NOTULENSI Pendekatan Berbasis Hak-Hak Anak Sebagai Upaya Reintegrasi Sosial yang Menjadi Korban Eksploitasi dan Bentuk Bentuk Kekerasan Lainnya & Perlindungan Pekerja Anak dan Pelayanan Sosial Kota Surabaya Sebagai Kota Layak Anak Hari/Tgl. Pelaksana
25 November 2015 (09.00-13.00 WIB)
Tempat
Ruang Pertemuan Lantai 2, Gedung BPPKB Provinsi Jawa Timur
Moderator
Inge Christanti
Pembicara
Yuliati Umrah Dra. Ec. Diah Soepartijawi, MM
Peserta
PKK 4 Kelurahan Se-Kecamatan Gunung Anyar, Kecamatan Se-Kota Surabaya, SKPD Se-Kota Surabaya, Media, Akademisi, Jaringan
Penyusun Notulensi
Siti Badriatus Sa’adah
PAPARAN NARASUMBER Narasumber 1 Yuliati Umrah (Executive Director Yayasan Arek Lintang/ALIT Surabaya)
Pendekatan Berbasis Hak-Hak Anak Sebagai Upaya Reintegrasi Sosial yang Menjadi Korban Eksploitasi dan Bentuk Bentuk Kekerasan Lainnya
Setiap tanggal 19 November, kita mengadakan doa bersama untuk seluruh anak yang tewas menjadi korban karena konflik bersenjata yang kemudian diperingati sebagai hari anti kekerasan anak sedunia. Tanggal 20 November kita peringati sebagai hari anak sedunia. Sementara itu, hari anak internasional diperingati setiap tangal 1 Juni sebagai peringatan hari lahir konvensi hak-hak anak, dimana hak-hak anak-anak diakui dunia secara hukum.
(Flashback pada kasus kekerasan terhadap anak; yang terjadi pada PRTA di
Surabaya) Pada saat peringatan Valentine tahun 2001, di koran terdapat berita mengenai seorang gadis yang meninggal dunia dan beberapa sahabatnya yang mengalami luka-luka. Anak tersebut tinggal di rumah mewah sebagai PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak) di kompleks mewah di Surabaya. Anak tersebut disiksa hingga meninggal, dipaksa memakan kotorannya sendiri, dengan todongan pistol yang dipaksa dilakukan oleh majikan kepada teman-temannya. Si majikan melaporkan bahwa empat orang inilah yang membunuh si anak. Namun setelah penyelidikan usai, ternyata pelakunya ialah majikan dari lima anak tersebut. Tahun 2005 terjadi kasus serupa, dan pelakunya sama. Kasus ini memberi pelajaran berharga pada publik bahwa belum ada kebijakan yang melindungi, pengawasan, dan kontrol terhadap pekerja anak di sektor domestik karena wilayah kerjanya sangat tertutup dan sulit diakses dari luar. Yang diperlukan untuk mencegah dan mengurangi kasus serupa, bukan hanya menunggu kebijakan pemerintah saja namun juga dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk turut membantu mengontrol sektor ini. Terkait inklusi sosial, bagaimana kita bisa menarik dan menjadikan anak-anak korban kekerasan dan PRTA sebagai bagian dari kehidupan normal kita. Masalahnya, biasanya masyarakat menganggap suatu kasus sebagai hiburan, karena hanya menjadi penonton dan tidak ikut menolong. Misalnya ada kasus pemerkosaan, kita justru bergosip dan seakan menyalahkan baju yang dikenakan oleh si korban. Apa jadinya, ketika anak sudah menjadi korban lalu tetap diperlakukan seperti itu, apakah ia ingin inklusi bersama kita? Anak tersebut justru akan lebih menghindar. Saya (Yuliati Umrah) mendampingi 45 anak ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang awalnya merupakan korban pemerkosaan. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Karena di mana pun mereka berada, mereka selalu jadi bahan perbincangan dan diolok oleh orang lain, sehingga mereka pun berpikir bahwa lebih baik pergi saja ke Dolly (tempat lokalisasi) agar bisa mendapat uang. Tidak hanya anak perempuan saja yang saat ini menjadi ESKA, namun anak laki-laki pun juga banyak. Sebutansebutan seperti lonthe cilik, dan kucing cilik, yang merupakan bagian dari omongan masyarakat itulah, yang biasanya sering tidak kita sadari, yang membuat mereka semakin jauh tercabut dari hak-haknya. Menjadi korban saja hak mereka sudah
tercabut, apalagi diolok dan dibicarakan, justru semakin jauh tercabut. Apalagi misalnya banyak wartawan yang suka sekali dengan berita seperti ini, memberikan gambar yang bombastis di surat kabar, agar semakin banyak yang membaca dan iklan yang terpasang di website mereka pun semakin banyak. Di kampung, anakanak ini pun menjadi omongan. Lalu dimanakah anak-anak ini bisa merasa aman? Akhirnya mereka pun mencari jalan sendiri. Mereka pun lari ke obat-obatan dan narkoba, paling banyak anak-anak seperti ini lari ke narkoba. Bayangkan, anak-anak yang sudah terjebak di dalam situasi yang tidak nyaman, kita justru tidak aware untuk merangkul dan bersimpati atau mengajak kegiatan bersama di kampung. Jujur saja, apa yang Anda lakukan ketika ada korban? Bergosip. Seringkali kita tidak sadar kita bertanya pada anak kita, “kamu satu sekolah ya dengan anak yang itu? Jangan dekat-dekat ya.” Kita pun secara tidak sadar mendidik anak kita untuk mengeksklusi orang lain.
Dalam kesempatan kali ini saya mengajak Anda untuk berdiskusi, mengapa mereka semakin jauh dari kita? Mengapa mereka tidak justru ter-eksklusi? Tidak hanya PRTA, termasuk juga anak jalanan, ABH (Anak Berurusan Hukum), dan anak yang pernah masuk penjara. Apa yang terjadi dengan anak yang pernah dipenjara misalnya karena mencuri? Masyarakat justru mengucilkan anak yang baru saja keluar dari penjara. Orang tidak peduli dengan anak seperti ini, di kampungnya sendiri pun ia dikucilkan. Akhirnya mereka pun berujung di jalanan, berteman dengan orang yang ia temui, memakai narkoba, dan mencuri yang lebih besar. Saya pernah mendampingi anak yang awalnya mencuri HP, lalu ia menjambret, kemudian ia membobol toko. Kejadian ini sama juga dengan anak-anak korban perkosaan, mereka tidak dibela, justru dikucilkan, lalu berujung di Dolly. Mereka pun berpikir, untuk apa saya bergabung dengan LSM, begini saja sudah enak mendapat uang. Disitulah kita telat. Anak-anak ini sudah mengalami ketergantungan seksual, seperti halnya ketergantungan obat. Mendampingi anak-anak korban ESKA ini sulit, karena setelah berbagai upaya dan solusi yang dilakukan misalnya mengajak berkegiatan dan mencarikan pasangan, ujungnya pun mereka akan kembali menjadi korban ESKA. Lalu apakah kita akan berhenti? Termasuk anak-anak yang menajdi PRTA, apakah kita harus menunggu adanya korban meninggal? Juga kepada anak-anak yang mencuri handphone, apakah kita akan menunggu hingga ia membobol
apartemen? Disitulah kita telat. Maka dari itulah, meskipun saat ini sudah banyak jatuh korban, mari kita rangkul mereka, mengajak mereka berkegiatan. Begitu pula dengan mendampingi anak-anak korban drug abuse, kita dampingi mereka rehab, jangan justru bergosip di belakang mereka. Bergaullah dengan mereka, apabila nanti mereka membutuhkan sesuatu, mereka dengan sendirinya akan cerita. Misalnya mereka sedang membutuhkan obat, kita dorong mereka untuk bercerita dan menawarkan bantuan. Di tempat-tempat rehab, anak didorong untuk berkata pada pendampingnya apabila mereka membutuhkan obat, maka pendamping inilah yang akan memberikan obatnya. Tidak perlu takut bergaul dengan anak yang sudah dicap “babu”, “lonthe, “kucing”. Inklusi sosial adalah bagaimana kita sendiri lah yang membuka tangan dan ruang hati kita untuk mereka yang masuk, bukan justru malah memarahi dan mengomeli mereka, “jangan begini, jangan begitu,” mereka akan berpikir bahwa “kami sudah susah tidak mau dimarahi lagi”, karena dengan begitu mereka akan semakin menjauh. Kita ingin mereka mempunyai hidup baru yang ‘normal’. Nah, tugas kita adalah bagaimana kampung-kampung kita membentuk kelompok yang disebut SPA, yaitu Safe Play Area, atau ruang-ruang yang aman di kampung-kampung. Sehingga apabila terjadi apa-apa, Anda bisa cepat melapor.
Narasumber 2 Ibu Diah (BPPKB Jatim)
Kebijakan Perlindungan Anak di Jawa Timur, Potensi Trafficking dan Eksploitasi pada Pekerja Anak dan Aspek Kota Layak Anak
Banyak anak yang belum terpenuhi haknya, hak anak merupakan Hak Asasi Manusia. Artinya, meskipun mereka anak-anak yang tidak bisa menyuarakan hak, tetapi mereka punya hak untuk untuk hidup, tumbuh kembang, dilindungi, berpartisipasi, yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, Pemerintah dan negara. Banyak permasalahan anak di Jawa Timur seperti:
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak (Berdasarkan data dari PPT Prov. Jatim kasus kekerasan terhadap anak mulai Januari sampai Agustus
2015 sebanyak 112 kasus)
Rendahnya perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum
Masih terabaikannya anak dalam perlindungan khusus (anak korban bencana alam, anak korban konflik bersenjata, Anak Berkebutuhan Khusus, dsb
Meningkatnya jumlah pekerja anak
Kepemilikan akte kelahiran masih relatif rendah
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya partisipasi anak dalam pembangunan.
Kami mendapat kabar dari KPAI bahwa Jatim adalah provinsi ketujuh darurat kekerasan pada anak. Kalau kita bicara anak sebagai pelaku, kebanyakan orang masih menstigma, anak nakal, dsb. Padahal mereka sebenarnya adalah korban. Ini adalah kewajiban pemerintah, bukan berarti pemerintah berdiam diri, namun tetap bekerjasama dengan LSM agar memberikan solusi dari berbagai permasalahan. Dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di Jawa Timur telah diterbitkan Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Perlindungan Anak adalah upaya integratif dan koordinatif untuk pencegahan, pengurangan risiko, dan penanganan permasalahan
anak. Penyelenggaraan perlindungan anak di Jatim
dilakukan secara tersistem dan tidak perkotak-kotak atau per kasus, lalu diwujudkan dengan koordinasi lintas sektor yang intens. Prinsip dasar perlindungan anak: Nondiskriminasi; Kepentingan terbaik anak; Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; Penghargaan terhadap pendapat anak. Tujuan penyelenggaraan sistem perlindungan anak adalah memperkuat lingkungan protektif bagi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun saat ini belum dapat mewujudkan shelter untuk anak-anak; mendorong pemenuhan dan berkualitas, berakhlak mulia,
perlindungan hak anak; dan mewujudkan anak yang sejahtera dan berkarakter yang berwawasan
kebangsaan serta cinta tanah air. Kebijakan yang ada meliputi koordinasi melalui gugus tugas tentang program, anggaran, dan layanan, juga monev SPA. Ruang lingkupnya: pengelolaan data dan informasi. Data yang terkumpul baru berbentuk profil data anak di Jatim. Memang masih jauh dari sempurna, tapi kami berproses. Pengumpulan data ini bekerjasama dengan BPS Jatim, dan BPKB menajdi leader pengumpulan data anak dan perempuan di Jatim. Juga memfasilitasi dalam proses peradilan. Jatim 2016 disiapkan oleh Kemensos suatu bangunan untuk tempat panti rehabilitasi. Kesejahteraan
sosial
anak dan
keluarga
meliputi
upaya
pencegahan
dan
pengurangan resiko, kedua hal ini menajdi PR besar bagi pemerintah Jatim karena mau tidak mau kalau ini tidak dilakukan, jika tidak maka akan menjadi upaya penanganan korban, dan itu biayanya tidak sedikit. Untuk penanganan korban, memang ketika menangani anak-anak yang menajdi korban lebih sulit daripada korban dewasa, karena ada trauma pula yang menyertai mereka. Perubahan perilaku sosial yang berpihak pada anak mencakup sosialisasi misalnya pertemuan semacam ini harus sering dilakukan; pembuatan kebijakan misalnya pembuatan perda itu mahal dan lama; penegakan hukum; pengembangan media; serta pendidikan keluarga dan masyarakat. Fasilitasi peradilan anak termasuk di dalamnya ialah peningkatan kapasitas APH (aparat penegak hukum), koordinasi dengan APH, dukungan informasi, fasilitas, aktifitas positif bagi anak, pencegahan ABH, penyediaan dan pemberian layanan bantuan hukum dan psikososial, yang mendukung diversi dan proses pengadilan restoratif bagi ABH, perlindungan atas hak dan perlakuan khusus bagi ABH, pelaksanaan
upaya
non
penahanan
dan
pencabutan
kebebasan,
dengan
menyediakan shelter, dan layanan rehabilitasi, pengembangan mekanisme diversi bagi ABH. Untuk penyelenggaraan SPA, BPKB tidak sendirian. Ada Dinkes, Dinsos, Diknas, Disnakertrans, LSM, dan Perguruan tinggi. Ini yang terkadang membuat di lapangan
menjadi sulit dan tidak sesederhana bayangan kita. Untuk partisipasi masyarakat dan anak, ini juga merupakan kendala yang sulit karena bagaimana rehabilitasi sosial, menyiapkan keluarga yang menerima anak-anak, serta ABH, semuanya merupakan PR pemerintah. Pelibatan anak untuk partisipasi publik belum bisa diimplementasikan secara nyata, karena kita sebagai orang dewasa masih sering memandang sebelah mata soal partisipasi anak. Tugas kita untuk mengadvokasi program-program anak agar selalu aktif. Sebenarnya permasalahan anak itu merupakan permasalahan holistik, integratif, dan berkelanjutan. KLA (Kota Layak Anak) sebenarnya merupakan peraturan mentri perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak tahun 2010 dan 2012. Yaitu Sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak. Tujuan KLA ialah untuk membangun inisiatif pemerintahan Kabupaten/Kota yg mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights Of The Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti: kebijakan, kelembagaan, program dan kegiatan yang layak bagi anak, pada suatu dimensi wilayah kabupaten/kota. Konvensi Hak Anak ini menjadi penting karena sudah kita ratifikasi secara nasional. Ada 31 indikator dari KLA, dan dibagi menjadi 6 klaster yaitu satu klaster untuk hak sipil anak dan lima lainnya untuk bagaimana perlindungan anak itu dilakukan. Pertama, penguatan kelembagaan. Ini yang menyebabkan kabupaten/kota harus memiliki perda atau kebijakan perlindungan anak. Kedua, hak sipil dan kebebasan. Disini menilai bagaiamna anak menapat akte kelahiran, informasi yang layak, dsb. Ketiga, lingkungan keluarga dan pengasuhan altenatif. Keempat, kesehatan dasar dan kesejahteraan, dsini pemegang tanggung jawabnya adalah dinas kesehatan. Kelima, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan budaya, penanggung jawab adalah diknas dan dinas pariwisata budaya. Program yang sedang dicanangkan adalah program sekolah ramah anak. Keenam, perlindungan khusus. Misalnya untuk ABH dan kasus-kasus khusus.
SESI TANYA JAWAB 1
Muti’ah, kecamatan Tandes Saya dulu pernah menangani anak di KPPD, dia putus sekolah dan dia bermain dengan gerombolan anak-anak yang membawanya untuk ngoplo (memakai obat-obatan terlarang). Dari KPPD dilanjutkan ke PPT Jatim. Dari situ PPT Jatim mengatakan anak ini tidak apa-apa dan sudah boleh pulang, padahal kami menginginkan rehab. Kemudian beberapa bulan kemudian ia hamil tanpa ada orang yang mau tanggung jawab. Setelah itu kami mengupayakan agar ia mempu mengikuti ujian kejar paket dan pelatihan salon. Namun ternyata si anak ini tidak bisa kami genggam, lalu bagaimana untuk menggenggamnya lagi? Usia anak saat ini 17 tahun. Yuliati Umrah
Tadi ceritanya adalah bahwa ada anak yang dibawa oleh gerombolan anak-anak, ketika ia tidak pulang, apa yang seharusnya anak itu punyai yang ia tidak punya? Keluarga. Salah satu hak dasar anak adalah hak anak sejak lahir hingga 18 tahun untuk hidup diasuh kedua orangtuanya atau walinya atau pengasuhan alternatif. Si anak tadi kan tidak diasuh oleh siapa-siapa, langkah pertama yang dilakukan adalah membangun keluarga alternatif dulu sebelum dia dipertemukan
kembali dengan
keluarga
aslinya. Masalahnya, pada saat itu dia hanya ditarik dan dibawa ke PPT, dirawat, dan direhab. Anak ini ter-eksklusi. Apanya yang ter-eksklusi? Pengasuhannya. Bukan justru diberi kursus salon, tetapi yang ia butuhkan adalah pengasuhan. Kedua, karena dia tidak sekolah maka yang dibutuhkan adalah pendidikannya. Jadi yang ia butuhkan adalah pertama, pengasuhan dalam bentuk keluarga alternatif sambil menunggu proses hukum hingga ia bertemu
kembali
dengan
keluarga
aslinya.
Keluarga
alternatif atau second home ini bukan berarti dia diberikan kursus salon, tapi perlakukan dia selayaknya keluarga sendiri. Jika waktunya bangun pagi, ya bangun. Jika waktunya makan sekeluarga, dia juga diajak sama-sama
makan di kursi makan. Jadi upaya yang kita lakukan adalah memenuhi haknya yang hilang, kita ganti haknya sampai pada proses dia menemukan hak dia yang sesungguhnya. Bagaimana
cara
merangkulnya
kembali?
Jika
Anda
memposisikan diri sebagai ibunya sendiri, maka ia akan kembali dengan sendirinya pada Anda. Saya mendampingi anak ABH, anak PRTA, selama 18 tahun, ketika dia kabur atau hilang, maka dia akan kembali dengan sendirinya. Si anak akan mengingat kita, yang diingat bukan pemberian secara materi, tapi sebenarnya yang mereka butuhkan adalah kasih. Sayangilah mereka, nanti mereka pun akan kembali sendiri. Apabila saat ini si anak sudah kembali dengan
orangtuanya,
ya
syukur,
kita
tidak
perlu
mengintervensi lagi. Tapi apabila masih menghilang, kita dapat lapor kepada aparatur terdekat. Sebenarnya untuk masalah rehabilitasi, kita tidak membawa ke PPT, karena PPT itu sebenarnya untuk korban kekerasan. Langsung dibawa saja ke BNN, ada di Polda. 2
Subagyo, warga Mulyosari Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk kasus PRTA yang berada di rumah yang sulit dikontrol? Adakah sistem hukum atau sosial yang bisa mengontrol mereka? Agar para majikan ini juga tidak semaunya sendiri. Agar model pengawasan bisa dilakukan, apakah kita perlu mendesak pemerintah setempat untuk mengeluarkan perda agar dapat mengontrolnya? Yuliati Umrah
Warga memang tidak punya kewenangan untuk masuk ke rumah orang lain. Sebenarnya kita bisa membangun value, misalnya tamu 24 jam harap lapor. Bukan justru menegur apabila ada anak pacaran. Misalnya bu RT menegur PRT nya, “Lho masih anak-anak” beranikah kita? Apabila kita menunggu peraturan untuk diadakan, ini prosesnya panjang, disebut proses advokasi. Terbitnya public policy memang tidak cepat kecuali kita punya kekuatan politik. Kasus PRTA yang saya tangani, ketika
kami menaikkan ke undang-undang kekerasan dalam rumah tangga, hal ini tidak bisa diatasi karena bukan bagian dari rumah tangga. Ketika dimasukkan dalam undangundang ketenagakerjaan juga tidak bisa, karena mereka anak-anak. Mau tidak mau yang bisa dimasukan adalah UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak), namun kasus yang spesifik pada PRTA ini belum ada. Adanya hanya domestic worker, misalnya anak yang disuruh untuk rewang (bekerja), dan ini adalah hal yang berbeda dari konteks PRTA. Jika konteks undang-undang tidak ada, kita bisa masuk ke tingkat otonomi daerah. Kita bisa mendorong undang-undang otonomi daerah supaya ada pergub atau perwali, itu dulu. Hanya saja, pergub/perwali ini tidak bisabekerja secara teknis apabila tidak ada dorongan aktif dari masyarakat. Karena pergub/perwali ini merupakan kebijakan daerah dan rakyatnya. Nah, apakah rakyatnya ingin mendukung apa tidak. Misalnya, pemeriksaan dari rumah ke rumah untuk tamu 1x24 jam lapor ke RT. Sebenarnya
bisa
kita
adakan
peraturan
baru
yang
gerakannya dari bawah, contohnya Posyandu Lansia. Maka dari itu kita bisa bergerak dari bawah soal PRTA ini, seperti halnya kita bergerak pada Posyandu Lansia. Kita bisa kok bergerak dari bawah seperti halnya kita memperjuangkan Posyandu Lansia. 3
Andin, warga Manyar Apa bedanya Hari Anak Internasional dan Hari Anak Sedunia? Lalu di halaman 2 handout ini, ada istilah ABH, bisakah dijelaskan apa yang dimaksud dengan ABH? Yuliati Umrah
Hari Anak Internasional adalah hari untuk memperingati lahirnya konvensi hak anak pada tanggal 1 Juni, yang digagas oleh pendiri LSM anak pertama yang sangat prihatin dengan kondisi anak pada saat perang dunia kedua.
Hari Anak Sedunia (Universal Day for Children) pada tanggal 20 November, ketika tanggal 19 nya adalah peringatan doa sedunia untuk hari anti kekerasan pada anak sedunia. Tanggal 19 November 2002 didapat datadata bahwa anak-anak merupakan korban kekerasan tertinggi kedua di dunia. ABH adalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum, adalah anaka-anak yang dituduh, disangka, dan diputus bersalah secara hukum atau menjadi pelaku kriminal. Banyak sekali hak mereka yang butuh kita lindungi. 4
Rosana Yuditia Pada saat kami melakukan pendampingan pada pekerja anak dan berbicara dengan orangtuanya, orangtua mereka justru mengatakan “Lho justru tidak apa-apa mereka kerja, kan belajar mandiri. Nanti kalau sudah besar hidupnya bisa enak.” Lalu bagaimana caranya kita menyikapi ketika orangtua berkata seperti itu? Bisakah kita mengubah cara pikir masyarakat?
Yuliati Umrah
Jika Anda semua dari keluarga berkecukupan, dan berkasih sayang, apakah Anda berkata seperti itu kepada anaknya? Tentu tidak. Secara umu, kejadian seperti itu merupakan kejadian dalam keluarga yang secara ekonomi tidak berkecukupan. Hal yang bisa dilakukan adalah membuat keluarga menjadi berkecukupan. Jadi bagaimana supaya orangtuanya menjadi sejahtera, apabila mereka sudah sejahtera
maka
tidak
mungkin
akan
mempekerjakan
anaknya. Jadi benar apabila KPPD mendampingi ibunya untuk sejahtera, karena jika ibunya sudah sejahtera maka anaknya tidak disuruh bekerja. Jika masih tidak mempan, maka mau tidak mau harus ada proses hukum. Misalnya saya laporkan polisi untuk ibu yang mempekerjakan anaknya untuk mengemis. Pendekatan yang kita lakukan memang
tidak
bisa
frontal,
anak-anak
harus
diberi
pendidikan, tidak harus sekolah, tapi yang jelas pendidikan.
5
Lupi, kelurahan Rungkut Tengah Krisis untuk anak-anak kan banyak. Untuk menuju Kota Layak Anak, nah prosentase yang banyak untuk dilihat di kota tersebut itu apa? Apakah prosentase terbesar itulah yang kita garap? Apakah Surabaya sudah menjadi Kota Layak Anak? Diah
Di 38 kabupaten/kota, yang mendapat penghargaan KLA ada 14 kabupaten/kota, salah satunya Surabaya. Ini diberikan oleh presiden Jokowi melalui gubernur Jatim pada tanggal 14 september di Bogor. Sebenarnya
ada
tahapan-tahapan
penilaian
dari
31
indikator KLA, dan Surabaya tahapan penilaian KLA nya sudah tahapan yang paling tinggi. Jika surabaya masih banyak kasus pada anak, ini bukan berarti Surabaya kemudian tidak menjadi KLA. Artinya, berdasarkan skor dari 31 indikator, hampir semua sudah ditemui. Namun hal yang perlu ditingkatkan adalah pendampingan dan advokasi dalam perlindungan anak. 6
Vina, YPSM Jember Ada kasus anak TK, dari usai 4 tahun sudah melakukan hubungan seksual kepada teman sebayanya, dan temannya ini pun juga melakukan hubungan seksual pada temannya yang lain. Anak ini merupakan anak angkat dari keluarga yang tidak mampu, keluarga angkatnya juga dari keluarga tidak mampu, dan ketika saya bertanya pada orangtuanya, mereka terkesan menutupi hal yang dilakukan oleh si anak. Anak ini di lingkungannya juga dikucilkan oleh warga setempat. Bagaimana penanganannya? Yuliati Umrah
Ketika anak mengalami penetrasi seksual di usia dini maka ia akan mengalami ketergantungan seksual. Jika anak diadopsi, apakah pola pengasuhannya sesuai dengan perlindungan anak? Sejauh mana monitoring negara terhadap anak-anak yang diangkat oleh keluarga lain? Idelanya, jika hal ini terjadi, maka seharusnya dicabut kuasa asuhnya. Kita seharusnya bisa melapor secara tertulis ke aparat dan dinas sosial, sehingga bisa ada penanganan.
Kasus Anda berarti korban dan ABH adalah sesama anakanak. Pertama, anak-anak tersebut adalah anak yang seharusnya mendapatkan Langkah-langkah Perlindungan Khusus atau Special Protection Measure. Mereka mendapat perlindungan hukum yang seadil-adilnya terutama untuk ABH. karena pelaku anak tidak bisa diperlakukan seperti orang dewasa. Kedua,
Psycho social recovery and
reintegration ini merupakan ide utama project inklusi. Maksutnya, bagaimana pemulihan mental dan reintegrasi sosial. Si anak ini harus mendapat reintegrasi sosial, dipulihkan dan dikembalikan ke masyarakat. Bisa jadi, orangtuanya menutupi karena umumnya orang-orang hanya bisa bergosip dan tidak menolong. Hal yang bisa dilakukan adalah membuat SPA terlebih dahulu, ajaklah masyarakat untuk merawat dan tidak bergosip. SPA tidak hanya merangkul korban namun juga masyarakat diajak secara aktif untuk merangkul dan berinklusi. 7
Titik, Guru SDN Wonorejo Ada keluarga broken home, ayahnya pergi, ibunya sibuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan. Si anak sering membolos. Ternyata dari sekolah dia berangkat, kata temannya si anak pergi ke warnet. Setiap ada PR, dia membolos dan larinya ke warnet. Bagaimana cara saya membentengi anakanak ajar saya agar tidak menjadi seperti cerita ibu tadi? Bu Diah
Saat ini pemprov Jatim sedang mengadakan program yang merangkul Bapak Ibu guru terutama SD, saat ini baru kepala sekolah dan pengawas karena programnya masih baru. Guru ini diberi wawasan bagaimana sekolah ramah anak ini. Termasuk modul sekolah ramah anak dan sarana prasarana
yang
diberikan.
Termasuk
bagaimana
penanganan anak-anak yang bermasalah. 85% kasus bullying itu terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren juga. Sehingga kita juga merangul kemenag untuk mewujudkan pesantren ramah anak.
Yuliati Umrah
Sekolah memang hanya tujuh jam, dan sekarang ini kecenderunagnnya,
orangtua
menyerahkan
pendidikan
anaknya di luar rumah. Faktanya, kita tidak mungkin mengawasi
anak
penggrebekan,
24
jam.
sebenarnya
Misalnya orangtua
di
warnet sendiri
ada yang
memberikan akses gadget. Dia bisa mendapatkan internet atau akses hotspot dimana saja. Sebenarnya anak-anak ini adalah peniru, dia hanya meng-copy apa yang kita lakukan. Kalau kita terbuka, maka mereka akan terbuka, kalau kita cerita, ya mereka akan cerita. Dalam prinsip dasar konvensi hak anak, prinsip yang keempat yaitu respect the view of children atau menghargai pandangan anak. Caranya, jika kita ingin anak cerita, jadilah pendengar yang baik, bukan menghakimi. Anak-anak lebih sulit cerita ke gurunya karena selama ini pendidikan kita bergaya anak-anak seakan celengan kosong sementara gurunya adalah pengisi materi. Maka guru adalah yang benar dan tidak pernah salah, sehingga apapun kesalahan guru itu ditelan, sehingga ketika anak melakukan kesalahan dia akan semakin diam. Misalnya saja bu, ketika ibu di kelas dan terlambat, katakan maaf, “Maaf ibu terlambat,” lalu ketika mereka membuat kesalahan, seringkali sekolah menerapkan hukuman yang mengatasnamakan
kedisiplinan
dan
menggunakan
kekerasan. Inilah yang mempertebal jarak anak-anak dengan orang dewasa yang notabene wajib dipatuhi, termasuk guru. Abuse of power bisa terjadi pada ruangruang yang disinyalir mendapat kewenangan mengatur anak, seperti kantor polisi, puskesmas, sekolah, bahkan rumah. Sehingga apabila ada dunia lain yang mereka alami dan mendiamkan mereka, mereka akan lebih mengikuti itu (misalnya internet). Kita tidak mungkin membatasi teknologi dan gerak mereka, maka satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memberinya basic trust dimaana Anda
menjadi teman satu-satunya mereka untuk berkeluh kesah tanpa menghakimi. Seringkali kita malu/gengsi untuk mengakui kesalahan, maka tidak kaget bahwa anak-anak lebih suka berbohong. Bagaimana cara kita menjadi sahabat terbaik mereka, bukan gadget atau orang-orang asing. Apakah guru di sekolah sudah memahami isi konvensi hak anak? Bisakah kita mendidik anak agar berani bicara benar? Kadang kita belum paham mengenai prinsip respect the view of children. 8
Kiki, Jember Masalah KLA, sempat ada pengajuan KLA di Jember, tetapi belum ada respon. Adakah mekanisme yang memungkinkan dan mendorong adanya pmerintah Jember agar lebih giat lagi? Bu Diah
Kebetulan kabupaten jember ini merupakan salah satu dari enam
kabupaten
yang
belum
berkomitmen
sebagai
kabupaten yang layak anak. BPKB-nya juga agak sulit untuk diajak berkoordinasi. Respon pejabat daerhanya juga kurang. Ini merupakan tugas kami untuk mengatasinya. Terkadang bisa juga kita memakai ‘senjata’ yaitu anggota dewan yang domisilinya di Jember agar mendorong upaya pewujudan KLA di Jember. 9
Sulami, kecamatan Sawahan Anak putus sekolah, anak seorang pemulung, ayahnya kawin 3 kali. Anak tidak naik kelas, salah pergaulan, dan terjerumus ke narkoba. Masuk rumah sakit, rehab selama 40 hari. Orangtuanya tidak sanggup karena menurut orangtuanya ia semakin nakal. Diberikan ke satpol PP tidak mau menerima anak ini. Akhirnya kami kirim ke Liponsos, kemudian dia hamil 3 bulan. Alasannya hamil, karena dia diberi uang 2 juta. Apakah saya salah ketika menaruhnya di Liponsos? Ada juga anak SD kelas 3, tidak sekolah. Ibu angkatnya hanya buruh cuci dan memiliki empat anak lainnya. Anak ini disuruh ngomong sama ibu angkatnya. Dari dua kasus itu, si anak-anak ini tidak memiliki identitas. Bagaimana cara
mengurus identitasnya? Kasus yang pertama ini memiliki cacat jiwa, dan kasus yang kedua ini dia adalah anak yang diambil dari orangtuanya yang dulu. Dalam satu keluarga ini ada tiga orang, enenk, ibu dan anak. Apakah bisa ditaruh di ponsos tanpa terpisah? Bu Diah
Bisa berkoordinasi dengan Bappenas kota surabaya untuk pendampingan dan langkah-langkah yang bisa dilakukan. Penanganan kemiskinan juga menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Intens lah bekerja sama dengan badan yang menangani masalah itu di kabupaten/kota masingmasing. Identitas bisa minta Bappenas juga, mereka akan menangani dan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembuatan identitas.
Yuliati Umrah
Lakukan penelusuran kakek nenek, orangtua, lalu dia. Kemudian berkoordinasi dengan lurah dimana dia berada. Kemudian di kecamatan. Dari kecamatan akan memberikan dua opsi, yaitu dipulangkan ke daerah kakek neneknya atau tetap tinggal di surabaya. Jika ingin tetap tinggal di surabaya, maka tidak boleh tinggal di pinggir jalan, minimal sewa, supaya ada alamat jelas domisili. Setelah itu dilihat apakah
memiliki
surat
nikah.
Sebenarnya
Surabaya
termasuk terbaik di Indonesia untuk pelayanan publik, karena sangat gampang. Jika opsinya dipulangkan ke daerah asal, maka KK nya bukan daerah surabaya. Untuk pengasuhan alternatif, dimana-mana pengasuhan alternatif itu adalah untuk kelompok sebaya. Jadi tidak mungkin baapk, ibu, anak menjadi satu disitu, itu tidak boleh. Pengasuhan alternatif itu adalah pengasuhan yang berbentuk institusional, bukan rumah. Misalnya saja pondok pesantren, panti asuhan, itu hanya untuk kelompok sebaya (anak dengan anak). Untuk orangtua, terdapat proses empowering, sampai mereka berdaya untuk mengambil lagi anaknya. Justru salah misalnya kalau kita mendorong Liposos untuk menjadikan satu keluarga, karena nanti anak
kecil
belajar
menjadi
tua.
Jika
anaknya
memiliki
keterbelakangan mental, maka akan dirujuk ke sekolah inklusi oleh dinas sosial. Kesimpulan (Inge, Moderator)
Ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik dari diskusi dan dialog kita hari ini: 1) Dari apa yang disampaikan Mbak Yuli dan cerita-cerita tentang PRTA, korban ESKA, dan anak-anak yang menjadi korban dari lingkungan yang kurang baik sehingga mendapat stigma anak bermasalah, mengajak kita semua sebagai anggota masyarakat untuk peduli dengan anak meskipun itu bukan anak kita sendiri. Membuka hati adalah langkah pertama yang sedianya harus kita lakukan. Dengan membuka hati, kita memmberi ruang untuk anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus terutama anak-anak yang bermasalah dengan hukum atau sudah terjerumus ke pergaulan yang salah, dan bisa mengajak anak-anak tersebut agar tidak semakin terjerumus sehingga bisa menjadi generasi yang lebih baik. 2) Dari ibu diah, kita juga mendapat pemahaman tentang berbagai hal yang sudah dicoba dilakukan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalah yang ada dan mewujudkan lingkungan yang baik untuk anak-anak, terutama program yang sudah dilakukan oleh BPPKB. Hal ini penting karena pemerintah memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab pada anak. Memang sudah banyak yang dilakukan oleh pemerintah, namun kendala terbesar adalah masalah koordinasi dengan stakeholder lain karena tindakan-tindakan yang perlu dilakukan tidak memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Kita harus melakukan semua hal bersama-sama. Ada dinsos, diknas, disnaker, dan dinas terkait lainnya dan semua harus bersama-sama melakukan hal yang sama untuk kepentingan anak. Sehingga bisa dikatakan, lintas sektoral adalah solusi untuk mengatasi kendala ini. 3) Perlu evaluasi mengenai forum anak. Ruang untuk bersuara sudah ada, namun masih harus dimaksimalkan. Perlu dipastikan juga, apakah forum tersebut benar-benar bisa menyuarakan kepentingan anak dari berbagai kondisi? Jika belum, maka harus ditingkatkan lagi. Apakah ruang ini bisa membantu mengidentifikasi kebutuhan yang benarbenar diperlukan anak? Jika belum, maka melalui forum ini, harus ditingkatkan juga fungsi agar bisa saling memahami kebutuhan anak.