PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ekspansi pasar modern yang semakin giat dilakukan di Kota Yogyakarta direfleksikan oleh kehadiran pasar modern dalam berbagai bentuk baik minimarket, supermarket, departmen store, hypermarket, dan mall. Hasil pengamatan terhadap ekspansi pasar modern menunjukkan terdapat tiga kelompok pasar modern di Kota Yogyakarta. Pertama, pasar modern berskala lokal yaitu pasar modern yang hanya ada di lingkungan Kota Yogyakarta diantaranya Maga Swalayan, Mirota Kampus Swalayan, Gardena Departmen Store, Galeria Mall, Malioboro Mall, dan Ambarukmo Plaza. Kedua, pasar modern berskala nasional yaitu pasar modern yang tidak hanya ada di Kota Yogyakarta namun tersebar di berbagai wilayah di Indonesia diantaranya Minimarket Alfamart, Minimarket Indomaret, Matahari Departmen Store, Ramayana Departmen Store, dan Minimarket Post Shop. Ketiga, pasar modern berskala multinasional yaitu pasar modern yang tidak hanya terdapat di Indonesia namun di mancanegara diantaranya yaitu Minimarket Circle-K, Minimarket Seven Eleven, Giant Swalayan, Carrefour, dan Superindo (Sigit Agus, 2013). Perkembangan yang sangat pesat pada pusat perbelanjaan modern ini tentunya akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi pasar tradisonal. Seiring dengan berjalannya waktu, peran pasar tradisional akan terus termarjinalkan. Kemudian peran pasar tradisional skala kecil-menengah
di perkotaan akan terancam hadirnya pasar-pasar dengan konsep yang lebih bersih, nyaman, dan higenis. Akibatnya banyak pasar tradisional yang tutup dikarenakan kehilangan fungsinya. Hilangnya pasar tradisional yang sudah lama menjadi
penghubung perekonomian perdesaan dan perkotaan,
dikhawatirkan
akan
mengakibatkan
hilangnya
lapangan
pekerjaan.
Mempertahankan pasar tradisional secara fisik, cenderung mudah tetapi mempertahankan fungsinya tentunya jauh lebih sulit. Faktor preferensi dan prilaku masyarakat yang berubah akibat tingkat pendapatan, cara hidup, dan ketersediaan waktu luang mempengaruhi jumlah penggunaan dan keberadaan pasar tradisional. Problematika dalam pengaturan serta penataan pasar tradisional yang dilakukan beberapa dekade belakangan ini, merupakan upaya dalam menjaga keberlanjutan dari keberadaan pasar tradisional tetap menjadi primadona di masyarakat Indonesia. Beberapa riset serta model pengembangan pasar tradisional yang dicanangkan masih terfokus pada pengembangan fisik bangunan dengan melakukan perubahan infrastruktur yang ada, kemudian kajian-kajian yang dilakukan adalah dengan model pembangunan dalam aspek ekonomi yang cenderung fokus kepada peningkatan pendapatan pemerintah dengan mengesampingkan masalah-masalah sosial yang muncul serta adanya peran-peran aktor yang memprakarsai hal tersebut. Menjadi hal menarik, dimana dalam penelitian ini yang menjadi fokus terkait pembangunan dan pengembangan pasar tradisional tersebut melihat pada aspek sosial-politis
(perlawanan pedagang) yang sangat baru dan berbeda dari kajian sebelumnya, yang dikemas secara komprehensif. Ide dasar dari sebuah pasar adalah agar segala proses transaksi, pertukaran barang dan jasa berlangsung dengan biaya transaksi yang rendah, efektif, dan secara sosial melibatkan banyak pelaku yang berkepentingan. Secara ekonomi bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat maupun secara finansial menguntungkan bagi semua pelaku didalamnya, baik penjual, pembeli maupun pelaku pendukung dan tidak ketinggalan pula pentingnya peran otoritas pasar sekaligus sebagai pengelola pasar. Sejalan dengan ide dasarnya, peran dan fungsi pasar adalah sebagai lokus transaksi untuk mengurangi ketidaksetaraan informasi (asymmetric information), menekan biaya transaksi (transaction cost) dan meningkatkan kepercayaan (trust). Pasar tradisional sebagai modus interaksi sosial-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Marjinalisasi keberadaan pasar tradisional ataupun toko kebutuhan sehari-hari (toko kelontong) tradisional muncul disebabkan oleh fasilitas, kenyamanan maupun pelayanan dari minimarket lebih baik, sehingga konsumen lebih memilih ritel modern tersebut. Hal ini jelas dapat mematikan keberadaan pasar dan warung tradisional yang jumlahnya lebih besar dan perannya yang vital bagi keberlangsungan hajat hidup masyarakat ekonomi kelas bawah. Omset yang diperoleh pedagang pasar tradisional semakin turun drastis sejak munculnya minimarket-minimarket modern di sekitar lahan
berjualan mereka. Bagi konsumen-konsumen tertentu memang masih memilih pasar tradisional untuk berbelanja karena harganya yang lebih murah dibanding supermarket. Namun, kebanyakan konsumen dari minimarket saat ini adalah masyarakat golongan menengah ke atas. Dampak negatif utama dengan munculnya ritel modern adalah mematikan
pasar
dan
ritel
tradisional.
Fakta
tersebut
semakin
mengkonfirmasikan kepada publik bahwa dominannya pengaruh dan kendali asing dalam kebijakan ekonomi nasional tidak mampu disikapi secara tegas oleh Negara. sebaliknya, Negara justru memberikan “ruang bebas” untuk “membunuh” secara legal usaha-usaha ekonomi kecil menengah masyarakat Indonesia melalui legalisasi terhadap keberadaan usaha ritel modern. Praktik legalisasi ritel modern milik pemodal besar oleh Negara, tidak hanya melanggar konstitusi, tapi juga telah membunuh hak-hak sosial-ekonomi masyarakat, terutama para pedagang tradisional. Presepsi masyarakat terhadap pasar tradisional adalah kumuh, semrawut, kotor, dan minim fasilitas seperti terbatasnya tempat parkir, tempat sampah yang berbau dan kotor, lorong yang sempit dan sebagainya. Pencitraan negatif pada pasar tradisional ini tidak terlepas dari lemahnya manjemen pasar tradisional itu sendiri. Pertama, masih rendahnya kesadaran terhadap kedisiplinan pada aspek kebersihan dan ketertiban sehingga kurang memperhatikan pemeliharaan sarana fisik. Kedua, adanya premanisme. Ketiga, tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual dan standarisasi
ukuran dan timbangan. Keempat, terbatasnya masalah fasilitas umum. Kelima, pemahaman rendah terhadap prilaku konsumen, dan penataan los/kios pedagang yang tidak teratur. Manajemen pasar yang lemah disebabkan oleh pengelola pasar yang belum berfungsi dan bertugas secara efektif dan belum didukung SOP yang jelas. Namun, pasar tradisional memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pusat perbelanjaan modern yaitu adanya sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli. Di pasar tradisional terdapat suatu komunikasi yang tidak akan ditemui di pusat perbelanjaan modern. Sistem tawar menawar dalam transaksi jual beli di pasar tradisional membentuk suatu hubungan tersendiri antar penjual dan pembeli. Berbeda dengan pusat perbelanjaan modern, dimana harga barang sudah ditetapkan dan tidak ada komunikasi antara penjual dan pembeli. Pasar tradisional sudah seharusnya mendapat perhatian pemerintah, selain merupakan salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, juga untuk mempertahankan
budaya
lokal.
Keberadaan
pasar
tradisional
harus
dipertahankan dan dilestarikan karena terdapat nilai-nilai yang tidak ditemui pada pusat perbelanjaan modern. Pasar tradisional saat ini menjadi perhatian banyak pihak terutama setelah pemerintah mencanangkan program revitalisasi pasar tradisional. Program revitalisasi ini digagas dengan maksud merespon permasalahanpermasalahan dari pasar tradisional di Indonesia. Salah satu pasar tradisional
yang menjadi role model program revitalisasi pasar yang dimaksud adalah Pasar Kranggan. Pasar Kranggan merupakan salah satu pasar paling legendaris setelah Pasar Beringharjo. Keramaian Pasar Kranggan diuntungkan oleh letaknya yang strategis, tepatnya di Jalan Diponegoro No. 22X Yogyakarta. Berada tepat ditengah kota, sehingga membuat pasar yang memiliki 2 lantai ini menjadi cukup terkenal di Yogyakarta. Perkembangan kota serta diikuti pertumbuhan penduduk membuat Pasar Kranggan semakin ramai dengan banyaknya perubahan Kota Yogyakarta sebagai kota wisata, Pasar Kranggan mulai berbenah untuk memberikan kontribusi sekaligus mempermudah konsumen berbelanja. Regulasi
dibalik
pewacanaan
“Revitalisasi
Pasar
Tradisional
Kranggan” seolah melupakan spirit dan historis pasar tersebut. Persoalan semakin menarik, ketika ada rencana pembangunan IT Market, Rencana ini merupakan upaya merevitalisasi atau membangun pasar tradisional baru dengan berbagai fungsi dengan penambahan pasar elektronik. Proses-proses revitalisasi Pasar Kranggan tersebut tentunya secara langsung dapat mengancam keberadaan pedagang-pedagang yang tidak siap akan adanya pembangunan tersebut. Arus penolakan dan perlawanan akan pembangunan IT Market di lantai II tersebut didasarkan pada Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan terhadap Pasar Tradisional. Ironi inilah yang menjadi domain kajian penulis untuk menyusun hipotesis bahwa revitalisasi ini muncul atas dasar dengan “motif dan kepentingan politik”
pemodal besar. Keberadaan pasar modern yang melekat di pasar tradisional jelas tidak seiring dengan pengembangan pasar tradisional, dan tidak akan memberikan dampak kepada para pedagangan pasar khususnya pedagang Pasar Tradisional Kranggan. Penutup, sebelumnya,
dengan
kemudian
penelitian-penelitian menjadi
referensi
yang bagi
sudah
dilakukan
penelitian-penelitian
selanjutnya yang mengambil kajian pada lokus di area Pasar Tradisional Kranggan, penulis berupaya untuk memberikan penjelasan akademik kepada khalayak soal “kontestasi
serta perlawanan pedagang” dan “motif
kepentingan” yang terjadi dalam upaya revitalisasi Pasar Tradisional Kranggan, Jalan Diponegoro No. 22X, Kota Yogyakarta.