PENDAHULUAN Polisi Republik Indonesia memiliki pedoman hidup yang disebut dengan Tri Brata. Tri brata tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002, pasal 13, tentang tugas pokok Polri, yaitu: (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (2) Menegakkan hukum, (3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pedoman dasar yang dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa Polri bertugas meningkatkan kualitas hidup masyarakat.Pelayanan yang baik kepada masyarakat akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat (Kunarto, 1997). Idealisme pelayanan Polri yang telah terinstitusi tersebut tidak sesuai dengan operasionalisasi lapangan.Survey yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 tentang pelayanan publik se-Indonesia dan semua institusi pemerintahan, menunjukkan bahwa Polri merupakan lembaga negara yang dipersepsi buruk dalam hal pelayanan publik oleh masyarakat (Liputan 6, 2009). Substansi keluhan masyarakat terhadap kepolisian adalah penundaan berlarut (33%), penyalahgunaan wewenang (16,90%), penyimpangan prosedur (15,17 %), tidak memberi pelayanan (10,52%), dan permintaan uang serta jasa (7,51%) (Ombudsman, 2013). Pelayanan nyata yang mendapat keluhan terbesar adalah administrasi pembuatan SIM, STNK, BPKP dan TNKB serta berlarut larutnya proses penyelidikan dan penyidikan akan sebuah perkara (Kompas, 2013). Hasil penelitian akademis menunjang berbagai temuan pelayanan kepolisian yang kurang baik. Ridwan (2010) dalam tesisnya menemukan tentang rendahnya skor
2
penilaian masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh Polri. Uniknya, penilaian anggota Polri sendiri mengenai pelayanan mereka menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada penilaian masyarakat. Hal ini mengindikasikan akan kurang pekanya anggota kepolisian akan pelayanan yang mereka berikan. Pengukuran penilaian pelayanan ini menggunakan
skala
SERVQUAL
dari
Parasuraman,
Zeithammy
dan
Berry.Ditambahkan survey yang dilakukan oleh Handayani (2011) dalam tesisnya menyebutkan bahwa masyarakat cenderung menganggap polisi masih kurang serius dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.Responden mengaku bahwa laporan perkara yang diadukantidak ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Dari realitas yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa polri sebagai institusi belum mampu untuk menunjukkan kinerja optimalnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana tercantum dalam undang-undang.Polri telah melakukan banyak perubahan untuk meningkatkan kinerja yang terlanjur mendapat stigma negatif dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat sebagai stake holder(pemangku kepentingan) Polri.Sulitnya meningkatkan kinerja Polri seperti yang diharapkan oleh berbagai pihak tentunya menjadi sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji.
Pemahaman terhadap permasalahan ini akan semakin kaya apabila
dilakukan kajian dari berbagai macam sudut pandang. Salah satunya adalah dari sudut pandang psikologis dari anggota polrinya itu sendiri. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kinerja yang tidak optimal.Sumaryono (2000) menyatakan komitmen karyawan terhadap organisasinya merupakan dasar dari sebuah proses terciptanya kinerja optimal. Organisasi saat ini tidak lagi hanya mencari
3
anggota organisasi yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, namun mereka juga mencari karyawan yang mampu menginvestasikan diri mereka sendiri untuk terlibat secara penuh dalam pekerjaan, proaktif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap standar kualitas kinerja (Bakker& Demerouti, 2007).Boezeman dan Ellemers (2008) yang menyatakan bahwa komitmen afektif berkorelasi dengan berbagai perilaku organisasi dan kinerja karyawan seperti kehadiran, keterlambatan, lamban dalam bekerja, keluar masuknya pekerja, serta produktivitas kerja yang buruk.Ansari (2011) menyatakan bahwa tidak ada organisasi yang dapat menghasilkan performansi maksimal kecuali karyawannya memiliki komitmen terhadap tujuan organisasi.Hal tersebut juga terjadi di institusi Polri sebagai suatu organisasi yang bertujuan dalam pelayanan publik dimana komitmen anggota polri yang berhadapan langsung dalam melayani masyarakat memegang kunci penting dalam peningkatan kinerja organisasi. Penelitian awal dengan menyebarkan skala komitmen afektif dari three factor organizational commitment scale yang dicetuskan oleh Meyer & Allen, (1990) yang diadaptasi oleh Novitriami (2014) membuktikan bahwa anggota Polri memiliki komitmen afektif rendah sebesar 18,2%, yang memiliki komitmen afektif sedang sebanyak 69,3%, dan yang memiliki komitmen afektif tinggi sebesar 12,4%. Peneliti menggunakan sampel anggota Polri berjumlah 136 orang yang berdinas di Polsek jajaran Polda lampung yang dipilih secara acak.Dari penelitian awal tersebut tampak bahwa anggota Polri hanya sedikit yang memiliki komitmen afektif tinggi. Penelitian empiris lain mengenai komitmen organisasi membuktikan juga bahwa komitmen afektif berkorelasi dengan kinerja. Chai-Amonphaisal dan Ussahawanitchakit
4
(2009) membuktikan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja karyawan pada organisasi yang memiliki ISO di Thailand.Hal yang sama juga dibuktikan dari beberapa penelitian mengenai komitmen organisasi yaitu Camp (2005), Chunghtai dan Zafar (2006), Cole dan Bruch (2006), ditemukan bahwa rendahnya komitmen afektif merupakan prediktor terkuat dari kinerja karyawan dan juga prediktor terkuat dari keinginan untuk meninggalkan organisasi. Komitmen afektif berkembang dengan melibatkan sisi afeksi yaitu kedekatan perasaan yang dimiliki oleh individu terhadap organisasi (Price & Mueller, 1981). Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi dan memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kinerja dibandingkan tipe komitmen yang lain. Mayer dan Allen (1990) membagi komitmen organisasi menjagi tiga yaitu komitmen
afektif
(affective
commitment),
komitmen
kontinuen
(continuance
commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).Komitmen afektif (affective commitment) adalah pendekatan secara emosional yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi, memiliki identifikasi sebagai bagian dari organisasi, dan memiliki keterlibatan dengan organisasi karena adanya nilai-nilai dalam organisasi guna memajukan
organisasi.Komitmen
kontinuen
(continuance
commitment)
adalah
sejauhmana seorang pekerja memiliki intensi untuk tetap bekerja pada organisasinya berdasarkan pertimbangan kerugian yang dideritanya bila harus meninggalkan organisasi.Komitmen normatif (normative commitment) adalah sejauhmana seorang pekerja merasa memiliki kewajiban untuk tetap dan terus bekerja di dalam
5
organisasi.Komitmen normatif memiliki kaitan dengan pengalaman sosial yang dimiliki individu sesuai dengan normanya. Berangkat dari penelitian sebelumnya, penelitian ini akanmenggunakan komitmen afektif sebagai variabel dependennya. Pengidentifikasian variabel baru yang berguna sebagai sumber afeksi komitmen organisasi layak dilakukan.Selama ini Kebanggaan organisasi dianggap kurang mendapat perhatian dari para ahli ilmu keperilakuan organisasi (Kraemer & Gouthier, 2013).Pendapat yang beredar dalam bidang industri dan organisasi mengenai kebanggaan organisasi cenderung berbasis intuitif tanpa sebuah pembuktian empirik (Arnett, Laverie, & Mclane, 2002).Kebanggaan organisasi merupakan pendorong utama perilaku kerja positif dan kunci diferensiasi dengan kompetitor lain (Katzenbach, 2003).Kebanggaandidefinisikan sebagai karakteristik yang berlaku positif dan berhubungan dengan emosi, terjadi karena sebuah pengalaman seperti kesuksesan yang dicapai seseorang atau organisasi (Tracy & Robin, 2007). Kebanggaan terhadap diri dibangun dari sebuah proses evaluasi akan kapasitas yang mampu mencapai prestasi. Evaluasi kapasitas meliputi kepribadian, kemampuan, pengetahuan dan usaha.Evaluasi tersebut disebut dengan atribusi internal (Weiner, 1985).Akan tetapi guna menimbulkan kebanggaan, seorang individu tidak hanya mengandalkan atribusi internal. Pekerja dapat merasakan pengalaman bangga berdasarkan performansi dari subjek
atau objek
terdekat (Tracy, Shariff, &Cheng, 2010).Pekerja dapat merasakan kebanggaan dari keberhasilan yang dicapai oleh organisasi tempatnya bernaung (dapat berupa teman kerja, kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan).Pada titik itu, pekerja memiliki kebutuhan melakukan afiliasi yang kuat terhadap organisasi (Gold,
6
1982).Menjadi bangga terhadap organisasi atas prestasi yang diraihnya disebut dengan emotional organizational pride (EOP). Tipe kebanggaan organisasi yang kedua adalah Attitudinal Organizational Pride (AOP).Tipe kebanggaan ini lebih mengevaluasi organisasi secara lebih luas. Tidak hanya
pada
pencapaian
insidentil
saja,
akan
tetapi
semua
aspek
dalam
organisasi.Kebanggaan tipe ini lebih bersifat stabil dan tidak tergantung event-event kesuksesan organisasi (Ajzen, 2001).Pada attitudinalatau sikap ini terdapat ranah kognisi yang berisi relevansi belief antara pekerja dengan organisasi.Terdapat juga aspek afektif yang dibangun dari emosional yang terus menerus.Pada titik ini, aspek emosi pada EOP berfungsi mempengaruhi sikap, sedangkan aspek emosi pada AOP berfungsi sebagai bagian dari sikap itu sendiri (Lines, 2005). Kemudian dapat disimpulkan bahwa, EOP yang berulang sepanjang waktu, akan menghasilkan sebuah AOP (Gouthier & Rhein, 2011). Perbedaan dalam EOP dan AOP tidak bersifat kontradiktif atau berdiri sendiri.Kedua konstrak tersebut bersifat sangat berhubungan. Guna menganut asas kesederhanaan, selanjutnyaakan disebut sebagi organizational prideatau kebanggaan organisasi (Kraemer & Gouthier, 2013). Kebanggaan organisasi didefinisikan sebagai evaluasi positif performansi organisasi yang melebihi harapan dan standar sosial, bermuatan positif (kebahagiaan, kebermaknaan dan mendorong meningkatnya self esteem) dan memiliki kontribusi nyata terhadap perkembangan lingkungan (Kraemer & Gouthier, 2013). Pencapaianpencapaian organisasi terhadap tujuan yang diharapkan akan membuat sebuah evaluasi positif anggotanya.Evaluasi tersebut muncul sebagai sebuah kebanggaan.Kebanggaan
7
yang dimiliki seorang individu akan membuat individu tersebut melakukan sebuah proses identifikasi dan kelekatan terhadap organisasi. Individu juga mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai yang ada di organisasi. Pada titik ini kebanggaan organisasi akan meningkatkan komitmen afektif. Boezemen dan Ellemers (2008)dalam penelitiannya menenemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebanggaan organisasi dengan komitmen afektif.Pada titik ini sangat layak apabila kebanggaan organisasi dijadikan sebuah variabel independen dalam penelitian.Hal ini penting untuk mencari model peningkatan komitmen afektif dalam lembaga di kepolisian, sehingga diharapkan dengan ditemukannya model peningkatan komitmen dapat meningkatkan kinerja polisi dalam melayani masyarakat. Hubungan antara kebanggaan organisasi dengan komitmen afektif tidak hanya bersifat langsung.Komprehensifitas pemahaman hubungan dapat dimediasikan dengan keterikatan kerja.Pada titik ini dapat dijelaskan bahwa ketika seseorang merasa bangga terhadap
organisasinya,
maka
terdapat
sebuah
dorongan/motivasi
untuk
menyumbangkan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama bekerja, perasaan bermakna, perasaan antusias, perasaan terinspirasi, keadaan berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya. Karyawan yang engaged tidak hanya mampu menjadi giat, namun juga melekat/berkomitmen secara emosional dengan organisasi, dan secara antusias mencurahkan energi untuk benar-benar terlibat dalam bekerja, melebihi perjanjian kontrak kerja demi kesuksesan organisasi mereka (Leiter &
8
Bakker, 2010; Markos& Sridevi, 2010; Mone, Eisinger, Guggenheim, Price & Stine, 2011). Pada dasarnya, masih terdapat kesamaan dalam definisi yang beragam terhadap konsep engagement di antara akademisi dan praktisi (Mills, Culberstson, & Fullagar, 2012).Namun penelitian ini lebih fokus terhadap engagement yang dikembangkan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002), yang lebih dikenal sebagai keterikatan kerja. Keterikatan kerja memiliki dimensi semangat (vigor), pengabdian (dedication) dan kekusyukan (absorption) (Schaufeli dkk., 2002). Semangat ditandai dengan level energi yang tinggi dan ketahanan mental selama bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya pada pekerjaan. Pengabdian ditandai dengan perasaan bermakna, perasaan antusias, perasaan terinspirasi, perasaan bangga dan perasaan tertantang. Kekusyukan ditandai dengan keadaan berkonsentrasi penuh dan tenggelam dalam pekerjaan, dimana individu merasa waktu berjalan cepat dan individu sulit dipisahkan dari pekerjaannya. Work engagement (keterikatan kerja) sebagai bagian dari gerakan psikologi positif (Shimazu, Schaufeli, Kosugi, Suzuki, Nashiwa, Kato, Sakamoto, Irimajiri, Amano, Hirohata & Goto, 2008), juga diyakini berhubungan dengan hasil kinerja organisasiseperti employee retention, produktivitas, profitabilitas, kesetiaan pelanggan dan keselamatan kerja(Markos & Sridevi, 2010), hal ini juga berkaitan erat dengan kinerja individu seperti kepuasan kerja, keterlibatan kerja (Ram & Prabhakar, 2011) dan juga masalah kesehatan individu (Schaufeli & Bakker, 2004).Tyler dan Blader (2003) yang menyatakan bahwa engagement secara positif dipengaruhi oleh kebanggaan
9
organisasi. Keterikatan kerja juga secara positif mempengaruhi terjadinya komitmen afektif dalam penelitian yang dilakukan Hakanen, Schaufeli, dan Ahola (2008). Dari telaah literatur yang dilakukan, terdapat suatu dinamika bahwa ketika seorang anggota organisasi memiliki perasaaan positif terhadap organisasinya yang disebabkan kesuksesan dari organisasi tempat ia bernaungmaka akan timbul perasaan bermakna, terinspirasi, bangga dan merasa tertantang untuk mengerahkan level energi yang lebih tinggi dalam bekerja serta merasa sulit dipisahkan dengan pekerjaannya. Pada titik ini anggota organisasi tersebut engaged atau terikat dengan pekerjaanya tersebut, dan ketika ia engaged atau terikat maka anggota organisasi tersebut akan memiliki komitmen lebih tinggi untuk tetap menjadi anggota organisasi serta ikut berpartisipasi aktif untuk kepentingan dan tujuan dari organisasi.Dari uraian diatas maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian bahwa terdapat hubungan antara kebanggaanterhadap organisasi dengan komitmen afektif yang dimediasi keterikatan kerja.Kerangka penelitian yang dipergunakan adalah sebagai berikut: Keterikatan Kerja Komitmen Afektif
Kebanggan Organisasi
Gambar 1.Kerangka Penelitian Penelitian ini memiliki implikasi secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan sumbangan pengetahuan tentang pengaruh kebanggan
10
organisasi terhadap komitmen afektif melalui keterikatan kerja sebagai mediator. Secara praktis penelitian ini dapat membantu organisasi untuk menentukan intervensi yang sesuai terhadap anggotanya yang berkaitan dengan kebanggan organisasi dan keterikatan kerja dalam mempengaruhi komitmen afektif.