1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, seperti halnya peternakan sapi potong.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya protein hewani, maka permintaan masyarakat terhadap daging mengalami peningkatan, sehingga prospek beternak sapi potong masih memungkinkan untuk dikembangkan. Selama ini potensi tersebut belum dikembangkan sepenuhnya, hal ini disebabkan karena sebagian besar peternakan sapi potong di Indonesia masih bersifat tradisional, termasuk dalam pengolahan limbahnya yang masih belum tersentuh teknologi.
Limbah peternakan sapi
potong berasal dari sisa pakan yang bercampur dengan feses dan urin. Umumnya limbah yang dihasilkan terkonsentrasi pada satu titik. Pemanfaatan feses sapi potong sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung usaha pertanian. Namun masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal, sebagian diantaranya terbuang begitu saja, sehingga menjadi salah satu sumber masalah sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan yang berpotensi mengganggu kesehatan ternak dan manusia. Dusun Cinengang, Desa Cileles merupakan salah satu wilayah di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang dengan jumlah penduduk sebanyak 200 kepala keluarga, dimana sebanyak satu persen masyarakatnya melakukan kegiatan pemeliharaan sapi potong dengan skala kepemilikan dalam skala kecil. Salah satunya, peternakan sapi potong milik Pak Dede dengan populasi sebanyak 11 ekor dengan bobot badan bervariasi, yaitu berkisar antara 270 sampai 600
2
kilogram. Adapun untuk produksi feses per ekor per hari berkisar antara 20 sampai 25 kilogram. Banyaknya feses yang dihasilkan dari peternakan tersebut berpotensi sebagai peluang usaha untuk dijadikan bahan baku pembuatan biogas. Teknologi biogas merupakan salah satu teknologi yang dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan karena dapat menjadi solusi untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Biogas adalah gas yang dihasilkan melalui proses penguraian bahan-bahan organik, misalnya feses sapi potong oleh bakteri penghasil biogas melalui fermentasi anaerob. Aktivitas bakteri ini sangat dipengaruhi oleh suhu di dalam digester. Perubahan suhu yang mendadak dalam digester dapat mengakibatkan penurunan produksi biogas secara cepat. Oleh karena itu instalasi biogas harus ditempatkan di dalam tanah agar suhu digester stabil. Digester biogas merupakan alat yang didesain khusus untuk menciptakan suasana anaerob selama proses fermentasi. Berdasarkan bentuk tangki digesternya, dikenal digester tipe kubah tetap (fixed-dome).
Bangunan digester ini berbentuk menyerupai kubah dan
didesain kedap udara. Digester tipe fixed-dome terdiri dari dua bagian, yaitu bagian tangki sebagai tempat berlangsungnya proses fermentasi oleh bakteri dan bagian kubah tetap yang merupakan pengumpul gas yang tidak bergerak. Digester tipe fixed-dome mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut. Kelebihan menggunakan digester tipe fixed-dome adalah konstruksi yang sederhana dan dapat dikerjakan dengan mudah, biaya konstruksi yang relatif lebih murah dibanding dengan jenis digester tipe drum terapung (floating drum), tidak terdapat bagian yang bergerak, dapat dipilih dari material yang tahan karat, umurnya panjang, dapat dibuat didalam tanah sehingga menghemat tempat, dan perawatannya relatif lebih mudah. Adapun kekurangan menggunakan digester
3
tipe fixed-dome adalah bagian dalam digester tidak terlihat sehingga kebocoran tidak terdeteksi, tekanan gas berfluktuasi dan bahkan fluktuasinya sangat tinggi, temperatur digester rendah, dibutuhkan waktu yang relatif lama dalam proses pembuatannya, sering terjadi kehilangan gas pada bagian kubah karena konstruksinya tetap, mudah mengalami keretakan dan tidak dapat dipindah. Selain menghasilkan gas, proses pembentukan biogas menghasilkan lumpur hasil ikutan pembentukan biogas yang disebut sludge biogas, yang dapat menjadi sumber pupuk organik. Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak seperti feses sapi potong mengandung banyak unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dengan demikian diperlukan beberapa persyaratan teknis yang harus dipenuhi sebagai pupuk organik untuk mempertahankan produksi dan kualitas tanaman dan tanah.
Salah satunya adalah dengan
memperhatikan kandungan logam berat di dalam sludge biogas tersebut. Menurunnya mutu lingkungan dapat dipicu oleh adanya logam berat yang mencemari air, tanah dan udara. Logam berat masuk ke dalam tubuh ternak melalui dua cara, yaitu melalui proses pernapasan serta pakan dan air minum yang dikonsumsi yang selanjutnya diproses dalam saluran pencernaan. Pakan dan air minum merupakan sumber perolehan logam yang utama. Beberapa logam seperti seng (Zn) dan tembaga (Cu) merupakan logam esensial yang dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada ternak untuk menjaga kesehatan dan produktivitasnya, sehingga seringkali ditambahkan pada pakan yang diberikan. Namun pemberian yang berlebih dapat menyebabkan toksisitas logam yang mengakibatkan penurunan performa, perubahan perilaku ternak, akumulasi dalam jaringan tubuh dan meningkatkan kadar logam dalam urin dan feses. Terjadinya
4
keracunan logam paling sering disebabkan karena pencemaran lingkungan. Perkembangan industri dan teknologi pertanian modern menyebabkan kandungan logam berat di alam mengalami peningkatan yang diiringi dengan peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan, berupa limbah padat, cair dan gas.
Limbah
tersebut mengandung zat beracun seperti timbal (Pb) dan kadmium (Cd), yang merupakan logam non esensial.
Logam Pb dan Cd masih belum diketahui
kegunaannya dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Residu logam Pb dan Cd akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh. Selanjutnya logam yang tidak diserap akan dieksresikan melalui feses. Keberadaan logam berat pada feses sapi potong yang kandungannya melebihi standar, dapat menghambat dan menjadi toksik dalam reaksi biokimia yang terjadi selama proses fermentasi anaerob, sehingga efektif menghambat produksi gas metan.
Selain itu, logam berat dalam feses dapat mengurangi
kualiatas sludge biogas yang biasa digunakan sebagai pupuk organik. Dengan demikian, melalui proses fermentasi anaerob diharapkan keberadaan logam berat yang terdapat pada feses sapi potong dapat tereduksi, sehingga produksi gas metan akan maksimal dan sludge biogas aman untuk digunakan sebagai pupuk organik. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai deteksi logam Zn, Cu, Pb dan Cd pada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogas pada digester fixed-dome.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
penelitian,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan untuk diidentifikasi yaitu seberapa besar kandungan logam Zn, Cu,
5
Pb dan Cd pada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogas pada digester fixed-dome.
1.3 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui kandungan logam Zn, Cu, Pb dan Cd pada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogas pada digester fixed-dome.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh keberadaan logam berat terutama Zn, Cu, Pb dan Cd dalam proses pembentukan biogas.
Selain itu berguna sebagai sumber
informasi praktis mengenai indikator keamanan penggunaan sludge biogas feses sapi potong sebagai pupuk organik dari cemaran logam berat seperti Zn, Cu, Pb dan Cd.
1.5 Kerangka Pemikiran Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia, sekitar 20,4% kebutuhan daging nasional dipenuhi dari daging sapi (Ditjen Peternakan, 2010 dalam Putra, 2011). Dengan demikian, usaha penggemukan sapi potong di Indonesia sangat prospektif untuk dikembangkan. Adapun cara penggemukan yang biasa digunakan di Indonesia yaitu dilakukan secara tradisional dan modern. Penggemukan secara tradisional sampai saat ini masih menjadi andalan para peternak di berbagai daerah, biasanya dilakukan dengan cara kereman.
Sapi-sapi yang dipelihara hampir sepanjang hari berada di
6
kandang. Pakan yang diberikan terdiri dari hijauan (seperti rumput, dedaunan dan jerami) serta pakan tambahan (seperti konsentrat). Ada beberapa pakan hijauan mengandung mineral tertentu dengan kadar yang tinggi sehingga kebutuhan mineral ternak dapat terpenuhi. Namun apabila hijauan tumbuh pada daerah yang rendah unsur mineral tanahnya, maka kandungan mineralnya akan berkurang sehingga kebutuhan mineral ternak pun kurang terpenuhi.
Dengan demikian
seringkali ditambahkan beberapa mineral pada pakan tambahan (konsentrat) untukd menjaga kesehatan dan produktivitas ternak. Logam berat masuk ke dalam tubuh ternak melalui dua cara, yaitu melalui proses pernapasan serta pakan dan air minum yang dikonsumsi yang selanjutnya diproses dalam saluran pencernaan. Pakan dan air minum merupakan sumber perolehan logam yang utama. Konsentrasi logam paling tinggi dalam pakan sapi adalah Zn dan Cu yang seringkali ditambahkan dalam pakan tambahan untuk menunjang pertumbuhan ternak. Zn dan Cu merupakan mikro mineral esensial dengan konsentrasi maksimal dalam pakan ialah 250 ppm (European Commission, 2003 dalam Makridis, 2012) dan 100 ppm (National Research Council, NRC (1989) dalam Arifin (2007). Logam Pb dan Cd tidak ditambahkan dalam pakan namun tersebar bebas sebagai polutan di alam. Logam Pb dan Cd bersifat polutan karena tidak dapat terurai dan mudah diabsorbsi. Pb dan Cd merupakan mineral non esensial karena belum diketahui kegunaannya dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Kedua logam ini terakumulasi di dalam air, tanah dan tanaman pakan sehingga akan terakumulasi kembali di dalam jaringan tubuh ternak ketika diberi air minum dan pakan yang terkontaminasi logam tersebut. Logam yang tidak diserap oleh tubuh, selanjutnya akan dieksresikan melalui feses sehingga logam Zn, Cu, Pb dan Cd akan terakumulasi kembali di
7
dalam feses. Berdasarkan hasil analisis kandungan logam Zn, Cu, Pb dan Cd pada sampel rumput gajah, jerami, konsentrat dan air minum, diketahui bahwa logam Zn merupakan logam yang memiliki kandungan paling tinggi dalam pakan, dengan jumlah masing-masing yaitu 3,36 ppm, 9,78 ppm, 19,59 ppm dan 0,07 ppm. Logam lainnya seperti Cu, Pb dan Cd tidak terdeteksi oleh mesin AAS dalam satuan part per milion (ppm), karena jumlahnya dalam sampel sangat sedikit yaitu <0,01 ppm. Namun jumlah masing-masing logam masih berada dibawah standar, sehingga aman untuk diberikan pada ternak. Pesatnya perkembangan industri peternakan sapi potong menyebabkan permasalahan lingkungan melalui pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah dari peternakan, meliputi limbah padat seperti feses dan limbah cair seperti urin. Produksi peternakan secara intensif memberikan sumbangan bagi tingkat pencemaran lingkungan, termasuk pembuangan pada tanah dan air permukaan serta emisi ke atmosfer.
Umumnya sapi-sapi yang dipelihara dengan cara
kereman hampir sepanjang hari beraktivitas di dalam kandang.
Hal ini
menyebabkan produksi limbah terkonsentrasi pada satu titik. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut maka penanganan limbah perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya. Limbah ternak seperti feses merupakan salah satu bahan potensial sebagai sumber energi yang terbarukan, yaitu energi biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik secara anaerob dengan bantuan bakteri metanogenik yang mengkonversi molekul organik kompleks menjadi senyawa dengan berat molekul rendah seperti metan, karbondioksida, hidrogen dan amonia. Penguraian bahan-bahan organik dalam digester terjadi melalui tiga tahapan, yaitu tahap hidrolisis, tahap fermentasi dan tahap metanogenesis (Wahyuni, 2011).
Tahap hidrolisis dimulai dengan
8
penguraian bahan-bahan organik kompleks yang mudah larut atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein dan karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana. Penguraian dilakukan oleh bakteri hidrolitik. Tahap hidrolisis juga diartikan sebagai perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer. Senyawa-senyawa monomer hasil penguraian diantaranya senyawa asam organik, glukosa, etanol, karbondioksida dan hidrokarbon.
Selanjutnya, senyawa
sederhana (komponen monomer) yang terbentuk dari tahap hidrolisis dijadikan sumber energi bagi bakteri pembentuk asam (seperti bakteri fermentatif dan bakteri asidogenik) dalam tahap fermentasi. Proses tersebut menghasilkan asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat dan produk sampingan berupa alkohol, karbondioksida, hidrogen dan amonia. metanogenesis.
Tahap terakhir ialah tahap
Bakteri metanogenik mengubah produk lanjutan dari tahap
fermentasi menjadi metan, karbondioksida dan air yang merupakan komponen penyusun biogas. Ketiga tahapan tersebut harus dalam keseimbangan yang tepat untuk memastikan produk yang dihasilkan dalam setiap tahapan dapat digunakan sebagai substrat dalam tahapan berikutnya (Ward, 2008 dalam Sutaryo, 2012). Proses pembentukan biogas dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kehadiran logam berat di dalam fermentasi anaerob (Kossmann dkk, 2010). Logam berat diperlukan untuk aktivasi fungsi enzim dan koenzim selama fermentasi anaerob. Namun logam berat dengan konsentrasi yang melebihi batas maksimal dalam proses fermentasi anaerob dapat menjadi pemicu, penghambat dan bersifat toksik dalam reaksi biokimia (Oleszkiewicz dan Sharma, 1990; Giotta dkk, 2006; Sengor dkk, 2009 dalam Mudhoo dan Kumar, 2013). Hal tersebut menyebabkan gangguan fungsi enzim sehingga menghambat proses pembentukan bakteri metanogenik. Kontaminasi logam berat yang paling umum terjadi ialah
9
kontaminasi logam Zn, Cu, Pb dan Cd.
Keempat logam tersebut dapat
memberikan efek toksisitas pada fermentasi asidogenesis.
Sesuai dengan
pernyataan Lin (1992) dalam Krishna dan Gilbert (2014), yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas logam pada fermentasi asidogenesis dari enam logam berbeda yang diteliti adalah Cu > Zn > Cr > Cd > Ni > Pb, sedangkan tingkat toksisitas pada tahapan metanogenesis adalah Cd > Cu > Cr > Zn > Pb > Ni. Toksisitas logam lebih sensitif pada proses degradasi VFA dalam tahapan fermentasi asidogenesis daripada tahapan metanogenesis.
Hal tersebut
berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan pada tahapan fermentasi yang selanjutnya akan digunakan pada tahapan metanogenesis. Selain menghasilkan gas sebagai sumber energi, proses pembentukan biogas menghasilkan sludge biogas yang dapat digunakan kembali sebagai pupuk organik untuk produksi tanaman yang berkelanjutan dan pemeliharaan yang ramah lingkungan (Islam dkk, 2009). Namun penggunaan pupuk organik dapat menyebabkan permasalahan lingkungan akibat pencemaran logam berat. Pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang mengandung logam Zn, Cu, As dan Cd dengan konsentrasi yang tinggi (Zhang dkk, 2012). Dalam jangka waktu yang lama, residu logam berat dalam pupuk akan terakumulasi pada permukaan tanah. Oleh karena itu, beberapa persyaratan teknis sebagai pupuk organik harus dipenuhi untuk mempertahankan kesuburan tanah, produksi dan kualitas tanaman. Sesuai dengan Keputusan Menteri No.70/Permentan/SR.140/10/2011, pupuk organik harus mengandung karbon (C) minimal 15%, dengan rasio C/N antara 1525. Selain C dan N, pupuk organik harus memenuhi persyaratan kandungan bahan lain yaitu kadar air 8-20%, nilai pH 4-9, hara makro (N + P2O5 + K2O) minimal 4% dan hara mikro Fe total maksimal 9000 ppm; Fe tersedia ≤ 500 ppm;
10
Mn ≤ 5000 ppm; Zn ≤ 5000 ppm; dan Cu ≤ 5000 ppm. Selain itu, kandungan logam berat nya pun harus diperhatikan seperti As ≤ 10 ppm, Hg ≤ 1 ppm, Pb ≤ 50 ppm dan Cd ≤ 2 ppm. Kandungan maksimal logam Zn, Cu, Pb dan Cd pada feses sapi potong secara berurutan adalah 305 ppm, 48 ppm, 8,90 ppm dan 0,40 ppm (The German Federal Environmental Agency - UBA, 2004 dalam Schultheiß dkk, 2013). Melalui proses fermentasi anaerob, logam Zn, Cu, Pb dan Cd dimanfaatkan dalam proses pembentukan biogas sehingga keberadaannya pada sludge biogas akan tereduksi.
1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015. Pengambilan sampel dilakukan di Unit Pengkajian dan Pengolahan Limbah (UPPL) Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor. Selanjutnya dianalisis kandungan logam Zn, Cu, Pb dan Cd pada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogas pada digester fixed-dome di Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Bandung.