BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi budidaya
laut yang sangat besar untuk dikembangkan, luas potensi budidaya laut diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan ± 1,10 juta Ha, diantaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut Eucheuma cottonii dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per Ha (BEI News, 2005; ADB, 2006 dalam Bank Indonesia 2006). Total produksi rumput laut nasional saat ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut data sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi rumput laut nasional pada tahun 2014 mencapai 10,2 juta ton atau meningkat lebih dari tiga kali lipat. Produksi rumput laut pada tahun 2010 hanya berkisar diangka 3,90 juta ton (Pusat Data Statistik dan Infromasi KKP, 2015). Pemerintah menargetkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2019 mencapai sekitar 31,32 juta ton atau meningkat hingga lebih dari 100 persen dari hasil produksi perikanan budidaya yang ada saat ini, yang terdiri atas 22,17 juta ton rumput laut dan 9,15 juta ton ikan (Winarto, 2015). Berdasarkan strategi rencana induk pembangunan industri nasional tahun 2015 ‒ 2035 terdapat 3 (tiga) tahap pembangunan industri rumput laut untuk jangka waktu 20 tahun kedepan. Tahap Pertama, pada periode tahun 2015 ‒ 2019 yang merupakan tahap awal, diarahkan pada peningkatan utilisasi dan penambahan investasi baru. Tahap
2
kedua, periode tahun 2020 ‒ 2024 bersama dengan industri pengolahan hasil laut lainnya diarahkan pada pengembangan pangan fungsional berbasis limbah industri hasil laut. Tahap ketiga, periode 2025 ‒ 2035 industri pengolahan rumput laut telah menjadi bagian dari industri pangan fungsional dan suplemen serta pure carrageenan beserta turunannya. Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 2007 telah mencanangkan bahwa “Sulawesi Tengah menjadi Provinsi Rumput Laut Tahun 2011”, melalui Program Gema Biru (Gerakan massal budidaya rumput laut). Pada tahun 2009, Sulawesi Tengah berada di urutan ketiga penghasil rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Produksi 2009 2.673,90 Ton Basah Share : 0,35%
Produksi 2009 143.754,70 Ton Basah Share : 18,96%
Produksi 2009 611.612,20 Ton Basah Share : 80,68%
Gambar 1.1. Grand Strategy Pengembangan Klaster Rumput Laut Menuju Provinsi Rumput Laut 2011 (Paliudju, H. B., 2011)
3
Strategi yang dilakukan untuk menjadi provinsi rumput laut selain membagi Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) klaster seperti pada Gambar 1.2, strategi lainnya adalah dengan memberikan dukungan anggaran yang berpihak pada sektor kelautan dan perikanan. Rumput laut juga menjadi salah satu industri unggulan Provinsi Sulawesi Tengah di dasarkan atas pertimbangan hasil analisa terhadap kondisi dan potensi ekonomi daerah antara lain sumbangan nilai rumput laut terhadap PDRB,
penyerapan tenaga
kerja, investasi dan potensi
pengembangan yang berkelanjutan terkait dengan industri inti, industri penunjang penunjang, dan industri terkait lainnya. Dan dalam rangka pengembangan industri unggulan daerah Provinsi Sulawesi Tengah maka disusun peta panduan (road map) tentang pengembangan industri unggulan pengolahan rumput laut yang di tetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 139/M-IND/PER/10/2009 seperti pada Gambar 1.3 dan secara rinci di jabarkan pada Tabel 1.1.
Gambar 1.2.
Peta Panduan Pengembangan Industri Unggulan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Komoditi Rumput Laut (Kementerian Perindustrian, 2010)
4
Tabel 1.1. Sasaran, Strategi dan Pokok-Pokok Rencana Tindak Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut Sebagai Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Tengah Industri Inti Industri Penunjang Industri Terkait Petani, Industri Mesin Makanan, Minuman dan Peralatan, Industri Kemasan, Farmasi dan Jasa Transportasi. Sasaran Jangka Menengah (Tahun 2010 - 2014) 1. Terjalinnya Kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi Pengolahan Rumput Laut
2. Meningkatnya kualitas rumput laut yang di hasilkan petani. 3. Mendirikan unit-unit percontohan pengolahan SRC di sentra penghasil rumput laut 4. Terjalinnya kemitraan antar petani dengan industri pengolahan rumput laut 5. Tumbuhnya industri pengolahan berbasis rumput laut 6. Tumbuhnya ekspor rumput laut olahan ke berbagai negara
Sasaran jangka Panjang (2015 - 2025) 1. Meningkatkan kerja sama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi 2. Berkembangnya IKM Pengolahan Rumput Laut 3. Meningkatnya ekspor rumput laut olahan ke berbagai negara
Strategi Diversifikasi produk rumput laut untuk komunitas IKM rumput laut Sektor
:
olahan, peningkatan R&D terhadap rumput laut untuk komunitas IKM maupun ekspor. Penguasaan teknologi proses pengolahan rumput laut dengan mutu
Teknologi :
tinggi, mendorong tumbuhnya modifikasi teknologi pengolahan rumput laut.
Pokok-Pokok Rencana Tindak Jangka Menengah (2010-2014) 1. Meningkatkan mutu rumput laut dan rumput laut olahan melalui : → Penerapan SNI → Peningkatan teknologi 2. Meningkatkan kerjasama dan kemitraan antara petani dengan pengusaha industri 3. Mendorong investasi Industri Pengolahan Rumput Laut melalui : → Promosi investasi → Menumbuhkan Unit Usaha Keragenan dan Rumput Laut Olahan → Menciptakan iklim usaha yang kondisif (insentif, perizinan, dan fiskal)
5
Lanjutan … 4. Meningkatkan kualitas SDM melalui diklat, magang dan lain-lain. 5. Meningkatkan koordinasi dengan stakeholder 6. Membangun fasilitas pengeringan rumput laut dan keragenan di sentra-sentra produksi. 7. Membangun kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut.
Pokok-Pokok Rencana Tindak Jangka Panjang (2015-2025) 1. Pengembangan infrastruktur yang mendukung pengembangan rumput laut 2. Mengembangkan industri berbasis rumput laut 3. Mengembangakan riset dan teknologi untuk industri rumput laut olahan.
Kabupaten Morowali terletak di pesisir teluk tolo adalah salah satu sentra produksi rumput laut di Sulawesi Tengah yang menjadi salah satu lokasi percontohan pengembangan kawasan minapolitan. Minapolitan merupakan integrasi konsep Revolusi Biru, yaitu perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke maritim dengan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka peningkatan produksi kelautan dan perikanan. Minapolitan
rumput
laut
dapat
didefinisikan
menjadi
suatu
kawasan
pengembangan ekonomi berbasis perikanan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta dan organisasi non pemerintah di suatu wilayah atau kawasan yang ditetapkan untuk mengembangkan bisnis rumput laut, untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja. Lokasi pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Morowali ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati nomor: 188.45/SK.0157/DKPD /III/2011 dan Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) berdasarkan Keputusan Bupati nomor: 188.45/SK.0158/DKPD/III/2011.
6
Berdasarkan masterplan pengembangan rumput laut di Sulawesi Tengah luas kesesuaian lahan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah seluas 2.169.691,830 Ha. Pada perairan pesisir Teluk Tolo, Kabupaten Morowali merupakan lokasi dengan luas kesesuaian lahan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii seluas 143.396,83 Ha, yang terdiri atas kategori sangat sesuai dengan luas 5.373,11 Ha dan kategori sesuai dengan luas 138.023,72 Ha. Daerah dengan luas kesesuaian lahan budidaya terbesar adalah kecamatan Bungku Selatan dengan luas 59.500,97 Ha, diikuti oleh kecamatan Menui Kepulauan dengan luas 50.511,09 Ha, kecamatan Bumi Raya dengan luas 13.037,68 Ha dan kecamatan Witaponda dengan luas 5.246,16 Ha, secara rinci di seperti yang di sajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Luas Wilayah Administrasi, Luas Lahan Budidaya, Kategori Lahan dan Luas Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali (DKP Sulteng, 2012)
No
1 2
Kecamatan
Luas Wilayah (Km2)
Menui Kepulauan
223,63
Bungku Selatan
403,90
Luas Lahan Budidaya (Ha) 50.511,09
Sangat Sesuai Sesuai
Luas Kesesuaian Lahan (Ha) 3.327,62 47.183,47
Sangat Sesuai
1.863,65
Sesuai
57.637,32
Kategori Lahan
59.500,97 3
Bungku Pesisir
867,29
4
Bahodopi
5
Bungku Tengah
725,57
6
Bungku Timur
387,23
7
Bungku Barat
758,93
1.080,98
4.162,84 Sesuai
4.162,84
6.633,34 Sesuai
6.633,34
4.304,75
Sangat Sesuai Sesuai
8
Bumi Raya
504,77
13.037,68
Sangat Sesuai Sesuai
3,16 4.301,59 60,38 12.977,30
7
Lanjutan ….. 9
Witaponda Jumlah
519,70 5.472,00
5.46,16
Sangat Sesuai Sesuai
143.396,83
118,30 5.127,86 143.396,83
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah dalam Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah, melakukan penentuan indeks dan status keberlanjutan pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah menggunakan pendekatan 5 (lima) dimensi yaitu dimensi ekologi/bahan baku, dimensi sosial budaya, dimensi ekonomi, dimensi teknologi/infrastruktur
dan
dimensi
kelembagaan/hukum.
Sedangkan
pembangunan rumput laut mengintegrasikan dari hulu sampai hilir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yaitu Zona 1 adalah Budidaya Rumput Laut, Zona 2 adalah Pascapanen dan Zona 3 adalah Industri Pengolahan. Kondisi keberlanjutan dan atribut penting berdasarkan setiap dimensi dan zona dari 9 kabupaten dan 1 kota di Sulawesi Tengah.
8
Tabel 1.3 Posisi Indeks Keberlanjutan Industri Rumput Laut Per Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah (DKP Sulteng, 2012) Zona 1 (Budidayaa)
Bahan Baku
Sosbud
Ekonomi
Teknologi/ Infrastruktur
Kelembagaan /Hukum
Bahan Baku
Sosbud
Ekonomi
Teknologi/ Infrastruktur
Kelembagaan /Hukum
16,69 53,16 33,79
7,89
22,03
51,41
57,16
62,14
36,85
47,40
67,13
63,78
34,39
78,76
85,02
2.
Donggala
46,56 50,09 51,67
26,54
29,01
29,76
63,08
62,14
47,39
47,39
36,29
56,81
34,39
72,25
37,10
3.
Parigi Moutong
54,97 49,49 51,84
26,54
41,30
56,56
54,46
53,77
56,82
49,79
42,13
52,99
55,75
73,98
51,90
4.
Tolitoli
46,56 50,09 31,37
26,54
30,35
29,76
58,76
50,23
25,55
24,53
36,29
48,51
34,39
38,71
34,02
5.
Buol
46,56 50,09 34,09
26,54
30,35
29,76
58,76
50,23
25,55
24,53
36,29
48,51
26,00
38,71
34,02
6.
Poso
33,92 47,08 40,19
19,12
26,30
29,76
48,76
43,79
11,63
29,76
42,13
52,99
32,15
58,19
41,49
7.
Tojo Una-Una
38,00 48,85 40,19
19,12
34,58
29,76
48,76
43,79
31,09
29,76
42,13
52,99
49,51
62,56
46,53
8.
Banggai
46,34 48,44 51,84
26,54
46,72
56,56
52,08
62,14
80,48
47,39
59,70
79,74
83,94
70,55
70,24
9.
Banggai Kepulauan
75,89
46,76 55,10
46,77
45,05
67,69
52,61
62,14
38,28
37,62
50,25
60,10 44,91
41,05
47,09
10.
Morowali
88,91 46,64 50,13
63,50
33,77
79,72
56,00
65,53
25,55
26,88
60,14
67,48
30,91
27,23
Ekonomi
Palu
Sosbud
1.
Ekologi
Kelembagaan /Hukum
Zona 3 (Industri Pengolahan Hasil)
Teknologi/ Infrastruktur
No. Kabupaten/Kota
Zona 2 (Pasca Panen)
36,47
Keterangan : = 75,00 – 100,00 = 50,00 – 74,99 = 00,00 – 49,99
: (Sangat Berkelanjutan) : (Cukup Berkelanjutan) : (Tidak Berkelanjutan) Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah
9
Pada Tabel 1.3, diantara 10 kabupaten/kota hanya kabupaten Morowali yang memiliki Zona 1 dan Zona 2 berwarna hijau pada dimensi ekologi dan bahan baku atau status sangat berkelanjutan. Pada Zona 1, faktor yang mendukung keberlanjutan dimensi ekologi meliputi kesesuaian lahan budidaya, potensi sumberdaya, pengaruh musim, ketetapan umur panen selama 45 hari, dan biota pengganggu. Sedangkan pada Zona 2, faktor yang mendukung keberlanjutan dimensi bahan baku meliputi keberadaan bantuan modal, ketepatan umur panen (45 hari) dan jaminan kualitas bahan baku, sehingga diharapkan kabupaten Morowali akan menjadi pusat pengembangan budidaya rumput laut dan juga terbuka kemungkinan untuk mengembangkan kegiatan pada Zona 3 dalam hal industri pengolahan rumput laut dan industri pengolahan hasil rumput laut serta perdagangan di Sulawesi Tengah. Pada Zona 3 faktor yang mendukung pengembangan industri rumput laut dengan status cukup berkelanjutan adalah dimensi bahan baku meliputi faktor dukungan memperoleh bahan baku dari kabupaten/kota sekitar, faktor kemudahan memperoleh bahan baku, dan faktor fluktuasi kualitas dan dimensi sosial budaya meliputi faktor toleransi masyarakat, faktor ketersediaan SDM lokal, dan faktor konflik sosial. Dimensi bahan baku dan sosial budaya pada Zona 3 di kabupaten Morowali dengan status cukup berkelanjutan sangat sesuai untuk mendukung pengembangan rumput laut sehingga diperlukan pengembangan sistem penguatan yang dapat menjadi indikator pengungkit dalam rangka kestabilan kualitas dan
10
ketersediaan bahan baku yang sesuai SNI baik untuk kebutuhan industri pengolahan (agroindustri keragenan) dan industri hilir. Kabupaten Morowali di tetapkan sebagai salah satu Kawasan Minapolitan Perikanan Budidaya berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI nomor: 35/KEPMEN-KP/2013. Berdasarkan data statistik perikanan budidaya Kabupaten Morowali, pada tahun 2011 pemanfatan lahan aktifitas budidaya rumput laut seluas 7.362 Ha atau meningkat sebesar 52,77 % dari tahun sebelumnya. Pada Tahun 2012, pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut mengalami penurunan sebesar 6,89 % atau menjadi 6.855 Ha. Pada Tahun 2013, pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut meningkat sebesar 15,65 % atau mencapai 7.928 Ha atau sebesar 5,98 % dari total kesesuaian lahan pengembangan rumput laut pada kawasan minapolitan. Dan pada tahun 2014 data sementara sampai pada Triwulan III, terjadi penurunan pemanfaatan kesesuaian lahan sebesar 83,80% di bandingkan dengan tahun sebelumnya dengan luas 1.284 Ha dengan produksi sebesar 1.570 ton basah. Perkembangan produksi dan kontribusi produksi rumput laut Kabupaten Morowali terhadap Sulteng dan nasional serta perkembangan kontribusi produksi rumput laut Sulteng terhadap nasional seperti yang di sajikan pada Tabel 1.4.
11
Tabel 1.4. Luas Pemanfataan Lahan Budidaya, Produksi, dan Produktifitas Rumput Laut Eucheuma cottoni Kabupaten Morowali, Produksi Rumput Laut Eucheuma cottoni Sulawesi Tengah dan Produksi Nasional Rumput Laut Tahun 2010 – 2014 (DKP Morowali, 2014; BPS Sulteng, 2014; KKP, 2013) No
Uraian
2010 2011 Luas Lahan 1 4.819 7.362 Budidaya (Ha) Perkembangan 2 Pemanfaatan 52,77 lahan %) Produksi 3 218.224,00 220.303,40 Morowali (Ton) Produksi Sulteng 4 758.141,88 791.268,10 (Ton) Produksi Nasional 5 3.373.703 4.958.809 (Ton) Share Produksi 6 28,78% 27,84% Terhadap Sulteng Share Produksi 7 6,47% 4,44% Nasional Keterangan : * : Data sementara sampai Triwulan III 2014 ** : Data Belum tersedia
Tahun 2012
2013
2014
6.855
7.928
1.284*
-6,89
15,65
- 83,80
235.651,10
397.616,50
1.570,00*
927.721,10
1.159.928,90
**
6.199.550
8.355.498
**
25,40%
34,28%
**
3,80%
4,76%
**
Belum diterapkannya standarisasi persyaratan teknis tentang produksi rumput laut cottonii (SNI 7579.2:2010), sebagai upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan mengingat proses produksi mempunyai pengaruh terhadap mutu rumput laut yang dihasilkan. Kualitas keragenan dipengaruhi oleh faktor-faktor pada saat budidaya, pemanenan, dan penanganan pascapanen serta metode ekstraksinya. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu keragenan adalah umur panen rumput laut yang berbeda-beda (Santoso, dkk., 2007). Pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum (Mukti, 1987).
12
Keragenan adalah senyawa hidrokoloid yang diekstraksi dari rumput laut merah jenis Eucheuma cottonii dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada temperatur tinggi. Keragenan di gunakan untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan berbentuk suspensi (dispersi padatan dalam cairan) dan emulsi (dispersi gas dalam cairan) dan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya karena bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya. Karena sifatnya yang hidrofilik maka penambahan keragenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinyu sehingga emulsi menjadi stabil. Keragenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan keragenan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan jenis polisakarida Rhodophyceae, polisakarida tersebut harus mengandung 20% sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai keragenan. Berat molekul karaginan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar 100 ‒ 800 ribu (Winarno, 1996). Permasalahan yang muncul dalam rantai pasok rumput laut Eucheuma cottoni adalah bagaimanapun kondisi atau mutu rumput laut yang dihasilkan petani, baik rumput laut yang dipanen tepat waktu dengan masa pemeliharaan 45 hari dan yang dipanen dengan masa pemeliharaan 40 hari atau bahkan kurang dari itu, pedagang pengumpul tetap membelinya dengan harga yang sama. Demikian juga dengan rumput laut yang kering yang dijemur menggunakan
13
para-para, pengeringannya lebih baik dan lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir dengan alas waring, tingkat harga yang sama. Oleh karena itu, petani rumput laut cenderung memanen lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang mendesak, sehingga petani tidak terlalu mementingkan masa pemeliharaan dan proses penjemuran sehingga produk yang dihasilkanpun bermutu rendah. Kondisi tersebut disebabkan karena petani rumput laut masih fokus pada rumput laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Padahal untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada kualitas keragenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini keragenan produksi Filipina dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan keragenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari Indonesia. Pelaksanaan
pembangunan
minapolitan
di
Kabupaten
Morowali
merupakan kerjasama antara pusat dan daerah yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Pemda Sulawesi Tengah yang menangani bidang terkait, Pemda Kabupaten Morowali yang menangani bidang terkait dan akademisi. Pihak akademisi melakukan studi potensi ruang ekologis dan penataan zonasi dan studi kelayakan usaha budidaya rumput laut. Pemberian fasilitasi sarana prasarana dilakukan oleh dinas Kelautan dan Perikan di sektor budidaya
14
kepada petani/kelompok tani. Bidang perindustrian memfasilitasi pengadaan unit pengolahan Alkali Treated Cottonii (ATC) kepada Koperasi Serba Usaha (KSU) Bumi Lestari sehingga dapat menyelesaikan permasalahan para anggota terkait dengan permodalan usaha budidaya rumput laut. Fakta di lapangan adalah bahwa fasilitasi unit pengolahan ATC belum termanfaatkan karena ketidaksiapan sumberdaya manusia terkait inovasi teknologi proses produksi rumput laut kering menjadi ATC. Pola perdagangan rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali adalah melalui pedagang/pengumpul ditingkat kecamatan. Oleh pedagang/pengumpul kemudian dilakukan proses pengeringan kembali dan pengemasan dengan menggunakan karung nilon atau goni. Pedagang/pengumpul ditingkat kecamatan kemudian mengirimkan rumput laut kering ke pedagang besar ditingkat kabupaten, selanjutnya oleh pedagang besar diteruskan ke pengusaha eksportir di Makassar dan Kendari. Oleh pengusaha eksportir, rumput laut kering kemudian di ekpor dengan negara tujuan ekspor Cina, Pilipina, Thailand, Hongkong & Eropa. Adapun model sistem eksisting industri rumput laut Euchuema cottonii di kabupaten Morowali, seperti yang di sajikan pada Gambar 1.3.
15
Gambar 1.3 Model Sistem Eksisting Industri Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali
16
Tersedianya data tentang volume dan nilai produksi rumput laut Eucheuma cottonii kering bisa menjadi salah satu tools untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul di setiap line process sistem industri rumput laut Eucheuma cottonii. Pada tahun 2014, tidak terdapat data perdagangan antar pulau komoditi rumput laut Euchuema cottonii yang berasal dari Kabupaten Morowali (Dinas Perindag Sulawesi Tengah). Kondisi perdagangan antar pulau komoditi rumput laut Sulawesi Tengah secara rinci seperti di sajikan pada Tabel 1.5. Tabel 1.5 Kondisi Perdagangan Antar Pulau Komoditi Rumput Laut Sulawesi Tengah Tahun 2012-2014 (Dinas Perindag Sulteng, 2014) No 1 2 3
Kabupaten Banggai Banggai Kepulauan Toli-toli Jumlah (Ton Kering)
2012 3,629 302 3,931
Tahun 2013 3,526 246 43 3,815
2014 95 95
Berdasarkan laporan realisasi APBD 2013 (BPS Kabupaten Morowali, 2014), untuk membiayai pembangunan pemerintah daerah menghabiskan anggaran sebesar Rp 678,80 milyar rupiah atau sebesar 77,41 % dari jumlah pendapatan daerah sebesar Rp 876,90 milyar rupiah. Kontribusi DAU terhadap realisasi APBD Kabupaten Morowali adalah sebesar Rp 512,85 milyar rupiah atau 75,55 % sedangkan PAD hanya menyumbang sebesar Rp 31,12 milyar rupiah atau 4,58 %, secara rinci seperti yang di sajikan pada Gambar 1.4.
17
Gambar 1.4 APBD Kabupaten Morowali Tahun 2013 (BPS Kabupaten Morowali, 2014)
Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral di tingkat pemerintah daerah serta tidak terjadinya hubungan sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam upaya pengembangan rumput laut berkelanjutan mulai pelaku utama, pelaku usaha, lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut dalam rangka pencapaian tujuan sasaran jangka panjang periode 2015‒2025 berdasarkan roadmap tentang pengembangan industri unggulan pengolahan rumput laut yaitu meningkatkan kerjasama antar wilayah penghasil rumput laut di Sulawesi, berkembanganya IKM pengolah rumput laut, dan meningkatkan ekspor rumput laut olahan ke berbagai Negara. 1.2
Perumusan Masalah Belum berjalannya fungsi pengawasan di sektor perdagangan, rendahnya
tingkat pemanfaatan kesesuaian lahan pengembangan rumput laut, tidak adanya jaminan kestabilan harga rumput laut kering, dan lemahnya dukungan kelembagaan tingkat petani menjadi kendala dalam rangka pengembangan rumput
18
laut yang berkelanjutan dan pengembangan industri unggulan yaitu industri pengolahan rumput laut yang berdaya saing. 1.3
Batasan Masalah Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1.
Penelitian ini dilakukan untuk komoditi rumput laut jenis Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali.
2.
Parameter yang ditinjau adalah aspek teknik budidaya, aspek teknik pemanenan, penanganan pascapanen dan kualitas rumput laut Eucheuma cottonii kering, aspek pemasaran dan pendapatan, dan aspek kelembangan.
3.
Kebijakan pemerintah daerah yang mendukung keberlanjutan program minapolitan dan pengembangan sistem penguatan industri rumput laut di kabupaten Morowali.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi permasalahan pada sistem eksisting yang terdapat pada industri rumput laut Euchuema cottonii di Kabupaten Morowali.
2.
Merancang model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali.
3.
Menguji model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Morowali.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
19
1.
Memperoleh model pengembangan sistem penguatan industri rumput laut Eucheuma cottonii di kabupaten Morowali.
2.
Menjadi
bahan
masukan
bagi
pemerintah
daerah
sebagai
acuan
keberlanjutan pelaksanaan program Minapolitan di kabupaten Morowali berdasarkan Masterplan Pengembangan Rumput Laut di Sulawesi Tengah. 3.
Untuk mendukung strategi pengembangan industri pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang ditetapkan dalam PERMENPERIN No. 139/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan Pengolahan Rumput Laut Sulawesi Tengah.
4.
Menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Morowali dalam rangka implementasi Sistem Resi Gudang.
5.
Dalam rangka mendukung dan berkontribusi terhadap pencapaian sasaran pengembangan wilayah tahun 2015-2019 yaitu percepatan pembangunan ekonomi nasional berbasis maritim (kelautan) dengan sasaran peningkatan produksi perikanan budidaya yaitu rumput laut sebesar 22,17 juta ton.
1.6
Keaslian Penelitian Penelitian tentang rumput laut Eucheuma cottonii telah banyak di
lakukan, dengan berbagai metode penelitian yang digunakan, seperti yang dilakukan Mustaman (2005) terhadap kajian pengembangan agroindustri rumput laut di Sulawesi Tenggara yang menyatakan bahwa pengembangkan agroindustri adalah upaya untuk meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan kesejahtaeraan petani rumput laut serta meningkatkan PAD.
20
Penelitian lain, tentang rumput laut juga di lakukan oleh Sulaeman (2006) dengan topik pengembangan agribisnis komoditi rumput laut melalui model klaster bisnis meyatakan bahwa agribisnis rumput laut (dari mulai budidaya sampai sampai industri tepung) merupakan usaha yang sangat menarik dan sangat prospektif baik dilihat dari kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Perancangan Klaster Aquabisnis Rumput Laut Euchuema cottonii di Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh Rahman (2009) menyatakan bahwa model klaster aquabisnis yang dirancang, dijalankan berdasarkan sistem kemitraan berbentuk Koperasi. Penelitian dengan topik prospek pengembangan rumput laut di kabupaten Morowali diteliti oleh Ya’la (2008) menyatakan bahwa (1) produksi rumput laut di kabupaten Morowali mencakup 3 (tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Bungku Selatan, Kecamatan Menui Kepulauan, dan Kecamatan Witaponda; (2) Jenis-jenis rumput laut yang bernilai ekonomis dan mempunyai peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Morowali adalah Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum (karaginofit), Gracillaria sp (agarofit ); dan (3) Pengusahaan rumput laut oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Morowali tergolong masih secara tradisional. Potensi rumput laut sangat berpeluang untuk dikembangkan (agroindustri), tetapi harus ada kolaborasi antara pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya perekonomian pedesaan akan membaik. Penelitian ini dilakukan untuk merancang sebuah model pengembangan terhadap sistem eksisting industri rumput laut Eucheuma Cottonii di Kabupaten
21
Morowali yang dapat menciptakan kestabilan harga rumput laut Eucheuma cottonii kering yang sesuai dengan kebutuhan industri hilir dan agroindustri keragenan dalam upaya pengembangan rumput laut yang berkelanjutan dan pengembangan industri unggulan yaitu industri pengolahan rumput laut yang berdaya saing serta penguatan dukungan kelembagaan di tingkat petani rumput laut.