PENDAHULUAN
Latar Belakang Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Seseorang pada umur produktif, susu dapat membantu pertumbuhan, sementara untuk orang lanjut usia, susu dapat membantu menopang tulang supaya tidak keropos. Susu secara alami mengandung nutrisi penting, seperti bermacam–macam lemak, vitamin, protein, kalsium, magnesium, fosfor, zinc, serta mineral lainnya (Widodo, 2003). Dengan demikian, susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan manusia. Kelenjar susu merupakan unsur pokok pada ambing sebagai penghasil susu. Kelenjar susu memiliki beberapa bagian antara lain alveoli, saluran susu besar (mammary ducts), rongga ambing (gland cistern), dan rongga puting (teat cistern). Rongga puting berfungsi sebagai penampung susu yang paling akhir. Ujung rongga bawah puting terdapat lubang (streak canal) dan dilindungi oleh sebuah cincin atau urat daging (sphincter) untuk menjaga supaya susu tidak mudah keluar. Pada streak canal terdapat semacam lemak yang dihasilkan oleh sel-sel pada dinding saluran, yang berfungsi menahan masuknya bakteri ke dalam puting dan dapat larut saat pemerahan (Soetarno, 2003).
1
Subronto (2003) menyatakan bahwa tingkat pertahanan kelenjar susu mencapai titik terendah pada saat sesudah pemerahan, pada saat sphincter puting masih terbuka untuk beberapa saat. Susu pancaran pertama mengandung 250 sampai 500.000 sel darah putih, dan susu biasa mengandung 0 sampai 200.000 sel tiap mililiternya. Apabila fagositosis tidak berhasil menghentikan infeksi kuman maka akan terjadi proses radang, yang segera akan diikuti dengan mobilisasi sel darah putih meningkat. Kondisi peternakan di Indonesia yang mayoritas peternak rakyat masih
kurang
memperhatikan
aspek
sanitasi
lingkungan
seperti
kebersihan kandang, peralatan, pekerja serta kurangnya pengetahuan tentang pemerahan yang baik. Kondisi sanitasi yang kurang baik memungkinkan terjadinya infeksi kelenjar susu setiap saat. Bakteri patogen akan menginfeksi kelenjar susu sehingga sapi terkena penyakit mastitis. Supar (1997) menemukan dalam penelitian yang dilakukan di beberapa tempat peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta banyaknya sapi yang terkena mastitis subklinis berkisar antara 37 sampai 67%, dan mastitis klinis antara 5 sampai 30%. Mastitis merupakan peradangan pada ambing yang disebabkan oleh mikroorganisme dan mudah menular pada ternak sapi yang sehat. Mastitis ini terjadi akibat adanya luka pada puting ataupun jaringan ambing, sehingga terjadi kontaminasi mikroorganisme melalui puting yang
2
luka.
Mastitis subklinis disebabkan
oleh
mikroorganisme
patogen
diantaranya Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Klebsiella spp, Escherichia coli, dan Corynebacterium bovis (Supar, 1997). Cemaran mikrobia pada susu bisa dicegah dengan prosedur pemerahan yang baik. Prosedur pemerahan yang baik diantaranya dengan pembersihan ambing dan puting sapi terlebih dahulu, buang tiga pancaran susu, kemudian dilakukan
pre dipping dengan larutan
antibakteri, puting dikeringkan selanjutnya dilakukan pemerahan. Yuliana et al. (2013) melaporkan bahwa susu yang diperoleh dari prosedur pemerahan seperti pembersihan ambing dan puting dengan air lalu susu dipancarkan dari puting kemudian susu ditampung dalam strip cup, dilakukan pre dipping, ambing dan puting dikeringkan kemudian diperah mempunyai kandungan mikrobia lebih rendah dibandingkan dengan prosedur pemerahan yang tidak dilakukan pre dipping dan hanya dibasuh dengan air. Fungsi antibakteri ini untuk meminimalkan masuknya bakteri dalam puting, pada perlakuan ini pembasuhan ambing dilakukan setelah pemancaran, karena kemungkinan terdapat bakteri dalam air yang ikut masuk dalam susu, selain itu hal ini juga bisa disebabkan dari alat pemerahan yang tercemar oleh bakteri, pencucian tangan pemerah juga bisa menjadi sebab banyaknya jumlah mikrobia dalam susu. Larutan celup puting komersial yang biasa digunakan adalah klor dan iodin. Kedua larutan tersebut signifikan menurunkan angka infeksi ambing yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus
3
dan
Streptococcus agalactiae (Schmidt et al., 1984). Pendapat ini diperjelas dalam penelitian Boodie et al. (2000), yang menjelaskan bahwa larutan celup puting chlorine dioxide yang terdiri dari 0,7% sodium chlorite dapat menurunkan angka infeksi ambing yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus
sebesar 86,6% sedangkan pada bakteri
Streptococcus agalactiae sebesar 88,4%. Larutan celup puting 0,5% iodophor dapat menurunkan angka infeksi ambing yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus sebesar 92,9% sedangkan pada bakteri Streptococcus agalactiae sebesar 43,4%. Pemberian antibakteri dapat menimbulkan pengaruh tidak baik bagi kesehatan konsumen jika terjadi pemakaian berulang. Iodine merupakan larutan antibakteri yang sering digunakan untuk celup puting. Telah ditemukan peningkatan residu iodine yang signifikan di dalam susu jika menggunakan larutan 1% iodine untuk celup puting. Residu iodine di dalam susu meningkat 80 ke 100 µg/L ketika 1% iodine digunakan sebagai larutan celup puting (Boodie dan Nickerson, 1989). Antibakteri ini tidak rusak oleh panas sehingga dapat ditemukan dalam susu segar. Hal ini dapat merusak bakteri di saluran pencernaan termasuk bakteri di saluran penyerapan seperti Lactobacillus acidophilus, Bifidobacterium sp yang berguna bagi daya tahan tubuh inangnya (misal manusia) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009). Penggunaan bahan herbal untuk celup
puting sapi perah
merupakan salah satu alternatif untuk menghindari residu iodin. Bahan
4
herbal yang dapat digunakan diantaranya mengkudu (Morinda citrifolia). Buah mengkudu mengandung beberapa senyawa berkhasiat, diantaranya senyawa terpenoid, zat antibakteri, vitamin C, scopoletin, zat antikanker, xeronine dan proxeronine (Kholish, 2011). West dan Sabin (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ekstrak mengkudu tidak menyebabkan kulit kering, bahkan adanya kandungan antiinflamasi pada buah
mengkudu
membantu mengurangi kulit
kering dan keriput
(penuaan), sehingga ekstrak buah mengkudu aman digunakan sebagai bahan celup puting sapi. Berdasarkan penelitian Purwantiningsih (2013) diperoleh hasil bahwa setiap umur kemasakan buah mengkudu dapat menghambat perkembangan bakteri penyebab mastitis karena positif mengandung senyawa fenol. Buah mengkudu masak mengandung senyawa fenol lebih tinggi daripada buah mengkudu yang mentah dan mengkal. Berdasarkan penelitian Saputra (2013) menambahkan bahwa ektrak buah mengkudu dengan konsentrasi 50% (13,00 mm) mempunyai daya hambat tertinggi dibandingkan konsentrasi 30% (11,67 mm) dan 10% (9,33 mm). Konsentrasi 30% mempunyai daya hambat yang tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 50%, kedua konsentrasi tersebut mempunyai daya hambat bakteri yang kuat karena masih dalam kisaran zona daya hambat 10 sampai 20 mm, sedangkan konsentrasi 10% (9,33 mm) mempunyai daya hambat lemah (Davis dan Stout, 1971). Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2013) maka kisaran konsentrasi 30 hingga 50% efektif dan
5
efisien digunakan sebagai bahan antibakteri. Akan tetapi, di dalam penelitian ini belum diteliti pengaruh lama simpan ekstrak buah mengkudu, bentuk sediaan ekstrak buah mengkudu selain larutan, dan konsentrasi yang tepat digunakan dalam berbagai bentuk sediaan tersebut terhadap daya hambat bakteri penyebab mastitis. Lama simpan ekstrak yang panjang dan konsentrasi yang tepat menjadikan penggunaan ekstrak mengkudu lebih efisien. Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang pengaruh bentuk sediaan buah mengkudu (Morinda Citrifolia) dengan konsentrasi dan lama simpan yang berbeda terhadap penghambatan bakteri penyebab mastitis perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan buah mengkudu (Morinda citrifolia) dengan konsentrasi 30 dan 40%, serta lama simpan hingga 4 minggu terhadap daya hambat bakteri penyebab mastitis Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan dan informasi bahwa terdapat alternatif bahan herbal yang dapat digunakan sebagai larutan celup puting antara lain mengkudu. Manfaat lainnya adalah memberikan wawasan tentang pengaruh berbagai bentuk sediaan ekstrak
6
buah mengkudu dalam menghambat bakteri penyebab mastitis, selain itu dapat diperoleh konsentrasi dan lama simpan yang tepat sebagai penghambatan mastitis.
7