Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
PENCIPTAAN NILAI TAMBAH DI PERDESAAN MELALUI PENGEMBANGAN KLASTER BERBASIS PERTANIAN (AGRO-BASED CLUSTER) DI JAWA TENGAH Agus Hermawan dan Mastur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Sejak beberapa tahun terakhir Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berupaya mengembangkan klaster usaha di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah. Sesuai dengan potensi sumberdaya yang tersedia pada masing-masing kabupaten.kota akan dikembangkan satu klaster tertentu, termasuk klaster berbasis pertanian (agro-based cluster). Makalah ini memaparkan pengembangan klaster secara teoretis dan sejauh mana konsep tersebut dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah di perdesaan. Untuk itu dibahas satu kasus pengembangan klaster biofarmaka dengan inti usaha biofarmaka organik di Kabupaten Karanganyar. Berangkat dari rancangan yang telah disusun, dilakukan analisis berdasarkan faktor penentu daya saing (diamond factor) dari Porter. Klaster biofarmaka, walaupun awalnya top down, berpotensi untuk berkembang baik dan dapat meningkatkan nilai tambah di perdesaan. Disarankan untuk mengembangkan cakupan klaster dari satu kabupaten menjadi satu provinsi. Pemerintah juga perlu mendorong dan memfasilitasi agar klaster subsistem hulu dan on-farm yang sedang ditumbuhkan dapat menjalin kemitraan (aliansi strategis) dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sub sistem hilir sehingga muncul kesepahaman antar subsistem dan tercipta satu rantai pasok yang utuh dan farmers’ share serta kesejahteraan petani dapat diringkatkan secara berarti. Kata kunci: klaster berbasis pertanian, nilai tambah, perdesaan PENDAHULUAN Dekan Harvard Kennedy School of Government, Profesor David T Ellwood, pada Presidential Lecture di Istana Negara 15 September 2010 menyebutkan empat syarat yang harus dijalankan Indonesia, yakni ekonomi kuat, keunggulan komparatif jangka panjang, kelembagaan dan pemerintahan yang kuat dan efektif, serta program bagi kaum miskin yang dirancang dengan saksama (Kompas, 16/9/2010). Kemiskinan telah menjadi salah satu masalah serius dalam proses pembangunan nasional di Indonesia. Pada tahun 2010, angka kemiskinan Indonesia mencapai 13.3% (31.0 juta orang) (BPS. 2010). Masalahnya, sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dari sektor pertanian (Hermawan et al., 2011). Pada tahun 2010 misalnya, angka penduduk miskin di perdesaan mencapai 16.6 %, sementara di perkotaan mencapai 9,9%. Untuk itu pembangunan pertanian di perdesaan merupakan langkah strategis untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan. Hal ini pula yang mendasari ditetapkannya
peningkatan kesejahteraan petani sebagai target Kementerian Pertanian (Kemtan, 2010), selain target lainnya yaitu peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor. Upaya pencapaian target peningkatan kesejahteraan petani dan nilai tambah dilakukan melalui berbagai program. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengembangan agibisnis untuk mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan. Pengembangan agribisnis dijabarkan melalui berbagai kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, antara lain Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang (Kemtan, 2010). Sejalan dengan program Kementerian Pertanian, sejak beberapa tahun terakhir di Jawa Tengah dikembangkan klaster usaha di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah. Sesuai dengan potensi sumberdaya yang tersedia pada masing-masing kabupaten/kota akan dikembangkan satu klaster tertentu. Beberapa kabupaten/kota
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
485
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
diarahkan pada pengembangan klaster berbasis pertanian (agro-based cluster). Pada tahap awal, ada empat pengembangan klaster berbasis pertanian yang mendapat prioritas untuk ditangani, yaitu klaster biofarmaka di Kabupaten Karanganyar, jagung di Kabupaten Grobogan, Kentang di Kabupaten Banjarnegara, dan pengolahan ubi kayu di Kabupaten Wonogiri. Tinjauan teoretis pengembangan agribisnis dan pendekatan klaster serta sejauh mana konsep agrobased cluster tersebut dapat diimplementasikan di lapangan untuk meningkatkan nilai tambah usaha pertanian dan kesejahteraan petani di perdesaan dipaparkan dalam makalah ini. Sebagai studi kasus, dibahas klaster berbasis pertanian biofarmaka di Kabupaten Karanganyar. PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN PENDEKATAN KLASTER BERBASIS PERTANIAN: TINJAUAN TEORETIS Pembangunan Agribsnis Agribisnis merupakan cara baru dalam memandang pertanian yang mempunyai keterkaitan antar sektor (intersektoral) sebagai satu sistem dengan pendekatan bisnis. Agribisnis dengan demikian memperhatikan keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian. Menurut Saragih (1998), sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan jasa layanan pendukung. Subsistem agribisnis hulu meliputi kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (misalnya industri pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian). Subsistem usahatani mencakup kegiatan yang menggunakan barang-barang modal yang dihasilkan subsistem hulu dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Subsistem agribisnis hilir mencakup pengolahan hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap masak, siap saji, atau siap konsumsi, serta perdagangan di pasar domestik dan internasional. Yang terakhir adalah subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir.
486
Keterkaitan antar subsistem dalam sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1. Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu cluster industri. Pembangunan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian melalui penciptaan nilai tambah dan mendorong peningkatan efisiensi usaha (Anonim, 2007). . Ada tiga tahap pembangunan agribisnis (Siregar, 2006). Menurut tahapan tersebut, pembangunan agribisnis di Indonesia saat ini masih digerakkan oleh kelimpahan faktor produksi (factor driven) sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik. Peningkatan nilai produksi agregat lebih bersumber pada peningkatan jumlah konsumsi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan produksi akhir berupa produk komoditas primer (agricultural based economy). Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak akan mampu menghadapi kompetisi global yang semakin ketat dan manfaat ekonomi yang dihasilkan relatif kecil. Untuk itu pembangunan agribisnis perlu diarahkan agar dapat berpindah pada tahap selanjutnya, yaitu pengelolaan komoditas yang digerakkan oleh kekuatan investasi dan pendalaman industri pengolahan (agroindustri) serta industri hulu. Pada tahap ini produk akhir yang dihasilkan berupa produk yang bersifat padat modal dan tenaga terdidik sehingga nilai tambahnya lebih besar dan segmen pasarnya lebih luas. Perekonomian dengan demikian akan berbasis industri agribisnis (agroindustry based economy). Pada tahap pembangunan agribisnis selanjutnya, pembangunan akan didorong oleh inovasi pada setiap subsistem agribisnis yang disertai dengan peningkatan sumberdaya manusia. Ciri tahap ini adalah produktivitas yang tinggi dari lembagalembaga penelitian dan pada setiap subsistem agribisnis, sedangkan produk yang dihasilkan didominasi oleh produkberbasis ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik dengan nilai tambah yang tinggi. Pada tahap ini perekonomian akan berbasis teknologi (technology based economy).
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
Upstream agribusiness
Downstream Agribusiness
On farm Agribusiness
Pembibitan Agro Kimia Agro Otomotif
Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman ObatPerkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan
• • • • •
Intermediate Product Finished Product Wholesaler Retailer Consumer
Subsistem jasa
Agro Institution Agro Services
Gambar 1. Prototipe sistem agribisnis (Siregar, 2006)
Pendekatan klaster dalam agribisnis Klaster dalam tatanan global diartikan sebagai jaringan perusahaan – perusahaan yang terkonsentrasi secara geografis (Porter, 1998). Terdapat beberapa pengertian tentang klaster, beberapa diantaranya adalah konsentrasi geografis perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada sektor tertentu yang dikhususkan kepada pemasok, penyedia jasa-layanan, perusahaan yang terkait secara industri, dan lembaga asosiasi yang walaupun saling bersaing juga saling bekerjasama (Porter, 1998). Lebih lanjut Porter (1998) mengemukakan bahwa dengan bergabung kedalam klaster setiap anggota dapat mengambil keuntungan berupa peningkatan skala usaha seolah seluruh anggota digabung menjadi satu, tanpa harus mengorbankan fleksibilitasnya. .Penggabungan berbagai gagasan dan pandangan, serta keahlian dan cabang usaha dalam klaster berpeluang melahirkan usaha baru lainnya. Pengertian lain dari klaster adalah kelompok perusahaan yang berkumpul pada satu lokasi dan bekerja pada sektor yang sama (Schmitz, 1997), perusahaanperusahaan sejenis/sama atau yang saling berkaitan, berkumpul dalam suatu batasan geografis tertentu (Enright, 1992), dan pemusatan geografis industri-industri terkait
dan kelembagaan pendukungnya (JICA, 2004). Dalam kaitan ini lingkup geografis klaster dapat bervariasi dari satu desa, satu jalan di daerah perkotaan, mencakup sebuah kecamatan, satu kota/kabupaten, provinsi, bahkan melampaui batas negara (Anonim, 2007). Klaster pada dasarnya merupakan perluasan dari aliansi strategis. Di mana banyak perusahaan dalam sebuah industri atau sepanjang rantai nilai mengorganisir aliansi berganda, Jadi klaster adalah penggabungan beberapa aliansi dari beberapa perusahaan dalam suatu wilayah yang berdekatan (Scheer and Zallinge, 2007). Pembagian klaster yang paling umum adalah (1) klaster regional, yaitu kelompok perusahaan yang muncul atau dibentuk dalam satu batas wilayah perekonomian tertentu dan (2) klaster bisnis di mana sekelompok perusahaan yang kendati memiliki bisnis yang saling berbeda tetapi memiliki aktivitas yang saling berhubungan dan saling membentuk sinergi yang saling menguntungkan. Klaster dapat terbentuk karena dua hal yaitu (1) Faktor Sejarah dan (2) faktor Bentukan/Manipulasi. Dua faktor ini selanjutnya akan membentuk (1) Klaster Dewasa dan (2) Klaster Baru. Klaster Dewasa biasanya muncul secara “alami”, sementara
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
487
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
klaster baru merupakan bentukan pemerintah atau institusi lain yang berkeinginan untuk membentuk sebuah klaster. Disebut sebagai klaster baru karena pendiriannya cenderung lebih muda usianya dibandingkan klaster tradisional yang sudah ada (Anonim, 2007). Konsep pengembangan klaster yang paling banyak digunakan adalah konsep klaster dari Porter, di mana terdapat sejumlah faktior yang secara dinamis mempengaruhi posisi daya saing. Daya saing ditentukan oleh interaksi dari beberapa faktor yang disebut sebagai faktor “diamond”, yaitu (1) faktor input, (2) kondisi permintaan, (3) industri pendukung dan industri terkait, serta (4) strategi perusahaan dan pesaing. Selain itu Porter juga memasukkan 2 faktor konteks yang berhubungan secara tidak langsung melalui (1) role of chance dan (2) role of government. Hubungan antar faktor diamond dari Porter dengan pengembangan klaster ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Faktor “diamond” dari Porter sebagai penentu daya saing dalam pengembangan klaster (Sumber: Scheer and Zallinger. 2007) Model Klaster Berbasis Pertanian (Agro Based Cluster) Secara umum, suatu usaha merupakan bagian dari struktur rantai yang menghubungkan konsumen akhir dengan pengumpul bahan baku. Hubungan tersebut membentuk suatu rantai pasok (supply chain), di mana masing-masing merupakan suatu sistem otonom tetapi saling tekait. Dalam skala lebih luas, rantai pasok membentuk suatu jaringan dengan manajemen otonom tetapi saling berhubungan secara komersial untuk memastikan efektifitas keterkaitan antara bahan baku dengan konsumen akhir. Hal ini menjadi dasar pengembangan klaster
488
(Siregar, 2006). Klaster pertanian merupakan suatu kegiatan pertanian oleh sekelompok petani yang di dalamnya mencakup 3 hal penting, yaitu : berorientasi untuk pemenuhan permintaan dari konsumen, adanya efek kumulatif yang biasanya ditandai debngan kedekatan area, serta adanya efisiensi kolektif dengan harapan dapat memudahkan dalam melakukan kerjasama dan mengembangkan teknologi tepat guna (Schmitz, 1995). Dalam operasionalisasinya klaster ada yang memusatkan seluruh aktivitas dari hulu sampai hilir pada suatu lokasi tertentu, sebagai cikal bakal dari terbentuknya kawasan atau kota industri atau klaster yang berupa pengelompokan aktivitas atau jenis usaha yang dikenal dengan istilah klaster spasial (spatial cluster). Terkait dengan keputusan penentuan lokasi suatu perusahaan individual apakah akan berdiri sendiri atau membentuk klaster, ditentukan oleh berbagai faktor, seperti biaya transportasi, harga faktor input lokal, kemungkinan produksi dan subtitusi, struktur pasar, tingkat kompetisi dan informasi (Siregar, 2006). Klaster berbasis pertanian adalah suatu pendekatan berupa pemusatan kegiatan agribisnis di suatu lokasi tertentu untuk meiningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha dengan menurunkan komponen biaya (terutama biaya transportasi) dari hilir sampai hulu dalam menghasilkan suatu komoditas. Oleh karena itu dalam suatu kawasan tersedia berbagai subsistem agribisnis. Melalui pengembangan klaster berbasis pertanian diharapkan terbangun industri pengolahan hasil pertanian yang kuat sehingga diperoleh nilai tambah untuk memperkuat daya saing. Dengan demikian diharapkan akan terjadi transformasi perekonomian Indonesia dari agricultural based economy menjadi agroindustry based economy (Siregar, 2006). Ada beberapa indikator keberhasilan pendekatan klaster, yaitu terciptanya kemitraan dan jaringan yang baik, terjalinnya kerjasama antar usaha, adanya inovasi, penelitian dan pengembangan, tersedianya SDM yang handal, dan terjadinya spesialisasi aktifitas usaha dalam klaster (Anonim, 2007). Klaster berbasis pertanian (agro based cluster) telah dilaksanakan di beberapa negara. Di Malaysia misalnya, pendekatan ini telah digunakan pada komoditas minyak kelapa sawit dan produk halal (Siregar, 2006). Sementara itu menurut laporan Nogales
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
(2010) dengan menerapkan klaster berbasis pertanian daya saing tetap dapat dijaga. Misalnya adalah klaster di Thailand yang menerapkan GAP, klaster olahan umbi-umbian di Viet Nam, klaster anggur di MaharashtraIndia, klaster ternak di China, pengolahan ikan di sekitar danau Victoria-Africa, klaster bunga potong di Kenya, klaster anggur di Afrika Selatan, serta klaster kopi di Kenya Keberhasilan klaster pertanian, mendorong pengembangan klaster pertanian di Jawa Tengah. Terkait dengan RPJP-D Jawa Tengah tahun 2005 – 2025 (Perda no. 3 Tahun 2008), maka konsep pengembangan klaster termasuk dalam pengembangan ekonomi wilayah pada tataran makro dan pengembangan ekonomi lokal pada tataran mikro. Pengembangan ekonomi kewilayahan dilakukan dengan kebijakan: (a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan daerah, (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah, (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, (d) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan, dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Lenih lanjut Gubernur Jawa Tengah periode 2008 – 2013 menjabarkan visinya yakni : masyakarat Jawa Tengah yang semakin sejahtera dengan 6 misi dan 2 diantarnya terkait ssecara langsung dengan konsep pengembangan ekonomi lokal / kerakyatan yang implementasinya adalah pengembangan klaster – klaster usaha di jawa Tengah (Anonim, 2010). Berdasarkan tipologi klaster, yaitu tipologi bottom-up- di mana klaster diprakarsai sendiri oleh perusahaan lokal, tipologi top down – di mana pelibatan politik kuat dari luar cukup kuat dan tersentralisasi dan sangat bergantung pada pendanaan publik, serta tipologi pusat roda dan jeruji/klaster satelit yang diinisiasi oleh perusahaan besar yang membangun kerjasama dengan perusahaan kecil dan perusahaan skala besar menjadi ujung tombak klaster dengan struktur organisasi yang hierarkis. Dari tiga tipologi klaster tersebut, maka klaster di Jawa Tengah adalah tipe kedua dengan inisiatif dari Pemerintah Daerah (Hastiningsih, 2010).
PELUANG PENGEMBANGAN KLASTER BIOFARMAKA DI KAB. KARANGANYAR: UPAYA MEMBUMIKAN TEORI Berbagai manfaat dan potensi peningkatan daya saing dalam agribisnis mendorong upaya pengembangan klaster bofarmaka di Provinsi Jawa Tengah. Klaster biofarmaka di Kabupaten Karanganyar berlokasi di enam dari 17 Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, yaitu Jumantono, Ngargoyoso, Jatipuro, Kerjo, Jumapolo dan Mojogedang. Anggota klaster berasal dari10 kelompok tani dengan luas lahan kurang lebih 270 ha (Suryono, 2010). Klaster biofarmaka yang dikembangkan mempunyai inti usaha produksi empon-empon organik. Spesifikasi usaha produksi empon-empon organik ini diharapkan akan mendorong peningkatran kualitas dan pengembangan produk dan aktivitas turunan (derivative products) yang menunjang usaha bisnis klaster biofarmaka (pupuk organik, biogas, penggemukan sapi). Untuk diversifikasi produk, akan dikembangkan desa wisata, perikanan darat, dan pusat pembelajaran biofarmaka (Suryono, 2010). Pengembangan klaster biofarmaka di Karanganyar, walaupun ada beberapa kabupaten sentra produksi biofarmaka di Jawa Tengah, pada dasarnya sejalan dengan pendapat Porter dalam Woodward (2005) bahwa yang penting bukanlah industri secara agregat. Setiap perusahaan di dalam industri dapat mengembangkan klaster yang berdaya saing tinggi apabila mereka melakukan berbagai upaya perbaikan untuk meningkatkan produtivitas. Menurut faktor “Diamond” dari Porter, klaster biofarmaka di Karanganyar berpotensi untuk berkembang secara baik. Berdasarkan faktor input dari Porter, selain iklim sangat mendukung (Suryono, 2010), lahan cukup subur dan masyarakat sudah terbiasa dengan kegiatan usahatani biofarmaka. Gambaran keragaan produksi klaster biofarmaka di Karanganyar ditampilkan pada Tabel 1. Klaster melibatkan daerah potensial tanaman biofarmaka seperti: Kunyit, Temulawak, dan Jahe di samping produk tanaman biofarmaka lainnya seperti: Sambiloto, Temu kunci, dan Lengkuas yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Di masa mendatang klaster masih dapat diperluas karena belum semua daerah penghasil Biofarmaka di Karanganyar
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
489
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
masuk menjadi anggota klaster. Hal ini menyiratkan bahwa secara umum subsistem usahatani (on farm) di Karanganyar telah berkembang secara baik. Pendekatan yang digunakan oleh klaster biofarmaka di Karanganyar dengan mengembangkan usaha penunjang, berupa pengembangan pupuk organik, akan dapat menurunkan biaya produksi, sehingga efisiensi usaha dapat ditingkatkan. Tabel 1. Data Luas Lahan dan Produksi Empon-Empon Klaster Biofarmaka di Kab. Karanganyar Jenis Komoditas
Luas (Ha)
Produksi (Kg/th)
1 Jahe
77, 65
544.000
2 Kunyit
94,00
940.000
3 Kencur
16,60
93.000
4 Temu Lawak
39,25
365.700
5 Lengkuas
31,30
287.000
6 Kunyit Rasa Mangga
5,00
45.000
7 Kunir Putih
3,00
38.000
8 Bengkle
5,00
30.000
9 Temu Kunci
5,00
30.000
10 Temu Ireng
3,00
18.000
Sumber:http://biofarmaka-kra.com/?page_id=80
Kondisi permintaan produk biofarmaka juga cukup tinggi, khususnya sebagai bahan baku jamu. Hal ini dimungkinkan oleh munculnya gerakan back to nature yang mendorong berkembangnya pasar obatobatan herbal dan makanan herbal yang sekaligus juga mendorong meningkatnya permintaan empon-empon organik. Menurut Porter, daya saing juga ditentukan oleh keberadaan industri pendukung dan industri terkait. Dalam kasus biofarmaka, industri termaksud sudah berkembang secara baik. Kecenderungan masyarakat yang lebih menyukai jamu dibandingkan obat-obatan kimia. mendorong tumbuh suburnya pabrik jamu baik skala besar (antara lain PT Jamu Jago, Air Mancur, dan Sidomuncul), serta pabrik jamu skala rumahan/kecil, misalnya di Banyumas. Pabrik jamu tersebut membutuhkan pasokan bahan baku biofarmaka dalam jumlah besar,
490
Sifat spesifik lokasi dari pertanian, termasuk komoditas biofarmaka, diduga menyebabkan pada skala tertentu, persaingan berupa pasokan produk sejenis dari daerah lain tidak terlalu besar. Oleh karena itu strategi untuk subsistem usahatani ke depan perlu memberikan penekanan lebih besar pada kekhasan produk. Untuk itu perlu diinisiasi pengurusan indikasi geografis untuk komoditas biofarmaka tertentu. Pembentukan klaster biofarmaka yang berusaha menghimpun petani produsen di 6 kecamatan, akan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk, serta meningkatkan posisi tawar petani. Peningkatan posisi tawar memberikan peluang bagi petani untuk mendapatkan nilai tambah berupa tingkat harga yang lebih tinggi. Pada gilirannya, tingkat harga yang lebih tinggi dan biaya produksi yang lebih rendahkarena sebagian input diproduksi sendiri- akan meningkatkan keuntungan petani. Di sisi lain pembeli produk secara umum juga akan terbantu apabila dalam klaster juga diatur mekanisme penjualan produk, di mana petani tidak menjual sendiri produknya tetapi dikumpulkan dan dijual oleh seksi penjualan yang ditunjuk oleh kelompok. Dengan demikian biaya transaksi akan semakin rendah dengan semakin pendeknya rantai tata niaga dan semakin besarnya volume penjualan per transaksi. Faktor sukses klaster biofarmaka juga diperoleh dari kenyataan bahwa klaster tersebut merupakan klaster pertama di Jawa Tengah yang mengembangkan obat-obatan dengan diversifikasi penunjang dan adanya kebijakan pendukung lainnya karena lokasinya merupakan kawasan agropolitan. Di Kabupaten Karanganyar juga tersedia institusi pendukung pengembangan klaster berupa Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) di Tawangmangu, Karanganyar, yang berada di bawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Klaster biofarmaka juga dapat memanfaatkan dukungan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balitro) sebagai lembaga penelitian di bawah Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, yang khusus membidangi penelitian tanaman rempah dan obat, serta dukungan Direktorat Jenderal Tanaman Rempah dan Penyegar serta DInas Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi dan Kabupaten.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
Secara umum peningkatan daya saing dan penciptaan nilai tambah dalam klaster biofarmaka di Karanganyar dimungkinkan oleh penggunaan sarana produksi lebih optimal, peningkatan kualitas dan kuantitas produk, biaya produksi dan transportasi lebih efisien, keberlanjutan produksi terjaga, ada jaminan pasar, pengelolaan modal lebih terstruktur, tersedia institusi yang mendukung pengembangan nilai tambah produk, terjadi peningkatan penggunaan inovasi dan SDM yang trampil. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan klaster biofarmaka adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah bagi petani melalui pengembangan klaster sehingga ‘farmers share’ dalam kerangka rantai pasok meningkat. Berangkat dari konsep awal bahwa klaster biofarmaka diarahkan untuk mendorong petani agar dapat memproduksi biofarmaka organik, farmers share yang dimaksud tidak hanya terbatas pada harga produk yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tetapi meningkatnya persentase nilai tambah bagi petani yang dihitung dari produk akhir. Pada tahap awal pemerintah dapat menjembatani dialog antara petani dengan subsistem agribisnis hulu (misalnya perusahaan jamu) agar terjadi kesepahaman dan kesepakatan dalam seluruh sistem agribisnis. Diharapkan dengan demikian tumbuh jaringan dan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antar subsistem. Menurut Porter (1998), pengembangan klaster memungkinkan munculnya pandangan dan pola komunikasi baru antara pemerintah dan sektor swasta. Lebih lanjut manurut Hastiningsih (2010), pada abad 21 – 22: pengertian sukses mengalami perubahan. Seseorang atau suatu daerah dikatakan sukses apabila dapat menjalin kerjasama dengan seluruh stakeholder yang terkait dengan pembangunan ekonomi. Untuk itu perlu adanya modal sosial, sehingga terbentuk kerjasama yang baik antara individu dengan individu, individu dengan lembaga maupun lembaga dengan lembaga sehingga terbentuk jejaring ekonomi. Dukungan pemerintah sebagai fasilitator dan penghubung diperlukan agar terjalin kerjasama, baik informal (tanpa perjanjian) maupun formal (dengan perjanjian). Porter (1998) menyatakan bahwa faktor lokasi serta jalinan dan hubungan personal antar anggota klaster masih menjadi faktor penentu daya saing. Padahal menurut Scheer
and Zallinger (2007) globalisasi cenderung menyulitkan para pengusaha karena segalanya menjadi semakin cepat, semakin besar, dan kurang dapat diprediksi. Untuk dapat meraih sukses, pengusaha harus dapat menjual produk baru yang lebih baik dan berdaya saing, unggul dari segi inovasi dan teknologi, serta dapat memproduksi dan menjual dengan biaya bersaing, Untuk itu kerjasama dengan pengusaha lain merupakan satu-satunya cara agar pengusaha kecil dan menengah dapat masuk ke kancah rantai pasok global (Scheer and Zallinger, 2007). Pada tahap selanjutnya, untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani produsen, dalam klaster biofarmaka dapat dikembangkan satu cabang usaha yang memproses produk primer menjadi produk setengah jadi, misalnya berupa simplisia empon-empon. Kualitas produk simplisia seringkali menjadi masalah. Untuk mengatasinya, pemerintah dapat mendorong pabrikan jamu agar melakukan pelatihan secara berkesinambungan kepada petani, misalnya melalui kegiatan CSR. Pabrikan juga dapat membantu petani dengan memberikan kredit lunak maupun dana hibah untuk mengembangkan klaster. Pemerintah juga dapat memberikan fasilitasi berupa pelatihan pada para pelaku klaster, memberikan sarana dan prasarana sebagai stimulan, fasilitasi kredit, revitalisasi unit pelayanan teknis, serta memfasilitasi petani untuk berperan serta dalam pameran, penguatan hubungan antara sumber teknologi dan pelaku klaster, serta menciptakan hubungan sub-kontrak antara perusahaan besar dengan pelaku klaster. Pada prakteknya, pelaku yang terkait dengan biofarmaka tidak terbatas di Kabupaten Karanganyar. Pabrik jamu dari skala kecil sampai skala besar, sebagai pengguna utama produk biofarmaka, tersebar di seluruh propinsi. Oleh karena itu di masa mendatang cakupan klaster sebaiknya tidak terbatas di Kabupaten Karanganyar tetapi mencakup satu propinsi. Dalam kaitan ini tipologi dapat menggunakan tipologi pusat roda dan jeruji/klaster satelit dengan perusahaan besar sebagai pusat klaster. Untuk kepentingan pengembangan industri, ada baiknya dibangun saru pusat informasi yang dilengkapi dengan show window yang menampilkan miniatur seluruh subsistem agribisnis produk biofarmaka dan derivat produknya.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
491
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
KESIMPULAN Berangkat dari teori maupun keberhasilan pengembangan klaster berbasis pertanian di beberapa negara, pengembangan klaster berbasis pertanian tampaknya cukup prospektif untuk diterapkan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah di perdesaan Jawa Tengah. Dari analisis daya saing Porter, klaster biofarmaka di Kabupaten Karanganyar, cukup potensial untuk dikembangkan serta dapat meningkatkan nilai tambah di perdesaan. Namun demikian, disarankan cakupan klaster yang semula satu kabupaten dapat dikembangkan menjadi satu provinsi. Pada tahap awal pengembangan klaster, disarankan untuk lebih memberikan perhatian kepada kompetensi inti (produk biofarmaka) dan memfasilitasi terciptanya jalinan kerjasama kemitraan (aliansi strategis) antara petani yang bergerak di subsistem hulu dan on-farm dengan sub sistem hilir (misalnya perusahaan jamu) sehingga muncul kesepahaman antar subsistem dan tercipta satu rantai pasok yang utuh. Dengan demikian diharapkan farmers’ share serta kesejahteraan petani dapat diringkatkan secara berarti.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis. Laporan Akhir. Kerjasama: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Negara Koperasi dan UKM dengan PT. La’Mally. Anonim, 2010.. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Klaster Di Jawa Tengah FPESD Jawa Tengah. http://klasterumkm.blogspot.com/2010/09/kebijakandan-strategi-pengem-bangan.html. diunduh tanggal 10 Juli 2011. BPS. 2010. Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik: No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Badan Pusat Statistik. Enright, M. J. 1992, 'Why local clusters are the way to win the game', World Link, Vol 5, July/August, pp 24–25. Hastiningsih, S. 2010. Landasan Teori Klaster Dan Managemen Klaster. http://klasterumkm.blogspot.com/2010/09/landasanteori-klaster-dan-managemen.html. diunduh tanggal 10 Juli 2011.
492
Hermawan, A., A.Choliq, dan B. Utomo. Inovasi Teknologi Pertanian dan Upaya Pengentasan Kemiskinan. Makalah pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, Universitas Brawijaya, Malang, 6-7 Juli 2011 JICA, 2004. Studi Penguatan Kapasitas UKM di Republik Indonesia, Japan International Cooperation Agency.Jakarta Porter, M. E. 1998. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review. Nov.-Des. 1998. Pp. 7790. Kemtan. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010 – 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta Nogales, E,G, 2010. Agro-based clusters in developing countries: staying competitive in a globalized economy. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Saragih, B. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. [Kumpulan Pemikiran]. Yayasan Mulia Persada Indonesia, PT.SURVEYOR INDONESIA, Pusat Studi Pembangunan LP-IPB, Jakarta. Scheer, G. and L. V. Zallinger. 2007. Cluster Management, A Practical Guide. Part A: Overview. Economic Development and Employment Division. Economic Policy and Private Sector Development Section. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Schmitz, H., 1995, ’Collective efficiency: growth path for small-scale industry’, Journal of Development Studies, Vol 31 No 4 April: 529-566 Schmitz, H., 1997, Collective Efficiency And Increasing Returns. IDS Working Paper 50. March 1997. Siregar, H. 2006. Perspektif model AgroBased Cluster Menuju Peningkatan Daya Saing Industri. Makalah Seminar ” Meningkatkan Daya Saing Industri Indonesia: Masalah dan Tantangan, Jakarta, 8 Agustus 2006. Suryono, A. 2010. Ringkasan Eksekutif Business Plan Klaster Biofarmaka, Klaster UMKM. http://klaster-umkm.blogspot.com/ 2010/09/ringkasan-eksekutif-businessplan.html. diunduh tanggal 10 Juli 2011.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Hermawan dan Mastur - Penciptaan Nilai Tambah melalui Agro-Based Cluster Di Jawa Tengah
Woodward, D. 2005. Porter’s Cluster Strategy Versus Industrial Targeting. July 1, 2005. Based a Presentation at the ICIT Workshop Orlando, Florida December 3, 2004.
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani” Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
493