Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Pendekatan Inkuiri Moral Sebagai Alternatif Metode Pendidikan Karakter Siswa Di SMP Sri Muryati FIPS IKIP Veteran Semarang Email:
[email protected] ABSTRAK Kemerosotan moral bangsa sebagaimana terlihat dalam kehidupan masyarakat, diyakini karena hilangnya nilai-nilai karakter yang di masa lalu dikenal santun dan beradab. Kondisi menjadi keprihatinan bersama dikalangan para pendidik dan juga orang tua. Perubahan perilaku anak-anak muda yang cenderung bebas tanpa dilandasi nilai-nilai moral, berdampak negatif bagi tumbuhnya perilaku kekerasan dan budaya permisif yang semakin parah. Melihat kenyataan ini, dunia pendidikan diharapkan menjadi institusi yang mampu menghidupkan nilai-nilai karakter bangsa tersebut melalui transformasi pendidikan yang diselenggarakannya. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi konsep pendidikan karakter secara universal dan sekaligus menganalisis peluang penggunaan pendekatan inkuiri moral sebagai alternatif metode dalam pendidikan karakter bagi siswa didik. Kata Kunci : Inkuiri, Moral, Karakter, Siswa, Pendidikan.
PENDAHULUAN Dinamika perkembangan masyarakat berjalan sedemikian cepat, seiring dengan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini ditopang oleh sistem politik Negara yang mengalami perubahan fundamental, dari otoritarian menjadi demokratis. Dalam sistem demokrasi, keterbukaan dan partisipasi menjadi ciri dominan dalam kehidupan masyarakat. Keterbukaan informasi melalui jejaring tenologi telekomunikasi, menjadikan arus informasi, budaya dan pola hidup masyarakat dari berbagai penjuru dunia, tidak bisa dibendung. Fenomena tersebut merupakan efek domino dari globalisasi yang penuh dengan tantangan. Bangsa Indonesia menghadapi tantangan untuk mempertahankan jati diri, tradisi kearifan lokal, perkembangan lingkungan strategis global untuk mewujudkan cita-cita nasional (Amin, 2011:3; Zuriah, 2008:10). Dalam situasi yang demikian, masyarakat dikagetkan oleh berubahnya sikap dan perilaku anak-anak bangsa yang dalam pandangan para orang tua dan pendidik tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai karakter adiluhung yang selama ini ditanamkan oleh orang-orang tua di masa lalu. Kesenjangan moralitas tersebut, tidak saja melahirkan kekagetan budaya (shock culture), melainkan juga persoalan sosial dan karakter bangsa yang mengalami goncangan. Namun, menurut Mu’in (2011:8), kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem politik Orde Baru yang bersifat represif. Pada masa itu, didoktrinkan bahwa waktak bangsa Indonesia adalah ―bangsa yang ramah‖. [Tetapi], sulit dibedakan antara ―ramah‖, ―sopan‖, dengan penakut, ―nrimo‖, tak berani bersikap (tak punya karakter, taka da respons MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
1
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
terhadap sebuah rangsangan yang ada atau situasi yang ada). Bahkan, menurut Mu’in atribusi yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, punya tepa slira, sederhana, dan lain-lain—itu semua adalah doktrin kekuasaan yang dicekokkan. Pandanga Mu’in tersebut dalam beberapa hal memang ada benarnya, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana memperkuat nilai-nilai karakter bangsa yang selama ini terpatri kuat dalam ideologi Negara Pancasila—yang digali dari akar budaya bangsa ini. Upaya transformative nilai-nilai karakter bangsa tersebut selama ini dilakukan melalui jalur pendidikan keluarga dalam arti praktis dan pendidikan formal di sekolah. Seiring dengan terjadinya pola kehidupan rumah tangga, dimana tuntutan ekonomi keluarga yang demikian tinggi—menyebabkan orang tua harus meninggalkan rumah untuk mencari nafkah. Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu untuk mendidik karakter anak, sehingga anak-anak mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungannya dibandingkan dengan keluarga. Menyikapi situasi tersebut, pemerintah secara formal mewajibkan institusi pendidikan untuk mengambil alih tugas pendidikan karakter tersebut bagi siswa didiknya. Hal itu secara implisit dituangkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025), dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Nasional (Amin, 2011:3). Dalam konteks itu, pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan (Ramly, 2011:i). Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilainilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Ramly, 2011:1). Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010) disebutkan: pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
2
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek ―pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga ―merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan (Ramly, 2011: 1). Terkait dengan hal itu, maka posisi guru dalam mengajarkan pendidikan karakter sangat strategis dalam membangun kepribadian siswa menjadi generasi muda yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara intelektual, namun juga kebaikan karakter sosial, moral dan agama. Hanya saja, sebagian guru ada yang berpandangan dikotomis, bahwa pendidikan karakter hanya menjadi tanggungjawab guru pengampu terkait saja. Selain itu, sebagian guru juga mengalami kesulitan dalam menerapkan metode pendidikan karakter yang tepat. PEMBAHASAN A. Universalitas Konsep Pendidikan Karakter Pembangunan karakter merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk
menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Menyadari kondisi karakter masyarakat saat ini, pemerintah mengambil inisatif untuk mengarusutamakan pembangunan karakter bangsa. Hal itu tercermin dalam Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
Nasional
Tahun
2005-2025,
yang
menempatkan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional.
Dalam berbagai kesempatan Presiden
Republik Indonesia juga mengemukakan pentingnya pembangunan watak (character building), karena kita ingin membangun manusia yang berakhlak, berbudi pekerti dan berperilaku baik. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
3
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan, bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Selanjutnya, tujuan dan fungsi pendidikan nasional, dijabarkan dalam Pasal 3 yang menyebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat (Sudrajat, 2010; Suyanto, 2010). Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
4
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut: 1)
Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2)
Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3)
Menunjukkan sikap percaya diri;
4)
Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5)
Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6)
Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7)
Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8)
Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9)
Menunjukkan
kemampuan
menganalisis
dan
memecahkan
masalah
dalam
kehidupan sehari-hari; 10) Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11) Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 12) Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 13) Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14) Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 15) Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik; 16) Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 17) Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat; 18) Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; 19) Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 20) Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 21) Memiliki jiwa kewirausahaan. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
5
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Suyanto (2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Menurut Suyanto (2010), terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilainilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat
dan
santun;
kelima,
dermawan,
suka
tolong-menolong
dan
gotong
royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan. Gagasan yang luhur tersebut, disinyalir oleh sebagian kalangan sangat strategis dihidupkan kembali di sekolah-sekolah untuk memperbaiki kondisi bangsa yang sedang mengalami ―kebangkrutan moral‖ dan berkembangnya kekerasan di masyarakat. Kondisi tersebut sangat terkait dengan lemahnya pendidikan karakter di Sekolah. Bahkan, sebagian masyarakat mensinyalir bahwa kegagalan pendidikan karakter di sekolah terkait dengan peran guru yang kurang maksimal. Penilain tersebut setidaknya terlihat dari pandangan wakil menteri pendidikan, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim, menyatakan pelaksanaan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
6
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
pendidikan karakter di sekolah masih terkendala guru. Kasim menilai bahwa guru belum memahami bagaimana mengintegrasikannya dalam mata pelajaran. Menurut Musliar (Republika, 20/1/2012): "Pertanyaan yang sering mengemuka adalah bagaimana penerapannya dalam bidang studi. Padahal, tidak akan ada mata pelajaran khusus mengenai hal itu. Karena, hal yang lebih ditekankan adalah bagaimana guru memberikan keteladanan kepada siswa,". Musliar mengatakan ada guru yang membayangkan ketika hendak
memasukkan
pendidikan karakter
pada
satuan
pendidikan. Guru tersebut membayangkan bakal ada kurikulum baru yang harus dibuat terkait pendidikan karakter. Dalam pandangan Musliar, penerapan pendidikan karakter tidak perlu kurikulum baru karena sifat-sifat yang hendak dibentuk pada siswa tidak dapat dijadikan mata pelajaran. Musliar mencontohkan pendidikan karakter menanamkan sikap kejujuran. Ketika ada siswa yang membuat pekerjaan rumah dengan menyontek siswa lain, hal itu harus diluruskan oleh guru dengan memberi pemahaman yang benar. Menurutnya, pemahaman yang harus ditanamkan adalah lebih baik siswa tersebut tidak membuat pekerjaan rumah karena tidak mampu mengerjakan daripada harus mencontek punya orang lain. Sementara itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Khairil Anwar Notodipuro (Kompas, 12/12/2011), ada tiga hal yang menjadi perhatian terkait upaya menanamkan pendidikan karakter bagi para siswa didik di sekolah, yakni: Pertama, kesadaran jika perubahan dan pembentukan karakter tidak bisa dilakukan dalam waktu sesaat. Kedua, minimnya waktu belajar siswa di sekolah-sekolah. Ketiga jangan menyimpulkan gagalnya pendidikan karakter karena sebuah kasus. B. Berbagai Metode Pendidikan Karakter Pasal 3 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak
serta
peradaban
bangsa
yang
bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu program utama Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan mutu proses dan output pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah pengembangan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada saat ini, setidak-tidaknya sudah ada dua mata pelajaran yang diberikan untuk membina akhlak dan budi pekerti peserta didik, yaitu Pendidikan Agama MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
7
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
dan PKn. Namun demikian, pembinaan watak melalui kedua mata pelajaran tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama, kedua mata pelajaran tersebut cenderung baru membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui materi/substansi mata pelajaran. Kedua, kegiatan pembelajaran pada kedua mata pelajaran tersebut pada umumnya belum secara memadai mendorong terinternalisasinya nilai-nilai oleh masing-masing siswa sehingga siswa berperilaku dengan karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak siswa melalui kedua mata pelajaran itu saja tidak cukup. Pengembangan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih banyak lagi mata pelajaran, bahkan semua mata pelajaran. Selain itu, kegiatan pembinaan kesiswaan dan pengelolaan sekolah dari hari ke hari perlu juga dirancang dan dilaksanakan untuk mendukung pendidikan karakter. Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas pembelajaran di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. Kedua, Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan kesiswaan. Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah. Ketiga, Pelaksanaan pendidikan karakter secara terpadu di dalam semua mata pelajaran (sebagaimana dimaksud oleh butir 1 di atas) merupakan hal yang baru bagi sebagain besar SMP di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka membina pelaksanaan pendidikan karakter secara terpadu di dalam seluruh mata pelajaran, perlu disusun panduan pelaksanaan pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam pembelajaran di SMP, terutama ketika guru menggunakan Buku Sekolah Elektronik (BSE). Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap perencanaan dilakukan analisis SK/KD, pengembangan silabus, penyusunan RPP, dan penyiapan bahan ajar. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diintegrasikan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di sebelah kanan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
8
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
komponen (kolom) Kompetensi Dasar. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau dirumuskan ulang menyesuaikan karakter yang hendak dikembangkan. Dalam kegitan pembelajaran bukan dicantumkan nilai karakternya akan tetapi diskripsi dari nilai karakter tersebut. Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran dilakukan dengan cara merevisi
RPP
yang
telah
ada.
Pertama-tama
rumusan
tujuan
pembelajaran
direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga karakter, dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter. Pendekatan/metode pendekatan/metode
yang
pembelajaran dipilih
selain
diubah memfasilitasi
(bila
diperlukan)
peserta
didik
agar
mencapai
pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter. Ketiga, langkah-langkah pembelajaran direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi dan/atau ditambah agar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran aktif yang selama ini digalakkan aplikasinya oleh Direktorat PSMP sangat efektif mengembangkan karakter peserta didik. Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan karakter adalah observasi, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai dinyatakan secara kualitatif, misalnya:
1) BT: Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator). 2) MT: Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tandatanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten). MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
9
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
3) MB: Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten). 4) MK:
Membudaya
(apabila
peserta
didik
terus
menerus
memperlihatkan
perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten). Bahan ajar disiapkan. Bahan dan buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti. Melalui program Buku Sekolah Elektronik atau buku murah, dewasa ini pemerintah telah membeli hak cipta sejumlah buku ajar dari hampir semua mata pelajaran yang telah memenuhi kelayakan pemakaian berdasarkan penilaian BSNP dari para penulis/penerbit. Guru wajib menggunakan bukubuku tersebut dalam proses pembelajaran. Walaupun buku-buku tersebut telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan - yaitu kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika – bahan-bahan ajar tersebut masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan pembelajaran dengan berpatokan pada kegiatankegiatan pembelajaran pada buku-buku tersebut, pendidikan karakter secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang dipakai. Selain itu, adaptasi dapat dilakukan dengan merevisi substansi pembelajarannya. Sebuah kegiatan belajar (task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah: 1) Tujuan 2) Input 3) Aktivitas 4) Pengaturan (Setting) 5) Peran guru 6) Peran peserta didik Dengan
demikian,
perubahan/adaptasi
kegiatan
belajar
yang
dimaksud
menyangkut perubahan pada komponen-komponen tersebut. Secara umum, kegiatan belajar yang potensial dapat mengembangkan karakter peserta didik memenuhi prinsipprinsip atau kriteria berikut. 1) Tujuan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
10
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan kegiatan tersebut tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru perlu menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar dengan pencapaian sikap atau nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri, kerja keras, saling menghargai, dan sebagainya. 2) Input Input dapat didefinisikan sebagai bahan/rujukan sebagai titik tolak dilaksanakannya aktivitas belajar oleh peserta didik. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis, grafik, diagram, gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan sebagainya. Input yang dapat memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya menyajikan materi/pengetahuan, tetapi yang juga menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan materi/pengetahuan tersebut. 3) Aktivitas Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu peserta didik menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas-aktivitas belajar aktif yang antara lain mendorong terjadinya autonomous learning dan bersifat learner-centered. Pembelajaran yang memfasilitasi autonomous learning dan berpusat pada siswa secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai. Contohcontoh aktivitas belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen, pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan proyek. 4) Pengaturan (Setting) Pengaturan (setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan, berapa lama, apakah secara individu, berpasangan, atau dalam kelompok. Masing-masing setting berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik. Setting waktu penyelesaian tugas yang pendek (sedikit), misalnya akan menjadikan peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai waktu dengan baik. Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan siswa memperoleh kemampuan bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain.
5) Peran guru Peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
11
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
tersedia. Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien mengembangkan karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan guru berperan sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani (di belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik). 6) Peran peserta didik Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar, peran siswa biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga. Pernyataan eksplisit peran siswa pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran siswa pada kebanyakan kegiatan pembelajaran. Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi karakter, peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut antara lain sebagai partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil diskusi dan eksperimen, pelaksana proyek, dsb. Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran karena prinsipprinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik. C. Pendekatan Inquiri Moral Guidry (2008:23) dalam kajinnya menyatakan bahwa pada prinsipnya, pendekatan inkuiri moral dalam pendidikan karakter, diinspirasi dari pengalaman historis dan perkembangan kontemporer dalam pendidikan karakter—yang masih didominasi oleh pola-pola tradisional yang bersifat indoktrinal. Dalam model pendidikan karakter semacam itu, rentan terjadinya marginalisasi kelompok minoritas dan pandangan individu terhadap sebuah karakter—termasuk juga menutup inklusivitas. Oleh sebab itu, maka menurutnya ciri-ciri pendidikan karakter secara komprehensif adalah: 1.
memberikan kebebasan individual
2.
menghindarkan dari [pola] indoktrinal dan manipulasi
3.
berbasis pada bukti empiris
4.
tidak mengarah kepada relativisme
5.
berada pada konteks social
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
12
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
6.
menyatukan moral dengan kerja akademik
7.
memberikan ruang bagi keragaman
8.
menyediakan evaluasi bagi timbulnya berbagai konsekuensi
9.
menyediakan ruang rekonsiliasi terhadap keragaman
10. memberi kesimpulan secara subtantif melalui pengembangan prinsip-prinsip. Berpijak pada beberapa prinsip di atas, maka dalam mengajarkan karakter terhadap siswa yang plural dan terbuka, maka perlu melihat pendidikan karakter sebagai sebuah proses reflektif dan analisis diri (self-analytical). Secara praktis, model pendidikan karakter dengan pendekatan inkuiri moral tersebut adalah dengan mengkonfrontasikan siswa antara pengalaman historis dengan problem empiris di masyarakat yang menimbulkan dilemma moral. Ada enam langkah yang bisa dilakukan sebagai berikut (Guidry, 2008:24): 1.
mengenalkan siswa dengan sebuah kasus moral yang dilematis atau akar masalah dalam studi-studi kemasyarakatan
2.
mengarahkan siswa dalam menyusun hipotesis terhadap masalah dilemma moral tersebut
3.
meminta
siswa
untuk
mengeksplorasi
dan
mengevaluasi
bukti-bukti
untuk
mendukung hipotesis mereka 4.
meminta siswa untuk memberikan refleksi dan interpretasi terhadap berbagai bukti yang dikumpulkan
5.
mengarahkan siswa dalam mengevaluasi hipotesis mereka sampai menuju pada klaim moral tertentu
6.
mengarahkan siswa dalam menyelami permasalahan, dimana pengalaman tersebut dibawa dalam sebuah formasi nilai-nilai karakter. Keenam langkah di atas bersifat sistematis yang diberikan kepada kelompok siswa
yang terdiri dari 3-5 orang. Hasil dari masing-masing kelompok kemudian didiskusikan untuk mendapatkan kritisi antara satu dengan lainnya. Namun, semua itu harus tetap dalam kendali standar moral yang disepkati selama proses inkuiri tersebut berlangsung. PENUTUP Dalam kondisi masyarakat yang plural dan demokratis, pendidikan karakter akan bisa berjalan secara efektif manakala metode yang digunakan mampu menyesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Di era sekarang, siswa melalui kemajuan teknologi mampu menyerap banyak konsep karakter dan perilaku masyarakat yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, metode pendidikan karakter yang bersifat tradisional dan indoktrinal, tidak cukup mampu membawa pengaruh kepada siswa secara umum. Dalam konteks itu, model pendidikan karakter dengan menggunakan pendekatan inkuiri moral tampak lebih relevan. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
13
Vol : XX, No : 4, OKTOBER 2013
Hal ini diasumsikan dari beberapa hal. Pertama, model ini lebih mengapresiasi iden dan pemikiran siswa tentang suatu karakter. Melalui ekspresi pemahaman moral terhadap sebuah pengalaman empiris atau kasus-kasus konkrit dari sudut pandang siswa, maka guru akan bisa memberikan refleksi kritis secara bersamaan dengan siswa. Kedua, Metode ini tampaknya akan lebih mudah diterima siswa karena adanya proses logic dalam memaknai berbagai karakter yang ada di amasyarakat. Namun, demikian untuk mengetahui kehandalan dari metode ini perlu dilakukan kajian eksperimen di lapangan untuk mengetahui kelebihan dna kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, H. Maswardi Muhammad, 2011. Pendidikan Karakter Anak Bangsa, Jakarta: Baduose Media. Depiyanti, Oci Melisa. Model Pendidikan Karakter di Islamic Fullday School: Studi Deskriptif Pada SD Cendekia Leadership Bandung. Jurnal Tarbawi, Vol. 1 Nomor 3 September 2012. Guidry, Allen O. ―Character Education Through a Reflective Moral Inquiry: A Revised Model That Answer Old Question‖. Journal of Curriculum and Instruction (JoCI), January 2008, Volume 2 Number 1. Kompas,
Gagalnya
Pendidikan
Karakter
Kesalahan
Pendidikan?<
http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/12/10273315/Gagalnya.Pendidikan.Karakter. Kesalahan.Pendidikan> diakses tanggal 18 Februari 2012. Mohanan, K.P. 2013. Designing a Course on moral Inquiry. Mu’in, Fatchul, 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik, Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Ramly, Mansyur, 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bada Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Setiawan, Sigit, 2013. Guruku Panutanku, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Zuchdi, Darmiyati, Prasetya, Zuhdan Kun dan Masruri, Muhsinatun Siasah. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi Dalam Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Pendidikan, Vol. 1 No. 3 (2010). Zuriah, Nurul, 2008. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta: Bumi Aksara.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
14