PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN PANTURA JAWA TIMUR Hadi Moeljanto1 dan Anton Dharma PM2 1
2
PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya , Telp 031-8299585, email:
[email protected] PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya , Telp 031-8299585, email:
[email protected] ABSTRAK
Kawasan Pantura di wilayah Jawa Timur terutama Gresik Utara dan Lamongan Utara merupakan daerah yang gersang namun telah mampu mengundang investor untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada yaitu penambangan dolomite atau bahan dasar pupuk terbesar di Asia Tenggara. Demikian juga di bidang pertanian akan dikembangkan kawasan inti plasma hortikultura (buah mangga) dengan tujuan kawasann ini akan menjadi pusat pengembangan hortikultura (center of horticulture development). Untuk menunjang pengembangan kawasan ini yang terutama dibutuhkan adalah air baku yang direncanakan diambil secara non-gravitasi dari Sungai Bengawan Solo melalui penampungan dan pembendungan di Gresik dan Lamongan. Analisa terhadap ketersediaan air dilakukan dengan asumsi infrastruktur yang dibutuhkan yaitu New Sembayat Barrage dan Waduk penunjang telah terbangun. Potensi ketersediaan air adalah sebesar 447.056.000m3. Sementara kebutuhan air adalah sebesar 209.639.754m3, sehingga neraca air untuk pemanfaatan pengembangan wilayah Pantura adalah surplus sebesar 237.416.256 m3. Ketersedian air ini dapat dimanfaatkan secara optimal dengan pengelolaan yang mengikutsertakan seluruh stakeholder dan tentunya perlu diakselerasi pembangunan infrastruktur New Sembayat Barrage dan infrastruktur lainnya. Kata kunci : Neraca, Hortikultura, Pantura. 1.
PENDAHULUAN
Daerah Pantura seperti kawasan Gresik Utara dan Lamongan Utara merupakan kawasan marginal sebagai lahan tidur. Adanya potensi Sumber daya Alam yang ada didaerah Pantura yang tersedia : 1. Bahan Baku Tambang 365 Ha. 2. Industri Existing 30 Ha. 3. Potensi Lahan Industri 100 Ha. 4. Potensi Lahan Perumahan 2.000 Ha. 5. Kebun Mangga Inti 500 Ha. 6. Lahan Tidur 13.500 Ha. Daerah ini memiliki potensi yang tinggi yaitu sumber daya alamnya dolomite, sebagai bahan dasar pembuatan pupuk. Diperkirakan kandungan dolomite yang ada disekitar Sungai Bengawan Solo mencapai 200 juta ton. Potensi sumber daya alam ini telah mulai dimanfaatkan oleh investor swasta PT Polowijo Gosari yang mengembangkan pabrik pupuk berbahan dasar dolomite yang terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Disamping itu investor ini pun berencana mengembangkan kawasan industri dan kawasan hortikultura yaitu dengan budidaya tanaman mangga pada lahan masyarakat petani sekitar 10.000 Ha dengan sistem kerja sama pola inti plasma. Dalam kerja sama itu nantinya peran PT Polowijo Gosari dalam pengembangan hortikultura adalah dengan menyediakan dan memberikan benih mangga jenis Chokonan dari Thailand dan Arum manis kepada petani dan memberikan pembinaan (bimbingan teknis) serta memasarkan produksi saat panen. Pengembangan inti plasma hortikultura (mangga) dikawasan Sedayu Gresik Utara (Kawasan Hortikultura Gresik) yang berdekatan kawasan semen Tuban, kawasan Lamongan Shore Base, Kawasan industri Maspion, Kawasan industri Petro Kimia, Kawasan Semen Gresik, Kawasan Industri Sidayu sampai Lamongan Utara. Air baku dalam pengembangan kawasan pantura ini sangat diperlukan sebagai syarat mutlak agar PT Polowijo Gosari sebagai investor dapat melaksanakan pengembangan inti plasma hortikultura (mangga). Dimana air baku ini dimanfaatkan bagi tercapainya tujuan sebagai pusat pengembangan hortikultura (center of horticulture development) dengan lingkup kegiatan antara lain pengembangan varietas komoditi
C-1 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
hortikultura, pemasaran dan komersial, penelitian dan pengembangan, pembibitan dan penyediaan bibit, bantuan teknis untuk kebun plasma dan kebun percontohan (show room) dan menjadi pusat pertumbuhan dan pengembangan industri serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang terintegrasi yang berbasis bahan tambang dan potensi wilayah lainnya. Adapun dari Pola Pengembangan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (PSDA-WS) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo telah merencanakan pembangunan New Sembayat Barrage di lokasi Desa Sidomukti Kec.bungah Kab.Gresik Kapasitas tampungan air sekitar 7.000.000 m3 dengan manfaat water treatment Plan (WTP) dengan debit maksimum 2 m3/det, untuk irigasi di kabupaten gresik 883 Ha, industri rumah tangga 1,446 m3 /det, tambak sekitar 3,990 m3/det. Sementara ini lahan yang telah dikembangkan PT Polowijo Gosari seluas 250 Ha dengan ada 2 embung yang ada sebagai tampungan air seluas 0,65 Ha (32.500m3) dan 0,70 Ha (35.000 m3) sedangkan kebutuhan akan air bersih didaerah Gresik utara khususnya kecamatan Panceng, sebesar 250 l/dt. Air ini akan dialirkan terlebih dahulu ke embung yang telah ada didaerah Panceng yang kemudian akan didistribusikan sesuai dengan keperluan yang ada, antara lain untuk keperluan dometik, perkebunan dan industri. Bila dikembangkan kawasan daerah pantura sangat berpotensi untuk menjadi suatu kawasan ekonomi dengan syarat New Sembayat Barrasge bisa segera dibangun karena infrastruktur sangat penting. Diharapkan pemerintah pusat dapat mempercepat realisasi pembangunan New Sembayat Barrage oleh BBWS Bengawan Solo untuk pengembangan kawasan hortikultura di Gresik Utara dan Lamongan Utara yang tanahnya sangat marginal dapat menjadi produktif dengan penyediaan air yang cukup.
2.
DASAR TEORI Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.(UU SDA no.7 tahun 2004). Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. (pasal 1 angka 20) Sistem tata air yang ada dalam DAS Bengawan Solo hilir meliputi potensi air seperti yang ada di atas permukaan misal waduk, embung, sungai dan bangunan prasarana pengairan (baik berupa bendungan, bendung maupun pintu air). Dengan diketahuinya sistem tata air maka dapat diketahui ketersediaan air di WS Bengawan Solo. Diharapkan dalam pendagunaan Sumber Daya Air pada kawasan Gresik Utara dan Lamongan Utara melalui penyediaan SDA untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air dan memenuhi berbagai keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas. Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan
C-2 ISBN : 978-979-18342-2-3
sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Pemerintah/Pemda dapat mengambil tindakan penyediaan SDA untuk: memenuhi kepentingan yang mendesak berdasarkan perkembangan keperluan, dan keadaan setempat. 3.
METODOLOGI Dengan melakukan pengumpulan data pada DAS Bengawan Solo bagian hilir dan kabupaten Gresik terutama data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi data topografi, data debit , serta data pendukung dan dilanjutkan dengan menghitung ketersediaan air yang ada infrastruktur pada Sungai Bengawan Solo dilakukan untuk mengetahui debit air di sungai. Debit air sungai Bengawan solo ini diperlukan untuk mengetahui kemampuan Tampungan air seperti New Sembayat Barrage dan lainnya dalam mengalirkan sejumlah debit air dalam waktu tertentu. 4. HASIL DAN ANALISA 4.1. POTENSI SUMBER DAYA AIR. Untuk menunjang kawasan Gresik Utara dan Lamongan Utara terdapat potensi ketersediaan yaitu dari 4 (empat) sumber masing-msing infrastruktur SDA seperti New Sembayat Barrage, Embung di kawasan PT. Polowijo Gosari, Rawa Jabung dan yang utama yaitu base flow dari Bengawan Solo. 1. New Sembayat Barrage Dengan kapasitas tampung sekitar 7 Juta m3 berjarak dari lokasi kawasan sekitar 30 km dengan penyediaan air untuk masa kering 6 bulan sekitar: 7000000 x1000 = 450 ,10l / dt , 86400 x 30 x6 penyediaan air untuk masa kering 4 bulan sekitar : 7000000 x1000 = 675,15l / dt , 86400 x 30 x4 2. Embung PT Polowijo Gosari Untuk menampung air yang dialirkan (dengan pompa) dari New Sembayat Barrage, direncanakan dibangun dua buah embung dalam kawasan PT Polowijo Gosari dikembangkan berdasar penyelidikan bahwa dengan kedalaman sekitar 10 m koefisien permeabilitas sekitar 2,11 x 10 -5 cm/ dt sehingga alokasi debit bila dikembangkan menjadi 1. Embung 1 (+ 27 Ha) dengan kapasitas embung 270.000 m2 x 10 m = 2.700.000 m3, penyediaan air untuk masa kering 6 bulan :
270000 x10 x1000 = 173,61 / dt , 86400 x30 x6 penyediaan air untuk masa kering 4 bulan :
270000 x10 x1000 = 260,42l / dt 86400 x30 x 4 2.
Embung 2 (19 Ha) dengan kapasitas embung 190.000 m2x 10m = 1.900.000 m3 untuk masa kering 6 bulan:
dengan penyediaan
190000 x10 x1000 = 122,17l / dt , 86400 x30 x6 penyediaan air untuk masa kering 4 bulan :
190000 x10 x1000 = 183,26l / dt 86400 x30 x 4 Sehingga kapasitas total 4.600.000 m3 untuk kemampuan penyediaan/supply air = 443,68 lt/dt. 3. Rawa Jabung Selain itu infrastruktur SDA lainnya melalui Rawa Jabung dekat Babat Barrage yang berjarak sekitar 80 km dari lokasi direncanakan sebagai tampungan banjir dengan kapasitas 31 Juta m3 dapat dimanfaatkan sebagai penyediaan air untuk masa kering 6 bulan sekitar :
C-3 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
31000000 x1000 = 1993,31l / dt , 86400 x30 x6 penyediaan air untuk masa kering 4 bulan sekitar :
31000000 x1000 = 2989.15l / dt . 86400 x30 x 4 Namun, perencanaannya Rawa Jabung diutamakan untuk irigasi di areal sekitarnya dan jarak yang cukup jauh dari lokasi menyebabkan alternatif pengambilan dari Rawa Jabung tidak diperhitungkan. 4. Base Flow Bengawan solo Debit yang ada dan dapat dimanfaatkan pada periode kering tercatat 28.000lt/dt.
NO 1 2 3 4
Tabel 1 : Potensi Sumber Daya Air.(Pemanfaatan musim kemarau). INFRASTRUKTUR KAPASITAS PERIODE 4 PERIODE 6 TAMPUNG (m3) BULAN (l/dt) BULAN (l/dt) Embung (2bh) 4.600.000 443,68 294,78 New Sembayat Barrage 7.000.000 675,15 450,10 Rawa Jabung 4.600.000 2995,15 1993,31 Inflow Bengawan Solo (Base 435.456.000 28.000 28.000 low Bengawan Solo) TOTAL POTENSI SDA 447.056.000 28.744,88 (tanpa rawa Jabung)
4.2. KEBUTUHAN ALOKASI AIR a. Kebutuhan air tanaman . Untuk tahap awal untuk memenuhi kebutuhan air seluas 2.500 Ha dengan Area Pelayanan untuk kebun Inti Plasma Mangga yang sudah ada luas 500 Ha dan Plasma Hortikultura luas 2.000 Ha. Sementara untuk memenuhi kebutuhan air pada lahan seluas 2.500 Ha diperlukan penyediaan/supply air sebesar 200 lt/dt melalui 2 (dua) embung yang terletak pada desa Sukodono akan dikembangkan. Sehingga Potensi Lahan Tegalan sisanya seluas 13.500 Ha (16.000 Ha- 2.500 Ha) belum memperoleh pelayanan penyediaan air. Kalau dimanfaatkan seluruhnya (16.000 Ha) diperlukan saat musim kemarau (2 kali tanam) = 1280 l/dt sekitar =663.552 m3 b. Kebutuhan air Tambak . Budidaya Udang dan Bandeng dalam 1 tahun 2 kali tanam sedang sisa waktunya sekitar 2 bulan digunakan masa pengeringan. Perencanaan pola tanam dan waktu tanam dapat dilakukan untuk penerapan pola budidaya campuran udang–bandeng (polikultur) yang diprioritaskan untuk areal yang mendapat pasok air tawar cukup (daerah muara atau yang dekat dengan sungai). Penerapan pola ini dilakukan pada akhir musim hujan atau menjelang awal musim kemarau untuk musim tanam I, dimana pada bulan tersebut juga terjadi musim nener di alam. Pada masa persiapan dan pengolahan tanah untuk musim tanam berikutnya, dilakukan pengeringan lahan tambak dalam waktu kurang lebih 2 bulan. Pada musim tanam II dapat dilakukan usaha budidaya monokultur udang windu, oleh karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan, sehingga pasokan air tawar untuk areal tambak dapat terpenuhi sehingga pengaturan salinitas air yang diperlukan pertumbuhan udang selama 1 siklus produksi dapat diterapkan. Pada penebaran kedua selama musim tanam kedua tersebut (kurang lebih 4 bulan) akan diperoleh hasil panen pada akhir musim tanam. Sebagai gambaran perencanaan waktu tanam I dan II dari alternatif I tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah.
Waktu tanam Musim tanam I Musim tanam II
Tabel 2. Pola Budidaya Tambak Pengeringan Bulan pemeliharaan Tambak 4 bulan 2 bulan 4 bulan 2 bulan
Pola budidaya Monokultur Udang Polikultur Udang
C-4 ISBN : 978-979-18342-2-3
Ketinggian air tambak yang diperlukan adalah 1 meter, dengan kebutuhan pergantian air budidaya udang untuk pemasukan dan pengeluaran setiap hari rata-rata sebesar 4% - 6 %.. Berdasarkan asumsi tersebut maka jumlah kebutuhan air perhari untuk budidaya udang per petak tambak yaitu : Diketahui : luas tambak = 2 Ha = (200 X 100) m Panjang = 200 m Lebar = 100 m Lebar caren = 5m Kedalaman caren = 1m Kedalaman pelataran = 0,5 m Perhitungan Volume: Volume air tambak (caren) = 1m x (2 x (200m x 5m)) + (2 x (90m x 5m)) = 2.900 m3 Ketinggian air di pelataran = 0,5m, maka volume airnya dapat dihitung yaitu : Volume air tambak (pelataran) = 0,5 m x 190 m x 90 m = 8.550 m3 Berdasarkan perhitungan diatas maka volume air ditambak, yaitu : Volume air tambak = Volume air di caren + volume air di pelataran = 2.900 + 8.550 = 11.450 m3 Selanjutnya kebutuhan air ditambak udang dan tambak bandeng dibagi dalam beberapa masa yaitu : Kebutuhan air pada masa persiapan tambak (1 kali dalam sebulan) : = 50% dari volume air tambak = 50% x 11.450 m3 = 5.725 m3 Kebutuhan air pada masa penebaran benur (1 kali dalam sebulan) : = 50% dari volume air tambak = 50% x 11.450 m3 = 5.725 m3 Kebutuhan air pada masa pemeliharaan (per hari dalam 2 bulan) : = 10% dari volume air tambak = 10% x 11.450 m3 = 1.145 m3 Kebutuhan air menjelang masa panen (1 kali dalam sebulan) : = 50% dari volume air tambak = 50% x 11.450 m3 = 5.725 m3 Total Kebutuhan air tambak saat MT 1 (akhir musim hujan ) seluas 3.900 Ha diperlukan air tawar sebesar = 167.456.250 m3(Poli kultur) Sedang Musim hujan ( MT II) debit air tawar tidak berpengaruh.(mono kultur) karena banyak air. c. Kebutuhan air Bersih (Water Treament Plan). Dengan manfaat water treatment Plan (WTP) sebesar 1,109 m3/det dengan debit maksimum 2 m3/det. Sehingga kebutuhan dalam jangka waktu musim kemarau (masa sulit air) selama 6 bulan sebesar = 31.104.000 m3. d. Kebutuhan air Irigasi (Water Treament Plan). Untuk kebutuhan air irigasi yang dilakukan secara konvensional dan Pola tanam Padi Padi Polowijo dengan asumsi 1,2 l/dt/ha. saat MK1 (Padi ) sedang MK 2 (Polowijo) asumsi sebesar 0,3 l/dt/ha seluas 893 Ha diperlukan air dalam 6 bulan (masa sulit air) sebesar = 10.415.952 m3 Tabel 3: Kebutuhan Sumber Daya Air.(Pemanfaatan musim kemarau/masa sulit air). NO KEBUTUHAN AIR KAPASITAS (m3) 1 Tanaman 663.552 2 Tambak 167.456.250 3 Water Treatment Plan (WTP) 31.104.000 4 Irigasi 10.415.952 TOTAL KEBUTUHAN 209.639.754
C-5 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Dari perhitungan ada kelebihan air sebesar 237.416.256 m3 saat musim kemarau atau setara dengan 15.266 lt/det selama 6 bulan. Debit ini seluruhnya mencukupi untuk digunakan kegiatan pemeliharaan sungai di bagian hilir New Sembayat Barrage. 5.
Kesimpulan dan Saran . Dengan adanya pendayagunaan Sumber Daya Air untuk Kawasan Pantura melalui ditinjau Aspek Pendayagunaan Sumber Daya Air melalui pemanfaatan Sungai Bengawan Solo dapat disimpulkan : 1. Ketersediaan air (potensi ketersediaan) yang diperhitungkan setelah infrastruktur New Sembayat Barrage dan Embung di lokasi perkebunan terbangun adalah sebesar 447.056.000m3. 2. Kebutuhan air yang diperhitungkan setelah infrastruktur New Sembayat Barrage dan Embung di lokasi perkebunan terbangun adalah sebesar 209.639.754m3. 3. Neraca air untuk pemanfaatan pengembangan wilayah Pantura adalah surplus sebesar 237.416.256 m3. Sehingga ketersediaan air dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah pantura, pemenuhan air baku, irigasi, tambak dan sekaligus sisa surplus digunakan untuk pemeliharaan sungai bagian hilir. 4. Diperlukan percepatan pembangunan Bendung Gerak New Sembayat sebagai infrastruktur utama untuk pemenuhan kebutuhan air baku bagi pengembangan area Pantura. 5. Kedepan perlu adanya kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air untuk daerah kawasan Pantura melalui suatu Badan Pengelola Air yang bekerja sama Perum Jasa Tirta I sehingga dapat melakukan pembagian air secara adil dan merata juga bisa pengembangan kawasan daerah pantura di daerah Gersik utara dan Lamongan Utara. Seperti adanya perluasan kawasan pantura juga menjadi kawasan industri dan pemukiman sehingga diperlukan infrastruktur Sumber Daya Air disekitar daerah tersebut seperti rawa jabung 6. Seluruh Stakeholder dalam kawasan pantura termasuk masyarakat harus diberi peran sesuai dengan aturan yang ada dalam menetapkan pengalokasian Sumber daya air sehingga ada kontrol bersama Pemerintah dan seluruh stake holder. 7. Kebutuhan air pada kawasan Pantura yang sangat terbatas maka diperlukan Pola Hemat air melalui rekayasa SDA seperti teknik pemberian air secara konvensional menjadi Pola SRI. karena Pola SRI menghemat air sekitar 30 – 50% dibandingkan dengan padi konvensional. 6.
Daftar Pustaka. 1. Karsono Tadjudin Cs (2010), Lompatan Gila Bisnis Keluarga , PT Balai Puataka , Jakarta. 2. Robert J Kodoatie & Roestam Sjarief (2010), Tata Ruang Air , CV.Andi Offset ,Yogyakarta. 3. Laboratorium Mekanika tanah dan Batuan ,ITS dan PDAB Jawa Timur (2009) ,Penyelidikan tanah di lokasi Desa Sukodono,Sedayu,Gresik. 4. JAWA POS (01 April 2010), PT Polowijo Gosari bangun Sentra hortikultura di lahan tidur. 5. HARIAN BANGSA(24 Mei 2010), PT Gosari percepat Ekonomi Pantura.
C-6 ISBN : 978-979-18342-2-3
STUDI DAN ANALISIS WATER BALANCE DAS PAHANG, MALAYSIA 1
Noordiah Helda
1
Dosen Program Studi Teknik Sipil, Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, Kampus : Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru, Jl. A. Yani Km.36 Telp. (0511)4773858 E-mail :
[email protected]
Abstract An understanding of the water balance is extremely important for studies of the hydrological cycle. With water balance data, it is possible to compare individual sources of water in a system, over different space and time, and to establish the degree of their effects on variations in water regime. Knowledge of the water balance assists the water resources management. This research is mainly focused on the Pahang River Basin, which is the largest river basin in Peninsular Malaysia. The development of water balance analysis in this basin is essential. It will be an important tool towards analyzing the rainfall-runoff regime and water resources assesment of the humid tropical region, in particular the Pahang River Basin. The research deals with analysis of water balance and its components in a large-scale catchment using several methods. Some main analysis were conducted to approach the integration of water balance analysis: (1) preliminary water balance analysis, which had given a first estimation of average potential evaporation of 1221 mm/y and an RC value of 0.4; (2) potential evaporation analysis, which had concluded that the Penman-Monteith and the Makkink methods can be used for humid tropical areas, with potential evaporation of 1100 to 1500 mm/y. From the result analysis, it can be summarized that there is no significant difference results among methods. Assesments of water balance for whole basin are useful inputs for further hydrological and water balance studies, especially for humid tropical areas. Keywords : water balance, water balance analysis, potential evaporation
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai salah satu subyek penelitian, analisis hidrologi banyak dilakukan sebelum perancangan suatu bangunan air. Menurut Dingman (2002), kemampuan untuk memahami dan memodelkan proses hidrologi di suatu benua dan dalam skala global menjadi penting untuk memperkirakan efek perubahan penggunaan lahan dan iklim secara luas. Di lain hal, pengetahuan tentang variasi hujan baik spatial dan temporal masih kurang, terutama di Malaysia (Ong dan Liam, 1986). Walaupun begitu, masih ada sedikit pengetahuan tentang karakteristik run-off pada hutan hujan tropis (Noguchi et al, 2005), tetapi masih terfokus pada catchment yang kecil. Oleh karena itu, studi tentang komponen Water Balance dengan melihat pada catchment yang lebih luas masih kurang. Evapotranspirasi (ET) merupakan komponen penting Water Balance bagi hutan hujan tropis di daerah rendah (lowland), sehingga menjadi penentu bagi jumlah aliran air pada lingkungan seperti itu (Schellekens et al, 2000). Penelitian ini difokuskan pada DAS Pahang (Gambar 1b), yang merupakan DAS terbesar (luas 2
29.300 km ) yang dilalui oleh Sungai Pahang (Gambar 1a) yang memiliki panjang 459 km di Semenanjung Malaysia. Sungai tsb berhulu di pertemuan Sungai Jelai dan Sungai Tembeling di Pegunungan Titiwangsa dengan meander mengarah ke tenggara, melewati Kuala Lipis, Temerloh, Chenor, Mengkarak kemudian berbelok ke timur di Lepar menuju Pekan, Kuala Pahang dan akhirnya mengalir menuju Laut China Selatan.
C-7 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Pengembangan analisis Water Balance pada DAS ini penting sebagai sarana untuk menganalisis rainfallrunoff regime dan perkiraan sumber daya air pada daerah tropis, terutama DAS Pahang.
Gambar 1: a) River Network di Semenanjung Malaysia, b) DAS Pahang (Sumber : di adopsi dari Wong, 2007) 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui water balance (dengan menganalisis komponenkomponennya) pada DAS Pahang, Malaysia, sehingga pemahaman tentang perilaku hidrologi pada daerah tropis semakin membaik. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi-definisi Terkait Teknik Water Balance (Sokolov and Chapman, 1974), merupakan satu dari subyek utama dalam hidrologi, merupakan cara pemecahan masalah bagi permasalahan hidrologi baik secara teoritis maupun praktis. Analisis awal digunakan untuk menghitung komponen water balance secara individual, dan mengkoordinasikan semua komponen dalam suatu persamaan kesetimbangan memungkinkan untuk mengidentifikasi kekurangan pada distribusi stasiun pengukur, dan juga menemukan kesalahan sistematik pada pengukuran. Akhirnya, studi water balance memberikan evaluasi tidak langsung bagi komponen water balance yang tidak diketahui (unknown) dari selisih komponen-komponen yang diketahui (misal : untuk evaporasi jangka panjang dari suatu DAS dapat dihitung dengan mengurangkan Hujan dengan Limpasan). Analisis Water Balance (Sutcliffe, 2004) adalah suatu analisis dengan pendekatan teknik water balance yang paling mudah diaplikasikan pada daerah tropis yang lembab (humid climate), dimana transpirasi dapat diasumsikan hampir sama dengan PET (Potential Evapotranspiration). Evapotranspirasi Potensial (Dingman, 2002) adalah laju evapotranspirasi yang terjadi pada suatu area yang luas secara sempurna dan seragam dengan penutupan vegetasi yang mempunyai akses ke suplai air tanah yang tidak terbatas, dan tanpa efek penyimpanan panas (advection). Jadi, bisa dikatakan bahwa evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi maksimum yang terjadi.
C-8 ISBN : 978-979-18342-2-3
2.2. Persamaan Water Balance Dengan mengganggap suatu DAS dengan panjang waktu Lt, maka dapat ditulis persamaan water balance (Dingman, 2002) sbb: P + G − (Q + ET + G in out ) =ΔS
(1)
Dimana : P = presipitasi, hujan (mm) Gin = aliran air tanah yang masuk (mm) Q = debit sungai (mm) ET = evapotranspirasi (mm) Gout = aliran air tanah yang keluar (mm) LS = perubahan tambungan (mm) dalam suatu periode waktu Dalam analisis seperti ini, biasanya diasumsikan bahwa aliran air tanah dan LS diabaikan, jika diaplikasikan untuk periode waktu yang panjang (bertahun-tahun), sehingga persamaan 1 menjadi : ET = P − Q (2)
2.3. Evapotranspirasi Potensial (PET) Dalam praktik, PET dihitung dengan beberapa metode. Pada penelitian ini, dibatasi pada metode yang paling umum digunakan dalam studi hidrologi (De Laat, 2002) sbb : 2.3.1. PET Kombinasi Penman-Monteith
C-9 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Data radiasi global RS lebih sering tersedia, tapi jika tidak, maka data tersebut dapat diperkirakan dari radiasi matahari yang diterima pada bagian luar atmosfir, radiasi RA yang secara umum dapat ditulis:
dimana : n/N = lamanya sinar matahari aktual (jam) / lamanya sinar matahari yang mungkin (jam) 2.3.2. PET dengan basis Radiasi : Metode Makkink De Laat, 2002, menyatakan bahwa jumlah evapotranspirasi bagi tanaman rumput dengan suplai air yang berlimpah, banyak ditentukan oleh tersedianya energi radiasi. Persamaan Makkink hanya didasarkan pada data radiasi global dan suhu, yang dapat ditulis:
dimana: CM = konstanta Makkink = 0.65 = digunakan sebagai metode standar untuk memperkirakan PET tanaman rumput oleh Badan Meteorologi Belanda. 2.3.3. PET berbasis suhu : Blaney-Criddle Metode Blaney-Criddle dapat diaplikasikan jika suhu udara rata-rata adalah satu-satunya data yang tersedia. Metode ini dikembangkan di Amerika Serikat untuk memperkirakan penggunaan air untuk tanaman perbulannya. Adapun rumusnya adalah sbb: ET BC = Kp (0.45 Ta + 8.13) (5) dimana: ETBC = PET Blaney-Criddle (mm/bulan) K = Koefisien tanaman = 0.75 untuk rumput, 1.0-1.2 untuk padi P = pensentase bulanan banyaknya jam siang dalam setahun (jam) Ta = suhu udara rata-rata bulanan (selama 24 jam rata-rata) 2.4. Evapotranspirasi Aktual (ETa) dengan menggunakan Soil Moisture Accounting Prosedur sederhana (De Laat, 2006) mengasumsikan bahwa pada saat awal interval irigasi di zone perakaran berada pada Kapasitas Lapang (Field Capacity). Available Moisture (AM) didefinisikan sebagai:
dimana: Dr = kedalaman zone perakaran (mm) θFC = moisture content saat field capacity (φ = -100 cm) θWP = moisture content saat wilting point (φ = -16000 cm) Fraksi p dari AM sudah tersedia (Readily Available Moisture, RAM = pAM), yang berarti selama pemakaian air oleh tanaman, evapotranspirasi aktual mempunyai nilai yang sama dengan evapotranspirasi maksimum atau evapotranspirasi potensial (ETa= ETm = PET). Nilai p bergantung pada jenis tanaman dan kebutuhan akan evaporasi (Epot) yang berkisar antara 0,2 – 0,8, tapi h sering digunakan harga rata-rata 0,5.
C-10 ISBN : 978-979-18342-2-3
Untuk kondisi pada saat waktu t, actual moisture content, Mt di zone perakaran mencapai nilai (1-p)AM, dapat diasumsikan bahwa evapotranspirasi relatif akan berkurang secara linier dari harga 1 sampai 0 ketika semua available moisture telah digunakan, sehingga : Untuk :
Yang harus dicatat adalah untuk persamaan water balance di atas, cappilary rise diabaikan (dengan asumsi muka air tanah yang dalam) dan hujan netto (setelah dikurangi dengan intersepsi) masuk ke tanah (tidak ada run-off).
2.5. Ketersediaan Data Untuk studi ini, data yang tersedia pada DAS Pahang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ketersediaan Data No.
Data
Periode
1
Hujan harian
1985 -2004
Jumlah Stasiun 8
2
Run-off
1985 -2004
5
3
Evaporasi
1985 -2004
12
Lokasi/
Nama Stasiun
Sumber
Di dalam DAS (5)
Bukit Betong,Kg. Merting, Kg.Serambi, Lubok Paku dan Ldg. Mentakab. Kuantan, Malacca dan KL Subang Sg. Jelai B, Sg. Jelai A, Sg. Pahang C, Sg. Pahang B dan Sg. Triang Class A pan (6 stasiun) Raw data ( 6 stasiun)
DID, NOAA
Di luar DAS (3) Di dalam DAS
DID
DID NOAA
C-11 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
3.
Metodologi
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada perumusan masalah, studi pustaka, konsep dan pengetahuan yang didapatkan sebelumnya. Secara umum, dimulai dari studi pustaka, diikuti dengan persiapan data dan analisis dan diakhiri dengan penulisan laporan. Khusus untuk persiapan data, data meteorolgi yang diperlukan diperoleh dari DID (Department of Irrigation and Drainage, Malaysia) dan NOAA website. Untuk memperoleh catchment area,stream network dan lokasi yang tepat bagi stasiun hujan, debit dan evaporasi, digunakan ArcGIS 9.2 Jalannya penelitian dan prosedur analisis data dapat dilihat dari bagan alir pada gambar 2 berikut:
Gambar 2. Prosedur Jalannya Penelitian 4. Hasil dan Diskusi 4.1. Preliminary Water Balance Analysis Penentuan hujan DAS pada studi ini didasarkan pada metode Poligon Thiessen. Garis-garis digambarkan untuk menghubungkan sembilan (9) stasiun hujan yang ada. Garis penghubungnya berpotongan tegak lurus untuk membentuk sebuah poligon setiap stasiunnya, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan pada pembagian sub-DAS C1, C2, C3, C4 dan C5, maka perhitungan weight mengacu pada penentuan batas DAS dengan kombinasi Poligon Thiessen.
Gambar 3. Poligon Thiessen untuk setiap Sub-DAS
C-12 ISBN : 978-979-18342-2-3
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa setiap sub-DAS mempunyai batas stasiun pengukur debit, sehingga dapat digambarkan batas sub-DAS (garis hijau) yang berdasarkan pada water divide. Setiap sub-DAS memiliki batasnya masing-masing. C5 merupakan area keseluruhan DAS, dimana stasiun pengukur debit berada pada bagian hilir sistem sungai Pahang. Perhitungan weight dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perhitungan Weight
Sumber : diadopsi dari Helda, 2008 Hasil perhitungan untuk Preliminary Water Balance Analysis dapat dilihat pada Tabel 3. Dapat disimpulkan bahwa harga parameter water balance berada pada kisaran yang sama, kecuali pada sub-DAS C1. Hal ini dimungkinkan karena lokasi sub-DAS C1 yang terletak di kawasan Pegunungan Titiwangsa yang memiliki kemiringan yang terjal sehingga memberikan nilai RC (run-off coefficient) yang tinggi, sementara sub-DAS C4 terletak di dataran yang rendah (nilai RC cukup kecil). Tabel 3.Overview Analisis Statistik untuk semua Sub-DAS
Dari Tabel 3. dapat disimpulkan untuk setiap sub-DAS: a. Hujan, semua sub-DAS memiliki kisaran nilai hujan yang sama, yaitu 2000-2500 mm/tahun. b. Run-off, semua sub-DAS memiliki kisaran nilai run-off yang sama, yaitu 900 mm/tahun. c. Selisih hujan dan run-off merupakan PET dengan kisaran nilai 1200 mm/tahun. d. Nilai RC, semakin tinggi lokasi, semakin tinggi juga nilai RC.
C-13 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Pada Gambar 4 ditunjukkan hujan bulanan untuk DAS C5 menurut tahun hidrologi yang telah dihitung sebelumnya. Bulan Desember merupakan bulan dimana curah hujan mencapai nilai tertinggi, kecuali pada tahun 1994, 2002 dan 2004. Nilai curah hujan bulanan ini dapat digunakan untuk menentukan curah hujan 3 bulanan yang dipilih. Pada studi ini, telah dipilih untuk memulai pada bulan Desember, Januari dan Februari yang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Hujan Bulanan untuk DAS C5 Pada Gambar 5, dapat disimpulkan bahwa untuk semua tahun hidrologi memiliki trend yang sama, terdapat nilai maksimum dan minimum. Nilai maksimum terjadi pada Sep-Okt-Nov (SON), kecuali di tahun 1995 dan 2000. Nilai minimum hujan 3 bulanan terjadi pada bulan Jun-Jul-Agst (JJA) juga Maret-April-Mei (MAM).
Gambar 5. Hujan 3 bulanan untuk DAS C5 Pada Tabel 4 diperlihatkan perhitungan water balance 3 bulanan untuk C5. Hujan DAS total adalah 1928 mm/tahun, dengan hujan 3 bulanan minimum 404 mm/3 bulan yang terjadi pada bulan Jun-Jul-Agst (JJA) dan hujan 3 bulanan maksimum 590 mm/3 bulan yang terjadi pada bulan Sept-Okt-Nov (SON). Untuk runoff total adalah 816 mm/tahun yang terjadi pada bulan Des-Jan-Feb (DJF). Nilai selisih (P-R) dapat dipertimbangkan sebagai PET rata-rata untuk DAS tsb. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa hujan maksimum menghasilkan PET maksimum dan juga sebaliknya. Menurut Hickel dan Zhang (2006), pada basis hujan tahunan rata-rata, dalam kondisi yang benar-benar basah, Eta akan mendekati secara asimtotis PETnya. Untuk nilai RC, berkisar antara 0,38-0,54, dengan harga rata-rata 0,4, yang merupakan nilai RC untuk daerah tropis yang lembab. Semua nilai yang ada pada Tabel 4 ada dalam kisaran hujan dan evapotranspirasi tahunan yang terjadi di Semenanjung Malaysia (EPU, 1999). Juga berbanding lurus dengan negara tropis yang lembab lainnya seperti Amazonia, Brazil (yang merupakan satu dari DAS terbesar di dunia) yang memiliki hujan tahunan rata-rata 1930 mm/tahun dan evapotranspirasi tahunan 1430 mm/tahun (D’Almeida dkk, 2006).
C-14 ISBN : 978-979-18342-2-3
Tabel 4. Overview Water Balance 3 bulanan untuk C5
4.2. Analisis PET Dalam perhitungan PET untuk setiap stasiun, digunakan tiga (3) metode seperti yang telah disebutkan pada metodologi penelitian. Untuk metode Penman-Monteith, PET dihitung untuk 4 stasiun saja, karena data kecepatan angin pada 2 stasiun lainnya tidak tersedia. Untuk metode Makkink dan BlaneyCriddle, semua stasiun yang ada dapat dihitung. Tabel 5. menunjukkan summary PET tahunan dari data meteorologi yang didapat dari NOAA dan DID. Perbandingan ketiga metode dapat dilihat pada Gambar 6. Tabel 5. Summary PET tahunan untuk setiap stasiun
C-15 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 6. Perbandingan nilai PET pada beberapa metode: a)Penman-Monteith b)Makkink c)Blaney-Criddle (Sumber : diadopsi dari Helda, 2008) Dari Tabel 5 dan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa nilai PET yang dihitung dengan metode PenmanMonteith dan Makkink sesuai dengan PET untuk daerah tropis (DAS Pahang), dengan kisaran nilai 1100 s.d. 1500 mm/tahun, yang sesuai dengan PET dalam analisis water balance sebelumnya (1221 mm/tahun).
C-16 ISBN : 978-979-18342-2-3
Sedangkan, metode Blaney-Criddle over-estimate nilai PET untuk DAS Pahang. Pada Gambar 6.(a), nilai PET (Penman-Monteith) pada tahun 1998 berada jauh dari data lainnya (ditunjukkan dengan bentuk oval merah), dapat dikatakan sangat jauh lebih kecil dari stasiun lainnya. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya nilai kecepatan angin yang hilang pada tahun 1998 tersebut, yang tentunya mempengaruhi perhitungan PET metode Penman-Monteith yang diharapkan memiliki nilai lebih tinggi daripada stasiun lain, mengikuti trend seperti pada tahun yang lainnya untuk stasiun KL Subang.
4.3. Analisis Eta Dengan mempertimbangkan intersepsi, Eta dihitung dengan menggunakan model soil moisture accounting. Pada model ini, diambil asumsi jenis tanahnya berupa sandy loam (lempung berpasir). Kedalaman untuk zone perakaran dibedakan untuk daerah berumput (300 mm) dan hutan (1500 mm). Summary PET dan Eta dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Summary PET dan Eta Tahunan
Dari Tabel 7 dan Gambar 7, dapat dilihat bahwa nilai PET berkisar antara 1100 -1500 mm/tahun, dimana Eta berkisar antara 800 – 1200 mm/tahun. Secara umum, nilai PET lebih tinggi daripada Eta, namun pada perhitungan PET untuk rumput lebih tinggi daripada hutan, yang seharusnya adalah sebaliknya. Hal ini mungkin dikarenakan sensitivitas parameter yang terlibat (suhu dan kelembaban) dalam perhitungan PET Penman-Monteith.
Gambar 7. PET dan Eta tahunan
C-17 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
4.4. Summary Dalam pengertian studi dan analisis water balance, penelitian ini mencoba untuk menggabungkan semua aspek dari komponen water balance. Nilai analisis tahunan rata-rata untuk semua komponen water balance dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Overall Analisis Tahunan Rata-rata
Pada Tabel 9, ditunjukkan nilai tahunan rata-rata sebagai referensi (berhubungan dengan komponen water balance) dari beberapa literatur untuk Malaysia secara umum dan Semenanjung Malaysia secara khusus. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa hampir semua nilainya berada dalam kisaran nilai dari literatur. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa studi ini dapat digunakan untuk pengembangan di masa depan studi tentang water balance pada DAS Pahang khususnya dan Malaysia pada umumnya. Tabel 9. Nilai Tahunan Rata-rata sebagai Referensi (dari literatur)
5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a) Dengan Preliminary water balance analysis, dapat diberikan perkiraan pertama PET pada DAS Pahang sebesar 1221 mm/tahun. b) Penman-Monteith lebih disukai pemakaiannya, jika diketahui data-data meteorologi yang tersedia di Indonesia. c) Dengan menggunakan soil moisture accounting, Eta diitung. Secara umum, Pet lebih tinggi nilainya dari ETa. 5.2. Saran a) Penggunaan analisis water balance dapat direkomendasikan bagi negara berkembang yang hanya sedikit memiliki peralatan laboratorium dan data. b) Dengan banyaknya data lengkap tentang vegetasi, land use dan soil type akan sangat berarti dalam perhitungan PET dan ETa. c) Studi lanjut tentang intersepsi perlu dilakukan dengan lebih banyak pengukuran dan pengumpulan data
C-18 ISBN : 978-979-18342-2-3
seperti komponen-komponen intersepsi. Terimakasih dan penghargaan ditujukan bagi Prof. Stefan Uhlenbroek dan DR. Raymond Venneker, sebagai pembimbing tesis S2 di UNESCO-IHE Institute for Water Education, Delft, The Netherlands. Juga bagi NESO Jakarta atas dukungannya melalui beasiswa StuNed. Referensi De Laat, P. J. M (2006), Soil-Water-Plant Relations, Lecture Notes, Unesco-IHE Institute for Water Education, Delft, The Netherlands. DÁlmeida, C., et al (2006), A water balance model to study the hydrological response to different scenarios of deforestation in Amazonia, Journal of Hydrology, 331,125-136. DID (1976), Evaporation in Peninsular Malaysia, Water Resources Publication No.5, Ministry of Agriculture Malaysia. DID (2003), National Register of River Basin: Final Report of Updating condition of flooding in Malaysia, Department of Irrigation and Drainage Malaysia. Dingman, S.L. (2002), Physical Hydrology 2nd edition, Prentice-Hall, Inc, New Jersey. EPU (1999), Masterplan for the development of water resources in Peninsular Malaysia 2000-2050, Economic Planning Unit, Kuala Lumpur. Helda, N. (2008), Water Balance Study and Analysis for the Pahang River Basin, Malaysia, M. Sc. Thesis, UNESCO-IHE Institute for Water Education, Delft, The Netherlands. Hickel, K., and L. Zhang (2006), Estimating the impact of rainfall seasonality on mean annual water balance using a top-down approach, Journal of Hydrology, 331, 409-424. Noguchi, S., et al. (2005), Runoff characteristics in a tropical rain forest catchment, Journal Agricultural Research Quarterly (JARQ), 39(3), 215-219. Ong, C.Y., and W. L. Liam (1986), Variation of rainfall with area in Peninsular Malaysia: Water Resources Publication No. 17, Department of Irrigation and Drainage Malaysia. Schellekens, J., et al. (August 2000), Evaporation from a tropical rain forest, Luquillo Experimental Forest, eastern Puerto Rico, Water Resources Research 36, 2183-2196. Sokolov, A. A., and T. G. Chapman (1974), Methods for water balance computations: An international guide for research and practice, The UNESCO Press, Paris. Sutcliffe, J. V. (2004), Hydrology: A question of balance, IAHS Press. Wong, C. L. (2007), Assesment and modelling of large-scale hydrological variability in Peninsular Malaysia, PhD research proposal thesis, UNESCO-IHE Institute for Water Education, Delft, The Netherlands.
C-19 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
C-20 ISBN : 978-979-18342-2-3
DENTIFIKASI KONDISI GEOLOGI, HIDROGEOLOGI DAN KOMPONEN HIDROLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI BONE DI PROVINSI GORONTALO Tatas Dosen/ Peneliti Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
[email protected] Abstrak Daerah Aliran Sungai Bone yang bermuara di Kota Gorontalo merupakan kesatuan wilayah daerah tangkapan air yang akan memberikan pengaruh pada sirkulasi air di daerah tersebut. Di daerah tangkapan air ini terjadi sirkulasi hidrologi yang mencangkup presipitasi, evaporasi, infiltrasi, run-off, dan lain-lain. Setiap komponen tersebut akan saling berpengaruh, karena merupakan sebuah siklus yang tidak terputus. Informasi terkait Das Bone, baik data hujan dan klimatologi maupun dari tulisan ilmiah sangat minimal. Di paper ini dikaji kondisi geologi, hidrogeologi, serta komponen hidrologi Das Bone seperti curah hujan, data klimatologi, penguapan, water storage, dan lain-lain dengan menggabungkan beberapa metode seperti Gridded Surface Subsurface Hydrologic Analysis (GSSHA), Poligon Thiesen, Penman dan Debit Banjir Nakayasu. Berdasarkan hasil studi pustaka dan analisis diperoleh bahwa kondisi geologi terlihat adanya penunjaman oleh Lempeng Laut Philipina, sehingga tumbukan ini menyebabkan Provinsi Gorontalo umumnya berbukit-bukit. Kondisi hidrogeologi di Das Bone memperlihatkan bahwa sebaran potensi cekungan airtanah di Das Bone jika dibandingkan dengan luasan das jauh lebih kecil. Nilai komponen hidrologi di Das Bone adalah curah hujan 1500 - 2000 mm per tahun, evapotranspirasi 1600 mm per tahun, debit banjir berdasarkan Nakayasu untuk curah hujan sebesar 2 mm, 6 mm, 10 mm berturut-turut adalah 45 m3/det, 135 m3/det dan 230 m3/det. Kata kunci : Das Bone, Geologi, Gorontalo, Hidrogeologi, Hidrologi.
PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (das) sebagai kesatuan wilayah daerah tangkapan air akan memberikan pengaruh pada sirkulasi air di daerah tersebut. Di daerah tangkapan air ini terjadi sirkulasi hidrologi yang mencangkup presipitasi (hujan), evaporasi (penguapan), infiltrasi (peresapan), run-off (aliran permukaan), dan lain-lain. Setiap komponen tersebut akan berpengaruh satu dan lainnya, karena merupakan sebuah siklus yang tidak terputus. Daerah Aliran Sungai Bone sebagai das yang bermuara di Kota Gorontalo merupakan salah satu dari tiga das yang bermuara di kota ini. Selain Das Bone, ada juga yang berasal dari Das Bolango dan Das Talamate, yang keduanya mengalir dari arah utara Gorontalo. Sementara itu, Das Bone berasal dari sebelah sisi timur Provinsi Gorontalo (lihat gambar 1). Sedikitnya informasi mengenai Das Bone maka otomatis akan mempersulit studi tentang das ini. Kondisi tersebut diperparah dengan sedikitnya stasiun-stasiun pengukur komponen hidrologi seperti stasiun hujan maupun stasiun klimatologi di das ini. Pada tulisan ilmiah ini akan dikaji komponen-komponen hidrologi, geologi dan hidrogeologi di Das Bone seperti curah hujan, data klimatologi, penguapan, water storage, dan lain-lain, yang berhasil dikumpulkan dari data primer yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di bandara udara di Kota Gorontalo.
C-21 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 1. Lokasi Das Bone pada peta Provinsi Gorontalo (Pemda Provinsi Gorontalo, 2004).
METODOLOGI Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian atas penelitian-penelitian terdahulu, Gridded Surface Subsurface Hydrologyc Analysis (GSSHA) untuk mendeliniasi batas-batas das dan menentukan daerah pengaruh hujan, Poligon Thiesen untuk menghitung distribusi hujan, Metode Penman untuk menghitung penguapan, dan untuk metode perhitungan debit menggunakan debit banjir Nakayasu. Gridded Surface Subsurface Hydrologyc Analysis (GSSHA) Deliniasi daerah aliran sungai didasarkan pada model yang dikembangkan Downer & Ogden (2002) yaitu Gridded Surface Subsurface Hydrologic Analysis (GSSHA). Poligon Thiesen 𝑛𝑛
1 𝑅𝑅� = ∙ � 𝑅𝑅𝑖𝑖 ∙ 𝐴𝐴𝑖𝑖 𝐴𝐴 𝑖𝑖=1
Keterangan : 𝑅𝑅� = rata-rata hujan (mm). = curah hujan di poligon ke-i yang tercatat di stasiun hujan poligon ke-i (mm). 𝑅𝑅𝑖𝑖 = luas poligon ke-i (km2). 𝐴𝐴𝑖𝑖 A = luas total catchment area (km2).
Metode Penman Metode Penman didasarkan atas kesetimbangan energi untuk menghitung perubahan volume air antara penguapan permukaan dan atmosfer. Kebutuhan data untuk menghitung evapotranspirasi dengan metode tersebut adalah temperatur maksimum, temperatur minimum, radiasi matahari, kelembaban, kecepatan angin, curah hujan dan jumlah hari hujan. Dalam hitungan, beberapa data juga tergantung dari posisi astronomisnya, misalnya untuk data radiasi. Debit Banjir Nakayasu Formula hidrograf banjir yang dikembangkan oleh Nakayasu adalah : C ∙ A ∙ Ro Qp = 3,6 ∙ �0,3 ∙ Tp + T0,3 �
Keterangan : = debit puncak banjir (m3/det) Qp = curah hujan (mm) R0 = waktu mulai hujan sampai puncak banjir (jam), Tp = t c + 0,8 ∙ t r Tp T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak (jam).
C-22 ISBN : 978-979-18342-2-3
Waktu konsentrasi
tc = t0 + t f Keterangan : tc = waktu konsentrasi (menit). to= waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air di lahan hingga mencapai saluran (menit). tf = waktu yang diperlukan air untuk mengalir pada saluran hingga mencapai titik yang ditinjau (menit). Nilai to berdasarkan Kerby :
n t 0 = 1.44 × L0 × S 0
0.467
keterangan, to = waktu pengaliran di lahan (menit). Lo= panjang lahan dari titik terjauh hingga saluran (m). n = koefisien kekasaran permukaan lahan (n Kerby berdasarkan Ven Te Chow, et all 1988) So= kemiringan lahan Nilai tf berdasarkan Nakayasu L<15 km t f = 0,21 ∙ L0,7 L>15 km t f = 0,4 + 0,058 ∙ L Keterangan : L = panjang alur sungai (km) tr = antara 0,5*tc hingga tc
Nilai T0,3 Nakayasu T0,3 =∝∙ t c Keterangan : α = 2 untuk daerah pengaliran biasa α = 1,5 untuk bagian hidrograf naik yang lambat dan bagian menurun yang cepat α = 3 untuk bagian hidrograf naik yang cepat dan bagian menurun yang lambat Koefisien pengaliran Koefisien ditentukan berdasarkan jenis tutupan lahannya, semakin mudah lahan menyerap air maka semakin kecil nilai koefisien pengalirannya. Dalam satu DAS tentunya tidak hanya ada satu jenis tutupan lahan, namun bisa terdiri dari bermacam-macam jenis. Misalnya, tutupan lahan bisa berupa perumahan, hutan, daerah pertanian, dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan nilai C, maka dilakukan perhitungan nilai C gabungan yang perbandingannya berdasarkan luas dari jenis-jenis tutupan lahan tersebut (Sosrodarsono, ...........). HASIL DAN DISKUSI 1. Geologi Das Bone, dalam hal ini Provinsi Gorontalo merupakan bagian dari Lempeng Eurasia, yang mengalami penunjaman oleh Lempeng Laut Philipina. Di sebelah utara Provinsi Gorontalo, terdapat zona tumbukan, tepatnya berada di Laut Sulawesi. Tumbukan ini menyebabkan Provinsi Gorontalo umumnya berbukit-bukit. Selain tumbukan yang berasal dari utara, juga ada tumbukan yang berasal dari sebelah timur Pulau Sulawesi (lihat Gambar 2). Adanya proses geologi seperti itu, menyebabkan di daerah ini terjadi mineralisasi sehingga merupakan daerah potensial untuk pertambangan. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Kotamubago, di daerah hilir Das Bone terdapat sesar yang membujur ke arah Barat - Timur dan Barat Laut - Tenggara (Gambar 3). Jadi Das Bone dipotong oleh sesar geser kanan (dextral), yaitu sesar yang membujur dari Barat Laut Tenggara.
C-23 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 2. Peta Sebaran Gempa Bumi dan Zona Penunjaman (Oktariadi, 2007)
Gambar 3. Peta Geologi dalam Cakupan DAS Bone (garis hitam putus-putus) Sumber: Apandi dan Bahtiar (1997) PT. Sarana Bhuana Jaya, 2007.
2. Hidrogeologi Potensi hidrogeologi di Provinsi Gorontalo, khususnya yang dilingkupi oleh Das Bone terdiri atas tiga Cekungan Airtanah (CAT). Ketiga CAT tersebut adalah CAT Bone (luas 326 km2), CAT Pinogu (luas 112 km2) dan CAT Gorontalo (luas 481 km2). Potensi airtanah bebas dan tertekan di ketiga CAT tersebut berturut-turut adalah sebagai berikut ini: 143 juta m3/tahun dan 13 juta m3/tahun, 31 juta m3/tahun dan 4 juta m3/tahun, 195 juta m3/tahun dan 17 juta m3/tahun (Danaryanto, dkk 2005). Sebaran potensi cekungan airtanah di Das Bone jika dibandingkan dengan luasan das jauh lebih kecil.
C-24 ISBN : 978-979-18342-2-3
Gambar 4. Peta Potensi Airtanah Tertekan dan Bebas di Cekungan Airtanah di Provinsi Gorontalo 3. HIDROLOGI Batas Das dan Luasan Poligon Thiesen Deliniasi batas Das Bone dengan menggunakan program komputer yang menggunakan aplikasi Gridded Surface Subsurface Hydrologyc Analysis (GSSHA). Dalam program tersebut menggunakan bantuan data topografi dengan format Digital Elevated Model (*.dem). Tahapan yang digunakan adalah dengan cara menentukan titik outlet das terlebih dahulu, selanjutnya secara otomatis program mendeliniasi batas das yang dikehendaki. Berdasarkan hasil deliniasi maka GSSHA dapat menghitung luas Das Bone. Hasil deliniasi menunjukkan bahwa luas Das Bone adalah 1236,45 km2 (lihat Gambar 5).
Gambar 5. Deliniasi DAS Bone GSSHA juga mampu membuat luasan daerah pengaruh hujan berdasarkan model Poligon Thiesen. Tampilan yang diberikan adalah berupa luasan daerah pengaruh dengan memasukkan koordinat astronomis tiap stasiun hujan. Selanjutnya tampilan luasan tersebut dianalisis dan menghasilkan luasan daerah pengaruh pada Stasiun Suwawa adalah 15%, sedangkan luas daerah pengaruh Stasiun Tilongkabila mencapai 85%.
C-25 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Berdasarkan Peta Provinsi Gorontalo yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, dengan skala peta 1:300.000, ada sekitar 17 anak sungai yang bermuara di Sungai Bone, ke 17 anak sungai tersebut sebagai sumber air di Sungai Bone. Sumber air sungai ini berasal dari pegunungan dan bukit yang berada di daerah hulu, seperti Gunung Tapambundu (876 meter di atas muka laut) yang mengalirkan Sungai Moloti, Gunung Taneya, dengan elevasi 803 meter, yang mengalirkan Sungai Bulawa, Pegunungan Perantanaan, Gunung Molintogupo (1170 meter di atas muka laut), Gunung Olaola (1584 meter), serta Pegunungan Tilongkabila yang mengalirkan Sungai Bulaw. Pengunungan dan gunung tersebut berada di sisi sebelah utara Sungai Bone. Sumber air DAS Bone yang berasal dari sisi selatan adalah Gunung Taneya (803 meter) yang mengalirkan Sungai Bulawa, Gunung Imani (1495 meter) dan Gunung Ledaleda (993 meter) yang mengalirkan Sungai Tulabolo dan Gunung Lantadutomula (932 meter) yang mengalirkan Sungai Dumayo. Selain berasal dari sisi utara dan sisi selatan Sungai Bone, Das Bone juga mencakup Provinsi Sulawesi Utara sebelah barat. Sumber air Das Bone yang berasal dari Sulawesi Utara dialirkan oleh Sungai Balagudu. Das Bone yang masuk Provinsi Sulawesi Utara seluas 190,26 km2, atau 15,4% dari luas total Das Bone (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Batas Das Bone (garis hitam putus-putus) yang mencakup Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara Bentuk DAS Bone adalah memanjang. Panjang sisi memanjang DAS Bone hingga 73,04 km dan sisi melintangnya adalah 32,07 km (lihat Gambar 6). Bentuk DAS tersebut akan berakibat pada perilaku aliran sungainya. Waktu tempuh yang dibutuhkan air hujan hingga mencapai muara (outlet) Sungai Bone akan lebih lama jika dibandingkan untuk bentuk das yang pendek. Apabila terjadi hujan di daerah hulu, maka tidak secara serta merta air mencapai outlet, namun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapainya. Sehingga di daerah hilir debit air bisa saja berubah besar meskipun disekitarnya tidak sedang hujan. Curah Hujan dan Klimatologi Provinsi Gorontalo merupakan provinsi yang relatif masih baru, dan merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara. Karena sebagai provinsi baru, maka informasi data sekunder curah hujan dan klimatologi sangat kurang. Jumlah stasiun hujan yang berhasil diidentikasi ada tiga stasiun dengan data hujan yang cukup bagus yaitu BMKG Bandara Udara Jalalludin (0,39oLU, 122,51oBT), Stasiun Hujan Tilongkabila di Kecamatan Tilongkabila dan Stasiun Hujan Suwawa (0,53oLU, 123,4oBT). Lokasi Stasiun BMKG Jalalludin berada di luas Das Bone sedangkan dua stasiun hujan yang lain berada di sebelah hilir DAS Bone. Selain ketiga stasiun hujan tersebut terdapat beberapa stasiun hujan lainnya, namun karena terlalu banyak data yang tidak lengkap (tidak tercatat) maka tidak digunakan dalam analisis hidrologi.
Karakter hujan di DAS Bone cenderung ada sepanjang tahun, dengan rata-rata curah hujan 1500 - 2000 mm per tahun, dengan temperatur antara 23 oC -31oC. Harga evapotranspirasi di daerah tersebut termasuk besar,
C-26 ISBN : 978-979-18342-2-3
dengan rata-rata mencapai 1600 mm per tahun. Meskipun Das Bone cenderung mengalami hujan sepanjang tahun, karena penguapan yang tinggi maka water surplus juga tidak terlalu besar, bahkan cenderung mengalami nilai nol (lihat gambar 7). Kondisi tersebut juga diperparah dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit. Kondisi tersebut mengakibatkan hujan yang terjadi akan dengan mudah mengalir sebagi aliran permukaan. Karena limpasan yang besar tersebut maka setiap hujan akan berpotensi menjadi banjir, sehingga menyebabkan minimnya jumlah air hujan yang terinfiltrasi, yang pada akhirnya mengurangi sumber pasokan airtanah. Curah hujan tinggi cenderung terjadi pada bulan Oktober hingga Juni. Rata-rata curah hujan di bulan-bulan tersebut adalah di atas 100 mm/bulan tepatnya hingga 172 mm/bulan. Sedangkan pada bulan Juli hingga Nopember cenderung mengalami penurunan tinggi curah hujan, yaitu berkisar antara 60100 mm/bulan. Berbeda dengan tinggi curah hujan, evapotranspirasi sepanjang tahun cenderung stabil. Nilai evapotranspirasi berkisar antara 120-155 mm/bulan. Tataguna Lahan Berdasarkan pengamatan di lapangan, tutupan lahan di DAS Bone didominasi oleh hutan, selain itu juga lahan pertanian dan perkebunan, serta permukiman penduduk. Permukiman penduduk tidak lebih dari 10% luas DAS, yaitu sekitar 104,28 km2. Sehingga dapat dikatakan bahwa luas lahan tertutup di DAS Gorontalo adalah 1132,18 km2. Hidrograf Banjir Berdasarkan hasil analisis, kemiringan lahan 0,136, panjang lintasan di lahan 4934,74 meter, kemiringan saluran 0,016 dengan panjang 84,76 km. Waktu pengaliran dilahan 45,7 menit dan di saluran 5,3 jam. Nilai Tp adalah 8,5 jam dan T0,3 adalah 9,1 jam. Nilai koefisien pengaliran gabungan adalah 0,77 maka hidrograf banjir yang mungkin terjadi untuk berbagai variasi curah hujan dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 memperlihatkan bahwa untuk waktu puncak yang sama (tp = 8,5 jam), dengan harga curah hujan (R) yang berbeda, akan menghasilkan nilai debit puncak banjir yang berbeda. Untuk curah hujan R = 4 mm, akan menghasilkan debit puncak sebesar 90 m3/det. Dengan demikian dapat disimpulkan berapa nilai Q berdasarkan nilai besarnya curah hujan. Bentuk hidrograf banjir yang lebih condong ke sisi sebelah kiri memperlihatkan bahwa antara waktu menuju banjir puncak lebih cepat dari pada waktu surut banjir. Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa asumsi curah hujan tersebut adalah curah hujan seragam, artinya terjadinya hujan dalam satu das dalam waktu yang bersamaan secara merata. Karena tingkat sebaran alat pengukur curah hujan yang tidak merata dan jumlahnya hanya dua, keakuratan kejadian hujan di lapangan sulit diprediksi, apalagi biasanya hujan terjadi secara lokal (setempat). Namun demikian dengan melakukan simulasi berbagai bentuk hidrograf banjir masalah tersebut dapat diminimalisir ketidakakuratannya. 200,0 150,0 mm/ bulan
Curah Hujan
100,0 Limited Evapotranspira tion Water Surplus
50,0 0,0 0
1
2
3
4
5 bulan 6 7
8
9
10 11 12
Gambar 7. Rata-rata Curah Hujan, Evapotranspirasi dan Water Surplus dalam Kurun Waktu Setahun
C-27 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
C-28
ISBN : 978-979-18342-2-3
Tabel 3 Rata-rata Evapotranspirasi di DAS Bone
250
2 4
debit - m3/det
200
6
150
8 10
100 50 0 0,0
5,0
10,0
15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 waktu - jam Gambar 11. Hidrograf kejadian banjir berdasarkan berbagai variasi curah hujan (R dalam mm)
KESIMPULAN Kondisi geologi di Das Bone sebagai bagian wilayah di daratan Sulawesi sebelah utara memperlihatkan bahwa adanya penunjaman oleh Lempeng Laut Philipina, sehingga tumbukan ini menyebabkan Provinsi Gorontalo umumnya berbukit-bukit. Adanya proses geologi seperti itu, menyebabkan di daerah ini terjadi mineralisasi sehingga merupakan daerah potensial untuk pertambangan. Kondisi hidrogeologi di Das Bone memperlihatkan bahwa sebaran potensi cekungan airtanah di Das Bone jika dibandingkan dengan luasan das jauh lebih kecil. Beberapa komponen yang berhasil diidentifikasi di Das Bone adalah curah hujan tahunan sebesar 1500 - 2000 mm per tahun, evapotranspirasi sebesar 1600 mm per tahun, debit banjir berdasarkan Nakayasu untuk curah hujan sebesar 2 mm, 6 mm, 10 mm berturut-turut adalah 45 m3/det, 135 m3/det dan 230 m3/det.
Referensi : Anonim, -, Konservasi Daerah Tangkapan Air Dan Sumber-Sumber Air, Model Revitalisasi Sungai Bone, Gorontalo Danaryanto, dkk., 2005, Airtanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Editor: Hadi Darmawan Said, DESDM, Jakarta. Oktariadi, Oki, 2007, Kawasan Lindung Geologi, Pelatihan Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Pusdiklat Geologi, Bandung. Sarana Bhuana Jaya, 2007, Laporan Akhir Survey Investigasi dan Desain Pengendalian Banjir Sungai Bone di Propinsi Gorontalo. Setiadi dan Wahyudin, 2007, Atlas Cekungan Air Tanah Indonesia, Pusat Lingkungan Geologi, Departemen ESDM, Bandung.
C-29 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
C-30 ISBN : 978-979-18342-2-3
ANALISA PENINGKATAN KINERJA SISTEM IRIGASI KALIBAWANG KABUPATEN KULONPROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA M.Ardiansyah.FR Mahasiswa Program Magister Manajemen Aset FTSP ITS, Kampus ITS Sukolilo Email :
[email protected]
ABSTRAK Sistem irigasi Kalibawang merupakan sebuah sistem irigasi yang mengairi sebagian besar wilayah pertanian di kabupaten Kulonprogo propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Permasalahan pada sistem irigasi Kalibawang yang hingga saat ini belum bisa diatasi adalah tidak meratanya distribusi air, kerusakan/kebocoran pada jaringan irigasi serta pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (OP) yang belum optimal. Hal-hal tersebut secara keseluruhan mengakibatkan degradasi pada kinerja sistem irigasi Kalibawang sehingga upaya pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk masing-masing Daerah Irigasi menjadi tidak optimal . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem irigasi Kalibawang berdasarkan persepsi dan kepentingan petani dan petugas pengairan serta untuk menentukan strategi peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja sistem irigasi Kalibawang digunakan analisa tingkat persepsi dan kepentingan serta analisa kuadran. Untuk penentuan strategi peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang dilakukan dengan menggunakan analisa SWOT. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem irigasi Kalibawang adalah kondisi bangunan pengatur, kondisi saluran pembawa, kondisi bangunan pelengkap, pemenuhan kebutuhan air, jumlah personalia OP, pemahaman personel mengenai OP,kelengkapan peralatan OP serta iuran P3A. Dari hasil analisa SWOT didapatkan posisi strategi yang digunakan dalam peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang adalah strategi turn around dengan meminimalkan kelemahan internal untuk memanfaatkan peluang. Kata kunci : sistem irigasi Kalibawang, kinerja sistem irigasi, strategi. 1. PENDAHULUAN Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari empat kabupaten yang ada di Wilayah Propinsi DIY yang mayoritas penduduknya berusaha pada sektor pertanian. Untuk menunjang perkembangan sektor pertanian tersebut sangat dibutuhkan pengembangan serta pengelolaan sistem irigasi yang berkelanjutan. Sistem irigasi yang mengairi sebagian besar wilayah pertanian di kabupaten Kulonprogo adalah sistem irigasi Kalibawang. Sistem Irigasi Kalibawang merupakan sebuah sistem irigasi yang mendapatkan air dari Sungai Progo melalui bangunan pengambilan bebas yang terletak di Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, kurang lebih 20 km sebelah Barat dari Kota Yogyakarta. Kemudian melalui saluran induk sepanjang 24 km mengalirkan air dari Intake Kalibawang ke beberapa daerah irigasi yang meliputi sebagian besar wilayah pertanian Kabupaten Kulonprogo. Daerah irigasi yang termasuk dalam Sistem Irigasi Kalibawang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.Daerah Irigasi yang Termasuk Sistem Kalibawang No. 1.
2. 3.
4.
Daerah Irigasi Saluran Induk D.I. Kalibawang - D.I. Kalisonggo - D.I. Donomulyo Suplesi Sungai Kayujaran - D.I. Kayujaran Suplesi Sungai Papah - D.I. Penjalin - D.I. Jelok - D.I. Papah Kanan - D.I. Papah Kiri Suplesi Sungai Serang - D.I. Pengasih - D.I. Pekik Jamal
Luas Lahan (ha) 1.290,00 305,00 621,00 198,00 648,00 94,00 67,00 931,00 2.465,00 1.023,00
C-31 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Sistem Irigasi Kalibawang adalah jaringan irigasi gabungan dari beberapa daerah irigasi tersebut diatas. Penggabungan daerah-daerah irigasi ini menjadi satu kesatuan seluas 7.152 Ha didasarkan atas hubungan penyediaan dan distribusi air irigasi yang bersifat saling terkait (interconnected). Sejak dibangun pertama kali pada tahun 1946, Intake Kalibawang dan jaringan irigasinya yang semula hanya 12 km telah mengalami beberapa tahap perbaikan dan penambahan, diantaranya pada tahun 1989 dilakukan penambahan dan perbaikan bangunan-bangunan bagi dan sadap serta perpanjangan saluran induk menjadi 24 km sampai sekarang. Pada tahun 1990-an, melalui proyek IISP-II (Integrated Irrigation Sector Project) telah dilakukan pekerjaan rehabilitasi dan upgrading jaringan irigasi yang mencakup hampir seluruh jaringan irigasi dalam Sistem Kalibawang. Meskipun telah dilakukan beberapa kali rehabilitasi dan peningkatan jaringan pada Sistem Irigasi Kalibawang, namun pada kenyataannya di dalam pengoperasiannya masih ditemukan beberapa permasalahan. Permasalahan yang hingga saat ini belum bisa diatasi adalah tidak meratanya distribusi air pada tiap-tiap daerah irigasi, yang antara lain disebabkan oleh faktor kerusakan/kebocoran pada jaringan irigasi, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (OP) yang belum sesuai dengan pedoman OP jaringan irigasi serta masih adanya pengambilan air secara liar dari saluran irigasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Hal-hal tersebut di atas secara keseluruhan mengakibatkan degradasi pada kinerja sistem irigasi Kalibawang sehingga upaya pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk masing-masing Daerah Irigasi menjadi terganggu dan tidak optimal . Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan analisis untuk menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja irigasi serta menemukan strategi untuk meningkatkan Kinerja sistem irigasi Kalibawang. Strategi dalam meningkatkan kinerja sistem irigasi yang tepat akan sangat berguna bagi pengembangan pengelolaan sistem irigasi ke depan dan meningkatkan nilai guna aset yang diharapkan sehingga berdampak positif pada peningkatan kualitas pelayanan atas fasilitas publik. Karenanya penelitian ini penting untuk dilakukan. 2. METODOLOGI 2.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah pada Daerah Irigasi (D.I) Kalibawang, ,D.I.Papah, D.I.Pengasih dan D.I. Pekik Jamal yang merupakan bagian hulu, tengah dan hilir dari Sistem Irigasi Kalibawang yang secara administratif terletak di Kabupaten Kulonprogo , Daerah Istimewa Yogyakarta. 2.2. Pengumpulan Data Untuk menunjang penelitian ini dilakukan pengumpulan data. Adapun data yang digunakan terdiri dari : 1.Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan secara survey instansional dalam bentuk laporan-laporan atau kajiankajian yang terkait dengan topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak Yogyakarta, Sub Dinas Pengairan Kabupaten Kulonprogo, Dinas PSDA Provinsi DIY serta instansi terkait lainnya. 2.Data Primer Pengumpulan data primer menggunakan metode wawancara, penyebaran kuisioner dan observasi. a. Pengamatan dan survey jaringan irigasi berupa kondisi prasarana fisik bangunan irigasi, pemenuhan kebutuhan air di daerah irigasi, operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. b. Kuisioner kepada responden petani dan petugas pengairan. c. Wawancara stakeholder yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sistem Irigasi untuk mengetahui penilaian faktor-faktor strategis internal dan eksternal. 2.3.Rancangan Kuisioner Kuesioner kepada petani pengguna air irigasi dan petugas pengairan untuk mengukur persepsi dan kepentingan responden terhadap kinerja sistem irigasi dilihat dari beberapa variabel. Data yang diperoleh selanjutnya dipetakan dalam diagram kartesius. 1. Variabel/indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat persepsi dan kepentingan responden berdasarkan studi literatur dan NSPM adalah sebagai berikut : 2. Kondisi Prasarana Fisik : a. Kondisi bangunan utama b. Kondisi saluran pembawa c. Kondisi bangunan pengatur d. Kondisi bangunan pelengkap e. Kondisi saluran pembuang dan bangunannya
C-32 ISBN : 978-979-18342-2-3
3.
4.
5.
6.
7.
f. Kondisi jalan masuk g. Kondisi Jalan inspeksi Produktivitas Tanam : a. Pemenuhan kebutuhan air (Faktor K) b. Realisasi luas tanam c. Produktivitas padi Sarana Penunjang : a Kelengkapan peralatan O&P b Transportasi c Alat-alat kantor ranting/pengamat/UPTD. d Alat komunikasi yang memadai Organisasi Personalia : a Pengaturan dan penyusunan organisasi OP dengan batasan dan tanggung jawab yang jelas b Rasio jumlah personel yang ada dan kebutuhan sesungguhnya. c Pemahaman personel mengenai OP Dokumentasi : a Buku data Daerah Irigasi b Peta dan gambar-gambar c Pedoman OP Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) : a GP3A/P3A sudah berbadan hukum. b Kondisi Kelembagaan P3A c Rapat GP3A/P3A dengan ranting/Pengamat/UPTD d Partisipasi P3A dalam penanggulangan bencana alam e Partisipasi P3A dalam penelusuran jaringan irigasi f Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi g Partisipasi P3A dalam perencanaan tata tanam.
Selanjutnya survey kepada pejabat yang berwenang dalam kebijakan dan pengelolaan irigasi guna menentukan strategi yang tepat dalam peningkatan kinerja irigasi. Dari sejumlah unit kerja yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan irigasi dipilih para pejabat yang benar-benar dianggap ahli dan berwenang yang patut memberikan pertimbangan. Survey dilakukan dengan penyebaran kuesioner berupa pertanyaan dengan jawaban tertentu (fixed alternatif item) yang sering juga disebut pertanyaan tertutup (closed question), yaitu jenis pertanyaan yang memberi responden suatu pilihan dari dua atau beberapa jawaban alternatif (Dajan, 1986). 2.4. Teknik pengambilan sampel Kuisioner kepada responden petani pengguna air irigasi, teknik sampling yang digunakan adalah “proportioned stratified random sampling”,yaitu dengan menentukan sampel petani yang ada di daerah hulu, tengah dan hilir dari sistem irigasi Kalibawang. kemudian tahap berikutnya menentukan orang-orang yang ada pada daerah itu secara sampling dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane n = N N.d 2 + 1 Dimana : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d 2 = Presisi yang ditetapkan Dari perhitungan diperoleh jumlah total sampel untuk responden petani pengguna air irigasi adalah sebanyak 361 orang (responden). Kuisioner kepada petugas pengairan, dikarenakan jumlah personil petugas pengairan yang ada di D.I.Kalibawang berjumlah 6 orang,D.I.Papah 7 orang, D.I.Pengasih berjumlah 9 orang dan D.I.Pekik Jamal berjumlah 8 orang maka teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling sensus yaitu semua populasi yang ada (30 petugas pengairan) digunakan sebagai sampel. Kuisioner kepada pejabat ekspert (orang-orang yang memiliki kewenangan sebagai pengambil keputusan strategis dalam pengelolaan irigasi pada sistem irigasi Kalibawang). Pengambilan sampel pejabat ekspert yang akan diteliti dengan menggunakan metode purposive sampling berjumlah 6 orang.
C-33 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
2.5.Uji Validitas Untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan kuisioner mampu mengukur apa yang hendak di ukur dan apakah data yang terkumpul valid atau tidak maka dilakukan uji validitas. Bila ternyata skor semua pertanyaan atau pernyataan yang disusun berdasarkan dimensi konsep berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat disimpulkan bahwa alat pengukur tersebut mempunyai validitas. Pendekatan validitas konstruk dengan teknik korelasi Pearson Product Moment (Singarimbun, 1992) adalah sebagai berikut :
rxy =
n ∑ XY − (∑ X )(∑ Y )
[n ∑ X − (∑ X )]..[n ∑ Y − (∑ Y )] 2
2
2
2
Dimana : = Koefisien korelasi product moment antara item dan total skor rxy n = Jumlah responden = Skor Pertanyaan per butir X Y = Skor total XY = Perkalian skor per butir dengan nilai skor totalnya Tipe validitas konstruk dengan teknik korelasi product moment, hasil pengujian dianggap valid apabila (Nugriantoro et.al.,2002) : 1. Valid jika r ≥ r tabel (α : 1% / 5% ; n-2) 2. Tidak valid jika r < r tabel (α : 1% / 5% ; n-2) Jika hasil uji instrumen penelitian menyatakan butir alat ukur valid maka item pertanyaan dapat digunakan atau dipakai, sedangkan yang dinyatakan tidak valid diperbaiki atau dihilangkan. Uji validitas dilakukan terhadap komponen pertanyaan ditinjau dari kondisi prasarana fisik, produktivitas tanam, sarana penunjang, organisasi personalia, dokumentasi dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). 2.6. Uji Reliabilitas Menurut Sugiono (2003), pengujian reliabilitas dengan internal consistency, dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen. Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik (reliabel), jika memiliki nilai cronbach’s alpha (α) ≥ dari 0,60 (Nugroho, 2005). Semakin tinggi koefisien ini (mendekati satu) maka semakin baik alat ukur ini. Uji reliabilitas dilakukan terhadap komponen pertanyaan dari kondisi prasarana fisik, produktivitas tanam, sarana penunjang, organisasi personalia, dokumentasi dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). 2.7.Analisis Tingkat Kepentingan dan Persepsi Responden Terhadap Kinerja irigasi. Hasil kuisioner tentang tingkat kepentingan dan persepsi responden terhadap Kinerja sistem Irigasi Kalibawang ditinjau dari aspek kondisi prasarana fisik, produktivitas tanam, sarana penunjang, organisasi personalia, dokumentasi, dan perkumpulan petani pemakai air (P3A), selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan analisis tingkat kepentingan (harapan) dan persepsi/kenyataan (Importance Performance Analysis) untuk mengetahui tingkat kepentingan dan persepsi responden terhadap kinerja pelayanan dan suatu jasa. Dalam analisis ini terdapat dua buah vaiabel yang diwakili oleh huruf X dan huruf Y, dimana X adalah tingkat kinerja atau persepsi dari responden, sedangkan Y adalah tingkat kepentingan responden(Supranto, 2001). Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepentingan dan persepsi, akan menghasilkan suatu tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerja (persepsi) dari pelayanan suatu jasa/pelayanan. Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan skor persepsi (rata-rata skor persepsi) dengan skor kepentingan (rata-rata skor kepentingan) berdasarkan rumus berikut :
Tk i =
Xi X 100% Yi
dimana: Tki : Tingkat kesesuaian Xi : Skor persepsi (rata-rata skor persepsi) Yi : Skor kepentingan (rata-rata skor kepentingan)
C-34 ISBN : 978-979-18342-2-3
2.8.Analisis Kuadran/Kondisi Pelayanan Analisis kondisi pelayanan dari Sistem irigasi dilaksanakan dengan menggunakan instrumen analisa kuadran. Kondisi pelayanan tersebut dapat digambarkan dalam empat kuadran, yaitu kuadran I, II, III dan IV. Untuk dapat memetakan kondisi pelayanan dalam kuadran, maka metode perhitungannya dilakukan sebagai berikut : a. Menghitung nilai rata-rata total dari tingkat kepuasan dan rata-rata total dari tingkat kepentingan. b. Nilai rata-rata total tingkat kepentingan adalah angka yang menyatakan batas sumbu Y, sedangkan nilai total rata-rata tingkat kepuasan adalah batas sumbu X. c. Berdasarkan batas-batas tersebut dapat ditentukan kriteria koordinat untuk setiap kuadran. Frekuensi untuk setiap kuadran mempunyai kriteria: Kuadran I : X ≤ x dan Y ≤ y Kuadran II : X ≤ x dan Y ≥ y Kuadran III : X ≥ x dan Y ≥ y Kuadran IV : X ≥ x dan Y ≤ y Jika digambarkan dalam bentuk kuadran, maka kriteria koordinat tersebut terletak seperti pada gambar 1. Tinggi K E P E N Y T I N G A N Rendah
( IV ) Prioritas Utama
(I) Pertahankan
( III ) Prioritas Rendah
( II ) Berlebihan
X KEPUASAN
Tinggi
Gambar 1. Kuadran Kepuasan vs Kepentingan (Nigell Hill, 1996) Setiap kuadran mencerminkan prioritas pembenahan yang semestinya dilakukan: a. Kuadran I, menunjukkan faktor-faktor yang menurut responden penting dan responden telah mendapatkan sesuai harapannya (memuaskan). Kondisi ini yang harus dipertahankan (pertahankan). b. Kuadran II, menunjukkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan responden kurang penting, tetapi menunjukkan responden menerima pelayanan lebih dari apa yang diharapkan sehingga tidak menjadikan prioritas perbaikan (berlebihan). c. Kuadran III, menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi kepuasan reponden dan menunjukkan responden tidak menerima pelayanan seperti apa yang diharapkan (tidak memuaskan) sehingga menjadi dianggap kurang penting (prioritas rendah). d. Kuadran IV, menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepentingan, merupakan variabel yang harus segera diperbaiki karena atribut yang dianggap penting, namun responden belum menerima kinerja seperti apa yang diharapkan (prioritas utama). Selanjutnya dengan menggunakan data dari analisis kuadran akan membuat strategi yang menghubungkan organisasi dengan lingkungannya. 2.9.Analisis SWOT Analisis perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan instrumen SWOT. Dalam analisis SWOT dilakukan perbandingan antara faktor-faktor strategis internal maupun eksternal untuk memperoleh strategi terhadap masing-masing faktor tersebut dengan skoring. Berdasarkan hasil yang diperoleh kemudian ditentukan fokus rekomendasi strategi.
C-35 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
3.HASIL DAN DISKUSI 3.1. Uji validitas dan reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada survey utama dengan jumlah responden petani sebanyak 361 responden serta responden petugas pengairan sebanyak 30 responden. Supaya subvariabel dapat dinyatakan valid maka koefisien korelasi setiap subvariabel pada responden petani harus lebih besar dari angka kritik (r) untuk 361 responden yaitu 0,256, sedangkan koefisien korelasi setiap subvariabel pada responden petugas pengairan harus lebih besar dari angka kritik (r) untuk 30 responden yaitu 0,361. Berdasarkan jawaban responden pada survey utama dapat dihitung angka korelasi setiap subvariabel kepuasan dan harapan.
No 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
No 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2
Tabel 2. Hasil uji validitas survey utama Petani Subvariabel Korelasi terhadap skor total Kepentingan Ket Persepsi Kondisi bangunan utama 0,466 Valid 0,528 Kondisi saluran pembawa 0,658 Valid 0,512 Kondisi bangunan pengatur 0,546 Valid 0,519 Kondisi bangunan pelengkap 0,611 Valid 0,681 Kondisi saluran pembuang 0,645 Valid 0,722 Kondisi jalan masuk 0,495 Valid 0,871 Kondisi jalan inspeksi 0,589 Valid 0,638 Kondisi kantor perumahan 0,507 Valid 0,580 Pemenuhan kebutuhan air 0,352 Valid 0,347 Realisasi luas tanam 0,637 Valid 0,745 Produktivitas padi 0,695 Valid 0,669 Kelengkapan peralatan OP 0,497 Valid 0,668 Transportasi 0,613 Valid 0,647 Alat-alat kantor ranting/pengamat/UPTD 0,467 Valid 0,626 Alat komunikasi 0,657 Valid 0,713 Pengaturan&penyusunan organisasi OP 0,633 Valid 0,828 Jumlah Personalia OP 0,552 Valid 0,447 Pemahaman personel mengenai OP 0,460 Valid 0,442 Buku data Daerah Irigasi 0,506 Valid 0,624 Peta dan gambar Daerah Irigasi 0,491 Valid 0,811 Pedoman OP 0,560 Valid 0,627 GP3A/P3A sudah berbadan hukum 0,497 Valid 0,531 Kondisi kelembagaan P3A 0,634 Valid 0,474 Rapat GP3A/P3A dengan 0,472 Valid 0,566 ranting/pengamat/UPTD 0,620 Valid 0,670 Partisipasi dalam penanggulangan bencana alam 0,308 Valid 0,437 P3A aktif dalam penelusuran jaringan irigasi 0,659 Valid 0,444 Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi 0,676 Valid 0,729 Partisipasi P3A dalam perencanaan tata tanam Tabel 3.Hasil Uji validitas survey utama petugas pengairan Subvariabel Korelasi terhadap skor total Kepentingan Ket Persepsi Kondisi bangunan utama 0,625 Valid 0,693 Kondisi saluran pembawa 0,640 Valid 0,499 Kondisi bangunan pengatur 0,699 Valid 0,464 Kondisi bangunan pelengkap 0,581 Valid 0,725 Kondisi saluran pembuang 0,648 Valid 0,729 Kondisi jalan masuk 0,635 Valid 0,792 Kondisi jalan inspeksi 0,626 Valid 0,682 Kondisi kantor perumahan 0,588 Valid 0,703 Pemenuhan kebutuhan air 0,770 Valid 0,592 Realisasi luas tanam 0,744 Valid 0,797 Produktivitas padi 0,837 Valid 0,652 Kelengkapan peralatan OP 0,611 Valid 0,626 Transportasi 0,727 Valid 0,620
Ket valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid
Ket valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid
C-36 ISBN : 978-979-18342-2-3
3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
Alat-alat kantor ranting/pengamat/UPTD Alat komunikasi Pengaturan&penyusunan organisasi OP Personalia Pemahaman personel mengenai OP Buku data Daerah Irigasi Peta dan gambar Daerah Irigasi Pedoman OP GP3A/P3A sudah berbadan hukum Kondisi kelembagaan P3A Rapat GP3A/P3A dengan ranting/pengamat/UPTD Partisipasi dalam penanggulangan bencana alam P3A aktif dalam penelusuran jaringan irigasi Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi Partisipasi P3A dalam perencanaan tata tanam
0,488 0,774 0,858 0,781 0,561 0,592 0,438 0,574 0,598 0,704 0,390 0,530 0,430 0,805 0,465
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
0,594 0,637 0,697 0,535 0,725 0,692 0,771 0,744 0,732 0,461 0,570 0,611 0,538 0,534 0,633
valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid valid
Pada tabel.2 dan tabel.3, angka koefisien korelasi semua variabel lebih besar daripada angka kritik, sehingga semua subvariabel dinyatakan memenuhi syarat validitas pada survey utama.
Variabel
Tabel 4. Ringkasan hasil uji reliabilitas survey utama Reliabilitas Petugas Petani pengairan
Kepentingan Persepsi
0,913 0,936
0,942 0,946
Keterangan
Reliabel Reliabel
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas survey awal dan survey utama diketahui bahwa semua subvariabel dapat menjadi pertanyaan yang digunakan untuk mengukur aspek yang sama dan memberikan hasil yang konsisten jika dilakukan dua kali atau lebih. 3.2. Analisis Tingkat Kesesuaian Kepentingan dan Persepsi Analisis ini berdasarkan hasil survey utama terhadap masing-masing responden petani dan petugas pengairan. Sebelumnya dilakukan penilaian tingkat kepentingan dan persepsi berdasarkan hasil skor tiap jawaban dengan menggunakan skala Likert. Hasil skor kepentingan dan skor persepsi kemudian dibandingkan dengan rumus:
Tk i =
Xi X 100% Yi
Dengan : Tki : Tingkat kesesuaian Xi : Skor persepsi (rata-rata skor persepsi) Yi : Skor kepentingan (rata-rata skor kepentingan) Hasil perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada tabel 5.dan 6. No
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Tabel 5.Tingkat kesesuaian kepentingan dan persepsi petani Variabel / Subvariabel Tingkat Tingkat Persepsi Kepentingan Kondisi Prasarana Fisik Kondisi bangunan utama 3,60 4,38 Kondisi saluran pembawa 3,32 4,27 Kondisi bangunan pengatur 3,07 4,35 Kondisi bangunan pelengkap 3,35 4,39 Kondisi saluran pembuang 3,64 4,25 Kondisi jalan masuk 3,66 4,29 Kondisi jalan inspeksi 3,31 4,08
TKi
82% 78% 71% 76% 86% 85% 81%
C-37 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
1.8 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
Kondisi kantor perumahan Produktivitas Tanam Pemenuhan kebutuhan air Realisasi luas tanam Produktivitas padi Sarana Penunjang Kelengkapan peralatan OP Transportasi Alat-alat kantor ranting/pengamat/UPTD Alat komunikasi Organisasi Personalia Pengaturan&penyusunan organisasi OP Jumlah Personalia OP Pemahaman personel mengenai OP Dokumentasi Buku data Daerah Irigasi Peta dan gambar Daerah Irigasi Pedoman OP Perkumpulan petani pemakai air (P3A) GP3A/P3A sudah berbadan hukum Kondisi kelembagaan P3A Rapat GP3A/P3A dengan ranting/pengamat/UPTD Partisipasi dalam penanggulangan bencana alam P3A aktif dalam penelusuran jaringan irigasi Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi Partisipasi P3A dalam perencanaan tata tanam Rata-rata
3,24
4,02
80%
3,34 3,83 3,66
4,36 4,45 4,36
76% 86% 84%
3,43 3,29 3,27 3,31
4,11 4,14 4,19 4,47
83% 80% 78% 74%
3,69 3.29 2,84
4,32 4,22 3,87
85% 78% 73%
3,24 3,78 3,30
3,83 4,14 3,88
85% 91% 85%
3,60 3,50 3,74 4,02 3,96 3,40 3,96
4,21 4,31 4,15 4,15 4,28 4,33 4,24
86% 81% 90% 96% 97% 78% 94%
3,49
4,22
Tabel 6.Tingkat kesesuaian kepentingan dan persepsi petugas pengairan No
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2
Variabel / Subvariabel Kondisi Prasarana Fisik Kondisi bangunan utama Kondisi saluran pembawa Kondisi bangunan pengatur Kondisi bangunan pelengkap Kondisi saluran pembuang Kondisi jalan masuk Kondisi jalan inspeksi Kondisi kantor perumahan Produktivitas Tanam Pemenuhan kebutuhan air Realisasi luas tanam Produktivitas padi Sarana Penunjang Kelengkapan peralatan OP Transportasi Alat-alat kantor ranting/pengamat/UPTD Alat komunikasi Organisasi Personalia Pengaturan&penyusunan organisasi OP Jumlah Personalia OP Pemahaman personel mengenai OP Dokumentasi Buku data Daerah Irigasi Peta dan gambar Daerah Irigasi
Tingkat Persepsi
Tingkat Kepentingan
TKi
4,17 3,37 2,53 3,60 3,47 3,27 3,90 3,60
4,20 4,27 4,33 4,09 4,10 4,03 4,20 4,20
99% 79% 68% 88% 85% 81% 92% 86%
3,43 3,93 3,30
4,20 4,13 4,20
82% 95% 79%
3,70 3,23 3,77 3,63
4,23 4,03 4,33 4,33
87% 80% 87% 84%
3,73 3,27 2,47
4,33 4,30 4,00
86% 76% 52%
3,40 3,67
3,97 4,47
86% 82%
C-38 ISBN : 978-979-18342-2-3
5.3 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
Pedoman OP Perkumpulan petani pemakai air (P3A) GP3A/P3A sudah berbadan hukum Kondisi kelembagaan P3A Rapat GP3A/P3A dengan ranting/pengamat/UPTD Partisipasi dalam penanggulangan bencana alam P3A aktif dalam penelusuran jaringan irigasi Iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi Partisipasi P3A dalam perencanaan tata tanam
Rata-rata
3,86
4,19
92%
3,67 3,06 4,17 4,13 3,87 3,40 4,23
4,93 4,24 4,30 4,27 4,20 4,17 4,33
93% 72% 97% 97% 92% 82% 98%
3,52
4,18
Berdasarkan tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan persepsi petani dan petugas pengairan dapat diketahui bahwa menurut petani tingkat kesesuaian tertinggi terdapat pada keaktifan P3A dalam kegiatan penelusuran jaringan irigasi, sedangkan tingkat kesesuaian terendah ada pada pemahaman personel mengenai OP. menurut petugas pengairan tingkat kesesuaian tertinggi ada pada kondisi bangunan utama, sedangkan tingkat kesesuaian terendah terdapat pada kondisi saluran pembawa. 3.3. Analisis Penentuan Faktor-Faktor Prioritas Utama Peningkatan Kinerja sistem Irigasi Kalibawang Sebaran kesenjangan antara tingkat persepsi dan tingkat kepentingan petani serta petugas pengairan terhadap kinerja sistem irigasi Kalibawang dipetakan dalam diagram kartesius. Analisis kuadran dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada subvariabel-subvariabel yang terletak pada kuadran IV untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap sangat penting namun pelaksanaannya masih belum memuaskan sehingga menjadi prioritas utama penanganan. Hasil yang diperoleh sebagaimana ditampilkan pada gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Diagram Kartesius Tingkat Kesesuaian Kepentingan dan Persepsi Petani
C-39 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Berdasarkan hasil diagram diatas diketahui subvariabel-subvariabel yang menjadi prioritas utama dalam peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang menurut responden petani yaitu: 1. Kondisi Saluran Pembawa (sub variabel 1.2) 2. Kondisi Bangunan Pengatur (sub variabel 1.3) 3. Kondisi Bangunan Pelengkap (sub variabel 1.4) 4. Pemenuhan Kebutuhan Air (sub variabel 2.1) 5. Jumlah Personalia OP (sub variabel 4.2) 6. Pemahaman Personel tentang OP (sub variable 4.3) 7. Iuran P3A untuk perbaikan Jaringan (sub variabel 6.6)
Gambar 3. Diagram Kartesius Tingkat Kesesuaian Kepentingan dan Persepsi Petugas pengairan Berdasarkan hasil diagram diatas diketahui subvariabel-subvariabel yang menjadi prioritas utama dalam peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang menurut responden petugas pengairan yaitu: 1. Kondisi Saluran Pembawa (sub variabel 1.2) 2. Kondisi bangunan pengatur (sub variabel 1.3) 3. Pemenuhan kebutuhan air (sub variable 2.1) 4. Kelengkapan peralatan OP (sub variable 3.1) 5. Jumlah Personalia OP (sub variabel 4.2) 6. Pemahaman personel tentang OP (sub variabel 4.3) Berdasarkan hasil pemetaan analisis kuadran dari responden petani dan petugas pengairan dapat dirangkum faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja sistem irigasi Kalibawang yaitu: 1. Aspek Kondisi Prasarana fisik a. Kondisi Saluran Pembawa b. Kondisi Bangunan Pengatur. c. Kondisi Bangunan Pelengkap 2. Aspek Produktivitas tanam Hanya ada satu sub variabel yang dirasakan perlu segera ditangani yaitu pemenuhan kebutuhan air irigasi yang masih dirasa kurang maksimal. 3. Aspek Organisasi Personalia OP a. Jumlah personalia OP b. Pemahaman Personel tentang OP jaringan irigasi 4. Aspek Sarana Penunjang OP Hanya ada satu subvariabel yang perlu segera dibenahi yaitu kelengkapan peralatan untuk pelaksanaan kegiatan OP yang dirasa masih belum lengkap. 5. Aspek Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Hanya ada satu sub variabel yang dirasakan perlu segera ditangani yaitu Iuran P3A (IPAIR) untuk OP dan perbaikan jaringan irigasi yang masih dirasa belum mencukupi .
C-40 ISBN : 978-979-18342-2-3
3.4. Analisis Perumusan Strategi Peningkatan Kinerja Sistem Irigasi Kalibawang Analisis faktor strategis merupakan awal proses perumusan strategis. Analisis ini berupaya menemukan kesesuaian antara peluang-peluang eksternal dengan kekuatan-kekuatan internal, disamping memperhatikan ancaman-ancaman eksternal dan kelemahan-kelemahan internal. Analisis faktor strategis merupakan awal proses perumusan strategis. Analisis ini berupaya menemukan kesesuaian antara peluang-peluang eksternal dengan kekuatan-kekuatan internal, disamping memperhatikan ancaman-ancaman eksternal dan kelemahan-kelemahan internal. Berdasarkan hasil dari analisa Kuadran serta melalui wawancara dengan para responden pejabat yang dianggap expert, diperoleh informasi tentang faktor-faktor sukses kritis internal yang menunjukkan kelemahan dan kekuatan pada Kinerja Sistem Irigasi Kalibawang (tabel 7) dan faktor-faktor kritis eksternal yang menunjukkan peluang dan ancaman bagi Kinerja Sistem Irigasi Kaliabwang (tabel 8) berikut : Tabel 7. faktor-faktor Strategis Internal Kinerja Sistem Irigasi Kalibawang No. 1. 1.1.
2. 2.1.
2.2.
3.
Indikator Internal
Uraian
S/W
Organisasi Kewenangan dan tupoksi pengelola irigasi Kalibawang Sumber Daya Manusia Jumlah Petugas OP pada Sistem Irigasi Kalibawang Pengetahuan petugas OP mengenai OP
Tupoksi pengelola irigasi sudah cukup jelas mengatur tentang kewenangan pengelolaan irigasi di Sistem irigasi Kalibawang
S
Jumlah petugas OP yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan dan standar yang ditentukan dalam pedoman OP irigasi
W
Banyak petugas OP yang kurang paham mengenai prosedur OP jaringan irigasi
W
Teknis Kondisi Bangunan Utama Kondisi Bangunan Pengatur
Intake/Bendung dalam kondisi baik dan dapat berfungsi dengan baik Bangunan pengatur banyak yang mengalami kerusakan sehingga pelayanan air irigasi kurang optimal
3.3.
Kondisi saluran Pembawa
W
3.4.
Pemenuhan kebutuhan air
Beberapa saluran irigasi mengalami kerusakan menyebabkan debit yang mengalir ke area pertanian kurang optimal Pemenuhan akan kebutuhan air yang tidak cukup/kurang merata terutama pada daerah tengah dan hilir pada sistem irigasi Kalibawang
Semua P3A di Sistem irigasi Kalibawang sudah berbadan hukum P3A sudah aktif didalam pelaksanaan penelusuran jaringan irigasi baik di tingkat tersier maupun jaringan utama
S
Iuran P3A masih belum mencukupi untuk OP dan rehabilitasi jaringan irigasi
W
3.1.
3.2.
4.
S W
W
Kelembagaan P3A
4.1.
P3A berbadan hukum
4.2.
Partisipasi P3A dalam penelusuran Jaringan
4.3.
Iuran P3A
S
C-41 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Tabel 8. faktor-faktor Strategis eksternal Kinerja Sistem Irigasi Kalibawang
Setelah dilakukan pembobotan untuk masing-masing faktor strategis internal dan eksternal, kemudian disusun alternatif strategi peningkatan kinerja sistem irigasi dengan menggunakan matriks Evaluasi Faktorfaktor Internal (EFI) dan matriks Evaluasi Faktor-faktor Eksternal (EFE). Penetapan posisi Kinerja sistem irigasi merupakan tahap 1 (The Input Stage) dari kerangka analitik merumuskan strategi. 1. Matrik EFI (Evaluasi Faktor Internal) untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan internal. Dalam matrik ini dilakukan pengalian antara bobot dengan rating dari masing-masing faktor internal. Skor-skor tersebut selanjutnya dijumlahkan dan hasilnya berupa total skor EFI. Tabel 9. Faktor Strategis Internal (IFAS) No.
1.1 3.1. 3.3. 4.2.
2.1. 2.2. 3.2 3.3. 3.4. 4.3.
Evaluasi Faktor-faktor Internal
Bobot
Rating
(1) Kekuatan (Strength/S) Tupoksi pengelola irigasi Kondisi bangunan utama P3A sudah berbadan hukum Partisipasi P3A dalam penelusuran jaringan irigasi Jumlah Kekuatan Kelemahan (W) Jumlah petugas OP Pengetahuan petugas OP Kondisi bangunan pengatur Kondisi saluran pembawa Pemenuhan kebutuhan air Iuran P3A Jumlah Kelemahan Total
(2)
(3)
Skor Bobot (4)
0,09 0,10 0,10
2,5 2,7 2,4
0,22 0,27 0,24
0,10
2,3
0,23
0,39 0,11 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,61 1,00
0,96 -2,7 -2,5 -2,5 -2,5 -2,7 -2,7
-0,29 -0,25 -0,25 -0,25 -0,27 -0,27 -1,58 -0,62
C-42 ISBN : 978-979-18342-2-3
2.
Matrik EFE (Evaluasi Faktor Eksternal untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan internal. Dalam matrik ini dilakukan pengalian antara bobot dengan rating dari masing-masing faktor eksternal. Skorskor tersebut selanjutnya dijumlahkan dan hasilnya berupa total skor EFE. Tabel 10. Faktor Strategis Eksternal (EFAS) No.
1.1 3.1. 3.2. 3.3.
2.1. 2.2. 3.3. 4.1. 4.2. 4.3.
Evaluasi Faktor-faktor eksternal (1) Peluang (Opportunity/O) Pendanaan OP dan Rehabilitasi Perbaikan pola tanam Peningkatan produktifitas tanam Teknologi pertanian baru Jumlah Peluang Ancaman (Treath/T) Sedimentasi pada jaringan irigasi Konversi lahan Harga produk pertanian Mata pencaharian Pencurian air Konflik Jumlah Ancaman Total
Skor Bobot (4)
Bobot
Rating
(2)
(3)
0,09 0,10 0,10 0,11 0,40
2,5 2,3 2,5 2,3
0,22 0,23 0,25 0,25 0,95
0,09 0,09 0,10 0,10 0,11 0,11 0,60 1,00
-2,7 -2,5 -2,5 -2,5 -2,7 -2,3
-0,24 -0,22 -0,25 -0,25 -0,29 -0,29 -1,54 -0,59
Berdasarkan rangkuman hasil analisis faktor strategis internal/eksternal yang ditunjukkan tabel 9 dan 10, diketahui skor bobot kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Selisih skor bobot kekuatan dengan kelemahan yaitu –0,62, berada pada kelemahan internal. Sementara selisih skor bobot peluang dengan ancaman yaitu 0,59 berada pada peluang aksternal. Hasil selisih skor masing-masing faktor internal dan eksternal dimasukkan ke dalam diagram strategi sehingga diperoleh strategi yang paling tepat untuk meningkatkan kinerja Sistem Irigasi Kalibawang seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dari Gambar 4. terlihat bahwa alternatif diagram strategi menunjukkan posisi strategi turn around, yaitu strategi untuk meminimalkan kelemahan internal untuk memanfaatkan peluang. Dengan demikian, strategi yang sebaiknya diterapkan dalam peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang adalah:ya 1. Menambah jumlah petugas OP pada sistem irigasi Kalibawang. 2. Diberikan pelatihan intensif mengenai pedoman OP jaringan irigasi kepada para petugas OP. 3. Perbaikan bangunan-bangunan pengatur yang rusak 4. Perbaikan saluran-saluran irigasi yang mengalami kerusakan 5. Pendistribusian air dilakukan secara merata dengan mengacu pada kebutuhan air untuk masing-masing Daerah irigasi yang merupakan bagian dari sistem irigasi Kalibawang. 6. Meningkatkan iuran P3A untuk OP dan rehabilitasi jaringan irigasi.
C-43 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 4.Diagram strategi peningkatan kinerja sistem irigasi Kalibawang 4.KESIMPULAN Berdasarkan analisis kuadran diketahui bahwa terdapat kesenjangan antara kepentingan dan persepsi petani dan petugas pengairan terhadap tingkat kinerja sistem irigasi Kalibawang. menurut petani faktor prioritas yang perlu menjadi perhatian adalah kondisi bangunan pengatur, kondisi saluran pembawa, kondisi bangunan pelengkap, pemenuhan kebutuhan air,jumlah personel OP, pengetahuan personel mengenai OP serta iuran P3A untuk perbaikan jaringan irigasi, Sedangkan bagi petugas pengairan yang menjadi faktor prioritas adalah kondisi bangunan pengatur, kondisi saluran pembawa, pemenuhan kebutuhan air, kelengkapan peralatan OP, jumlah personel OP serta pemahaman personel mengenai OP. Berdasarkan analisis faktor-faktor strategis internal dan eksternal kinerja sistem irigasi Kalibawang, posisi strategi yang disarankan adalah strategi turn around, yaitu strategi dengan meminimalkan kelemahan internal untuk memanfaatkan peluang sebagai berikut:a 1. Menambah jumlah petugas OP pada sistem irigasi Kalibawang untuk mengoptimalkan pelaksanaan OP Jaringan irigasi. 2. Diberikan pelatihan intensif mengenai pedoman OP jaringan irigasi kepada para petugas OP. 3. Perbaikan bangunan-bangunan pengatur yang rusak 4. Perbaikan saluran-saluran irigasi yang mengalami kerusakan 5. Pendistribusian air dilakukan secara merata dengan mengacu pada kebutuhan air untuk masing-masing Daerah irigasi yang merupakan bagian dari sistem irigasi Kalibawang. 6. Meningkatkan iuran P3A untuk OP dan rehabilitasi jaringan irigasi. DAFTAR PUSTAKA Dajan, A. (1986), Pengantar Metode Statistik Jilid I, LP3ES, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum (2007), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, Lampiran I Indeks Kinerja Sistem Irigasi. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2006), Pedoman Operasi&Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan dan Marzuki (2002), Statistik Terapan Untuk Penelitian ilmu-ilmu sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia (2006), Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi. Rangkuti, F. (2005), Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Riduwan, (2006), Metoda dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta Bandung, Bandung. Siregar, D.D. (2004), Manajemen Aset, Cetakan Pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Singarimbun, M dan Effendi, S. (1992), Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta. Sugiono, (2003), Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Supranto, J. (2001), Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, PT.Rineka Cipta, Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
C-44 ISBN : 978-979-18342-2-3
SPATIAL JUMP (S-Jump) ANALYSIS FOR HYDRAULIC JUMP UNDER SLUICE GATE Sunik,ST.MT Dosen Jurusan Teknik Sipil,Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Karya, Malang Perumahan Karanglo Indah Blok T-19 Malang 65126 Telp. (0341) 5491874, Fax (0341) 426710 Email:
[email protected]
ABSTRACT Hydraulic jump through under sluice gate with weir at secondary channel model test that had the bend to the primary channel (upstream direction) was classified to four kind: repelled jump (in front of the sluice gate), spatial jump (the bend), transitional –jump (between the bend and upstream) and classical-jumps (upstream). This research aimed to know the value of the water wave depth ratio (sequent depth ratio-D), the long ratio of the hydraulic jump (relative jump length-(Lj/Lj*)) and hydraulic jump efficiency-(η/η∗)) as well as to know whether this current including range of spatial jump (S-jump) classification. Experiments were carried out in the hydraulic laboratory in a 2,24 m and 2,00 m long, 0,4 m wide rectangular channel (two channel) with sidewall height of 0,40 m. Research in the form of simulation operate for sluice gate two channel with channel 1 in the form of sluice gate above channel level off, channel two in the form of above sluice gate with sill level off. Comparison of scale model and prototype = 1: 3 (undistorted). Result show that the value sequent depth ratio was 5,011 – 9,246 (for two kind variation open gate). After plotting it was seen that all D value (sequenth depth ratio value) was on the straight line (the straight line was the limitation between Classical jump – the low zone, range thought 4-8, the Spatial jump – upper zone with range thought 4-10). Analysis for relative jump length ratio (Lj/Lj*) value was 1,073 – 1,641 and efficiency jump (.η/η∗) value was 1,971 – 3,306. Plotting shown that sequent depth ratio, relative jump length ratio and efficiency jump value was shown Spatial jump (S-jump) category.
Keyword: depth water in the hydraulic jump – velocity – Froude Number – sequent depth ratio (D) – relative jump length (Lj/Lj*) – efficiency jump (.η/η∗). INTRODUCTION The hydraulic jump is a well-known energy dissipater in open channels. In many practical cases, changing the channel width may provide the necessary energy dissipation. Such a practical case occurs when the available tail-water depth is low, so that a classical jump will not form even with the aid of appurtenances; or if the depression of the basin floor is not possible, a lateral expansion of channel width is the feasible solution. Jumps in expanding channels may be expected downstream of hydraulic structures like spillways, dam outlets or head regulators, where the incoming supercritical flow occupies a smaller width leading to a wider downstream channel. Hydraulic jumps formed in expanding channels are classified into four types. These include repelled-, spatial-, transitional-, and classical-jumps (Bremen and Hager, 1993). The toe of spatial jumps (S-jump) is located at the expansion section and extends over the wider downstream section. It depends on sequent depth ratio (D), relative jump length (Lj*) and jump efficiency (η/η∗). METHODOLOGY Jumps formed in expanding channels have been studied by {1], [2], [3], [4], [5], [6] investigated S-jumps in expanding channels and suggested a simple empirical relationship for calculating the sequent depth ratio as: D = D*. β where D is the sequent depth ratio in expanding channels, D* is the depth ratio of classical jumps in prismatic channels, β = b/B is the expansion ratio defined as the ratio of the approaching channel width, b, to the enlarged channel width, B. Based on a simplified momentum approach, [2] derived a relation for the Froude number of approaching channel as a function of sequent depth ratio and expansion ratio. This paper aims to highlight the characteristics of S-jumps under different flow characteristics, expansion ratios and bed slope conditions.
C-45 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Equation for sequent depth ratio (D) as:
(1) where Fm is the modified Froude number defined as: (2) in which
CS = 0.5 kLj sin θ(D+1)/(D−1) and CE = β(D−β)/(D−1)
The jump length may be expressed as a function of the classical jump length, L∗j , β and F1 as:
(3) The efficiency of the S-jump is expressed as a function of β, η∗ and F1 as:
(4) Experimental equipment and measurement technique Experiments were carried out in the hydraulic laboratory in a 2,24 m and 2,00 m long, 0,4 m wide rectangular channel (two channel) with sidewall height of 0,40 m. Research in the form of simulation operate for sluice gate two channel with channel 1 in the form of sluice gate above channel level off, channel two in the form of above sluice gate with sill level off. Variation of charge jetting there is 5 kinds of discharge (155, 233, 311, 389, 467 l/det), sluice gate aperture variation of 2 kinds ( a1 = 6, 9, 12 cm; a2 = 6 and cm of a1 = 6, 9, 12 cm; a2 = 12 cm). Comparison of scale model and prototype = 1: 3 (undistorted). The abrupt drop height s was 22 cm (made of brick cover by cement and located under the gate. The experimental equipment is shown in Figure 1, and division of channel section shown at Figure 2.
Figure 1. Rectangular channel model
C-46 ISBN : 978-979-18342-2-3
Figure 2. Division of channel section The experiment were organized in two series, so that it was possible to observe how, as discharge increases, the characteristics of the different jump types change as the tridimensional characteristics of flow grow. Water arrives with a discharge Q in a tank in which several pierced walls are located to still the flow before it enters the flume. Discharges were measured with triangular sharp-crested weir. Measurements of the upstream and downstream water depth were carried out with point gauge which allowed the estimated of the time averaged flow depth. Water depths were measured by point gages to±0.1mmaccuracy. Discharge was measured by a calibrated V-notch installed in the measuring tank below the flume outlet. At the beginning of each experiment, the sluice gate was adjusted to the desired opening and the inlet valve was opened until maximum possible discharge was obtained. The tailgate was adjusted such that the jump occurred in the expansion section. As the jump stabilized, the discharge, the sequent water depths and the length of jump were measured. For each experiment, measurement were carried out after waiting a minimum of one hour after the establishment of the flow. Table 1 summarize the experimental flow conditions, where d1 and d2 is the water depth of hydraulic jump under sluice gate , F1 is the inflow Froude number.
Figure 3. Locations where d1 and d2 were measured for each flow pattern
C-47 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Table 1. Water depth (d1 and d2), velocity (v1 and v2) and Froude Number (d1 and d2)
RESULT and DISCUSSION Analysis for sequent depth ratio predict value dan sequent depth ratio measured value shown in Table 2 with plotting graphic shown in Figure 4, relative jump length analysis and efficiency jump analysis in Table 3 with plotting graphic shown in Figure 5 and Figure 6. Figure 4 shows measured and computed values of sequent depth ratio with range 5,011 – 9,246 for two kind of open gate variation. After plotting graphic (at [5] graphic) it look that all of D value place on above line (line was benchmark of classical jump zone – bottom, with range value = 4 – 8, bottom zone and spatial jump – up, with range value = 4 – 10, up zone). It means that D value analysis include spatial jump (S-jump) classification/category. Table 2. Sequent depth ratio predict value and sequent depth ratio measured
Table 3. Relative jump length ratio value and efficiency jump value
C-48 ISBN : 978-979-18342-2-3
Figure 4. Predicted versus measured D on sloping bed
Figure 5. Relative jump length ratio
Figure 6. Efficiency jump Relative jump length ratio (Lj/Lj*) analysis shown in Table 3 with range value = 1,073 – 1,641 and efficiency jump analysis with range value = 1,971 – 3,306. Plotting the value in Figure 5 and Figure 6 shown that analysis result was spatial jump (S-jump) flow characteristic (place on bottom of classical jump for Figure 5 and place on up of classical jump for Figure 6). CONCLUSION S-jumps are studied experimentally under different expansion ratios and bed slopes. Research result shown that variation discharge, variation open gate and variation hydraulic jump for this research result that all of flow was spatial jump (S-jumps) characteristic/category. Plotting shown that sequent depth ratio, relative jump length ratio and efficiency jump value was shown Spatial jump (S-jump) category too. For other research it suggest using different slope channel, different discharge and different scale model to classification whether the flow was spatial jump. REFERENCES [1] Bremen, R. and Hager,W.H. (1994). “Expanding Stilling Basin”. Proc. ICE Water Maritime Energy 106, 215–228. [2] Hager, W.H. (1985). “Hydraulic Jumps in Non-Prismatic Rectangular Channels”. J. Hydraul. Res. 23(1), 21–35. [3] Hager, W.H. (1992). Energy Dissipators and Hydraulic Jumps. Kluwer Academic Publication, Dordrecht, the Netherlands, pp. 151–173. [4] Herbrand, K. (1973). “The Spatial Hydraulic Jump”.J. Hydraul. Res. 11(3), 205–218 [5] Matin, M.A., Alhamid, A.A. and Negm, A.M. (2000). Modeling of Depth Ratio of Hydraulic Jumps in Expanding Channels. Civil Engineering Research Magazine, Faculty of Engineering, Al-Azher University, Vol. 22, Cairo, Egypt, pp. 250–260. [6] Unny, T.E. (1961). “The Spatial Hydraulic Jump”. IX IAHR Congress, Belgrade, pp. 32–42.
C-49 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
C-50 ISBN : 978-979-18342-2-3
MODEL HIDROLIKA SUNGAI BONE, DI PROVINSI GORONTALO Tatas S. Kamilia Aziz Pudiastuti Dosen/ Peneliti Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
[email protected] kamilia@ ce.its.ac.id
Abstrak Sungai Bone memiliki nilai strategis bagi Kota Gorontalo. Selain muaranya sebagai pelabuhan, Sungai Bone juga digunakan sebagai angkutan kapal-kapal nelayan. Sebagai salah satu sungai yang bermuara di Kota Gorontalo, selain Sungai Limboto dan Talamate, sungai ini juga menjadi salah satu pendukung penyebab terjadinya banjir di kota ini. Informasi awal tentang hidrolika Sungai Bone diharapkan menjadi acuan awal untuk pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya tentang Sungai dan Das Bone. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi identifikasi topografi, karakter sungai, dasar saluran dengan menggunakan program komputer Global Mapper v 8.03 dan Gridded Surface Subsurface Hydrologyc Analysis (GSSHA), dan identifikasi sedimen berdasarkan penelitian terdahulu. Analisis menunjukkan bahwa topografi di Das Bone memiliki kemiringan lereng sebesar 16-17% di daerah pegunungan dan pada daerah permukiman rata-rata kemiringan lahannya ada 2,8%. Pada bagian hulu, Sungai Bone memiliki karakter berkelok-kelok atau meander hingga di bagian tengah. Panjang sungai yang berkelok-kelok ini hampir mencapai 30 kilometer. Kondisi sungai yang berkelok-kelok ini mengindikasikan bahwa tanah dasar di sungai tersebut sifatnya labil dan mudah tererosi. Hal tersebut dimungkinkan terjadi akibat debit aliran yang besar dan menggerus badan sungai, sedangkan di sisi lainnya terjadi pengendapan material terlarut. Alur Sungai Bone bagian tengah hingga hilir lebih cendurung lurus, hingga bermuara di Teluk Tomini, dengan panjang sekitar 28 kilometer. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di bagian hilir, sifat dasar tanah lebih stabil dibandingkan di bagian hulu. Kata kunci : hidrolika, Sungai Bone, Provinsi Gorontalo
PENDAHULUAN Sungai Bone di Provinsi Gorontalo bermuara di sebelah selatan Kota Gorontalo yaitu Teluk Gorontalo. Sungai dengan panjang hampir 60 kilometer membujur dari timur ke arah barat. Minimalnya informasi tentang Sungai Bone menjadikan alasan utama untuk menyajikan informasi dasar model hidrolika Sungai Bone. Sungai Bone memiliki nilai strategis bagi penduduk Kota Gorontalo dan yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut. Muara sungai ini dimanfaatkan sebagai pelabuhan dan sarana rekreasi. Selain itu, sungai juga dijadikan sebagai sarana angkutan kapal-kapal nelayan. Selain itu, Sungai Bone adalah salah satu penyebab banjir yang terjadi di Kota Gorontalo, selain Sungai Limboto dan Sungai Talamate yang bermuara di dekat Kota Gorontalo. Informasi awal tentang Sungai Bone diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi hidrolika sungai tersebut. METODOLOGI Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian atas penelitian-penelitian terdahulu, identifikasi daerah berdasarkan peta topografi, dan penggunaan program bantu komputer yaitu Gridded Surface Subsurface Hydrologyc Analysis (Downer dan Odgen, 2002) serta Global Mapper Versi 8.03. 1. Topografi Topografi akan dianisis berdasarkan peta dalam bentuk ekstensi *.hgt yang dapat dibuka di dalam program Global Mapper Versi 8.03. Global Mapper adalah suatu program komputer yang mampu menampilkan kondisi topografi suatu wilayah yang dapat disajikan dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi. Selanjutnya file diekspor dalam format *.dem (digital elevation model), bentuk format inilah yang
C-51 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
selanjutnya dapat dibuka dalam program GSSHA. Tampilan dalam program GSSHA adalah berupa garis kontur, dan selanjutnya akan secara otomatis melakukan deliniasi sungai-sungai yang mungkin ada dalam tampilan kontur topografi tersebut. Selain format *.hgt Global Mapper juga dapat membuka file dalam format *.asc. File kontur dalam format *.hgt dan *.asc dapat diunduh secara gratis dalam webside di situssitus internet. 2. Karakter Sungai Identifikasi karakter sungai didasarkan atas peta rupa bumi dan juga hasil deliniasi sungai oleh program GSSHA. Analisis dilakukan dari model dua dimensi alur Sungai Bone. 3. Dasar Saluran Dasar saluran diidentifikasi berasarkan deliniasi sungai oleh GSSHA. Dasar saluran dicatat dengan cara melakukan digitasi Sungai Bone, yaitu dengan melakukan pencatatan kemiringan saluran setiap satuan panjang sungai. Dari hasil pengukuran secara digital tersebut maka akan dihasilkan kemiringan dasar saluran Sungai Bone. 4. Sedimentasi Sedimentasi sungai didasarkan atas hasil pengukuran oleh penelitian terdahulu dari pihak lain. HASIL DAN DISKUSI 4. Topografi Topografi di DAS Bone termasuk berbukit-bukit. Ketinggian maksimum adalah 1569,99 meter di atas muka laut, yang berada di sisi utara das, yaitu di sekitar Gunung Olaola. Kemiringan tebing pada bagian hulu Das Bone rata-rata mencapai 17%. Nilai kemiringan tanah ini merupakan faktor yang dapat memperbesar resiko erosi, semakin besar kemiringan tanahnya, maka semakin besar pula erosibility daerah tersebut. Pada bagian hilir, pada umumnya topografi dapat dibagi menjadi dua bagian. Pembagian tersebut berdasarkan kondisi topografi yang perbedaannya sangat ekstrim. Topografi di bagian hulu terbagi atas perbukitan dan dataran rendah yang umumnya digunakan sebagai tempat permukiman penduduk. Di daerah perbukitan kemiringannya sekitar 16%, sedangkan di permukiman penduduk kemiringan lahan hanya 2,8%. Indikasi bahwa DAS Bone termasuk dalam kategori terjal terlihat dari perilaku air sungai. Kecepatan air sungai yang sangat besar mengindikasikan bahwa topografi dasar sungai sangat curam, hal ini juga terlihat di bagian hilir Sungai Bone. Meskipun muara Sungai Bone langsung ke laut, kecepatan air sungai masih tetap tinggi.
Gambar 1. Topografi di Das Bone
C-52 ISBN : 978-979-18342-2-3
5. Karakter Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone yang berada di wilayah bagian Timur Provinsi Gorontalo, memiliki luas total sekitar 1236,46 km2. Berdasarkan Peta Provinsi Gorontalo yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, dengan skala peta 1:300.000, ada sekitar 17 anak sungai yang bermuara di Sungai Bone, ke 17 anak sungai tersebut sebagai sumber air di Sungai Bone. Sumber air sungai ini berasal dari pegunungan dan bukit yang berada di daerah hulu, seperti Gunung Tapambundu (876 meter di atas muka laut) yang mengalirkan Sungai Moloti, Gunung Taneya, dengan elevasi 803 meter, yang mengalirkan Sungai Bulawa, Pegunungan Perantanaan, Gunung Molintogupo (1170 meter di atas muka laut), Gunung Olaola (1584 meter), serta Pegunungan Tilongkabila yang mengalirkan Sungai Bulaw. Pengunungan dan gunung tersebut berada di sisi sebelah utara Sungai Bone. Sumber air DAS Bone yang berasal dari sisi selatan adalah Gunung Taneya (803 meter) yang mengalirkan Sungai Bulawa, Gunung Imani (1495 meter) dan Gunung Ledaleda (993 meter) yang mengalirkan Sungai Tulabolo dan Gunung Lantadutomula (932 meter) yang mengalirkan Sungai Dumayo. Selain berasal dari sisi utara dan sisi selatan Sungai Bone, DAS Bone juga mencakup Provinsi Sulawesi Utara sebelah Barat. Sumber air DAS Bone yang berasal dari Sulawesi Utara dialirkan oleh Sungai Balagudu. DAS Bone yang masuk Provinsi Sulawesi Utara seluas 190,26 km2, atau 15,4% dari luas total DAS Bone (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Batas DAS Bone (garis hitam putus-putus) yang Mencakup Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara
Pada bagian hulu, Sungai Bone memiliki karakter berkelok-kelok atau meander hingga di bagian tengah. Panjang sungai yang berkelok-kelok ini hampir mencapai 30 kilometer. Kondisi sungai yang berkelok-kelok ini mengindikasikan bahwa tanah dasar di sungai tersebut sifatnya labil dan mudah tererosi. Hal tersebut dimungkinkan terjadi akibat debit aliran yang besar dan menggerus badan sungai, sedangkan di sisi lainnya terjadi pengendapan material terlarut. Sementara itu, alur Sungai Bone bagian tengah hingga hilir lebih cendurung lurus, hingga bermuara di Teluk Tomini, dengan panjang sekitar 28 kilometer. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di bagian hilir, sifat dasar tanah lebih stabil dibandingkan di bagian hulu. Perubahan bentuk alur sungai dari meander ke lurus mulai terjadi di Desa Poduwoma, yaitu di sekitar koordinat UTM 526.493 mT, 68.267 mU.
C-53 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 3 Deliniasi Sungai Bone dan anak sungainya dalam GSSHA 6. Dasar Saluran Selain bentuk karakter sungai yang secara ekstrim berubah dari meander ke bentuk lurus, kemiringan dasar saluran Sungai Bone juga memiliki karakter yang sama. Kemiringan dasar saluran di bagian hulu lebih variatif (naik turun) dari pada di bagian hilirnya. Pada bagian hilir Sungai Bone, dasar saluran lebih halus kemiringannya. Perubahan dari dasar saluran Sungai Bone yang naik-turun di bagian hulu ke bentuk dasar saluran yang lebih halus di bagian hilir, secara ekstrim juga terjadi di pertengahan sungai (kilometer ke-30). Rata-rata kemiringan dasar saluran di bagian hulu adalah 0,000761, di bagian tengah 0,031149 sedangkan di bagian hilir 0,00468. Bagian hulu dengan kemiringan paling landai terjadi pada Sungai Bone kilometer ke-0 hingga kilometer ke-28. Bagian tengah dengan kemiringan dasar saluran yang paling terjal jika dibandingkan dengan bagian sungai yang lain terdapat pada kilometer ke-28 hingga kilometer ke-37,5. Sedangkan bagian hulunya mulai pada kilometer ke-37,5 hingga kilometer ke-58,8 (lihat Gambar 4).
Gambar 4. . Kemiringan Dasar Saluran Potongan Memanjang Sungai Bone
C-54 ISBN : 978-979-18342-2-3
Besar kecilnya kemiringan dasar saluran berpengaruh pada kecepatan. Semakin besar kemiringan dasar saluran maka akan semakin besar kecepatan aliran air sungai, demikian juga berlaku untuk kebalikannya. Untuk jenis tanah dasar yang sama, kecepatan air mempengaruhi kemampuan air untuk menggerus badan sungai. Penggerusan ini akan menimbulkan pengangkatan partikel-partikel tanah, sehingga terjadi degradasi saluran. Selanjutnya pada bagian sungai yang kecepatan alirannya semakin kecil, maka partikel-partikel tanah tersebut akan diendapkan, sehingga di dasar saluran di bagian itu akan mengalami penumpukan material sungai (agradasi). 7. Sedimentasi Kandungan sedimen tersuspensi di Sungai Bone sebesar 2,03 mg/liter yang diukur pada tahun 2007 di titik UTM 507127,91;58215,77. Sedangkan jenis sedimen dasar di Sungai Bone yang diukur di sekitar Jembatan Talomolo (UTM 507.201,73 mT; 58.204,28 mU) adalah pasir berlumpur (Sarana Bhuana Jaya, 2007).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa topografi di Das Bone memiliki kemiringan lereng sebesar 1617% di daerah pegunungan dan pada daerah permukiman rata-rata kemiringan lahannya ada 2,8%. Pada bagian hulu, Sungai Bone memiliki karakter berkelok-kelok atau meander hingga di bagian tengah. Panjang sungai yang berkelok-kelok ini hampir mencapai 30 kilometer. Kondisi sungai yang berkelok-kelok ini mengindikasikan bahwa tanah dasar di sungai tersebut sifatnya labil dan mudah tererosi. Hal tersebut dimungkinkan terjadi akibat debit aliran yang besar dan menggerus badan sungai, sedangkan di sisi lainnya terjadi pengendapan material terlarut. Alur Sungai Bone bagian tengah hingga hilir lebih cendurung lurus, hingga bermuara di Teluk Tomini, dengan panjang sekitar 28 kilometer. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di bagian hilir, sifat dasar tanah lebih stabil dibandingkan di bagian hulu.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih untuk Dr. Rudianto Ekawan, MT dan Dr. Ir. Lilik Eko Widodo atas kesempatan dan kerjasama dalam Evaluasi Das Gorontalo, dan kepada Moch. Alkhamd, ST. atas data terkait Das Bone.
Referensi : Anonim, -, Konservasi Daerah Tangkapan Air Dan Sumber-Sumber Air, Model Revitalisasi Sungai Bone, Gorontalo Downer, Charles W. dan Odgen, Fred L, 2002, GSSHA – User’s Manual : Gridded Surface Subsurface Hydrologic Analysis, Engineering Research Development Center, Vicksburg. Sarana Bhuana Jaya, 2007, Laporan Akhir Survey Investigasi dan Desain Pengendalian Banjir Sungai Bone di Propinsi Gorontalo.
C-55 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
C-56 ISBN : 978-979-18342-2-3
MONITORING WELL SEBAGAI DETEKTOR KWANTITATIF DAN KWALITATIF AIR TANAH TERKEKANG DI CEKUNGAN AIR TANAH PASURUAN Djoko Tri Yudianto Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP – ITS Anggota HATHI, Cabang Surabaya ABSTRAK Wilayah Kota dan Kabupaten Pasuruan seluas 2.352 km2 merupakan satu kesatuan cekungan air tanah yang secara geografis dibatasi oleh gugusan gunung, sebagai tanah berelevasi tinggi +3.337 m DPL (Diatas Permukaan Laut), sebagai recharge area air tanah yang masuk ke akuifer sampai ke tanah berelevasi rendah daerah pesisir Selat Madura – Laut Jawa, berelevasi ±0.00 DPL. Cekungan air tanah Pasuruan memiliki banyak cadangan air tanah dan bertekanan tinggi serta ada beberapa potensi air tanah yang memmancar sendiri ke permukaan (Self Flowing). Didalam pengembangan lebih lanjut pengambilan air tanah memakai cara mekanis dengan pemompaan. Bila pengembangan air tanah berlebihan (Over Developt) akan mengakibatkan kesetimbangan air tanah terganggu yaitu Daya Hantar Listrik (DHL) 782 µmhos/cm di suatu daerah pada tahun 2001, pada tahun 2004 DHL=2.910 µmhos/cm. Perlu perhitungan kesetimbangan eksplorasi air tanah agar ketersediaan air tanah tetap terbarukan, dengan menempatkan sumur bor pantau (monitoring well). Kata Kunci : Cekungan Air Tanah; Kwantitatif; Kwalitatif; Monitoring Well.
1.
PENDAHULUAN
Cekungan air tanah Pasuruan meliputi wilayah Kota dan Kabupaten Pasuruan, dengan wilayah keduanya 2.352 km2. Kondisi geografis dibatasi oleh tanah berelevasi tinggi +3.337 m DPL (Diatas Permukaan Laut) berupa gugusan Gunung Bromo, Gunung Welirang, Gunung Arjuno dan Gunung Anjasmoro, tanah berelevasi rendah ±0.00 adalah pesisir selat Madura di sisi utara. Di dalam wilayah ini mengalir sungai-sungai utama yaitu Sungai Kadunglarangan, Sungai Masangan, Sungai Welang, Sungai Gembong dan Sungai Winongan, dimana debit air yang mengalir pada badan sungai ikut mempengaruhi kesetimbangan air, baik dari air tanah maupun air pemukaan. Akibat pengembangan air tanah yang berlebihan dapat tejadi penurunan SWL (Static Water Level) dan peningkatan DHL (Daya hantar Listrik) air tanah di pesisir. Bila air permukaan tidak mencukupi untuk keperluan daerah, dapat dibantu dengan mengeksplorasikan air tanah. Air tanah di Pasuruan dipakai untuk keperluan domestic, industry, pertanian, volume pemompaan 932.559 m3/th dengan sumur bor industry 215 bh. Untuk menjaga kwantitas, kwalitas dan kontinuitas air tanah perlu diperhitungkan eksplorasi air tanah di cekungan Pasuruan. 2.
ALIRAN AIR TANAH TERBARUKAN
a.
Aliran Air Tanah
Trase permukaan tanah Pasuruan dimulai dari tanah berelevasi tinggi di gunung-gunung samapai tanah berelevasi rendah di pesisir kecamatan Lekok, Kecamatan Rejoso, Kecamatan Rembang, Kecamatan Bagil dan Kecamatan Gempol yang berelevasi ±0.00 DPL. Pada kasus cekungan Pasuruan, gerakan air tanah pada akuifer terkekang kedalamnya mengikuti kontur permukaan air tanah yaitu bergerak dari daerah tinggi gunung-gunung yang bersifat daerah imbuhan (recharge area), bergerak menuju laut di pesisir Selat Madura.
C-57 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 2.1 : Aliran Air Tanah b.
Air Tanah Bersifat Terbarukan
Air tanah yang dibahas ini adlah bukan air tanah yang berupa air fosil seperti pada kasus Lumpur “Lapindo” Sidoarjo – Jawa Timur, air fosil tidak dapat terbarukan bila diambil akan habis seperti minyak bumi. Siklus hidrologi air tanah dimulai dari air lautyang menguap menjadi awan, awan terbawa ke atas gunung, awan terkondensasi menjadi hujan. Hujan yang jatuh di bumi, ada yang jatuh di pegunugan sebagai recharge area airnya akan mengisi ruang di lapisan akuifer terkekang (confined aquifer). Hujan yang jatuh di dataran lebih rendah akan mengisikan air di lapisan akuifer bebas tak terkekang (unconfined aquifer) Air tanah terkekang bergerak dari daerah tinggi sampai daerah rendah pesisir, dalam perjalanannya terkadang mengalir ke permukaan sebagai sumber (source). Terkadang menjadi aliran lateral sebagai base flow pada sungai dan terakhir terkadang menjadi sumber air tawar di pantai, seperti kasus di Pantai Boom Tuban – Jawa Timur.
Gambar 2.2: Profil Aquifer
3.
Kwalitas Dan Kwantitas Air Tanah
a.
Kwalitas Air Tanah
Kondisi Terkini kwalitas air tanah di Pasuruan lenih menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kwalitas air tanah ini salah satunya dapat diketahui debgan mengukur Daya Hantar Listrik (DHL), bila DHL meningkat berarti kwalitas air tanah menurun tercemar intrusi air laut. Kasus di pesisir Pasuruan pada tahun 2001 DHL = 782 µmhos/cm, pada tahun 2004 = 2.910 µmhos/cm, berarti di area tersebut kwalitas air tanah menurun.
C-58 ISBN : 978-979-18342-2-3
Gambar 3.1: Kontur DHL b.
Kwantitas Air Tanah
Kwantitas air tanah dapat diketahui dari data geolistrik dan sebarannya serta angka kesarangan batuan akuifer.
Gambar 3.2: Hasil Uji Geolistrik 3D
Gambar 3.3: Potensi Air Tanah
C-59 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Volume estimasi debit air tanah (Q) Dinamis: Q = ( 1 – α )A.h Dimana: α
= Koefisien kesarangan ;
A
= Luas Wilayah Potensi ( Km2 ).
h
= Tinggi Akuifer ( m ).
Untuk kasus Kecamatan Pandaan, Kecamatan Gempol dan Kecamatan Rembang didapat α = 0.55 ; A = 15,071 km2 ; h = 30 m s/d 50 m. Diperoleh Q = 23.11.495x103 m3/tahun
Gambar 3.4: Peta Cekungan Air tanah Pasuruan
Gambar 3.5: Penampang Akuifer Cekungan Air Tanah Pasuruan
C-60 ISBN : 978-979-18342-2-3
4.
PENGEMBANGAN AIR TANAH BERLEBIHAN
a.
Cara Pengambilan Air Tanah
Air tanah di Pasuruan yang diambil untuk berbagai keperluan yang dominan adalah pengambilan untuk keperluan industri dan pertanian. Di Pasuruan tercatat pengambilan air tanah dengan sumur bor dalam sebanyak 215 buah, volume air tanah terkekang yang diambil sebesar 932.559 m3/tahun rata-rata selama 4 tahun terakhir.
Gambar 4.1: Cara Pengambilan Air Tanah b. Pengembangan Berlebihan (Over Development) Bila pengambilan air tanah berlebihan (over development) akan terjadi penurunan pada kwantitas, kwalitas dan kontinuitas air tanah. 5.
MONITORING WELL UNTUK MENJAGA KESETIMBANGAN AIR TANAH
a.
Kesetimbangan Air Tanah
Untuk mencapai kesetimbangan air tanah berarti sama dengan menjaga kontinuitas keberadaan air tanah sepanjang tahun dan layak kwalitasnya serta cukup volumenya untuk segala macam keperluan setempat.
C-61 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 5.1: Kesetimbangan Air Tanah (2D)
QD Qi QP
= Kebutuhan Domestik = Kebutuhan Industri = Kebutuhan Pertanian
Gambar 5.2: Kesetimbangan Air Tanah Terkekang (3D) Bila air permukaan (surface water) kurang disupplai dari pemompaan air tanah (Qs). Kesetimbangan Air Tanah Anuitas Qin = Qi + QD + QP + Qout Qout > pos penyangga air tanah. Qout harus dijaga sepanjang tahun sehingga DHL
C-62 ISBN : 978-979-18342-2-3
dibawahnya terutama di daerah pesisir tidak terjadi kenaikan (intrusi air laut). Contoh kasus di Pandaan, muka air tanah (SWL) menurun sampai 0,40 m dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, hal ini menunjukkan bahwa debit penyangga harus diperhitungkan supaya tidak terjadi penurunan kwantitas maupun kwalitas serta kontinuitasnya. b. Konstruksi Monitoring Well Gambar 5.3: Penampang Monitoring Well Pada bagian atas sumur dipasang penutup yang bisa dibuka tutup untuk memantau kondisi air tanah. c.
Penempatan Monitoring Well Minimal
Gambar 5.4: Penempatan Monitoring Well Minimal Keterangan: : Lokasi Penempatan Monitoring Well : Zona Rawan : Zona Aman : Daerah Imbuhan Air Tanah 6.
KESIMPULAN DAN SARAN
Cadangan air tanah di Pasuruan 2.311.495.103 m3/tahun masih cukup untuk melayani kebutuhan 932.559 m3/tahun. Kwalitas air di daerah pengambilan masih layak DHL=800 µmhos/cm < 1500 µmhos/cm. Di dalam pengembangan pengambilan air tanah pada masa mendatang harus dibatasi sehingga terjaga kwalitas, kwantitas, dan kontinuitasnya. Diperlukan monitoring well untuk mengetahui setiap saat akan DHL dan SWL agar setiap saat dapat diketahui dengan mudah kwalitas air tanah berupa DHL dan elevasi SWLnya. 7. 1. 2. 3. 4. 5.
DAFTAR PUSTAKA David Keith Tod (1980), “Ground Water Hydrology”, jhon Willy and Sons. Peta Geohidrology Jawa Timur (1995) Badan Pelaksana Dan Pengendali Dampak Lingkungan Kabupaten Pasuruan (2004), “Study Dampak Pengambilan Air Bawah Tanah”. Badan Perencanaan Pembangunan Kota Pasuruan (2007), “Zonasi Air Bawah Tanah”. Dinas Energi Dan Sumberdaya Mineral Pemerintah Propinsi Jawa Timur (2007), “Pemetaan Zona Konservasi Air Tanah Di Cekungan Air Tanah (CAT) Pasuruan”.
C-63 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DAS SAMPEAN BARU MENGGUNAKAN INTEGRASI REMOTE SENSING DAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM Gusfan Halik Laboratorium Hidroteknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Jember
[email protected] ABSTRAK Teknologi remote sensing (RS) dalam dekade ini telah berkembang pesat dalam menyediakan informasi tata guna lahan terkini dan dapat memonitor perubahannya secara temporal. Salah satu diantaranya adalah citra landsat 7 ETM+. Sejak tahun 2003, landsat 7 EMT+ bekerja dengan SLC OFF. Landsat 7 ETM+ SLC OFF masih dapat dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan tata guna lahan dengan melakukan teknik perbaikan citra menggunakan metode Localized Linier and Histogram Match, LLHM), berupa : pengisian gap pada citra menggunakan beberapa citra series (berkala) dan melakukan penyamaan histrogramnya. Identifikasi lahan kritis menggunakan teknik overlay dalam Geographic Information System (GIS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Sampean Baru dalam kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2009 telah terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 3,456 Ha (4.45%), pengurangan luasan perkebunan sebesar 1,896 Ha (2.44%), peningkatan luasan semak belukar sebesar 1,352 Ha (1.74%), peningkatan luasan sawah tadah hujan sebesar 2,976 Ha (3.83%). Tingkat kekritisan lahan terjadi peningkatan untuk kondisi sangat kritis sebesar 1,200 Ha (1.55%), kritis sebesar 3,000 Ha (3.86%), agak kritis sebesar 974 Ha (1.25%) dan potensial kritis sebesar 2,250 Ha (2.90%). Dengan demikian, integrasi antara RS dan GIS dapat digunakan sebagai metode alternatif yang cepat dan efisien dalam melakukan identifikasi perubahan tata guna lahan dan pemetaan lahan kritis jika dibandingkan dengan survei langsung di lapangan.
Kata kunci : Landsat 7 ETM+ SLC OFF, LLHM, Lahan Kritis, Integrasi RS dan GIS
PENDAHULUAN Karakteristik penutupan lahan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik maupun sosial ekonomi masyarakatnya. Survei tutupan lahan yang dilakukan secara langsung di lapangan memerlukan tenaga yang banyak, waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Peta hasil pemetaan lapangan secara langsung menjadi usang (out of date) seiring dengan perubahan lingkungan yang sangat cepat. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan pemantauan perubahan tata guna lahan dan analisisnya menjadi sangat sulit dilakukan apabila digunakan survei secara tradisional. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang mampu menggambarkan obyek dipermukaan bumi secara luas, terkini dan dapat dimanfaatkan secara periodik. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mampu menggambarkan obyek di permukaan bumi, sehingga dapat digunakan untuk memetakan penutupan lahan dan memonitor perubahannya. Akhir dekade ini, telah berkembang dengan pesat teknologi penginderaan jauh yang telah terbukti secara luas dan akurat dalam menyediakan informasi tata guna lahan dan tutupan lahan serta mampu memonitor perubahannya secara periodik. Beberapa penelitian mengenai penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam mendeteksi perubahan tata guna lahan dan tutupan lahan yang telah dilakukan diantaranya : Boakye, E., et.al., (2008) ; Wenli Huang, et.al., (2008) ; Lassana Ballo, et.al., (2008) ; Fenglei Fan., et.al., (2007) ; Seto., K.C., et.al., (2002), John Rogan and DongMei Chen, (2004). Kebutuhan akan data terkini dengan tingkat akurasi tinggi, pada areal yang sangat luas diperlukan untuk memantau perubahan yang terjadi. Hal ini merupakan satu kesatuan dalam sistem pengelolaan DAS. Data yang diperoleh dari teknologi penginderaan jauh yang telah di cek di lapangan digunakan sebagai masukan (input) bagi Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System, GIS) untuk selanjutnya diproses dan dianalisa sehingga diperoleh peta tutupan lahan yang akurat. Melalui proses GIS, data dari penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan tata guna lahan dan pemetaan lahan kritis yang terjadi pada suatu DAS. Integrasi penginderaan jauh dan GIS merupakan hal penting yang sangat diperlukan untuk membantu keterbatasan dana, waktu dan tenaga kerja apabila survei langsung dilakukan di
C-64 ISBN : 978-979-18342-2-3
lapangan dengan hasil yang diperoleh memiliki akurasi tinggi, mudah, cepat dan murah, dapat dilakukan setiap saat. Salah satu citra satelit yang sering dipakai untuk melakukan analisis perubahan tata guna lahan adalah landsat 7 ETM+. Sejak tahun 2003, landsat 7 EMT+ bekerja dengan SLC OFF. Landsat 7 ETM+ SLC OFF masih dapat dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan tata guna lahan dengan melakukan teknik perbaikan citra menggunakan metode Localized Linier and Histogram Match, LLHM), berupa : pengisian gap pada citra menggunakan beberapa citra serie (berkala) dan melakukan penyamaan histrogramnya, kemudian dilakukan koreksi radiometrik dan geometrik, penajaman citra dan klasifikasi citra. Sedangkan indentifikasi lahan kritis menggunakan teknik overlay dalam Geographic Information System (GIS). Sementara itu, kondisi di DAS Sampean Baru juga terjadi perubahan luasan jenis-jenis pola penggunaan lahan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Balai PSAWS Sampean menunjukkan bahwa pola tata guna lahan DAS Sampean Baru terdiri dari : hutan, perkebunan, tegalan, sawah dan pemukiman. Komposisi luasan hutan terjadi penurunan, akibat adanya penggundulan hutan secara besar-besaran yang merupakan fenomena dan wacana yang terjadi dan sulit dihindari. Dampak dari penurunan luasan hutan ini berupa banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Situbondo pada bulan Januari 2002, kemudian disusul banjir pada bulan Februari 2008 (UPT PSAWS Sampean, 2008).
METODOLOGI Lokasi Penelitian Secara administrasi daerah penelitian terletak di DAS Sampean Baru Kabupaten Bondowoso, meliputi beberapa kecamatan, yaitu : Kecamatan Wringin, Pakem, Curahdami, Bondowoso, Tegalampel, Tenggarang, Grujugan, Maesan, Tamanan, Pujer, Tlogosari, Wonosari, dan Sukosari (Gambar 1). Sedangkan secara geografis DAS Sampean Baru terletak 7o48’ – 7o58’ LS dan 114o40’ – 114o48’ BT. Luas total DAS Sampean Baru seluas 776.57 km2 yang terbagi menjadi 24 sub DAS (Gambar 2).
Gambar 1. Batas Administrasi DAS
Gambar 2. Pembagian Sub DAS
Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini, terdiri dari : 1.Citra satelit landsat -7 ETM+ SLC ON (1999) dan SLC OFF (2009) 2.Peta Rupa Bumi (RBI) skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh Bakorsurtanal 3.Global Positioning System (GPS) Gamin Map tipe 76 CSX 4.Komputer (hardware dan software) Sedangkan tahapan kegiatan penelitian ini selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 3.
C-65 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Mulai
Peta RBI Thn 2000
Survei
Citra Satelit
Koreksi Geometrik
Digitasi Peta RBI
Penajaman Citra Layer
Cropping Citra
Klasifikasi Citra
Layer
Training Area
Analisis Hasil
Digital Elevation Model
Deliniasi Daerah
Ground
Sebaran Tata
Analisis Tingkat Kelerengan Sistem Informasi Manajemen Tata
Analisis dan Pembahasan
Analisis Indeks Bahaya Erosi Analisis Tingkat Keritisan Lahan
Selesai
Gambar 3. Tahapan Penelitian
HASIL DAN DISKUSI Dalam penelitian ini, penyusunan database spasial tata guna lahan menggunakan citra satelit landsat-7 ETM+. Database citra satelit tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu : citra satelit landsat-7 ETM+ SLCOFF (periode perekaman tahun 2009) dan citra landsat-7 ETM+ SLC-ON (periode perekaman tahun 1999). Sebaran tata guna lahan di lokasi penelitian (DAS Sampean Baru) berada pada path 117 dan row 66. Datum yang digunakan adalah World Geodetic System 1984 (WGS84). Analisis citra landsat-7 ETM+ dengan SLC ON yang digunakan adalah citra satelit dengan periode perekaman 9 September 1999 (Gambar 4). Dalam mengindentifikasi tutupan lahan (unsur vegetasi) yang terdapat di DAS Sampean Baru, digunakan konsep indeks vegetasi. Konsep ini didekati dengan metode NDVI (Normalized Defferencing Vegetation Index). Nilai indeks vegetasi dihitung sebagai rasio antara pantulan yang terukur dari band merah (R) dan band infra merah (didekati oleh band NIR) pada gelombang elektromagnetik (Prahasta, 2008). Band NIR dan band R pada sensor satelit landsat-7 ETM adalah band 3 dan band 4. Kedua band ini dipilih sebagai parameter indeks vegetasi karena ukurannya paling dipengaruhi oleh penyerapan klorofil daun (vegetasi hijau). Band merah (R) sangat sedikit dipantulkan, sementara band inframerah (NIR) dipantulkan sangat kuat. Nilai indeks vegetasi ini DAS Sampean baru berada antara 0.1
C-66 ISBN : 978-979-18342-2-3
(warna biru) sampai 0.7 (warna merah). Nilai yang lebih besar dari domain ini merupakan representasi tingkat kesehatan vegetasi yang baik. Sementara nilai 0 dan negatif diasosiasikan sebagai unsur-unsur non vegetasi, seperti : tubuh air, tanah kosong dan lahan terbuka. Nilai NDVI di DAS Sampean Baru tahun 1999 ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 4. Citra Landsat-7 ETM+ SLC ON
Gambar 5. Indeks Vegetasi dengan NDVI
Setelah nilai NDVI didapatkan, kemudian dilakukan klasifikasi citra yang diawali dengan pembuatan training area. Pemilihan training area didasarkan pada informasi lapangan dan informasi dari peta rupa bumi. Disamping itu pemilihan kombinasi band akan membantu dalam menentukan kelas tata guna lahan pada saat pembuatan training area dilakukan. Hasil klasifikasi citra metode terbimbing ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 6. Hasil Klasifikasi Terbimbing
Gambar 7. Luasan Tata Guna Lahan 1999
Analisis citra landsat tahun 2009 dengan SLC-OFF (terdapat gap), sehingga perlu dilakukan pengisian gap pada citra master dengan citra pengisinya. Citra master yang dijadikan sebagai citra utama adalah yang memiliki tutupan awan yang paling sedikit (6 Oktober 2009). sedangkan citra pengisi gap adalah citra selain citra master dengan periode perekaman yang berdekatan, yaitu : 22 Oktober dan 23 Nopember 2009. Gap data citra dan formulasi pengisian gap pada masing-masing periode perekaman ditunjukkan pada Gambar 8.
C-67 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 8. Gap citra dan Formulasi Pengisiannya
Tahap pengisi gap pada citra master dilakukan dengan melakukan retrifikasi citra pengisi pada citra master, sehingga kedua citra mempunyai koordinat yang sama. Setelah itu dilakukan LLHM (Localized Linier and Histogram Match) atau penyamaan histogram secara linier dan terlokalisir agar didapatkan citra yang mempunyai kontras dan warna yang sama antar kedua citra. Transformasi linier yang dipakai ditentukan berdasarkan perhitungan nilai absolut rata-rata antara piksel-piksel yang ada dalam kedua citra yang telah dilokalisir tersebut. Hal ini juga dapat dilakukan untuk daerah lain yang telah dilokalisir, sehingga bentuk transformasi antara satu lokasi dengan lokasi yang lain dapat berbeda-beda. Jadi tahapan pengisian citra ini merupakan kegiatan yang dilakukan pada beberapa daerah terlokalisir (bukan seluruh bagian citra), hanya pada bagian kecil yang memerlukan penajaman. Hasil pengisian gap citra master dapat dilihat pada Gambar 9. Setelah pengisian gap ini dilakukan tahap berikutnya adalah pengklasifikasian citra. Klasifikasi dilakukan dengan metode terbimbing (supervised) seperti yang usulkan oleh Nicholas (2003), Ramsey (2001) dan Piwowar (2001). Hasil klasifikasi citra (terbimbing) dapat dilihat pada Gambar 10, sedangkan perubahan tata guna lahan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 9. Hasil Pengisian Gap (band 543)
C-68 ISBN : 978-979-18342-2-3
Gambar 10. Hasil Klasifikasi Terbimbing
Gambar 11. Perubahan Tata Guna Lahan
Untuk mengetahui tingkat kesesuaian hasil klasifikasi tata guna lahan diatas (Gambar 10), maka umumnya dilakukan survei langsung dilapangan (ground truth). Survei langsung dilapangan ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi. Pada penelitian ini, tingkat kesesuaian klasifikasi tata guna lahan dilakukan dengan metode integrasi atau sinkronisasi antara hasil penginderaan jauh (Google Earth) dan sistem informasi geografis (View ArcMap) menggunakan script yang dikembangkan oleh Luiz Matta. Hasil integrasi kesesuaian tata guna lahan ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Tingkat Kesesuaian Tata Guna Lahan
Penentuan lahan kritis menggunakan teknik overlay (tumpang susun) terhadap beberapa peta, meliputi : peta kelerengan, peta tata guna lahan, peta indeks erosi dan peta manajemen. Peta kelerengan didasarkan peta peta digital elevation model 3D (DEM) yang ditunjukkan pada Gambar 12. Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter kelerengan di DAS Sampean Baru untuk kelas lereng (0-3%) dengan luas 31,977.04 Ha (41.18%). Kelas lereng (3-8%) dengan luas 19,060.27 Ha (24.54%). Kelas lereng (8-15%) dengan luas 11,522.23 Ha (14.84%). Kelas lereng (15-25%) dengan luas 8,805.01 Ha (11.34%). Kelas lereng (25-40%) dengan luas 4,976.25 Ha (6.41%). Kelas lereng (> 40%) dengan luas 1,316.67 Ha (1.70%). Peta Tingkat Kelerengan DAS Sampean Baru dapat dilihat pada Gambar 13.
C-69 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
Gambar 12. Peta DEM-3D
Gambar 13. Peta Kelerengan
Gambar 14. Indeks Bahaya Erosi Indeks bahaya erosi merupakan parameter penting dalam melakukan evaluasi potensi erosi. Indeks bahaya erosi dinyatakan sebagai perbandingan antara laju erosi potensial yang terjadi terhadap nilai batas erosi yang diperbolehkan. Besarnya laju erosi potensial dihitung menggunakan model extension swat-2000, sedangkan besarnya nilai batas erosi yang diperbolehkan mengacu pada hasil penelitian untuk kondisi tanah di Indonesia (Arsyad, 2000). Peta indeks bahaya erosi yang terjadi di DAS Sampean Baru ditunjukkan pada gambar 14, sedangkan peta kekritisan lahan ditunjukkan pada Gambar 15-16.
Gambar 15. Peta Kekritisan Lahan 1999
Gambar 16. Peta Kekritisan Lahan 2009
C-70 ISBN : 978-979-18342-2-3
Besarnya tingkat kekritisan lahan selama periode 1999-2009 terjadi peningkatan untuk kondisi sangat kritis sebesar 1,200 Ha (1.55%), kritis sebesar 3,000 Ha (3.86%), agak kritis sebesar 974 Ha (1.25%) dan potensial kritis sebesar 2,250 Ha (2.90%). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan (Gambar 16) tersebut diatas, kemudian dilakukan integrasi atau sinkronisasi antara ArcMap dengan hasil penginderaan jauh dari Google Earth sehingga dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan kritis terhadap kondisi sebenarnya dilapangan. Sinkronisasi ini menggunakan script yang dikembangkan oleh Luiz Matta. Dengan sinkronisasi ini, setiap peta atau layer lokasi tingkat kekritisan lahan yang ditampilkan dalam view ArcMap akan ditampilkan juga pada Google Earth sesuai dengan zoon in yang dilakukan di view ArcMap. Hasil sinkronisai ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Hasil Sinkronisasi ArcMap dengan Google Earth
Perubahan tata guna lahan dan tingkat kekritisan lahan selama periode 1999-2009 akan berdampak terhadap besarnya aliran yang terjadi. Dampak perubahan tata guna lahan terhadap aliran ini dinyatakan dalam bentuk kurva durasi Aliran (Flow Duration Curve, FDC). Kurva durasi aliran ditunjukkan pada Gambar18, sedangkan perubahan debit aliran periode 1999-2009 ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Perubahan debit Aliran
1000 1999
Daily Mean Discharge (m^3/dt)
2009
100
low flow dry condition midrange flow
10 moist condition high flow
Prob. (%) 95 90 75 50 25 10 5 1
Q (m^3/dt) 1999 2009 3.02 2.95 4.21 3.01 6.21 4.11 9.52 7.23 21.31 20.88 45.50 40.88 66.79 72.16 135.04 280.70
1 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Probabilitas Exceeded (%)
Gambar 18. Kurva Durasi Aliran Berdasarkan kurva FDC (Gambar 18) dan Tabel 1, menunjukkan bahwa perubahan aliran pada saat musim kemarau (Prob. 60-90%) terjadi penurunan debit aliran sebesar = 2.10 m3/dt (33.80 %), sedangkan pada saat musim penghujan (Prob. 0-10%) terjadi peningkatan debit aliran sebesar = 5.36 m3/dt (8.0 %). Sedangkan puncak banjir yang pernah terjadi (observasi) tahun 1999 sebesar 355.93 m3/dt dan tahun 2009 sebesar 677.12 m3/dt. Ini berarti terjadi peningkatan debit puncak aliran sebesar = 90.2 %. Dari analisis ini,
C-71 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010
menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan (tingkat keritisan lahan) akan berdampak terhadap peningkatan puncak debit aliran pada musim penghujan dan terjadi penurunan debit aliran pada saat musim kemarau. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semakin menurunnya kemampuan air yang tersimpan akibat semakin berkurangnya tutupan lahan (hutan). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya atau tindakan konservasi dalam rangka menekan terjadinya tingkat keritisan lahan yang semakin tinggi. Upaya tersebut dapat berupa tindakan konservasi baik secara vegetatif (penghijauan) maupun secara teknis (pembuatan cek dam, rolak, dan lainnya). Upaya konservasi yang segera dilakukan untuk kondisi lahan yang sangat kritis di DAS Sampean baru, adalah Sub DAS Gubri dan Sub DAS Pakel (Kecamatan Tegal Ampel), Sub DAS Gubri (Kecamatam Wringin), Sub DAS Curah Pao (Kecamatan Klabang) dan Sub DAS Selokambang (Kecamatan Curah Dami) serta Sub DAS S. Sampean (Kecamatan Tegalampel) .
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan diskusi diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Integrasi RS dan GIS dalam melakukan pemetaan tata guna lahan dan penentuan lahan kritis di DAS Sampean Baru dapat digunakan sebagai salah satu alternatif metode yang cepat dan efisien jika dibandingkan dengan survei langsung dilapangan. 2. Teknik pengisian gap pada citra landsat-7 ETM+ SLC-OFF dengan metode LLHM merupakan metode yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas citra. 3. Tingkat kekritisan lahan selama periode 1999-2009 terjadi peningkatan untuk kondisi sangat kritis sebesar 1,200 Ha (1.55%), kritis sebesar 3,000 Ha (3.86%), agak kritis sebesar 974 Ha (1.25%) dan potensial kritis sebesar 2,250 Ha (2.90%). 4. Perubahan tata guna lahan dan peningkatan tingkat kekritisan lahan telah mengakibatkan terjadinya penurunan debit aliran sebesar 33.80% (musim kemarau), sedangkan musim penghujan terjadi peningkatan debit aliran berkisar antara 8.0 – 90.2%.
REFERENSI UPT PSAWS Sampean, 2008. Penjelasan Singkat Tentang Banjir Sungai Sampean di Situbondo tanggal 8 Pebruari 2008. Balai PSAWS Sampean, Bondowoso. Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. Bogor : IPB Press Boakye, E., Odai, S.N., Adjei K.A., Annor F.O., 2008. Landsat Images for Assessment of the Impact of Land Use and Land Cover Changes on the Barekese Catchment in Ghana. European Journal of Scientific Research, 2008. ISSN 1450-216X Vol.22 No.2, pp. 269-278. Fenglei Fan., Qihao Weng., Yun Peng Wang., 2007. Land use and Land Cover Change in Guangzhuo, China From 1998 to 2003, Based on Landsat TM/ETM+ Imagery. Sensor 2007, ISSN : 1424 – 8220, Vol. 7 pp. 1323 – 1342. John Rogan and Dong Mei Chen, 2004. Remote Sensing Technology for Mapping and Monitoring. Elsevier, 2004. Progress in Planning Vol. 61 pp. 301–325. Lassana Ballo, Hu Guangdao, Wen Xinping, Wu Xinbing, 2008. Land Cover Change Detection Using Supervised Classification Method of Wuhan in 1991 and 2002. Research Journal of Applied Sains, 2008. ISSN 1815-932X Vol. 3 No. 2 pp. 90-94. Luiz Motta, 2008. Synchronized Google Earth with ViewMap of ArcMap. (http://arcscript.esri.com /details.asp?dbid=15944) Nicholas, S.M, 2003. Supervised Classification. http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_17.html.
C-72 ISBN : 978-979-18342-2-3
Piwowar, Joseph M, 2001. Image Classification. http://fes.waterloo.ca/crs/geog376 /ImageAnalysis/Classification/Classification/html. Prahasta E, 2008. Remote Sensing “ Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper”. Penerbit Informatika Bandung. Ramsey, R Douglas, 2001. Image Classification and Feature Extraction. http://www.gis.usu.edu/~doug/RS6740/lectures/index.html. Seto., K.C., Woodcok C.E., Song C. Wuang X. Lu and Kaufmann R.K., 2002. Monitoring Land use Change in the Pearl River Delta Using Landsat TM. International Journal of Remote Sensing, 2002. ISSN : 0143-1161. Vol. 23 No. 10 pp. 1985 – 2004. Wenli Huang, Huiping Liu, Qingzu Luan, Qingxiang Jiang, Junping Liu, Hua Liu., 2008. Detection And Prediction Of Land Use Change In Beijing Based On Remote Sensing and GIS. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 2008, Vol. XXXVII, Part B6b, Beijing, pp. 75-82. http://landsat.gsfc.nasa.gov/
C-73 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Wilayah 2010