PENDEKATAN KONSEP KESEHATAN HEWAN MELALUI VAKSINASI Soeripto Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRAK Penggunaan antibakteri saat ini telah meluas, tidak saja pada manusia tetapi juga pada ternak dan ikan. Antibakteri selain digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit, juga dimanfaatkan untuk merangsang pertumbuhan dan produksi ternak dengan cara mencampurnya pada pakan atau air minum. Namun, pemberian antibakteri yang tidak sesuai dengan aturan medis dapat menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya residu pada produk ternak dan resistensi bakteri terhadap antibakteri. Residu antibakteri pada produk ternak dapat mengganggu kesehatan manusia dan juga mengganggu proses pengolahan produk asal susu. Resistensi bakteri dapat menimbulkan kerugian bagi manusia maupun ternak karena morbiditas dan mortalitas akan meningkat dan biaya pengobatan menjadi lebih mahal karena harus menggunakan antibakteri yang lebih baru. Di samping itu resistensi bakteri dapat dipindahkan ke bakteri lainnya sehingga bakteri yang lain menjadi resisten. Hal ini akan menambah kesulitan dalam pengobatan. Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit serta terjadinya resistensi bakteri dan residu antibakteri. Jika paradigma kesehatan hewan dapat mengutamakan vaksinasi daripada kemoterapi maka secara bertahap residu antibakteri dan resistensi bakteri akan hilang. Kata kunci: Kesehatan hewan, residu antibakteri, resistensi bakteri, antibiotik, vaksinasi
ABSTRACT An approach to animal health concept through vaccination Until recently, the extensive use of antimicrobial agent occurs not only in human, but also in animals and fishes. Besides for prevention and theraphy of the disease, antimicrobial is also used as growth promoter and enhancing animal production by mixing it in the feed or diluting in the drinking water. Improper use of antimicrobial could induce negative effects such as the deposition of residues in the animal products and bacterial resistance. Antimicrobial residues in the animal products may effect milk processing and human health. The incidence of bacterial resistance in the human or animal organs gives disadvantages to human and animal health due to increase of disease morbidity, increasing the mortality and hence the medical expenses. Besides, bacterial resistance can be transferred to other bacteria and therefore causing difficulties in curing the disease. Vaccination is a good effort to prevent health from infectious diseases, to avoid bacterial resistance and drug residues. If the concept of animal health can be emphasized more to vaccination than chemotheraphy, gradually drug residue existence and bacterial resistance can be eliminated. Keywords: Animal health, antimicrobials, drugs, residues, bacterial resistance, antibiotics, vaccination
M
ikroba sebagai penyebab penyakit infeksius mulai ditemukan pada pertengahan abad ke19 oleh Robert Koch seorang ahli mikrobiologi dari Inggris (Witte, 2000). Penyakit infeksius pada manusia atau hewan dapat menurunkan kesehatan tubuh sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas dan reproduktivitas bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada tahun 1910, Paul Ehrlich seorang ahli kimia, berhasil menemukan bahan kimia yang dapat digunakan untuk
48
membunuh parasit tanpa merusak organ tubuh lain (Alexander, 1985), dan pada tahun 1928 Alexander Flemming menemukan Penicillin sp. yang dapat mencegah berkembangnya bakteri Staphylococcus aureus. Perkembangan penggunaan antibakteri terus berlanjut, tidak saja untuk mengobati, tetapi juga untuk mencegah penyakit, memperbaiki pertumbuhan dan produksi, terutama pada ternak ayam dan ikan (Grave, 1991; Greko, 1999; Witte et al., 2000). Namun, penggunaan antibakteri yang berlebihan, atau
dalam dosis rendah tetapi diberikan secara terus menerus dapat menimbulkan residu pada target sasaran, dan yang lebih mengkhawatirkan dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibakteri. Residu antibakteri pada produk ternak (daging, susu, dan telur) telah banyak diinformasikan baik di luar negeri (Gavalov et al., 1987; Kaneene dan Ahl, 1987; Seymour et al., 1988) maupun di dalam negeri (Bahri et al., 1990a, 1990b; Indrawani, 1987; Noor et al., 1992; Rukmana et al., 1985; Siregar, 1990; Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Soeripto, 1995a; Sudarwanto, 1990; Susapto, 1992; Yuningsih et al., 2000). Residu antibakteri pada produk ternak dapat menimbulkan resistensi bakteri, masalah dalam pengolahan produk asal susu (Bishop dan White, 1984), dan gangguan kesehatan bagi konsumen (Gavalov et al., 1987). Bakteri resisten terhadap antibakteri yang diisolasi dari ternak telah banyak dilaporkan di luar negeri (Amara et al., 1995; Cicek dan Kovarik, 1994; Franklin, 1999; Hunter et al., 1994; Pereira dan Siquiera-Junior, 1995; Semjen, 2000; Tollefson et al, 1999; ) dan di Indonesia (Poeloengan et al., 1996; Rompis, 1996; Soeripto, 1995b; Sri Purnomo et al., 1992; Supar et al., 1990; Wahyuwardani dan Soeripto, 1998). Telah diuraikan oleh Soeripto (1996); Stobberingh dan Bogaard (2000); Witte (2000) bahwa mekanisme resistensi dapat terjadi secara genetik dan nongenetik. Secara genetik, resistensi dapat terjadi dengan cara konjugasi dan transudasi antarstrain yang sama, sedangkan secara nongenetik resistensi dapat terjadi melalui pemberian antibakteri yang berlebihan, pemberian dosis rendah secara terus menerus atau tidak beraturan. Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia atau hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibakteri dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibakteri, atau menggunakan antibakteri, baru yang harganya mahal (Tollefson et al., 1999; Williams, 2000). Vaksinasi untuk menghindari penyakit yang disebabkan oleh virus, sudah lama dikenal tetapi vaksinasi untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri belum tersosialisasi dengan baik, Padahal pencegahan penyakit bakterial dengan vaksinasi jauh lebih baik daripada pengobatan dengan antibakteri, karena vaksinasi tidak meninggalkan residu antibakteri, tidak menyebabkan resistensi bakteri, dan biayanya relatif lebih rendah. Tinjauan mengenai vaksin bakteri pada ternak telah dilaporkan oleh De Ree (1997); Soeripto (2001); Walker (1997). Seperti halnya vaksin virus, vaksin bakteri juga ada dua bentuk yaitu vaksin aktif dan inaktif. Vaksin aktif ada dua macam, yaitu bakteri yang patogenitasnya telah dilemahkan melalui pasase di laboratorium dan yang dilemahkan dengan cara Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
memutasikan sifat virulensinya. Vaksin inaktif juga ada dua macam yaitu vaksin yang terdiri atas seluruh sel dan yang terdiri atas fragmen sel saja yang sering disebut dengan vaksin subunit. Penggunaan vaksin bakteri untuk mencegah penyakit bakterial telah dilakukan di Indonesia dalam batas-batas tertentu. Hasil vaksinasi sangat bervariasi tergantung dari jenis vaksinnya. Vaksin aktif akan memberikan perlindungan yang lebih lama dibanding vaksin inaktif, tetapi penggunaan vaksin inaktif dalam waktu panjang akan lebih aman dibanding vaksin aktif. Masing-masing vaksin aktif dan inaktif memiliki kelebihan dan kekurangan, namun vaksin aktif biayanya lebih murah dibanding vaksin inaktif. Penggunaan vaksin untuk mencegah penyakit pada hewan dapat mengurangi jumlah peredaran antibakteri. Hal ini pernah dilaporkan oleh Markedstat dan Grave (1997) pada ikan. Vaksin Vibrio dan Aeromonas yang digunakan untuk mencegah penyakit berhasil menurunkan penggunaan antibakteri secara drastis. Pada bidang peternakan khususnya di Indonesia, sampai saat ini belum ada ulasan mengenai hubungan antara keberhasilan vaksinasi dengan jumlah peredaran antibakteri. Pada tulisan ini akan diulas manfaat vaksinasi dalam pencegahan penyakit dan dampak negatif penggunaan antibakteri. Melalui kajian ini diharapkan dapat diperoleh pemikiran bahwa pendekatan konsep kesehatan hewan sebaiknya lebih ditekankan melalui vaksinasi daripada kemoterapi. Mengingat tinjauan mengenai vaksin pada bidang mikrobiologi begitu luas, maka ulasan hanya ditekankan pada vaksin bakteri karena keberhasilan vaksin
bakteri erat kaitannya dengan penggunaan antibakteri.
SEJARAH PERKEMBANGAN BAKTERI Sejarah perkembangan diketahuinya mikroba sebagai agen penyakit dimulai sejak ratusan tahun yang lalu ketika ditemukan alat mikroskop yang dapat digunakan untuk melihat bakteri oleh Anthony Van Leeuwenhoek (1632−1723). Sejak saat itu dimulai penerapan dasardasar mikrobiologi oleh seorang ahli mikrobiologi yang bernama Louis Pasteur (1822−1895). Penelitian mikrobiologi terus berlanjut yang dimotori oleh Robert Koch untuk mengetahui penyebab penyakit infeksi, yang akhirnya pada tahun 1877 Bacillus anthraxis penyebab penyakit antraks dapat diisolasi. Pada tahun berikutnya ditemukan lagi penyakit fowl cholera pada ayam (Fenner et al., 1999; Witte, 2000). Penelitian terus berlanjut pada penyakit-penyakit lain, dan beberapa bakteri sebagai agen penyebab penyakit infeksius (Tabel 1) dapat diidentifikasi (Witte, 2000).
SEJARAH PERKEMBANGAN ANTIBAKTERI Pada awal tahun 1600−1900, penyakit infeksius pada manusia atau hewan belum ada obatnya. Untuk memperoleh obat yang dapat membunuh atau mencegah berkembangnya bakteri penyebab penyakit diperlukan penelitian yang cukup panjang. Pada tahun 1905, Paul
Tabel 1. Mikrobakteri yang berhasil diidentifikasi pada akhir abad ke 19. Jenis bakteri
Penemu
Tahun
Bacillus anthracis Bacteria as cause of wound infections Neisseria gonorrhoeae Mycobacterium tuberculosis Vibrio cholerae C. diphtheriae Yersina pestis Shigella dysenteriae Treponema pallidum
R. Koch R. Koch A. Neisser R. Koch R. Koch F. Loffler Sh. Kitasato, A. Yersin W. Kruse, K. Shiga F. Schaudinn
1877 1878 1879 1882 1883 1884 1894 1900 1905
Sumber: Witte (2000).
49
Ehrlich seorang ahli kimia berhasil menemukan Atoxyl yang merupakan komponen organo arsenic yang dapat digunakan untuk membunuh parasit tanpa merusak organ tubuh lain (Alexander, 1985). Pada tahun 1928 Alexander Flemming menemukan antibiotik penisilin (Penicillium sp.) yang dapat mencegah berkembangnya bakteri S. aureus. Namun, penisilin yang ditemukan oleh Flemming masih belum stabil sehingga belum dapat digunakan untuk pengobatan. Sepuluh tahun kemudian Florey dan Chain dari Oxford University dapat memperbaikinya sehingga penisilin menjadi substansi yang stabil dan dapat digunakan untuk pengobatan (Alexander, 1985). Penelitian antibakteri terus berlanjut dan akhirnya banyak ditemukan antibakteri yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri (Tabel 2 dan 3). Penemuan antibakteri merupakan sukses besar dalam dunia kedokteran, karena penemuan antibiotik membawa dampak besar bagi kesehatan manusia atau ternak. Seiring dengan suksesnya pengobatan maka obatpun makin banyak diproduksi, tidak saja digunakan untuk pengobatan tetapi juga untuk pencegahan penyakit dan perbaikan pertumbuhan atau produksi ternak. Akibatnya, kebutuhan antibakteri dari tahun ke tahun terus meningkat (Skold, 2000; Stastistik Peternakan, 1999), baik di Indonesia maupun di Eropa seperti tercantum pada Tabel 4 dan 5. Manfaat penggunaan antibakteri untuk pengobatan harus diakui dan diberi penghargaan, terbukti dari banyaknya penyakit yang bisa diobati dan menurunnya tingkat kematian yang diakibatkan oleh infeksi selama 50 tahun terakhir (Williams, 2000). Menurut laporan WHO pada tahun 1988, sebanyak 25% dari kematian manusia di dunia disebabkan oleh penyakit infeksius. Di negara berkembang, angka kematian ini hampir dua kali lipat dibanding dengan negara maju, yaitu 45% (World Health Organization, 1998). Masih banyaknya penyakit infeksius di negara sedang berkembang kemungkinan karena banyaknya bakteri penyebab penyakit yang resisten atau tingkat resistensi bakteri yang sudah cukup tinggi sehingga pengobatan dengan menggunakan antibakteri yang kualitasnya rendah tidak membawa hasil yang memuaskan (World Health Organization, 1998). Di bidang peternakan penggunaan antibakteri yang mahal akan diper50
Tabel 2. Para penemu awal antibakteri. Penemu
Jenis antibiotik
A. Flemming J. Trefouel A. Waksman G. Brotsu
Tahun
Penicillium notatum (penisilin) >< S. aureus Sulphanilamide >< Streptoccoccal septicaemia Streptomycin >< M. tuberculosis Cephalosporium acremonium (awal broad spectrum antibiotics) Broadspectrum antibiotics
G. Brotsu
1928 1935 1943 1945 1953
Sumber: Witte (2000).
timbangkan ulang. Hal ini berhubungan erat dengan nilai jual ternak yang berfluktuatif, sehingga pengobatan cenderung menggunakan obat yang relatif Tabel 3. Perkembangan penemuan antibakteri dan kelompoknya. Jenis antibiotik
Tahun
Kelompok
Sulphonamide Penicillin G Cephalosporin C Chloramphenicol Streptomycin
1932/34 1929/41 1945/55 1947 1943/44
β - Lactam
Kanamycin Gentamycin Amikacin as derivative of Kanamycin Erythromycin Lincomycin
1957 1961/67 1972
Clindamycin Vancomycin
1965 1955
LY 33328 Rifamycin Rifampicin Nalidixic acid Fluoroquinolones Staphylomycin M1
1996 1959/65 1965 1962 1986/87 1954/55
Pristinamycin Quinupristin/ Dalfopristin
1961 1992
1950/52 1950/52
Aminoglycosides
Macrolides Linco samidines Glyco peptides Rifamycins Quinolones Strepto gramins
Sumber: Witte (2000).
lebih murah, meskipun tingkat efikasi obat kemungkinan lebih rendah dibandingkan dengan obat yang berkualitas.
PERKEMBANGAN RESISTENSI BAKTERI Ransum pakan ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam beberapa dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Hasil pemberian antibakteri dalam pakan memang tidak perlu diragukan lagi karena pertumbuhan dan produksi ternak menjadi meningkat. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar dibanding untuk pengobatan (Aarestrup dan Seyfarth, 2000). Di Indonesia, data perbandingan penggunaan antibakteri untuk pengobatan ternak dan pakan sukar diperoleh. Jenis antibiotik yang digunakan untuk pakan tambahan dapat dilihat pada Tabel 6. Di Indonesia antibakteri sudah lama digunakan sebagai pakan tambahan dalam ransum pakan ternak, tetapi sampai saat ini belum dilakukan monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari penggunaan antibakteri tersebut, walaupun informasi tentang resistensi bakteri terhadap antibakteri sudah banyak yang
Tabel 4. Jumlah obat hewan yang beredar di Indonesia tiap tahun. Subjek Jenis obat hewan Nilai peredaran (Rp juta)
1995
Tahun 1996
1.827 368.142
2.075 423.446
1994 1.576 202.547
1997 2.286 437.681
1998 2.377 2.989.549
Sumber: Statistik Peternakan (1999).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Tabel 5. Jumlah antibakteri untuk ternak di negara Eropa tahun 1997. Jenis antibakteri
Kebutuhan (t)
β lactames Tetracyclin Macrolides Aminoglycoside Fluoroquinolones Trimethoprim/Sulphonamides Others
322 2.294 424 154 43 75 182
Sumber: Boatman (1998).
dilaporkan (Poeloengan et al., 1996; Rompis, 1996; Soeripto, 1995b; Sri Purnomo et al., 1992; Supar et al.,1990; Wahyuwardani dan Soeripto, 1998). Di
negara-negara Eropa, monitoring penggunaan antibakteri dalam ransum pakan telah dilakukan secara rutin, dan antibakteri yang memberikan dampak negatif dilarang untuk digunakan atau dan diedarkan (Tabel 7). Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin (Levy et al., 1976a, 1976b) di mana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa (Tabel 5). Pelarangan tersebut berlanjut sampai saat ini. Sebenarnya masalah resistensi bakteri sudah terjadi sejak lama, hanya perhatian terhadap efek resistensi belum begitu besar pada saat itu. Flemming pada tahun 1928 adalah orang pertama yang
Tabel 6. Jenis antibiotik yang digunakan dalam ransum pakan di Indonesia. Jenis antibiotik Avilamycin Avoparcin Bacitracin Enramycin Flavomycin Hygromycin B Kitysamycin Colistin sulfate Lasalocid Lincomycin HCl Maduramycin Monensin (natrium) Naracin Nystatin Salinomycin (Na) Spiramycin (embonate) Tiamulin hydrofum Tylosin Virginiamycin
Untuk ternak Ayam potong, babi Ayam (potong + petelur), babi, sapi Ayam (potong + petelur), babi Ayam (potong + petelur), babi Ayam potong Ayam (potong + petelur), babi, sapi Ayam (potong + petelur), babi Ayam (potong + petelur), babi, sapi Ayam potong Ayam potong Ayam potong Ayam (potong + petelur), sapi potong Ayam potong Ayam (potong + petelur) Ayam potong, Ayam petelur Ayam (potong + petelur), anak babi, sapi Babi Ayam petelur, babi Ayam (potong + petelur), babi
Tujuan Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Antiparasit Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Koksidiostat Perangsang pertumbuhan Koksidiostat Koksidiostat Koksidiostat Anti jamur Koksidiostat Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Perangsang pertumbuhan Perangsang produksi
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (1991).
Tabel 7. Jenis antibiotik yang digunakan di negara-negara Eropa dan status penggunaannya. Jenis antibiotik
Kelas
Status penggunaan
Olaquinodix Zn-Bacitracin Flavomycin Monensin, Salinomycin Tylosin Virginiamycin Avoparcin Avilamycin
Quinoxaline Polypeptide Phosphoglycolipid Ionophore Macrolide Streptogramin Glycopeptide Oligosaccharide
Stop mulai Juli 1999 Stop mulai Januari 1999 Masih digunakan Masih digunakan Stop mulai Januari 1999 Stop mulai Januari 1999 Stop mulai April 1997 Masih digunakan
Sumber: Witte et al. (2000).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
mengetahui bahwa bakteri S. aureus resisten terhadap penisilin. Selanjutnya beberapa peneliti (Tabel 8) menemukan resistensi bakteri lainnya terhadap beberapa antibakteri (Witte, 2000). Pada saat itu, untuk mengetahui resistensi tidak saja didasarkan atas uji hambatan pertumbuhan di laboratorium, tetapi ditandai juga dengan adanya perubahan cara pengobatan, yang semula hanya dengan sulfonamides kemudian harus menggunakan kombinasi beberapa obat dan akhirnya harus dengan obat yang lebih paten. Perubahan pengobatan akibat resistensi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9. Penyebaran resistensi dapat terjadi secara transfer genetik. Watanabe (1963) adalah orang pertama yang menemukan transfer genetik antara strain Shigella sp., kemudian diteruskan oleh Falkow et al. (1966) yang menemukan transfer genetik antara strain Gram negatif yang berbeda. Terakhir transfer resistensi dapat terjadi dari satu penderita ke penderita yang lain (Williams, 2000), dan dari pangan asal ternak ke manusia (Chaslus-Dancla et al., 2000; Stobberingh dan Bogaard, 2000; Teuber dan Perreten, 2000; Wegener et al., 1999). Perubahan pengobatan tersebut dapat diartikan bahwa resistensi bakteri akan menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal serta morbiditas penyakit dan mortalitas penderita yang terkena penyakit akan meningkat. Uji resistensi bakteri terhadap antibakteri sudah dilakukan di Indonesia. Dari penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa bakteri E.coli dan Salmonella sp. yang diisolasi dari ayam, babi, dan ternak lain sudah banyak yang resisten terhadap antibakteri, tidak hanya terhadap satu antibakteri tetapi juga terhadap beberapa antibakteri (Sri Purnomo et al., 1992; Supar et al., 1990). Demikian juga bakteri Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. yang diisolasi dari kasus mastitis pada sapi, banyak yang multiresisten terhadap beberapa antibakteri (Poeloengan et al., 1996; Rompis, 1996). Resistensi Mycoplasma gallisepticum terhadap antibakteri telah dilaporkan pula oleh Soeripto (1995b) serta Wahyuwardani dan Soeripto (1998). Uji resistensi seperti ini seharusnya dapat dilakukan secara rutin oleh pemerintah baik melalui lembaga penelitian, lembaga diagnostik maupun perguruan tinggi dengan menggunakan 51
Tabel 8. Perkembangan resistensi bakteri terhadap antibakteri. Peneliti
Antibiotik resisten terhadap
Tahun
A. Flemming A. Flemming
Penicillin >< Gram negative rods (natural) Sulphanilamide >< N. gonorrhoea Benzylpenicillin >< Staphylococcal infection Penicillin, Streptomycin, Oxytetracyclin, Erythromycin >< 80/81 S. aureus Methycillin >< S. aureus Oxytetra >< Salmonella typhimurium Transferable resistance of antibiotika >< Shigella Penicillin >< Transferable resistance of Gram negative (N. gonorrhoea, H. influenzae) Glycopeptida >< enterococci Resistensi antibiotik ganda >< M. tuberculosis
1936 1936 1940 1950
M. Barber T. Watanabe S. Falkow M. Arthur J.M. Musser
1961 1963 1966 1993 1995
Sumber: Witte (2000).
Tabel 9. Perubahan pengobatan akibat resistensi bakteri. Jenis infeksi Infeksi saluran kencing Infeksi kandung empedu Infeksi Shigella Infeksi Salmonella Infeksi Staphylococcus
Perubahan pengobatan Sulfonamides (1940−1970) > trimethoprim/sulphonamide (1970−1987/88) > fluoroquinolones (dari 1987/88). Ampicillin (1962−1978) > generasi ke 2 dan 3 cephalosporin (dari 1978 ). Tetracyclin (1955) > trimethoprim/sulphonamide (1970−1987/88) > fluoroquinolones (dari 1987/88). Ampicillin (1961−1987/88) > fluoroquinolones (dari 1987/88). Penicillin (1942−1963) > isoxazolyl penicillin dan cephalo sporins generasi 1 (1963−1990) > glycopeptida (dari 1990)
Sumber: Witte (2000).
isolat lapang yang baru agar dapat diketahui perkembangan resistensi bakteri terhadap antibakteri setiap tahunnya. Hasil uji resistensi secara rutin akan memberikan andil besar terhadap perkembangan kesehatan masyarakat maupun ternak di Indonesia.
RESIDU ANTIBAKTERI Antibakteri yang ada dalam ransum pakan selain menimbulkan resistensi juga akan meninggalkan residu dalam produk ternak. Residu antibakteri pada produk ternak, selain bersumber dari pakan tambahan dalam ransum pakan, juga karena produk berasal dari ternak yang masih dalam fase pengobatan atau waktu henti obat belum berakhir. Hasil pemeriksaan susu yang dijual di tingkat 52
peternak atau pengumpul di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memperlihatkan adanya residu antibakteri (Bahri et al., 1990a, 1990b; Soeripto, 1995a; Sudarwanto, 1990). Selain pada susu, pemeriksaan residu antibiotik juga dilakukan pada daging dan hati sapi, daging dan telur ayam. Hasilnya menunjukkan, produk ternak yang dijual di pasar tersebut juga masih menyisakan residu antibiotik (Indrawani, 1987; Noor et al., 1992; Rukmana et al., 1985; Siregar, 1990; Susapto, 1992; Yuningsih et al., 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa kepedulian peternak terhadap kesehatan lebih rendah dibanding dengan kebutuhan konsumtif yang lebih mendesak. Residu antibiotik dalam air susu tidak hanya ditemukan di Indonesia tetapi juga di luar negeri (Gavalov et al., 1987; Kaneene dan Ahl, 1987; Seymour et al.,
1988). Adanya residu antibiotik pada produk ternak dapat merugikan industri pengolahan susu (Bishop dan White, 1984) dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen (Gavalov et al, 1987).
VAKSIN BAKTERI DAN APLIKASINYA Pencegahan atau pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi. Pemberian vaksin pada prinsipnya dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid clostridium (Soeripto, 2001). Pencegahan dengan vaksinasi akan memberikan dampak yang lebih baik daripada dengan kemoterapi, karena tidak menimbulkan resistensi dan tidak akan meninggalkan residu pada produk ternak. Kaji ulang mengenai vaksin bakteri pada ternak pernah diinformasikan oleh De Ree (1997); Soeripto (2001); Walker (1997). Pengembangan vaksin bakteri untuk ternak diharapkan dapat memenuhi kriteria yang tidak memberatkan peternak khususnya nilai ekonomi, karena hal ini berkaitan erat dengan nilai jual ternak. Secara teknis vaksin harus memenuhi kriteria dapat memberikan perlindungan semaksimal mungkin terhadap ternak yang divaksin dan terhadap fetus melalui "maternal immunity", tidak menimbulkan sakit jika diaplikasikan dan cara pemberiannya mudah serta tidak berulangulang agar dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya, serta tidak menimbulkan stres berulang pada ternak. Vaksinasi dapat menggunakan vaksin aktif dan inaktif. Vaksin aktif untuk bakteri yang sudah digunakan di Indonesia baru dua macam, yaitu vaksin antraks dan vaksin brucella (Direktorat Kesehatan Hewan, 2000). Kedua vaksin tersebut dapat memberikan proteksi terhadap penyebaran penyakit. Hal ini karena antibiotik tidak saja sulit memberikan proteksi terhadap penyakit antraks dan brucelosis, tetapi untuk menyembuhkan penyakit saja efikasi antibiotik masih dipertanyakan. Jika kedua vaksin ini dapat diberikan secara teratur kepada semua ternak yang sensitif terhadap penyakit antraks dan brucelosis, dapat dipastikan bahwa wabah kedua penyakit tersebut akan menurun dan Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
mengobati ternak yang sudah sakit. Umumnya pengobatan tidak bisa mengembalikan kondisi ternak seperti semula sehingga tingkat produksi baik berat badan maupun produksi telur tidak dapat mencapai puncaknya. Beberapa vaksin inaktif untuk unggas dan nonunggas dapat dilihat pada Tabel 10a dan 10b. Vaksinasi ayam induk dan petelur dengan vaksin coryza pada waktu ayam masih muda (ayam dara) melalui intramuskular, dan dibooster 4 minggu kemudian dapat memberikan perlindungan yang baik (McFeran, 1997). Soeripto (1994) melaporkan bahwa vaksin kombinasi M. gallisepticum dan E. coli dapat melindungi ayam dari serangan penyakit dan meningkatkan berat badan. Di Norwegia pada tahun 1980−1988, 50 ton antibiotik yang terdiri dari oxytetracyclin, furazolidon, sulphadiazine dan trimethoprim digunakan setiap tahun untuk mengontrol penyakit vibriosis pada ikan. Pada tahun 1990, untuk mengontrol Aeromonas salmonicida pada ikan digunakan 30 ton quinolones (Sorum, 2000). Di sini terlihat bahwa obat yang digunakan sudah berubah, dari tetracyclin dan β-lactams menjadi preparat
diharapkan akan menghilang dalam kurun waktu tertentu. Contoh pada kasus antraks yang terjadi pada burung unta beberapa waktu yang lalu di daerah Purwakarta Jawa Barat merupakan bukti kelalaian pemberian vaksin antraks di daerah endemik antraks yang mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar karena matinya ribuan ekor burung unta yang sudah tidak bisa diobati kembali. Selain terjadi pada hewan, infeksinya juga menular ke manusia yang memakan daging tersebut. Vaksin hidup Mycoplasma gallisepticum untuk pencegahan "Chronic Respiratory Disease" (CRD) pada ayam sudah dikembangkan (Soeripto dan Whithear, 1996a, 1996b; Whithear et al., 1990a, 1990b) dan sudah beredar di beberapa negara, tetapi belum digunakan di Indonesia. Vaksin ini dapat memberikan proteksi maksimum terhadap serangan CRD dan penurunan produksi telur, sehingga penggunaan antibiotik untuk pencegahan CRD dapat dikurangi semaksimal mungkin atau dihilangkan. Vaksin inaktif sekalipun tingkat proteksinya lebih pendek dari vaksin hidup, masih lebih baik dibanding dengan
Tabel 10a. Vaksin inaktif pada unggas yang beredar di Indonesia. Jenis penyakit
Isolat yang digunakan
Isolat kombinasi
Jumlah
Penyakit snot Penyakit snot Penyakit snot Penyakit snot Kolera unggas Kolera unggas Kolibasilosis Kolibasilosis
Haemophilus paragallinarum Haemophilus paragallinarum Haemophilus paragallinarum Haemophilus paragallinarum Pasteurella multocida Pasteurella multocida Escherichia coli Escherichia coli
Tidak ada Serotip A dan C Serotip A, B, dan C ND, Adeno dll Tidak ada Serotip 1, 3, dan 4 01, 02, 078 F11
3 11 3 2 1 1 1 1
Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan Indonesia (2000).
Tabel 10b. Vaksin inaktif pada nonunggas yang beredar di Indonesia. Jenis penyakit Influenza Ngorok Erysipelosis Kolibasilosis Kolibasilosis Leptospirosis
Isolat yang digunakan Haemophilus parasuis Pasteurella multocida Erysipelothrix rhusiopathiae Escherichia coli Escherichia coli Leptospira spp.
Isolat kombinasi
Ternak
Tidak ada Tidak ada 3461 dan AN-4
1 1 1
Babi Sapi, kerbau Babi
Tidak ada K88, K99, 987P, dan F41 Canicola. pomona, grippotyphosa, ichterohaemorragie
2 1 1
Babi, sapi Babi Babi
Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan Indonesia (2000).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Jumlah
quinolones seperti yang diuraikan oleh Witte (2000) tentang pengobatan infeksi Shigella sp. yang berubah dari tetracyclin pada tahun 1955 menjadi fluoroquinolones pada tahun 1987/88. Setelah diketahui adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik dan penggunaan antibiotik sudah berlebihan, maka program pencegahan penyakit ikan di Norwegia berubah dari penggunaan antibiotik menjadi pencegahan dengan vaksinasi. Pada tahun 1988 diaplikasikan vaksin vibrio dan pada tahun 1993 vaksin A. salmonicida. Vaksinasi dengan kedua vaksin tersebut memberikan dampak yang luar biasa di mana wabah penyakit vibriosis dan furunculosis menurun dan penggunaan antibiotik yang semula mencapai puluhan ton per tahun menjadi hanya beberapa ratus kilogram saja (Markedstat dan Grave, 1997).
KESIMPULAN DAN SARAN Bakteri merupakan agen penyakit yang dapat menurunkan kesehatan, produksi, dan produktivitas serta menyebabkan kematian ternak. Penemuan antibakteri untuk mengobati penyakit bakterial merupakan awal dari modernisasi ilmu kedokteran. Sejak antibakteri ditemukan, kejadian penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri menurun, meskipun persentasenya relatif masih tinggi di negara-negara sedang berkembang. Pada awalnya antibakteri digunakan untuk pengobatan, tetapi kemudian berkembang luas menjadi substansi yang digunakan untuk pencegahan penyakit, peningkatan produksi dan produktivitas ternak. Resistensi bakteri terjadi setelah adanya akumulasi antibakteri yang sama secara terus menerus. Penyebaran resistensi bakteri dapat terjadi secara genetik dari penderita ke penderita, dan dari bahan pangan asal ternak ke manusia. Peningkatan resistensi dapat menyulitkan pengobatan sehingga morbiditas dan mortalitas penyakit serta biaya pengobatan meningkat. Residu antibakteri pada produk ternak dapat terjadi apabila antibakteri diberikan secara terus menerus dan tidak memperhatikan waktu henti obat. Residu antibakteri dapat membahayakan kesehatan konsumen dan akan menyulitkan industri pengolahan susu. 53
Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit, dan merupakan upaya yang efektif untuk menghindarkan diri dari residu antibakteri dan resistensi bakteri. Dari kesimpulan di atas dapat diajukan beberapa saran yaitu: 1) monitoring resistensi bakteri harus dilakukan secara rutin agar resistensi dapat diketahui sedini mungkin, misal setahun sekali, 2) penggunaan antibakteri pada ternak hendaknya dengan se-
pengetahuan dokter hewan agar dapat tepat dosis dan tepat sasaran, 3) antibiotik yang digunakan untuk manusia sedapat mungkin tidak digunakan untuk perangsang pertumbuhan atau peningkatan produksi pada ternak atau ikan agar tidak terjadi transfer resistensi, 4) pendekatan konsep kesehatan hewan sebaiknya lebih ditekankan melalui vaksinasi karena hasilnya lebih baik daripada kemoterapi, tidak akan
meninggalkan residu antibakteri pada produk ternak dan tidak menyebabkan resistensi bakteri.
Organization of the United Nations, Rome. pp. 273−276.
Kaneene, J.B. and A. Ahl. 1987. Drug residues in dairy cattle industry: Epidemiological evaluation of factors influencing their occurence. J. Dairy Sci. 70: 2.176−2.180.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Zakiah Muhajan pustakawan di Balai Penelitian Veteriner dan asistennya.
DAFTAR PUSTAKA Aarestrup, F.M. and A.M. Seyfarth. 2000. Effect of intervention on the occurrence of antimicrobial resistance. Acta Vet. Scand. suppl. 93: 99−100. Alexander, F. 1985. Chemotheraphy drug resistance In An Introduction to Veterinary Pharmacology. Fourth Edition. Longman, London and New York. pp. 289−295. Amara, A., Z. Ziani, and K. Bouzoubaa. 1995. Antibiotic resistance of Escherichia coli strains isolated in Morocco from chickens with colibacillosis. Vet. Microbiol. 43(4): 325−330. Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B. Murdiati. 1990a. Residu tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin pada susu segar asal beberapa dati II di Jawa Tengah. Laporan Internal Balitvet. (Tidak dipublikasikan). hlm. 1−20. Bahri, S., T.B. Murdiati, R. Maryam, dan Yuningsih. 1990b. Senyawa golongan tetrasiklin pada susu sapi rakyat di beberapa desa Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Laporan Internal Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Bishop, J.R. and C.H. White. 1984. Antibiotic residue detection in milk - A review. J. Food Protect. 47: 647−652. Boatman, M. 1998. Survey of antimicrobial usage in animal health in the European Union. Boatman Consulting by order of Fedesa. Chaslus-Dancla, E., J.P. Lavons, and J.L. Martel. 2000. Spread of resistance from food animals to man: the French Experience. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 53−61. Cicek, A. and K. Kovarik. 1994. Antibiotic resistance in Salmonella typhimurium and S. enteritidis strains isolated from poultry in the Czech Republic in 1991−1992. Vet. Medicina 39(9): 551−557. De Ree, H. 1997. Bacterial vaccines In Vaccine Manual. The production and quality control of Veterinary vaccines for use in developing countries. Edit. By N. Mowat and M. Rweyemamu. Food and Agriculture
54
Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Ringkasan imbuhan pakan (Feed additive) untuk hewan. Edisi II. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Direktorat Kesehatan Hewan. 2000. Indeks Obat Hewan Indonesia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Assosiasi Obat Hewan Indonesia, Jakarta. 264 hlm. Falkow, S., R.V. Citarella, J.A. Wohlhieter, and T. Watanabe. 1966. The molecular structure of R-factors. J. Mol. Biol. 17: 102−109. Fenner, F., P.P. Pastoret, J. Blancou, and J. Terre. 1999. Historical introduction In Veterinary Vaccinology. 2 nd edition. Edit by P.P. Pastoret, J. Blancou, P. Vannier and C. Verschueren. Chapter 1 Elsevier, Amsterdam. pp. 4−19. Franklin, A. 1999. Current status of antibiotic resistance in animal production. Acta Vet. Scand. Suppl. 92: 23−28. Gavalov, S.M., A.B. Petrova, and L.N. Skuchalina. 1987. Allergy to antibiotics in newborn and nursing infants. Antibiotika Meditsinskaya Bioteknologiya 31: 698−702. Grave, K. 1991. Utilization of antibacterial drugs in salmonid farming in Norway during 1980− 1988. Aquaculture 86: 347−358. Greko, C. 1999. Antibiotics as Growth Promoters. Acta Vet. Scand. Suppl. 92: 87− 100.
Levy, S.B., G.B. Fitzgerald, and A.B. Macone. 1976a. Spread of antibiotic resistance plasmids from chicken to chicken and from chicken to man. Nature 260: 40. Levy, S.B., G.B. Fitzgerald, and A.B. Macone. 1976b. Changes in intestinal flora of farm personnel after introduction of tetracyclin supplemented feed on a farm. New Engl. J. Med. 295: 583−588. Markedstat, A. and Grave, K. 1997. Reduction of antibacterial drug use in Norwegian fish farming due to vaccination. Dev. Biol. Stand. 90: 365−369. McFeran, J.B. 1997. Conventional vaccines In Vaccine Manual. The Production and Quality Control of Veterinary Vaccines for Use in Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. pp.113−122. Noor, M.A.R., S.B. Siregar, U. Patriana, dan F.S. Tjaturrasa. 1992. Residu pada bahan makanan asal hewan. Manual Kesmavet. Pedoman Pembinaan Kesmavet. (41): 25− 44. Pereira, M.S.V. and J.P. Siquiera Jr. 1995. Antimicrobial drug resistance in Staphylococcus aureus isolated from cattle in Brazil. Letters in Applied Microbiol. 20: 391−395.
Hunter, J.F.B., M. Bennett, C.A. Hart, I.C. Shelley, and J.R. Walton. 1994. Apramycin resistant Esherichia coli isolated from pigs and a stockman. Epid. and Infect. 112(3): 473−480.
Poeloengan, M., A. Sudibyo, dan S. Bahri. 1996. Identifikasi bakteria penyebab mastitis di beberapa lokasi di Jawa Timur dan Jawa Barat dan uji sensitivitas antibiotika pada bakteria tersebut. Lokakarya Mastitis dan Manajemen Kesehatan Ambing Sapi Perah. 8−10 Oktober 1996 di Lembang, Bandung. hlm. 1−12.
Indrawani, I.M. 1987. Kajian terhadap beberapa antibiotika sebagai feed additive dalam ransum ayam broiler. Thesis S-2. Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm. 1−84.
Rompis, A.L.T. 1996. Tinjauan umum mikrobiologi mastitis di Indonesia. Lokakarya Mastitis dan Manajemen Kesehatan Ambing Sapi Perah. 8−10 Oktober 1996 di Lembang, Bandung. 1 hlm.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Rukmana, M.P., K. Sulaeman, M.E. Sjaefudin, dan D. Setyamulyadi. 1985. Residu antibiotika dalam telur ayam. Medika 3: 242−246. Semjen, G. 2000. The effects of intervention on antimicrobial resistance. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 105−110. Seymour, E.H., G.M. Jones, and M.L. McGilliard. 1988. Persistence of residues in milk following antibiotic treatment of dairy cattle. J. Dairy Sci. 71: 2.292−2.296. Siregar, S.B. 1990. Residu antibiotika dalam daging. Kumpulan Makalah Seminar Nasional. Penggunaan Antibiotika Dalam Bidang Kedokteran Hewan. Jakarta 9 Januari 1990. pp. 55−62. Skold, O. 2000. Evaluation and mechanisms for spread of antimicrobial resistance. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 23−32. Soeripto. 1994. Vaksin Mycoli untuk penanggulangan penyakit pernafasan menahun pada ayam. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 16(3): 3.
old chickens. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Bogor, 12−13 Maret 1996. hlm. 184−189. Soeripto. 2001. Vaksin bakteri untuk ternak. Infovet Edisi 083: 40−41. Sorum, H. 2000. Farming of Atlantic salmon an experience from Norway. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 129−134. Sri Purnomo, Sutarma, Jaenuri, dan Iskandar. 1992. Kolibasilosis pada unggas di Indonesia: II. Uji kepekaan Escherichia coli asal peternakan ayam di beberapa wilayah Jawa dan Bali terhadap beberapa antibiotika. Penyakit Hewan Edisi Khusus 24: 39−43. Statistik Peternakan. 1999. Jumlah Perusahaan obat hewan, Jenis obat hewan, Bahan Biologik dan Nilai peredaran obat hewan tahun 1994−1998. hlm. 72. Stobberingh, E. and A.E. Van Den Bogaard. 2000. Spread of antibiotic resistance from food animals to man. Acta Vet. Scand. Suppl 93: 47−52.
Wahyuwardani, S. dan Soeripto. 1998. Kepekaan beberapa isolat Mycoplasma gallisepticum terhadap antibiotika. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 3(1): 47−51. Walker, P.D. 1997. Bacterial vaccines In Vaccine Manual. The Production and Quality Control of Veterinary Vaccines for Use in Developing Countries. Edit. By N. Mowat and M. Rweyemamu. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, pp. 45−62. Watanabe, T. 1963. Infective heredity of multiple drug resistance in bacteria. Bacteriol. Rev. 27: 87−132. Wegener, H.C., F.M. Aarestrup, P. Gerner-Smidt, and F. Bager. 1999. Transfer of Antibiotic Resistant Bacteria from Animals to man. Acta Vet. Scand. Suppl. 92: 51−57. Whithear, K.G., Soeripto, and E. Ghiocas. 1990a. Efficacy of the TS-11 attenuated Mycoplasma gallisepticum vaccine. IOM Letters 1: 361−362. Whithear, K.G., Soeripto, K.E. Harrigan, and E. Ghiocas. 1990b. Safety of temperature sensitive mutant Mycoplasma gallisepticum vaccine. Aust. Vet. J. 67: 159−165.
Soeripto. 1995a. Bacillus stearothermophilus disk assay for detection of antibiotic residues in dairy milk. Bulletin Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. 14: 37− 45.
Sudarwanto, M. 1990. Residu antibiotika di dalam air susu ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner. Kumpulan Makalah Seminar Nasional. Penggunaan Antibiotika Dalam Bidang Kedokteran Hewan. Jakarta 9 Januari 1990. pp. 43−54.
Soeripto. 1995b. In-vitro evaluation of various antimicrobial agents some local strains of Mycoplasma gallisepticum by microbroth, and comparison with an agar method. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 3: 48−53.
Supar, R.G. Hirst, and B.E. Patten. 1990. Antimicrobial drug resistance in entero toxigenic Escherichia coli K88, K99, F41, and 987P isolated from piglets in Indonesia. Penyakit Hewan 22: 13−19.
Soeripto. 1996. Resistance patern of microbial agents in the livestock produksi. IARD Journal 18(4): 77−85.
Susapto, F.X. 1992. Residu Obat Hewan Dalam Produk Ternak. Infovet. 3: 28−31.
Witte, W., H. Tschape, I. Clare, and G.Werner. 2000. Antibiotics in animal feed. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 37− 45.
Teuber, M. and V. Perreten. 2000. Role of milk and meat products as vechicles for antibiotic resistant bacteria. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 75−87.
World Health Organization. 1998. Reports on infectious diseases: Removing obstacles to healthy development. http://www.who.int/ infectious-diseases-report.
Tollefson, L., P.J. Fedorka-Cray, and F.J. Angulo. 1999. Public health aspects of antibiotic resistance monitoring in the USA. Acta Vet. Scand. Suppl. 92: 67−75.
Yuningsih, R. Widiastuti, T.B. Murdiati, dan Yusrini. 2000. Deteksi residu antibiotika Penisilin-G pada daging dan hati. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Puslitbangnak, Bogor pp. 572−577.
Soeripto and K.G. Whithear. 1996a. The virulence of 4 TS-mutant of Mycoplasma gallisepticum strains in two week-old chickens. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Bogor, 12−13 Maret 1996. hlm. 178−183. Soeripto and K.G. Whithear. 1996b. Immunogenicity of TS-11 mutant of Mycoplasma gallisepticum strain in two week
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Williams, R. 2000. The impact of antimicrobial resistance. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 17− 21. Witte. W. 2000. Antimicrobial theraphy in a historical perspective. Acta Vet. Scand. Suppl. 93: 7−16.
55