya keluarga Bram dulu. Alhamdulilah akhirnya Bram sudah selesai sekolahnya. Sudah kembali ke Jakarta, biarpun lama betul selesainya. Nah, kita harus ajarkan Islam dulu, biar menantu dan cucu-cucu kita itu mengerti isi Quran. (Leila S. Chudori: 25) b) Kekuatan dan ketabahan seorang perempuan dalam menghadapi persoalan hidup serta bangkit dari keterpurukan. Tahukah, Kang, selama bertahun-tahun sejak Ibu pergi meninggalkan kita, ada sebuah batu besar yang membebani tubuhku, hatiku, jantungku, yang menyebabkan aku hanya bisa celentang di dalam kubur itu, tanpa bisa hidup, dan juga tidak mati? (Leila S. Chudori: 149) Bertahun-tahun setelah aku terpuruk di lubang kubur itu, aku tak kunjung mendapat kan jawaban: mengapa Ibu sengaja memutuskan pertalian kita. Mengapa Ibu memilih untuk meninggalkan kita dengan cara yang begitu sia-sia? Hanya satu lelaki yang bisa membuat badan ini hidup kembali. Dialah yang berhasil membuat hidup ini berguna. Dialah yang menghidupkan hidupku yang sudah mati. Dan lelaki itu bernama Nika… (Leila S. Chudori: 150)
c) Orang tua wajib memberikan pendidikan agama yang baik kepada anakanaknya. Agama merupakan landasan untuk pedoman hidup seseorang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 156
Dengan bekal pengetahuan agama yang mendalam, seseorang diharapkan dapat berperilaku sesuai ajaran agamanya. Bagi pemeluk agama Islam, mendalami
isi
Al-Quran
sangatlah
diwajibkan
karena
Al-Quran
merupakan firman Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad dan mengandung tuntutan dan ajaran kebaikan dalam hidup demi mencapai rida-Nya. “Ya sudah, panggil istrimu. Kita pikirkan bagaimana memperkenalkan Quran pada anak-anakmu. Sepupunya pada sudah jauh belajarnya. Tapi pasti Nina dan Arya bisa cepat mengejar ketinggalannya. (Leila S. Chudori: 26) 2) Segi-segi negatif a) Cepat putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidup ketika sedang didera permasalahan. Kemala Suwandi, ibu Nadira, telah lama memilih bahwa hidupnya sudah selesai. Itu terjadi setahun yang lalu, tahunb 1991. Hingga detik ini, Nadira tak pernah tahu kenapa ibunya memutuskan untuk pergi. Apa yang ada dalam pikiran ibunya, apa yang dirasakannya hingga dia memutuskan untuk menenggak pil tidur itu di suatu pagi yang suram. Apa karena dia tak tahan hidup bersama tiga anak yang selalu penuh konflik? Apakah ibunya tak tahan dengan kehidupan wartawan yang ekonominya sangat pas-pasan? (Leila S. Chudori: 70-71)
Setiap manusia dalam hidupnya tentu pernah mengalami permasalahan yang pelik. Akan tetapi, mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri bukanlah jalan yang terbaik dan diridai Tuhan karena termasuk perbuatan dosa. Segala masalah hidup commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 157
memang harus diselesaikan dengan cara yang terbaik, bukan dengan jalan pintas sebagaimana dilakukan Kemala, ibu Nadira. Keluarga Ibu adalah keluarga yang disfungsional. Sejak awal, aku merasa Ibu selalu ingin memberontak. Belum lagi, Ibu harus menyangga persoalan Ayah sebagai wartawan; persoalan keluarga Ayah dan juga tiga anaknya yang memiliki kesulitannya sendiri-sendiri. Apakah Ibu terlalu cengeng dan rapuh? Tubuh Ibu tak cukup untuk menampung persoalan Ayah? (Leila S. Chudori: 88-89) b) Menuntut kesetiaan pada pasangannya (suami/istri), padahal dia sendiri bukan orang yang setia.
Pada awal pernikahan, pasangan Nadira dan Niko memang tampak sebagai pasangan yang bahagia. Seiring berjalannya waktu, pernikahan mereka dilanda masalah. Ternyata, Niko adalah laki-laki yang suka selingkuh.
Mungkin gunjingan yang sama yang wara-wiri tentang kamu, Niko, yang mengatakan kamu tidur dengan sederetan perempuan, termasuk berbagai istri kawan-kawanmu, bahkan setelah kita menikah. (Leila S. Chudori: 175) Ketika Nadira mengatakan kepada Niko tentang kelakuan Niko yang sering tidur dengan perempuan lain meski mereka sudah menikah, justru Niko menuduh Nadira telah berhobong pada dirinya. Niko menuduh Nadira seolah-olah dia telah dibohongi Nadira dan menuduh Nadira telah tidur dengan suami kakaknya. Nadira pun membantah keras tuduhan itu.
Saya hidup dalam kebohongan. Kamu pernah tidur dengan suami kakakmu! Nadira terpana. Kau baru saja berbincang dengan Yu Nina. Tak penting siapa narasumbernya. Gilang Sukma adalah tokoh terkemuka, to user setiap perempuan yang commit ditidurinya akan diketahui publik. Aku tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 158
pernah tidur dengan Gilang. Niko memandang wajah Nadira. Itu tidak benar, Niko. Bagaimana caranya saya harus percaya padamu? Karena aku tak menghormati apa yang dilakukan Gilang pada perempuan, Niko. Niko memandang wajah istrinya dengan sangsi. Ini bukan pembelaan diri, Niko. Ini fakta. (Leila S. Chudori: 174) c) Habis manis sepah dibuang. Ketika masih dibutuhkan, ia akan disayang, tetapi ketika sudah tidak dibutuhkan lagi, ia akan dicampakkan. Kini air mata menitik. Nadira mematikan api, sup Goulash belum beres. Tetapi dia sudah tak mungkin meneruskan kegiatannya. Nadira duduk di hadapan suaminya. Suaminya yang begitu dicintainya pada awal perkawinan mereka. (Leila S. Chudori: 174) d) Post power syndrome. Orang yang dahulu memiliki jabatan dalam bidang pekerjaan yang ditekuninya, setelah berhenti atau pension dari pekerjaan tersebut bisa mengalami sindrom kekuasaan. Hal ini kadang membuat orang tersebut merasa sakit hati, bahkan merasa dirinya seolah dihina atau dilecehkan. Dan kini, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk di muka televisi, menyaksikan adegan demi adegan tanpa berkedip, pikiran ayahnya berada jauh melayang-layang ke lapangan jurnalistik; ke pertemuan OPEC, IGGI, berbagai Negara Afrika yang pernah dia sentuh bersama wartawan senior lainnya. Sudah jam delapan. Ayahnya segera mematikan televisi. (“Saya tak sanggup melihat acara gunting pita dan pukul gong. Semuanya adalah pameran kepandiran,” ujar ayahnya. Dan itu dilakukan secara rutin sejak kematian ibunya). (Leila S. Chudori: 73)
c. Nilai Pendidikan Adat Istiadat/Tradisi Budaya Adat atau tradisi dapat diartikan sebagai cara atau kelakukan yang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala. Kebiasan yang dimaksud seringkali sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat commit to user yang bersangkutan. Pada orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 159
Jawa ada tradisi atau budaya tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh budaya daerah lainnya. Budaya Jawa ikut mewarnai cerita dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini. Meskipun sebagian besar menceritakan kehidupan masyarakat modern dengan segala problematikanya, namun di sisi lain ditampilan tradisi budaya Jawa yang tentunya sangat jauh berbeda di antara keduanya. Budaya ditampilkan oleh tokoh Nenek Suwandi ketika ia menanyakan kepada
menantu
perempuannya
perihal
bunga
yang
dikenakan
ketika
melangsungkan pernikahan di luar negeri. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, pengantin peremupuan biasa menggunakan bunga melati ketika melangsungkan pernikahan. Dalam urusan memilih jodoh atau pasangan hidup pun, para sesepuh juga memiliki criteria sendiri. Kriteria itu meliputi tengtang latar belakang keluarganya. Perkawinan bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah perkawinan dua keluarga besar dan dua budaya sehingga harus mengenal terlebih dahulu terhadap dua keluarga besar tersebut sebelum melangsungkan pernikahan. Dia sudah menikah tiga kali? Kenapa? Kenapa bisa bercerai? Kenapa Nina yang cantik dan pandai itu harus berjodoh dengan seorang duda? Apa pekerjaannya? Sekali lagi, sekali lagi aku diingatkan oleh kata-kata Mama dulu: perkawinan di Indonesia adalah perkawinan dua keluarga, dua kultur, dua kebudayaan. (Leila S. Chudori: 151)
d. Nilai Pendidikan Sosial Sastra sebagaimana halnya dengan karya seni lain, hampir di setiap zaman commit ia to user memegang peranan penting karena selalu mengekspresikan nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 160
kemanusiaan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan adanya kemajuan teknologi. Jadi, dengan membaca karya sastra diharapkan perasaan pembaca lebih pada tahap persoalan-persoalan kemanusiaan, lebih menghayati sosialitas, serta lebih mencintai kebenaran dan keadilan. Penjelasan di atas sesuai pendapat Burhan Nurgiyantoro (2002: 332) yang menyatakan bahwa banyak karya sastra yang bernilai tinggi, yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan moral, biasanya lahir di tengah-tengah masyarakat yang dilihat atau dirasakan oleh pengarang. Pengarang pada umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, atau sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lainnnya. Kesadaran terhadap nilai-nilai sosial akan membawa manusia pada kesadarannya bahwa hidupnya tak akan lepas dari bantuan orang lain. Kesadaran itu mutlak diperlukan agar dalam setiap tindakan memiliki batas-batas tertentu dan selalu mengukur semua perbuatan dengan kacamata kemanusiaan. Ukuran tindakan manusia sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan, bukan seberapa besar tindakan itu menguntungkan dirinya, melainkan seberapa jauh tindakan itu menguntungkan serta menyempurnakan kemanusiaan masyarakat lain di sekitarnya. Nilai pendidikan sosial dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini bisa diambil dari para pelaku di dalamnya. Nadira, misalnya, ia sangat menyadari ketika ibunya meninggal, para ibu di kompleks tempat tinggal orang tuanya itu dengan ikhlas membantu menyiapkan segala keperluan untuk penguburan jenazah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 161
ibunya. Tanpa diundang pun mereka datang untuk menyampaikan belasungkawa dan memberikan bantuan semampunya. Beberapa ibu dari kompleks tempat tinggal orang tuaku menjerit kiankemari
menyiapkan
minum
alakadarnya
dan
sesekali
meminta
persertujuanku yang, entah oleh siapa, diangkat sebagai pimpro acara belasungkawa ini. (Leila S. Chudori: 9) Pada bagian lain, diceritakan oleh Leila tentang pentingnya hidup bersosial di masyarakat, yaitu ketika tokoh Arya akan melangsungkan pernikahan dengan Amalia. Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan merupakan suatu berita kegembiraan yang harus diumumkan. Cara pengumuman ini biasa dilakukan dengan menyebar undangan perkawinan kepada anggota keluarga lainnya, temantemannya, teman ayahnya, teman ibunya, dan sebagainya. Inilah bentuk sosialitas di masyarakat. Amalia tengah memisah-misahkan undangan yang akan dibawanya untuk keluarganya, teman-temannya, teman-teman ayahnya, teman ibunya; kemudian setumpuk lagi untuk keluarga si Akang, teman-teman Akang di hutan, kawan-kawan ayah Akang. Aduh, banyak sekali teman ayah si Akang ini. (Leila S. Chudori: 264) Nilai pendidikan sosial yang dapat diambil dari kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini adalah bahwa dalam bergaul hendaknya harus dapat menjaga hubungan perasaan dengan pihak lain. Tutur kata dan sikap kita terhadap orang lain harus tetap dijaga agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Nilai sosial ini perlu ditampilkan untuk dapat diteladani para pembaca agar dapat bertindak dengan lebih baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 162
e.
Nilai Pendidikan Karakter Setelah dibaca, dipahami, dan dianalis berdasarkan kajian teori, nilai
pendidikan karakter yang dapat ditemukan dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, antara lain, nilai karakter yang berupa nilai religius/keagamaan, keunggulan akademik, demokrasi, menghargai perbedaan, dan tanggung jawab. Untuk lebih jelasnya, dapat dijelakan dalam uraian berikut ini. Nilai karakter yang berupa nilai religius termasuk dalam pilar keutamaan dalam membentuk karakter individu. Hadirnya tokoh Suwandi (kakek Nadira) yang berasal dari keluarga religius ini dapat dinilai sebagai bentuk pendidikan karakter. Suwandi senantiasa mengajarkan anak-anaknya, bahkan cucu-cucunya, agar selalu menjalankan perintah agamanya dengan baik. Hal yang sering ditekankan Suwandi kepada cucu-cucunya adalah agar mereka selalu belajar memahami isi Al-Quran dan rajin melaksanakan salat. Menurut Doni Koesoema (2007: 6), nilai religius ini termasuk dalam pilar pengembangan keutamaan transendental. Sifat religius ini merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter yang mampu membangkitkan refleksi dan kemampuan untuk memahami kebesaran Ilahi. Nilai karakter yang berupa keunggulan akademik ditampilkan melalui latar belakang pendidikan para tokoh yang ada dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini. Dimulai dari Bram (ayah Nadira) dan Kemala (ibu Nadira) yang keduanya merupakan orang dengan latar belakang pendidikan tinggi, tingkat intelektualitas juga tinggi. Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri, Amsterdam. Ketiga anak Bram dan Kemala, yaitu Nina, Nadira, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 163
Arya pun juga termasuk tokoh-tokoh yang berpendidikan tinggi. Nina dan Nadira diceritakan bahwa keduanya menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, sedangkan Arya sebagai seorang sarjana, meski tidak menempuh pendidikan di luar negeri. Keunggulan akademik ini mencakup rasa cinta para tokoh dalam cerita terhadap ilmu, kemampuan para tokoh untuk berpikir kritis, teguh dalam pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang. Selain itu, para tokoh yang memiliki keunggulan akademik ini juga memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, terampil mengomunikasikan gagasan dan pemikiran melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik. Nilai pendidikan karakter yang berupa demokratis dan menghargai pendapat ditampilkan oleh Leila melalui cerita yang berjudul Mencari Seikat Seruni. Dalam cerita ini dikisahkan latar belakang keluarga tokoh Bram dan keluarga Kemala yang bertolak belakang. Bram berasal dari keluarga religius dan taat menjalankan perintah agama, sedangkan Kemala berasal dari keluarga pengusaha yang kaya raya dan menganut paham sekuler yang tak terlalu pusing dengan kehidupan spiritual. Meskipun berasal dari keluarga yang berlatar belakang berbeda, Bram dan Kemala tetap memutuskan menikah. Dalam perjalanan rumah tangga pun, pada akhirnya mereka tetap selalu saling menghargai prinsip masing-masing. Bram adalah laki-laki muslim yang taat, sedangkan Kemala nyaris tak pernah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 164
menjalankan perintah agamanya, kecuali melakukan ritual berzikir dengan tasbih cokelat kesayangannya. Nilai pendidikan karakter yang berupa tanggung jawab dapat ditemui pada diri tokoh Nadira. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang jurnalis ditunjukkan dengan semangat dan kegigihannya dalam bekerja. Sebanyak dan seberat apa pun tugas yang diberikan oleh pimpinan redaksi tempatnya bekerja, selalu diterima dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan ketika Nadira harus mendapat tugas untuk mewawancarai seorang psikopat yang telah melakukan pembunuhan berantai, ia pun melaksanakan tugas itu dengan hasil yang sempurna. Nadira memang tipikal wanita yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini mengandung nilai pendidikan karakter yang kuat pada diri tokohtokohnya. Sebagaimana pendapat Aristoteles (dalam Ratna Megawangi, 2007: 6) bahwa orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, akan muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis data yang telah diuraikan di depan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1.
Latar Belakan Sosial Budaya dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Sebuah cerita rekaan menampilkan latar belakang sosial budaya
masyarakat. Latar belakang budaya yang ditampilkan dalam buku kumpulan cerpen 9 dari Nadira mengacu pada unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup, serta teknologi dan peralatan. Latar belakang sosial dalam kumpulan cerpen tersebut mengungkap adanya tempat tinggal para tokoh dan interaksi mereka di masyarakat serta adat istiadat yang masih dianut oleh beberapa tokoh dalam cerita tersebut.
2.
Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Cerita fiksi selalu berhubungan dengan latar belakang pengarang itu
sendiri. Latar belakang kehidupan dan proses kreatif pengarang sedikit banyak memengaruhi lahirnya sebuah karya sastra. Kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya commit to user sebuah keluarga yang berlatar Leila S. Chudori ini banyak berkisah tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 166
pendidikan tinggi, mengenyam pendidikan di luar negeri, dan bekerja sebagai seorang jurnalis. Leila S. Chudori menampilkan Nadira sebagai tokoh utama dalam kesembilan cerpennya. Nadira digambarkan sebagai sosok wanita dengan latar kehidupan keluarga yang mengenyam pendidikan tinggi dan tinggal di kota metropolitan yang sangat modern. Sejak kecil Nadira sudah tidak asing lagi dengan dunia jurnalistik, karena ayahnya digambarkan sebagai seorang wartawan senior. Selain itu, Nadira juga mempunyai bakat di bidang kepenulisan. Banyak karya hasil tulisannya yang dimuat di media cetak, hingga sang ayah membuatkan sebuah kliping hasil karya Nadira. Bakat menulis ini tentu saja menurun dari sang ayah. Hingga akhirnya Nadira memutuskan kuliah di luar negeri dan bekerja sebagai seorang wartawan di majalah Tera. Leila S. Chudori juga menjelaskan bahwa Nadira juga merupakan sosok wanita yang memiliki pribadi kuat dan citacita yang tinggi. Sebagai seorang wanita yang hidup sendiri menuntut ilmu di luar negeri hingga kembali ke Tanah Air dan bekerja sebagai seorang wartawan, tentu saja banyak godaan, terutama yang ada hubungannya dengan laki-laki. Leila S. Chudori membentuk image Nadira sebagai pribadi yang supel. Kesembilan cerita pendek ini bertautan dengan kehidupan pribadi Leila yang digambarkan dalam karakter Nadira. Persamaannya antara lain, berayahkan wartawan, bekerja di majalah berita, berkelahiran di tahun 1962, dan bersekolah di Kanada. Melalui kesembilan cerpennya ini, Leila mengungkap permasalahan perempuan dengan gamblang dan transparan dalam menggambarkan persoalan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 167
kesetaraan gender. Profil yang direpresentasikan dalam kumpulan cerpen ini meliputi tokoh Nadira dan Nina, yang keduanya memiliki peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita bekerja. Secara keseluruhan, selain dipenuhi kekompleksitas cerita yang menarik, 9 dari Nadira ini memiliki benang merah terhadap kesetaraan gender.
3. Nilai Pendidikan Karya sastra yang baik pasti mengandung nilai pendidikan. Pengarang mencipta karyanya memiliki tujuan, antara lain, untuk mendidik para pembaca. Mendidik di sini dalam arti tidak bersifat menggurui. Nilai pendidikan dari sebuah cerita bisa dari hal-hal yang bersifat positif atau negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar dapat diperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Setelah dibaca, diteliti, dan dipahami dengan saksama dan cermat, kumpulan cerpen 9 dari Nadira mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Nilai pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan agama, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan moral, dan nilai pendidikan sosial, serta nilai pendidikan karakter.
B.
Implikasi
Kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori memiliki implikasi dalam dunia pendidikan. Isi cerita dalam kumpulan cerpen ini ini mampu memberikan gambaran kepada dunia pendidikan tentang kompleksitas kehidupan modern saat ini, terutama yang terjadi di kota-kota besar, baik di Indonesia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 168
(Jakarta) maupun di luar negeri (Amerika Serikat dan Belanda). Dengan berbagai latar belakang kehidupan beberapa tokohnya yang mengenyam pendidikan dan tinggal di luar negeri, diperoleh gambaran tentang pergaulan yang bebas di antara mereka. Mulai dari kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, sering mengunjungi bar di malam hari, atau pergaulan bebas yang dilakukan meski belum terikat pernikahan. Pergaulan modern sudah menjadi tren bagi mereka karena hidup di kota metropolis, meskipun masih ada yang tetap memegah teguh adat ketimurannya, terutama adat Jawa, dan masih memegang teguh norma-norma agama. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, diharapkan siswa dapat memilah dan memilih sekaligus menentukan bagian yang akan dijadikan panutan dan teladan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini tentu saja para siswa sudah dapat memper-timbangkan sisi baik dan buruknya, sisi untung dan ruginya, serta akibat perbuatan yang dilakukannya. Sejalan dengan fenomena di atas, maka implikasi selanjutnya dari penelitian ini adalah bahwa kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini perlu untuk diajarkan di sekolah (dalam hal ini paling untuk peserta didik tingkat atas/SMA) karena selain berfungsi sebagai bacaan yang menghibur, juga memberi manfaat kepada pembacanya. Hal ini penting agar peserta didik dapat mengetahui pernak-pernik kehidupan modern serta penyimpangan-penyimpangan terhadap norma dan nilai yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya diharapkan peserta didik dapat mengambil ajaran-ajaran yang baik dari berbagai peristiwa tersebut untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 169
Kompleksitas kehidupan modern tampak dalam pergaulan sosial. Hadirnya berbagai komunitas (pergaulan antarbangsa) dalam satu kehidupan kampus mencerminkan kehetogenan budaya mereka. Penelitian ini mengungkapkan cara pengarang memotret dan menyajikan sebuah kehidupan komunitas yang kompleks yang dialami oleh tokoh utama hingga akhirnya ia dapat eksis di tengah-tengah gejolak kehidupan metropolis dengan segala permasalahannya. Sikap tokoh wanita dalam menghadapi persoalan hidup yang mendera menunjukkan bahwa wanita harus mandiri, tegas bersikap, mampu bangkit dari keterpurukan, dan ceria menghadapi hidup. Selain itu, juga menunjukkan bahwa wanita harus mampu menerjemahkan dirinya sebagai individu yang mempunyai pilihan hidup sendiri. Sebagai imbangan, pengarang juga menampilkan nilai-nilai budaya atau adat orang Timur dalam hubungannya dengan menata kehidupan yang selaras antara urusan duniawi dan akhirat, yaitu menjalankan perintah agama dengan taat. Peserta didik dapat mengetahui sifat-sifat khas dari komunitas orang-orang yang hidup dalam lingkungan kampus, khususnya di luar negeri. Sifat-sifat khas tersebut terlihat dari gaya hidup, kebiasaan, dan ideologi yang mereka anut. Peserta didik dapat memilah dan memilih hal yang pantas dan yang tidak pantas untuk ditiru dari cerita yang dibacanya. Masalah hubungan bebas laki-laki dan perempuan serta perselingkungan juga menjadi bagian isi cerita. Masyarakat umum, khususnya di Indonesia, sebagian besar belum dapat menerima hal-hal yang demikian. Meskipun jika diteliti banyak terjadi pergaulan bebas di antara para remaja dan perselingkuhan di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 170
masyarakat, tetapi hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Masyarakat, dengan membaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, seolah-olah diingatkan untuk tidak menutup mata bahwa ada gejala (meskipun tidak semua) dalam masyarakat yang mempunyai perilaku menyimpang dari norma susila tersebut. Penyimpangan dan pelanggaran norma susila itu dapat menimbulkan dampak buruk, yaitu hubungan seks yang bebas pada remaja, meningkatnya angka perceraian, serta meningkatnya kasus kriminalitas di masyarakat. Pengetahuan tentang dampak buruk dari hubungan seks bebas laki-laki dan perempuan serta perselingkuhan tersebut diharapkan dapat membuat peserta didik menahan diri jangan sampai terjebak dan terjerumus dalam perbuatan tersebut. Pada bagian lain dalam buku kumpulan cerpen ini juga bercerita tentang nilai agama. Meskipun belum sepenuhnya menjalankan semua perintah dalam agama, namun agama sudah menjadi keyakinan mereka. Pelaksanaan beragama baru dalam taraf melakukan ritual wajib, yaitu salat lima waktu, mengaji dan mengerti isi Al-Quran, dan melaksanakan kewajiban agama tersebut. Peserta didik diharapkan dapat mencontoh dan meneladani tentang penerapan kehidupan beragama dalam cerpen yang dibacanya, kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pada akhirnya, peserta didik dapat mengetahui hal-hal yang positif maupun negatif, baik maupun buruk, benar maupun salah, serta memahami berbagai persoalan sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Pemahaman tersebut semoga dapat menumbuhkan sikap empati dalam diri peserta didik sebagai bagian dari masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 171
Permasalahan sosial yang muncul dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat dan berteman juga dijelaskan dan dicontohkan dalam kumpulan cerpen ini. Melalui tokoh utama maupun tokoh lainnya dalam cerpen, pengarang secara tersirat maupun tersurat memberikan gambaran betapa kompleksnya permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan orang lain, terutama di kota besar. Pembaca dan peserta didik khususnya dapat menilai, kemudian mengambil pelajaran yang positif dari gambaran kehidupan sosial yang ada dalam cerpen-cerpen tersebut, yang tentunya disesuaikan dengan lingkungan sosial mereka.
C. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut. 1. Pembaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira, khususnya para peserta didik, hendaknya dapat mengambil nilai positif dan dapat menghindari nilai-nilai negatif, baik yang tersirat maupun yang tersurat daam cerita. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kesembilan cerpen tersebut, ajaran kebaikan dapat diambil sebagai cermin bagi kehidupan. Nilai negatif seperti yang ditunjukkan tokoh Nadira maupun Nina yang mudah memutuskan bercerai dan melakukan hubungan seks di luar nikah, tokoh Gilang Sukma yang mudah bermain selingkuh dan gemar kawin-cerai, para mahasiswa yang gemar minum minuman beralkohol, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 172
sedapat mungkin dihindari karena bertentangan dengan norma agama maupun moral. 2. Kepada para peserta didik, khususnya kaun wanita, sikap dan watak Nadira yang cerdas, mandiri, konsisten dalam berpendapat/bersikap, berpendirian kuat, serta tetap tegar dan eksis dalam menghadapi berbagai persoalan dan kemelut hidup patut dijadikan bahan perenungan agar kaum wanita tidak mudah pasrah dan menyerah pada persoalan yang sedang menerpa. Kaum wanita harus dapat menunjukkan pada dunia bahwa wanita tidak selemah dan selalu tidak berdaya, sebagaimana anggapan yang ada selama ini. Wanita mampu eksis dan tampil sejajar dengan kaum pria. 3. Kepada pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini merupakan antologi cerpen yang baik untuk dijadikan alternatif sebagai bahan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Selain memuat dan sarat dengan nilai pendidikan, kumpulan cerpen ini sangat enak dibaca, meski alurnya agak sulit dipahami karena susunan ceritanya bak sebuah puzzle, namun tetap mampu memberikan hiburan bagi pembacanya. Oleh karena itu, sudah saatnya di sekolah dihadirkan cerpencerpen modern untuk melengkapi koleksi yang ada di perpustakaan sekolah maupun untuk pembelajaran sastra Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 173
commit to user