Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DI KOTA BANDUNG MELALUI KLASTER WISATA Ni Gusti Made Kerti Utami Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Jalan Dr. Setiabudhi 186, Bandung E-mail:
[email protected]
Abstrak: Perkembangan Kota Bandung sebagai kota kreatif mulai terasa pada peralihan milenium setelah krisis ekonomi pada tahun 1997. Kota Bandung menjadi pelopor industri kreatif di tanah air karena banyaknya karya kreatif yang dihasilkan dan menjadi tren di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda.Industri kreatif yang berkembang di Kota Bandung memberikan kontribusi yang signifikan, namun belum terkelola secara benar dan berdampak tumpang tindihnya fungsi kawasan dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dibagi menjadi dua kegiatan yaitu survey primer yang terdiri atas observasi lapangan, wawancara, serta penyebaran kuesioner dan survey sekunder yang terdiri atas studi literature serta pengumpulan data melalui instansi – instansi terkait. Objek penelitiannya adalah industri kreatif di Kota Bandung.Berdasarkan hasil penelitian, teridentifikasi 15 klaster wisata industri kreatif yang memiliki klasifikasi kegiatan industrinya bervariasi/ campuran dan dominan pada satu jenis industri saja. Sementara indikator kesiapan wilayah adalah pada kemudahan aksesibilitas dari dan di dalam wilayah tersebut dengan seluruh fasilitas, sarana, dan prasarana penunjangnya yang bersifat fisik maupun nonfisik. Kata-kata kunci: perencanaan pariwisata, concept of destination zone, industri kreatif, klaster Abstract: Development Kota Bandung as a creative city began at the millennium that developed after the economic crisis hit Indonesia in 1997. Kota Bandung may be regarded as a pioneer of creative industries because of many creative works produced by those actors who later became a trend in Indonesia, especially among the younger generation. Developing creative industries in Kota Bandung make a significant contribution, just because it has not managed properly, making this activity takes place sporadically resulting in the overlapping area function and cause inconvenience for tourists.This research, identified 15 creative industries tourism clusters which has varied industrial activity classification / mix and dominant in one type of industry.While the region's readiness indicator is on ease of accessibility of and within the region with all amenities, facilities and infrastructure supporting the physical and non physical. Keywords: tourism planning, concept of destination zone, creative industries, clusters
159
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
PENDAHULUAN Perencanaan pengembangan daerah perkotaan (urban areas) menjadi sangat kompleksberdasarkan fungsi, aktivitas, serta kepentingan penggunaan yang heterogen. Pada awalnya daerah perkotaan dikembangkan bukan untuk tujuan pariwisata, lebih ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan politik. Namun demikian, sebagian wilayah yang memiliki kelengkapan dan kemudahan sarana dan prasarana menjadikan daerah perkotaan diminati oleh para pengguna (users) untuk aktivitas wisata. Ciri khas atraksi dan aktivitas wisata perkotaan pada dasarnya merupakan konsumsi reguler masyarakat setempat. Contohnya pusat perbelanjaan, pusat hiburan umum (bar, karaoke, pub, café, dan discotique), pusat olahraga dan kesehatan, serta taman rekreasi (theme park). Kesemuanya secara tidak langsung menjadi daya tarik wisata yang diminati oleh wisatawan, terlepas dari kondisi fisik alam dan kebudayaan yang mewarnai nilai keunikan suatu kota serta ketersediaan dan kemudahan sarana dan prasarana. Pengertian wisata kota pada saat sekarang telah berkembang pesat, banyak sumber menyebutkan pengertian “wisata kota” berdasarkan sudut pandangnya masing-masing, diantaranya yang diungkapkan oleh World Tourism Organization (1994: 18) sebagai berikut; “Tourism in towns and cities is very widespread. These urban places often offer a broad range of historic and cultural attractions, shopping, restaurants and the appeal of urban vitality. Many urban attractions and amenities are primarily developed
to serve residents, but their use by tourists can greatly help to support them.”. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa, suatu wisata kota sebagai suatu daerah yang menawarkan berbagai jenis atraksi dan aktivitas wisata yang dapat dilakukan seperti atraksi sejarah/warisan budaya dan peninggalan, aktivitas berbelanja, restoran, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, atraksi dan aktivitas wisata kota itu dikembangkan dengan tujuan utama untuk melayani kebutuhan masyarakat lokal kota itu sendiri, tetapi justru aktivitas dan atraksi yang dikembangkan tersebut sangat berguna bagi wisatawan. Berangkat dari kondisi pariwisata saat ini, Kota Bandung merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Provinsi Jawa Barat. Perkembangan pariwisata Kota Bandung ditopang oleh ketersediaan dan variasi produk wisata perkotaan, pendidikan, sejarah, dan budaya yang didukung prasarana dan sarana pariwisata yang memadai. Kota Bandung sebagai kota wisata ini didukung pula oleh wilayah (kabupaten di sekitarnya) yang bercirikan wisata alam, yang menjadikan Kota Bandung sebagai destinasi yang layak ditampilkan bagi wisatawan, baik untuk wisatawan nusantara maupun mancanegara. Disamping itu, Kota Bandung juga memiliki kapasitas sebagai pusat distribusi (point of distribution)bagi destinasi wisata lain di Jawa Barat, khususnya kota atau kabupaten di sekitar Kota Bandung. Dengan memanfaatkan posisi dan potensi yang dimilikinya ini, telah banyak tumbuh berkembang fasilitas dan sarana
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
pendukung pariwisata, seperti hotel, restoran, factory outlet, kolam renang, pusat perbelanjaan,dan sebagainya. Dalam perkembangannya, ketersediaan sarana wisata perkotaan ini menjadi daya tarik wisata yang kuat bagi Kota Bandung. Berdasarkan konsep yang dicetus oleh Gunn (1994) yakni concept of destination zone, pengklasteran daerah wisata di Kota Bandung dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing produk pariwisata yang terkait, keselarasan pengelolaan, sehingga diharapkan dengan penerapan konsep tersebut dapat didapatkan hasil yang lebih maksimal termasuk juga meningkatkan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung . Kota Bandung tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan karena potensi alam justru berada di Kabupaten/Kota sekitarnya yaitu Kabupaten Bandung, Subang, dan Bandung Barat. Bandung sudah sangat dikenal sebagai kota yang menghasilkan karya-karya kreatif yang menjadi trend di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, industri pakaian jadi dan distribution outlet (distro), kuliner, dan kerajinan tumbuh menjamur di Kota Bandung (Rosada, 2008). Dalam Seminar Nasional “Industri Kreatif untuk Kesejahteraan Bangsa” yang diselenggarakan di Kota Bandung pada tanggal 2 April 2008, Walikota Bandung, Dada Rosada, mengemukakan fakta bahwa selama tahun 2002-2006, jumlah industri pakaian jadi dan distro di Kota Bandung bertambah sekitar 2 kali lipat, yaitu dari
200 unit menjadi 400 unit. Seiring dengan perkembangan tersebut, citra Bandung sebagai sentra mode menjadi sangat kuat. Industri kreatif di Kota Bandung masuk ke dalam 6 (enam) industri unggulan (Peta IKM Unggulan Kota Bandung). Keenam industri unggulan di Kota Bandung tersebut mencakup:(1) pakaian jadi/distro;(2) sepatu, sandal, tas, dan lain-lain; (3) elektronika; (4) rajut; (5) telematika;(6) otomotif dari karet, plastik, dan sparepart otomotif; dan (7) industri kreatif. Sebagai gambaran perbandingan, perkembangan industri kecil menengah di Bandung tahun 2007 untuk unit usaha 10.559, tenaga kerja 70.816, dan investasi Rp 4.541.280.000.000. Sedangkan untuk industri besar, unit usaha 115, tenaga kerja 46.686, dan investasi – tanpa data.Secara keseluruhan, jumlah unit industri kecil menengah dan besar di Jawa Barat untuk unit usaha 10.674, tenaga kerja 117.502, dan investasi 45.412.80. Perkembangan industri kreatif di Kota Bandung menjadi fenomenal. Tidak heran jika Kota Bandung ditetapkan sebagai proyek percontohan pengembangan kota kreatif se-Asia Pasifik, yang merupakan bagian dari jaringan pengembangan kota kreatif yang menghubungkan Kota Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Hanoi, Hongkong, Taipei, London, Auckland, Istambul, Bogota, dan Glasgow. Penetapan ini dilakukan di Yokohama, Jepang, pada Juli 2008.Bandung diakui sebagai pelopor perkembangan 8 (delapan) dari 15 sektor industri kreatif (Rosada, 2008:).
161
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
Dari sisi tenaga kerjapada tahun 2006, sektor industri kreatif di Kota Bandung menyerap 35,6% tenaga kerja pada sektor industri, bahkan pada tahun 2004 mencapai angka yang lebih tinggi, yaitu 38,4% (BPS Kota Bandung, 2006). Berdasarkanrerata penyerapan tenaga kerja, industri kreatif merupakan sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi karena satu unit industri kreatif mampu menyerap 150200 tenaga kerja. Namun, masih ditemukan beberapa permasalahan yang dirasakan oleh para pelaku industri kreatif yaitu perkembangan pariwisata di Kota Bandung harus didukung oleh peran pemerintah.Pemerintah, terutama daerah, diharapkan dapat membuat zonasi kawasan di Kota Bandung yang khusus diperuntukkan bagi kawasan industri kreatif.Hal ini perlu agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi kawasan di Kota Bandung seperti yang terjadi dewasa ini.Harapannya, perkembangan industri kreatif selain berkontribusi terhadap ekonomi Kota Bandung, tidak mengganggu kenyamanan warga Kota Bandung dan menimbulkan beberapa keluhan dari para wisatawan yang datang ke Bandungkarena ketidakpuasan pengalaman mereka dalam berkegiatan wisata di Kota Bandung Saat ini dunia sudah memasuki peradaban keempat, yaitu era kreatif. Era kreatif merupakan masa kreativitas dan inovasi berkembang sebagai motor penggerak ekonomi. Era kreatif merupakan kelanjutan dari tiga gelombang peradaban manusia sebelumnya, yaitu era pertanian, era industri, dan era informasi (Toffler,
1970:).Industri kreatif telah berkembang pesat di dunia dalam hampir dua dekade terakhir ini.Diinisiasi pertama kali di Inggris pada awal 1990-an, industri kreatif kini telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia.Di Indonesia, industri kreatif mulai berkembang menjelang akhir 1990-an, dengan sumbangan terhadap produk domestic bruto (PDB) belum cukup tinggi, namun laju pertumbuhannya (7,28%) lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi nasional (Depdagri).Istilah Industri Kreatif sendiri mulai terdengar akrab di telinga sebagian besar rakyat Indonesia mulai pada tahun 2008. Istilah industri kreatif pertama kali digunakan oleh partai buruh di Australia pada tahun 1997. Industri kreatif merupakan salah satu industri yang berkembang secara fenomenal dalam beberapa tahun terakhir dan telah menarik perhatian berbagai kalangan karena dampaknya yang sangat signifikan terhadap beberapa indikator ekonomi, diantaranya produk domestik bruto (PDB), ketenagakerjaan, nilai ekspor, dan pengembangan jumlah usaha. Fenomena industri kreatif menjadi bahan kajian dan perhatian di berbagai negara, baik di Eropa, Asia, Afrika dan Amerika. Industri kreatif berkembang pertama kali di Inggris pada awal tahun 1990-an. Pada saat itu, banyak kota di Inggris mengalami penurunan produktivitas ekonomi akibat beralihnya pusat-pusat industri dan manufaktur ke negaranegara berkembang yang menawarkan bahan baku, harga produksi, serta jasa yang lebih murah. Oleh karena itu, sekelompok orang mulai beralih pada
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
kreativitas individual atau kelompok agar tetap dapat berproduksi. Banyak jenis industri kreatif menjadi penggerak ekonomi Inggris saat itu, seperti video, buku, merchandise, busana, hingga memanfaatkan kefanatikan fans yang telah mendunia untuk berkunjung ke Inggris (contoh The Beatles). Yang membedakan industri kreatif dengan industri konvensional adalahsumber daya utama yang berbasis pada pengetahuan.Oleh karena itulah, industri kreatif dikenal sebagai knowledge-based economy. Menurut Virna (2008), industri kreatif memerlukan lingkungan yang toleran dan adaptif dalam mewadahi berbagai aktivitas serta mampu merespon perubahan situasi terhadap perkembangan industri kreatif yang selalu dinamis dan inovatif. Disebutkan juga, bahwa kota sebagai ruang yang mewadahi berbagai aktivitas dan pergerakan manusia, barang, dan jasa merupakan inkubator bagi berbagai inovasi sekaligus magnet bagi talenta berketerampilan tinggi. Kota juga menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan bagi pengembangan suatu produk, kemudahan aksesibilitas terhadap pasar dan bahan baku, serta dapat langsung ‘diuji’ publik apakah suatu inovasi dapat bertahan atau tidak.
jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang berpotensi dalam menciptakan lapangan pekerjaan.Ciri lainnya adalah dinamika, elastisitas, dan keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.Masih menurut Florida , industri kreatif berada di dalam klaster yang dibangkitkan oleh ide-ide yang terletak di persimpangan antara seni (artistic creativity), bisnis (entrepreneurship), dan teknologi (innovation). Modal dasar industri kreatif adalah kreativitas multidimensi individual berupa kreativitas artistik, entrepreneurship, dan inovasi teknologi untuk menghasilkan nilai ekonomi baru yang baru. Industri kreatif tidak hanya menghasilkan produk barang maupun jasa layanan tetapi juga memiliki nilai ekspresi: a. Aesthetic value, nilai merefleksikan keindahan;
yang
b. Spritual value secular atau religious, yang merefleksikan ideologi, cara pandang atau jalan hidup; c. Social value, merefleksikan karakter masyarakat, gaya hidup dan identitas; d. Historical value, merefleksikan keunikan produk masa lalu dan situasi pada saat produk tersebut dibuat serta keselarasannya dengan masa kini;
Fenomena kemunculan industri kreatif di Inggris tidak luput dari perhatian Florida yang dituangkan dalam bukunya, The Rise of Creative Class. Menurutnya, keberadaan industri kreatif juga sejalan dengan pertumbuhan kelas kreatif.Ciri kelas ini adalah memiliki ide-ide baru dan kapasitas besar dalam memecahkan berbagai permasalahan serta memiliki
e. Symbolic value setiap produk menyimpan arti/makna simbolis yang akan diapresiai oleh konsumen; dan
163
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
f. Authenticity value refleksi keunikan dan orisinalitas.
dari
Sebagai tambahan, menurut Ramadhini (2008), pada dasarnya kreativitas yang muncul dapat dipisah menjadi dua aliran utama, yaitu kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based).Kedua jenis kreativitas ini dalam kenyataannya menyatu di berbagai produk dan kegiatan.Produk teknologi yang didukung seni ataupun seni yang didukung teknologi. g. Pilar utama lainnya dalam pengembangan ekonomi kreatif adalah komunitas kreatif. Dari hasil telaah terhadap literatur dan hasil studi industri kreatif di Indonesia dapat didefinisikan bahwa : Komunitas kreatif adalah sekelompok/perseorangan yang mampu membuat karya cipta barang atau jasa yang unik dan orisinil.
berdasarkan atas individu kreatif dengan lima pilar utama, yaitu:(1) industri yang terlibat dalam produksi industri kreatif;(2) teknologi sebagai sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu;(3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan;(4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan (5) lembaga intermediasi keuangan. Terdapat berbagai pendekatan dalam melakukan klasifikasi industri kreatif. Salah satunya adalah Freman dari GLA Ecomics yang mengacu kepada United Kingdom Department of Culture, Media and Sport yang membagi industri kreatif menjadi core arts field sebagai inti, cultural industries pada lingkaran pertama, creative industries and activities pada lingkaran kedua serta related industries sebagai lingkaran terluar, sebagaimana tertera pada gambar berikut
Di dalam peta industri kreatif, pemerintah membuat model
Gambar 2. Destination Zone (Gunn, 1994:225-226)
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
Konsep tersebut di atas dapat diartikan sebagai suatu konsep perencanaan yang mempertimbangkan komponen-
komponen utama perencanaan suatu destinasi dan hubungan yang terjalin di antara komponen-komponen tersebut.
Gambar 1. Konsep perencanaan industri (Allan Freman, GLA Ecomics, 2006) Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan sebuah atraksi wisata adalah penerapan sistem zonasi / klaster. Sistem klaster akan membantu memberikan efek yang baik terutama dari aspek promosi dan efisiensi dari berbagai fasilitas penunjang seperti fasilitas air bersih, pembuangan, keamanan, pemadam kebakaran dan listrik. Hal ini disampaikan oleh Gunn (1994:60), “clustered attractions have greater promotional impact and more efficiently serviced with infrastructure of water, water disposal, police, fire protection and power.
Konsep dan teknik yang dapat digunakan dalam membuat perencanaan sebuah destinasi wisata menurut Gunn (1994:225-226) adalah Concept of Destination Zone , yaitu :“. . .major planning components and their relationship. Included are attraction complexes, linkage between. Adapun komponen-komponen utama tersebut adalah: kawasan wisata, atraksi dan pengunjung. Hubungan yang harus terbangun diantara komponen utama tersebut adalah jalur penghubung antara atraksi dan kawasan wisata, kawasan wisata 165
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
itu sendiri, akses, dan gerbang masuk ke destinasi tersebut. Dengan dilakukannya perencanaan yang baik, sebuah destinasi akan terhindar dari konflik pemanfaatan yang tidak sesuai antara fasilitas dan aktivitas, meningkatkan daya dukung tapak (pertimbangan lingkungan), pemanfaatan lahan secara optimal, dan untuk memastikan pengembangan yang terencana. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu kasus atau gejala yang terjadi. Faisal (2003:20) mengatakan bahwa penelitian deskriptif digunakan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu gejala mengenai kenyataan sosial, dengan jalan mendiskripsikan sejumlah gejala yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Peneliti melakukan studi identifikasi, yaitu sebuah cara yang penelaahannya pada suatu gejala atau fenomena secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif, yang dalam hal ini adalah kasus pengembangan klastering wisata industri kreatif yang ada di Kota Bandung . Pemilihan penggunaan pendekatan analisis kualitatif dimaksudkan untuk mendapatkan cara yang paling cocok dalam mengumpulkan data supaya didapat data yang benar-benar sesuai dengan yang ada di lapangan.Dalam penelitian kualitatif, peneliti terlibat langsung di lokasi penelitian untuk mengadakan pengamatan berperan serta (participation observation). Maleong (2002:4) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kegiatan yaitu survey primer yang terdiri atas observasi lapangan,
wawancara, serta penyebaran kuesioner dan survey sekunder yang terdiri dari studi literatur serta pengumpulan data melalui instansi – instansi terkait. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah industri kreatif di Kota Bandung. Sedangkan yang dijadikan responden atau informan terdiri atas empat kelompok responden. Kelompok responden yang pertama adalah Kepala Dinas dan atau para Kasubdit yang ada di Lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. Dari kelompok responden ini peneliti akan menggali informasi mengenai bagaimana perencanaan suatu kebijakan kepariwisataan yang ada di Kota Bandung. Kelompok responden yang kedua adalah para pakar, yaitu para ahli dari pihakpihak yang mempunyai kepentingan, pemahaman, dan perhatian terhadap permasalahan kepariwisataan di Kota Bandung. Responden atau informan dalam kelompok ini adalah para tokoh masyarakat, LSM, Lembaga Kependidikan, PHRI serta lembaga-lembaga asosiasi kepariwisataan yang keseluruhannya berada di wilayah Kota Bandung. Dari kelompok ini peneliti ingin mengetahui sampai sejauh mana keadaan kepariwisataan, khususnya model klastering wisata industri kreatif yang ada di Kota Bandung. Kelompok responden atau informan yang ketiga adalah para pelaku industri, yaitu para pengusaha / komunitas industri wisata, khususnya indutri produk kreatif. Dari kelompok ini peneliti ingin mengetahui prospek keadaan klastering wisata industri kreatif yang ada di Kota Bandung, tentunya dengan memerhatikan dimensi dan indikator variabel penelitian. Sedangkan kelompok responden atau informan yang keempat adalah wisatawan, yaitu sekelompok orang yang melakukan kegiatan wisata dan langsung merasakan bagaimana kegiatan wisata dalam
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
hal ini adalah industri kreatif yang ada di Kota Bandung. Dari kelompok wisatawan inilah dapat diketahui apa yang menjadi keinginan/ harapan mereka terhadap kegiatan wisata. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu suatu alat analisis yang bertujuan unruk mengetahui apa, dimana, kapan, siapa, dan bagaimana konsep destination zone/ cluster, yaitu suatu konsep perencanaan destinasi berdasarkan kemudahan akses bagi pengunjung, kesamaan fungsi daya tarik utama yang ditampilkan/ ditawarkan, fasilitas dan saran wisata lain sebagai penunjang dan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengembangan destinasi tersebut, yang harus diidentifikasi, direncanakan, dan dikembangkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengidentifikasian, terdapat lima kelompok industri kreatif yang memiliki keterkaitan langsung dengan wisatawan, yaitu: (1) busana, 2) pasar barang seni,(3) kerajinan,(4) musik, dan(5) seni pertunjukan. Memiliki keterkaitan langsung dengan wisatawan artinya hasil karya atau produk yang kemudian ditampilkan dan dijual kepada umum/ wisatawan dengan mengalami pemberian nilai tambah baik pada kemasan, tampilan maupun displai. Hasil karya industri kreatif ini akhirnya menjadi daya tarik bagi orang di luar destinasi untuk berkunjung, membeli, dan menikmati produk tersebut. Berikut ini adalah sebaran lokasi pengelompokan/ klaster industri kreatif di Kota Bandung berdasarkan pembagian wilayah pengembangannya, yaknisebagai berikut:
Tabel 1. Sebaran lokasi pengelompokan/ klaster industri kreatif di Kota Bandung berdasarkan pembagian wilayah pengembangannya No 1
Klaster/ Wilayah Bojonegara
Subklaster
Jenis Industri Kreatif/Klasifikasi Kegiatan a. Mix : Busana, pasar seni/ barang antik, dan seni pertunjukan,
a. Sukajadi – Pasteur
b. Alun-alun - Sudirman - b. Mix : Otista Busana, pasar seni/ barang antik, dan seni pertunjukan 2
Tegallega
a. Tegallega
b. Cibadu-yut c. Cigon-dewah 3
Cibeunying
a. Setiabudhi b. Cihampe-las Cipaganti
–
167
a. Dominan : Pasar seni/ barang antik, dan seni pertunjukan b.Dominan : Busana c. Dominan : Busana a. Dominan : Busana b. Mix : Busana, pasar seni/ barang antik, seni
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014 pertunjukan, desain, dan musik
c. Dago Utara – Punclut d. Dago – Merdeka – Riau
e. Gedung Sate – Gasibu – Sabuga f. Padasuka – Suci g. Braga – Asia Afrika – Cikapundung
4
Karres
5
Ujung Berung
a. Gatot Subroto Binong Jati a. Ujung-berung
6
Gedebage
a. Gedebage
–
c. Dominan : Seni pertunjukan d. Mix : Busana, pasar seni/ barang antik, seni pertunjukan, desain, dan musik e. Mix : Seni pertunjukan, desain, dan musik
f. Mix : Busana, desain, dan musik g. Mix : Pasar seni/ barang antik, pertunjukan, desain, dan musik a. Dominan : Busana a. Dominan : Seni pertunjukan a. Dominan : Kerajinan
seni
Penamaan klaster/ subklaster yang adalah memilih nama-nama yang relatif terdapat di masing-masing wilayah sudah dikenal oleh wisatawan, sehingga pengembangan disesuaikan dengan lokasi/ diharapkan akan lebih memudahkan tempat industri kreatif tersebut tersebar. nantinya. Selain itu, yang menjadi pertimbangan dalam penamaan klaster/ subklaster ini 1. Klaster/Wilayah Pengembangan (WP) Bojonegara
Potensi Akses utama ( pintu Tol Pasteur ) Fasilitas umum sangat memadai Suasana nyaman Pusat Kota Fasilitas umum memadai
Wilayah Pengembangan Bojonegara memiliki duasubklaster. a. Subklaster Sukajadi – Pasteur Klaster ini bisa dikatakan sebagai salah satu klaster utama di WP Bojonegara, karena aspek aksesibilitas dekat dengan pintu utama ke Kota Bandung yaitu Pintu Tol Pasteur. Hal ini dikaitkan dengan profil wisatawan yang mayoritas berasal dari Jakarta yang
Permasalahan Kemacetan Lalu lintas Banyaknya PKL Kurangnya Lahan Parkir Tidak tersedia TIC
memilih memasuki kota Bandung melalui akses ini. Dilihat dari pengembangannya, subklaster ini relatif sudah berada pada peruntukannya, hanya yang menjadi kendala utama adalah kemacetan lalu lintas yang tinggi dan banyaknya PKL yang sangat mengganggu. Selain itu kurangnya lahan parkir terutama di akhir minggu, juga
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
menjadi salah satu penyebab timbulnya kemacetan di kawasan ini. b. Subklaster Alun-Alun – Sudirman – Otista Subklaster Alun-alun – Sudirman – Otista, memiliki keunggulan yaitu berada di pusat kota. Dengan klasifikasi kegiatan industri kreatif yang disebut mix, subklaster ini menjadi alternatif pilihan selain 2. Klaster Tegallega
subklaster Sukajadi –Pasteur. Alasannya, dia berada di pusat kota, fasilitas umum yang dimiliki juga sangat memadai, kecuali beberapa hal yang menjadi permasalahan yaitu lahan parkir dan sarana TIC yang tidak berfungsi secara optimal. Secara umum dapat dikatakan, WP.Bojonegara dapat dikatakan sebagai wilayah pengembangan yang siap.
Potensi Akses tersedia ( pintu Tol Pasirkoja) Fasilitas umum cukup Akses tersedia (pintu tol Pasirkoja) Fasilitas umum cukup Nilai sejarah
Wilayah Pengembangan Tegallega memiliki tigasubklaster. a. Subklaster Tegallega Subklaster Tegallega memiliki potensi yaitu dekat dengan salah satu akses ke kota Bandung yaitu Pintu Tol Pasir Koja. Dia tidak menjadi pilihan utama wisatawan untuk menggunakan jalur ini apabila akan ke Kota Bandung karenakemacetan lalu lintas yang cukup tinggi. Permasalahan lain yang timbul adalah banyaknya PKL yang melakukan kegiatan hariannya di sepanjang badan jalan, yang pada akhirnya mengganggu kualitas estetika kawasan di sekitarnya, padahal ada banyak potensi di klaster ini seperti Museum Sri Baduga, Tugu Bandung Lautan Api yang terletak di Taman Tegallega. b. Subklaster Cibaduyut Subklaster Cibaduyut memiliki potensi yang baik karena Cibaduyut pada awalnya dikenal
Permasalahan Kemacetan Lalu Lintas Banyaknya PKL Kualitas produk Jaraknya terlalu jauh Kemacetan Lalu lintas Kurangnya Lahan Parkir Suasana tidak nyaman Kualitas produk Tidak tersedia TIC Jaraknya terlalu jauh Suasana tidak nyaman
sebagai sentra pengrajin sepatu yang cukup terkenal. Akses menuju ke subklaster ini sebenarnya juga cukup mudah karena relatif dekat dengan akses Pintu Tol Pasir Koja. Akan tetapi, kondisi kemacetan lalu lintas di dalam kota menuju ke kawasan ini cukup tinggi, sehingga subklaster ini kurang disenangi untuk dikunjungi. Selain itu, yang menjadi permasalahan adalah menurunnya kualitas produk yang dihasilkan karena kalah bersaing dengan produk-produk Cina yang saat ini membanjiri pasaran. Kurang nyamannya suasana belanja pun menjadi salah satu permasalahan yang timbul disubklaster ini. c. Subklaster Cigondewah Subklaster Cigondewah adalah salah satu subklaster yang memiliki keunikan karena produk yang dimilikinya sangat khas. Kawasan ini sempat menjadi sentra konveksi dan pakaian di Kota Bandung, 169
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
tetapi karena tutupnya beberapa pabrik tekstil di kawasan tersebut serta rendahnya daya beli masyarakat membuat kawasan Cigondewah menjadi terbengkalai. Selain itu, jarak yang cukup jauh membuat
kawasan ini tidak menjadi pilihan utama wisatawan.Berdasarkan pengamatan, pengunjung yang datang ke kawasan ini didominasi oleh para pengusaha busana, bukan wisatawan.
3. Klaster Cibeunying
Potensi Dekat akses utama ( pintu tol Pasteur) Terkenal Fasilitas umum sangat memadai Berada di Pusat Kota Trademark Kota Bandung Pusat Pemerintahan Jawa Barat
Wilayah Pengembangan Cibeunying memiliki tujuhsubklaster. a. Klaster Setiabudhi Subklaster Setiabudhi dapat dikatakan sebagai subklaster utama di Kota Bandung karena mayoritas wisatawan yang datang ke Kota Bandung mengunjungi kawasan ini yang sangat terkenal dengan factory outletnya. Hal ini sesuai dengan klasifikasi kegiatan industrinya yaitu dominan busana. Berada dekat dengan akses utama yaitu pintu Tol Pasteur, fasilitas umum yang sangat memadai, membuat klaster ini menjadi pilihan utama. Hanya saja dampak yang terjadi adalah tingkat kemacetan yang luar biasa.Selain itu, beberapa hal juga yang bisa menjadi kendala adalah kurangnya lahan parkir. b. Subklaster Cihampelas – Cipaganti Subklaster Cihampelas – Cipaganti memiliki potensi yang baik karena Cihampelas dikenal banyak orang sebagai sentra jins dan konveksi. Hanya saja yang menjadi kendala utama adalah lemahnya pengendalian lingkungan di kawasan ini seperti hilangnya jalur pedestrian karena PKL, hilangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), kurangnya sarana parkir yang
Permasalahan Kemacetan Lalu lintas Banyaknya PKL Kurangnya Lahan Parkir Tidak tersedia TIC
menyebabkan permasalahan semakin kompleks. c. Subklaster Dago Utara – Punclut Permasalahan utama pada subklaster Dago Utara – Punclut adalah kawasan ini berada pada daerah resapan air (catchment area).Di samping itu, kurangnya fasilitas umum yang tersedia di kawasan ini juga bisa menimbulkan keengganan bagi pengunjung. d. Subklaster Dago – Merdeka – Riau Kawasan ini menjadi pusat kegiatan masyarakat di Kota Bandung sekaligus menjadi daerah tujuan wisatawan apabila berada di Kota Bandung. Fasilitas belanja yang tersedia di kawasan ini menjadikan klasifikasi kegiatan industri yang disebut mix karena beragamnyasektor industri kreatif yang tersedia. Permasalahan utama di subklaster ini adalah berubahnya fungsi lahan dari pemukiman menjadi area perdagangan memberikan implikasi terhadap fungsi-fungsi kawasan juga berkurangnya ruang terbuka hijau. Selain itu, yang menjadi kendala adalah banyaknya PKL yang menggunakan badan jalan untuk beraktivitas, walaupun kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu titik kawasan bebas PKL, tetapi hal ini tidak pernah terwujud. Dampaknya adalah kawasan yang tidak teratur.
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
wisata, serta keragaman industri kreatif yang tersedia. Kondisi jalan raya sebagai penghubung utama rata-rata berada pada kondisi baik dan dapat mengakomodasi baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti angkutan kota, bis, dan lain-lain. Ditambah pula dengan kondisi kelengkapannya seperti rambu-rambu lalu lintas, petunjuk jalan relatif tersedia walaupun ada beberapa yang kondisinya tidak terlalu baik seperti adanya coretan.Pada malam hari tersedia pula penerangan jalan walaupun tidak berada di keseluruhan jalan raya tersebut.Selain itu aspek non fisik seperti keamanan dan kualitas pemandangan di sepanjang jalan relatif berada pada kondisi cukup. Transportasi umum sebagai sarana transportasi alternatif juga berada pada kondisi yang memadai.Frekuensinya relatif sering dan terjadwal serta jumlahnya yang relatif banyak.Hanya saja yang menjadi kendala adalah perilaku pengendara transportasi umum ini yang tidak disiplin sehingga kerap mengganggu kondisi lalu lintas seperti berhenti di sembarang tempat, yang pada akhirnya menimbulkan ketidaknyaman bagi penduduk secara umum dan wisatawan. Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain adalah sarana dan prasarana sebagai penunjang. Contohnya adalah sumber daya listrik, sumber air bersih, sistem pembuangan limbah, dan sistem komunikasi. Keseluruhannya berada dalam kondisi yang memadai.Hanya saja justru hal ini menimbulkan dampak negatif bagi pengunjung, seperti tingkat kemacetan lalu lintas yang sangat tinggi, permasalahan PKL yang beimbas pada sektor lainnya, ketidakteraturan tata letak ruang dan fungsifungsinya, serta dampak sosial lainnya.
e. Subklaster Gedung Sate – Gasibu – Sabuga Subklaster ini menjadi pilihan untuk dikunjungi oleh wisatawan karena Gedung Sate adalah trade mark Kota Bandung. Akan tetapi, hal ini tidak otomatis menjadikan subklaster ini bebas dari permasalahan.Hampir semua kegiatan besar memilih kawasan ini sebagai lokasi pelaksanaan, tetapi justru hal ini memicu kemacetan yang luar biasa karena mengakibatkan lalu lintasnya terkunci.Kegiatan pasar kaget di hari Minggu juga membuat keluhan bagi para pengunjung. f. Subklaster Padasuka – Suci Subklaster Padasuka – Suci menjadi salah satu subklaster pilihan karena salah satu objek yang menarik di kawasan tersebut adalah Saung Angklung Udjo yang sudah sangat terkenal bukan saja di Kota Bandung, bahkan mendunia. Permasalahan utamanya adalah kemacetan di sekitar kawasan tersebut, ketidakteraturan tata letak ruang yang memberikan dampak ketidaknyaman bagi wisatawan. g. Subklaster Braga – Asia Afrika – Cikapundung Keunggulan subklaster ini adalah memiliki nilai historis yang sangat tinggi bagi Kota Bandung yaitu kawasan Asia Afrika dan Braga.Otomatis ini menjadi daya tarik yang luar biasa bagi pengunjung.Hanya saja permasalahan yang terjadi adalah tidak ditunjangnya kondisi jalan di kawasan Braga yang membuat ketidaknyamanan para pengguna jalan.Selain itu, kawasan Cikapundung yang tidak terpelihara dan menibulkan kesan kumuh. Berdasarkan data-data di atas, WP Cibeuying dapat dikatakan sebagai wilayah pengembangan klaster yang paling siap, baik dari aspek aksesibilitas, fasilitas dan sarana
171
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
4. Klaster Karees Potensi Dekat akses ( pintu Tol Buah Batu) Fasilitas umum memadai
Permasalahan Tidak tertata Suasana tidak nyaman Banyaknya PKL
(Sumber : Olahan Data , 2012)
Wilayah pengembangan Karees hanya memiliki satu subklaster. a. Subklaster Gatot Subroto – Binong Jati Kendati subklaster ini relatif memiliki akses yang cukup dekat yaitu Pintu Tol Buahbatu, tetapi akses ini tidak menjadi pilihan bagi wisatawan yang menuju ke Kota Bandung karena sangat jauh. Kawasan Gatot Subroto adalah salah satu kawasan yang memiliki nilai historis cukup tinggi selain menjadi pusat pertahanan & keamanan, sehingga pengembangan kawasan ini menjadi
terbatas.Sementara Kawasan Binong Jati yang menjadi sentra rajut, memiliki potensi yang cukup baik hanya kondisi yang tidak teratur membuat pengunjung menjadi tidak nyaman berbelanja ke kawasan tersebut. Dari kondisi ini dapat dikatakan Wilayah Pengembangan Karees, masih memerlukan pengkajian yang lebih mendalam baik dari aspek aksesibilitas, fasilitas dan sarana wisata serta fasilitaspenunjang lainnya. Keragaman industri kreatif yang sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan juga perlu dikaji pengembangannya.
5. Klaster Ujung Berung dan Gedebage Potensi Rencana Pengembangan sebagai Pusat Kebudayaan Sunda
Wilayah Pengembangan Ujungberung dan Wilayah Pengembangan Gedebage masingmasing hanya memiliki satusubklaster yaitu Subklaster Ujungberung dengan klasifikasi industrinya adalah dominan seni pertunjukan serta Subklaster Gedebage dengan klasifikasi industrinya adalah dominan untuk kesenian. Subklaster yang berada di kedua wilayah pengembangan ini sebenarnya sudah dikembangkan sesuai dengan rencana pengembangan kawasan yaitu Ujung berung sebagai pusat kebudayaan Sunda dan Gedebage sebagai pusat primer Kawasan Bandung Timur. Kawasan ini juga berada jauh dari aksesibilitas dari dan ke Kota Bandung (Pintu Tol Pasir Koja, Pintu Tol
Permasalahan Terlalu jauh dari pusat kota Baru pada tahap perencanaan
Kopo, Pintu Tol Moh. Toha, dan Pintu Tol Buah Batu), sehingga ini pun menjadi salah satu alasan mengapa kawasan ini belum siap. Kendalanya kondisi saat ini, semua fasilitas penunjang ke arah rencana penegmbangan tersebut masih banyak yang belum terealisasai ( masih dalam taraf rencana saja). Berdasarkan kondisi tersebut, Wilayah Pengembangan Ujungberung dan Wilayah PengembanganGedebage dapat dikatakan belum siap. Fasilitas dan Pelayanan Wisata Fasilitas dan pelayanan wisata mencakup akomodasi, fasilitas makan/minum, area parkir, visitor centre/ TIC, kios cinderamata, fasilitas kesehatan, fasilitas keamanan,
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
fasilitas komunikasi, fasilitas ibadah, WC umum, mini market, bengkel, SPBU, dan fasilitas lainnya yang menjadi penunjang kegiatan wisata secara umum juga sebagai penunjang industri kreatif sebagai atraksi wisata utama di Kota Bandung. Dari hasil pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan daftar periksa serta data yang diperoleh dari narasumber, diperoleh pemahaman bahwa kondisi fasilitas dan pelayanan wisata yang tersedia di sekitar lokasi secara umum dapat dikatakan berada pada kondisi yang memadai. Fasilitas akomodasi di Kota Bandung berjumlah 262 dengan beragam jenis mulai dari hotel berbintang 5 sampai dengan jenjang Melati, fasilitas makan/ minum berjumlah 417 dengan kategori Talam Selaka sampai Rumah Makan. Fasilitas tempat parkir menjadi hal yang dikeluhkan oleh wisatawan.Hal ini cukup menonjol karena mayoritas wisatawan yang berkunjung adalah menggunakan kendaraan pribadi. Dampak yang ditimbulkan dari kurangnya tempat parkir ini adalah kemacetan yang disebabkan oleh kurangnya disiplin berlalu lintas para pengendara di jalan raya, juga banyaknya wisatawan yang terpaksa menyimpan/ memarkir kendaraan pribadi mereka di badan jalan. Hal inilah akhirnya yang memunculkan bahwa salah satu pengalaman yang wisatawan dapatkan saat berkunjung ke Kota Bandung adalah kemacetan yang relatif parah. Visitor Centre/ TIC salah satu fasilitas yang juga dibutuhkan oleh wisatawan terutama apabila mereka berada di tempat-tempat yang belum mereka ketahui/ kenal.Disamping itu, TIC menjadi sarana informasi untuk berbagai produk yang ditawarkan kepada wisatawan.Berdasarkan pengamatan, TIC hanya dapat ditemui di beberapa tempat saja, seperti di pusat-pusat keramaian, pusat perbelanjaan besar, dan beberapa lokasi
yang khusus seperti tempat-tempat pertunjukan kesenian dan budaya.Kendala yang banyak ditemui adalah sering tidak adanya personal yang bertugas di TIC tersebut dan informasi – informasi yang tersedia banyak yang sudah kedaluwarsa. Sementara fasilitas dan layanan wisata lainnya seperti kios cinderamata, fasilitas kesehatan, fasilitas keamanan, fasilitas komunikasi, fasilitas ibadah, WC umum, mini market, bengkel, SPBU, dan fasilitas lainnya relatif berada pada kondisi memadai baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Beberapa upaya lebih lanjut yang masih dibutuhkan dalam pengembangan fasilitas dan pelayanan wisata dalam menunjang perkembangan industri kreatif sebagai bagian dari atraksi wisata di Kota Bandung adalah penyediaan lahan parkir yang terencana dan terintegrasi dengan berbagai fasilitas lain, diharapkan bisa menjadi alternatif jalan keluarnya. Selanjutnya, penyediaan tenaga profesional yang mampu menangani kebutuhan informasi bagi wisatawan dapat disiapkan melalui pelatihan bagi tenagatenaga yang sudah tersedia, ataupun berupa kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti institusi pendidikan, LSM lainnya untuk bisa mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas. Kondisi fasilitas dan sarana wisata yang relatif memadai tetap membutuhkan monitoring dan evaluasi secara berkala dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.Koordinasi adalah kata kunci yang harus dilakukan sesuai dengan porsinya masing-masing. Dampak Pengembangan Aktual Dampak pengembangan industri kreatif di Kota Bandung yang terjadi merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi baik oleh pemerintah, pelaku usaha industri kreatif itu sendiri, wisatawan, serta masyarakat yang berada di 173
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
sekitarnya.Adapun dampak pengembangan aktual industri kreatif dapat dibagi ke dalam aspek-aspek seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, serta lingkungan alam. Rata-rata perkembangan kontribusi sektor industri kreatif terhadap PDRB Kota
Bandung atas dasar harga berlaku antara tahun 2003-2006 adalah 18,6%. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Rata-rata perkembangan kontribusi sektor industri kreatif terhadap PDRB Kota Bandung Kelompok Kegiatan
2003
2004
2005
2006
Tekstil, Barang Kulit, Alas Kaki
4.696.230
5.387.854
6.353.628
7.477.860
Jumlah
4.696.230
5.387.854
6.353.628
7.477.860
PDRB tanpa Migas
7.225.546
8.277.165
9,980.371
12.092.654
PDRN Kota Bandung
23.895.430
27.977.196
34.792.184
43.491.380
PDRB
65,0%
65,1%
63,7%
61,8%
Persentase thd PDRB Kota Bandung
19,7%
19,3%
18,3%
17,2%
Persentase thd tanpa Migas
(Sumber: BPS Kota Bandung, 2006) Sedangkan rata-rata kontribusi sektor kreatif terhadap PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku antara 2002-2007 adalah 11.34%.Kontributor untuk hal tersebut didominasi oleh industri pakaian jadi serta restoran atau usaha kuliner. Adapun dari sisi tenaga kerja, sektor industri kreatif di Kota Bandung menyerap 35,6% tenaga kerja pada sektor industri di Kota Bandung pada
Jenis Sektor Industri Kreatif
tahun 2006, bahkan pada tahun 2004 mencapai angka yang lebih tinggi, yaitu 38,4% (BPS Kota Bandung, 2006). Berdasarkanangka rerata penyerapan tenaga kerja, industri kreatif merupakan sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi karena satu unit industri kreatif mampu menyerap 150-200 tenaga kerja.
2004
2006
Industri Perajutan
12.094
5.113
Industri Pakaian Jadi dari Tekstil
21.790
18.060
Industri Kulit dan Barang dari Kulit
1.097
1.564
Industri Alas kaki
9.653
3.608
891
736
Industri
Barang-barang
dari
Ni Gusti Made Kerti Utami, Pengembangan Industri Kreatif
Kayu, Anyaman, dan Bambu Industri Penerbitan
1.654
1.293
Jumlah
47.179
30.374
Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Industri Kota Bandung
122.743
85.365
38,4%
35,6%
Persentase
(Sumber: BPS Kota Bandung, 2006)
Dari aspek sosial dan budaya, pengembangan industri kreatif memberikan kontribusi yang positif, karena : (1) masyarakat kota Bandung yang multikultur, generasi muda yang sejak dahulu dikenal sangat kreatif dalam mengembangkan ideide yang inovatif. Faktor-faktor tersebut memberikan iklim yang kondusif bagi bertumbuh-kembangnya berbagai ide kreatif dan inovatif di tengah masyarakat Kota Bandung; (2) Munculnya komunitaskomunitas yang mewadahi kegiatan industri kreatif kemudian berkembang menjadi jaringan/networking yang secara tidak langsung mempersiapkan SDMnya untuk bersaing secara kompetitif;dan (3) membentuk masyarakat sekitarnya menjadi toleran terhadap berbagai macam perbedaan terbiasa pada jenis-jenis industri kreatif yang basisnya adalah inovasi. Sedangkan pada aspek lingkungan alam, kondisi industri kreatif yang masih belum terklaster menyebabkan terganggunya/ tumpang tindihnya fungsi kawasan di Kota Bandung. Beralihnya fungsi-fungsi kawasan seperti kawasan pemukiman menjadi kawasan perdagangan, memberikan implikasi terhadap pengembangan tata ruang dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Ancaman terhadap area resapan air (catchment area) juga memberikan dampak yang cukup berbahaya, seperti ancaman bencana alam (longsor, banjir, pencemaran air, dll.). Dalam meminimalisasi dampak negatif terhadap ketiga aspek tersebut perlu
diupayakan suatu perencanaan yang baik terhadap suatu kegiatan wisata dengan melakukan tahapan-tahapan perencanaan mulai dari riset yang mendalam terhadap kondisi faktual, evaluasi terhadap potensi dan permasalahan yang ada, merekomendasikan dan mengaplikasikan konsep perencanaa yang paling sesuai dan memantau implementasinya, diharapkan mampu mengurangi dampak – dampak yang mungkin terjadi. SIMPULAN Dari enam wilayah pengembangan yang dimiliki Kota Bandung, seluruhnya memiliki potensi yang sama untuk dikembangkan. Mengacu pada kondisi WP Cibeunying yang memiliki dampak yang cukup parah akibat kegiatan industri kreatif ini, harus segera disiapkan pilihan wilayah pengembangan lain sebagai penyeimbang. Untuk pengembangan lebih jauh, wilayah yang diarahkan adalah kawasan Bandung Timur tetapi hal ini tidak direkomendasikan oleh penulis karena kondisinya yang masih belum siap.Wilayah yang dianggap paling memenuhi persyaratan adalah WP Bojonegara. Aspek aksesibilitasnya yang dekat dengan pintu masuk utama ke Kota Bandung yaitu Tol Pasteur, kapasitas jalan raya yang mampu menampung kendaraan umum maupun pribadi, kelengkapan rambu-rambu lalu lintas, dan penerangan jalan. Sarana dan prasarana sebagai penunjang seperti sumber daya listrik, sumber air bersih, sistem 175
BARISTA, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014
pembuangan limbah, dansistem komunikasi keseluruhannya berada pada kondisi memadai. Tidak lupa pula aspek nonfisik seperti keamanan dan kualitas pemandangan juga ikut memberikan pengaruh pada kesiapan WP Bojonegara sebagai alternatif pilihan pengembangan. Wilayah pengembangan lain yang relatif siap adalah WP Karees dan WP Tegallega. Hanya saja kendala yang dimiliki oleh dua pengembangan ini adalah tingkat kemacetan yang sangat tinggi pada aksesibilitasnya, yaitu Pintu Tol Pasir Koja, Kopo, Moh.Toha, dan Buah Batu. Sementara akses dari tengah kota pun kondisinya tidak terlalu jauh berbeda. Sehingga rekomendasi yang harus dilakukan adalah membenahi aksesibilitas yang menghubungkan kedua wilayah pengembangan tersebut dari luar maupun dari dalam wilayahnya. Untuk WP Ujungberung dan WP Gedebage masih membutuhkan peningkatan berbagai aspek seperti akses, fasilitas, layanan wisata, serta sarana dan prasarana yang harus dikoordinasikan dengan seluruh pemangku kepentingan di Kota Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Gunn, C.A. (1994). Tourism Planning: Basics Concepts & Design. USA: Taylor & Francis Ramadhini, A.R. (2008). Perkembangan Industri Kreatif: Indonesia dan Inggris. Warta Pariwisata Vol. 10 (2). Virna, N.E. (2008). Industri Kreatif dan Kota Kreatif. Warta Pariwisata, Vol. 10 (2).:Routledge. World Tourism Organization. (1994). National and Regional Tourism Planning: Methodologies and Case Studies. London: Routledge. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para narasumber dalam menyelesaikan penelitian ini di antaranya: Drs. Anang Sutono, MM.Par., CHE; DR. Ir. Firmansyah; Eka Pramita Marsongko; J. Ganef Pah; Ida Ayu Made Paramita Sarawati, serta berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.