1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Susu dan produk olahannya merupakan pangan asal hewan yang kaya akan zat gizi, seperti protein, lemak, laktosa, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang lengkap akan zat gizi tersebut menjadikan susu juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa mikrorganisme terutama yang bersifat patogen bagi manusia adalah Listeria monocytogenes, Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Clostridium batulinum, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Brucella spp., dan Campylobacter jejuni (Marth dan Steele, 2001; Adams dan Moss, 2008). Penyakit yang dapat ditularkan melalui susu dan produknya (milk borne diseases) telah dikenal sejak industri susu mulai ada. Salah satu penyakit yang disebarkan melalui susu adalah listeriosis. Penyakit ini disebabkan oleh L. monocytogenes. Rute infeksi yang paling umum terjadi pada manusia adalah melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi L. monocytogenes (Jay, 1996). Mikroorganisme ini telah ditemukan di dalam makanan yang berasal dari hewan maupun produk-produk susu seperti susu segar dan susu pasteurisasi serta keju yang telah dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis (Karpiskova, 1998; Adams dan Moss, 2008). Orang tua, wanita hamil atau orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
2
rendah, dianggap sebagai kelompok berisiko tinggi (Schlech, 2000). Angka kematian 50% dapat terjadi pada orang dewasa dengan kekebalan rendah, bayi yang baru lahir atau remaja. Sedangkan pada wanita hamil, dapat mengakibatkan aborsi dan kematian bayi saat dilahirkan dengan rata-rata tingkat kematian sebesar 80% (Lovett dan Twedt, 2004). Sementara orang sehat dan wanita tidak hamil jarang menunjukkan gejala klinis sebagai akibat dari paparan L. monocytogenes dari makanan (DG-SANCO, 1999). Gejala klinis yang ditimbulkan cukup beragam, dari yang sedang seperti mual, muntah, kram perut dan diare disertai dengan demam dan sakit kepala, hingga parah seperti meningitis, septikemia, aborsi dan pneumonia (Ray, 2001). Infeksi pada sistem syaraf dapat menimbulkan meningitis, ensefalitis dan abses dengan tingkat fatalitas hingga 70% (Lovett dan Twedt, 2004). Kasus kematian pada manusia akibat L. monocytogenes dilaporkan terjadi di beberapa negara Eropa, antara lain di Irlandia pada tahun 2000 ditemukan satu kasus kematian pada manusia karena meningitis. Kasus kematian akibat listeriosis pada manusia telah dilaporkan terjadi di Amerika Serikat sebanyak 425 kasus dari 1.850 kasus listeriosis (FSAI, 2005). Listeriosis bawaan-makanan, adalah penyakit yang relatif jarang terjadi, namun dampaknya serius dengan tingkat kematian yang tinggi (20-30%) dibandingkan dengan mikroba patogen bawaan-makanan lainnya, seperti Salmonella (FAO/WHO, 2004). Listeriosis memiliki implikasi ekonomi yang besar pada industri makanan di Amerika Serikat. Kerugian biaya tahunan terkait L. monocytogenes pada industri makanan sekitar US$ 1,2 milyar sampai US$ 2,4
3
milyar. Biaya kesehatan tahunan/kematian dini akibat listeriosis diperkirakan sekitar US$ 2,3 milyar setahun (Ivanek et al., 2004). Listeria monocytogenes di Indonesia ditetapkan sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) golongan II sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009, tanggal 9 September 2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa. Pemerintah Indonesia mensyaratkan agar beberapa bahan pangan yang dikonsumsi manusia, baik segar maupun yang telah diolah, termasuk susu dan produk olahannya, agar terbebas dari cemaran L. monocytogenes sesuai dengan SNI 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.06.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Literia monocytogenes termasuk kelompok bakteri psikrotrofik yang tumbuh pada kisaran suhu 1–44oC dengan pertumbuhan optimal pada suhu 35– 37oC (Ray, 2001). Menurut Fardiaz (1993) bakteri ini tidak mati oleh proses pasteurisasi. Namun, pada penelitian lain yang dilakukan oleh Bradshaw et al. (1985) dan Donnelly et al. (1987) dilaporkan bahwa bakteri ini mati pada proses pasterisasi. Penggunaan antibiotik pada ternak, khususnya sapi perah, tidak dapat dihindarkan, diperlukan untuk mengobati penyakit ternak yang disebabkan oleh bakteri, termasuk listeriosis. Pemberian antibiotik ini harus dilakukan secara benar untuk menghindari efek yang tidak diharapkan seperti resistensi bakteri terhadap
4
antibiotik. Listeria monocytogenes jarang mengembangkan resistensi terhadap antibiotik (Morvan et al., 2010). Beberapa penelitian telah dilaporkan adanya peningkatan tingkat resistensi L. monocytogenes isolat lingkungan terhadap satu atau beberapa antibiotik (Charpentier et al., 1995; Aureli, 2003; Conter, 2009) dan kurang sering terjadi pada strain klinis (Charpentier, 1999; Godreuil, 2003). Resistensi antibiotik pada bakteri telah dikaitkan dengan penggunaan antibiotik yang berlebihan pada hewan dan manusia (Davies, 1998; Rao, 1998). Resistensi tersebut dapat timbul dari mutasi pada gen kromosom intrinsik, atau dengan materi genetik eksogen perolehan pembawa satu atau beberapa penentu resistensi (Levy, 1994).
Perumusan Masalah Adanya beberapa laporan studi yang menyatakan bahwa L. monocytogenes masih ditemukan pada susu dan produk olahannya, menunjukkan bahwa pangan segar maupun yang telah diawetkan dengan bebagai perlakuan, seperti pemanasan, belum menjamin terbebasnya pangan tersebut dari cemaran L. monocytogenes. Oleh karena itu, pengujian susu segar, pasteurisasi, ultra high temperature (UHT), susu bubuk dan susu kental manis terhadap keberadaan L. monocytogenes, dirasa perlu untuk dilakukan. Adanya studi tentang L. monocytogenes yang resisten terhadap beberapa antibiotik, mendorong dilakukannya kajian resistensi bakteri yang telah diisolasi terhadap beberapa antibiotik. Penelitian tentang karakteristik L. monocytogenes di Indonesia, terkait resistensi terhadap beberapa antibiotik masih terbatas, sehingga
5
diharapkan penelitian ini dapat menjadi awal bagi penelitian selanjutnya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengarakterisasi dan mengetahui sifat resistensi antibiotik L. monocytogenes yang berasal dari sampel susu segar, pasteurisasi, UHT, susu bubuk dan susu kental manis di daerah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tentang gambaran cemaran dan karakter L. monocytogenes pada susu segar, pasteurisasi, UHT, susu bubuk dan susu kental manis di daerah Kabupaten Sleman sehingga dapat digunakan sebagai informasi awal bagi penelitian lebih lanjut mengenai L. monocytogenes. Bagi praktisi kesehatan hewan, dapat memberikan informasi tentang resistensi L. monocytogenes terhadap antibiotik, sehingga untuk mengontrol bakteri tersebut dapat diberikan terapi antibiotika yang tepat.
Keaslian Penelitian Penelitian terkait L. monocytogenes telah dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Berikut persamaan dan perbedaan penelitian saat ini dengan penelitian terdahulu, diantaranya : Ekandari (2009) melakukan kajian tingkat keamanan susu ultra high temperature (UHT) impor terhadap L. monocytogenes. Hasil penelitian menunjukkan dari 30 sampel yang diperoleh, tidak ditemukan adanya cemaran L. monocytogenes.
6
Haryanto (2009) telah melakukan kajian tingkat keamanan keju impor ditinjau dari pencemaran L. monocytogenes. Hasil penelitian menunjukkan dari 30 sampel, diperoleh empat sampel (13,33%) positif L. monocytogenes. Kibuuka (2009) yang melakukan deteksi L. monocytogenes pada susu pasteurisasi di kota Bogor dan hubungannya dengan kesehatan manusia. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua cara, yaitu metode kualitatif untuk mendeteksi kehadiran L. monocytogenes dalam susu pasturisasi yang dijual di supermarket dengan hasil negatif dan metode kuantitatif untuk melihat gambaran pertumbuhan L. monocytogenes yang ditumbuhkan dalam susu steril dan disimpan pada suhu rendah (4oC) selama 7 hari dengan hasil positif. Jamali dan Radmehr (2013) melakukan penelitian frekuensi, gen virulensi dan resistensi antibiotika dari Listeria spp. yang diisolasi dari sapi menderita mastitis klinis pada peternakan sapi perah di Iran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Listeria spp. dideteksi pada 21 dari 207 sampel susu mastitis, terdiri dari L. monocytogenes (n = 17), L. innocua (n =3) dan L. ivanovii (n = 1). Isolat L. monocytogenes terdiri dari serogrup 4b, 4d, 4e, 1/2a, 3a, 1/2b, 3b, 7’ dan 1/2c, 3c. Listeria spp. kebanyakan resisten terhadap penicillin G (14/21 isolat, 66.7%) dan tetrasiklin (11/21 isolat, 52.4%). AL-Ashmawy et al. (2014) melakukan deteksi dan uji resistensi antibiotik pada L. monocytogenes yang diisolasi dari susu dan keju lunak serta hubungannya dengan penyakit zoonosis. Hasil penelitian menunjukkan pada uji kimia konvensional diperoleh 36% produk susu positif L. monocytogenes, hanya 14% produk ini yang positif L. monocytogenes menggunakan metode PCR.
7
Pazra et al. (2014) melakukan deteksi keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan keberadaan L. monocytogenes pada 15 sampel keju Gouda produksi lokal (0%) dan 15 sampel keju Gouda impor (0%).