PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu berakhir dengan kematian (Yang et al., 2013) atau dengan kata lain case fatality rate mendekati 100% (Kuzmina et al., 2013). Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies (Sudarshan et al., 2013), genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae (Boldbaatar et al., 2010; Nguyen et al., 2011; Muleya et al., 2012). Rabies telah dikenal lama oleh masyarakat dan telah tersebar luas di beberapa negara di dunia. Kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun (Knobel et al., 2005). Menurut Herget and Nel (2013), perspektif yang terbangun dari tingginya kematian akibat rabies pada manusia di Afrika adalah terkait dengan kemiskinan. Keberadaan rabies di Indonesia menimbulkan masalah utama dari aspek kesehatan masyarakat dengan kematian yang dilaporkan rata-rata 125 orang per tahun (Sedyaningsih, 2011). Rabies dikelompokkan ke dalam penyakit hewan strategis dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasannya. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan
ini
memiliki
kecenderungan
semakin
cepat
menyebar
ke
pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas seperti ke Pulau Flores 1
2
(1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), Pulau Nias (2010), Pulau Larat (2010), dan Pulau Dawera (2012). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso, 2007; Mailles et al., 2011; Peraita et al., 2012). Provinsi Bali secara historis dikenal sebagai kawasan yang bebas rabies. Kasus rabies di Bali hasil konfirmasi laboratorium pertama kali dilaporkan terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada November 2008. Penelusuran kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan didiagnosis suspect rabies paling awal terjadi pada tanggal 10 Juni 2008. Mempertimbangkan masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 2 bulan, maka diperkirakan anjing yang menderita rabies dalam masa inkubasi masuk ke Semenanjung Bukit sekitar bulan April 2008, yang kemungkinan diakibatkan oleh kegiatan manusia (Putra dkk., 2009a). Rabies dalam kurun waktu 19 bulan sejak dilaporkan secara resmi, menyebar ke seluruh kabupaten dan kota di Bali sampai ke Pulau Nusa Penida. Sumber virus yang menyebar di Bali belum dapat ditetapkan secara pasti hingga saat ini. Sumber virus kemungkinan berasal dari wilayah-wilayah endemik rabies di Indonesia (Mahardika dkk., 2009). Penelitian berbasis molekuler untuk mengetahui variasi genetik, hubungan kekerabatan virus rabies dan kajian
3
lapangan untuk penelusuran lalu lintas hewan penular rabies (HPR) khususnya anjing yang masuk ke Bali perlu dilakukan. Sejak Bali dinyatakan tertular, upaya-upaya pemberantasan rabies pada hewan telah dilakukan oleh pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat dengan mengimplementasikan prosedur Kesiagaan Darurat Veteriner Rabies Indonesia (Kiatvetindo Rabies). Prinsip utama dalam memutus mata rantai penularan rabies adalah dengan melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan secara massal, serentak dan terintegrasi. Program yang dilaksanakan tersebut adalah vaksinasi, eliminasi selektif, surveilans, pengawasan lalu lintas HPR, dan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat. Teknis pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan rabies secara operasional dari hari ke hari di lapangan menggunakan pendekatan sistem pengendalian wabah (Incident Control System) (Putra dkk., 2008). Selama lebih dari tiga tahun program pemberantasan, upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal. Kasus rabies pada hewan di Bali sampai saat ini tetap ada setiap bulan. Bahkan, Dibia dkk. (2013) menyatakan status bebas rabies untuk Provinsi Bali belum dapat dicapai hingga 2015. Hewan yang ditemukan tertular rabies dan telah dikonfirmasi secara laboratorium adalah anjing, kucing, babi, kambing, dan sapi. Data epidemiologi sampai dengan Desember 2012 menunjukkan bahwa dari 5.304 sampel otak hewan yang dikonfirmasi di Balai Besar Veteriner Denpasar, 672 diantaranya positif rabies (Supartika dkk., 2013). Menurut Susilawathi et al., (2012), rabies telah muncul sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Bali. Putra (2012c) melaporkan bahwa sampai dengan November
4
2012, kasus rabies ditemukan di 315 desa dari 723 desa di Bali dengan korban meninggal terkait gigitan anjing dan diduga kuat akibat rabies adalah 145 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, sehingga faktor-faktor risiko yang berasosiasi terhadap kejadian rabies pada hewan di Bali perlu diteliti. Hewan utama yang bertindak sebagai penular rabies ke manusia maupun hewan lain di Bali adalah anjing. Hasil surveilans Putra dkk. (2009b) menunjukkan bahwa capaian cakupan vaksinasi sekitar 45% pada anjing di Semenanjung Bukit belum mampu memutus siklus penularan rabies dan risiko menyebarnya penyakit keluar dari daerah tertular masih ada. Hasil kajian serupa di Pulau Flores menunjukkan bahwa realisasi vaksinasi dan eliminasi selektif masing-masing 55,4% dan 6,3% dari populasi anjing dengan antibodi protektif sebesar 64,9% juga belum mampu memutus siklus penularan rabies (Dibia, 2007). Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui epidemiologi rabies di Provinsi Bali dengan 1) menyidik faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian kasus rabies pada anjing, 2) menemukan penanda molekuler virus rabies isolat Bali, 3) menentukan hubungan kekerabatan antara isolat-isolat virus rabies Bali dengan virus-virus rabies di Indonesia dan di beberapa negara di dunia berdasarkan sekuen fragmen gen penyandi nukleoprotein virus rabies, dan 4) mengidentifikasi jalur penularan rabies melalui penelusuran lalu lintas hewan penular rabies yang masuk ke Bali.
5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah mengenai epidemiologi rabies di Bali. Pengetahuan faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian rabies pada anjing di Bali diperlukan untuk mempercepat pemberantasan rabies. Faktor risiko yang berasosiasi secara signifikan dengan kasus rabies dan model infeksi yang didapat sangat membantu dalam membuat skala prioritas kegiatan pengendalian dan strategi pemberantasan rabies yang sedang dilaksanakan di Bali. Berhasilnya pengendalian rabies pada anjing di Bali memberikan dampak positif terhadap penurunan kasus rabies pada manusia. Berdasarkan pendekatan molekuler dapat dideteksi asam amino spesifik sebagai penanda molekuler yang dimiliki oleh virus rabies Bali sehingga dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi. Penanda molekuler virus rabies Bali dapat digunakan dalam merancang oligonukleotida primer spesifik untuk pengembangan metode uji dalam melacak penyebarannya. Informasi berbasis molekuler sangat bermanfaat dalam pelacakan sumber wabah rabies di Bali. Berdasarkan informasi tersebut dapat dipahami dinamika virus dan hubungan kekerabatan dengan berbagai virus lain yang ada di GenBank dan dapat memperkuat upaya untuk memutus rantai penyebaran rabies dimasa yang akan datang. Data genetik virus rabies asal Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Flores yang diisolasi antara tahun 2008 sampai 2010 dapat menjadi informasi genetik virus rabies Indonesia yang terkini. Informasi genetik ini sangat bermanfaat dalam merekonstruksi hubungan kekerabatan diantara virus-virus
6
rabies yang ada di Indonesia sehingga dapat digunakan untuk menyidik asal virus rabies yang menyebar di Bali lebih akurat. Penelusuran lalu lintas hewan penular rabies (anjing) dapat memberikan gambaran asal HPR yang masuk ke Bali dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan sumber penularan virus yang menyebar di Bali. Pemahaman sumber penularan sangat bermanfaat dalam rangka penanganan rabies yang lebih holistik. Keaslian Penelitian Penelusuran artikel hasil kajian kasus kontrol rabies pada anjing di daerah endemis di berbagai negara tidak ditemukan. Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat pernah dilakukan oleh Kamil dkk. (2004). Wattimena dan Suharyo (2010) hanya mengkaji hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku pemeliharaan anjing terhadap kejadian rabies di Ambon. Faktor-faktor yang berasosiasi dengan pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing bertuan di Kota Makassar telah dikaji oleh Utami (2009). Kajian kasus kontrol dengan mengkaji faktor-faktor yang diduga berasosiasi terhadap kejadian rabies pada anjing di Bali yang meliputi sistem pemeliharaan anjing (jumlah anjing yang dipelihara, pengandangan/pengikatan anjing, memelihara hewan penular rabies (HPR) selain anjing, pemeriksaan kesehatan anjing, kontak dengan anjing lain, status vaksinasi rabies, kondisi fisik anjing, dan anjing diberi makan oleh pemilik), mobilitas anjing (cara memperoleh anjing, asal anjing, dan anjing pernah dibawa keluar desa), pemahaman terhadap bahaya rabies (mengikuti
7
penyuluhan rabies dan pengetahuan bahaya rabies), tingkat pendidikan dan pendapatan pemilik anjing belum pernah dilakukan. Kajian ini diharapkan dapat mengungkap asosiasi dan kekuatan masing-masing faktor risiko terhadap kejadian rabies di Bali. Model yang didapat akan sangat membantu dalam membuat skala prioritas kegiatan pengendalian dan mengoptimalkan pemberantasan rabies yang sedang dilaksanakan. Kajian molekuler pada penelitian ini dilakukan melalui tahapan pengujian sampel otak dengan FAT, isolasi RNA virus, RT-PCR, dan sekuensing. Analisis molekuler
fragmen
gen
dilakukan
dengan
pendekatan
bioinformatika
menggunakan program MEGA 4.0. untuk mengetahui variasi genetik, asam amino spesifik sebagai penanda molekuler, jarak genetik dan hubungan kekerabatan masing-masing isolat virus rabies. Kajian tentang variasi genetik dan epidemiologi molekuler rabies di beberapa negara telah banyak dilakukan, diantaranya di Afrika (Talbi et al., 2009), Uni Soviet (Kuzmin et al., 2004), Colombia (Hughes et al., 2004), Irak (Horton et al., 2013), Philipina (Saito et al., 2013), Namibia (Scott et al., 2013), Bangkok (Khawplod et al., 2006), China (Zhang et al., 2006; Yu et al., 2012), Korea (Yang et al., 2011), dan Amerika (Kuzmina et al., 2013). Penelitian tentang penanda molekuler gen penyandi nukleoprotein isolat virus rabies Bali hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Karakterisasi gen penyandi nukleoprotein virus rabies sangat diperlukan untuk memperkaya informasi penyakit berbasis molekuler. Penanda molekuler isolat virus rabies Bali hasil penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang pertama kalinya untuk virus-
8
virus rabies di Indonesia dan merupakan sumbangan informasi baru bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Sebelumnya, kajian epidemiologi molekuler virus rabies di Indonesia telah dilakukan oleh Susetya et al. (2008) menggunakan isolat-isolat virus rabies yang dikoleksi tahun 1997 sampai 2002 dari beberapa daerah endemis rabies di Indonesia. Kajian epidemiologi molekuler yang didukung dengan kajian lapangan terkait lalu lintas HPR, untuk mengungkap asal mula virus rabies yang menyebar di Bali belum pernah dilakukan. Pengungkapan hubungan kekerabatan virus rabies Bali dengan virus-virus rabies dari beberapa daerah endemis rabies di Indonesia yang diisolasi tahun 2008 sampai dengan 2010 akan menjadi data dasar yang sangat bermanfaat untuk kajian-kajian molekuler virus rabies selanjutnya.