RANCANGAN TERAPI KELUARGA MODEL SIRKUMPLEKS UNTUK MENCEGAH TERJADINYA RELAPS PADA SUBJEK MANTAN PECANDU HEROIN
Warda Lisa Program Pasca Sarjana Profesi Psikologi Klinis Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No.100 Depok
[email protected]
ABSTRAK Penyalahgunaan narkoba terus meningkat, semakin banyak jumlah pemakai akan tetapi, tidak diikuti dengan menurunnya tingkat k.ekambuhan mantan pecandu (relaps). Tidak jarang pengguna relaps lebih dari satu kali, terutama pada pecandu jenis Heroin (putau). Tingkat kekambuhan sangat tinggi, sehingga sangat sulit untuk mengurangi efek ketergantungannya. Selain medis dan pribadi, pengaruh yang sangat berperan untuk mencegah terjadinya relaps ialah peran keluarga, hal tersebut berhubungan dengan pola keluarga. MenurutOlson (1988), teori pola keluarga sirkumpleks yang ia kembangkan terdiri dari 3 dimensi, yaitu : Cohesion, Adaptability dan Comunication. Di dalam dimensi-dimensi tersebut terdapat lagi beberapa level tingkatan, yang terdapat ekstrim tinggi, rendah dan seimbang, pola tingkatan yang seimbang, sangat diharapkan ada pda setiap keluarga. Untuk mengubah pola keluarga, Olson mengembangkan terapi keluarga model sirkumpleks, tujuan-tujuan terapi dalam terapi ini, disesuaikan dengan asesmen yang dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, dengan subjek adalah satu keluarga yang anggota keluarganya terdapat mantan pecandu jenis heroin. Asesmen dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data : wawancara, observasi dan Circumplex Asessment Package yang terdiri dari : FACES III (Family Adaptability Cohesive Evaluatuion Scale dan CRS (Circumplex Ratting Scale)). Berdasarkan hasil asesmen, didapat tipe keluarga A : Enmeshed – chaotic, dengan beberapa masalah keterampilan berkomunikasi dalam keluarga. Setelah didapatkan hasil asesmen, dibuat suatu rancangan terapi keluarga model sirkumpleks yang disesuaikan dengan permasalahan keluarga subjek. Rancangan terapi dibagi kedalam 10 sesi, yang waktu pertemuan disesuaikan dengan kesepakatan dengan keluarga. Kata kunci : Circumplex Model, Cohesion, Adaptalility, Communication, dan Relaps.
1
PENDAHULUAN Penyalahgunaan narkoba di Indonesia meningkat setiap tahunnya, berdasarkan data BNN pada Desember, 2006, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba & Psikotropika pada tahun 2005 sebanyak 16. 252 orang, dan pada tahun 2006 terdapat kenaikan 6,8 % menjadi 17.355 orang (BNN, 2007). Ini menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin mengkhawatirkan, karena semakin banyak jumlah pemakai setiap tahunnya. Akan tetapi meningkatnya jumlah pemakai baru, tidak diikuti dengan menurunnya tingkat kekambuhan mantan pecandu (relaps), sehingga membuat prosentase penanganan kasus narkoba selalu menjadi sorotan utama. Tingginya potensi kambuh pasien narkoba mencapai 60-70 %. Menurut data RSKO Jakarta, belum terhitung pasien kambuh namun tidak mampu kembali karena tidak mempunyai biaya berobat (Herusansono, dalam Kompas 2006). Jenis dan macam narkoba berpengaruh terhadap faktor pemicu kekambuhan pengguna. Menurut Sidartha & Westa (2004), heroin merupakan jenis opiat yang mempunyai sifat analgesik paling kuat dan ketergantungan yang sangat kuat. Akibatnya jika ketergantungan tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kematian akibat over dosis. Namun ironisnya, sangat sulit untuk menghentikan kecanduan terhadap heroin. Oleh karena itu, banyak mantan pengguna heroin akan kembali kambuh (relaps) dan mencandu heroin dengan dosis yang lebih besar. Menurut
Samsuridjal
(dalam
Kompas,2006),
upaya
untuk
mengatasi
kecanduannya tidak hanya dengan farmakologi, tetapi perlu didukung oleh psikoterapi dan lingkungan. Terutama peran keluarga sangat dibutuhkan, agar mantan pecandu tidak kembali kambuh. Sesuai dengan fungsinya, fungsi keluarga merupakan faktor yang sangat penting sebagai sarana anak untuk berkomunikasi serta mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kembalinya menggunakan narkoba (Duvall & Miller, 1985). Meskipun demikian tidak setiap keluarga mampu menciptakan interaksi yang harmonis dengan sesama anggotanya, misalnya dengan seringnya timbul pertengkaran, konflik dalam keluarga (Thornburg dalam Dariyo, 2006). Untuk menjelaskan kehidupan berkeluarga, menggunakan salah satu model teori yang komprehensif dalam menjelaskan dinamika perkawinan dan keluarga, diformulasikan oleh David H Olson, Candyce Russel dan Douglas Sprenkle (1988),
2
model ini dikenal dengan nama model Sirkumpleks. Konsep dasar dari model sirkumpleks merupakan integrasi dari tiga macam proses keluarga yang berhubungan satu sama lain, yang kemudian disebut sebagai tiga dimensi pusat dari perilaku keluarga. ketiga dimensi pusat tersebut adalah : dimensi kedekatan (Cohesion), dimensi adaptabilitas (Adaptability), dan komunikasi (Communication). Keluarga yang 'sehat' dalam arti dapat berfungsi secara memadai, ialah keluarga yang balanced, dimana kedekatan (cohesion), maupun adaptabilitasnya (adaptability) berada pada level seimbang (Olson, 1985). Keluarga yang memiliki keseimbangan dalam dimensi kedekatannya adalah keluarga yang masing-masing anggotanya memiliki rasa keterikatan (connected) terhadap keluarga maupun kemandirian (independent) dari keluarganya. Sedangkan keluarga dengan adaptabilitas yang seimbang, mampu mempertahankan stabilitas walaupun membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang ada. Keluarga yang seimbang dapat pula mengalami keadaan yang ekstrim saat mengalami stress akibat tuntutan-tuntutan yang ada, sejalan dengan perkembangan setiap anggota keluarganya. Namun keluarga yang seimbang lebih dapat mengatasi tuntutan dan stress yang muncul dibandingkan keluarga yang berada pada posisi ekstrim (Olson, dalam Walsh 2003). Jika pola keluarga seperti diatas dapat terbentuk pada mantan pecandu, maka diharapkan dapat membantu mantan pengguna untuk mencegah terjadinya relaps dan ia akan merasa nyaman dalam lingkungan keluarganya. Oleh sebab itu, peneliti merasakan perlu dibuat suatu rancangan intervensi untuk mengubah pola keluarga pada mantan pecandu sehingga menuju kepada pola keluarga yang balanced dengan menggunakan terapi keluarga. Teknik terapi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan pendekatan Sirkumpleks. Terapi ini berfokus kepada pola-pola dalam keluarga. Asumsi dasar terapi keluarga model sirkumpleks ini ialah, pada saat ini sistem keluarga yang dinamis lebih membantu dalam memperbaiki gejala-gejala perilaku yang negatif. Sehingga, perlunya melakukan perubahan pada pola interaksi keluarga, agar gejala-gejala atau hadirnya masalah lain bisa diminimalkana (Olson, 1999). Terapi keluarga model sirkumpleks yang dinamis berasumsi bahwa keluarga dapat berubah. Perubahan itu bertujuan untuk mempertahankan dan melaksanakan fungsi keluarga (Olson dalam Walsh, 2003). Untuk itu Olson, Portner dan Leave (Olson, 1985) menyarankan keluarga agar dapat memodifikasi kedekatan dan adaptabilitas sebagai upaya mengatasi stres tersebut,
3
maksudnya keluarga ekstrim dapat mengubah dirinya menjadi seimbang, ataupun keluarga dengan adaptabilitasnya menjadi seimbang sebagai upaya mengoptimalkan fungsi keluarga. Oleh karena itu, sebagai satu upaya untuk mempertahankan keseimbangan keluarga atau justru mengubah sistem keluarga agar menjadi seimbang, dapat dilakukan intervensi terhadap pola keluarga. Selain itu perubahan dalam komunikasi keluarga juga merupakan faktor yang penting, Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk mengubah pola keluarga pada mantan pecandu, dirasa lebih tepat dalam penelitian ini menggunakan terapi keluarga dengan pendekatan Sirkumpleks,
yang berfokus untuk memperbaiki pola keluarga pada
keluarga mantan pecandu heroin agar menjadi pola keluarga yang balanced.
TINJAUAN PUSTAKA Pola Keluarga Model Sirkumpleks Ada tiga dimensi pusat dalam model sirkumpleks, yaitu (a) dimensi kedekatan (cohesion), (b) dimensi adaptabilitas (adaptability), (c) dimensi komunikasi (communication). Menurut Olson (dalam Sari, 1998) Dimensi pertama yaitu kedekatan keluarga, menunjukkan derajat keterpisahan atau keterhubungan individu terhadap keluarganya. Dimensi kedua yaitu adaptabilitas keluarga yang disebut juga fleksibilitas, menggambarkan fleksibilitas sistem keluarga untuk berubah. Sedangkan dimensi ketiga yaitu komunikasi keluarga merupakan sarana pergerakan dari kedua dimensi yang diatas.
Tipe Pola Keluarga Model Sirkumpleks Tipe keluarga oleh Olson hanya terdiri dari dua dimensi yaitu kedekatan dan adaptabilitas, serta komunikasi yang berdiri secara bebas, yang merupakan sarana penting untuk menuju perubahan dalam kedua dimensi tersebut (Olson, dalam Walsh, 2003). Menurut Olson (1999), dari penggabungan masing-masing empat tingkatan dimensi kedekatan dan dimensi adaptabilitas, dapat disusun suatu tipologi keluarga dari model Sirkumpleks, yang terdiri dari 16 tipe khusus (gambar.1) : Keenam belas tipe keluarga khusus tersebut : 1) chaotically-disengaged; 2) chaotically-separated; 3) chaotically-connected; 4) chaotically-enmeshed; 5) flexiblydisangaged,
6)
flexibly-separated;
7)flexibly-connecteed;
4
8)flexibly-enmeshed;
9)structurally-disangaged; 10)structurally-separated; 11)structrurally-connected; 12) structurally-enmeshed;
13)rigidly-disangaged;
14)rigidly-separated;
15)rigidly-
conected; 16)rigidly-enmeshed.
Gambar.1 Model Circumplex (dalam Olson, 1999)
Dari keenam belas tipe khusus tersebut dibuat suatu penggolongan yang lebih umum, dan disebut tipe umum. Ada tiga penggolongan tipe umum (Olson, 1999), yaitu: a) Tipe Ekstrim (extreme), yaitu keluarga-keluarga yang baik dimensi kedekatan maupun dimensi adaptabilitas tergolong pada tingkat ekstrim. Ada empat tipe khusus yang tergolong dalam tipe ekstrim ini, yaitu : rigidly-disangaged(13), chaotically-disangaged (1), rigidly-enmeshed (16), dan chaotically-enmeshed(4). b) Tipe rentang tengah (Mid Range) adalah keluarga yang salah satu dimensinya tergolong seimbang dan dimensi lainnya tergolong ekstrim. Ada delapan tipe khusus yang tergolong dalam tipe rentang tengah ini, yaitu tipe : rigidly-separated(14), chaotically-separated(2),
rigidly-connected(15),
chaotically-connected(3),
structurally-disangagaed(9), flexibily-disangaged(5), structurally-enmeshed (12), dan flexibly-enmeshed (8). c) Tipe Seimbang (Balanced), yaitu keluarga yang kedua dimensinya (kedekatan dan adaptabilitas) tergolong dalam tipe seimbang, yaitu : tipe structurallyseparated(10), structurally-connected(11), flexibly-connected(7), dan flexiblyseparated(6).
5
Terapi Keluarga Model Sirkumpleks Model sirkumpleks yang dinamis berasumsi bahwa keluarga dapat berubah. Perubahan itu bertujuan untuk mempertahankan dan melaksanakan fungsi keluarga (Olson dalam Walsh, 2003). Untuk itu Olson, Portner dan Leave (Olson, 1985) menyarankan keluarga agar dapat memodifikasi kedekatan dan adaptabilitas sebagai upaya mengatasi stress tersebut, maksudnya, keluarga ekstrim dapat mengubah dirinya menjadi seimbang, ataupun keluarga dengan adaptabilitasnya menjadi seimbang sebagai upaya mengoptimalkan fungsi keluarga.
Tujuan Terapi Keluarga Model Sirkumpleks Tujuan utama terapi keluarga model sirkumpleks (menurut Olson & Goval, dalam Walsh 2003) ialah untuk mereduksi hadirnya masalah dan gejala-gejalanya pada setiap anggota keluarga, dalam mencapai keberhasilan pada fokus intervensi dalam merubah ketidakberfungsinya pola pada sistem keluarga dan pasangan. Asumsi dasar ialah saat ini sistem keluarga yang dinamis dapat membantu untuk memperbaiki gejala-gejala perilaku. Dengan demikian pola-pola interaksi membutuhkan perubahan sebelum gejala-gejala ataupun hadirnya masalah dapat dikurangi.
Perencanaan Terapi Model Sirkumpleks Model sirkumpleks merupakan suatu sumber treatmen yang bernilai, yang merupakan assesmen yang mendasari perencanaan treatmen pada permasalahan keluarga yang disfungsional. Tugas utama terapis ialah, untuk membuat suatu rancangan terapi keluarga yang hasilnya di dapat dari proses asesmen, dalam rangka menentukan elemen-elemen yang akan di intervensi agar menjadi lebih tepat dan efektif, serta menghadirkan masalah-masalah dalam dimensi keluarga yang disfungsional (Gurman & Kniskern, dalam Olson, 1988). Model Sirkumpleks dan skala pendamping yang berupa CAP (Circumplex Asesment Package) yang terdiri dari : Family Adaptability and Cohesive Evaluation Scale (FACES III) dan Clinical Rating Scale (CRS).
Keduanya merupakan alat
asesmen keluarga yang mempunyai dasar empiris, yang dapat digunakan untuk merancang treatmen dan menjadi alat evaluasi terhadap hasil treatmen (Olson, dalam Olson, 1988).
6
Menurut Olson & Govall (dalam Walsh, 2003), Model Sirkumpleks merupakan sumber yang paling berharga dalam asesmen, perencanaan treatmen didasarkan oleh ketidakberfungsian keluarga. Tugas utama untuk menghasilkan penelitian menentukan elemen-elemen untuk diintervensi yang paling tepat dan efektif dengan menghadirkan masalah utama dan fungsi keluarga.
Heroin Pengertian Heroin Heroin merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan dan lebih potensial atau mudah untuk larut dalam lemak dibandingkan morfin. Karena sifatnya tersebut, heroin dapat melewati saluran darah ke otak menjadi lebih cepat dan mempunyai onset cepat dibandingkan morfin. Heroin pertama kali diperkenalkan sebagai pengobatan adiksi morfin, akan tetapi pada kenyataannya heroin lebih menghasilkan ketergantungan dibandingkan morfin (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997). Sebagai ilustrasi penggunaan morfin 10 mg sama dengan kekuatan pengguaan heroin sebanyak 4 mg (Nawawi,dkk, 1996). Menurut Nawawi,dkk (1996), terdapat empat jenis Heroin (gambar 2) yang dikenal dalam komunitas pengguna narkoba : Heroin nomor 1, berbentuk bubuk atau gumpalan berwarna kuning tua sampai coklat. Heroin nomor 2, merupakan bubuk berwarna abu-abu sampai putih, masih berupa transisi dari morfin ke heroin murni. Heroin nomor 3, berupa butir-butir kecil (granula), kebanyakan agak berwarna abu-abu dan juga warna lain sesuai ciri khas pembuatnya.jenis ini harganya paling mahal. Heroin nomor 4, berbentuk kristal. Apabila disuntikkan dicampur dengan zat pelarut lain. orang yang kecanduan heroin mencampur dengan darahnya sendiri baru kemudian ia suntikan ke tubuh. Dampak Penyalahgunaan Heroin Heroin mempunyai efek ketergantungan bagi penggunanya, mereka akan mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis (Nathan; 1975 dalam Alzein, Sriyekti dan Utomo, 1999) Mereka yang menggunakan heroin umumnya selain gejala fisik, juga menunjukkan perubahan-perubahan psikologis, ataupun perilaku yang sifatnya tidak adaptif, misalnya : adanya efek eforia yang diikuti oleh sikap apatis, disforia, retardasi, psikomotor, serta hambatan dalam menilai realitas, fungi sosial dan
7
pekerjaan. Selain itu secara fisik, pupil mata biasanya menyempit dan melebar. Pecandu heroin juga mengalami gangguan dalam mengingat dan memusatkan perhatian, mengantuk, serta berbicara dengan tidak jelas dan cadel (American Psychiatric Association, 1994).
Relaps (Kambuh) Pada Mantan Pecandu Heroin Menurut Dr. Samsuridjal (dalam Kompas, 2006), Heroin menimbulkan ketagihan dan tidak mudah untuk mengatasinya. Jika pemakaian dihentikan tiba-tiba, timbul gejala putus zat (sakau). Studi tentang pola penyembuhan dan kekambuhan mengindikasikan bahwa tidak semua pasien kambuh setelah program penyembuhan. Diperkirakan sepertiga dapat tetap berhenti sejak pertama kali menjalani proses penyembuhan. Sepertiga lainnya mengalami kekambuhan kronis yang berakhir dengan kematian karena ketergantungan obat (National Institute on Drug Abuse, 1997). Berdasarkan hasil penelitian Alzein, Sriyekti dan Utomo (1999) di RSKO didapatkan bahwa untuk melepaskan diri dari ketergantungan Heroin sangatlah sulit, sehingga menyebabkan tingkat kegagagalan untuk lepas dari ketergantungan menjadi tinggi.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini pendekatan penelitian mengacu kepada pendekatan studi kasus. Studi kasus menurut Kazdin (1992) menyatakan bahwa studi kasus memberikan banyak manfaat dalam teori, penelitian maupun praktek yang bersifat klinis. Pertama, studi kasus telah memberikan sumber ide-ide dan hipotesis tentang perilaku dan perkembangan manusia. Kedua, studi kasus merupakan sumber untuk mengembangkan teknik terapi. Ketiga, studi kasus memungkinkan studi terhadap fenomena yang langka. Keempat, studi kasus berharga untuk memberikan pembanding yang berlawanan bagi pendapat yang dianggap telah diterima secara universal.
Misalnya. Dalam
perkembangan terapi perilaku studi kasus dipakai untuk perilaku simptomatis yang sangat menonjol yang berhasil diterapi. Yang kelima,, studi kasus mempunyai nilai persuasif dan motivasional. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Craig dan Metze (1986) yang menyatakan bahwa suatu studi kasus dapat memberikan sumbangan yang penting, dalam
8
melahirkan hipotesa baru, meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang langka atau menunjukkan perkecualian terhadap fenomena yang umum.
Karakteristik Subjek Karakteristik subjek penelitian yang menjadi sasaran dalam terapi keluarga, adalah : Keluarga yang anggota keluargannya terdapat, mantan pecandu narkoba jenis heroin. Mantan pecandu telah mengikuti perawatan atau rehabilitasi (after care) dan pernah relaps dari kecanduan heroin. Jumlah subjek ialah satu keluarga yang salah satu anggota keluarganya meruapakan mantan pecandu heroin.
Pengumpulan data Asesmen atau pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan wawancara, observasi, dan CAP (Circumplex Asesment Package) : FACES III (Familly Adaptibility Cohesion Evaluation Scale) dan CRS (Clinical Ratting Scale). Faces III telah diadaptasi oleh, oleh Anya T.Purnamasari (1990). Dari pengujian tersebut, didapatkan kofisien Alpha (cronbach alpha) masing-masing dimensi ialah : 0,8562 (dimensi kedekatan) dan 0,7648 (dimensi adaptabilitas).
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 : Model Circumpleks keluarga A
KETERANGAN Chaotic-enmeshed
Chaotic – Connected
Ibu
Subjek
Ayah
Adik 1
Flexibly –Enmeshed Kakak
Adik 2
Tabel 1 : Keterangan Tipe keluarga A
Gambaran keluarga A Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan pada keluarga A terhadap tiga dimensi pola keluarga : Cohesion, Adaptability dan Communication, didapatkan bahwa tipe keluarga A berada pada ekstrim tinggi, dimana pola kedekatan keluarga A bertipe Enmeshed. Keluarga tipe ini sangat dekat satu sama lain, kesetiaan terhadap keluarga dirasakan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini ditunjukkan ketika A masih menjadi pecandu narkoba, keluarga A sangat melindunginya. Meskipun anak terlibat
10
dalam kecanduan heroin, orangtua tetap menerima kehadiran A. Seluruh keluarga memberikan dukungan kepada A, namun terkadang pemberian dukungan yang dilakukan keluarga tidak tepat, seperti orangtua membiarkan anak menggunakan narkoba, asalkan berada dalam rumah A. Tidak jarang, kakak dan ibu A, memberikan uang untuk membeli putau dengan maksud agar anak tidak sakau. Dimensi kedua dalam pola keluarga ialah adaptabilitas, tipe keluarga A tergolong pada tipe Chaotic. Menurut Olson (1989), tingkatan ekstrim-tinggi (chaotic), pelaksanaan kepemimpinan tidak begitu jelas, pembagian peran dalam keluarga sangat kacau. Penerapan disiplin tidak konsisten, bersifat permisif dan aturan-aturan mudah sekali berubah Dimensi ketiga dalam keluarga ialah, komunikasi. Menurut Olson (1989), komunikasi keluarga mengandung aspek-aspek keterampilan mendengar (listening skills), keterampilan bebicara (speaking skills), keterbukaan diri (self disclousure), kejelasan (clarity), berkesinambungan (contunuity-tracking), respek (respect), dan hormat (regard).
Berdasarkan hasil asesmen, tipe pola keluarga A
adalah Enmeshed-chaotic, dengan beberapa masalah komunikasi yang perlu ditingkatkan seperti: pemberikan atensi saat mendengarkan masalah, keterampilan dalam menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan diri sendiri ataupun anggota keluarga lain. Kejelasan dalam tekanan suara ataupun kesuaian dengan topik pembicaraan. Selain itu topik pembicaraan lebih terfokus sehingga topik pembicaraan lebih konsisten. Berdasarkan ketiga dimensi diatas dan melihat permasalahan-permasalahan keluarga yang ada dalam keluarga A, dirasa sangat perlu untuk merancang suatu terapi keluarga dengan sirkumpleks model. Sasaran perubahan pola keluarga pada dimensi kedekatan. pola keluarga enmeshed diturunkan menjadi connected dengan maksud mendorong toleransi dengan beberapa batasan-batasan dalam hubungan diluar keluarga, saling menghormati kebutuhan individu, dengan memperbaiki tingginya kedekatan hubungan dalam keluarga.
11
Tabel 2 : Gambaran keluarga A berdasarkan hasil asesmen No 1
2
Dimensi Pola keluarga A Kedekatan : enmeshed
Adapatabilitas : Chaotic
Permasalahan keluarga A
Tujuan Terapi
Loyalitas keluarga terlampau tinggi, sehingga batasan privacy anggota keluarga sangat terbatas. Hubungan sesama anggota terlalu dekat, sehingga menghambat kemandirian individu.
Enmeshed menjadi Connected, dengan tujuan :
Pelaksanaan kepemimpinan tidak begitu jelas, pembagian peran dalam keluarga sangat kacau. Penerapan disiplin tidak konsisten, bersifat permisif dan aturan-aturan mudah sekali berubah
(a)
Mendorong toleransi dengan beberapa batasan-batasan dalam hubungan diluar keluarga. (b) Saling menghormati kebutuhan individu, dengan memperbaiki tingginya kedekatan hubungan dalam keluarga. Chaotic menjadi Flexible, dengan tujuan : (a)
(b)
(c)
3
Komunikasi
Dalam memberikan atensi saat mendengarkan permasalahan orang lain masih dirasa kurang. Masalah komunikasi keluarga yan lain ialah, keterampilan dalam menyampaikan permasalahan mengenai diri sendiri ataupun masalah anggota keluarga lain, keluarga akan cenderung patuh dang tidak mampu mengekpresikan permasalahannya. Dalam berbicara kejelasan suara masih dirasakan kurang dapat didengar secara jelas. Selain itu topik pembicaraan sering berpidah-pindah atau tidak konsisten, dan bahasa tubuh yang kurang relevan dengan isi pembicaraan
12
2. (a)
(b)
Agar konsistennya kepemimpinan orangtua dan kontrol akan proses keluarga, dengan pembagian otoritas oleh orangtua dan merubah ketidakstabilan namun tidak erratic. Disiplin yang biasanya lembut, menjadi lebih demokratis dan efektif, dengan konsekuensi lebih ke negosiasi dan konsisten. Negosisasi menjadi lebih fleksibel, namun tetap dengan penuh pertimbangan, persetujuan dan keterbukaan. komunikasi, tujuan perubahan adalah : Meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang positif dan terbuka pada keluarga. Meningkatkan ketrampilan asertif kepada keluarga. Hal ini karena biasanya keluarga yang bermasalah butuh untuk belajar menjadi lebih asertif dalam mengekpresikan keinginan mereka. Pelatihan asertif ini akan sangat berguna untuk mempelajari cara mengekpresikan perasaan mereka dengan membangun sikap, cara berbicara, mendengarkan dan memberikan empati kepada orang lain
Gambaran efektifitas rancangan terapi keluarga model sirkumpleks pada keluarga A, untuk mencegah Relaps. Rancangan terapi keluarga ini ditujukan untuk mengubah pola keluarga menjadi seimbang, hal itu untuk mencegah terjadinya relaps. Rancangan terapi dibuat sebanyak 10 sesi, yang memiliki tujuan untuk mengubah pola keluarga menjadi seimbang. Pada sesi 1, sasaran terapi ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai ketiga dimensi (kedekatan, adaptabilitas dan komunikasi), tujuan terapi untuk menimbulkan kesadaran kepada keluarga mengenai arti pentingnya terapi keluarga yang akan dilakukan, untuk mengubah pola keluarga menjadi seimbang, dalam rangka mencegah terjadinya relaps pada mantan pecandu. Sesuai dengan pendapat bahwa Olson (dalam Olson, 1985, bahwa keluarga yang 'sehat' dalam arti dapat berfungi secara memadai, ialah keluarga yang seimbang kedekatan (cohesion), maupun adaptabilitasnya (adaptability). Sebaiknya terlalu banyak kedekatan/keterikatan antar anggota keluarga serta terlalu banyaknya perubahan yang dilakukan atau bahkan terlalu kaku untuk berubah, membuat keluarga tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pada sesi 2 (parent-child coalition),
dimensi yang fokus utamanya ialah
kedekatan dan di dalam sesi ini juga mengajarkan bagaimana komunikasi efektif dalam keluarga. Sesi 3, ditujukan untuk mengubah komunikasi dalam keluarga. Menurut Olson (1985), kemampuan berkomunikasi dapat membantu meningkatkan kepedulian pada apa yang dibutuhkan saat ini dan menjadikan pilihan. Dalam permasalahan komunikasi dalam keluarga A, keterampilan keluarga dalam menyampaikan pendapat kepada anggota keluarga lain, diubah untuk menjadi lebih asertif dengan menggunakan pelatihan asertif. Pola adaptabilitas keluarga diubah dari chaotic menjadi flexible, pada sesi ke 4, 5 dan 6. Dalam sesi ke 4, ditujukan kepada pola kepemimpinan keluarga, Hal itu, berkaitan dengan pola kepemimpinan keluarga yang ambigu (adanya kepemimpinan ganda). Dimensi adaptabilitas yang diubah pada sesi 5 ialah : kedisiplinan, metode yang digunakan diskusi dan brainstorming, tujuannya untuk mengubah peraturan dan konsekuensi yang tidak sesuai dalam keluarga, membuka saluran komunikasi keluarga, serta meningkatkan gaya kepemimpinan demokratis dalam keluarga. Pola adaptabilitas yang berhubungan dengan pola negosiasi, rules dan roles pada sesi 6, tujuan utama terapi adalah untuk membuat rasa memiliki terhadap peraturan
13
yang telah dirumuskan bersama, keluarga mempunyai rasa tanggung jawab baik secara pribadi maupun terhadap anggota keluarga, dengan cara merumuskan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, terutama terhadap mantan pecandu. Pola kedekatan keluarga difokuskan pada sesi 7 dan 8, pola kedekatan enmeshed diubah menjadi connected. Kedua sesi ini, dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian dalam keluarga, dalam hal ini masing-masing pribadi diharapkan mengetahui batasan pribadi dan pengenalan diri, sehingga dalam mencegah terjadinya relaps anak dilepaskan dari ketergantungan terhadap keluarga dengan mengenali potensi-potensi dirinya. Sesi ke 9 dan 10, adalah penutup, di sesi ke 10 terapis mengevaluasi hasil dari terapi yang dilakukan terhadap keluarga A, apakah hasil terapi dapat mengubah pola keluarga menjadi seimbang.
KESIMPULAN DAN SARAN Gambaran Pola Keluarga Mantan Pecandu Narkoba Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan pada keluarga A didapatkan bahwa tipe keluarga A berada pada ekstrim tinggi, dimana pola kedekatan keluarga A bertipe Enmeshed. Kedekatan dalam keluarga A digambarkan sebagai suatu loyalitas untuk menarik anggota keluarga untuk selalu berada di dalam keluarga.namun keadaan tersebut sering menimbulkan identifikasi yang berlebihan kepada keluarga sehingga menghambat kemandirian individu. Sehingga A menjadi tergantung terhadap keluarganya, terutama ketika ia menjadi pengguna narkoba, kekambuhan A terhadap narkoba juga dikarenaka faktor kedekatan dalam keluarga. Dimensi kedua dalam pola keluarga ialah adaptabilitas, tipe keluarga A tergolong pada tipe Chaotic. Dalam keluarga A pelaksanaan kepemimpinan tidak begitu jelas, pembagian peran dalam keluarga sangat kacau. Penerapan disiplin tidak konsisten, bersifat permisif dan aturan-aturan mudah sekali berubah. Dimensi ketiga dalam keluargalah, komunikasi. Pada keluarga A, kemampuan keluarga masalah-masalah komunikasi yang dihadapi keluarga yang berhubungan dengan keterampilan keluarga dalam berkomunikasi yaitu, ketrampilan keluarga untuk mendengarkan, menyampaikan permasalahan dalam diri individu ataupun keluarga masih menghadapi kendala. Selain itu topik pembicaraan sering berpidah-pindah atau tidak konsisten.
14
Rancangan Terapi Keluarga Model Sirkumpleks pada Keluarga A Berdasarkan hasil Asesmen denagan CAP (Circumplex Asesment Package) pola keluarga pada keluarga A : Enmeshed-chaotic, dan masih terdapat masalah-masalah dalam komunikasi. Maka dirasa perlu untuk merancang suatu terapi keluarga yang sesuai dengan keluarga A. Pada dimensi kedekatan perubahan yang menjadi sasaram ialah enmeshed menjadi Connected. Pada dimensi adaptabilitas diturunkan satu tingkat dari Chaotic menjadi Flexible, dengan tujuan agar konsistennya kepemimpinan orangtua dan kontrol akan proses keluarga, dengan pembagian otoritas oleh orangtua dan merubah ketidakstabilan namun tidak erratic.
Saran Untuk Penelitian Selanjutnya : Pada penelitian ini, dikarenakan dengan kesulitan mengatur waktu dengan subjek dan keluarga, maka pelaksanaan penelitian hanya sampai menyusun rancangan treatmen. Oleh karena itu, diperlukan untuk penelitian lanjutan mengenai efektifitas terapi keluarga model sirkumpleks. Berkaitan dengan subjek dalam penelitian ini adalah mantan pecandu narkoba, terapi keluarga model sirkumpleks ini sangat menarik untuk dapat dikaji lebih dalam pada subjek dengan permasalahan keluarga yang lain, seperti : kasus KDRT, penelantaran anak, PSK, Schizofrenia. Hal tersebut dikarenakan, kasuskasus tersebut erat kaitannya dengan permasalahan pola keluarga. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan FACES III sebagai penunjang data penelitia, untuk penelitian berikutnya disarankan untuk mengadaptasi FACES IV sebagai alat ukur yang valid dan reliabel sesuai dengan norma kelompok di Indonesia. Untuk keluarga : Keluarga disarankan untuk mengikuti terapi keluarga model sirkumpleks, untuk memperbaiki struktur dalam pola keluarga, sehingga keluarga menjadi seimbang. Lebih terbuka untuk menerima perubahan dalam keluarga, terutama terhadap batasan-batasan pribadi pada masing-masing anggota keluarga, dengan maksud mengembangkan kemandirian pada anggota keluarga. Memusatkan kekuasaan dan meneggakkan pola kedisiplinan yang demokratis, namun tidak terlalu rapuh dalam penerapan aturan dalam
15
keluarga. Membuka saluran komunikasi yang efektif, terutama dalam pembagian peran dalam keluarga, serta terhadap masing-masing individu. Untuk profesional yang menangani kasus narkoba : Pola keluarga merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap kekambuhan mantan pecandu jenis heroin, maka disarankan kepada profesional yang menangani kasus narkoba untuk menggunakan pendekatan pola keluarga dalam mengasesmen klien dengan kasus narkoba. Peran keluarga terhadap kesembuhan mantan pecandu, merupakan faktor pendukung yang sangat penting, sehingga disarankan dalam memberikan treatmen / terapi tidak hanya tertuju kepada individu (klien narkoba) akan tetapi juga terhadap pola keluarga yang diberikan kepada klien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA BNN. (2007). Data penyalahgunaan narkoba. WWW.BNN.go.id Craig., J.R., & Metze., L,P. (1986). Methods of Psychological research. California : Brooks Cole Publishing. Duvall, E.M., & Miller, B.C. (198)5. Marriage and the family development (6th Ed). New York : Harper & Row Publisher. Kazdin., A.E. (1998). Issues & strategies in clinical research. Washington DC : APPA. Kompas. (2006). Keluarga anti N : panduan menghidari jeratan narkoba. Jakarta : Kompas. National Institute on Drug Abuse. (1997). Therapy for drugs addiction. http://www.nida.nih.gov Nawawi, dkk. (1996). Selamatkan Generasi Muda Bangsa Penyalahgunaan Narkotika. Jakarta : BP. Dharma Bakti.
dari
Bahaya
Olson, D.H. (1999). Circumplex Model Marital & Family System. Jurnal Family Therapy : http. www. Proquest.umi.com Olson., D. H. (1985). Circumplex model VII : Validation Studies & FACES III. Family process. Jurnal Family Therapy. 25, 337-351 Sommer, R., & Sommer, B. B. (1980). A practical guide to behavioral research : Tools & Techniques. New York : Oxford. Walsh, F. (2003). Normal Family Process. New York : The Guilford Press.
16