PENDAHULUAN
Latar Belakang a. Krisis Moneter,
Kemiskinan dan Kegagalan Program- program
Pemberdayaan Krisis moneter yang mendera lndonesia sejak pertengahan 1997-an masih belum menunjukan ke arah lebih baik yang berarti tapi malah menimbulkan kelesuan ekonomi di semua sektor. Penanganan krisis yang setengah hati dan tidak sungguh-sungguh dan profesional, ditambah lagi dengan makin kuatnya perseteruan antar elit politik menyebabkan krisis tenebut merembet dan mengguncang serta membawa perubahan sendisendi dasar kehidupan sosial-politik dan perekonomian makro lndonesia menjadi krisis multidimensi. Masalah kerniskinan merupakan masalah sosial dan penyandang masalah tenebut terus meningkat dan semakin kompleks. Data terakhir tentang keluarga miskin dan keluarga yang mendekati kategori miskin di lndonesia sampai pertengahan tahun 2006, yang digunakan pemerintah untuk menyalurkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) berjumlah 15,8 juta kepaia keluarga miskin. Dengan asumsi setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah penduduk miskin mencapai angka 63,2 juta jiwa atau sama dengan 28,7 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini baru yang memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Boleh jadi jumlah ini masih terus bertambah, karena masih banyak penduduk miskin tidak terdata karena tidak mampu membuat KK dan KTP karena biayanya mahal. Dan total jumlah tersebut, lebih dari 20 juta berada pada kondisi yang sangat miskin (Pikiran Rakyat: 2006). Pengakuan serupa diberikan oleh Bank Dunia. Tahun 2006, lembaga ini menyebut lebih dari 100 juta jiwa penduduk lndonesia tergolong miskin (Media Indonesia: 2006). lndikator yang digunakan adalah penghasilan dibwah US$ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu perhari, dengan asumsi setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah keluarga miskin di lndonesia mencapai angka 25 juta keluarga di lndonesia terkategorikan miskin.
Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk menanggulangi masalah sosial tenebut, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah tidak urung turut mengambil peran dalam pelbagai program, di antaranya adalah melalui Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pengentasaan Kemiskinan Perkotaan (PZKP), Prqram Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Subsidi Langsung Tunai
(SLT).
Pemerintah daerah juga tidak ketinggatan ikut berperan serta dengan mendanai program pemberdayaan pada tingkat lokal dengan beberapa programnya, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan Program Raksa Desa (PRD), Rereongan Saumpi. Namun demikian pada perjalanannya program-program tenebut di atas banyak menemui kegagalan. Ada beberapa penyebab kegagalan tersebut. Program JPS, seperti yang dilamir oleh Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI) penyebab kegagalan adalah sebgai berikut (Jumal MTI:
1999): 1. Kurangnya diseminasi program kepada masyarakat membuat
masyarakat pada umumnya belum banyak mengetahui tentang program-program JPS; 2. Kegunaan langsung program JPS bagi kelompok masyarakat miskin berada
pada
tingkat
memprihatinkan.
Pemerintah
masih
berpendapat bahwa program ini merupakan program pemerintah sehingga pendekatan dan penanganannya masih benifat dari atas ke bawah. Selain itu, pemerintah kurang mengikutsertakan berbagai kelompok masyarakat;
3. Program ini adalah program pemerintah yang dirancang untuk membantu
masyarakat
miskin.
Pada
umumnya
birokrasi
pemerintah masih bersikap kurang melayani dan kurang tanggap; 4. Program JPS pemerintah tidak boleh berkompetisi dengan program
JPS swadaya masyarakat. Jika pada suatu lokasi telah terdapat program JPS
swadaya masyarakat,
pemerintah seharusnya
memfasilitasi program swadaya masyarakat dimaksud dan tidak melakukan program yang karakteristik dasarnya sama.
Kegagalan lain seperti yang dilamir oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), senada dengan apa yang dikemukakan oteh MTI, bahwa Jaring Pengamanan Sosial terbukti tidak rnencapai sasaran, karena data awal yang tidak tepat, kapasitas pelaksanaan yang tidak memadai dan mekanisme pencairan dana yang tidak tepat terbukti dengan rendahnya tingkat realisasi anggaran dan kebocoran/korupsi yang merusak kualitas program (INFID: 2006) Reaksi atas kegagalan program pemberdayaan karena penyimpangan yang dilakukan oleh Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), dilakukan oleh kelompok Konsorsium Masyarakat Miskin Kota menggelar unjuk rasa di lbukota Jakarta. Hal itu disinyalir oleh Lembaga
Studi
Sosial
Lingkungan
dan
Perkotaan
(LS2LP)
yang
menyimpulkan bahwa indikasi adanya ketidakberesan pengelolaan JPS, yaitu : 1. Ketidaklengkapan proyek proposal atau materi proposal yang tidak
rasional karena kurang didukung dengan data yanag valid dan akurat; 2. Penentuan proyek secara asal-asalan, tanpa didasarkan pada studi
kelayakan yang cermat dan teliti; 3. Ketidakjelasan dalam penentuan konsultan pendamping; 4. Perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat sasaran;
5. Ketidakterbukaan pengurus LKMDIK dengan aparat birokrasi dalam hal penggunaan PDMDKE; 6. Terjadinya kolusi antara pengurus LKMDIK dengan aparat birokasi dalarn ha1 penggunaan PDMDKE; 7. Adanya
kebijakan aparat
BAPPEDA yang
berbeda bahkan
bertentangan dengan mekanisme prosedur baku pengelolaan dana PDMDKE Hasil Praktek Lapangan I (Pemetaan Sosial) dan Praktek Lapangan I I (Analisis dan Evaluasi), memberi gambaran bahwa program pemberdayaan
yang dilakukan di Desa Legok Kaler (kasus Program Raksa Desa dan Kelompok Usaha Simpan Pinjam-Bina Usaha) berindikasi sebagai berikut: 1. Tidak ada sosialisasi program
2. Sasaradtarget program diskriminatif pada lingkaran elit desa; 3. Sasaradtarget program tidak dilibatkan dalam proses program serta 'melunggar' prinsip-prinsip partisipasi (sentralistik); 4. Pendampingan dilakukan tidak maksimal;
5. Adanya kebijakan sepihak birokrasi yang merugikan pelaksana
program, tentang jumlah dana bantuan yang seharusnya diberikan; 6. Sangat mengutamakan pada penggemukan dan perputaran dana, sehingga sasaran/target program merasa tertekan; 7. Sarat muatan politik dan menjadi tunsgangan kepentingan birokrasi elit politik lokal (kabupaten); Beberapa kasus yang telah dikemukakan semakin menguatkan kenyataan bahwa program yang sentralistik lebih banyak gagalnya tidak tepat sasaranltarget. Umumnya kegagatan tersebut karena keputusan pemberian program dilakukan oleh pemerintah (pusat atau daerah) dengan kriteria sasaranltarget yang telah ditentukan sendiri sebelumnya, tanpa memperhatikan aspirasi lokal, kesedian atau persiapan sosial, kemampuan, kebutuhan atau permasalahan, potensi dan sumber sosial yang dimiliki masyarakat Lokal. Selain itu, pemerintah biasanya menunjuk atau bahkan membentuk lembaga swadaya masyarakat sendiri yang kemudian ditugaskan ke lokasi program, sehingga menafikan kemampuan komunitas lokal mengelola program yang mandiri dan bertanggung jawab, serta menafikan proses partisipasi yang menjadi 'roh'
sebuah program
pemberdayaan. Senada dengan yang dikemukakan oleh Sulistiati (2006)' secara umum ada beberapa kelemahan tentang program pemberdayaan yang ditujukan untuk pemberdayaan keluarga khususnya yang selama dijalankan yaitu: 1. Perencanaan program kurang didasarkan analisis kebutuhan (need
analisys). Ini menjadi faktor penting, sebab seringkali pihak
perencana program lebih sering membuat perencanaan dari atas dibanding perencanaan dari bawah.
2. Program lebih banyak memberikan bantuan dalam aspek material dibanding aspek pemberdayaan.
3. Penyelenggara program kurang ada koordinasi dan komunikasi lintas unit yang sama-sama fokus. 4. Kurang menyadari hekekat keluarga sebagai sistem yang terkait
erat dengan lingkungannya, sehingga setiap perencanaan program keluarga sebaiknya juga memperhatikan pengwtan sub-sistem yang lainnya sebagai lingkungan seperti lapangan pekerjaan, pendidikan, perumahan dan kesehatan. 5. Kurang diperhatikan aspek kesinambungan.
6. Kurang dikembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait.
b. Sejauhmana Kajian ini Penting Dilakukan dengan Pendekatan
Pembangunan Berpusat pada Rakyat (People Centered DevelopmentPCD) ?
Pengembangan dimaksudkan
masyarakat
untuk
dengan
meningkatkan
pendekatan
kemampuan
partisipatif
masyarakat dalam
menganalisis permasalahan yang dihadapi dan merencanakan pemecahan. Dengan demikian masyarakat
dengan kekuatannya sendiri mampu
mengupayakan pembangunan untuk dirinya sendiri yang berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan secara otonom. Pendekatan
partisipatif
dalam
pengembangan
masyarakat
mengarahkan komunitasf rnasyarakat lokal (public) untuk menyadari
adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebenamaan antara dirinya dengan pihak luar seperti pemerintah (state), pengusaha (private). Aspek penyadaran
inilah
yang
membedakan
antara
proses
pendekatan
pengembangan rnasyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-
objek (masyarakat pasif) dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan subjek-subjek (masyarakat aktif). Pendekatan tenebut akan mengurangi terjadinya proses marjinalisasi masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai posisi tawar yang tingqi dengan pihak luar. Dalam posisi tenebut masyarakat mempunyai kuasa dan kekuatan penentu model pengembangan masyarakat yang mereka inginkan sesuai dengan kekuatan lokal yang dimiliki atau bahkan mempunyai kekuatan untuk menolak pengembangan masyarakat jika dianggap tidak diinginkan. Berkurangnya marjinalisasi ini memben kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu mengelola dan menentukan kehidupannya sesuai dengan kemampuan, sumber daya, dan budaya yang mereka miliki. Maka akan terjadi hubungan masyarakat dengan pihak luar (pemenntah, pengusaha) menjadi lebih sepadan dan egaliter, dan tidak lagi ada hubungan searah dan otonter. Dalam kajian digarap bagaimana proses penumbuhan kelembagaan menggunakan kaidah-kaidah partisipasi menurut pendapat partisipan sendiri, jadi research lebih banyak dilakukan oleh partisipan. Peran pengkaji hanya memfasilitasi kajian agar kegiatan berjalan dengan yang diharapkan. Pada awainya pengkaji mengambil peran menganalisis apa yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat, kemudian setelah analisis yang dilakukan dalam skala yang besar, mencari penyebab dan akar masalah kemudian dilakukan diskusi dengan kelompok-kelompok kecil akhirnya terjadi komitmen sebagian warga untuk siap bergabung dengan pengkaji untuk membentuk sebuah kelembagaan pemberdayaan. Jadi peran objek kajian bergeser menjadi subjek kajian, dan 'kngkaji memposisikan did menjadi fasilitator yang menyediakan tools, seperti penggunaan teknik pengumpulan data (software:
teknik partisipatif)
berikut alat-alat pendukung peraga (hardware: kertas plano, kertas metacard, masking-tape, spidol, clif -board, dll).
Masalah Kajian Keluarga adalah unit kelompok paling kecil, juga mempunyai peran, tugas dan fungsi yang strategis. Keluarga harus dikelola sebagai potensi pemberdayaan pada tingkat yang paling kecil. Ada beberapa alasan yang menjadikan keluarga sebagai pelaksana fungsi sosial: pertoma mampu memenuhi kebutuhan dasar, kedua mampu membangun relasi sosial, ketiga rnampu mempartisipasikan diri dalam komunitas,
keempat mampu
membangun investasi dan asset keluarga, dan kelima mampu ikut serta dalam pengambilan keputusan dalam komunitas (Rustanto, dkk: 2005). Dalam konteks keluarga, pemberdayaan lebih ditujukan kearah kernandinan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, menjaga investasi dan aset keluarga dan pemahaman tentang cara mendidik anggota keluarga dengan cara memberikan motivasi, mendorong dan meningkatkan peran dan fungsi keluarga dalam upaya mencegah disfungsi sosial dan mempertahankan keberfungsian sosial keluarga. Menjaga investasi dan aset keluarga dapat dicapai dengan ditunjang oleh kondisi ekonomi yang memadai, salah satu upayanya adalah usaha ekonomi. Kegiatan tersebut dilakukan oleh keluarga yang diwakili oleh sahh satu atau semua anggota keluarga. Usaha ekonomi yang dihkukan oleh keluarga atau perorangan dalam bentuk apapun di komunitas akan tebih efektif dan akan memiliki posisi tawar yang tinggi jika potensi dan kekuatan terhimpun bisa diorganisir melalui kelembagan atau organisasi. Dan gambaran latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah kajian, sebagai berikut : a.
Bagaimana sketsa komunitas Desa Legok Kaler ?
b. Bagaimana gambaran keluarga menemukenali permasalahan yang dihadapinya? c.
Bagairnana gambaran keluarga menemukenali potensi yang dimilikinya?
d.
Bagalmana
gambaran
proses
kelembagaan yang dibentuk?
pemberdayaan
keluarga
melalui
e.
Bagaimana gambaran
upaya
peningkatan
kemampuan ekonomi
keluarga? f.
Bagaimana gambaran hasil akhir proses partisipasi kelembagaan?
Tujuan Kajian a.
Mengkaji komunitas Desa Legok Kaler
b.
Mengkaji keluarga di komunitas Desa Legok Kaler menemukenali permasalahan yang dihadapinya
c.
Mengkaji keluarga menemukenali potensi yang dimilikinya
d.
Mengkaji proses dan kendala pemberdayaan keluarga di komunitas Desa Legok Kaler melalui kelembagaan yang dibentuk
e.
Mengkaji upaya peningkatan kemampuan ekonomi keluarga di komunitas Desa Legok Kaler
f.
Mengkaji hasil akhir proses partisipasi kelembagaan di komunitas Desa Legok Kaler
Manfaat Kajian Manfaat kajian ini dapat ditinjau dalam perspektif praktis, akademis, dan strategis, adalah : a. Manfaat praktis,
memberi masukan tentang
alternatif
program
pemberdayaan yang aspiratif dan partisipatif bagi; Departemen Sosial, Bappenaslda Kabupaten Sumedang, Pemerintah Kabupaten Sumedang serta semua instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. b. Manfaat akademis, memperkaya literatur tentang teori dan praktek pengembangan masyarakat yang partisipatif dan komprehensif yang dilakukan oleh keluarga. c. Manfaat strategis, memberi masukan alternatif teknik dan model
pemberdayaan bagi semua elemen penggiat pengembangan masyarakat khususnya dan bagi semua elemen yang peduli terhadap pengembangan masyarakat umumnya.