PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumah untuk mengembangkan sikap kemanusiaannya. Kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, memberinya sistem nilai yang berharga untuk hidup dan memberi apa yang bermakna bagi pilihan-pilihan hidup dan hidup itu sendiri. Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa menjadi kunci penentu proses perubahan. Namun demikian, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya sehingga
tidak terasa sebuah
peradaban, termasuk bahasa di dalamnya, ternyata mengalami pergeseran. Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman etnik paling banyak di dunia tentu menyimpan berbagai macam keunikan dan keragaman dari aspek kulturalnya dan termasuk bahasanya. Bahasa merupakan suatu alat penyampai segala macam bentuk pengetahuan. Pentingnya bahasa bahkan melahirkan berbagai macam aliran kajian mengenai bahasa termasuk antropologi yang di dalamnya terdapat antropologi linguistik. Pada konteks inilah faktor penutur bahasa menjadi penentu keberadaan suatu bahasa di dalam kehidupan mereka. Terbentuknya seorang penutur atau sekelompok penutur diakibatkan oleh perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain. Pergeseran bahasa umumnya mengacu pada proses penggantian satu bahasa dengan bahasa lain dalam repertoir linguistik suatu masyarakat. Maka dengan demikian, pergeseran bahasa mengacu pada hasil proses penggantian satu bahasa dengan bahasa
17
Universitas Sumatera Utara
lain. Hal ini juga disebabkan terjadinya migrasi antara masyarakat suatu budaya ke daerah lain. Menurut Romaine (Arifin Dkk, 1985:72) terdapat faktor-faktor berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa. Pada kenyataannya, penguasaan bahasa memang sedikit demi sedikit mengalami pergeseran dan hal ini disebabkan oleh beberapa hal: seperti kawin campur, mobilisasi penduduk, menguatnya kesadaran akan penggunaan bahasa Indonesia, dan kurangnya pembinaan bahasa. Bahasa daerah yang ada di Simeulue sebagai lambang identitas kebudayaan daerah pemakainya perlu dibina dan dikembangkan. Hal ini agar kebudayaan masyarakat Simeulue khususnya bahasa Sigulai tidak begitu mudah mengalami pergeseran varian dan diketahui oleh masyakat lain. Sehingga kebudayaan ini bisa menjadi kebanggaan bagi bangsa dan negara sebagai salah satu tanda kekayaan bangsa Indonesia dan sebagai ciri khas suatu daerah itu sendiri. Dalam kaitannya dengan usaha ini, perlu adanya data kebahasaan yang jelas, seperti nama bahasa daerah dan dialeknya, wilayah pemakaiannya dan jumlah penutur setiap bahasa daerah dan dialeknya, dan nama suku bangsa penutur bahasa-bahasa daerah itu. Semua kegiatan tersebut perlu kiranya diinventarisir kedalam suatu bentuk tulisan agar apa yang telah kita gali dan kita pelajari tidak hanya menjadi buaian tetapi juga menjadi koleksi yang bertahan lama
18
Universitas Sumatera Utara
yang manfaatnya juga untuk kita semua. Oleh karena itu, penelitian ragam dialek bahasa Sigulai di Simeulue perlu dilakukan. Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa nusantara, semua aspek kebahasaan yang tidak dimilikinya perlu dilengkapi dengan aspek kebahasaan yang mungkin dimiliki oleh bahasa-bahasa daerah, termasuk kesusastraannya. Penelitian ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue ini diharapkan dapat memperkaya bahasa Indonesia termasuk pengajarannya. Penemuan baru tentang data kebahasaan banyak diperoleh melalui penelitian bahasa-bahasa nusantara. Penelitian ragam dialek bahasa Sigulai di Simeulue ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan dalam teori antropologi linguistik dalam ragam dialek yang ada di masyarakat. Sebab jika kita melihat pada masa yang sekarang ini banyak orang-orang yang sudah tidak bisa menggunakan bahasa daerahnya, bahkan terkadang merasa malu karena selalu diidentikkan dengan masyarakat yang tradisional. Paparan dari bahasa asing juga bahkan menjadi cambuk tersendiri untuk kita bersama agar sadar bahwa bahasa daerah itu penting, apalagi dalam berbagai penelitian banyak menemukan bahwa kearifan tradisional suatu masyarakat terkadang tersimpan dalam setiap warisan lisannya baik berupa artefak gulungan-gulungan, tulisan atau naskah lama yang kesemuanya itu penting untuk merangkai jejak masa lalu. Penelitian ini mengkaji tentang ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue di Kota Medan. Pemilihan judul penelitian ini berdasarkan ketertarikan peneliti dengan aspek-aspek budaya Simeulue, seperti tata cara berkomunikasi dan perbedaan dalam kata-kata yang disampaikan dalam berkomunikasi antar sesama masyarakat Simeulue khususnya dalam masyarakat yang menggunakan bahasa Sigulai.
19
Universitas Sumatera Utara
Ketertarikan ini bermula ketika peneliti hidup dan tinggal di komunitas masyarakat Simeulue. Sebagian besar mereka merupakan masyarakat Simeulue yang menggunakan bahasa Sigulai. Adanya perbedaan dalam kata-kata dan makna membuat aktifitas berbicara antar masyarakat Simeulue menjadi sangat menarik untuk dikaji. Bahwa terkadang terjadi multitafsir ketika pembicaraan berlangsung antara beberapa orang Simelue juga menjadi poin penting dalam merangkai tulisan ini. Ketertarikan juga bermula dari empat kecamatan yang menjadi letak ragam bahasa Sigulai yang berbeda. Keempat kecamatan itu adalah Simeulue Barat, Salang, Alafan, dan Teluk Dalam. Adanya perbedaan asal kecamatan dari Kabupaten Simeulue bahkan menjadi suatu hal khusus juga yang terkadang mempengaruhi masyarakat Simelue yang ada di Kota Medan dalam berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini semakin menarik ketika melihat ragam bahasa ini di Kota Medan, di mana banyak perantau dari keempat lokasi ragam bahasa tersebut hidup dan bekerja di Kota Medan. Penelitian ini memiliki fokus untuk membahas ragam dialek bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue. Ragam tersebut misalnya, masyarakat Simeulue Barat menggunakan kata untuk menyapa dengan bahasa Sigulai “ageu mei, ageu fului, ageu ma’a“ yang artinya, “mau kemana, darimana, kamu di mana“ sedangkan di daerah Salang menggunakan bahasa Sigulai menghilangkan huruf “U“ dari cara pengucapan masyarakat Simeulue barat. Misalnya, “age mei, age fului, ageo’e ma’a“ yang artinya, “kamu kemana, kamu darimana, dan kamu di mananya“ dari kedua daerah di atas, walaupun masyarakat itu memakai bahasa hanya satu yaitu bahasa Sigulai, namun dilihat dari contoh di atas ternyata terlihat adanya perbedaan dari cara pengucapan yang
20
Universitas Sumatera Utara
terdapat dari kata-kata yang diucapkannya. Hal ini dirasakan masing-masing oleh masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan sebagai suatu ciri khas etnik mereka. Penelitian ini mengkaji tentang
ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat
Simeulue di perantauan Kota Medan. Pemilihan tema ini berdasarkan ketertarikan peneliti
dengan
berbagai
aspek-aspek
budaya
bahasa Sigulai.
Seperti
cara
berkomunikasi antara sesama pemakai bahasa Sigulai. Ketertarikan ini bermula ketika peneliti hidup dan mersakan langsung bagaimana
bahasa Sigulai itu digunakan
masyarakat Simeulue. Perbedaan pengucapan dalam bahasa Sigulai menunjukkan ragam dalam bahasa tersebut. Ragam ini mengindikasikan adanya sebuah perbedaan antara satu dialek dengan dialek yang lain, meskipun bahasa yang digunakan masih satu yakni bahasa Sigulai. Ragam ini terlihat dari daerah asal bahasa Sigulai tersebut yang dipakai oleh orang Sigulai yang tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Alafan, dan Kecamatan Simeulue Barat. Penelitian ini semakin menarik ketika membahasnya dalam ranah kultural yang berbeda. Hal ini misalnya terlihat ketika bahasa Sigulai dipakai atau diaplikasikan di daerah perantauan seperti Kota Medan. Penelitian ini akan semakin menarik di mana arahnya tidak hanya membahas ragam bahasa yang tercipta dari bahasa Sigulai namun juga adaptasi dan perubahan yang mungkin terjadi dalam proses interaksi orang Simeulue di Kota Medan.
1.2 Tinjauan Pustaka
21
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koentjaraningrat (dalam Arifin Dkk, 1985) proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat istiadat, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Enkulturasi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai “pembudayaan”. Dalam bahasa Inggris istilah enkulturasi disebut “institutionalization”. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Pada proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturanperaturan yang hidup dalam kebudayaannya. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Secara harfiah, enkulturasi sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1996:233) adalah suatu proses pembudayaan. Enkulturasi sebagai suatu bentuk pemikiran mengacu pada proses di mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, walaupun terdapat juga pemikiran mengenai kebudayaan sebagai suatu hal yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Pada bentuk sederhana, enkulturasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk proses sosial melalui manusia sebagai makhluk yang memiliki nalar, daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain.
22
Universitas Sumatera Utara
Enkulturasi dalam lingkup penelitian ini merupakan suatu proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap seorang individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang ada dalam kehidupannya. Proses ini berlangsung secara terus menerus dari usia kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat), dalam proses enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pandangan Sapir-Whorf (Siregar dalam Fasya, 2006:54), yang mengatakan bahwa, bahasa dan kebudayaan mengkaji hubungan antara bahasa sebagai unsur budaya dan kebudayaan yang umum realitivitas kebahasaan. Dijelaskan bahwa, tanggapan dan tindakan seseorang banyak bergantung atas struktur kosa kata yang dikuasainya. Semuanya ini adalah alat-alat yang dipergunakan untuk berpikir dan kemudian menanggapi sesuatu sehingga mempengaruhi tindak lakunya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Sutrisno (2014: 136) bahwa makna atau meaning merupakan arti asli atau awal ketika teks itu dituliskan atau diucapkan oleh pengarangnya. Ketika perbincangan makna lalu dituliskan oleh komunitas bahasa, maka pencarian atau penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis itu dan teks-teks yang sejaman (perhitungan waktu) serta yang se-asal lokasi. Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada mereka di tunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak mempelajari normanorma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Kadang-kadang,
23
Universitas Sumatera Utara
orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang. Setelah anak tumbuh dewasa maka kemudian sang anak akan pergi menuju ruang sosialisasi selanjutnya yakni dengan teman bermain, atau pun sekolah. Dari pandangan Dreben dalam Sunarto (2004: 26) kita dapat melihat bahwa sekolah atau pun lembaga sosial yang sejenis seperti kampus merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan oleh anggota masyarakatnya, dan aturan baru tersebut sering berbeda bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung di rumah. Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula. Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi di ajarkan di sekolah-sekolah formal. Perkembangan itu menambahkan pandangan bahwa, dalam pemikiran ilnu kebudayaan, barangkali yang paling berpengaruh dari para teoritikus tentang consensus gentium, beberapa segi dari kebudayaan mengambil bentuk-bentuk khususnya sematamata sebagai suatu akibat dari kebetulan-kebetulan historis; segi-segi lainnya disesuaikan oleh kekuatan-kekuatan yang selayaknya dapat dicirikan sebagai universal.
Unsur-unsur kebudayaan universal dipahami sebagai tanggapan-tanggapan baku terhadap kenyataan-kenyataan yang niscaya, cara-cara yang dilembagakan untuk
24
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan kenyataan-kenyataan itu. Analisis, merupakan pencocokan unsur-unsur universal yang diandaikan dengan keniscayaan-keniscayaan dasar yang didalilkan. Berbicara tentang bahasa, telah banyak penelitian yang pernah menyinggung ataupun menuliskan tentang bahasa maupun ragam dialek. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Yully (2008) yang membahas ragam bahasa Langgam Empat di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Sumatera Barat dibakukan dan tidak bersifat tetap. Yul ly (2008) mengungkapkan representasi Kato Nan Langgam Ampek dapat dibakukan dan tidak bersifat tetap. Selalu saja ada pemaknaan baru yang membuat terjadinya representasi dan munculnya makna-makna yang dikandung dalam Kato Nan Langgam Ampek. Dengan Kato Nan Langgam Ampek, makna-makna yang terkandung di dalam setiap pemakaiannya pada suatu peristiwa interaksi dan komunikasi tidak selalu bersifat tetap. Tentu dari penelitiannya kita dapat mengambil suatu kesimpulan kecil yang dapat kita masukan dalam menganalisis masalah dialek bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue yang akan disajikan. Kato Nan Langgam Ampek memang merupakan norma yang menuntut keteraturan dalam berbahasa dan berbicara, tetapi tidak bisa dipungkiri juga selalu saja ada perubahan dan pergeseran makna yang disesuaikan dengan perkembangan nilainilai yang baru masuk ke dalam masyarakat. Adanya perubahan dan pergeseran makna dari Kato Nan Langgam Ampek pada kehidupan masyarakat Nagari Salayo dapat dijumpai pada berbagai peristiwa dialog. Pada suatu saat bisa saja ditemui pemakaian kato mandaki pada peristiwa komunikasi antar dua orang yang seumuran atau sebaliknya.
25
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian Yully adalah terletak pada sisi lokasi dan persebaran dialek. Hal ini dikarenakan adanya perpindahan penduduk atau persebaran penduduk ke daerah lain yang menciptakan perbedaan dalam proses pelafalan bahasa. Ragam dialek juga akan menjadi pembeda yang jelas antara dua judul tersebut, di mana dialek Sigulai berbeda-beda tipenya bahkan jika harus dipisahkan berdasarkan kecamatan dalam satu kabupaten. Persamaannya dari penelitian ini adalah adanya perubahan-perubahan kata dari masyarakat itu sendiri dan terdapat pergeseran makna dalam berkomunikasi dari masyarakat antar sesama etnis yang menggunakan bahasa Sigulai yang ada di Kecamatan Simeulue Barat, Alafan, Teluk Dalam dan Kecamatan Salang. Menurut pandangan Sibarani (dalam Fasya, 2006:22) bahasa secara internal memperlihatkan latar belakang etnik suatu masyarakat. Intensitas suara yang tinggi penggunaan /e/ keras, misalnya, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Batak, penggunaan /t/ yang mengarah pada palatal, bukan dental atau alveolar, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Aceh. Bahasa adalah sarana yang mengekspresikan nilai-nilai budaya. Menurut Sibarani (2004:59), nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur transformasi kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling berkaitan, yaitu kebudayaan ekspresi mencakup perasaan, intuisi, ide, dan imajinasi kolektif. Kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi, adat istiadat, dan kebisaan-kebiasaan. Kebudayaan fisik mencakup hasil karya atau artefak-artefak asli yang di manfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
26
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi dan interaksi sosial yang ada dalam suatu masyarakat hanya dapat sampaikan melalui bahasa. Suatu kelompok atau masyarakat menggunakan bahasa dalam setiap aspek kegiatan hidupnya. Sebagaimana diketahui, budaya berfungsi sebagai suatu sistem yang mengatur segala interaksi antar individu dalam suatu masyarakat, maka bahasa berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu (Sibarani, 2006:58). Hal ini didukung juga oleh (Hanafiah, 1986:27) yang mengatakan bahwa, komunikasi adalah proses di mana pesan pesan dioperasikan dari sumber kepada penerima. Dengan kata lain komunikasi adalah pemindahan ide-ide dari sumber dengan harapan akan merubah tingkah laku maupun ide penerima. Saluran komunikasi adalah alat dengan pesan pesan dari sumber dapat sampai kepada penerima. Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang kalau digabungkan menurut aturanaturan tertentu menimbulkan arti, yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Meskipun manusia pertama-tama bersandar pada bahasa untuk saling berkomunikasi satu sama lain, tetapi bahasa bukanlah satu-satunya sarana komunikasi. Sarana-sarana lain ialah para bahasa (para language), yaitu suatu sistem bunyi yang menyertai bahasa, dan kinesika (kinesich), yaitu sistem gerakan tubuh yang digunakan untuk menyampaikan pesan (message). (Haviland William A, 1985:358) Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai simbol vocal arbiter yang digunakan oleh manusia dalam bentuk percakapan seharihari. Bentuk percakapan dengan menggunakan bahasa ini lazim disebut dengan bahasa lisan (oral language). Bentuk penggunaan bahasa ini kemudian terangkum dalam kegiatan sehari-hari antar manusia sebagai salah satu alat kominikasi utama.
27
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan antar kelompok manusia, bahasa lisan ini mengalami diversitas, yaitu adanya beragam jenis bahasa lisan tersebut yang dapat diidentifikasi melalui bunyi, intonasi, sampai kepada makna yang ditujukan melalui bahasa tersebut. Pada kelompok-kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut juga memiliki makna subtansif sebagai sesuatu yang mereka maknai secara kolektif dalam kesatuan pola ide dan gagasan mereka sendiri, atau dapat juga disebut sebagai pemaknaan dari sistem kebudayaan mereka. Sebagai bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan mereka sendiri, lazimnya bahasa yang dipergunakan di dalam suatu kelompok manusia diatur sedemikian rupa dan memiliki tatanan yang jelas, atau dapat juga disebut sebagai seperangkat aturanaturan yang menyertai penggunaan bahasa tersebut. Aturan-aturan dalam bahasa tersebut dapat dilihat sebagai serangkaian pola-pola yang berkesinambungan dan saling berhubungan. Dalam kajian antropogi linguistik, paling tidak ada tiga relasi penting yang perlu diperhatikan (Sibarani, 2004:51). Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Artinya, ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga bahkan harus mempelajari bahasanya dan ketika kita mempelajari suatu bahasa kita juga mempelajari budayanya. Kedua, hubungan antara bahasa dan budaya secara umum. Dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya: perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Oleh karena itu, penghitungan bahasa seolah-olah relevan dengan penghitungan budaya bahkan penghitungan etnis. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu dengan antropologi sebagai ilmu budaya.
28
Universitas Sumatera Utara
Budaya adalah pengetahuan, di mana kebudayaan adalah serangkaian pengetahuan yang diperoleh manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan serta mendorong untuk menghasilkan tingkah laku (Spradley, 1980). Budaya sebagai pengetahuan merupakan sistem kognitif yang tersusun di dalam benak setiap orang. Dalam kebudayaan terkandung unsur-unsur yang secara universal dapat dibagi atas tujuh unsur yaitu, bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, mata pencaharian, religi, dan kesenian. Bahasa digolongkan sebagai unsur kebudayaan yang ada hakekatnya bahasa mengikuti hakekat dari kebudayaan itu sendiri, sebagaimana bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang universal (Koentjaraningrat, 1997). Bahasa itu sendiri merupakan sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia (Koentjaraningrat, dkk: 2003). Bahasa secara umum dapat dibagi atas dua macam, yaitu bahasa lisan (verbal language) dan bahasa tulisan (written language). Bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan, secara implisit istilah ini berarti adanya pendengar. Istilah ini bersifat tautologis karena menurut definisi bahasa adalah bahasa lisan, namun dipakai untuk membedakannya dari bahasa tulisan. Bahasa tulisan merupakan sistem perlambangan yang menggunakan tanda-tanda tulisan, sebagai pengganti bunyi maupun ucapan manusia dengan tujuan untuk dibaca (Koentjaraningrat, dkk: 2003). Bahasa sebagai bagian kebudayaan (Levy Strauss 1972, dalam Koentjaraningrat 1997) adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan masyarakat yang menggunakan
29
Universitas Sumatera Utara
atau mengucapkan bahasa tersebut. Bahasa mempunyai latar (Sapir 1921, dalam Koentjaraningrat 1997), maksudnya masyarakat penutur bahasa tertentu merupakan milik suatu atau beberapa kelompok masyarakat yang dibedakan oleh ciri-ciri fisik dari kelompok masyarakat lain. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki kecendrungan untuk selalu membedakan bahasanya dengan kelompok masyarakat lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan dan mengkhususkan jati dirinya. Bahasa
berperan
sebagai
alat
atau
sarana
kebudayaan,
baik
untuk
perkembangan, transmisi maupun penginventarisasiannya. Pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan unsur-unsur kebudayaan lainya hanya bisa disampaikan melalui bahasa (Sibarani, 2004:58). Oleh karena itu, bahasa dapat disebut sebagai persyaratan kebudayaan (Strauss 1972, dalam Sibarani 2004:89). Tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan (Sibarani, 2004:168). Menurut Sibarani (2004:169), ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya kesantunan dalam berbahasa yaitu, pertama, kesopansantunan seseorang pada umumnya dinilai dari bahasanya yang santun. Kedua, bahasa yang santun akan memperlancar penyampaian pesan dalam berkomunikasi. Ketiga, bahasa yang kurang santun sering menyakitkan perasaan orang lain sehingga tak jarang menjadi sumber konflik. Keempat, masyarakat Indonesia secara historis dianggap sebagai orang yang sopan santun dan baik budi bahasanya sehingga hal itu penting dipertahankan.
Membahas tentang kesantunan bahasa, terdapat banyak pendapat dari para ahli. Menurut Fraser (Sibarani, 2004:176), kesantunan adalah properti yang diasosiasikan
30
Universitas Sumatera Utara
dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibanya. Intinya, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran, bukan ujaran itu sendiri, dan pendapat sipendengarlah yang menentukan ujaran tersebut santun atau tidak. Brown dan Levinson mempunyai pandangan berbeda tentang kesantunan. Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) dalam Sibarani, 2004:179) berkisar atas nosi muka. Semua orang yang rasional mempunyai (dalam arti kiasan) dan muka itu perlu dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Muka negatif itu mengacu kecitra diri seseorang (yang rasional) yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya dari keharusan mengerjakan sesuatu. Muka positif sebaliknya, mengacu kepada citra diri seseorang (yang rasional), yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang ia lakukan atau dimiliknya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai. Dalam hal ini, menurut Brown dan Levinson (Sibarani, Fasya 2006:14) penutur perlu mempertimbangkan derajat keterancaman sebuah tindak ujaran dengan memperhatikan faktor-faktor seperti: (satu). Jarak sosial di antara penutur dan pendengar, (dua). Perbedaan dominasi di antara keduanya, dan (tiga). Keadaan tindak ujaran dalam kebudayaan yang bersangkutan, mana yang mengancam dan mana yang tidak mengancam. Dengan demikian, dalam berkomunikasi, penutur perlu memilih strategi agar menghindari keterancaman itu. 31
Universitas Sumatera Utara
Bahasa Sigulai adalah bahasa daerah Kabupaten Simeulue yang berfungsi sebagai bahasa pengantar yang dipakai oleh penuturnya untuk penghubung dalam berinteraksi antar sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Sigulai memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Simeulue karena bahasa ini menjadi jati diri dalam konteks bilingual maupun multilingual yang membedakan antara suku bangsa Simeulue dengan suku bangsa lainnya. Sibarani (dalam Fasya, 2006:24-25) mengatakan bahwa konsep antropologi yang berkaitan dengan bahasa merupakan kebudayaan non-material sehingga lebih mengarah pada norma dan nilai. Itulah sebabnya secara internal tidak ada bahasa di dunia yang tidak memiliki norma dan nilai. Secara eksternal pun memahami dari bahasa sudah pasti memahami norma dan nilai yang dapat diungkap oleh bahasa itu. Bahasa Sigulai sebagai bagian dari bahasa Simeulue merupakan satu bentuk dari pemaknaan bahasa Simeulue yang mengandung nilai-nilai tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat Simeulue. Bahasa Sigulai ini mengandung nilai-nilai tersirat dari setiap penggunaan ujaran-ujaran tertentu. Nilai-nilai inilah yang selanjutnya menjadi pedoman dan pengatur bagi masyarakat Simeulue dalam bersikap dan bertingkah laku.
1.3 Rumusan Masalah
32
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang di atas, studi bahasa yang diangkat dalam penelitian ini akan dipermudah dengan perumusan masalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus sebagai pembatas bagi permasalahan yang diangkat agar tidak meluas. Permasalahan yang utama dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ragam dialek masyarakat Simeulue di Kota Medan dalam berkomunikasi? 2. Bagaimana ragam dialek masyarakat Simeulue di Kota Medan berdasarkan dari tuturannya? 3. Bagaimana peranan dan fungsi ragam dialek dalam kehidupan keseharian masyarakat Simeulue perantau yang ada di Kota Medan ?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian. Sebagai penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penulisan diharapkan memenuhi tujuan sebagai berikut: 1.
Mendeskripsikan keanekaragaman dalam bahasa Sigulai masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.
2.
Mendeskripsikan bentuk dan makna dari penggunaan bahasa Sigulai yang terdapat pada masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan
33
Universitas Sumatera Utara
3.
Mendeskripsikan fungsi dan peranan bahasa Sigulai masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.
1.4.2. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah, secara akademis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat bahasa suatu daerah yang memiliki ragam dan dialek yang berbeda di dalamnya. Dan juga untuk sebuah gambaran tambahan budaya bahasa khususnya di dalam ilmu Antropologi linguistik yang berkembang di lingkungan masyarakat.
1.5 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda dan variasi bahasa Sigulai perantau yang ada di Kota Medan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik dan kuantitatif lainnya. Kualitas menunjuk pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbagan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Penelitian ini akan mengumpulkan data kualitatif untuk menjawab persoalan dari permasalahan peneliti.
34
Universitas Sumatera Utara
1.6 Teknik Pengumpulan Data Dalam proses pencarian data-data dan fakta-fakta yang ada di lapangan maka maka peneliti mencoba menggolongkan data penelitian yang ada menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
1.6.1 Data primer Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu: 1. Teknik Observasi partisipasi Observasi partisipasi, yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Sebagai bentuk penelitian yang berkarakteristik etnografi, perekaman secara langsung oleh peneliti dengan masyarakat yang dikaji adalah salah satu aspek terpenting. Fungsi dari observasi partisipasi ini adalah untuk merekam secara langsung segala hal yang terjadi di lapangan, meliputi keadaan, peristiwa, suasana, cita rasa, dan berbagai hal lain. Bogdan (dalam Moleong, 1989:128) mendefenisikan secara tepat pengamatan berperan serta atau observasi partisipasi sebagai penelitian yang catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan. Dalam penelitian ini, peneliti langsung ke lapangan untuk mengamati bagaimana ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue perantau yang ada di Kota Medan. Dalam kegiatan-kegiatan masyarakat Simeulue perantau yang menjadi objek fokus studi. Penelitian tidak akan memakan waktu hingga bertahun-tahun seperti apa yang dijelaskan oleh Bogdan.
35
Universitas Sumatera Utara
2. Teknik Wawancara mendalam Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1989:148), antara lain : mengkonstruksi mengenai orang orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; lalu memproyeksikannya. Teknik wawancara mendalam merupakan proses tanya-jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian. Penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan data sesuai dengan masalah-masalah yang menjadi tujuan dari penelitian. Selanjutnya penggunaan metode ini akan disertai dengan alat bantu berupa alat perekam dan pedoman wawancara mendalam. Wawancara yang ditujukan terhadap informan kunci dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang bentuk, makna, penggunaan dan peranan dari bahasa Sigulai masyarakat Simeulue perantau yang ada di Kota Medan dalam tiap aspek kehidupan masyarakat simeulue. Sedangkan wawancara terhadap informan biasa ditujukan untuk memperoleh informasi tentang keberadaan dan peranan bahasa Sigulai dalam kegiatan hidupnya. Selain itu juga untuk mengetahui wujud dari pengaplikasian bahasa Sigulai dalam kehidupan sehari-harinya.
36
Universitas Sumatera Utara
1.6.2 Data sekunder Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan penelitian. Data ini berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian
kepustakaan
dan
pencatatan
dokumen,
yaitu
dengan
mengumpulkan data dan mengambil infomasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini mengenai keberadaan, peranan, fungsi, makna, dan aplikasi bahasa sigulai masyarakat Simeulue perantau yang ada di kota Medan. Dalam penelitian bersifat deskriptif ini, untuk mendukung pengumpulan data, maka langkah-langkah di atas ditambah dengan dua bentuk metode analisa bahasa sebagai berikut: 1. Metode Simak Metode ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak langsung dalam penggunaan bahasa seseorang yang berkomunikasi langsung secara bertatap muka maupun tidak bertatap muka misalnya berkomunikasi lewat telpon sehingga dapat mudah disimak bahasa yang disampaikannya (Mahsun M.S, 2005:90). 2. Metode Intropeksi Metode ini diklasifikasikan sebagai metode analisis data atau juga disebut sebagai metode refleksi-introspektif, yaitu upaya melibatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya, secara optimal, peran peneliti sebagai penutur
37
Universitas Sumatera Utara
bahasa tanpa menghilangkan peran kepenelitian itu. Metode ini dimaksudkan sebagai upaya menguak identitas sosok pembentukan bahasa yang dapat memungkinkan orang menentukan secara seksama satuan lingual tertentu yang status kesatuan-lingualnya belum jelas, seperti wacana Sudaryanto (Mahsun M.S, 2005:90).
1.7 Analisis Data Penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, pengamatan dan wawancara mendalam, yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalam fokus penelitian. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Peneliti juga akan menggunakan pendekatan yang sifatnya teoritis yakni pendekatan fenomenologis. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Ada berbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua
38
Universitas Sumatera Utara
berpendapat sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya “dari segi pandangan mereka”.
1.8 Teknik Pelaporan Teknik pelaporan ada dua yaitu: induktif dan deduktif. 1.
Teknik induktif Pendekatan induktif adalah di mana menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going from specific to the general).
2.
Teknik deduktif Pendekatan deduktif (deductive approach) adalah pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan (conclusion) berdasarkan seperangkat premis yang diberikan. Dalam sistem deduktif yang kompleks, peneliti dapat menarik lebih dari satu kesimpulan. Metode deduktif sering digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus (going from the general to the specific).
39
Universitas Sumatera Utara
1.9 Pengalaman Lapangan Peneliti mendatangi masyarakat Simeulue khususnya yang menggunakan bahasa Sigulai yang ada di Kota Medan. Dalam hal ini mendatangi tempat tinggal atau koskosan masyarakat Simeulue, untuk mewawancarai mereka tentang bahasa Sigulai. Untuk mendapatkan data dan menjumpai masyarakat Simeulue mengikuti kegiatankegiatan masyarakat Simeulue yaitu menghadiri perkumpulan yang diadakan dua kali seminggu di sekretariat organisasi IPPEIMAS ( Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Simeulue ) yang di Jln. Gaharu. Selain itu juga menghadiri kegiatan organisasi IKASBARFAN ( Ikatan Pemuda Salang Simeulue Barat Alafan ) yang juga diadakan dua kali satu bulan di Jln Garu 2. Selain mendapatkan data tentang bahasa Sigulai , peneliti juga mendapatkan banyak manfaat dan merasakan kebahagiaan ketika bertemu dengan teman-teman yang ada di Kota Medan sehingga peneliti merasa lebih akrab dan merasa terbantu. Selain itu juga peneliti mendapatkan data peneliti mendatangi masyarakat Simeulue yang sudah menetap di Kota Medan di Kampung Lalang , Karang Sari , Jalan Halat , Simpang Limun , Ampalas , dan Brayan. Peneliti menggunakan bahasa Sigulai untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat Simeulue khususnya masyarakat Simeulue yang peneliti jumpai di tempat tinggalnya atau di tempat perkumpulan masyarakat Simeulue di sekretariat organisasi di Jln Gaharu dan di Garu 2. Dengan menggunakan bahasa Sigulai peneliti lebih mudah berkomunikasi dan lebih akrab dengan masyarakat Simeulue di Kota Medan. Dengan adanya penelitian ini peneliti merasa lebih mengenal dan dikenal yang memang sebelumnya peneliti belum
40
Universitas Sumatera Utara
pernah mendatangi dan mengobrol secara tatap muka langsung dan bercanda bersamabersama dengan mereka.
41
Universitas Sumatera Utara