Pendayagunaan Teknologi Informasi di Sektor Publik Peluang, Tantangan dan Solusinya Muhammad Firdaus Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara, Jl. A. P. Pettarani Nomor 61 Makassar
Abstrak Perkembangan daya guna Teknologi Informasi (TI) pada sektor pemerintahan di Indonesia berjalan relative lamban. Meskipun sudah terdapat beberapa inovasi TI, namun belum bersifat sistematis dan menyeluruh, sehingga berpotensi menimbulkan beban biaya yang besar dan kerawanan keamanan data pemerintah. Mengacu pada hasil penelitian STIA LAN Makassar tahun 2007, artikel ini mencoba mengupas beberapa perkembangan daya guna TI di instansi pemerintah pada umumnya dan di instansi pemerintah daerah di Kawasan Timur Inonesia pada khususnya. Artikel ini juga mengidentifikasi beberapa faktor penghambat beserta solusinya dan peluang pendayagunaan TI pada sektor pemerintahan di Indonesia.
Pendahuluan Sejak dekade tahun tujuh puluhan Toffler (1970) telah memprediksi bahwa akan datang suatu era dimana informasi akan membanjir sehingga hanya mereka yang mampu mengelola informasi yang akan mendapatkan manfaatnya, sementara yang tidak mampu akan tenggelam di dalamya. Sepuluh tahun kemudian, Toffler (1980) mengemukakan bahwa masa itu telah tiba, dan era tersebut bernama era informasi. Urusan pemerintah pada dasarnya merupakan pekerjaan yang kaya Informasi (information intensive work). Dengan demikian, informasi merupakan aset vital dan strategis yang harus dikelola dengan baik. Dengan sistem pemerintahan yang sudah semakin desentralistis, maka intensitas, kompleksitas dan volume pengelolaan informasi bagi pemerintah daerah maupun pusat semakin meningkat. Cara pengelolaan informasi secara manual tidak lagi memadai. Dengan demikian, pemerintah daerah secara logis mestinya akan banyak bertumpu pada teknologi informasi (TI) untuk mengatasi kecenderungan karakteristik informasi seperti disebutkan di atas. Akan tetapi, kondisi ril menunjukkan bahwa pemerintah lamban dalam memanfaatkan teknologi informasi. Kendati organisasi pemerintah merupakan pelopor pemanfaatan komputer sebagai salah satu bentuk TI, namun dalam perkembangan selanjutnya tertinggal dari organisasi swasta. Perkembangan Daya Guna TI di Pemerintahan Teknologi informasi (TI), yakni rekayasa teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan mendayagunakan nilai informasi, merupakan salah satu faktor 1
pendorong pembangunan di berbagai negara, termasuk di negara berkembang. Di Indonesia sendiri, komputer sebagai salah satu bentuk TI telah digunakan sejak tahun 1938 (Odedra, 1990). Diantara pemakai awal komputer tersebut adalah Biro Pusat Statistik, Departemen Pertahanan dan Perusahaan Jawatan Kereta Api. Dengan semakin berkembangnya TI yang disertai dengan harga yang semakin terjangkau, maka komputer dan peralatan TI lainnya semakin banyak digunakan di organisasi pemerintah. Perubahan dalam lingkungan organisasi, baik internal maupun eksternal, dipercaya sebagai salah satu faktor pemicu penggunaan teknologi informasi. Secara eksternal, Indonesia telah ikut serta dalam berbagai organisasi regional maupun global. Hal ini bisa menjadi faktor pendorong kebutuhan yang tinggi akan pemanfaatan TI, karena tanpa mendayagunakannya bangsa Indonesia tidak akan mampu menempatkan diri pada posisi yang menguntungkan dalam hubungan, interaksi dan persaingan global dengan bangsa-bangsa lain. Secara internal, lingkungan pemerintahan di Indonesia telah berubah secara signifikan, dari sistem yang sangat sentralistis ke bentuk yang lebih desentralistis. Perubahan tersebut menyebabkan lonjakan beban, tanggung jawab, volume dan kompleksitas urusan pemerintahan. Situasi internal inipun bisa menjadi faktor pendorong bagi pendayagunaan TI. Kenyataanya, pendayagunaan TI disektor pemerintahan di Indonesia sudah mulai menampakkan kemajuan yang kemungkinan dipicu oleh faktor internal dan eksternal tersebut di atas. Diantara perkembangan yang layak dicatat adalah dalam hal penyediaan kerangka hukum oleh pemerintah pusat dan tumbuhnya minat organisasi dan pejabat pemerintah untuk mendayagunakan teknologi informasi. Dari segi penyediaan aturan main, pemerintah telah menetapkan KEPRES Nomor 50 tahun 2000 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia, INPRES Nomor 6 tahun 2001 tentang pengembangan dan pendayagunaan telematika di Indonesia, KEPRES Nomor 9 tahun 2003 tentang tim koordinasi telematika Indonesia, Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Disamping itu, pemerintah telah membentuk Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas) pada bulan November 2006 dengan flagship programnya Palapa ring (Depkominfo), legislasi software (Depkominfo), e-education (DepDiknas), National single window (DepKeu), Nomor Induk Nasional (Depdagri), e-procurement (Bappenas), dan e-budgeting (DepKeu) (lihat Harijadi, 2007). Pada tataran applikasi juga sudah mulai terjadi perkembangan. Pemerintah daerah giat membangun infrastruktur dan aplikasi teknologi informasi untuk mendukung pelaksanan pembangunan di wilayahnya. Kabupaten Barru, misalnya, membangun Geological Information System (GIS) (Fajar, 23 Okt. 2007: 28), sementara kabupaten Kutai Kertanegara membangun infrastruktur telekomunikasi secara besar-besaran yang diberi nama Telkomda (Warta eGov, November 2007). Dalam penelitian STIA LAN Makassar (2007), ditemukan pula beberapa inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI), misalnya pemerintah Kota Ambon membangun kios 2
informasi, yakni seperangkat komputer yang menyajikan berbagai informasi dan layanan kepada masyarakat yang bisa diakses sendiri oleh mereka. Dalam bentuk yang lebih modern, pemerintah Kabupaten Sidoarjo memasang kios informasi pada lokasi strategis di Bandara Juanda Surabaya. Akan tetapi, perkembangan yang paling pesat adalah pemanfaatan Internet untuk mempublikasikan potensi daerah melalui website. Website dan blog organisasi maupun pejabat secara peribadi semakin menjamur. Website bahkan sudah ada di tingkat RT (lihat Warta e-government, November 2007). Penelitian yang sama mengkonfirmasi kecenderungan di atas dimana ditemukan bahwa telepon seluler yang awalnya hanya untuk sarana komunikasi peribadi dan simbol gaya hidup, perlahan mulai merambah kekomunikasi dalam rangka penyelesaian pekerjaan kantor. Faktor kemudahan pengunaan dan keterjangkauan harga dari teknologi telepon seluler menyebabkan pegawai di instansi pemerintah mengadopsinya jauh lebih cepat dibandingkan komputer. Short Message Service (SMS) merupakan layanan telepon seluler yang paling banyak digunakan, terutama untuk melakukan interaksi dan komunikasi timbal balik dengan masyarakat sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Kota Ambon, Kota Sorong dan Kabupaten Gorontalo. Meskipun ini baru permulaan, akan tetapi bisa menjadi embryo bagi tewujudnya Electronic Democracy atau biasa dikenal dengan e-democracy. Penggunaan telepon seluler secara intensif merupakan proses pembelajaran secara tidak sadar bagi pengguna, sehingga mereka bisa saja menjadi familiar dengan penggunaan komputer. Apa lagi teknologi telepon seluler dewasa ini sudah banyak yang mengintegrasikan fungsi-fungsi komputasi dan jaringan di dalamnya. Meskipun kompter personal sudah banyak digunakan di instansi pemerintah namun penggunaanya masih sebatas mendukung pekerjaan administratif ringan, misalnya mengetik dengan wordprocessor atau membuat tabel dengan progam spreadsheet. Demikian juga halnya dengan penggunaan Internet sebagai salah satu bentuk TI modern masih terbatas pada web browsing, e-mail dan chatting, fasilitas yang memang merupakan perpanjangan dari apa yang biasa dilakukan melalui fasilitas telepon seluler. Terlepas dari berbagai inisiatif pemanfaatan TI oleh kalangan instansi pemerintah, perkembangan yang terjadi masih jauh dari memadai dan belum berhasil meningkatkan mutu pelayanan publik ke level yang didambakan oleh masyarakat. Terbukti dengan masih banyaknya keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat baik langsung maupun melalui media massa. Bahkan pada sisi lain sering penggunaan TI dijadikan alasan untuk menaikkan ongkos pelayanan, padahal TI mestinya mendukung efisiensi sehingga bisa menekan biaya pelayanan. Belum optimalnya pemanfaatan TI juga telah menyebabkan berbagai kesalahan pendataan. Sebagai contoh, Kantor Menpan “menemukan 66 ribu kasus penyalah gunaan NIP; yakni NIP ganda dan pemakaian NIP PNS yang telah meninggal” (Suara Merdeka Cyber News 12 Juni 2006), dan hal ini menimbulkan kerugian Rp. 2.724 trilliun per tahun bagi negara (Editorial Malam Media Indonesia, Mei 2006).
3
Kendala Pendayagunaan TI di Negara Berkembang Secara umum, Lind (1991: 3) mengemukakan bahwa pengkajian mendalam mengenai penggunaan komputer di negara berkembang menunjukkan bahwa prestasi dan manfaatnya belum begitu jelas. Jamin (1984) dalam Lind (1991) melaporkan hasil survei Massachusstets Institute of Technology yang menemukan bahwa hanya 26 negara berkembang yang sebanding dengan tingkat komputerisasi di Jerman pada tahun 1965, dan Indonesia tidak termasuk didalamnya. Maka tidak mengherankan jika Information Society Index (ISI) tahun 2000 menempatkan Indonesia pada urutan ke 52 dari 55 negara yang disurvei dalam hal kemampuan mengambil manfaat dari era informasi (lihat Welch (2000). Selain itu, Indonesia dimasukkan dalam kategori Srtollers. Dalam survey ini 55 negara dibagi kedalam 4 kelompok dalam hal kemampuan mengambil manfaat dari revolusi informasi, yakni Skaters (peselancar), Striders (pelari cepat), Sprinters (pelari jarak pendek) dan Strollers (pejalan santai). Sejumlah 23 indikator digunakan yang dikelompokkan ke dalam empat variable: infrastruktur komputer, infrastruktur Internet, infrastruktur informasi dan infrastruktur sosial. Hasil survei tahun 2004 (IDC, 2007) menunjukkan bahwa posisi Indonesia melorot dari urutan 52 pada index ISI tahun 2000 di atas ke urutan 53, yang sekaligus menempatkannya dibawah Vietnam (urutan 52), India (51), Philipines (49), China (44), Thailand (42), dan Malaysia (36). Sebagai pembanding, dalam Vision 2020, dilaporkan perkembangan Malaysia dalam mengabil manfaat dari TI. Sejak tahun 1986, Malaysia sudah membangun JARING yang menyediakan akses jaringan dan Internet. Selanjutnya pada tahun 1994, terbentuk Civil Service Link (CSL) yg membuka akses informasi pemerintah kepada pengusaha, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Selain itu, pemerintah Malaysia juga telah menegaskan dari awal bahwa perencanaan dan pengembangan TI harus menggunakan pendekatan terintegrasi (GoM, 1995: 135-136). Singapura jauh lebih awal lagi dalam mendayagunakan TI, yakni sejak tahun 1991, sudah diluncurkan masterplan IT 2000 (NCB, 1991 dalam Choo, 1997), suatu inisiative untuk meningkatkan daya kompetitif dan kualitas hidup warga negara Singapura. Indonesia sendiri baru pada tahap pembuatan berbagai kerangka aturan pada level mikro. Cetak biru di bidang IT, yakni strategi menyeluruh baru diperintahkan oleh presiden pada tahun 2006 agar Menko Perekonomian menyelesaikannya (KCM 28 Agustus 2006). Menurut Sauer (1993: 22-3) pada perinsipnya kegagalan SI berbasis TI terjadi dalam bentuk ketidakmampuan SI memenuhi harapan pengguna, yang diakibatkan karena ketidaksesuaian antara kebutuhan dan apa yang terbangun, proses pengembangan yang tidak berhasil membangun sistem atau dengan biaya yang melebihi target, kegagalan memenuhi keinginan pengguna.
4
Ada dua masalah mendasar menurut Lind (1991: 19) yang menyebabkan pendayagunaan TI lamban, atau bahkan gagal yakni operasional dan masalah kontekstual. Masalah operasional menyakut ketidakmampuan sumberdaya manusia mengunakan teknologi perangkat keras dan lunak, sedangkan masalah kontekstual mengenai ketidakcocokan antara model solusi dari Barat dan karakteristik negara berkembang, perbedaan sistem nilai, rasionalitas, dan konsep waktu. Familiaritas para aktor setempat mengenai informasi dan praktek lokal berpotensi melahirkan inovasi dan pendekatan baru, namun nyatanya mereka rata-rata hanya mengandalkan solusi jadi dari negara Barat (Lind, 1991: 12). Padahal TI tidak boleh diperlakukan sama disetiap organisasi. Inovasi TI yang berhasil di konteks budaya Barat belum tentu demikian di negara berkembang. Menurut Pitt & Smith (1984:73-5), dalam satu negara saja dampak TI bisa berbeda-beda tergantung dari karakteristik organisasi. Kendala Pengunaan TI di Sektor Publik Secara khusus, masalah penggunaan TI bisa pula dilihat dari kesenjangan antara tingkat penggunaan TI di sektor public dan sektor pemerinhan. Penggunaan komputer dan TI lainnya kebanyakan didominasi oleh organisasi swasta, misalnya sektor perbankan dan keuangan, industri ritel, perusahaan ekspor-impor dan sebagainya. Sektor publik Indonesia sendiri lamban dalam mengambil manfaat yang ditawarkan oleh perkembangan TI. Penelitian STIA LAN Makassar (2007) berhasil mengungkap berbagai permasalahan mendasar yang menyebabkan TI tidak didayagunakan secara optimal oleh pemerintah daerah di KTI. 1. Kapasitas sumber daya manusia yang menangani TI masih renhdah. Para responden menyadari bahwa meskipun mereka sudah bisa menggunakan TI, tetapi kemampuan mereka masih terbatas dan jauh dari mencukupi. Karena itu banyak diantara responden dari berbagai lokus penelitian yang menyampaikan kebutuhan untuk pengembangan kapasitas TI dari organisasi mereka. Seorang responden di Kota Palu, misalnya, mengatakan bahwa pendayagunaan TI yang tidak optimal bukan karena tidak tersedianya perangkat TI, tetapi lebih karena kurang mampunya mereka menggunakan perangkat TI yang ada. Responden lain di Kota Palu mengakui bahwa kemampuan pegawai lebih tinggi dibanding para pejabat di lingkungan mereka, dan mengusulkan agar pengembangan kapasitas TI pejabatlah yang perlu lebih diperioritaskan. Hal ini sejalan dengan pernyataan seorang responden dari Kota Ambon yang mengatakan bahwa karena pimpinan belum menguasai TI, mereka tidak menekankan pada bawahan mereka untuk menggunakan TI, akibatnya bawahan tidak mendapatkan alasan untuk bersegera menggunakan TI. Sementara itu, kesempatan ikut Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang ada belum intensif, tidak berkesinambungan, dan belum mencakup seluruh pegawai. Selain itu kesempatan Diklat, termasuk Diklat TI, tidak terdistribusi secara adil. Bentuk Diklat juga masih kebanyakan bersifat klasikal (berbasis ceramah dan praktek di ruang kelas). 2. Aturan main dari pemerintah pusat yang terkait dengan pendayagunaan TI masih lemah. Daerah beranggapan bahwa pemerintah pusat belum memberikan cukup pedoman bagi mereka dalam mengembangkan pemanfaatan TI. Responden dari Kota Tarakan yang
5
memang merupakan salah satu diatara lokus penelitian dimana pemanfaatan TI sudah lebih maju, khawatir apakah inisiatif dibidang TI yang mereka lakukan bisa tetap konsisten dengan regulasi yang akan dibuat oleh pemerintah pusat nantinya. Senada dengan hal tersebut, seorang responden di Kota Sorong merasakan perlunya sistem pengembangan TI yang seragam untuk setiap urusan pemerintahan yang sama demi menjamin kompatibilias TI yang digunakan. 3. Penetrasi komputer sebagai salah satu bentuk TI yang dominan masih rendah. Karena komputer belum luas digunakan oleh masyarakat, manfaat inisiatif pemerintah, terutama dalam bidang pelayanan masyarakat berbasis komputer, tidak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akibatnya, meskipun pemerintah sudah mengadopsi suatu teknologi informasi, pada akhirnya akan terbengkalai karena tidak mampu digunakan oleh masyarakat. Sebagai ilustrasi, kios informasi yang dibangun oleh pemerintah Kota Ambon tidak termanfaatkan karena anggota masyarakat yang merupakan pengguna utamanya belum banyak yang mampu menggunakan komputer. Contoh lain diluar konteks penelitian STIA LAN Makassar adalah Bursa Kerja online Kota Makassar yang terpaksa ditutup karena biaya operasionalnya mahal padahal anggota masyarakat tidak banak yang menggunakannya. 4. Budaya TI di lingkungan instansi pemerintah belum terbangun. Pada umumnya TI, dalam hal ini komputer, terbatas pada fungsi wordprocessing, suatu masalah klasik yang belum banyak bergeser hingga kini. Disamping itu penggunaan TI sebagai alat komunikasi vertikal dalam organisasi masih belum sepenuhnya dianggap lumrah. Di beberapa daerah sudah mulai ada pergeseran yang terutama dipicu oleh kemauan Bupati/Walikota untuk membiasakan penggunaan telepon seluler untuk berkomunikasi dengan masyarakat, akan tetapi secara umum ini belum memadai. Terkait dengan itu, ada suatu kekhawatiran berlebihan mengenai bakal tergantikannya manusia oleh mesin. Pada satu sisi kekhawatiran semacam ini bisa dimaklumi karena di negara dimana TI digunakan secara intensif pekerjaan manusia banyak yang diotomatiskan dan diambil alih oleh mesin. Akan tetapi perlu pula dipahami bahwa yang dialihkan kepada mesin hanyalah pekerjaan yang sangat teknis dan terstruktur, sementara pekerjaan yang memelukan pemikiran dan daya kreatifitas tetap dilakukan manusia yang memang sudah merupakan keunggulan mereka yang tidak bisa tergantikan oleh mesin. Meskipun demikian, kekhawatiran tersebut tetap memiliki dampak pada terabaikannya penggunaan TI di pemerintahan. Selain itu. ada kecenderungan apresiasi terhadap pegawai dengan profesi TI masih rendah. Akibatnya tidak banyak pegawai pemerintah yang berkeinginan untuk berkarir di bidang TI. Hal ini terjadi meskipun pemerintah sudah membentuk jabatan fungsional pranata komputer. Kurangnya pegawai pemerintah yang berkarir dibidang TI menimbulkan ketergantungan pada pihak luar (biasanya supplier TI) yang meskipun bisa efektif namun mahal dan mengancam kesinambungan pengunaan TI tersebut. 5. Kelembagaan TI lemah. Pada umumnya unit yang mengelola TI di daerah adalah Kantor Pengelolaan Data Elektronik (KPDE) atau Dinas Infokom. Akan tetapi, belum semua daerah yang menjadi lokus penelitian memiliki unit khusus seperti ini. Ini bisa pula menjadi salah satu faktor mengapa penggunaan TI belum optimal. Kenyataannya daerah yang memiliki unit TI secara khusus cenderung lebih banyak memiliki inovasi TI dibandingkan yang belum memiliki.
6
Secara umum, temuan STIA_LAN Makassar (2007) menunjukkan bahwa inovasi TI yang ada dewasa ini masih bersifat piece-meal. Dari seluruh pemerintah daerah yang dikunjungi tidak ada yang memiliki dokumen strategi pendayagunaan TI secara komprehensif dan sistematis. Disamping itu, hasil wawancara menunjukkan bahwa belum ada panduan yang spesifik dari pemerintah pusat berupa cetak biru teknologi informasi di pemerintahan. Secara diagramatis, kendala pendayagunaan teknologi informasi di pemerintah daerah dapat dilihat pada Diagram 1. Sebagiamana terlihat dalam diagram tersebut, inisiatif penggunaan TI di daerah masih bersifat supply-driven, yakni didikte oleh pasar yang mensuplai TI kepada instansi pemerintah. Hal ini berarti, pemerintah daerah menggunakan TI atas dasar ketersediaan dan dengan harga yang sudah terjangkau. Faktor pemicu lainnya adalah keinginan manajemen. Idealnya, inisiatif TI bersifat demand-driven, yakni dipicu oleh kebutuhan dari organisasi. Akan tetapi yang terjadi untuk kondisi pemerintah daerah di KTI adalah quasi demand-driven, yaitu seolah-olah kebutuhan berasal dari organisasi namun kenyataannya baru sebatas keinginan pimpinan, yang dalam hal ini Bupati atau Walikota. Dalam wawancara, ungkapan yang sering muncul adalah “Ini sudah kemauan pimpinan [Walikota/Bupati], jadi mau tidak mau kami harus melaksanakannya.” Ungkapan khas lainnya adalah “Upaya pembenahan TI dimulai sejak bapak [nama Walikota/Bupati] terpilih”. Komitmen semacam ini dibutuhkan minimal untuk saat ini. Akan tetapi untuk selanjutnya obsesi peribadi pimpinan daerah perlu ditransformasikan menjadi komitmen kepemimpinan secara organisasional agar komitmen inovasi TI tersebut bisa lebih berkelanjutan. Menurut Kepala BKD Gorontalo, dorongan dari atas merupakan faktor penting dalam pendayagunaan TI.
Diagram 1. Inisiatif pemanfaatan teknologi informasi
7
Pada satu sisi, inovasi sporadis dalam pemanfaatan TI ini bermanfaat karena hasilnya segera nyata kelihatan sehingga bisa menjadi faktor motivasi untuk lebih meningkatkan penggunaan TI dalam berbagai urusan pelayanan lainnya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah daerah sudah mulai merasakan perlunya penggunaan TI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Akan tetapi pada sisi lain, tidak adanya upaya sistematis akan menimbulkan berbagai permasalahan jangka menengah dan panjang yang lebih besar seperti kompatibilitas, keamanan, biaya pemeliharaan, kesalahan pendataan, dan sebagainya. Karena inisiatif TI lebih banyak didorong oleh pihak supplier, maka daerah pada umumnya memiliki ketergantungan pada pihak luar tersebut. Dalam hal ini, pihak luar termasuk institusi swasta yang menawarkan TI dan solusi, serta instansi pemerintah pusat yang secara tradisional memiliki urusan di daerah (Depdagri, BKN, DepDiknas dan sebagainya) semasa era sentralisasi pemerintahan. Ada dua level ketergantungan: pertama, kekurangpahaman pengambil kebijakan di pemerintahan akan perkembangan TI dan solusi yang bisa ditawarkannya dan kedua, kelemahan keterampilan praktis aparat teknis dalam menggunakan TI. Kota Tarakan merupakan contoh adanya kesadaran bahwa ketergantungan terhadap pihak luar tidak akan memajukan pendayagunaan TI di daerah. Setelah beberapa kali mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan program kepegawaian yang dikontrakkan pada pihak luar, mereka mengambil langkah megirim pegawai sendiri mengikuti pelatihan TI, yang kemudian pegawai inilah yang membangun, memelihara dan menjalankannya. Karena keterkaitan erat inovasi TI dengan pimpinan tertinggi atau pejabat politik pada satu sisi, dan rendahnya rasa kepemilikan dari pejabat-pejabat terkait di level bawah pada sisi lain, maka keberlangsungan dari TI yang sudah diadopsi menjadi terancam. Hal ini sudah terlihat di beberapa daerah dimana sistem informasi berbasis TI yang sudah terbangun kembali terbengkalai ketika pimpinan yang mengusungnya sudah tidak memperioritaskannya atau sudah lengser. Di Kota Sorong, bahkan inisiatif penggunaan SMS sebagai sarana komunikasi antara masyarakat dan pemerintah mandeg setelah Pilkada selesai. Selain itu, ketergantungan pada pihak luar juga mengancam kesinambungan penggunaan TI. Kendala lainnya yaitu adanya kecenderungan pengelolaan TI tidak tuntas karena hanya menekankan pada pengadaan perangkat keras. Padahal TI terkait dengan perangkat lunak, dan lebih penting lagi adalah manusianya atau brain-ware. Akibatnya, yang dikelola dengan baik hanyalah fase pengadaan perangkat teknologinya. Membekali pegawai dengan pengetahuan dan keterampilan menggunakan TI yang sudah diadakan belum terintegrasi dalam inisiative TI di daerah. Peluang Pendayagunaan TI di Pemerintahan
Hand (1992) mengatakan bahwa semua penggunaan TI yang berhasil memiliki dua karakteristik, yaitu penyesuaian strategi TI dengan strategi organisasi, dan komitmen pimpinan puncak.
8
Ada sejumlah faktor yang bisa memicu sekaligus memacu pendayagunaan TI di pemerintahan. Pertama, penetrasi telepon seluler yang sudah semakin dalam. Dewasa ini, hampir semua pegawai memiliki telepon seluler yang cara penggunaannya tidak kalah rumit dari komputer. Dengan demikian, kebiasaan menggunakan telepon seluler bisa menjadi proses belajar untuk menggunakan TI lainnya. Maka tidak mengherankan pula jika penggunaan SMS yang merupakan salah satu fasilitas telepon seluler sudah mulai dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya. Telepon selluler berpotensi menjadi katalisator dan mengatasi rendahnya penetrasi PC yang disebutkan di atas. Telepon seluler merupakan salah satu bentuk TI yang sudah sangat meluas dikalangan aparatur pemerintah. Meskipun dibeli secara peribadi akan tetapi sering digunakan untuk urusan yang terkait dengan pekerjaan kantor. Bahkan dibeberapa daerah seperti Kota Sorong dan Kota Ambon, embrio electronic democracy sudah mulai terbentuk berkat penggunaan SMS oleh pemerintah daerah untuk berkomunikasi timbal balik dengan masyarakat. Selanjutnya, fenomena Institutional peer influence yang mulai menggejala juga bisa menjadi pemicu penggunaan TI. Penggunaan website, misalnya sangat banyak dipicu oleh kenyataan bahwa daerah tetangga sudah memilikinya. Semakin terjangkaunya harga TI turut mendorong semakin berkembangnya pendayagunaan TI di sektor pemerintahan. Perpaduan antara harga yang terjangkau, promosi yang intensif dari supplier (supply-driven) dan keinginan pimpinan daerah untuk mencoba sesuatu yang baru (quasi demand-driven) menjadikan TI semakin banyak dipergunakan di sektor publik. Untuk jangka pendek, hal ini bisa dianggap sebagai peluang. Akan tetapi, untuk jangka panjang demand-driven, harus dijadikan sebagai pemicu utama. Kesimpulan dan Saran Pendayagunaan TI di sektor pemerintahan sudah mengalami kemajuan namun belum mencapai taraf yang diharapkan. Hal ini terutama karena inisiatif TI pada umumnya belum dilaksanakan secara sistematis, tetapi masih bersifat piece-meal. Berbagai inovasi TI di daerah berjalan secara sporadis sehingga interoperability tidak terjamin. Jika kecenderungan ini berlanjut maka tidak hanya mahal secara finansial namun juga rawan terhadap keamanan dan masalah integritas data pemerintah yang dikelola melalui TI tersebut. Terlepas dari kelemahan tersebut, dalam jangka pendek, perkembangan penggunaan TI pada taraf sekarang ini bisa menjadi faktor motivasi bagi pemerintah untuk lebih intensif menggunakan TI dalam menunjang penyelengaraan urusannya. Ada sejumlah peluang yang perlu disambut dan dijadikan titik tolak memajukan dayaguna TI di sektor pemerintahan. Semakin memasyarakatnya penggunaan telepon seluler dan terintegrasinya layanan komunikasi data melalui telepon seluler tersebut merupakan solusi TI yang berpotensi menjadi katalisator yang kuat. Peluang ini bisa mengatasi rendahnya penetrasi computer di masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mendapat dukungan
9
agar menyadari keberadaan peluang tersebut dan mampu memanfaatkannya secara efektif. Adanya efek contagion atau ikut-ikutan meniru inovasi TI daerah lain, keinginan kuat pimpinan daerah, gencarnya promosi dari vendor TI, dan semakin terjangkaunya haga TI secara simultan juga merupakan peluang yang besar bagi pendayagunaan TI di pemerintahan.. Terdapat suatu kendala sistematis dan beberapa kendala lainnya yang perlu diatasi oleh pemerintah agar TI bisa didayagunakan secara lebih efektif. Kendala sistematis tersebut bersifat menyeluruh sebagaimana tergambar pada Diagram 1 dan memerlukan upaya khusus untuk mengatasinya. Untuk mengatasi berbagai kendala di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah pusat perlu mengeluarkan cetak Biru TI sebagai pedoman bagi instansi pemerintah di daerah. Dengan demikian, pendayagunaan TI yang dilakukan oleh pemerintah daerah bisa sinkron satu sama lainnya. Selain efisien dari segi biaya, integritas data dan informasi pemerintah bisa lebih terjamin. Selanjutnya, setiap instansi pemerintah yang akan membangun system informasi berbasis TI perlu mengacu pada strategi nasional tersebut dan pengembangannya secara teknis mengacu pada System Development Life Cycle, yaitu suatu metode pengembangan sistem yang sistematis dan menyeluruh. Selain itu, pemerintah daerah perlu diberi dukungan agar bisa mengembangkan inovasi sendiri berdasarkan karakteristik daerah, atau setidaknya mengadaptasi (tetapi bukan mengadopsi) inovasi dari tempat lain. Hal ini penting mengingat bahwa inovasi bersifat kontekstual. Untuk mengatasi keterbaasan sumber daya manusia, perlu pengangkatan pejabat fungsional pranata komputer atau sejenisnya untuk mengatasi ketergantungan dan menjamin kesinambungan dayaguna TI. Jabatan Fungsional Pranata Komputer perlu dibina dan dikembangkan di daerah. Hanya sekedar melengkapi keterampilan tanpa penghargaan yang terintegrasi dalam sistem karir mereka tidak akan banyak mengubah keadaan. Bahkan jika insentif jabatan fungsional ini tidak dibenahi berpotensi menciptakan brain-drain, dimana tenaga terlatih ini terbeli oleh pihak luar yang bisa memberi karir dan penghasilan yang lebih menarik. Dengan tersedianya tenaga pranata komputer yang handal, maka pihak suplier tidak bisa lagi mendikte instansi pemerintah akan kebutuhan TI mereka. Disamping itu tenaga pranata komputer bisa pula memberikan telaahan kepada pimpinan, sehingga pengadan TI menurut keinginan pimpinan bisa diubah menjadi berdasarkan kebutuhan organisasi.
10
Daftar Pustaka Choo, C. W. (1997). IT2000: Singapore's Vision of an Intelligent Island. In P. Droege (Ed.), Intelligent Environments. North-Holland. GoM (1995). The CIvil Service of Malaysia towards Vision 2020. Kuala Lumpur. Government of Ontario (1995). Creating a New Information Technology Infrastructure for the Government of Ontario: Opportunity for Renewal. Toronto. Hand, M. (1992). Managing strategic investment in information systems. In R. Dixon and R. Franks (Eds.), IT Management Handbook. (7-27). Oxford: ButterworthHeinemann. Harijadi , D.A. (2007) Strategi efektif pelaksanaan eGov. Warta eGov. IDC (2007). Information Society Index. [online]. Available: http://www.idc.com/groups/isi/main.html. Accessed: 26 September, 2007 Lind, P. (1991). Computerization in Developing Countries (Model and Reality). London & New York. Pitt, D. C. & Smith, B. C., (Eds.). (1984). The computer revolution in public administration: The impact of information technology on government. Brighton: Wheatsheaf Books. Sauer, C. (1993). Information sistem series Why information Systems Fail: A Case Study Approach. STIA LAN Makassar (2007). Pendayagunaan Teknologi Informasi pada Sektor Pemerintahan di Kawasan Timur Indonesia (unpublished). Toffler, A. (1970). Future Shock. New York: Bantam Books Toffler, A. (1980). The Third Wave. New York: Bantam Books. Welch, Wilford (2000). The Information Society Index (ISI) 2000 (A Special Report). World Bank, IDC Framingham, MA..
11