1
PENDAHULUAN Autism Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Secara umum anak yang didiagnosa memiliki gangguan autis mengalami kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual. Menurut DSM IV-TR (APA, 2004), autisme adalah keabnormalan dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologi individu tersebut. Penelitian Schwier dan Hingsburger (2000) menunjukkan bahwa pada individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Pada saat remaja mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial yang hampir sama. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk autis) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan, sehingga tidak ada informasi yang jelas. Atau, sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menerjemahkan begitu banyak „pesan tersirat‟ dan aturan sosial yang membingungkan(Schwier & Hingsburger, 2000). Masa remaja autis, berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan seksual sejak usia 8 tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia 13-18 tahun. Bahkan ada pula yang hingga awal usia 20-an tidak menunjukkan minat yang berarti (Puspita, 2009). Walaupun demikian
2
remaja
yang
didiagnosa
gangguan
autistik
memiliki
tahapan
perkembangan biologis yang sama dengan remaja normal adalah masa pubertas. Sehubungan dengan masalah seksual, remaja sudah mulai memiliki alat-alat reproduksi yang semakin matang (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006). Sedangkan perilaku seksual yang mulai muncul pada remaja dengan diagnosa gangguan autistik ketika puber bisa menakutkan, seperti memainkan alat kelamin dan masturbasi di tempat umum sehingga dianggap sebagai penyimpangan seksual oleh lingkungan masyarakat karena tidak adanya rasa malu dan kurang adanya pemahaman akan seksualitas pribadi yang dimilikinya (Widyasti, 2009). Berkenaan dengan perilaku seksual remaja autis munculnya ekspresi perilaku seksual para remaja autis begitu dorongan seksual tersebut muncul (Siregar, 2008). Perilaku seksual muncul secara spontan ditunjukkan oleh remaja dengan diagnose gangguan autistik seketika tanpa melihat dimana mereka berada. Hal ini pula yang dicemaskan oleh orang tua, khususnya ibu, karena ibu yang paling sering berada di rumah untuk mengawasi setiap tingkah laku anaknya. Berbeda dengan ayah, karena peran ayah adalah pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari (Chohen & Volkmar, 1997). Menurut Krisyanto (dalam Ratnayati, 2012) peran ibu memang sangat penting, karena awal usia pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik maupun emosional tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ibu.
3
Pada saat anak sudah mulai bergaul dengan lawan jenis maka hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi, seperti adanya perilaku seksual yang tidak pantas. Perilaku seksual tidak pantas (inappropriate sexual behavior) yang dimaksud adalah perilaku seksual yang tipologi perilakunya tidak ditunjukkan oleh anak-anak yang berkembang secara normal dan tidak pantas secara sosial (Realmuto & Ruble, 1999). Remaja autis memiliki perilaku maupun hasrat seksual yang jauh berbeda dengan remaja normal yang disebabkan oleh rendahnya kontrol diri. Hal tersebut karena kurangnya pemahaman akan cara untuk menyembunyikan rasa ingin tahu dan cara penyaluran hasrat seksual yang baik (Widyasti, 2009). Jadi meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial mereka yang tidak
berimbang cenderung menghambat
mereka
untuk
berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis). Memiliki anak dengan gangguan autistik bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, dan stigma negatif dari masyarakat (Williams & Wright, 2004). Diketahui bahwa muncul kecemasan yang signifikan pada orangtua yang memiliki anak dengan diagnose gangguan autistik. Tingkat kecemasan ibu lebih tinggi daripada ayah. Tingkat kecemasan orangtua berbeda seiring dengan meningkatnya usia anak-anaknya. Implikasinya adalah bahwa ibu dari anak-anak dengan diagnosa gangguan autistik lebih rentan mengalami kecemasan yang terlalu tinggi sehingga dapat memicu munculnya stres, Sabih dan Sajid (2006).
4
Menurut Maulina dan Sutatminingsing (2005) 45% ibu yang memiliki anak retardasi mental mengalami stres dalam kategori rendah dan 55% mengalami stres dalam kategori tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian McCubbin, dkk (dalam Little, 2002) bahwa ibu yang memiliki anak yang abnormal (penyandang retardasi mental) cenderung mengalami stres yang lebih besar daripada pasangan hidupnya (suami). Sedangkan Suryawati (2010) menyimpulkan bahwa semakin berat derajat kelainan pada anak denan gangguan autistik dan jenis kelainan perilakunya, semakin sulit untuk dapat kembali normal. Dari beberapa hasil penelitian diatas berarti dapat dikatakan bahwa ibu dari anak yang memiliki
gangguan
(abnormal)
cenderung
dapat
menimbulkan
kecemasan pada ibu. Seperti yang dijelaskan di atas, menurut DSM IV-TR (APA, 2004), autis memiliki tiga gangguan utama, namun pada kenyataannya hambatan ini juga merupakan bekal menghadapi masyarakat ketika mereka dewasa, agar individu dapat diterima dalam masyarakat. Setiap ibu berharap anaknya dapat menjalani tahapan perkembangan pada dirinya sendiri dengan baik, agar individu tersebut dapat diterima dalam masyarakat dengan baik. Dalam hal ini terutama dengan perkembangan seksualnya, dimana perkembangan seksual anak dengan diagnosa gangguan autis hampir sama dengan anak normal, namun anak yang didiagnosa dengan gangguan autis memiliki
hambatan
dalam memahami ataupun menyikapi semua perkembangan yang terjadi dalam dirinya. Oleh karena itu mengingat tiga hambatan utama pada anak autis mempengaruhi kecemasan ibu mengenai bagaimana anak tersebut menanggapi serta menyikapi perkembangan seksualnya,
5
maka muncul sebuah pertanyaan oleh peneliti yakni bagaimana “kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak autis?”. Rumusan Masalah, berdasarkan dari latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak autis?”. Tujuan Penelitian, yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai “bagaimana kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak autis”. LANDASAN TEORI Kecemasan Anxietas atau kecemasan adalah suatu kejadian aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal didunia ini yang dapat dicemaskan. Adalah normal, bahkan adaptif untuk sedikit cemas untuk mengenai aspekaspek dalam hidup, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya. Dalam bentuk ekstrim, kecemasan dapat mengganggu fungsi sehari-hari (Nevid dkk, 2005). Menurut Poerwandarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), ibu adalah seorang yang telah melahirkan seseorang. Selain itu dalam kamus tersebut dikatakan bahwa ibu adalah wanita yang sudah memiliki suami. Menurut Hunt dam Marshal (2005) bagi ibu yang memiliki anak yang mengalami gangguan perkembangan akan memiliki fungsi atau tugas yang lebih berat dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal. Kecemasan pada ibu adalah keadaan khawatir yang tidak menyenangkan yang dialami oleh seorang ibu yang ditimbulkan oleh sebab-sebab dari luar yang tidak jelas atau samar-
6
samar seperti rasa takut dan rasa tidak berdaya, dimana hal ini akan menjadi ancaman terhadap ibu karena ibu tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya (Putri, 2011). Seorang ibu memiliki peran yang besar dalam menciptakan suasana yang gembira, bahagia, dan nyaman. Dimana jika seorang ibu mampu menciptakan suasana tersebut maka ibu dapat memberikan rasa aman, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih sayang bagi anakanaknya. Keadaan psikologi yang penuh kasih sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan akan memberikan kasih sayang secara psikologis yang akan merangsang pertumbuhan anak-anak menuju kedewasaan (Kartono, 1992) Beberapa ciri-ciri kecemasan yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah, menurut Nevid, dkk (2005a) ada 3 ciri dalam kecemasan yaitu : ciri yang pertama, ciri-ciri behavioral (seperti Perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen, serta perilaku tergunjang); ciri yang kedua, ciri-ciri kognitif (seperti khawatir tentang sesuatu,
ketakutan
akan
kehilangan
kontrol,
ketakutan
akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, khawatir terhadap hal-hal sepele, serta sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran) dan ciri yang terakhir, ciri-ciri fisik (seperti kegelisahan, kegugupan, banyak berkeringat, diare, merasa sensitif atau mudah marah, telapak tangan yang berkeringat, pening atau pingsan, jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang, jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, dan sering buang air kecil. Perkembangan Seksual Menurut Imran (2000) masa pubertas adalah awal dari masa remaja dimana masa pubertas adalah masa terjadinya perubahan-
7
perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perkembangan seksual adalah percepatan perkembangan fisik dengan pemasakan seksual genital baik di dalam maupun di luar badan (Monks, 2002). Perubahan-perubahan fisik yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi makin panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006). Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormon seksual testosteron (untuk laki-laki) dan progesteron & estrogen (untuk wanita). Hormonhormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu sendiri. Pada masa remaja, pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ reproduksi mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Kematangan organ reproduksi tersebut mendorong individu melakukan hubungan sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Dariyo, 2004).
8
Anak dengan Didiagnosa Gangguan Autistik Autisme adalah salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial dan perilakunya (Veskarisyanti, 2008). Menurut istilah kedokteran, psikiatri dan psikologis, autis termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorder). Secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan bahasa, seperti perhatian, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik (Safaria, 2005) Menurut
DSM
IV-TR
(APA,
2004),
autisme
adalah
keabnormalan dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologi individu tersebut. Selain itu Sutadi (2002) mengatakan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang luas dan berat (pervasif) yang gejalanya mulai tampak pada anak sebelum ia mencapai usia 3 tahun, penyebabnya adalah gangguan pada perkembangan susunan syaraf pusat yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak. Berdasarkan beberapa teori yang ada dapat disimpulkan bahwa gangguan autis adalah gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh perkembangan susunan syaraf pusat yang ditandai dengan gangguan pervasif, menyangkut pada bidang komunikasi, interaksi sosial, dan perilakunya, seperti perhatian, daya nilai terhadap realitas, bahasa,
9
keterampilan
sosial,
keterbatasan
yang
jelas
dalam
aktivitas,
ketertarikan, serta gerakan-gerakan motorik. Perkembangan Seksual Anak dengan Didiagnosa Gangguan Autistik Schwier dan Hingsburger (2000) menunjukkan bahwa pada individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) termasuk autis juga terjadi perkembangan biologis yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Fuhrmann (dalam Widyasti, 2009) menjelaskan bahwa pada masa remaja, dorongan seksual yang dihasilkan oleh hormon meningkatkan sensitivitas daerah erogen. Pada saat individu menjadi remaja mereka mengalami perubahan fisik dan seksual yang hampir sama (Puspita, 2009). Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi perubahan pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara pria, wanita mulai menstruasi (Sarwono, 2006). Sedangkan perubahan seksual mereka adalah mereka juga memiliki hasrat seksual dan fantasi yang sama seperti remaja nonautistik (Stokes, Newton & Kaur, 2007). Keberhasilan atau kegagalan yang dihadapi oleh remaja selama tahap perkembangan seksual mereka berpengaruh pada kemampuan mereka untuk secara efektif bertransisi menjadi dewasa (Hayward & Saunders, 2010). Namun, keterbatasan yang dimiliki oleh remaja autistik sebagaimana telah di jelaskan dalam DSM-IV meliputi aspek dalam interaksi sosial, komunikasi dan berperilaku, mempengaruhi tepat tidaknya perilaku seksual yang mereka tunjukkan (Gabriels & Bourgondien dalam Gabriels & Hill, 2007).
10
Keterbatasan dalam hubungan sosial adalah area khusus yang menjadi salah satu kesulitan pada penyandang autistik dan merupakan salah satu yang membedakannya dari individu non-autistik. Hal tersebut dapat menyebabkan masalah yang serius pada awal masa perkembangan seksual, tidak hanya pada saat membangun hubungan persahabatan atau hubungan yang lebih romantik, tetapi juga dalam kemampuan individu untuk menggunakan social judgement dalam menentukan apa yang harus dilakukan pada area pribadi ataupun area publik, bagaimana dan kenapa harus mengatur kebersihan pribadi, dan pada bagaimana cara untuk menghindari eksploitasi seksual oleh orang lain (Gabriels & Bourgondien dalam Gabriels & Hill, 2007). Selain terjadi keterlambatan pada hubungan atau interaksi sosial, penyandang autisme mengalami kemunduran dalam fungsi komunikasi. Hal ini tentu saja berdampak pada perkembangan seksual mereka, diantaranya mencakup kemampuan untuk membicarakan dan memberi label pada tema-tema seksual, kecenderungan untuk mengulang
kata-kata
yang
sama
terkait
tema
seksual
tanpa
menghiraukan konteks sosial, atau berbicara dengan nada yang aneh dan tidak tepat untuk menggambarkan tema seksual yang sedang didiskusikan (Gabriels & Bourgondien dalam Gabriels & Hill, 2007). Semua kemungkinan ini dapat menempatkan remaja autistik pada sebuah resiko kesalahpahaman. Disamping
keterlambatan
dalam
berinteraksi
dan
berkomunikasi, anak yang didiagnosa dengan gangguan autis memiliki keterbatasan perilaku khususnya yang mengalami kemunduran kognitif dan fungsi bahasa, di mana mereka terlihat mengikatkan diri pada suatu kegiatan menstimulasi diri sendiri (self-stimulating) seperti masturbasi.
11
Mereka, khususnya remaja yang mulai mengalami masa puber, didapati menghabiskan waktu mereka dengan melakukan masturbasi, sehingga aktivitas yang lain tidak dilakukannya (Gabriels & Bourgondien dalam Gabriels & Hill, 2007). Semua aspek yang menjadi keterbatasan pada individu autistik tersebutkan membawa individu autistik pada kesalahpahaman dalam social judgement, sehingga dibutuhkan pembelajaran dan pemahaman terhadap interaksi seksual yang tepat (Realmuto & Ruble, 1999). Kesulitan dalam beradaptasi secara sosial, mengenali pengaruh isyarat-isyarat yang tidak terlihat, berkomunikasi dengan
tepat
dengan
orang
lain,
serta
mempertimbangkan
pandangannya dengan pandangan orang lain dapat membaurkan perkembangan seksual mereka dan berkontribusi terhadap munculnya perilaku seksual yang tidak pantas (Realmuto & Ruble, 1999). METODE PENELITIAN Berdasarkan masalah yang diteliti dan tujuan, maka peneliti akan menggunakan metode kualitatif dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologis dimana fenomenologis merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus
kepada
pengalaman-pengalaman
interpretasi-interpretasi
dunia.
subjektif
Peneliti
dalam
manusia
dan
pandangan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi-situasi tertentu (Moleong, 2007) Dalam penelitian ini peneliti mengambil 3 partisipan, dengan kriteria antara lain: ibu kandung dari anak dengan diagnosa gangguan autistik, anak dengan diagnosa gangguan autistik berada dalam tahap remaja awal 12th-15th (Monks,dkk 2000), serta ibu dan anak tinggal
12
dalam 1 rumah. Dalam penelitian kualitatif metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non partisipan dan wawancara semi terstruktur (Rahayu, dkk 2004). Menurut Poerwandari (2011) langkah-langkah yang diambil dalam proses analisis data pada penelitian kualitatif adalah: (1) Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, (2) Membuat kata kunci/tema dari data tersebut, (3) Mengkategorisasikan data yang diperlukan, (4) Menghubungkan antar ketegori, (5) Mengembangkan dengan landasan teori yang ada. HASIL & PEMBAHASAN Menurut Nevid dkk (2005) anxietas atau kecemasan adalah suatu kejadian aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal didunia ini yang dapat dicemaskan. Adalah normal, bahkan adaptif untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek dalam hidup, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya. Dalam bentuk ekstrim, kecemasan dapat mengganggu fungsi sehari-hari (Nevid dkk, 2005). Seperti pada keadaan subjek 3 yang merasakan tidak ingin untuk melakukan kegiatan apapun ketika subjek berada dalam keadaan cemas yang tinggi mengenai anak autistik subjek. Menurut Daradjat (1990) kecemasan memiliki sisi yang disadari seperti rasa takut dan rasa tidak berdaya. Rasa tidak berdaya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kecemasan pada subjek. Subjek 2 merasakan
ketidakberdayaannya
dimana
subjek
tidak
dapat
mengendalikan keinginan anaknya dalam berperilaku seksual yaitu masturbasi yang sering dilakukan anaknya, bahkan hal tersebut telah
13
menjadi rutinitas setiap harinya. Berbeda dengan subjek 3 yang memiliki rasa ketidakberdayaan ketika ingin menjelaskan pendidikan seksual kepada anaknya mengingat anak subjek yang saat ini sudah menstruasi, namun subjek cenderung takut akan anaknya salah pemahaman dari penjelasan subjek. Pada subjek 1 hal ini cenderung tidak nampak, karena subjek cenderung untuk menekan perasaannya mengenai perkembangan yang terjadi pada anaknya. Rasa tidak berdaya yang dimiliki subjek 3 dapat memengaruhi keyakinan diri subjek dalam mengurus anaknya. Subjek merasa bingung bagaimana menjelaskan pendidikan seksual kepada anaknya. Subjek ingin anaknya dapat memahami pendidikan seksual yang baik, namun subjek bingung harus memulai menjelaskannya dari mana, selain itu subjek juga memiliki pemikiran bahwa ada kemungkinan untuk anaknya salah tangkap dalam penjelasan subjek dan menjadikan situasi semakin kacau. Hal ini sesuai dengan pendapat Daradjat (1990) bahwa kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami pertentangan batin. Rasa tidak yakin subjek 3 juga dirasakan ketika anak subjek belum menginjak masa remaja yaitu dimana subjek merasa tidak mampu dalam mencarikan sekolah yang tepat untuk anaknya sehingga membuat subjek berpikir untuk memasukkan anaknya ke dalam salah satu asrama yang ada di Jogja, namun pada akhirnya sampai saat ini subjek dapat mengurus dan mencarikan sekolah yang baik untuk anaknya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh dukungan sosial yang didapatkannya dari ibu subjek serta saudara kandung subjek. Subjek mendapatkan nasehat yang membuat subjek dapat
14
mengurangi kecemasan yang dimilikinya dan yakin dapat mengurus anaknya sampai saat ini. Sedangkan rasa tidak berdaya yang dimiliki subjek 2 cenderung menjadikan subjek merasa bersalah karena subjek merasa sangat kesulitan untuk menghentikan perilaku seksual anaknya yang saat ini justru telah menjadi rutinitas anak subjek. Dukungan sosial yang subjek dapatkan dari terapis serta keluarga besar subjek yang berada di Bali dapat membantu mengurangi kecemasan subjek, karena keluarga subjek juga membantu subjek dalam memantau anaknya, sedangkan terapis
dapat
memberikan
pemahaman-pemahaman
mengenai
perkembangan seksual anak autis serta bagaimana cara menyikapinya dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarason, dkk (Djiwandono, 2002) bahwa dukungan sosial membuat individu merasa diperhatikan, dicintai, dan bernilai sehingga mengurangi tingkat kecemasan. Dukungan sosial pada subjek 2 menjadikan subjek lebih dapat memahami kebutuhan anaknya dengan baik, dimana subjek memiliki dukungan dari orang-orang yang lebih memahami hal tersebut seperti terapis ataupun relasi serta keluarga subjek. Namun berbeda dengan subjek 3 yang mendapatkan dukungan sosial hanya dari lingkungan keluarganya saja, seperti dari ibu kandung subjek, serta adik-adik kandung subjek. Dukungan terbesar yang dirasakan subjek adalah dari ibu kandung subjek. Ibu kandung subjek sudah merawat anak subjek sejak ia kecil, hal tersebut yang membuat anak subjek lebih dekat dengan neneknya. Walaupun begitu, ibu kandung subjek terkadang sangat mencemaskan keadaan cucunya dimana saat ini cucunya sudah beranjak remaja. Hal tersebut terlihat ketika ibu kandung subjek lebih
15
sering menelpon subjek untuk menasehati subjek agar lebih menjaga anak subjek, mengingat anak subjek yang baru saja mengalami menstruasi. Sehingga dengan demikian subjek juga cenderung dapat merasakan kecemasannya bertambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarason, dkk (Djiwandono, 2002) bahwa modeling dapat menyebabkan kecemasan, dimana bila individu belajar dari model yang mempunyai kecemasan dalam menghadapi suatu masalah, maka individu tersebut cenderung mengalami kecemasan. Kecemasan ibu yang menghadapi perkembangan seksual anak autisnya tidak hanya terfokus pada perkembangan seksual anaknya saja, melainkan juga pada masa depan anak autis itu sendiri. Perkembangan seksual anak yang berbeda-beda dari tiap anak, menimbulkan kecemasan yang berbeda juga pada ibu. Perkembangan seksual anak subjek yang cenderung wajar dan tidak hingga menimbulkan perilaku seksual yang ekstrim membuat subjek tidak begitu mencemaskan hal tersebut. Sedangkan bila perilaku seksual anak subjek sering dilakukan dapat membuat subjek memiliki kecemasan yang lebih pada perilaku seksual anaknya. Namun hal itu tidak hanya terfokus pada perkembangan anak autis saja melainkan yang paling dicemaskan oleh ketiga subjek yang ada adalah mengenai masa depan anak autis itu sendiri. Kaplan (1997) mengatakan bahwa, sensasi dari kecemasan dapat dialami oleh setiap orang dan kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung berfariasi dari orang-ke orang. Menurut Nevid dkk (2005) ciri-ciri kecemasan dapat dilihat dari fisik, behavior, dan kognitif antara lain:
16
1) Ciri-ciri behavioral, ciri-ciri behavioral yang muncul pada subjek 1,2 dan subjek 3 adalah perilaku mendekat, dimana subjek juga lebih dekat dengan orang tua, keluarga besar, maupun suaminya agar lebih dapat menjaga anak autisnya, suka bercerita dan meminta atau menerima nasehat dari suami, keluarga,ibu kandung subjek, adik-adik subjek dan teman-teman di sekitar subjek. Pada subjek 3, subjek juga cenderung lebih melekat ibu kandung subjek, ibu kandung subjek selalu mengingatkan agar subjek lebih dapat memantau anak subjek agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan subjek. Subjek 1 cenderung lebih dekat dengan suami serta keluarga besarnya, dimana subjek merasa bahwa subjek sangat membutuhkan masukan serta pertimbangan dalam merawat SH. Menurut subjek suami subjek adalah orang yang paling memahami subjek, karena subjek dapat bercerita serta mendiskusikan apa yang terbaik untuk anak-anak subjek terutama SH. Subjek 2 cenderung lebih dekat dengan terapis serta keluarga besar yang berada di Bali, karena terapis dapat memberikan pemahaman yang baik mengenai perkembangan seksual anak ABK agar subjek juga lebih mampu menyikapi perkembangan seksual anak autisnya dengan baik. Sedangkan keluarga besarnya cenderung untuk selalu mendukung dan memberikan informasi kepada subjek. 2) Ciri-ciri kognitif, ciri-ciri ini paling banyak muncul dibandingkan dua gejala lainnya. Ciri-ciri kognitif yang muncul pada ketiga subjek adalah ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi pada masa depan anaknya. Ketiga subjek tidak hanya berfokus pada perkembangan seksual anak subjek, melainkan juga pada masa depan anak subjek, mengingat anak subjek yang merupakan anak ABK sehingga membutuhkan seorang yang dapat merawat anak subjek dengan baik. Subjek 1 cenderung
17
untuk tidak mencemaskan anak autisnya, karena subjek berusaha untuk tetap santai dan menikmati kehidupnya dengan baik. Berusaha semaksimal mungkin untuk perkembangan anaknya agar lebih baik lagi dari sekarang. Pada subjek 2, subjek cenderung merasa takut akan tidak dapat mengatasi masalah dalam hal ini menghentikan perilaku masturbasi yang anak subjek lakukan setiap harinya sehingga ada kemungkinan akan berdampak pada masa depan anak subjek. Sedangkan pada subjek 3 yang mengkhawatirkan tentang anaknya menjadikan subjek sulit berkonsentrasi
serta
pikiran
perasaan
bercampur
aduk
atau
kebingungan. Hal ini nampak ketika subjek yang ingin berusaha untuk menjelaskan mengenai perkembangan seksual lebih lanjut kepada anaknya memiliki ketakutan bahwa ada kemungkinan untuk anaknya yang akan salah menangkap maksud dari penjelasan subjek. Mengingat anak subjek yang baru saja menstruasi pada bulan November, seharusnya subjek sudah menjelaskan mengenai pendidikan seksual namun subjek pun tidak tahu harus memulai menjelaskan hal tersebut dari mana. 3) Ciri-ciri fisik, bila sedang mengalami kecemasan subjek 2 dan subjek 3 memiliki beberapa kesamaan dalam ciri-ciri kecemasan yang subjek alami, diantaranya mual, muntah, pusing serta memiliki emosi yang tidak stabil (sensitif/merasa mudah marah). Pada kedua subjek juga mengalami beberapa hal yang tidak termasuk dalam ciri-ciri fisik yang Nevid kemukakan, seperti mata berkunang-kunang dan buang air besar yang terlalu sering. Perasan gelisah juga dirasakan pada subjek 2 dimana ketika subjek memikirkan keadaan anaknya subjek terkadang akan terbangun tiba-tiba dalam malam hari. Dan pada subjek 3, gejala
18
yang subjek rasakan ketika memikirkan anaknya adalah jantung berdebar-debar. Namun pada subjek 1 hal ini cenderung tidak muncul. Seperti yang dikemukakan oleh Stuard & Sundeen, (1998) bahwa tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru. Peneliti juga menemukan hal tersebut dalam penelitian ini. Subjek 1 yang memiliki pendidikan serta pengalaman yang lebih banyak pada bidang anak-anak berkebutuhan khusus membuat subjek dapat berfikir lebih luas kedepan bila mendengar ada sesuatu yang menyangkut anaknya yang autis dan hal tersebut justru dapat membuat subjek cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua subjek yang lainnya. Selain itu hal lain yang berpengaruh pada kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak autis adalah dukungan keluarga, seperti yang dukemukakan oleh Daradjat (1990) bahwa tidak adanya rasa kekeluargaan dapat memengaruhi kecemasan yang dialami seseorang. Seperti subjek 3 yang cenderung hanya mendapatkan dukungan dari ibu kandung serta adik-adik subjek, tanpa mendapatkan dukungan dari suami ataupun keluarga besar suami menjadikan subjek mengalami kecemasan yang cenderung tinggi. Beberapa hal tersebut juga dapat mempengaruhi intensitas kecemasan yang dimiliki subjek. Dari ketiga subjek, hal yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan pada masing-masing subjek tidaklah sama. Hal ini karena situasi serta keadaan anak mereka yang berbeda-beda. Pada ketiga subjek cenderung mengatasi kecemasan mereka dengan menitik beratkan pada emosi serta masalah yang dihadapi. Menurut Atkinson
19
(2006), mengatasi kecemasan dengan menitik beratkan masalahnya yaitu individu menilai adanya situasi yang menimbulkan kecemasan dan
kemudian
melakukan
sesuatu
untuk
mengubah
atau
menghindarinya. Seperti pada ketiga subjek yang cenderung berusaha untuk menghindari situasi yang sedang ia hadapi dengan menenangkan diri dan mencoba untuk menjauh dari masalah yang sedang dihadapinya. Pada subjek 3 hal ini dilakukan dengan cara seperti jalanjalan keluar rumah sebentar sambil menunggu perasaannya kembali membaik barulah kembali ke rumah. Sedangkan pada subjek 2, subjek cenderung lebih berusaha mengalihkan (berusaha mengubah) kegiatan anak subjek yang sedang melakukan masturbasi. Tidak hanya itu namun subjek berusaha untuk dapat mengatasi perasaannya sendiri agar tidak berada pada situasi yang membuat subjek cemas. Selain itu Atkinson (2006) juga berpendapat mengatasi kecemasan dengan cara menitik beratkan pada emosi yaitu individu berusaha mereduksi perasaan cemas melalui berbagai macam cara dan tidak secara langsung menghadapi masalah yang menimbulkan kecemasan itu. Dimana hal ini sangat nampak pada subjek 1 yang cenderung untuk menekan perasaannya dan berusaha untuk membuat dirinya berada pada situasi nyaman
menjadikan subjek menjadi
cenderung tidak terlalu mencemaskan keadaan anak autis subjek yang saat ini sudah remaja. Tidak hanya itu dengan kecemasan yang subjek alami, menjadikan subjek berusaha serta berpikir apa yang seharusnya subjek lakukan saat ini demi masa depan SH. Kecemasan ibu yang menghadapi perkembangan seksual anak autisnya tidak hanya terfokus pada perkembangan seksual anaknya saja, melainkan juga pada masa depan anak autis itu sendiri.
20
Perkembangan seksual anak yang berbeda-beda dari tiap anak, menimbulkan kecemasan yang berbeda juga pada ibu. Perkembangan seksual anak subjek yang cenderung wajar dan tidak hingga menimbulkan perilaku seksual yang ekstrim membuat subjek tidak begitu mencemaskan hal tersebut. Sedangkan bila perilaku seksual anak subjek sering dilakukan dapat membuat subjek memiliki kecemasan yang lebih pada perilaku seksual anaknya. Namun hal itu tidak hanya terfokus pada perkembangan anak autis saja melainkan yang paling dicemaskan oleh ketiga subjek yang ada adalah mengenai masa depan anak autis itu sendiri. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang dialami subjek muncul ciri-ciri kecemasan seperti ciri-ciri behavioral, ciri-ciri kognitif, dan ciri-ciri fisik. 1. Ciri-ciri Behavioral yang muncul pada ibu ketika menghadapi perkembangan seksual anak dengan diagnosa gangguan autistik yaitu perilaku mendekat, baik pada suami,ibu kandung, keluarga besar, maupun orang yang lebih memahami perkembangan seksual anak yang didiagnosa dengan gangguan autis. 2. Ciri-ciri Kognitif yang muncul pada subjek antara lain merasa khawatir tentang sesuatu, ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan anaknya, ketakutan akan ketidak mampuan dalam mengatasi masalah, khawatir terhadap sesuatu, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan. 3. Ciri-ciri Fisik yang muncul pada subjek antara lain gelisah, jantung berdebar, pusing, mual, muntah, buang air besar yang terlalu sering, mata berkunang-kunang serta merasa sensitif dan mudah marah.
21
Dapat
disimpulkan
pula
bahwa
hal
lain
yang
dapat
mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak yang didiagnosa dengan gangguan autis antara lain adalah keyakinan diri, dukungan sosial, modeling, pengalaman, rasa tidak berdaya, dan pendidikan. Kecemasan yang terjadi pada ibu yang yang menghadapi perkembangan seksual anak yang didiagnosa dengan gangguan autis tidak hanya terbatas pada perkembangan seksual anaknya saja, melainkan juga pada masa depan anak tersebut, dimana subjek berfikir bagaimana masa depan anaknya ketika subjek meninggal. Adapun saran yang peneliti dapat berikan dari hasil penelitian ini adalah: Bagi subjek penelitian, diharapkan ibu dapat mendampingi dan memberikan penanganan yang tepat bagi anak autisnya yang beranjak remaja. Bila mengalami kecemasan mengenai hal tersebut, subjek dapat meminta dukungan dari orang-orang disekitarnya seperti nasihat dari orang-orang yang lebih memahami hal tersebut, mencari informasi lebih lanjut dari berbagai media seperti buku-buku, internet, ataupun media masa lainnya, dan subjek dapat belajar dari orang yang lebih memahami hal tersebut supaya kecemasan yang dialami subjek dapat berkurang. Subjek juga diharapkan dapat memahami dirinya, mengontrol kecemasan agar dapat lebih baik dalam mengasuh anak serta mempelajari perilaku anaknya. Bagi orang-orang dekat subjek, diharapkan orang disekitar subjek bisa memberikan dukungan sosial pada subjek, karena sesuai dengan penelitian bahwa dukungan sosial yang diberikan pada subjek dapat mengurangi kecemasan yang dialami subjek ketika anaknya yang autis berada pada masa remaja, terutama pada saat dimana tahap
22
perkembangan seksual mulai terjadi. Dukungan sosial yang diberikan dapat berupa nasehat atau informasi mengenai penanganan yang baik bagi anak autis. Serta memotivasi subjek guna memberikan keyakinan pada subjek dalam mengasuh anaknya. Bagi peneliti selanjutnya, peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai kecemasan ibu menghadapi masa depan anak yang didiagnosa dengan gangguan autis. Hal tersebut adalah hal yang sangat sering muncul pada ketiga subjek, namun penelitian ini hanya terbatas pada kecemasan ibu menghadapi perkembangan seksual anak yang didiagnosa dengan gangguan autis. DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Asosiation. (2004). Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder IV-TR (4th ed). Washington: APA Atkinson, R. L, Atkinson, R. C; Daryl, J. B. (2006). Pengantar Psikologi. Edisi Kesebelas Jilid Dua. Alih Bahasa: Wijaya Kusuma. Batam: Interaksara Cohen, D. J., & Volkmar, F. R. (1997). Handbook of Autism and Pervasive Development Disorder. (2nd ed). New York: John Wiley & Sons, Inc. Daradjat, Z. (1990). Kesehatan Mental. Cetakan Keenam belas. Jakarta: CV Haji Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. Djiwandono, S. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia Gabriels, R. L., & Hill, D. E. (2007). Growing Up with Autism, Working with School-Age and Adolescents. New York: The Guillford Press. Hayward, C., & Saunders, N. (2010). Sexual Behaviors of Concern in Young People with Autism Spectrum Disosder [on-line]. http://www.assid.org.au/Portals/0/Conferences/DSW10/DSW10
23
ConfPapers/Hayward_SexualBehaviors.pdf. (di unduh pada tanggal 9 Juni 2012] Hunt, N. & Marshall, K. (2005). Exceptional Children & Youth. Boston: Houghton Mifflin Company. Imran, I. 2000. Modul 2 Perkembangan Seksualitas Remaja. Jakarta: PKBI, IPPF, BKKBN, UNFPA. Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (1997). Sinopsis Psikiatri. Edisi Ketujuh. Jilid dua. Alih Bahasa: Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara Kartono, K (1992). Psikologi Wanita : Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek. Cetakan Keempat. Bandung: Mandar Maju Little, L. (2002). Differences in stress and coping for mothers and fathers of children with Asperger‟s syndrome and nonverbal learning disorders. Jurnal of Pediatric Nursing,. Vol.28 No.06 Hal.565 [On-Line]. Available FTP:proques. com/pqdauto.htm. Maulina, B., & Sutatminingsih, R. (2005). Stres Ditinjau Dari Harga Diri Pada Ibu Yang Memiliki Anak Penyandang Retardasi Mental. Jurnal Ilmiah Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Vol.1 No.01, Hal 14-15 Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Monks, F. J. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Monks, F. J. Knoers, A.M.P & Haditono, S. R. (1998). Psikologi Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Cetakan Kesebelas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Nevid, J. S; Rathus, A. R & Greene, B. 2005a. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Satu. Alih Bahasa: Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta: Erlangga. Papalia, D. E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. Boston: McGraw-Hill. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Penelitian Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
24
__________, E. K. (2011). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Penelitian Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Poerwandarminta, W. J. S. (1989). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Puspita, D. (2009). Seksualitas pada Individu Autis Remaja [On-line]. Tersedia: http://komunitasputerakembara.net/joomla/seksualitas-pada-individu-autisremaja.html [19 April 2012] Putri, M. S. (2011). Dinamika Kecemasan Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Sedang Puber. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi. Unika Soegijapranata. Rahayu, I. T. & Ardani, T. A. (2004). Observasi dan wawancara. Malang: Banyumedia Ratnayati. (2012). Peran Penting Seorang Ibu Bagi Perkembangan Anak. Bersab Vol. 1 No. 1 Januari 2012 Hal.17 Realmuto, G. M. & Ruble, L. A. (1999). “Sexual Behaviors in Autism: Problems of Definition and Management”. Journal of autism and developmental disorder, Vol 29 No. 2 1999 Sabih, F. & Wahid, B. S. (2006). There is Significant Stress among Parents Having Children with Autism. Pakistan. D i a k s e s d a r i www.google.com pada tanggal 5 Januari 2012. Safaria, T. (2005). Autisme : Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua. Yogyakarta: Graha Ilmu Sarwono, W. S. (2006). Psikologi Remaja. Edisi 10. Jakarta: Raja Grafindo Persada Schwier, K. M. & Hingsburger, D., Sexuality – Your Sons & Daughters with Intellectual Disabilities. 2000, Paul, H. B. Publishing Co., Maryland – USA5. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone. Siregar, N. S. R. (2008). Perilaku Seksual Remaja Autis. Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Jurusan Psikologi. Universitas Islam Indonesia.
25
Stokes, M., Newton, N., & Kaur, A. (2007). Stalking and Social Romantic Functioning Among Adolescents and Adults with Autism Spectrum Disorder. Journal of Autism and Developmental Disorder, 37: 1969-1986. Stuard, G. W. & Sundeen, S. J. (1998) Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta: EGC Suryawati, Alit. (2010). Metode Penanganan Komunikasi Anak Autis Melalui Metode Bicara Lovaas. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Hal. 35 Sutadi, R. (2002). Autisme & Applied Behavior Analysis (ABA)/Metode Loovas. Makalah Penelitian: Jakarta Veskarisyanti, G. A. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat : untuk Autisme, Hiperaktif dan Retardasi Mental. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Anggrek. Widyasti, F. T. (2009). Seksualitas Remaja Autis Pada Masa Puber. Skripsi. Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. [On-line]. Tersedia: http://eprints.undip.ac.id/10958/1/jurnal.pdf (Rabu, 20 Juni 2012) Williams, C. & Wright, B. (2004) How to live with autism and Asperger's syndrome: Practical strategies for parents. London: Jessica Kingsley.