PENDAHULUAN Latar Belakang Produk pangan di dalam kehidupan manusia merupakan hal terpenting dalam memenuhi kebutuhan gizi dan nutrien yang di perlukan oleh tubuh. Globalisasi telah menyentuh seluruh aspek kehidupan dan pangan menjadi salah satu produk yang tidak terbatas oleh wilayah. Pangan yang dapat dikonsumsi manusia dapat berasal dari berbagai kombinasi bahan pangan yang berasal dari pertanian, peternakan, dan perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan sehingga siap disajikan dan dikonsumsi. Produk pangan yang layak dan memenuhi syarat untuk di konsumsi adalah produk pangan yang sehat, bergizi, dan tidak beracun. Pola makan dan jenis makanan, dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya, latar belakang budaya, kebiasaan masyarakat, wilayah, dan agama. Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Pola makan masyarakat yang beragama Islam harus mentaati perintah agama yaitu mengkonsumsi makanan yang halal dan tidak makan barang yang haram, sehingga faktor kehalalan dari makanan yang dikonsumsi menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Pangan yang boleh dimakan atau halal jumlahnya sangat banyak dan beragam jenisnya. Pangan tersebut dapat berasal dari wilayah mana saja di dunia, sedangkan pangan yang dilarang atau haram jumlahnya sangat sedikit, salah satunya adalah diharamkannya babi untuk
1
dikonsumsi. Agama Islam adalah agama yang juga mengatur umatnya dalam perkara makanan, yaitu antara makanan yang boleh dimakan (halal) dan makanan yang dilarang dimakan (haram). Seluruh produk pangan yang mengandung unsur babi di dalamnnya diharamkan dalam Islam untuk dimakan. Bakso adalah makanan yang berasal dari daging yang paling populer di Indonesia. Saat ini banyak jenis produk daging yang umum dikonsumsi dan tersebar di seluruh negara tanpa batasan. Produk baru seperti nugget, sosis, burger, hot dog, bakso, dan lainnya, diterima secara luas oleh konsumen tanpa memandang jenis kelamin, etnis, dan usia. Pengolahan lebih lanjut daging telah memberikan keuntungan lebih ekonomis bagi produsen dan kenyamanan bagi konsumen. Bakso
banyak
dijual
di
masyarakat,
semua
kalangan
mengkonsumsi makanan bakso ini, mulai dari masyarakat menengah ke bawah sampai menengah ke atas. Bakso sangat digemari masyarakat Indonesia karena bahan utamanya adalah daging yang memiliki kandungan protein yang tinggi dengan rasanya yang enak dan harganya terjangkau. Bahan dasar pembuatan bakso yaitu daging, bumbu-bumbu, dan tepung, daging yang digunakan untuk membuat bakso biasanya adalah daging sapi, ayam atau babi, dengan bahan dasar tersebut maka bakso merupakan makanan yang bergizi. Bakso yang berada di pasar secara umum menggunakan daging sapi sebagai bahan utamanya, tetapi terdapat beberapa pedagang yang
2
mencampur daging sapi dengan daging babi atau daging bangkai dalam pembuatan
baksonya.
Pencampuran
tersebut
dilakukan
untuk
meningkatkan keuntungan karena daging babi maupun bangkai harganya lebih murah dibandingkan dengan daging sapi. Bakso yang tercampur daging babi menjadi haram dikonsumsi oleh orang yang beragama Islam. Permasalahan utama adalah tidak mudahnya mendeteksi unsur babi dalam produk pangan apakah mengandung unsur babi atau tidak, karena kontaminasinya dalam pangan tidak mudah dibedakan secara organoleptik dan fisik. Kemajuan teknologi telah memberikan solusi dalam mendeteksi kontaminasi bahan pangan, dan salah satunya adalah kontaminasi babi. Erwanto et al. (2011) melaporkan bahwa teknologi yang mendasarkan pada DNA mampu digunakan untuk mendeteksi keberadaan unsur babi dalam pangan. Menurut Pouli et al. (2007) teknologi tidak hanya diperlukan untuk sertifikasi status kehalalan produk namun juga menghindari pemalsuan dan sekaligus menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi suatu kasus yang memerlukan pembuktian ilmiah. Hasil
penelitian
sebelumnya
telah
mampu
membuktikan
kemampuan deteksi DNA melalui metode PCR-RFLP untuk mendeteksi kontaminasi babi pada produk pangan. Deteksi kontaminasi unsur babi sampai level 1% dapat dideteksi keberadaanya pada produk pangan yang dilakukan di laboratorium (Aida et al., 2005, Erwanto et al., 2011, dan Erwanto et al., 2012).
3
PCR-RFLP merupakan salah satu metode yang sesuai untuk identifikasi spesies spesifik pada produk olahan daging seperti bakso, sosis, nugget, kornet dan lain-lain. Identifikasi spesies menggunakan digesti enzim restriksi merupakan metode yang sederhana dengan pemilihan enzim restriksi yang tepat. Metode PCR-RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi daging babi yang dicampur dengan daging sapi untuk menentukan kehalalan suatu produk olahan daging seperti bakso (Haryati, 2010). Erwanto et al. (2011) juga melaporkan tentang kemampuan metode PCR-RFLP yang mampu mendeteksi daging babi dalam campuran dengan daging sapi dan ayam, dalam keadaan yang sudah dimasak menjadi produk. Metode PCR-RFLP diaplikasikan dengan menggunakan enzim BseDI sebagai enzim restriksi yang mampu memecah DNA cytochrome b yang berasal dari daging babi sehingga dapat digunakan sebagai dasar ada tidaknya unsur babi secara ilmiah. Penelitian skala laboratorium tersebut perlu dikaji aplikasinya dalam mendeteksi unsur babi melalui PCR-RFLP tersebut pada produk komersial di lapangan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengaplikasikan teknologi deteksi unsur babi melalui metode PCR-RFLP pada produk bakso komersil di lapangan, khususnya di wilayah kota Surabaya dan Yogyakarta. Wilayah tersebut dijadikan pengambilan sampel dikarenakan penduduknya mayoritas beragama Islam.
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya campuran daging babi pada bakso di Surabaya dan Yogyakarta dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dengan menggunakan enzim restriksi BseDI.
Manfaat Penelitian Manfaat yang di harapkan dari penelitian ini adalah tersediannya informasi kehalalan produk bakso di Yogyakarta dan Surabaya, serta diketahui kemampuan teknologi PCR-RFLP untuk mendeteksi kontaminasi daging babi pada produk olahan pangan khususnya bakso.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Daging dan Produk Daging Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging yag dapat dikonsumsi dapat berasal dari sapi, kerbau, babi, kuda, domba, kambing, unggas, ikan, dan organisme yang hidup di air atau di air dan di darat (Soeparno, 2009). Promosi makanan sehat dan halal secara global telah menciptakan permintaan yang lebih besar dari konsumen dan makanan eksportir untuk makanan lebih aman dan bersih. Hygiene dan sanitasi merupakan faktor utama yang terlibat ketika berbicara tentang keamanan pangan. Dengan demikian harus diperhatikan unsur-unsur keamanan pangan seperti penanganan, pengolahan, pengemasan dan penyimpanan makanan halal sangat penting. Konsep HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) telah diterapkan secara luas dan juga mencakup bahaya mikrobiologis. Kombinasi HACCP dan konsep produksi makanan secara halal, memastikan makanan yang dijual di pasaran tidak hanya aman, tapi bebas dari segala jejak melanggar hukum (Shaeda, 2009). Identifikasi
spesies
hewan
dalam
produk
makanan
adalah
isu penting yang harus diselesaikan dalam rangka untuk melindungi konsumen dari pemalsuan, maupun pengantian bahan pangan secara
6
ilegal, karena alasan ekonomi, agama dan kesehatan (Liyana et al., 2009). Haryati (2010), meneliti status kehalalan bakso yang ada di pasaran,
dari 16 sampel yang diambil terdapat 7 sampel bakso yang
mengandung daging babi. Bakso merupakan jenis makanan yang sangat populer di Indonesia, terutama di Jawa. Bakso dibuat dari campuran daging tidak kurang dari 50% dan pati atau tepung serealia, dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan. Umumnya bakso berbentuk bulat, namun saat ini bentuk bakso makin variatif, begitu pula rasanya. Umumnya bakso dibuat menggunakan daging ternak untuk mendapatkan produk yang kenyal dan kompak. Daging yang digunakan dapat berupa daging sapi, kerbau, kambing, domba, unggas. Pada prinsipnya, pembuatan bakso terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4) pemasakan. Bakso biasanya disajikan bersama mi atau bihun, sayuran, dan kuah. Bakso diperkenalkan ke Indonesia oleh perantau dari Cina (Anonim, 2009).
Kontaminasi Produk Olahan Daging Kekhawatiran terhadap keamanan pangan meningkat seiring dengan banyaknya ragam pasokan pangan dan terjadinya perubahan kebiasaan makan (food habit) akibat gaya hidup yang berubah. Seiring kemajuan zaman ke depan masyarakat cenderung lebih banyak
7
mengkonsumsi produk-produk hasil industri. Dalam proses pengolahan di industri hampir selalu ditambahkan bahan kimia yang disebut bahan tambahan pangan (food additives) yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas produk atau membantu pengolahan. Pada ranahnya sering juga ditemukan pelanggaran hukum seperti kecurangan atau pemalsuan dalam praktek perdagangan pangan. Faktor pemalsuan atau adulteration adalah pemalsuan atau pencampuran bahan pangan dengan bahan lain yang lebih rendah mutunya atau dengan bahan yang berbahaya, atau bahan yang dilarang digunakan. Adulteration dengan bahan yang lebih murah menarik bagi pengolah maupun pedagang pangan, baik industri kecil maupun besar. Demikian juga turunan-turunan produk babi tak jarang tercampur pada produk pangan (Santoso, 2009). Beberapa tahun terakhir masyarakat beragama Islam menjadi semakin khawatir tentang daging yang mereka makan. Produk label yang tepat sangat penting bagi konsumen untuk membuat informasi pilihan dan untuk memastikan produk perdagangan, terutama di pasar makanan halal. Secara
global
konsumen
muslim
prihatin
mengenai
sejumlah
permasalahan terkait daging dan produk daging seperti daging babi substitusi, penggunaan plasma darah, penggunaan bahan makanan yang dilarang, casing dari usus babi, dan non-halal metode pemotongan (Nakyinsige, 2012).
8
Jaminan Kehalalan dan Kesehatan Pangan Pangan menurut undang-undang no 18 tahun 2012, pasal 1 ayat 1, tentang pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian,
perkebunan,
kehutanan,
perikanan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun
peternakan,
tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman. Pelanggaran dalam perdagangan seperti produk pangan rusak atau busuk, kadaluwarsa, daging gelonggongan, ayam tiren (bangkai), daging sampah restoran, pemalsuan daging sapi dengan daging lain (daging babi) dan lain-lain. Kasus-kasus keracunan karena makanan (food poisoning) sangat sering terjadi di masyarakat, ini mengindikasikan bahwa kondisi keamanan pangan di masyarakat sangat memprihatinkan. Praktek pemalsuan
dalam
perdagangan
pangan
sangat
memprihatinkan,
merisaukan, dan membingungkan, karena hal ini tidak hanya menyangkut kualitas tetapi juga keamanan dan kehalalan pangan (Santoso, 2009). Allah SWT telah mengharamkan daging babi karena ilmu pengetahuan telah menyingkapkan bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang mematikan bagi manusia. Ilmu kedokteran sekarang mengakui bahwa makan daging babi itu sangat berbahaya untuk seluruh daerah, lebih-lebih di daerah panas. Ini diperoleh
9
berdasarkan penyelidikan ilmiah, bahwa makan daging babi itu salah satu sebab timbulnya cacing pita yang sangat berbahaya (Qardhawi, 2000). Menurut undang-undang no 18 Tahun 2012, pasal 1 ayat 5, Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Teknologi Deteksi Daging Babi Penelitian mengenai deteksi jenis daging dan produk olahan terus dikembangkan sebagai suatu usaha perlindungan terhadap konsumen. Suatu organisme hidup akan mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau asam nukleatnya. Oleh karena itu keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat atau penanda untuk menelusuri asal usul atau kekerabatan suatu spesies. Identifikasi suatu jenis daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan metode yang berdasarkan pemisahan fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi (single diffusion, double diffusion, ELISA = enzyme linked immunosorbent assay, RID = radial immunodiffusion, CIE = counter immunoelectrophoresis), komposisi asam lemak (chromatography gas dan high performance liquid chromatography) serta teknologi DNA (hibridasi DNA; PCR-RAPD : Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic; PCR-RFLP : Polymerase Chain
10
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism; PCR dengan primer spesifik) (Nuraini, 2004). Metode ELISA Identifikasi pada sampel daging relevan kepada konsumen karena beberapa alasan: (i) kemungkinan kerugian ekonomi dari penipuan, penggantian atau pemalsuan, (ii) persyaratan medis individu yang mungkin memiliki alergi makanan tertentu, dan (iii) alasan agama. Dengan demikian, dapat diandalkan dan sensitif alat analisis diperlukan untuk deteksi dan identifikasi bahan makanan hewan. DNA berbasis metode dan teknik ELISA yang paling banyak digunakan untuk identifikasi daging (Asensio et al., 2007). ELISA digunakan dalam tahun terakhir untuk mengidentifikasi daging dari spesies binatang yang berbeda. ELISA adalah teknik imunologi yang melibatkan enzim (protein yang mengkatalis reaksi biokimia) untuk mendeteksi adanya antibodi dan antigen dalam sampel. Uji yang dilakukan pada antibodi yang terdapat di otot dan protein hewani, serum atau termostabil protein. Metode ELISA dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, hasil kualitatif memberikan hasil positif atau negatif
pada
sampel.
Keterbatasan
ELISA
yaitu
metodologinya
menggunakan protein untuk dianalisis, sehingga protein tersebut sering terdenaturasi selama proses pengolahan makanan, akibatnya protein epitop tidak terdeteksi antibodinya (Asensio et al., 2007). Denaturasi
11
protein dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu oleh panas, pH, kimia, dan mekanik (Winarno, 1998). Prasyarat untuk ELISA adalah ketersediaan jumlah yang cukup untuk mendeteksi analisis antibodi. Antibodi poliklonal dan monoklonal (MAbs) dapat digunakan dalam metode ELISA untuk identifikasi komponen makanan. Antibodi poliklonal menawarkan sejumlah manfaat seperti pengakuan dari campuran epitop berbeda dari antigen, lebih toleransi
terhadap
perubahan
kecil
dalam
sifat
antigen,
seperti
polimerisasi atau sedikit denaturasi dan mereka adalah pilihan yang lebih disukai untuk deteksi denaturasi protein. Namun, memiliki keterbatasan seperti variabel afinitas, produksi terbatas dan persyaratan untuk pemurnian untuk menghilangkan cross-reactivity untuk identifikasi spesies tertentu (Harlow dan Lane, 1999). Elektroforesis SDS PAGE (Sodium, Dodecyl Sulfat Polyacrylamid Gel Electroforesis) Elektroforesis SDS PAGE (sodium dodecyl sulfat polyacrylamid gel electroforesis) merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya daging babi pada produk pangan. Metode elektroforesis didasarkan pada pemisahan protein yang terdapat di medan listrik setelah ekstraksi dari jaringan otot, kemudian ditempatkan pada media khusus. Pada awalnya, gel yang bekerja dan kemudian polyacrylamide dan agarose. Saat ini, pemisahan elektroforesis dapat dilakukan pada polyacrylamide gel (PAGE), pada polyacrylamide
12
gel mengandung agen mendenaturasikan sodium dodecyl sulfate) (SDSPAGE) atau isoelektrik (isoelectric focusing = IEF) yang fokus pada agar atau gel polyacrylamide (PAGIF) (Montowska dan Pospiech, 2007). Menurut Hermanto dan Dhien (2009) SDS PAGE digunakan untuk mengetahui perbedaan protein produk olahan (sosis) daging babi dan daging sapi. protein yang terdapat pada sosis diekstraksi. Protein yang terisolasi kemudian dikarakterisasi menggunakan SDS PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis) dengan metode standar. Karakterisasi profil protein dilakukan dengan menggunakan Mini protean gel elektroforesis kemudian di elektroforesis dan diketahui berat molekul masing-masing protein. Spesifitas pita protein pada produk olahan sosis (sapi dan babi) dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan pita protein yang spesifik pada kisaran 45,1 kDa untuk sosis sapi dan 69 kDa untuk sosis babi komersil. Penelitian Zelechowska et al. (2012) menggunakan SDS PAGE untuk menganalisis protein pada daging babi yang telah mengalami susut masak selama proses pemasakan. Hasil elektroforesis produk yang mengalami perubahan dikarenakan adanya enzim proteolitik selama proses pemasakan daging, yang dipartisi menjadi polypeptides dengan bobot molekul antara 60 dan 85 kDa.
13
Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Prinsip dasar PCR adalah proses denaturasi DNA pada suhu 94°C sampai 95°C. Proses annealing (proses penempelan primer) pada suhu antara 32°C terjadi pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Kemudian akan terjadi proses extension
yaitu suhu dinaikkan menjadi 72°C, maka primer dengan
bantuan enzim DNA polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan urutan DNA yang terbelah (Sulandari dan Zein, 2003). Polymerase chain reaction (PCR) merupakan langkah replikasi DNA. DNA Polymerase Singel stranded
digunakan sebagai template
sintesis DNA baru. Singel stranded DNA template didapat dengan proses pemanasan. DNA Polymerase membutuhkankan primer untuk memulai sintesis untaian ganda. Karena itu titik awal untuk sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan sebuah primer oligonucleotide sebagai template. Hal ini adalah sangat penting dari proses PCR bahwa DNA polymerase dapat diarahkan untuk mensintesis suatu wilayah tertentu dari DNA. PCR mampu menghasilkan banyak salinan urutan DNA tanpa beralih ke cloning (Watson et al., 1992). Ming
et
al.
(2011)
menggunakan
PCR
multiplex
untuk
mengidentifikasi sumber-sumber produk pangan. Produk pangan yang diidentifikasi adalah produk tanduk rusa yang sering dipalsukan dengan
14
menggunakan jaringan binatang lain. PCR assay untuk identifikasi spesies banyak digunakan dalam produk rusa. Primer dirancang dari wilayah ulangi tandem D-loop dan terpelihara wilayah 16S. Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena penipuan epidemi penggantian produk rusa, khususnya produk tanduk, penis, janin dan tendon. Oleh karena itu, PCR multiplex ini disediakan teknik yang berguna dan sensitif untuk mengidentifikasi sumber-sumber produk olahan. Identifikasi produk daging pada pangan olahan dapat dilakukan dengan primer spesifik sesuai dengan spesies hewan ternak. Primer didesain berdasarkan urutan DNA yang dilestarikan di mitokondria cytochrome b gen, dan reverse primers pada spesies tertentu sekuensi DNA untuk setiap spesies. PCR multiplex pada campuran daging sapi dan babi teramplifikasi membentuk 2 band dengan besaran 274 bp dan 398 bp (Matsunaga et al., 1999). Bai et al. (2008) menggunakan common primer
multiplex
PCR
(CP-M-PCR)
dalam
mendeteksi
dan
mengungkapkan panjang fragmen empat jenis daging (ayam, sapi, babi dan kuda). Panjang fragmen yang didapat secara berurutan daging ayam, sapi, babi dan kuda sebesar 239, 292, 412 dan 451 bp. Penggunaan CPM-PCR
diyakini
lebih
efisien
dalam
penggunaan
primer,
serta
meningkatkan sensitifitas primer sampai 100 kali dibandingkan dengan multiplex PCR.
15
Polymerase
Chain
Reaction-Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (PCR-RFLP) PCR-RFLP merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk identifikasi suatu spesies dalam produk olahan daging, seperti bakso,
sosis,
nugget,
kornet
dan
lain-lain.
Identifikasi
spesies
menggunakan digesti enzim restriksi merupakan metode yang sederhana dengan memilih enzim restriksi yang tepat. Metode PCR-RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi daging babi yang dicampur dengan daging sapi, untuk menentukan kehalalan suatu produk olahan daging (Haryati, 2010). Dalam mengidentifikasi suatu spesies, primer yang umum digunakan adalah primer universal dan spesies-spesific primer. Primer gen mitokondria cytochrome b didesain untuk dapat mengamplifikasi beberapa jenis hewan, meliputi mamalia, burung, amphibi, reptil, ikan, serangga dan laba-laba (Kocher et al., 1989). Mitokondria merupakan salah satu organela sel pada makhluk hidup, khususnya pada eukaryote dan merupakan organela di dalam sitoplasma yang berukuran kecil, memiliki lapisan dalam yang berlipat (internal layer) atau cristae dan memiliki ukuran yang sama seperti bakteri (Gardner et al., 1991). Cytochrome b adalah salah satu protein yang telah dikarakterisasi dengan baik, membentuk kompleks III sistem fosforilasi oksidatif mitokondria dan merupakan gen yang dikode oleh genom mitokondria. Gen cytochrome b mitokondria dapat digunakan untuk mempelajari
16
evolusi dan hubungan filogenetik berbagai hewan, seperti burung, mamalia, reptile, amfibi, ikan, dan beberapa invertebrata (Prusak et al., 2004). PCR-RFLP gen mitokondria cytochrome b merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk deteksi babi dalam daging olahan dalam produk-produk yang diperdagangkan, seperti sosis dan chicken nugget. Gen cytochrome b digunakan untuk kation amplifikasi dari PCR dan menghasilkan fragmen DNA sekitar 360 bp (Erwanto et al., 2011). Menurut Kocher (1989), optimalisasi proses PCR menghasilkan produk PCR dengan ukuran spesifik sesuai pasangan primer yang digunakan. Pasangan primer yang digunakan untuk mengidentifikasi daging babi adalah primer L14841 (5’-CCA TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AA-3’) dan primer H15149 (5’-GCC CCT CAG AAT GAT ATT TGT CCT CA-3’) pasangan primer ini menghasilkan amplikon sebesar 359 bp. Enzim restriksi endonuklease merupakan enzim yang mempunyai spesifitas karena hanya memotong DNA untai ganda yang mempunyai urutan nukleotida tertentu. Enzim endonuklease restriksi dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe I, tipe II, dan tipe III. Enzim restriksi tipe I memotong DNA secara acak dan jauh dari sekuen pengenalnya. Enzim restriksi tipe II memotong DNA dekat atau pada situs pengenalannya. Enzim restriksi tipe III merupakan enzim yang memotong di luar situs pengenalnya (Yuwono, 2005). Penelitian Erwanto et al. (2011) dalam proses PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi BseDI
17
untuk mengidentifikasi adanya
daging babi dalam daging olahan (sosis sapi dan chicken nugget), menunjukkan DNA mitokondria babi dipotong menjadi fragmen 131 dan 228 bp. PCR-RFLP dapat mengidentifikasi spesies menghasilkan hasil yang sangat jelas untuk identifikasi spesies babi. Teknik ini berpotensi dapat diandalkan untuk deteksi babi dalam produk olahan pangan yang berasal dari hewan, dimana DNA umumnya terdegradasi selama proses pengolahan. Analisis RFLP dengan menggunakan enzim restriksi BseDl untuk mengidentifikasi spesies daging dalam produk olahan pangan. Enzim BseDI dikenal sebagai isoschizomer dari BsaJI, BssECI, dan SecI. Enzim ini mengenali dan memotong DNA fragmen di urutan CCNNGG. Enzim restriksi BseDI dihasilkan dari bakteri Geobacillus Strearothermophilus (Fermentas AB), dengan RFLP enzim BseDl akan memotong basa yang dikenali dan menghasilkan fragment DNA dengan jumlah dan ukuran yang berbeda (Erwanto et al., 2011). Bakso yang tercampur daging babi akan menghasilkan 2 pita sebesar 131 bp dan 228 bp, sedangkan daging bakso yang tidak dicampur daging babi menghasilkan 1 pita dengan ukuran 359 bp (Haryati, 2010). Menurut Erwanto et al. (2009) penggunaan metode PCR-RFLP dengan enzim BseDI merupakan salah satu teknik yang akurat untuk mengetahui keberadaan daging babi.
18
Isolasi DNA DNA
merupakan
substansi
yang
sangat
penting
karena
menggandung struktur informasi turun-temurun yang menentukan struktur protein,
dan
DNA
merupakan
molekul
primer
kehidupan.
DNA
memberikan petunjuk langsung ke sel tumbuh dan pembelahan, serta pesan ke banyaknya sel-sel khusus yang diperlukan untuk keberhasilan fungsi tumbuhan tingkat tinggi dan hewan (Watson et al., 1992). Ekstraksi DNA dari organisme eukaryote (manusia, hewan, dan tumbuhan) dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), dan pengendapan DNA (precipitation of DNA) dan pemanenan. Berbagai teknik ekstraksi DNA telah dikembangkan dari prinsip dasar tersebut, sehingga saat ini telah muncul berbagai teknik ekstraksi dan purifikasi DNA. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya (Sulandari dan Zein, 2003). Secara kimiawi penghancuran sel dilakukan dengan memanfaatkan senyawa kimia seperti EDTA (ethyllenediamine tetraacetid), dan SDS (sodium dodecyl sulfate). EDTA berfungsi sebagai perusak sel dengan cara mengikat ion magnesium (ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel maupun mempertahankan aktivitas enzim nuclease yang merusak asam nukleat). SDS merupakan sejenis deterjen yang berfungsi merusak membran sel. Enzim proteinase K dapat digunakan untuk
19
menghancurkan protein. Kotoran akibat lisis sel dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Kemudian molekul nukleotida (DNA dan RNA) yang telah dipisahkan dibersihkan dari protein yang masih ada dengan menggunakan phenol. Chloroform digunakan untuk membersihkan sisa-sisa protein dan polisakarida dari larutan. Enzim RNAase berfungsi untuk menghancurkan RNA sehingga DNA dapat diisolasi secara utuh, pemurnian DNA dengan cara penambahan NaCl yang berfungsi untuk memekatkan, memisahkan DNA dari larutan dan mengendapkan DNA sewaktu dicampur dengan etanol (Sulandari dan Zein, 2003).
Pengukuran Konsentrasi Molekul DNA Ukuran molekul DNA teramat kecil sehingga tidak dapat dilihat kasat mata. Namun demikian ukuran panjang pendeknya, kuantitas, dan kualitas (tingkat kemurnian) molekul DNA dapat diketahui dengan pendugaan yang cukup akurat. Kuantitas dan kualitas DNA dapat di duga melalui spektofotometri sinar ultra violet, dengan alat yang disebut spektrofotometer. Kemurnian DNA ditentukan oleh tingkat kontaminasi protein dalam larutan. Kemurnian larutan DNA dapat dilihat dengan membagi nilai OD260 dengan OD280. Molekul DNA dikatakan murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,8 sampai 2 (Sulandari dan Zein, 2003).
20