PENDAHULUAN1
D
emokrasi dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bernegara berupaya mendorong sistem pemerintahan diselenggarakan dengan mendapatkan legitimasi dari
rakyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa Legitimasi tersebut merupakan suatu isyarat yang menggambarkan terjadinya proses transformasi dari kedaulatan rakyat kepada kekuasaan admnistratif. Hal ini memberikan konsekuensi pada dua hal, yakni siapa yang layak untuk menerima kuasa tersebut dan bagaimana formulasi keputusan-keputusan publik benarbenar menyentuh pada aspek kepentingan umum. Pasca runtuhnya era Orde Baru pada akhir dekade tahun 1990-an, Indonesia menghadapi babak baru dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang sering disebut sebagai desentralisasi. Proses tersebut telah menggeser paradigma sebelumnya yang sentralistik menjadi proses yang semakin membuka kesempatan bagi daerah untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan melalui otonomi daerah. Bahkan, pada aspek politik di tingkat lokal daerah memiliki kesempatan untuk menjaring kader-kader terbaiknya untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dalam kerangka NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
1
Oleh Muhammad Irsyad Sayuti
1
Desentralisasi politik yang ditandai dengan proses pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota merupakan upaya untuk mewujudkan suatu proses pemilihan secara demokratis sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4). Pada awal pelaksanaanya, memasuki era pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah alam berdemokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah masih sebatas demokrasi perwakilan yang mana kepala daerah merupakan produk dari pemungutan suara yang dilaksanakan di lingkungan DPRD. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedaulatan rakyat yang bercirikan kompleksitas berbagai formasi aspirasi diakumulasikan dan diartikulasikan pada demokrasi di dalam ruangan. Mengutip dari apa yang dinyatakan Agustino (2009), kondisi seperti ini setidaknya memberikan ekses berupa praktek-praktek yang melampaui batasan dari hakikat pelaksanaan desentralisasi diantaranya legislative heavy dan terjadinya praktek politik uang yang menjadikan kursi kepala daerah sebagai suatu komoditas yang dinegosiasikan diantara calon kepala daerah dengan para anggota DPRD. Akan tetapi, dalam sudut pandang lainnya, proses ini merupakan suatu langkah untuk menyadarkan dan membuka mata para pihak di tingkat lokal agar berperan aktif dari pada hanya sekedar menerima produk kekuasaan yang sentralistik dan sarat akan nuansa penyeragaman. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 merupakan momentum semakin terbukanya ruang demokrasi dalam
2
proses pemilihan kepala daerah. Putusan tersebut memberikan konsekuensi
adanya
pengakuan
secara
tegas
terhadap
hak
konstitusional setiap warga negara untuk menjadi peserta pasangan calon yang diajukan oleh perseorangan2 dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui partai politik. Ada dua hal yang dapat diartikulasikan dengan adanya kesempatan terbuka bagi calon perseorangan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pertama, hal ini dapat berarti setiap warga negara yang sungguh-sungguh dalam mencalonkan diri melalui pengajuan perseorangan atau tanpa memilih salah satu partai politik yang ada dapat berperan secara mandiri dan aktif dalam menjaring para pendukungnya. Atau dengan kata lain melakukan suatu inisiasi, baik yang bentuknya memobilisasi ataupun meyakinkan orang lain agar memberikan dukungan dan suara untuk dirinya dalam proses pencalonan dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedua, dapat diartikan sebagai desain yang dirancang untuk mengakomodasi berbagai formasi aspirasi masyarakat terkait dengan kriterian dan tokoh yang layak dalam mengikuti proses pencalonan dan menduduki amanah sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala
2
Angin segar terbukanya kesempatan pengajuan dari perseorangan untuk menjadi pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota berawal dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 67 Ayat (1) yang merupakan realitas baru yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam menafsirkan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
3
daerahnya. Berbeda halnya dengan arti yang pertama yang sifatnya langsung pada subjek yang berpartisipasi, arti kedua ini lebih kepada gagasan komunikatif masyarakat akan subjek. Melandaskan pada konsep kedaulatan rakyat yang diterjemahkan oleh Habermas (Hardiman, 2009) lebih kepada prosedur komunikasi, maka artikulasi yang kedua ini menekankan pada aliran komunikasi yang memuat aspirasi yang mengakar dari rakyat. Mengakar dari rakyat bukan lagi sekedar menekankan pada orang per orang, melainkan menarik pengertian subjektif kongkret kedalam diskursus. Meskipun diawali oleh suatu gagasan komunikatif, pada akhirnya akan terakumulasi pada subjek kongkret yang dipandang layak untuk diusung dalam proses pencalonan dan pemilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pandangan Habermas tersebut berupaya tidak menghadirkan kongkretisasi subjek dari kedaulatan rakyat. Hardiman (2009) lebih memilih untuk tidak mengacuhkan kehadiran orang-orang atau kelompok-kelompok kongkret dari suatu proses perjuangan gagasan rakyat. Apabila hal ini dijabarkan lebih jauh dalam konteks kehidupan sosial, formasi aspirasi tidak memiliki ciri yang sama atau setiap asal aspirasi memiliki keunikan dalam hal kualitas gagasan yang diajukan. Berangkat dari pemahaman tersebut, tentu tidak akan sama antara gagasan mengenai kepemimpinan di kota dan di desa.
4
Kota merupakan perwujudan dari peradaban manusia. Kaplan, Wheeler,
&
Holloway
(2009:
28-29)
menyatakan
peradaban
(civilizationi) sebagai “…a complex sociocultural organization that contains formal institutions and that organizes strangers into a cohesive community under the control of a centralized authority.” Dalam pengertian tersebut setidaknya mengisyaratkan bahwa kota dicirikan oleh suatu masyarakat heterogen karena terbentuk dari individuindividu yang memiliki latar belakang dan kepentingan berbeda-beda sehingga memerlukan peran dari pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan mereka. Pihak yang berkuasa inilah
yang
selanjutnya
menyelenggarakan
fungsinya
untuk
membangun kota, mengatur aktivitas orang-orang di dalamnya, dan mengambil kebijakan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kota. Gottdiener dan Budd (2005) mengungkapkan bahwa beberapa literatur studi perkotaan telah menjadikan bahasan mengenai siapakah yang sebenarnya mengendalikan pemerintahan lokal (di kota-kota) menjadi suatu isu yang layak bahkan penting untuk didiskusikan. Sejauh mana kepemimpinan kota menjadi representasi dari warga kota telah menjadi satu diantara berbagai konsepsi kunci dalam kajian perkotaan. Dalam kenyataannya, kepemimpinan kota sebagai bagian utuh dari pemerintahan kota yang berperan dalam mengerahkan penggunaan sumber daya ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangankalangan tertentu untuk mempengaruhi kinerja pemerintahan kota
5
sebagai entitas yang memiliki kewenangan untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik. Gottdiener dan Budd (2005) menyatakan bahwa ada tiga perspektif terkait isu tersebut. Pertama, kota dikendalikan oleh kalangan elit yang berasal atau berafiliasi dengan kalangan yang memiliki kekuatan modal yang kuat, diantaranya para pengembang real estate yang tentu saja membutuhkan kebijakan publik yang mendukung kegiatan bisnis mereka seperti akses terhadap lahan di perkotaan dan kemudahan dalam alih fungsi lahan. Kedua, kota merupakan representasi kaum pluralis sehingga kota tumbuh dan berkembang dalam berbagai warna kepentingan yang diakui dan diakomodasi oleh pemerintah kota. Dalam perspektif yang kedua ini, pemerintah kota mengakui keberadaan berbagai komuniti atau kelompok kepentingan dalam masyarakat, hanya saja ketika kepentingan tersebut berbenturan dengan kepentingan bisnis milik para elit. Ketiga, perspektif state managerialism yang mana kota tidak terlepas dari kepentingan yang dimiliki oleh para pejabat maupun pegawai pemerintah kota itu sendiri. Termasuk pengertian tersebut diantaranya keberadaan para kepala daerah yang mampu merebut hati rakyat karena menunjukkan kinerja yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh publik atau hal ini juga bisa tercermin pada banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kota Jakarta, seperti halnya kota-kota lainnya juga mengalami dinamika sebagaimana diungkapkan diatas. Namun, Kota Jakarta
6
memiliki beberapa pertimbangan yang menjadi magnet yang cukup kuat menarik perhatian berbagai kalangan. Pertama, Jakarta berkedudukan sebagai ibu kota Negara. Hal ini mengsiyaratkan bahwa Jakarta memberikan pengaruh bagi stabilitas daerah lainnya di Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana peristiwa yang terjadi di Jakarta membawa dampak bagi kehidupan masyarakat Indonesia, diantaranya demonstrasi mahasiswa yang mendesak mundurnya Jenderal Suharto dari kursi kepresidenan dan terjadinya tindakan kekerasan terhadap orang-orang keturunan Tionghoa pada tahun 1998 sebagaimana yang dinyatakan oleh (Kusno, 2009). Kedua, Jakarta merupakan kota dengan otonomi terletak di level provinsi yang membedakannya dari kota-kota lainnya yang mengisyaratkan bahwa kota ini memiliki kewenangan khusus dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang didesentralisasikan dari pemerintah pusat. Ketiga, Jakarta merupakan pintu gerbang bagi pihak asing yang ingin masuk dan menanamkan modalnya di Indonesia sehingga di Kota ini banyak ditemukan kantor perwakilan perusahaan-perusahaan transnasional. Keempat, menjadi kepala daerah bagi Kota Jakarta memiliki nilai prestisius yang mampu mengantarkan seseorang menuju kursi kepresidenan, seperti yang dialami oleh Presiden Joko WIdodo yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
7
Sebagaimana pengertian kota dalam pandangan Mumford3 yang dikemukakan pada tahun 1937 bahwa kota sebagai sebuah institusi sosial yang tidak melulu merupakan sebuah wujud dari organisasi fisik bahkan kota merupakan teater dari aksi sosial, maka kota merupakan suatu pentas politik sekaligus membentuk politik itu sendiri. Dalam pengertian tersebut, tidaklah jauh berbeda dengan dinamika yang terjadi di Kota Jakarta. Beberapa waktu terakhir ini muncul satu komuniti bernama Teman Ahok yang mempelopori suatu gerakan yang menggagas untuk keberlanjutan kepemimpinan politik kota dibawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dipanggil Ahok. Teman Ahok berupaya untuk mencalonkan kembali Ahok dalam proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta di tahun 2017 melalui mekanisme pencalonan perseorangan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Melalui mekanisme pencalonan Ahok dengan dukungan langsung dari warga Kota Jakarta (baca: tanpa diajukan oleh partai politik tertentu), gerakan ini berharap ketika Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, terjadi hubungan timbal balik antara perwujudan legitimasi nyata dan langsung dari warga Kota Jakarta dengan akuntabilitas kepemimpinan politik Ahok sehingga setiap keputusan dan kebijakan publik yang diproduksi dan dijalankan oleh selama masa kepemerintahannya adalah representasi
3
Dimuat dalam R. T. LeGates, & F. Stout, "The City Reader: Second Edition", 2000, halm. 91-96
8
dari kehendak warga. Dengan demikian, Teman Ahok sebagai komuniti politik menarik dikaji lebih lanjut sebagai bentuk dari gejala perkotaan mengingat dunia perpolitikan selalu dididentikkan dengan keberadaan dan peran dari partai-partai politik. ***
9
“…seseorang tidak akan sepenuhnya sebagai orang Indonesia bila ia belum melihat Jakarta.” Pramoedya Ananta Noer (Dikutip oleh Kusno, 2009: 38)
10
POTRET KEPEMIMPINAN KOTA JAKARTA4 Peran Pemimpin Bagi Kota Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk melalui proses yang relatif panjang. Proses dinamika perubahan kota tersebut tidak lepas dari peran pemimpin kota. Kota – kota klasik pada zaman dahulu seperti di Yunani sangat erat kaitannya dengan sosok pemimpin kota yang sangat diagungkan karena memiliki intelektual dan moral yang baik. Bagi bangsa Yunani kota bukan hanya sekedar ruang fisik semata namun disebut juga sebagai “city state” atau negara kota (Kito, 1951). Konsep negara kota (city state) merupakan kota yang sekaligus merupakan pusat dari pemerintahan, religi, kebudayaan, historis dan mempunyai teritori atau wilayah yang batas-batsnya bukan hanya sekedar dari bentuk fisik/geografis saja, tetapi dari rasa kepimilikan warga kota. Sejauh masyarakat disekitar kota masih mempunyai jiwa dan merasa mempunyai kesamaam historis dan religi dengan kota maka itulah batas dari kota. Warga kota Yunani klasik merupakan warga kota yang memiliki
karaktristik yang kuat dalam
hal intelektual,
kebijaksanaan dan moral, terutama untuk golongan yang menjadi
4
Oleh Bambang Kristiyantoro
11
pengelola kota atau bangsawan. Hal ini pernah dijelaskan oleh Plato bahwa: “Jika seseorang ingin menjadi negarawan yang baik, ia harus mengetahui Yang Baik, ini hanya bisa dicapai dengan mengkombinasikan kemampuan intelek dan moral. Bila mereka yang belum pernah mengenyam disiplin ini diizinkan ikut memimpin pemerintahan, maka mereka pasti menimbulkan kerusakan” (Plato dalam Russell, 2007 Hal : 143).
Penjelasan Palto diatas jelas mencerminkan bahwa peran pemimpin kota sangatlah sentral.
Pemimpin harus mempunyai
intelektual dan moral yang baik karena diemban tugas-tugas berat untuk mewujudkan kebudayaan dan peradaban kota yang baik. Dalam konteks kota modern, fungsi kota juga tidak jauh berbeda dengan konsep kota klasik. Kota masih berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan kota modern secara formal dipimpin oleh pejabat yang berwenang untuk mengatur, mengelola dan menentukan kebijakan-kebijakan terkait dengan kota. Bagi kota peran pemipin sangat sentral karena bukan hanya sekedar sebagai atribut kekuasaan namun harus mampu memiliki jiwa kepemimpinan untuk menuntun dan membimbing kota kearah masa depan yang lebih baik. Kepemimpinan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ”pimpin” dengan mendapat awalan menjadi “memimpin” maka diartikan menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing dalam perkataan ini dapat disamakan pengertiannya 12
dengan mengetahui, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari. Banyak ahli manajemen memberikan definisi dan teori yang beragam tentang kepemimpinan. Hal ini tergantung cara pandang dan kegiatan penelitian mereka. Menurut Henry Pratt Fairchild sebagaimana di kutip oleh Kartini Kartono (2005) Pemimpin adalah orang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain melalui kekuasaan dan posisi. Bagi Kota Jakarta yang pemimpinnya merupakan seorang Gubernur tentu peran pemimpin menjadi sangat sentral karena mempunyai wewenang dan memegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggraan pemerintahan. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2010 Pasal 3, Gubernur mempunyai tugas dan wewenang dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang meliputi: a. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan; b. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; c. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antarpemerintahan
daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
13
d. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota; e. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; f. menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan
demokrasi; g. memelihara stabilitas politik; h. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di
daerah; i. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai gambaran, bahwa lingkup penyelenggraan urusan pemerintahan sesuai dengan amanat UU 23 Tahun 2014 meliputi urusan wajib dan urusan pilihan yang merepresentasikan semua aspek kehidupan kota baik fisik maupun non fisik. Urusan wajib terbagi menjadi dua bagian yaitu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Tabel 1. Jenis Urusan Pemerintahan Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
14
Urusan pilihan a. b. c.
kelautan dan perikanan; pariwisata; pertanian;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; f. sosial.
c. d. e. f.
g. h.
i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
pangan; pertanahan; lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan masyarakat dan Desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; perhubungan; komunikasi dan informatika; koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman modal; kepemudaan dan olah raga; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan kearsipan.
d. e. f. g. h.
kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian; dan transmigrasi.
Dengan memegang kewenangan dalam peneyelenggaraan urusan tersebut tidak heran bahwa Gubernur atau dalam hal ini adalah pemimpin kota Jakarta memiliki tanggung jawab dan beban tugas yang sangat berat. Kemajuan dan kemunduran kota Jakarta tidak salah jika dikatakan bahwa faktor pemimpin/ Gubernur menjadi faktor penyebab utama. Karena mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengawasan dan evaluasi semua bertumpu pada kebijakan tertinggi di kewenangan Gubernur atau lebih spesifik pemimpin kota Jakarta (Gubernur DKI Jakarta). 15
Sejarah Kepemimpinan Jakarta Jakarta merupakan daerah yang memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak era kolonialisme Belanda, Jakarta
yang
ketika
itu
bernama
Batavia
merupakan
pusat
pemerintahan Hindia-Belanda. Saat dimulainya pergerakan perjuangan kemerdekaan secara nasional, Jakarta merupakan jantung pergerakan yang memompakan darah perjuangan kemerdekaan keseluruh pelosok tanah air. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 Jakarta telah mengalami beberapa kali pergantian pemimpin. Mulai dari Gubernur pertama Suwirjo ( 1945-1951 ) sampai dengan Joko Widodo ( 2014). Beragam kebijakan dan instruksi atas nama perbaikan Jakarta untuk pembangunan dan pengelolaan kearah lebih baik dikeluarkan. Berikut adalah nama nama Gubernur DKI Jakarta dari masa ke masa: 1. Raden Suwiryo (2 Periode) 1945-1947, 1950-1951 Raden Suwiryo (lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1967 pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh pergerakan Indonesia. Beliau juga pernah menjadi Walikota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Beliau juga pernah menjadi Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo. Menjabat sebagai Walikota Jakarta tahun 1945 – 1947. Dalam era
16
kepemimpinanya masih disibukkan dengan penataan Jakarta secara administratif. 2. Letnan Kolonel H. Daan Jahja (1948-1950) Letnan Kolonel H. Daan Jahja (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Januari 1925 – meninggal di Jakarta, 20 Juni 1985 pada umur 60 tahun) adalah Gubernur (Militer) Jakarta dan Panglima Divisi Siliwangi. Ia memainkan peranan penting dalam menumpas aksi Kapten Westerling yang mau merebut kekuasaan negara karena tidak menerima penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949. Daan Jahja berhasil menyelesaikan masalah administratif pemerintahan Jakarta yang sebelumnya diatur oleh Belanda. Menjabat sebagai Gubernur (Militer) Jakarta tahun 1947 - 1950. 3. Syamsurijal (1951-1953) Syamsurijal Lahir di Karanganyar (Kedu) pada tanggal 11 Oktober 1903. Ia sekolah di ELS, HBS kemudian pindah ke MULO, lalu melanjutkan ke Rechtschool di Jakarta. Setelah pendidikannya selesai ia bertugas di Landraad (pengadilan negeri) di beberapa tempat di Pulau Jawa. Dia aktif di Jong Java, Jong Islamitien Bond, Partai Sarekat Islam, Ketua Pengurus Besar Sarekat Sekerja Pegawai-pegawai Indonesia, pengurus Masjumi (masa pendudukan
17
Jepang). Setelah Proklamasi ia menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia di Bandung, dan kemudian meningkat menjadi Walikota Bandung. Syamsurijal pernah menjadi pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri, antara lain Residen di Pati sebelum menjadi Walikota Jakarta. Menjabat sebagai walikota Jakarta tahun 1951 - 1953. Kebijakan yang cukup terkenal pada masa kepemimpinannya adalah mengenai masalah listrik. Walau begitu, ia juga memberi prioritas pada masalah air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan atas tanah. Guna mengatasi masalah listrik yang sering padam, Sjamsuridjal membangun pembangkit listrik di Ancol. Adapun untuk meningkatkan penyediaan air minum, dia membangun penyaringan air di Karet, penambahan pipa, peningkatan suplai air dari Bogor. Di bawah pemerintahan Sjamsuridjal, bidang pendidikan juga mendapat perhatian. Ia mendukung pengembangan Universitas Indonesia. 4. Sudiro (1953-1960) Sudiro dikenal sebagai Walikota (Jabatan setara dengan Gubernur pada saat itu) Jakarta untuk periode 1953-1960. Pria kelahiran Yogyakarta, 24 April 1911 ini mengeluarkan kebijakan pemecahan wilayah Jakarta menjadi tiga kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Ia juga yang mengemukakan kebijakan pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK)
18
yang kemudian menjadi Rukun Warga (RW). Ia meninggal pada tahun 1992. 5. Dr. Soemarno Sosroatmodjo, 2 Periode (1960 – 1964) – (1965-1966) Dr. Soemarno Sosroatmodjo (lahir di Rambipuji, Jember, Jawa Timur, 24 April 1911 – meninggal di Jakarta, 9 Januari 1991 pada umur 79 tahun) adalah salah satu mantan Gubernur DKI Jakarta tahun 1960 - 1964 periode pertama. Selain berasal dari militer beliau juga adalah seorang dokter. Pada masa kepemimpinannya beberapa masalah menghadang, terutama berkaitan dengan pembebasan Irian Jaya dan demonstrasi Ganyang Malaysia. Pada masa kepemimpinannya, selain dibangun Monas, Patung Selamat Datang, dan Patung Pahlawan di Menteng, juga dibangun rumah minimum. Konsep rumah minimum ini adalah rumah dengan luas 90 meter persegi, dibangun di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari dua lantai, lokasinya dekat dengan tempat kerja. Proyek pertama rumah minimum dibangun di Raden Saleh, Karang Anyar, Tanjung Priok, dan Bandengan Selatan. 6. Hendrik Hermanus Joel Ngantung (1964-1965) Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 1 Maret 1921 – meninggal di Jakarta, 12 Desember 1991 pada umur 70 tahun) adalah
19
seorang berdarah Tionghoa dan pelukis Indonesia dan Gubernur Jakarta untuk periode 1964-1965. Tugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sedang melambaikan tangan yang berada di bundaran Hotel Indonesia merupakan hasil sketsa Henk. Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Soekarno dan design awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk juga membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad. Lukisan hasil karya Henk antara lain adalah Ibu dan Anak yang merupakan hasil karya terakhirnya. 7. Ali Sadikin (1966-1977) Ali Sadikin (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1927 – meninggal di Singapura, 20 Mei 2008 pada umur 80 tahun) adalah seorang letnan jenderal KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 1966. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Ali Sadikin menjadi gubernur yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Karena itu ia disapa akrab oleh penduduk kota
20
Jakarta dengan panggilan Bang Ali sementara istrinya, Ny. Nani Sadikin, seorang dokter gigi, disapa Mpok Nani. Ali Sadikin adalah gubernur yang sangat berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Di bawah kepemimpinannya Jakarta mengalami banyak perubahan karena proyek-proyek pembangunan buah pikiran Bang Ali, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota satelit Pluit di Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet, dll. Bang Ali juga mencetuskan pesta rakyat setiap tahun pada hari jadi kota Jakarta, 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng Betawi, dsb. 8. Tjokropranolo (1977– 1982) Tjokropranolo (lahir di Temanggoeng, Jawa Tengah, 21 Mei 1924 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 22 Juli 1998 pada umur 74 tahun) atau lebih akrab dengan panggilan Bang Nolly adalah salah satu mantan Gubernur DKI Jakarta dan tokoh militer dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dia menjadi pengawal pribadi Panglima Besar Soedirman pada masa Revolusi Nasional Indonesia melawan pendudukan Belanda. Dia turut meloloskan Soedirman dari serangan maut tentara Belanda yang berkali-kali melakukan percobaan
21
pembunuhan terhadap Soedirman. Dalam karier kemiliteran, ia tidak hanya terjun ke medan, tapi juga banyak terlibat dalam posisi penting di balik layar, antara lain Asintel Siaga dan Kepala Intelijen dalam berbagai konflik, dan sekretaris militer untuk presiden. Menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 1977 - 1982. Selama dia menjabat gubernur, ia sering mengunjungi berbagai pabrik untuk mengecek kesejahteraan buruh dan mendapatkan gagasan langsung tentang upah mereka. Usaha kecil juga menjadi perhatiannya. Dia mengalokasikan sekitar ratusan tempat untuk puluhan ribu pedagang kecil agar dapat berdagang secara legal. Walau begitu, kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan transportasi kota menjapada masalah yang sulit dipecahkan. Perda yang mengatur pedagang jalanan tidak efektif, sehingga mereka masih berdagang di wilayah terlarang, menempati badan jalan, dan memacetkan lalu lintas. 9. R. Soeprapto (1982-1987) R. Soeprapto (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 12 Agustus 1924 – meninggal di Jakarta, 26 September 2009 pada umur 85 tahun) adalah salah satu mantan Gubernur Jakarta. Kariernya dimulai dari militer dan pada tahun 1982 dia menjadi Gubernur Jakarta selama satu periode dari rahun 1982 - 1987. Sebelum menjabat sebagai gubernur, ia adalah Sekretaris Jenderal Depdagri. Dengan pengalaman kepemimpinannya, Soeprapto mencoba
22
menangani
masalah
Jakarta
yang
kompleks.
Ia
memulai
kepemimpinannya dengan mengajukan konsep yang pragmatis dan bersih tentang pembangunan Jakarta sebagai ibu kota dan juga wacananya mengenai sebuah kota besar. Ia menekankan konsepnya dalam wacana stabilitas, keamanan, dan ketertiban. Selain itu Soeprapto juga membuat Master Plan DKI Jakarta untuk periode 1985 2005, yang sekarang dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Rencana Bahagian Wilayah Kota. 10. Letjen TNI (Purn) Wiyogo Atmodarminto (1987- 1992) Letjen TNI (Purn) Wiyogo Atmodarminto, (lahir di Yogyakarta, 22 November 1922 – meninggal di Jakarta, 19 Oktober 2012 pada umur 89 tahun) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bang Wi adalah Gubernur Jakarta periode 1987 - 1992. Sebelumnya, ia bertugas sebagai Duta besar RI untuk Jepang. Wiyogo pernah menjabat Panglima Kowilhan II (1981-1983) dan Panglima Kostrad antara 19 Januari 1978 hingga 1 Maret 1980. Wiyogo merupakan salah satu pelaku sejarah pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Pada masa kepemimpinannya ia secara rutin berkunjung ke berbagai tempat di Jakarta. Ia dikenal sebagai pemimpin yang terbuka dan bersikap disiplin. Di awal kepemimpinannya, dia memutuskan untuk menerapkan konsep BMW: Bersih, Manusiawi, berWibawa di Jakarta.
23
11. Jendral TNI (HOR) Soerjadi Soedirdja (1992-1997) Jenderal TNI (HOR) Soerjadi Soedirdja (lahir di Batavia, 11 Oktober 1938; umur 74 tahun) adalah salah satu tokoh militer dan politik Indonesia. Soerjadi Soedirdja juga menjabat Gubernur DKI Jakarta
periode
1992-1997.
Di
masa
kepemimpinannya, ia membuat proyek pembangunan rumah susun, menciptakan kawasan hijau, dan juga memperbanyak daerah resapan air. Adapun proyek kereta api bawah tanah (subway) dan jalan susun tiga (triple decker) yang sempat didengung-dengungkan pada masanya belum terwujud. Yang jelas, ia menyaksikan selesainya pembersihan jalan-jalan Jakarta dari becak, suatu usaha yang telah dimulai sejak gubernur sebelumnya (Bang Wi). Selain itu Peristiwa 27 Juli 1996 terjadi pada masa Jakarta di bawah kepemimpinannya. Beliau juga merupakan salah satu dewan penyantun Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, yang berlokasi di jalan raya Jakarta km 4 pakupatan-serang, Banten. 12. Letjen TNI (Purn) Dr. (HC) H. Sutiyoso (1997-2002), (2002-2007) Letjen TNI (Purn.) Dr. (HC) H. Sutiyoso (lahir di Semarang, 6 Desember 1944; umur 68 tahun) adalah seorang politikus dan mantan tokoh militer Indonesia berbintang tiga. Ia adalah Gubernur Jakarta selama dua periode, mulai 6 Oktober 1997 hingga 7 Oktober 2007, saat ia digantikan Fauzi Bowo, wakilnya, yang memenangi Pilkada
24
DKI 2007. Sebagai gubernur, Sutoyoso adalah tokoh yang cukup menarik. Sepanjang dua periode menjadi gubernur, ia sering mengundang kontroversi ketika menggulirkan kebijakan. Kritikan terhadap proyek angkutan umum busway, proyek pemagaran taman di kawasan Monas Jakarta Pusat, dan sejumlah proyek lainnya 13. Dr. Ing. H Fauzi Bowo (2007-2012) Dr.-Ing. H. Fauzi Bowo (lahir di Jakarta, 10 April 1948; umur 64 tahun) adalah Gubernur Jakarta dari 7 Oktober 2007 hingga 7 Oktober 2012. Ia terpilih pada pemilu kepala daerah DKI Jakarta tahun 2007 dan berpasangan dengan Prijanto. Pasangan ini mengalahkan pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar, yang pada waktu itu didukung oleh satu partai saja. Sebelum menjadi gubernur, Fauzi Bowo menjabat wakil gubernur mendampingi Sutiyoso. 14. Ir. H. Joko Widodo (2014) Ir. H. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 51 tahun), atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi, adalah Gubernur DKI Jakarta terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia merupakan gubernur ke-17 yang memimpin ibu kota Indonesia. Sebelumnya, Jokowi menjabat Wali Kota Surakarta (Solo) selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk
25
memimpin Ibukota Negara. Dalam masa jabatannya di Solo, ia didampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakil walikota. Ia dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Gambar 1. Gubernur Jakarta Dari Waktu Ke Waktu Dan Mekanisme Pemilihannya
Tabel 2. Catatan Prestasi Gubernur DKI Jakarta dalam Pembangunan Kota Jakarta No Gubernur 1 Suwiryo 2
Daan Jahja
3
Syamsurijal
Catatan Prestasi Tahap penyelesaian Administratif Pemerintahan Jakarta yang sebelumnya diatur Oleh Belanda Tahap penyelesaian Administratif Pemerintahan Jakarta yang sebelumnya diatur Oleh Belanda Pembangunan Pembangkit Listrik Ancol Penyaringan Air Minum di Karet Peningkatan Suplai Air Bersih dari Bogor Mendukung Pengembangan UI 26
No Gubernur 4 Sudiro
Catatan Prestasi Inisiasi Pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) Pembangunan Monas Patung Selamat Datang Patung Pahlawan, Menteng Konsep Rumah Minimum, 100 m2, 2 Lantai, Dekat Tempat Kerja Designer konsep Patung Selamat Datang Designer Lambang DKI Jakarta dan Kostrad
5
Soemarno Sosroatmojo
6
Joel Ngantung
7
Ali Sadikin
Konsep Metropolitan Pembangunan Taman Ismail Marzuki Kebun Binatang Ragunan Proyek Senen Taman Impian Jaya Ancol Taman Ria Monas Penggagas Festifal Rakyat tiap ulang tahun Jakarta (Jakarta Fair)
8
Tjokropranolo
Sangat memperhatikan upah buruh Perhatian Terhadap Usaha Kecil → Penyediaan Ruang yang Legal untuk pedagang kecil
9
R. Soeprapto
10
Wiyogo Atmodarminto
Master Plan DKI Jakarta 1985-2005 yang sekarang disebut RTRW Konsep Kota BMW: Bersih, Manusiawi, Berwibawa
11
Soerjadi Soedirdja
Pembangunan Rumah Susun Kawasan Hijau Ide Kereta Bawah Tanah Ide Jalan Susun Tiga (Triple Decker) Membersihkan Jakarta dari Becak
12
Sutiyoso
Proyek Busway Pemagaran Taman Monas
13
Fauzi Bowo
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek-punjur (2008) 27
No Gubernur 14 Joko Widodo
Catatan Prestasi Penataan Taman Peluit Kartu Jakarta Sehat Kartu Jakarta Pintar
Pemimpin Jakarta Saat ini Gubernur Basuki Tjahaya Purnama “Ahok”, (2015 – Sekarang) Basuki Tjahaja Purnama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 19 November 2014. Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok itu naik pangkat menggantikan Joko Widodo (Jokowi) yang mundur dari kursi gubernur setelah terpilih sebagai presiden berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 98 Tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014. Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo dengan sisa masa jabatan 2012-2017. Pemberhentian Ahok sebagai Wakil Gubernur dan pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 130/P/2014 tentang Pemberhentian Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Pengesahan Pengangkatan Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan 2012-2017, yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Tugas utama Ahok yang menjadi prioritas sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah reformasi birokrasi. Sejak awal dilantik sebagai gubernur Ahok sudah menjadi kontroversi. Dimulai dari penolakan dari beberapa fraksi di DPRD DKI Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Koalisi partai politik pendukung Prabowo) yang dinilai Ahok tidak
28
objektif karena mengangkat isu ras dan agama. Namun menurut ketua DPRD DKI Jakarta pada saat itu yaitu Prasetyo Edi Marsudi, pelantikan Ahok telah sesuai dengan aturan konstitusi (Waluyo, 2014). Kontroversi
Ahok
tidak
berhenti
sampai
disitu.
Dalam
perjalananya dalam memimpin Jakarta Ahok menjadi sosok yang sangat kontroversial. Berbagai kebijakan yang bersifat keras dan tegas diprkatekan dalam gaya kepemimpinan Jakarta. Tidak asing di telinga masyarakat melalui media cetak atau elektronik bagaiamana Ahok dengan tanpa kompromi mencopot jabatan-jabatan struktural PNS DKI Jakarta yang dinilainya kinerjanya buruk dan malas. Kasus yang kontroversial lain adalah penataan permukiman di bantaran sungai Kampung Pulo Jakarta yang sampai terjadi bentrok besar antara warga dengan pemerintah DKI. Dalam kasus tersebut banyak terjadi perdebatan dalam cara yang dilakukan Ahok dalam menata Kampung Pulo yang terlalu arogan dan agresif yang seharusnya dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih humanis misalnya melalui diskusi, pendampingan dan perencanaan partisipatif. Namun, disisi lain banyak juga yang menilai dan menyukai gaya Ahok dalam membereskan kekumuhan Kampung Pulo yang dinilainya memang harus dilakukan dengan ketegasan seperti itu. Satu Tahun kepemimpinan Ahok banyak lembaga survey yang melakukan penilaian terhadap kepuasan masyarakat Jakarta terhadap kinerja kepemimpinan Ahok, salah satunya adalah lembaga survey
29
Periskop. Pada survey tersebut didapat data bahwa kepuasan masyarakat DKI terhadap Gubernur Ahok lebih tinggi daripada yang tidak puas (Ferri, 2015). Survey dilakukan dengan menggunakan metode multistage random sampling, dengan jumlah responden sebanyak 500 orang yang tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Survey dilakukan pada bulan Juni 2015 dan hasilnya adalah sebagi berikut: a. Bidang ekonomi: 30,6 % responden puas 45,6% tidak puas; b. Bidang Sosial : 48% responden puas dan 35,8% tidak puas; c. Bidang Keamanan: 53,2 % responden puas dan 32,8% tidak puas; d. Bidang Penegakan Hukum: 49% responden puas dan 30,8% tidak puas. Secara rata-rata keseluruhan 48,2 % responden merasa puas terhadap kinerja Gubernur Ahok dan 47,2% responden tidak puas (Ferri, 2015). Melihat adanya kontroversi masyarakat Jakarta terhadap Ahok, ada yang Pro dan ada yang Kontra, ada yang puas dengan kinerja ada yang tidak puas dengan kinerja, membuat sosok Ahok bagi warga Jakarta menjadi sosok pemimpin yang “Dibenci Sekaligus Dicintai”. Isu Kepemimpinan Kedepan Melihat perjalanan demokrasi dan mekanisme pemilihan kepala daerah dinamikanya cukup beragam mulai dari era penunjukan langsung oleh Presiden, era pemilihan di DPRD, sampai dengan era
30
pemilihan langsung oleh rakyat seperti yang terjadi sekarang. Calonpemimpin daerah biasanya diusung oleh Partai Politik untuk dapat maju menjadi calon pemimpin daerah. Namun dengan terbitnya UndangUndang No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang dibuka peluang bagi calon perseorangan (independen) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah melalui pemilihan umum (Pemilu) langsung. Hal itu sesuai dengan amanat UU No 8 Tahun 2015 pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Provinsi” (UU No 8 Tahun 2015 pasal 1 Ayat 3)
Bagi calon yang mengajukan diri melalui jalur perseorangan (independen) harus memenuhi beberapa persyaratan salah satu yang paling utama adalah didukung langsung oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan KTP dukungan. Adapun kriteria mengenai jumlah dukungan minimum untuk dapat maju calon perseorangan menjadi kepala daerah provinsi (Gubernur) menurut UU No 8 Tahun 2015 Pasal 41 adalah sebagai berikut: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua
juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
31
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta)
jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam
juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua
belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); e. Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud. Dengan adanya peluang calon perseorangan tersebut membuat beberapa tokoh banyak yang memulai penggalangan dukungan untuk dapat maju mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam konteks kota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) yang jumlah penduduknya pada tahun 2014 mencapai angka 9.992.842 Jiwa (Permendagri No 56 Tahun 2015), maka bila ada tokoh yang akan maju pada pencalonan Gubernur pada tahun 2017 menggunakan kriteria nomor c (point diatas). Yaitu minimal didukung oleh 7,5 % Penduduk Jakarta atau jika dikalkulasikan adalah 749.463 jiwa. Dengan adanya peluang tersebut, maka menginisasi warga yang pro terhadap Ahok, untuk mendirikan komunitas dengan nama “Teman
32
Ahok” yang visi utamanya adalah mendukung Ahok untuk maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada pemilihan gubernur tahun 2017 melalui jalur perseorangan. Salah satu yang dilakukan oleh komunitas tersebut untuk mendukung Ahok adalah mengumpulan KTP dukungan untuk ahok dengan brand gerakan “1 Juta KTP untuk Ahok”. ***
33
“Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini” (Max Weber dikutip dalam Budiardjo, 1986: 16)
34
PROFIL PERKUMPULAN “TEMAN AHOK”5
Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang berlangsung selama dua putaran tak terlepas dari peran relawan yang bergerak dan membantu kerja – kerja teknis di lapangan. Menurut catatan ada dua kelompok relawan dengan jumlah anggota cukup besar ketika itu. Kelompok tersebut adalah Relawan Jakarta Baru dengan koordinator Hasan Nasbi (Direktur Eksekutif Cyrus Network) dan Relawan Sekretariat Bersama dengan koordinator Kris Budiharjo. Masing-masing kelompok beranggotakan 15.000 dan 60.000 orang, yang tersebar mulai tingkatan RT hingga Kecamatan6.
5
Oleh Darul Syahdanul http://www.tempo.co/read/news/2012/09/22/228431172/relawan-jokowi-ahokpunya-tugas-baru 6
35
Berdasarkan pernyataan kedua koordinator tersebut, setelah Jokowi-Ahok dinyatakan sebagai pemenang Pilkada 2012. Relawan yang telah ada akan menanggalkan tugas mengumpulkan massa seperti saat pilkada berlangsung. Mereka akan kembali menjadi warga Jakarta yang baik, mendukung program pemerintah, tetap kritis dan tidak boleh tutup mata terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah DKI. Dalam kesempatan yang sama Hasan Nasbi dan Kris Budiharjo juga menambahkan bahwa tidak akan ada pembubaran karena relawan tersebut terbentuk secara sendirinya dan memiliki ideologi untuk menjadikan Jakarta yang lebih baik. Mereka hanya akan berubah fungsi menjadi pemantau dan pengawal kebijakan Jokowi-Ahok, sistem koordinasi yang mereka terapkan tidak akan jauh berbeda dengan selama masa kampanye. Mereka menerapkan sistem komando yang sama di tiap tingkatan. Dua tahun setelah terpilih menjadi Gubernur DKI, Joko Widodo diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju sebagai calon Presiden Republik Indonesia pada Pemilihan Presiden 2014. Hingga akhirnya menang dan dilantik pada 20 Oktober 2014. Dengan kondisi tersebut maka Ahok yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta “naik pangkat” menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo. "Saya berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia 1945, dan menjalankan segala Undang-
36
Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa."
Demikian janji yang diucapkan Ahok saat dilantik di Istana Negara pada hari Rabu, 19 November 2014. Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta Ke-17 setelah menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia Ke-7 pada pemilihan Presiden 9 Juli 2014. Pemberhentian Ahok sebagai Wakil Gubernur dan pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 130/P/2014 tentang Pemberhentian Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Pengesahan Pengangkatan Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa Jabatan 2012-2017, yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Terhitung sejak hari pelantikan tersebut, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal sebagai Ahok secara resmi memimpin Jakarta. Munculnya Ahok sebagai sosok pemimpin yang memiliki karakter keras, tegas, berani dan disiplin dipandang sebagai sosok pemimpin yang pantas untuk mengurusi Provinsi DKI Jakarta yang “semrawut”. Dalam satu tahun kepemimpinannya Ahok terlihat sangat mudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk membenahi Jakarta. Berdasarkan wawancara kepada Amalia Ayuningtyas (juru bicara temanAhok.com), ia mengatakan bahwa gaya kepemimpinan Ahok sangat dibutuhkan saat sekarang ini. Keberanian menggusur pemukiman liar di beberapa titik, menutup tempat hiburan yang menjadi salah satu sumber peredaran Narkoba, dan penataan birokrasi 37
adalah contoh gebrakan yang membuat Amalia dan kawan-kawan lainnya semakin percaya untuk mengusung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 nanti. Melihat tekanan politik dan kenyataan bahwa Ahok bukan lagi seorang kader partai7. Mereka melihat bahwa Ahok membutuhkan "kendaraan" untuk maju dalam Pilgub DKI 2017 melalui jalur non partai, sehingga mekanisme incumbent merupakan alternatif bagi Ahok. Dan perkumpulan Teman Ahok bergerak untuk membantu Ahok maju sebagai incumbent sesuai dengan UU No 8 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat 3, disamping sebagai suatu bentuk upaya membentuk kekuasaan yang berelasi dan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada partai politik. Maka, Amalia dan beberapa kawannya mulai merencanakan dan mewacanakan untuk membantu Ahok memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Dengan disahkannya UU No 8 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat 3 mengenai dibolehkannya seorang calon perseorangan diusung dengan persayaratan mendapatkan dukungan sebesar 7,5% dari jumlah penduduk suatu daerah, yang dilihat dari jumlah Kartu Tanda Penduduk yang dikumpulkan.
7
Ahok menyatakan mengundurkan diri dari Keanggotaan Partai Gerakan Indonesia Raya pada 10 september 2014. http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/10/289492/ahok-mengundurkan-diridari-gerindra-hari-ini
38
Amalia, Bowo, Richard, Singgih, dan Fathoni adalah inisiator pertama dalam pembentukan “Teman Ahok”. Mereka ber-lima adalah Relawan Jakarta Baru yang sebelumnya membantu pasangan JokowiAhok pada Pilkada 2012. Awalnya mereka melakukan koordinasi melalui grup obrolan daring. Setelah itu mereka melanjutkan dengan bertemu langsung dan mendiskusikan langkah-langkah selanjutnya untuk mengusung Ahok melalu jalur perseorangan. Menurut penuturan Lia (Amalia, Juru bicara temanAhok.com) pada awalnya mereka mulai mengajak teman-teman terdekat mereka ber-lima untuk mengumpulkan KTP dukungan buat Ahok. Pengumpulan tersebut dimulai pada bulan Maret 2015, hingga bulan Mei 2015 mereka “hanya” berhasil mengumpulkan ± 10.000 KTP. Jumlah tersebut masih sangat jauh jika dibandingkan dengan persyaratan dan waktu yang tersisa sebelum masa akhir pendaftaran calon Gubernur DKI Jakarta. Karena lambannya pergerakan pengumpulan KTP, mereka berlima sepakat untuk membesarkan gerakan dan mengajak warga lainnya untuk terlibat dalam menggerakkan. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah melakukan konsultasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengenai kepatutan mekanisme dan strategi yang akan dilakukan selanjutnya. Kepatutan yang dimaksud adalah kampanye untuk mengajak publik memberikan KTP sebagai bentuk dukungan kepada Ahok untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Karena
39
dengan adanya Aktivitas tersebut Ahok terkesan seperti “mencuri start” kampanye di tengah Aktivitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika melihat sekilas apa yang dilakukan oleh “Teman Ahok” memang memiliki unsur kampanye lebih awal. Pengumpulan KTP dan mengajak publik untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama. Namun menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman8 mengatakan, pengumpulan dukungan dapat dibenarkan. Karena tidak diatur dalam aturan perundang-undangan. UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, maupun Peraturan KPU terkait pelaksanaan Pilkada, hanya mengatur jadwal pendaftaran, syarat dukungan dan batas waktu bagi pihak-pihak yang ingin maju sebagai bakal calon kepala daerah. Menurut Arief, KPUD baru bertanggung jawab pada pelaksanaan pilkada, ketika mulai memasuki tahapan. Artinya, sepanjang belum memasuki masa tahapan, maka kegiatan yang dilakukan masing-masing belum terikat dengan peraturan yang berlaku tekait pelaksanaan pilkada. Menurut penuturan Lia9, setelah berkonsultasi dengan KPU mereka mulai bergerak cepat untuk menyiapkan infrastruktur pendukung seperti legalitas, pembagian peran dan tugas, serta bentuk
8
Teman Ahok Tak Masalah Kumpulkan Dukungan, Ini Alasan KPU (http://jpnn.com/news.php?id=329574) 9
Wawancara 3 oktober 2015
40
pengelolaan. Berdasarkan akta notaris Nomor 1 tanggal 16 Juni 2015 Teman Ahok secara resmi telah terdaftar sebagai Perkumpulan pada Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia. Beberapa warga yang telah mereka temui dan menyatakan dukungan dan bersedia menjadi bagian dari perkumpulan Teman Ahok menyatakan bahwa baru kali ini Jakarta dipimpin oleh Gubernur yang sangat keras, berani dan disiplin. Ada beberapa efek yang ditimbulkan. Jika dilihat dari sudut pandang yang negatif, maka sikap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur memancing kontroversi dan konflik dengan para elit politik di Jakarta. Jika dilihat dari sudut sebaliknya, sikap Ahok berhasil memangkas habis kebiasaan lama yang menjadikan anggaran pembangunan daerah sebagai dana yang bisa dibagi-bagi dan dimiliki oleh para pemangku jabatan. Anggaran yang diselamatkan membuat publik sadar bahwa ternyata pemerintah tidak pernah kekurangan uang. Anggaran yang ada sudah lebih dari cukup jika semuanya digunakan untuk pembangunan dan kebaikan warga. Untuk memastikan apa yang sekarang dirintis di DKI Jakarta bisa memiliki dampak jangka panjang, sebagian besar warga DKI ingin kembali dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama dalam periode berikutnya
(2017-2022).
Tapi
banyak
sandungan
yang
akan
menghadang keinginan ini. Salah satunya adalah tidak adanya kendaraan yang bisa dijadikan Ahok sebagai syarat awal untuk bisa dicalonkan dalam pemilihan
41
Gubernur DKI tahun 2017. Ahok akan kesulitan untuk maju kembali dalam pilkada DKI melalui partai politik. Jalan yang paling mungkin bagi Ahok adalah dengan melalui jalur non partai. Perlu ada perkumpulan warga Jakarta yang bergerak secara terorganisir untuk memastikan dukungan agar Ahok memenuhi syarat dapat kembali maju sebagai Gubernur DKI. Atas dasar itulah para generasi muda dari berbagai daerah di Jakarta ingin mewujudkan sebuah gerakan besar dalam rangka mempersiapkan semua syarat agar Ahok bisa maju kembali pada Pilkada DKI 2017. Gerakan ini juga akan mengawal seluruh kebijakan Ahok agar tidak terjadi salah paham di tengah-tengah masyarakat akibat biasnya pemberitaan. Berdasarkan latar belakang di atas, Teman Ahok sebagai sebuah perkumpulan menetapkan visi menghimpun seluruh warga DKI yang punya keinginan menjadikan Jakarta lebih baik, tertata, manusiawi, dan bebas dari korupsi di masa depan dengan cara mengusung calon Gubernur yang tepat. Sebagai perkumpulan warga DKI yang bisa memberikan penjelasan atas segala program Pemerintah Daerah DKI agar tidak disalahpahami oleh warga karena distorsi berita yang ada di media massa atau media sosial. Untuk mencapai visi tersebut, teman Ahok menetapkan 5 misi yang akan dilakukan yaitu: “1. Menampung warga DKI yang bersedia memberikan dukungan terhadap Ahok untuk maju melalui jalur independen.
42
2. Mengorganisir seluruh potensi dukungan terhadap Ahok agar tidak tercerai berai. 3. Memberikan pemahaman kepada publik agar tidak terpancing isu-isu primordial yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kebijakan pembangunan. 4. Mengumpulkan 1 juta KTP untuk Ahok. 5. Menjadi garda terdepan untuk meluruskan berita-berita yang tidak benar atau fitnah terhadap Ahok. “ (sumber: http://www.temanahok.com/#about)
Berdasarkan visi-misi tersebut, mereka yang tergabung dalam teman Ahok fokus pada pencapaian target 1 juta KTP sebagai bentuk dukungan terhadap Ahok. Teman Ahok berfokus mengumpulkan KTP warga DKI dalam rangka mendukung Ahok menjadi Calon Gubernur independen DKI Jakarta 2017. Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berhutang pada rakyat, bukan pada Partai Politik. Dalam proses mengumpulkan KTP mereka yang tergabung tertarik karena nilai-nilai yang di pegang dan disebarluaskan oleh teman Ahok. Menurut hasil wawancara kepada beberapa anggota teman Ahok, nilai yang menggerakkan mereka untuk terlibat adalah transparansi, inisiatif, kebersamaan dan sukarela. Nilai-nilai tersebut dirasakan ataupun dapat terlihat melalui transparansi penggunaan anggaran dan sumber dana yang digunakan, dihargainya inisiatif relawan yang muncul untuk mencapai misi, adanya rasa kebersamaan sesama anggota, serta kesukarelaan dalam bergerak dan menyusun kegiatan/ Aktivitas.
43
Sistem Pengelolaan TemanAhok.com Untuk mendukung pencapaian visi dan misi teman Ahok menyiapkan
infrastruktur
organisasi
yang
disesuaikan
dengan
kebutuhan. Struktur organisasi adalah pengakuan sebuah organisasi mengenai kebutuhan untuk membicarakan dan mengkoordinasikan pola interaksi para anggotanya secara formal. Dalam sebuah organisasi biasanya diisi oleh orang-orang yang berperan penting dalam organisasi tersebut. Dengan adanya struktur organisasi dalam perkumpulan teman Ahok dapat memberikan gambaran pemisah kegiatan antara satu dengan yang lain dan hubungan Aktivitas dan fungsi yang telah dibatasi. Secara umum gambaran interaksi dan organisasi dalam teman ahok adalah sebagai berikut:
Relawan/ Komuniti Pengelola Harian Pendiri
Sumber: Hasil wawancara, 2015 44
•Relawan Pengelola Posko •Komuniti tingkat RT/RW •Koordinator Kecamatan •Divisi Relawan dan Komuniti •Divisi Digital •Divisi Strategi •Divisi Merchandise • Amalia Ayuningtyas, ex. Account Executive media Cetak Nasional (Juru Bicara) • Aditya Yogi Prabowo, Marketing obatobatan. • Richard Handris Purwasaputra, guru PPKN dan Mahasiswa S2. • Singgih Widiyastomo. • Muhammad Fathony
Berdasarkan bagan interaksi di atas, peran, fungsi dan tugas masing-masing tingkatan adalah sebagai berikut: 1. Pendiri, terdiri dari 5 orang mereka adalah “mantan” relawan Jakarta Baru pada Pilkada DKI Jakarta 2015. Sebagai inisiator, mereka
menentukan
langkah-langkah
dan
memastikan
pengelolaan setiap divisi berjalan maksimal. Dalam pembagiannya mereka Amalia Ayuningtyas bertugas sebagai juru bicara, Richard Handris Purwasaputra dan Muhammad Fathony sebagai koordinator digital startegi, Aditya yogi Prabowo dan Muhammad fathony sebagai koordnitaor Relawan. Inisatif dan langkah-langkah startegis biasanya muncul dari lingkaran ini. Mereka berlima berkoordinasi melalui pertemuan intens ataupun rapat-rapat rutin yang dilakukan di sekretariat. 2. Pengelola harian adalah orang-orang yang menjalankan fungsi dan tugas setiap divisi. Pengelola harian menjalankan Aktivitas di sekretariat Teman Ahok, yaitu di Graha Pejaten No. 3 Jalan Pejaten Raya, Jakarta Selatan. Pengelola harian terdiri atas:
Divisi Relawan dan Komuniti. Bertugas untuk melakukan koordinasi pengumpulan KTP dan isu-isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam perjalanannya divisi ini sangat
berperan
dalam
45
menerima
bantuan-bantuan
sukarela dari masyarakat, misalnya bapak Djohan Sidik10 (45), warga Puri Indah, Jakarta Barat menyumbangkan 100.000 formulir kosong untuk teman Ahok.
Divisi Digital. Bertugas untuk melakukan kampanye melalui media sosial yang ada (twitter, facebook, youtube, dan instagram), sebagai sumber informasi ataupun media klarifikasi terhadap berita-berita yang tidak benar.
Divisi Strategi. Bertugas untuk melakukan analisis terhadap isu dan menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Contoh peran yang dapat terlihat adalah ketika jumlah KTP yang terkumpul belum sesuai dengan target bulanan, maka divisi ini yang akan melakukan analisis dan menentukan strategi yang diterapkan untuk mempercepat pencapaian target. Dalam melakukan klarifikasi isu, divisi ini juga bertugas untuk melakukan pengumpulan data yang nantinya akan digunakan sebagai salah satu konten oleh divisi digital.
Divisi Merchandise. Bertugas untuk mengatur distribusi dan penjualan merchandise, baik melalui penjualan online ataupun offline di booth – booth yang ada di pusat perbelanjaan. Divisi ini juga bertanggungjawab untuk
10
Teman Ahok Terima Sumbangan Cetakan 100.000 Formulir, (http://temanahok.com/artikel/53-teman-ahok-terima-sumbangan-cetakan-100000-formulir)
46
melakukan produksi dan memunculkan desain-desain merchandise yang baru. Selain divisi-divisi yang ada di atas, setiap harinya juga terlibat ± 10 orang relawan yang bertugas melakukan input data dari formulir dukungan yang ada. Relawan yang bertugas ini mendapatkan biaya transportasi setiap harinya. Menurut penuturan Lia, relawan yang ingin terlibat untuk membantu Aktivitas ini lumayan banyak sehingga mereka harus menentukan waktu Aktivitasnya secara bergiliran. 3. Relawan/ Komuniti adalah orang-orang yang memiliki tugas utama untuk mengumpulkan KTP dan mengajak orang-orang terlibat mendukung Teman Ahok. Dalam lingkaran ini juga terbentuk komuniti di tingkatan RT/RW hingga Kecamatan. Setiap hari komuniti di tingkat RT/RW bertugas mengumpulkan sejumlah KTP dukungan ke Koordinator Kecamatan, kemudian setiap minggunya akan dikumpulkan ke sekretariat oleh Koordinator Kecamatan. Pada lingkaran ini juga terjadi proses perekrutan relawan yang membantu tugas-tugas teknis di lapangan. Tiga bagian di atas memiliki interaksi langsung dan saling berkaitan dalam pencapaian tujuan perkumpulan yang di bentuk. Jika memperhatikan dua lingkaran pertama (pendiri dan pengelola harian), bagian ini adalah pusat kendali dan sumber pengaruh bagi aktivitas komuniti yang ada pada lingkaran terluar.
47
Pembentukan komuniti di tingkatan RT/RW terjadi secara organik, namun setelah menyatakan bergabung sebagai bagian dari Teman Ahok mereka akan melakukan sistem koordinasi dalam bentuk rantai komando. Artinya, langkah-langkah strategis yang akan dilakukan mengikuti “perintah” lingkaran inti dan pengelola harian. Aktivitas Perkumpulan Teman Ahok Sebagai sebuah perkumpulan yang fokus gerakannya secara daring di media sosial, Teman Ahok membutuhkan Aktivitas bersama yang sifatnya interaksi langsung. Kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan untuk meningkatkan keakraban sesama anggota atau mengajak orang-orang baru untuk bergabung dan memberikan dukungannya kepada Ahok sebagai calon Gubernur independen di Provinsi DKI Jakarta. berdasarkan hasil penelusuran kami beberapa Aktivitas yang pernah dilakukan oleh Teman Ahok adalah sebagai berikut. 1. Piknik Senja
Kegiatan ini adalah pertemuan rutin bulanan. Tujuan 48
diadakannya adalah untuk mempertemukan relawan Teman Ahok, memberi apresiasi terhadap relawan yang berkontribusi lebih, melakukan diskusi, dan mendengarkan mini konser dari kelompok musik yang mendukung Teman Ahok. Dalam kegiatan ini juga biasanya dilakukan apresiasi pencapaian dalam satu bulan terakhir. Menurut Amalia kegiatan ini sangat mendukung terbentuknya solidaritas sesama relawan, dengan memiliki solidaritas yang makin kuat maka pencapaian yang diharapkan akan lebih mudah tercapai. Selain itu pada umumnya relawan yang bergerak di ranah online akan hadir pada kegiatan ini, dan tidak menutup kemungkinan ada juga relawan baru yang akan hadir pada hari pelaksanaan #PiknikSenja. 2. Penjualan Merchandise
Kegiatan ini dikelola secara khusus oleh sebuah divisi. Fokus dari Aktivitas ini adalah menjual produk sebanyak-banyaknya dan 49
mendapatkan keuntungan yang nantinya akan digunakan untuk mendanai operasional perkumpulan. Penjualan dilakukan melalui toko online yang ada di website temanahok.com dan melalui booth-booth resmi yang tersebar di pusat-pusat perbelanjaan.
Untuk booth resmi selain berfungsi sebagai tempat penjualan merchandise, juga digunakan sebagai tempat pengumpulan KTP dukungan. Dalam kegiatannya sebuah booth biasanya akan menyewa tempat dan biasnya hanya bertahan 1 bulan kemudian berpindah lagi ke tempat lainnya. Hingga saat ini telah ada 20 booth penjualan merchandise yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan. Pencapaian Teman Ahok11 Dengan menanamkan nilai-nilai kerelewanan, hingga bulan Desember 2015 perkumpulan Teman Ahok telah memperoleh 11
Penyusunan buku ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015, sehingga yang kami sebut pencapaian adalah visi-misi yang telah tercapai pada bulan tersebut.
50
pencapaian-pencapaian yang cukup signifikan. Yang terbaru adalah mereka telah berhasil mengumpulkan KTP sesuai dengan jumah syarat minimal yang telah ditetapkan oleh KPU untuk calon independent di Pilkada Jakarta 2017. Pengumpulan KTP untuk Ahok telah mencapai angka 533.374 KTP, melewati syarat minimum pengumpulan KTP yaitu sekitar 532 ribu KTP.
Artinya, dalam waktu dekat mereka akan bertemu dengan Ahok untuk menyampaikan aspirasi warga Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan janji Teman Ahok pada awal pembahasan buku ini, mereka menyatakan akan menemui Ahok dan melakukan kontrak politik untuk tetap di usung melalui jalur perseorangan. Amelia menyatakan bahwa hal tersebut penting dilakukan agar Ahok sebagai calon Gubernur memiliki hutang budi kepada warga tidak lagi kepada partai politik.
51
Pencapaian syarat minimal jumlah KTP juga dipengaruhi oleh dukungan publik figur yang telah menyatakan dukungannya secara terbuka, baik di media sosial maupun di media cetak. Selain publik figur yang ada di atas, dalam kesempatan lain musisi Iwan Fals, Syafi’i Maarif (Tokoh Bangsa), dan Penulis Dee Lestari juga menyatakan dukungannya kepada Ahok. Keberhasilan Teman Ahok dalam membesarkan gerakan yang mereka lakukan adalah salah satu contoh bagaimana sebuah media sosial berhasil menyatukan aspirasi publik. Yang unik dari gerakan ini adalah Aktivitasnya yang saling berkaitan antara Aktivitas online dan offline. Semakin aktif mereka di ranah online maka bentuk – bentuk dukungan juga akan semakin meningkat. Selain itu kombinasi dengan Aktivitas offline akan menunjukkan bagaiman dukungan yang ramai di “dunia maya” sama dengan hasil yang didapatkan dalam Aktivitas offline. 52
Selain itu, hingga Desember 2015 Perkumpulan Teman Ahok telah merhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 797.376.000,00 . Namun sayangnya, transparansi sumber dan penggunaan dana tersebut hanya di sampaikan secara rutin selama tiga bulan berturut-turut yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus. Sebagai lembaga yang mengusung kejujuran dan transparansi di awal perkumpulan ini di bentuk, sebaiknya penyampaian pendanaan juga dilakukan secara rutin seperti pencapian KTP dukungan untuk Ahok. ***
53
REFLEKSI “TEMAN AHOK” DALAM KAJIAN PERKOTAAN
54
“TEMAN AHOK” DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEMBENTUKAN KELOMPOK DAN KOMUNITI12 Model Pembentukan Kelompok Jika ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Bruce Tackman (1965) mengenai model pembentukan suatu kelompok pertama kali, maka Aktivitas Teman Ahok dapat dikategorikan sebagai berikut: No
12
Tahapan Pembentukan Kelompok (Bruce Tackman)
Teman Ahok
1
Forming Pada tahap ini, kelompok baru saja dibentuk dan diberikan tugas. Waktu banyak dihabiskan untuk merencanakan, mengumpulkan infomasi dan mendekatkan diri satu sama lain.
Pendiri Terdiri dari 5 Orang (Februari 2015)
2
Storming Mulai mengembangkan ide-ide berhubungan dengan tugas yang dihadapi. membahas isu-isu semacam masalah apa yang harus mereka selesaikan, bagaimana fungsi mereka masing-masing dan model kepemimpinan seperti apa yang dapat mereka terima.
-Penentuan target perolehan KTP -Penentuan strategi -Penentuan bentuk pengelolaan (Februari – Juni 2015)
3
Norming Terdapat kesepakatan dan konsensus antara anggota kelompok. Peranan dan tanggung jawab telah jelas
Pembagian divisi menjadi 3 (relawan, digital, dan merchandise)
Oleh Darul Syahdanul
55
4
Performing Kelompok dapat berfungsi dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lancar dan efektif . Anggota kelompok saling respek dalam berkomunikasi.
Pemanfaatan website, Perluasan Jaringan (Posko & Booth), Pengumpulan Dana Publik (Juni – Sekarang)
5
Adjourning dan Transforming Ini adalah tahap yang terakhir dimana proyek berakhir dan kelompok membubarkan diri. Kelompok bisa saja kembali pada tahap manapun ketika mereka mengalami perubahan (transforming)
Para Pendiri Berpengalaman dari merupakam eks Relawan Jakarta Baru 2012.
Jika melihat proses pembentukan dan Aktivitas yang telah dilakukan, Teman Ahok adalah sebuah kelompok yang telah melewati tahapan Adjourning dan Transforming. Kesimpulan tersebut diperoleh karena sebelumnya para pendiri adalah relawan Jakarta Baru yang aktif terlibat ketika memenangkan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Dalam penjelasan Bruce Tackman (1965) pada tahapan tersebut adalah tahap akhir sebuah kelompok dan memungkinkan untuk kembali pada tahap manapun ketika mereka mengalami perubahan. Bentuk transforming yang terjadi adalah perubahan bentuk Aktivitas dan tujuan “baru” pembentuknya. Relawan Jakarta Baru terbentuk setelah Jokowi-Ahok dinyatakan sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta tahun 2012, ketika itu mereka berAktivitas dengan tujuan untuk memenangkan pasangan JokowiAhok. Setelah semua tahapan Pilkada tahun 2012 selesai Relawan
56
Jakarta Baru tidak dibubarkan secara resmi, namun mereka tetap diharapkan untuk mengawal pemerintahan dan mengawasi kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan terpilih13. Karena ikatan kerelawanan di Jakarta Baru, para pendiri tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melakukan forming dan storming. Tantangan yang mereka hadapi adalah mengajak kembali relawan Jakarta Baru lainnya untuk terlibat dalam Teman Ahok. Menurut penuturan Lia, tidak semua yang dahulunya mendukung Jokowi-Ahok secara otomatis tertarik bergabung dengan Teman Ahok. Komuniti Teman Ahok yang saat ini telah terbentuk dan mengelola posko – posko yang ada di RT/RW di bentuk dari awal, identifikasi sebagai mantan relawan Jakarta Baru tidak dilakukan. Akan tetapi di beberapa posko memang ada relawan pengelola posko yang dulunya adalah bagian dari tim Jakarta Baru. Ketika menyusun buku ini kami juga sempat menemui Arfan14, dia adalah seorang pekerja di salah satu advertising di Kota Jakarta. Arfan bertempat tinggal di daerah Jagakarsa, ketika Pilkada 2012 dia tergabung sebagai relawan Jakarta Baru. Namun, untuk persiapan 13
Pernyataan Hasan Nasbi dalam wawancara sebuah media, "Mereka akan kembali menjadi warga Jakarta yang baik, mendukung program pemerintah, harus kritis dan tidak boleh tutup mata, mereka akan mengawal, memastikan kebijakan JokowiBasuki pro publik. Kita harus ingatkan, bukan malah jadi juru bicara” (http://www.tempo.co/read/news/2012/09/22/228431172/relawan-jokowi-ahokpunya-tugas-baru) 14 Arfan, Pekerja di Advertising, Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Desember 2015.
57
pilkada tahun 2017 dia belum tertarik untuk menjadi relawan Teman Ahok. Alasannya adalah pasangan Ahok dalam Pilkada 2017 belum disampaikan siapa calonnya. Karena menurut dia yang menjadi daya tarik ingin terlibat di Jakarta Baru adalah pasangan Jokowi-Ahok yang sangat sesuai dan pas. Namun kedepannya tidak menutup kemungkinan dia akan memberikan dukungan ataupun terlibat lagi sebagai Relawan Teman Ahok jika pasangan Ahok sebagai Wakil Gubernur sudah cukup jelas dan sesuai menurut pandangan pribadinya. Refleksi Teman Ahok dalam Teori Komuniti Dalam bagian ini kami akan melakukan analisis mengenai bentuk perkumpulan Teman Ahok berdasarkan prinsip Komuniti menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008)15. Menurut mereka ada beberapa kriteria untuk menentukan sebuah kelompok apakah berbentuk komuniti atau tidak.
No
1
Prinsip
Skala Manusia
Penjelasan Melibatkan interaksi -interaksi pada suatu skala yang mudah dikendalikan. Skalanya terbatas pada orang-orang yang saling mengenal atau dapat
15
Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
58
dengan mudah untuk saling berkenalan apabila diperlukan
2
3
4
5
Identitas dan Kepemilikan
Ada rasa memiliki atau perasaan diterima dan dihargai dalam lingkup kelompok tersebut. Ada kesetiaan kepada pencapaian tujuan-tujuan kelompok.
KewajibanKewajiban
Komuniti menuntut kewajiban tertentu dari para anggotanya. Dengan harapan orang akan berkontribusi kepada kehidupan komuniti dengan berpatisipasi paling sedikit dari kegiatankegiatannya, dan akan berkontribusi kepada pemeliharaan struktur komuniti. Menjadi anggota komuniti seharusnya tidak menjadi pengalaman yang murni pasif tetapi seharusnya juga melibatkan sesuatu partisipasi aktif.
Gemeinschaft
Memungkinkan orang berinteraksi dengan sesamanya dalam keragaman peran yang lebih besar, yang peran-peran tersebut kurang dibedabedakan dan bukan berdasarkan kontrak, dan yang akan mendorong interaksi-interaksi dengan yang lain sebagai “seluruh warga” bukan sebagai peran atau kategori yang terbatas dan tetap.
Kebudayaan
Komuniti memungkinkan pemberian nilai, produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal yang berbasis masyarakat, yang akan mempunyai ciri-ciri unik yang berkaitan dengan komuniti yang bersangkutan, yang akan memungkinkan orang
59
untuk menjadi produser aktif dari kultur tersebut ketimbang konsumen yang pasif.
Berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan tersebut, jika disandingkan dengan Teman Ahok maka kelima poin tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Skala Manusia. Teman Ahok memiliki sebuah struktur organisasi pengelola. Jika kita hanya melihat pada tataran struktur maka perkumpulan ini dapat disebut sebagai sebuah komuniti. Namun, karena perkumpulan ini melibatkan orang banyak maka batasan skala manusia yang dapat disebut sebagai sebuah komuniti adalah mereka yang menjadi relawan pengelola posko mulai dari tingkat RT, RW, hingga kecamatan. Dalam tingkatan tersebut merekas dapat saling mengenal sampai batas-batas fungsi tertentu. Sedangkan orang-orang yang “hanya” memberikan KTP tetapi tidak aktif terlibat dalam aktivitas lainnya tidak dapat kami sebut sebagai anggota komuniti. Identitas dan kepemilikan. Mereka yang tergabung dalam perkumpulan ini memiliki rasa yang sama dalam mencapai tujuan untuk “menemani” dan mendukung Ahok untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 melalui jalur perseorangan. Rasa kepemilikan terlihat dengan adanya sumbangan baik dalam bentuk barang ataupun dana. Mereka yang tergabung memiliki rasa optimis 60
yang sama bahwa di tangan Ahok Kota Jakarta akan jauh lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kewajiban-Kewajiban. Jika dilihat dalam struktur dan gambaran interaksi antar bagian, di dalamanya terdapat beberapa kewajiban pada bagian masing-masing. Pada tingkatan tertentu ada partisipasi aktif dari anggota pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Teman Ahok. Selain itu ada kewajiban bersama bagi mereka yang telah menjadi bagian dari Perkumpulan Teman Ahok, yaitu mengajak keluarga terdekatnya untuk mengumpulkan KTP dukungan. Gemeinschaft. Sistem kontrak hanya terjadi pada bagian pengelola harian, mereka memiliki aturan yang mengikat dengan berbagai macam kewajiban. Namun dalam bagian lainnya (Relawan) tidak ada sistem kontrak terhadap anggota yang ada di posko, pembagian peran ada namun personilnya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan. Kebudayaan. Teman Ahok Sebagai ruang ekspresi bagi anggota yang aktif. Misalnya: ekspresi untuk meluruskan berita-berita yang tidak benar tentang Ahok, ekspresi berkarya melalui kreatifitas membuat atribut/asesoris Teman Ahok. Selain itu teman Ahok mulai membentuk sebuah budaya baru untuk komuniti, merka berani menyatakan dukungan secara terbuka dan berupaya melakukan perubahan dengan merebut kekuasaan tertinggi dalam kota.
61
“TEMAN AHOK” DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEBUDAYAAN16 Definisi Kebudayaan Berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan makna dan arti tentang budaya itu sendiri. Banyak ilmuwan yang telah memfokuskan kajiannya untuk mempelajari fenomena kebudayaan yang ada di masyarakat. Menurut seorang guru besar antropologi di Indonesia yaitu Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi dan akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi
dan
akal
Koentjaraningrat
(Koentjaraningrat, (1990)
1990).
mendefinisakan
Secara
lebih
“Kebudayaan
jelas, adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.” Selain Koentjaraningrat, banyak ilmuwan-ilmuwan lain yang juga memberikan definisi mengenai kebudayaan salah satunya yaitu Clifford Geertz. Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan lebih dinamis daripada definisi Koentjaraningrat yang dinilai sangat kaku. Menurut Geertz (1992) dalam Septiady (2015), “Kebudayaan adalah sebuah 16
Oleh Bambang Kristiyantoro
62
fenomena psikologis, suatu sifat dari: pemikiran, kepribadian, struktur kognitif.” Untuk
mempermudah
dalam
pemahaman
kebudayaan
sebenarnya kita dapat melihat kebudayan dari unsur-unsur yang membentuknya. Kluckhohn pada tahun 1953 dalam sebuah karangan yang berjudul Universal Categories of Culture berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia (Koentjaraningrat, 1990), ketujuh unsur tersebut adalah “1.Bahasa; 2.Sistem Pengetahuan; 3.Organisasi Sosial; 4.Sistem peralatan hidup dan teknologi; 5.Sistem mata pencaharian; 6.Sistem religi; 7. Kesenian.”
Kembali kepada pemikiran Koentjaraningrat dan Clifford Geertz tentang
kebudayaan
sebenarnya
keduanya
dapat
diamati
perbedaannya melalui sudut pandang masing-masing terhadap unsur kebudayaan. Koentjaraningrat melihat konsep kebudayaan sifatnya hanya mendeskripsikan pada batas 7 unsur saja, bila semua terpenuhi maka selesailah penjelasannya. Karena teknik yang digunakan hanya pengumpulan data. Cliifford Geertz melihat konsep kebudayaan tidak terbatas hanya pada 7 unsur tersebut secara kaku, tetapi bisa dipelajari lebih mendalam bukan hanya sekedar pengumpulan data. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran R.Linton pada tahun 1963 dalam bukunya The
63
Study of Man berpendapat bahwa unsur kebudayaan universal dapat diperinci kedalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai empat kali (Linton, 1963 dalam Koentjaraningrat 1990). Dalam pemikiran Clifford Geertz kebudayaan bukan hanya sekedar muatan deskripsi namun memperhitungkan muatan perasaan dan emosi. Unsur-unsur kebudayaan bukan merupakan unsur- unsur yang sifatnya terpisah dan berdiri sendiri-sendiri namun merupakan unsurunsur yang memiliki hubungan keterkaitan fungsional (Septiady, 2015). Refleksi Kebudayaan dalam Komuniti Teman Ahok Dengan menggunakan konsep kebudayaan dari Koentjaraningrat dan Clifford Geertz, komuniti Teman Ahok dapat dikaji melalui pendekatan dua konsep tersebut. Dengan menggunakan konsep Koentjaraningrat (1990) yang memandang unsur kebudayaan bersifat terpisah maka dalam konteks Teman Ahok hanya akan akan ditemukan satu unsur kebudayaan saja yang ada dalam komuniti tersebut yaitu unsur organisasi sosial. Teman Ahok dipandang masuk dalam kategori unsur organisasi sosial karena memiliki visi misi dan tujuan organisasi, memiliki wadah untuk menjalankan visi misi dalam bentuk komuniti, memiliki sistem Aktivitas dan pembagian peran dalam komunitinya, dan telah
memiliki
sarana-prasarana
(artefak/peralatan)
dalam
menjalankan Aktivitasnya yaitu: kantor, posko, booth, media sosial,
64
youtube, asesoris dan atribut komuniti. Berikut ilustrasi gambaran bentuk Organisasi Sosial Teman Ahok.
Teman Ahok dalam Unsur Kebudayaan: Organisasi Sosial Sumber: ilustrasi penulis, 2015
Bila dikaji dalam perspektif konsep kebudayaan dari Cliifrod Geertz yang memandang kebudayaan bukan hanya sekedar muatan deskripsi namun memperhitungkan muatan perasaan dan emosi. Serta unsurunsur kebudayaan merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan keterkaitan fungsional. Maka jika perspektif tersebut dikaji dalam konteks Teman Ahok akan didapatkan 2 Unsur Kebudayaan yaitu Organisasi Sosial dan Sistem Mata Pencaharian.
65
Dalam konteks Teman Ahok, Sistem Mata Pencaharian bukan merupakan sesuatu yang tampak sebagai motif utama dalam komuniti Teman Ahok, namun sebagai motif belakang yang sifatnya tidak tampak dan hanya dapat diketahui jika meneliti dan berinteraksi langsung dengan para pendiri komuniti Teman Ahok. Setelah melakukan wawancara dan pengamatan langsung dengan para pendiri Teman Ahok di dapatkan suatu fenomena yang unik yang ada pada Teman Ahok. Sebagai suatu komuniti yang dikenal dengan visi misi utamanya untuk mengumpulkan 1 Juta KTP untuk Ahok , ternyata Teman Ahok juga melakukan pergerakan yang sifatnya mendapatkan keuntungan secara ekonomi yaitu penjulan asesoris dan atribut Teman Ahok dalam bentuk kaos, gelang, dan jenis merchandise lainnya. Keuntungan dari penjualan memang digunakan untuk operasional Aktivitas Teman Ahok, namun berapa pembagian proporsinya dari hasil bersih penjualan tidak pernah
66
diungkapkan. Yang jelas para pendiri dan pengelola komuniti Teman Ahok bisa hidup dengan Aktivitas ekonomi ini. Hasil dari penjualan kaos, gelang, dan merchandise Teman Ahok sangat menjanjikan. Dalam kurun waktu hanya 2 bulan (16 Juni 2015-14 Agustus 2015) Teman Ahok sudah mendapatkan pemasukan sebesar Rp. 797.376.000,00 (Laporan Teman Ahok, Agustus 2015). Angka tersebut tentu merupakan angka yang tidak sedikit, bila dirata –rata Teman Ahok dapat mendapatkan pemasukan Rp. 398.688.000,00/ bulan, sungguh pendapatan yang sangat fantastis. Untuk memperjelas fenomena tersebut Evers dan Korff (2002) dalam bukunya yang berjudul “Urbanisme di Asia Tenggara” mendeskripsikan mengenai bagaimana strategi hidup masyarakat kota di Asia Tenggara melalui kegiatan sektor informal. Evers dan Korff (2002) menjelaskan bahwa sektor informal merupakan bentuk ekonomi bayangan yang dijalankan oleh masyarakat kota sebagai strategi bertahan hidup di kota. Adapun definisi “ekonomi bayangan (shadow economy) mencakup semua kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam statistik resmi dan oleh sebab itu tidak tersentuh oleh peraturan pemerintah dan kewajiban bayar pajak” (Evers dan Korff, 2002). Dari definisi tersebut bila direfleksikan dalam konteks Teman Ahok tentu sangat pas. Aktivitas Teman Ahok yang menjalankan aktivitas menjual asesori dan atribut tentu dapat digolongkan sebagai ekonomi bayangan karena transaksisnya tidak tercatat dalam statistik resmi dan tidak tersentuh oleh kewajiban membayar pajak kepada pemerintah.
67
Yang tercatat resmi hanyalah pendirian dari organisasi sosial yang bergerak dengan tujuan utama mengumpulkan 1 Juta KTP untuk Ahok, sedangankan Aktivitas ekonomi yang dijalankan seakan berlindung dibalik organisasi/komuniti tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa Teman Ahok merupakan salah satu bentuk wadah ekonomi bayangan untuk strategi bertahan hidup di kota.
Teman Ahok dalam Unsur Kebudayaan: Sistem Mata Pencaharian Sumber: ilustrasi penulis, 2015
68
“TEMAN AHOK” DAN SUARA WARGA KOTA17 Peran Ganda “Teman Ahok” “• “I’m not interested in politics.” • “It’s too hard to get information about who to vote for.” • “My vote wouldn’t make any difference in what happens in my life.” • “I really dislike politics and goverment.” • “There’s no difference between the two parties.” • “Voting is too much trouble.”” (Kellerman, 2008: 89)
Kutipan diatas merupakan berbagai alasan dari orang-orang yang memiliki potensi untuk memberikan suaranya dalam suatu pemungutan suara ketika pelaksanaan suatu pemilihan, namun mereka memilih untuk tidak memberikan suaranya. Pernyataan-pernyataan terebut menunjukkan suatu realitas bahwa dalam masyarakat masih dijumpai adanya keraguan, ketidakpercayaan, bahkan upaya penarikan diri dalam menyikapi dan menggunakan hak suaranya dalam suatu proses pemilihan. Padahal, memilih tindakan untuk tidak menyalurkan hak suaranya atau sekedar memberikan suara saja merupakan tindakan pasrah yang hanya akan memposisikan mereka sebagai objek dari suatu proses kekuasaan dan kebijakan. Ketidakberdayaan para masyarakat potensial pemilih tersebut bisa saja terjadi diantaranya karena adanya gangguan pada saluran-saluran komunikasi yang berimplikasi pada minimnya asupan informasi mengenai latar belakang para calon kepala
17
Oleh Muhammad Irsyad Sayuti
69
daerah (dan wakil kepala daerah) dan lemahnya suara rakyat dalam menggagas profil kepemimpinan tersebut. Keberadaan Teman Ahok setidaknya menjembatani kesenjangan komunikasi yang terjadi antara warga dan kepemimpinan kota dengan melaksanakan dua peran sekaligus. Pertama, menyampaikan gagasan mengenai kepemimpinan (gubernur) untuk Kota Jakarta melalui profile marketing tokoh Ahok. Gagasan kepemimpinan berangkat dari kinerja publik yang ditunjukkan oleh Ahok selama menjabat sebagai Gubernur Kota Jakarta. Gagasan tersebut tidaklah berbentuk konseptualisasi mengenai karakteristik orang yang pantas menjadi Gubernur DKI Jakarta, melainkan fakta yang ditunjukkan oleh Ahok dalam kinerjanya yang menunjukkan upaya penciptaan “…Jakarta lebih baik, tertata, manusiawi, dan bebas dari korupsi…”18. Lebih lanjut, Basuki Tjahaja Purnama digambarkan sebagai “…Gubernur yang sangat keras, berani, dan
disiplin”19
yang
mampu
membawa
perubahan
dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta, khususnya penggunaan anggaran (APBD). Satu diantara hal yang dikomunikasikan oleh Teman Ahok kepada masyarakat yaitu transparansi dalam Pemerintahan Ahok sebagaimana termuat dalam website resminya, temanahok.com dengan judul tulisan “Junjung Transparansi, Ahok Buka
18
Frasa kalimat yang dicetak miring dikutip dari website temanahok.com/#about [diakses 16 Desember 2015] 19 Ibid.
70
Data DKI ke Publik, Gratis!”20. Dalam tulisan tersebut disampaikan informasi bahwa penyelenggaraan birokrasi Pemda di bawah kepemimpinan Basuki T. Purnama dilakukan lebih cepat (menerapkan sistem e-budgetting) dan akses masyarakat untuk mengetahui proses tersebut lebih mudah diantaranya melalui pemanfaatan situs http://data.jakarta.go.id ataupun melalui video-video yang diunggah di sosial media. Dalam perannya ini, “Teman AHok Kedua, Teman Ahok menjalankan perannya sebagai saluran komunikasi. Saluran komunikasi ini memuat formasi aspirasi untuk diarahkan pada wadah yang mampu dan berwenang menerjemahkan ke dalam kehidupan, wadah itu adalah sosok kepemimpinan. Sosok kepemimpinan inilah yang akan menerima kekuasaan sebagai prasayrat untuk
menggerakkan
sumber
daya
yang
ada.
Ketika
sosok
kepemimpinan bukan merupakan representasi dari kehendak umum, maka kekuasaan sangat berpotensi mereduksi kehendak umum tersebut menjadi keingingan kelompok-kelompok tertentu. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sasaran yang ingin disentuh dan diarahkan oleh Teman Ahok. Hanya saja, basis kekuatan yang ingin dibangun oleh komuniti ini adalah suara rakyat (kehendak rakyat) yang seyogyanya terhubung secara langsung pada kepemimpinan Kota Jakarta
beserta
setiap
keputusan
20
yang diambil dalam
area
http://temanahok.com/artikel/11-junjung-transparansi-ahok-buka-data-dki-kepublik-gratis, [diakses 16 Desember 2015]
71
kekuasaannya yang sah (kewenangan), tanpa harus terhalangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan kata lain, kekuasaan diarahkan sebagai ‘reproduksi’ atas kehendak umum rakyat yang mana hal ini dapat dipahami dari pernyataan Harold D Laswell & Abraham Kaplan (dalam Budiardjo, 1986: 17) bahwa “Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama.” Dalam dua peran Teman Ahok sebelumnya, dapat diidentifikasi terjadinya proses pertukaran. Hanya saja fokus pembahasan yang dapat didatangkan pada kesempatan ini bukan mengarah pada pertukaranpertukaran dalam motif-motif dan pelaku-pelaku tertentu – bukan tidak ada, juga tidak memastikan keberadaannya –, namun pertukaran merupakan hal yang ingin diwujudkan. Keberadaan komuniti tersebut mengambil peran yang strtategis dalam menstimuli terjadinya pertukaran pada dua actor, yakni rakyat dan calon Gubernur. Hal ini dapat diidentifikasi setidaknya melalui salah satu proposisi yang dikemukakan oleh Homans pada Teori Pertukaran miliknya. Proposisi Nilai dari Teori Pertukaran Homans (Ritzer, 2014: 340) berbunyi, “Makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu.” Meskipun proposisi tersebut dimaksudkan oleh Homans untuk memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman, namun kedua konsep tersebut tidak memiliki makna yang
72
sempit. Hukuman pada kesempatan lain dimaknai sebagai bentuk pengorbanan, yakni “elemen dari sebuah hubungan yang memiliki nilai negatif…”, adapun hadiah juga dapat dimaknai sebagai suatu penghargaan, yakni “elemen dalam sebuah hubungan yang memiliki nilai positif…” (West & Turner, 2008). Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh Teman Ahok mendorong terjadinya pertukaran antara warga Kota Jakarta dengan Calon Pemimpin (Calon Gubernur, Ahok). Informasi yang dibagikan ke publik, setidaknya berupa profil mengenai kinerja publik Ahok sebagai Gubernur merupakan bentuk upayanmerangsang pandangan warga bahwa hal tersebut adalah tindakan bernilai bagi dirinya. Ketika layanan publik semakin dirasakan manfaatnya atau mengalami perbaikan selama Ahok memimpin, misalnya perbaikan transportasi publik, penanganan pada parker liar, birokrasi yang lebih transparan dan responsive, maka makin besar kemungkinan warga Kota Jakarta memberikan dukungannya melalui pemberian salinan KTP (untuk proses pencalonan Gubernur) dan menyalurkan hak suaranya ketika proses pemilihan. Pertukaran inilah yang setidaknya difasilitasi oleh Teman Ahok yang mana komuniti ini berupaya membagikan pemahaman bahwa memilih kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta akan memberikan hadiah berupa layanan publik yang lebih baik, maka dengan sendirinya juga akan terbangun pemahaman bahwa dengan tidak memilihnya maka tidak ada jaminan calon lainnya akan memberikan hal yang sama bahkan mereka mungkin akan harus
73
melakukan pengorbanan suara, waktu, pikiran, rasa kesal, protes ketika calon
yang
terpilih
adalah
selain
Ahok
tidak
menunjukkan
kepemimpinan yang lebih baik. Berbagai Derajat Keterlibatan Dalam Teman Ahok Fukuyama (Field, 2014: 102) menyatakan bahwa “Komunitas tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan tanpanya.” Hal ini juga dapat diidentifikasi dalam komuniti Teman Ahok. Rasa percaya pada visi yang diusung, kepada sesama anggota, maupun dukungan salinan KTP dan suara warga kota juga merupakan bentuk kepercayaan yang menggerakkan komuniti dalam setiap upaya pencapaian tujuannya. Adanya proses yang selektif dalam memilih orang-orang untuk mengerakkan Teman Ahok dan upaya mendistribusikan rasa percaya pada sosok Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta berikutnya merupakan hal yang menandakan peran kepercayaan sebagaimana diungkapkan oleh Fukuyama. Bahkan, hal tersebut juga dapat diidentifikasi derajat keterlibatan orang-orang pada Teman Ahok. Kellerman (2008) memberikan acuan konsep untuk mengidentifikasi ada empat tipe pengikut untuk derajat keterlibatan orang-orang pada suatu kelompok, yaitu bystanders, participants, activists, dan diehards. Mendasarkan pada hal tersebut, maka dalam komuniti Teman Ahok dapat dinyatakan tipe-tipe keterlibatan orangorang di dalamnya sebagai berikut.
74
Bystanders adalah mereka yang hanya mengamati tanpa berpartisipasi. Tipe ini sengaja memutuskan untuk tidak terlibat di dalamnya. Diantara orang-orang ini adalah mereka yang memilih untuk tetap ‘golput’, yaitu orang-orang yang tidak memberikan suaranya dalam proses pemilihan Gubernur, apalagi untuk terlibat dalam komuniti seperti Teman Ahok. Namun, mereka tetap menjadi pengamat terhadap proses yang terjadi di sekitarnya. Participants adalah mereka yang melibatkan diri dalam beberapa kesempatan atau dalam bentuk yang terbatas. Hal ini menggambarkan yang dapat ditemukan dalam Teman Ahok, yaitu adanya keterlibatan orang-orang yang hanya memberikan salinan KTP-nya, orang-orang yang memberikan bantuan materi berupa membeli barang-barang merchandise ataupun bantuan berupa sejumlah eksamplar copy formulir yang digunakan untuk menregistrasi KTP yang diterima dan juga termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang mendukung citra positif Ahok melalui komentar-komentar di media-media sosial. Activists adalah mereka yang terlibat secara fisik dan memainkan peran tertentu secara aktif dalam Teman Ahok. Termasuk dalam tipe ini adalah para pendiri Teman Ahok, para Pengelola Harian yang tersebar pada berbagai divisi (Divisi Relawan dan Komuniti, Divisi Digital, Divisi Strategi, Divisi Merchandise), dan Relawan Pengelola Posko (baik tingkat RT/RW, booth, maupun Koordinator Kecamatan).
75
Diehards adalah mereka yang siap mengorbankan jiwa dan raganya dalam keterlibatannya tersebut. Dalam Teman Ahok, sampai dengan kajian ini dilakukan, belum ada orang-orang yang teridentifikasi masuk dalam tipe ini. Menurut Kellerman (2008), tipe participants, activists, dan diehards dapat terjadi tidak hanya dalam hubungan yang mendukung, orang-orang dalam tipe-tipe tersebut dapat juga menunjukkan keterlibatan yang berlawanan. Maksudnya adalah orang-orang yang memiliki sikap berlawanan terhadap gagasan yang dibawa oleh Teman Ahok. Hal ini misalnya dapat ditunjukkan dengan terbentuknya kelompok lain, misalnya yang bernama Lawan Ahok yang membawa gagasan yang berlawanan dengan Teman Ahok. Tantangan Bagi Teman Ahok Teman Ahok yang secara normatif mengambil bentuk sebagai perkumpulan yang pembentukannya dilakukan di depan notaris dan disahkan dan ditetapkan melalui keputusan pejabat publik yang berwenang, telah mengambil bentuk yang berbeda dengan partai politik yang memang ditujukan sebagai kendaraan politik untuk menuju kekuasaan. Namun, kajian konseptual pada bagian-bagian sebelumnya dalam buku ini telah mengisyaratkan bahwa Teman Ahok memiliki ciri sebagai suaut komuniti. Hal ini tentu memberikan konsekuensi dan tantangan bagi komuniti ini yang memilih untuk terlibat dalam proses
76
perpolitikan. Tantangan utama yang dihadapi oleh Teman Ahok adalah memisahkan secara tegas dalam memainkan perannya karena berpotensi memunculkan persepsi bahwa komuniti ini merupakan saluran komunikasi yang secara utuh dan orisinil memuat aspirasi warga kota atau menjadi mesin politik bagi tokoh yang diusungnya. Kendati nomenklatur Teman Ahok telah mampu membangkitkan pemahaman mengenai tokoh tertentu, namun dalam cita-cita yang ingin dicapai berdasarkan hasil wawancara21 dengan salah satu Pendiri Teman Ahok, mengacu pada konsep yang tinggi, yakni agar Jakarta dapat lebih baik melalui pemimpin yang tepat. Meskipun demikian, kepercayaan publik merupakan hal yang memiliki dinamika dan sensitivitas yang tinggi sehingga menjaga batas-batas yang jelas tentu diperlukan. Ada dua hal yang perlu dimaknai oleh komuniti ini sekaligus menjadi tantangan dalam memupuk dan menjaga kepercayaan publik. Pertama, dalam mengumpulkan dukungan warga kota, komuniti ini harus mampu berperan dalam mengarahkan supporter menjadi voters melalui distribusi informasi secara jujur dan berimbang guna merangsang rasionalitas warga kota untuk terlibat secara sadar dengan informasi yang memadai. Perbedaan antara supporter dan voters disajikan dalam tabel berikut.
21
Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2015 di lokasi tempat Teman Ahok berkantor.
77
Tabel Perbedaan Supporters dengan Voters Supporters
Voters
Loyalitas-emosional
Kalkulasi-rasional
Kultus
Pertimbangan
Pengabdian
Transaksi
Hierarki
Kesetaraan
Dukungan
Pertanggungjawaban
Wali
Mandataris
Mobilisasi
Partisipasi otonom
Marah
Melawan
Sumber: DIkutip dari Agustino (2008, 31) Kedua, agar komuniti ini tidak dipandang perannya sebagai mesin politik yang melanggengkan tokoh-tokoh tertentu menunju kekuasaan, bahkan komuniti ini dianggap oleh sebagian kalangan telah “…melakukan kampanye untuk Ahok sebelum masuknya masa kampanye…”22, maka komuniti ini harus menyadari perannya sebagai saluran yang memuat formasi aspirasi yang dibentuk oleh kekuatan suara warga kota. Dengan demikian, hubungan yang seyogyanya muncul jauh dari kesan fanatisme terhadap tokoh tertentu bahkan peran yang dimainkan adalah mengendalikan responsibilitas dan akuntabilitas tokoh yang akan menerima amanah kepemimpinan kota.
22
Ibid.
78
CATATAN PENUTUP Ada dua unsur kebudayaan yang melekat pada komuniti Teman Ahok, yang keduanya memiliki keterkaitan fungsional walupun mungkin tidak tampak di permukaan, yaitu bahwa dalam unsur organisasi sosial ada keterkaitan dengan sistem matapencaharian meskipun sifatnya sebagai Ekonomi Bayangan. Bahwa hidupnya sebuah organisasi (dalam hal ini adalah komuniti Teman Ahok) di perkotaan ternyata secara tidak langsung dapat merefleksikan bentuk strategi bertahan hidup di perkotaan bagi sebagian orang yang mempunyai gagasan. Komuniti Teman Ahok memainkan peran ganda sebagai profile marketing yang mendistribusikan informasi kepada warga kota mengenai gagasan dan sosok kepemimpinan bagi Kota Jakarta dan sebagai saluran komunikasi yang memuat aspirasi murni dan langsung dari warga kota. Mengingat basis kekuatannya adalah suara rakyat yang berasal dari warga kota yang memiliki aspek rasionalitas yang tidak dapat diabaikan, maka Teman Ahok dalam proses pertukaran antara warga kota dengan calon pemimpinnya (terlebih lagi ketika terpilih nantinya) harus menjaga peran strategisnya dalam mengawal aspirasi untuk Jakarta lebih baik bukan merangsang munculnya persepsi bahwa komuniti ini tidak lain hanya mesin politik bagi tokoh tertentu untuk menuju kekuasaan.
79
REFERENSI Buku-Buku Agustino, L. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiardjo, M. 1986. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan WIbawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Alwi, Hasan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Evers, H.D dan Korff, R. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Filed, J. 2014. Modal Sosial (Cetakan Ketiga). (Penerjemah: Nurhadi). Bantul: Kreasi Kencana. Gottdiener, M. & Budd, L. 2005. SAGE Key Concepts in Urban Studies. London: SAGE Publications Ltd. Reprinted. Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Ife, J. dan Tesoriero, F. 2008. Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaplan, D., Wheleer, J., & Holloway, S. 2009. Urban Geography: Second Edition. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. Kartono, K . 2005. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kellerman, B. 2008. Followership: How Followers Are Creating Change and Changing Leaders. Boston: Harvard Business Press. Kitto, H.D.F. 1951. “The Polis” From the Greeks. Dalam R. T. LeGates & F. Stout. (Eds.). (1996), “The City Reader” (halm. 31-36). London: Routledge. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antroplogi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
80
Kusno, A. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak. Mumford, L. 1973. “What is a City”. Dalam R. T. LeGates & F. Stout (Eds.. (2000). "The City Reader: Second Edition" (halm. 91-96). London and New York: Routledge. Ritzer, G. 2014. Teori Sosiologi Modern: Edisi Ketujuh (Penerjemah: Triwibowo B.S.). Jakarta: Kencana. West, R., & Turner, L.H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Di Wilayah Provinsi Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Permendagri No 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Tahun 2014 Website Ferri, Oscar. 2015. Warga Jakarta Puas dengan Kinerja Ahok, http://news.liputan6.com/read/2253055/warga-jakarta-puasdengan-kinerja-ahok, diakses 22 Desember 2015. http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/10/289492/ahokmengundurkan-diri-dari-gerindra-hari-ini, diakses 15 Desember 2015. http://temanahok.com/laporan, diakses 22 Desember 2015. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/22/228431172/relawanjokowi-ahok-punya-tugas-baru, Diakses 14 Desember 2015 http://www.tempo.co/read/news/2012/09/22/228431172/relawanjokowi-ahok-punya-tugas-baru , diakses 20 November 2015.
81
Teman Ahok Tak Masalah Kumpulkan Dukungan, Ini Alasan KPU http://jpnn.com/news.php?id=329574, diakses 10 Desember 2015. Teman Ahok Terima Sumbangan Cetakan 100.000 Formulir, http://temanahok.com/artikel/53-teman-ahok-terimasumbangan-cetakan-100-000-formulir, diakses 15 November 2015. Waluyo, Andylala. 2014. Presiden Jokowi Lantik Ahok Jadi Gubernur DKI Jakarta. http://www.voaindonesia.com/content/presidenokowiantikahok-jadi-gubernur-dki-jakarta/2526024.html, diakses 22 Desember.
82