1
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik
terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat dukungan pemenuhan pakan dengan kualitas dan kuantitasnya yang terjamin. Berdasarkan hal tersebut, maka pakan dapat dinyatakan sebagai faktor dominan yang mempengaruhi efisiensi dan kesuksesan dalam usaha peternakan. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia baik ruminansia kecil maupun ruminansia besar. Hijauan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi.
Tiga faktor
penting yang berkaitan dalam penyediaan hijauan bagi ternak ruminansia adalah ketersediaannya harus dalam jumlah yang cukup, mengandung nutrien yang baik, dan berkesinambungan sepanjang tahun. Salah satu faktor yang menghambat penyediaan hijauan pakan, yakni banyak terjadinya alih fungsi lahan yang sebelumnya lahan sumber hijauan pakan menjadi lahan pemukiman atau lahan industri. Ketersediaan hijauan pakan juga dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan sebaliknya di musim hujan jumlahnya melimpah. Upaya pencarian bahan pakan alternatif sumber hijauan perlu dilakukan dan salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dapat digunakan adalah limbah pertanian dari tanaman jagung yaitu jerami jagung.
2
Hasil pertanian seperti jerami jagung jika dicampur dengan bahan pakan lain yang dapat melengkapi kandungan nutrien akan menghasilkan susunan pakan yang mencukupi kebutuhan nutrien ternak dan murah. Jerami jagung merupakan limbah dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen. Jerami jagung dapat diberikan pada ternak, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Pemanfaatan jerami jagung sebagai pakan ternak telah dilakukan terutama untuk ternak sapi, kambing, dan domba. Kualitas dari suatu hijaun dipengaruhi oleh umur tanaman dan kesuburan tanahnya. Tanaman pakan yang berumur tua memiliki kandungan serat kasar yang tinggi dan kualitas nutrien yang rendah. Hal ini disebabkan oleh proses lignifikasi yaitu terbentuknya senyawa kompleks
yang disebut
lignoselulosa dan
lignohemiselulosa. Lignin tersebut dapat menyebabkan menurunnya kecernaan pakan. Ketersediaan Jerami jagung pada musim hujan berlimpah, tetapi banyak peternak tidak memanfaatkannya sebagai pakan.
Peternak lebih cenderung
memberikan rumput kepada ternaknya dari pada memberikan jerami jagung. Pada musim kemarau peternak kekurangan hijauan untuk pakan, sehigga untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya pengawetan jerami jagung pada musim hujan. Upaya pengawetan jerami jagung dapat dilakukan dengan proses ensilase. Jerami jagung memiliki kualitas nutrien yang rendah, sehingga diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas jerami jagung sebagai pakan. Upaya pengkayaan nutrien jerami jagung dapat dengan penambahan nitrogen dan sulfur dalam proses ensilase. Penambahan nitrogen dan sulfur pada proses ensilase jerami jagung dapat meningkatkan kandungan nutrien serta dapat merenggangkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang menyebabkan selulosa dan hemiselulosa
3
mudah dicerna mikroba rumen yang pada akhirnya meningkatkan kecernaan pakan. Pengaruh
tersebut
selama
proses
fermentasi
dalam
rumen
diharapkan
meningkatkan konsentrasi NH3 dan VFA sebagai hasil fermentasi protein dan karbohidrat. Nilai manfaat suatu bahan pakan dapat diuji melalui penentuan fermentabilitasnya dalam rumen berdasarkan indikator nilai produksi NH3 dan VFA. Salah satu cara untuk mendapatkan hal tersebut dapat dilaksanakan melalui metode in vitro. Metode ini adalah tiruan proses pencernaan pada tubuh ternak dengan biaya yang relatif lebih murah dan pelaksanaannya relatif lebih mudah. Pada pengujian pakan tunggal metode ini lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan metode in vivo, terutama jika nutrien yang terkandung dalam bahan pakan tidak mencukupi kebutuhan ternak. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Pengaruh Penambahan Nitrogen dan Sulfur pada Ensilase Jerami Jagung Terhadap Konsentrasi NH3 dan VFA Rumen Sapi Potong (in vitro)”. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut: 1. Apakah penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung dapat berpengaruh terhadap konsentrasi NH3 dan VFA di rumen sapi potong (in vitro). 2. Pada persentase berapakah penambahan nitrogen dan sulfur memberikan pengaruh pada ensilase jerami jagung terhadap konsentrasi NH3 dan VFA yang tertinggi di rumen sapi potong (in vitro).
4
1.3
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung terhadap konsentrasi NH3 dan VFA di rumen sapi potong (in vitro). 2. Mengetahui pada persentase berapakah penambahan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung jagung terhadap konsentrasi NH3 dan VFA yang tertinggi di rumen sapi potong (in vitro). 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi peternak dan
praktisi peternakan mengenai pemanfaatan jerami jagung sebagai pakan alternatif sumber serat. Selain itu menambah informasi mengenai penggunaan nitrogen dan sulfur pada ensilase jerami jagung terhadap konsentrasi NH3 dan VFA di rumen sapi potong (in vitro). 1.5
Kerangka Pemikiran Jerami jagung yang merupakan limbah dari produksi jagung dapat dijadikan
sebagai pakan ternak karena masih terdapat kandungan nutrien di dalamnya. Jerami jagung memiliki kandungan air sebanyak 49,16% dan komposisi zat makanannya berdasarkan bahan kering mengandung abu 6,58%, protein kasar 6,37%, serat kasar 27,61%, lemak kasar 0,47%, BETN 59,97%, TDN 65,82%, energi sebesar 3.047 kkal/kg dan lignin sebesar 13,01% (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unpad, 2015).
Jerami jagung
memiliki kandungan nutrien yang rendah serta memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, pemberian jerami jagung secara langsung sebagai pakan memiliki tingkat kecernaan yang rendah. Tanaman jagung dipanen pada umur yang tua sehingga mengandung lignin yang tinggi. Tingginya kandungan lignin pada jerami
5
akan berpengaruh terhadap kerja enzim mikroba dalam mencerna selulosa dan hemiselulosa dalam rumen (Sutardi, 1980). Produksi jagung di Jawa Barat pada tahun 2013 sebanyak 1.101.998 ton pipilan kering dengan luas panen 152.923 ha (BPS Provinsi Jawa Barat, 2014). Biomassa jerami jagung sebanyak 4,206 ton/ha dari varietas Bima-4 (Erawati dan Hipi, 2011). Informasi lain yang disampaikan Sariubang dkk. (2000) menyatakan bahwa satu ha lahan menghasilkan antara 2,1-6,0 ton limbah kering berupa jerami jagung. Ketersediaan jerami jagung melimpah ketika musim hujan dan kurang termanfaatkan karena peternak cenderung memilih rumput sebagai pakan ternak. Kandungan air dalam jerami jagung termasuk tinggi, yaitu 49,16%. Sebagaimana umumnya, hijauan yang kandungan airnya tinggi menyebabkan hijauan ini tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Tingginya kandungan air jerami jagung beresiko terhadap cepatnya mengalami kerusakan.
Upaya
penanganan limbah jerami jagung agar termanfaatkan oleh ternak adalah dilakukannya proses pengawetan.
Proses pengawetan ada dua cara, yaitu
pengeringan dan ensilase. Pengawetan dengan ensilase lebih tepat dilakukan pada jerami jagung karena kandungan airnya tinggi serta sosok tanaman yang besar, sedangkan pengawetan dengan cara pengeringan mensyaratkan kandungan air bahan harus lebih kecil dan sosok tanaman yang ramping. Pada tanaman yang bersosok besar dan kandungan airnya tinggi bisa dilakukan proses pengeringan, namun membutuhkan pembiayaan besar. Ensilase ialah suatu proses fermentasi dengan maksud mengawetkan jerami dalam keadaan basah (Komar, 1984). Proses ensilase melibatkan aktivitas mikroba anaerob dalam menghasilkan metabolit asam yang akan berfungsi sebagai pengawet.
Tidak hanya mengawetkan tetapi nutrien dalam bahan juga akan
6
berubah. Proses perubahan pada fermentasi biasanya lebih ke arah yang positif. Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahanperubahan yang menguntungkan seperti meningkatkan daya simpan serta memperbaiki mutu pakan. Kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan mikroba, pada umumnya berasal dari karbohidrat mudah larut dari bahan yang ditambahkan. Bahan yang ditambahkan dikenal sebagai aditif. Kebutuhan mikroba tidak hanya karbohidrat mudah larut saja tetapi termasuk nitrogen dan sulfur untuk memenuhi kebutuhan sintesis protein tubuhnya. Sintesis protein mikroba akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam ensilase sehingga mikroba dapat tumbuh cepat dan stabil. Aditif sumber nitrogen yang biasa dipergunakan adalah nitrogen anorganik di antaranya urea. Urea megandung unsur nitrogen yang cukup tinggi yaitu 46% sehingga dapat mensuplai nutrien untuk pertumbuhan bakteri. Penambahan 0,5% urea pada fermentasi anaerob (ensilase) dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat, dan tidak memberikan pengaruh negatif terhadap proses fermentasinya (Cecci, dkk., 2001).
Penambahan urea dan ammonia dapat meningkatkan
kecernaan bahan kering, bahan organik dan komponen dinding sel dari bahan pakan yang difermentasi secara anaerob (Bolsen, dkk., 1992). Perbaikan mutu pakan yang di ensilase dengan penambahan urea terjadi bilamana urea terurai menjadi amonia dalam silase. Amonia yang terbentuk dapat terfiksasi ke dalam jaringan jerami jagung yang akan meningkatkan kandungan protein kasar. Amonia terfiksasi tersebut berikatan dengan gugus asetil dari jerami jagung membentuk garam amonium asetat.
Garam amonium ini akan tetap
bertahan di jaringan tanaman meskipun jerami jagung tersebut dipanaskan sekalipun. Garam amonium mudah dicerna oleh mikroba rumen. Penambahan
7
amonia pada ensilase dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel yang berperan untuk merenggangkan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga dapat meningkatkan daya cerna bahan organik. Sulfur merupakan salah satu komponen penyusun protein. Pada sintesa protein dibutuhkan sulfur untuk pembentukkan asam amino yang mengandung gugus sulfur seperti sistin, sistein dan methionin. Sulfur akan menjadi faktor pembatas substrat mikroba yang menggunakan sumber nitrogen, sehingga kegunaan sulfur dalam substrat sangatlah penting (Tilman, dkk., 1998). Fungsi utama sulfur ialah untuk menyokong pembentukan asam amino yang mengandung sulfur seperti sistin dan methionin untuk sintesa protein mikroba. Jumlah sulfur yang dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh laju metabolisme protein dan berbanding lurus dengan kebutuhan nitrogennya (Arora, 1995). Sumber sulfur yang dapat dipergunakan sebagai suplemen, di antaranya adalah garam sulfat seperti ammonium sulfat, natrium sulfat dan kalsium sulfat (Preston dan Leng, 1987). Penggunaan sulfur yang rendah dalam proses ensilase akan membuat kandungan nitrogennya rendah. Kandungan nitrogen dan sulfur penyusun protein yaitu, nitrogen berkisar antara 15,5 – 18,0%, dan sulfur berkisar antara 0,5 – 2,0% (Anggorodi,1994). Berdasarkan rata-rata dari kandungan tersebut, maka imbangan antara nitrogen dengan sulfur dapat menjadi dasar perhitungan terhadap proporsi penggunaan nitrogen dengan sulfur untuk pembuatan silase adalah 13,4:1. Ditambahkan oleh Bird (1974) Imbangan nitrogen dan sulfur yang sesuai untuk sintesis protein mikrobial dalam rumen adalah 13:5 sampai 15:1 untuk sapi. Rasio nitrogen dengan sulfur dalam protein mikroba berkisar antara 11:1 sampai 22:1, dengan perbandingan rata-rata 14:1 (Walker dan Nader, 1968;
8
Bird,1973). Penggunaan senyawa nitrogen anorganik dalam bentuk urea sampai 2% dan sulfur 0,08% tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan kandungan serat kasar dalam batang pisang produk fermentasi anaerob sehingga penambahan urea masih dapat ditingkatkan (Dhalika dkk., 2012). Penambahan urea dalam proses ensilase daun kelapa sawit lebih dari 6% atau nitrogen sebanyak 2,8% dapat menurunkan konsumsi dan kecernaan bahan kering (Ishida dan Hasan 1992). Silase jerami jagung yang diberikan kepada ternak ruminansia akan difermentasi oleh mikroba rumen menghasilkan metabolit di antaranya adalah amonia. Amonia atau NH3 merupakan hasil degradasi protein dan NPN dalam bahan pakan. Amonia akan dikonversi menjadi protein mikrobial. Oleh karena itu sekitar 82% dari mikroba rumen memanfaatkan amonia untuk pembentukan asam amino tubuhnya (Arora, 1995). Mikroba rumen membutuhkan NH3 antara 3,5-14 mM (Sutardi, 1992). Pemberian urea dan sulfur pada ensilase jerami jagung akan menyediakan sejumlah protein dan NPN yang akan diubah menjadi amonia di rumen. Semakin tinggi urea yang ditambahkan pada ensilase maka semakin tinggi NH3 yang akan terbentuk di rumen. Pada pemberian urea 2% cenderung tidak merubah nilai NH3 di rumen. Karena urea akan dirubah menjadi protein mikrobial ensilase, sehingga akan lebih lambat berubah menjadi NH3 di rumen. Pemberian urea di atas 2,5% akan menyebabkan residu urea yang akan dibuang melalui urin (Komar, 1984). Pada ternak ruminansia, VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Semakin mudah pakan difermentasi oleh mikroba rumen, akan semakin tinggi konsentrasi VFA yang dihasilkan.
9
Konsentrasi asam lemak terbang yang baik untuk pertumbuhan optimum mikroba rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1977). Evaluasi jerami jagung hasil fermentasi anaerob yang disuplementasi nitrogen dan sulfur diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan.
Amonia dapat menyebabkan mengembangnya jaringan dan
meningkatkan fleksibilitas dinding sel sehingga memudahkan enzim selulase melakukan penetrasi. Selulosa adalah sumber VFA sehingga dapat mensuplai kebutuhan untuk perkembangan mikroba rumen. Dengan terjadinya peningkatan aktivitas mikroba rumen akan diikuti dengan meningkatnya konsentrasi asam lemak terbang (VFA) dan NH3 di dalam rumen. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil hipotesis bahwa suplementasi 2,5% nitrogen dan 0,186% sulfur dapat menghasilkan konsentrasi VFA total dan NH3 tertinggi di rumen sapi potong (in Vitro). 1.6
Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada 3 April 2015 sampai 30 Mei 2015 di
Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.