PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini, produksi susu di Indonesia masih sangat rendah baru mencapai 30% dari kebutuhan permintaan efektif. Produksi susu segar dari tahun ketahun mengalami kenaikan. Walaupun begitu, kenaikan ini masih jauh untuk memenuhi tercukupinya kebutuhan susu dalam negeri (Anonim, 2011). Produksi susu Nusantara sebesar 647.000 ton tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsi susu Nusantara pada tahun 2008. Jumlah tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu Nusantara sebesar 23,45% atau sebanyak 2,19 kg per kapita setiap tahun atau 6,01 gram per kapita setiap hari. Kebutuhan sisanya dipenuhi dari impor sebanyak 76,55% dari total konsumsi susu. Tahun 2010 produksi susu dalam negeri baru dapat memasok 30% dari permintaan Nasional, sisanya 70% berasal dari impor (Anonim, 2011). Tahun 2012 produksi susu di Indonesia mencapai 1.208.000 ton, masih sangat jauh dari permintaan terhadap susu yang mencapai angka 3.120.000 ton. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa potensi pengembangan susu masih harus digali dan digalakkan (Suhendra, 2012). Saat ini Indonesia berada pada posisi sebagai net-consumer dalam peta
perdagangan
internasional
produk-produk
susu.
Industri 1
2
pengolahan susu Nusantara masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Jika kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis yang berbasis peternakan, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi (Anonim, 2011). Produktivitas yang masih rendah tersebut dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama yang berkaitan dengan manajemen reproduksi. Penampilan reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi (Putro, 2009). Efisiensi reproduksi adalah suatu ukuran keberhasilan reproduksi sekelompok ternak sapi betina pada perkawinan atau IB pertama (Feradis, 2010). Service per conception adalah jumlah perkawinan yang diperlukan sampai terjadinya kebuntingan. Semakin rendah nilai service per conception, maka semakin efisien sistem perkawinan (Sulaksono dkk., 2012). Hasil survei Sulastri dan Maharjan (2005) menunjukkan bahwa rata-rata nilai service per conception di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3,5 dan calving interval rata-rata 17,3 bulan. Menurut Atabany dkk (2001), nilai service per conception normal berkisar antara 1,0 sampai dengan 2,0 sedangkan menurut Achjadi (2007) nilai service per conception optimal berkisar antara 1,1 sampai dengan 1,3. Ball dan Peters (2004) menambahkan bahwa efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun. Jarak waktu
3
beranak (calving interval) yang ideal menurut pendapat Hadi dan Ilham (2002) adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Salah satu sebab rendahnya efisiensi reproduksi pada ternak adalah karena masih adanya gangguan reproduksi yang disebabkan infeksi bakteri (Ratnasari dan Chusniati, 2000). Uterus yang normal memiliki kondisi steril selama kebuntingan normal dan partus. Kemudian pada saat partus atau setelah itu, lumen uterus terkontaminasi mikroorganisme dari lingkungan, hewan, kulit dan feses melalui relaksasi peritoneum, vulva dan dilatasi servik. Uterus pada masa postpartum merupakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan bakteri karena memiliki kondisi yang hangat, berisi cairan, dan mengandung sejumlah debris nekrosis (Palmer, 2003). Gani dkk (2008) menemukan keberadaan bakteri dalam uterus sebanyak 62,2% pada sapi yang mengalami kawin berulang dan 28,6% pada sapi fertil normal. Penelitian Azizunnesa dkk (2011) menunjukkan hasil bahwa infeksi uterus ditemukan pada sapi yang diinseminasi buatan (52%) dan sapi yang kawin alami (21,21%). Beragam bakteri telah dikultur dari uterus masa postpartum sapi yaitu Escherichia coli, Pasteurella sp., Arcanobacter pyogenes, Haemophilus somnus, Fusobacterium necrophorum, Pseudomonas aeruginosa, Bacteroides sp., Clostridium sp., Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Manheimia hemolytica (Palmer, 2003). Galvao (2012) menyebutkan bahwa Streptococcus sp.,
4
Staphylococcus sp., dan Bacillus sp. ditemukan pada uterus sapi yang sehat pada 10 hari pertama post partus. Menurut Noakes dkk (2001) uterus pada kondisi normal mempunyai beberapa mekanisme pencegahan terhadap patogen oportunistik dari saluran reproduksi. Mekanisme pertama adalah barier fisik yang berupa sphincter vulva dan servik. Sphincter tersebut dapat melindungi saluran reproduksi dari kontaminasi feses yang dikeluarkan oleh saluran pencernaan. Mekanisme kedua adalah pertahanan secara lokal dan sistemik di uterus. Kedua mekanisme pertahanan tersebut sangat dipengaruhi oleh hormon steroid reproduksi (estrogen dan progesteron). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui jenisjenis bakteri yang terkandung pada uterus sapi perah yang mempunyai sejarah perkawinan normal.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri pada uterus sapi perah yang mempunyai sejarah perkawinan normal.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui jenis bakteri yang terkandung dalam uterus sapi perah normal. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai sumber acuan penggunaan antibiotika, sehingga
5
tindakan dan terapi yang dilakukan tepat sasaran. Hal ini akan meningkatkan efisiensi reproduksi dan produktifitas sapi perah sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup peternak.