Reza | Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
Reza Permana Putra Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta lesi pada mata disertai gejala umum berat. Pasien perempuan, usia 45 tahun, datang dengan keluhan kulit terasa panas dan melepuh sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai mata tak bisa dibuka, badan lemas, mual dan nyeri saat menelan. Berdasarkan hasil anamnesa, awalnya pasien datang ke mantri setempat untuk berobat, setelah hari pertama meminum obat tersebut pasien mengalami keluhan pada kulit. Mulai timbul ruam yang diawali pada bagian wajah yang terlihat sembab menjalar ke bibir, mata, leher, dada, perut, punggung, ke kedua lengan, hingga akhirnya ke kaki, serta pasien mengeluh sulit untuk membuka kedua matanya dan sulit untuk menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 120x/menit, pernafasan 20 kali per menit, suhu 37,3⁰C. Pasien didiagnosis dengan Sindrom Stevens-Johnson (SJS). Etiologi pada pasien SJS ini kemungkinan karena alergi obat. Penatalaksanaan utama life saving yaitu pemberian kortikosteroid serta ditunjang dengan pemberian antibiotik dan intake cairan atau elektrolit yang adekuat. Kata kunci: kortikosteroid, sindrom stevens Johnson
Management of A 45 Years Old Woman with Steven Johnsons Syndrome Abstract Stevens-Johnson syndrome, is a assemblage of clinical symptoms mucocutaneous eruption characterized by the triad of abnormalities in vesikulobulosa skin, orifices mucosa and lesions of eyes with severe general symptoms. Female patients, aged 45 years, came with complaints of skin feel hot and blistered from ± 4 days before entering the hospital. Complaints can not be opened with the eyes, weakness, nausea and pain when swallowing. Based on the results of the anamnesis, the patient first came to local paramedics for treatment, after the first day of taking the drug in patients experiencing skin complaints. Start rash that begins on the face look puffy spread to the lips, eyes, neck, chest, abdomen, back, to arms, and finally to the legs, and the patient complained of difficult to open his eyes and difficult to swallow. From the physical examination found the general condition unwell, awareness compos mentis, blood pressure 110/70 mm Hg, pulse: 120x / min, respiratory 20 times per minute, the temperature 37,3⁰C. Patients diagnosed with Stevens-Johnson Syndrome (SJS). Etiology in patients with SJS is probably due to drug allergy. The main management life saving is corticosteroids and supported with antibiotics and fluid intake or electrolyte adequate. Keywords: corticosteroids, steven johnson syndrome Korespondensi : Reza Permana Putra S.Ked, alamat Jl. Sultan agung gg. Tirtayasa no. 49 Bandar Lampung, HP 081977944445, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Sindrom Steven Johnson (SJS) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan lesi pada mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1-4 Pertama kali dideskripsikan tahun 1922, SJS merupakan kompleks imun yang memediasi proses hipersentitifitas. Banyak penelitian mempertimbangkan bahwa SJS dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya berbeda manifestasi (Pada SJS, pelepasan epidermal terjadi kurang dari 10% total area tubuh). Pada transisional SJS-TEN, pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-30% dari total area tubuh. Pada TEN, Pelepasan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|150
epidermis terjadi pada lebih dari 30% dari total area tubuh.5-6 Insidensi SJS diperkirakan pada 1 sampai 6 kasus perjuta populasi pertahun di Eropa dan Amerika Serikat. SJS mengenai wanita sekitar 2x lipat daripada pria.7 Insidensi meningkat hingga sebesar 3x dalam populasi yang terinfeksi HIV.8 Kelainan tampak muncul lebih sering pada orang dewasa dekade ke-4, tetapi dapat terjadi pula pada anak-anak, tetapi secara ilmu epidemik menyatakan karena pemakaian obat-obatan, terutama setelah pemaparan kembali terhadap obatobatan yang dicurigai dan menimbulkan perjalanan penyakit yang lebih berat.9,10,11 SJS-TEN punya pola reaksi polietiologi, obat-obatan dengan jelas sebagai faktor kausatif (70 sampai 95% pasien-pasien TEN,
Reza | Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
lebih dari 50% pasien dengan SJS), dan hanya sedikit kasus minor yang tampaknya berkaitan dengan infeksi, vaksinasi, atau penyakit graft versus host. Walaupun daftar obat-obat kausatif bisa bervariasi dari berbagai negara, 3 grup ditempatkan sebagai pemicu-pemicu yang paling umum dalam tinjauan-tinjauan ulang: antibakteri sulfonamide, antikonvulsan (fenitoin, carbamazepin, phenobarbital) dan NSAID. Antimalaria, allopurinol dan yang lain juga dapat mencetuskan SJS-TEN. 12,13 Biasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodromal yang biasanya berlangsung selama 1-14 hari.14 Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti: demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit kasus dapat juga ditemukan mual dan muntah. Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan mengalami keadaan melepuh selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik. Demam dilaporkan terjadi pada sekitar 85% kasus. Lesi yang terjadi pada bibir bisa terjadi sangat parah sehingga pasien sampai kesulitan untuk makan.15-17 Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan pasien SJS meliputi penatalaksanaan simptomatik dan penatalaksanaan khusus.18 Penatalaksanaan simptomatik dari SJS ataupun TEN diasosiasikan dengan kehilangan cairan yang signifikan karena erosi pada kulit sehingga dapat terjadi kondisi hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Maka harus dilakukan terapi pengganti cairan/fluid replacement yang adekuat sama halnya dengan orang yang mengalami luka bakar.19 Penulis mengangkat kasus ini sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar diaplikasikan teori penatalaksanaan yang rasional. Kasus Pasien perempuan, usia 45 tahun, datang ke UGD Rumah Sakit Abdul Moeloek dengan keluhan kulit terasa panas dan melepuh sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan disertai mata tak bisa dibuka, badan lemas, mual dan nyeri saat menelan. Berdasarkan hasil anamnesa, Awalnya pasien datang ke mantri setempat untuk berobat karena pasien demam yang terus menerus, pasien merasakan tidak enak badan dan sakit kepala. Lalu mantri tersebut memberikan pasien obat amoxicillin dan paracetamol. Setelah hari pertama meminum obat tersebut pasien mengalami keluhan pada kulit. Mulai timbul ruam yang diawali pada bagian wajah yang terlihat sembab menjalar ke bibir, mata, leher, dada, perut, punggung, ke kedua lengan, hingga akhirnya ke kaki, serta pasien mengeluh sulit untuk membuka kedua matanya dan sulit untuk menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 120x/menit reguler, isi dan tegangan cukup, pernafasan 20 kali per menit, suhu 37,3⁰C. Tampak eritema disertai multipel vesikel dan bula di ekstremitas superior dan inferior serta regio genital ukuran numular sampai plakat. lesi mengalami erosi, ekskoriasi, krusta berwarna merah hitam berbentuk tidak teratur, difus. Mukosa mulut mengalami erosi dan eritema. mukosa mata bersekret mengalami peradangan, bibir terjadi krusta, serta tak tampak adanya epidermolisis. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosa kerja Sindrom Steven Johnson. Kemudian pasien di tatalaksana dengan : mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cairan intravena dekstrose 5% dan RL, kateterisasi, diet cair, rendah garam tinggi protein, menghindari menggaruk, deksametason 1 ampul / 8 jam (IV) tappering off, gentamisin 80 mg /12 jam (IV), cetirizin 2x1 tab (PO), injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam, NaCl 0,9% untuk kompres mata dan bibir 4x/hari, dan salep burnazin 1x/hari Pembahasan Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien adalah kulit menjadi merah dan gelembunggelembung berisi cairan yang kemudian mengelupas dan mengering hampir diseluruh badan, tangan, kaki, dan kemaluan. Pada bibir os juga terdapat luka dan sudah mengering, pasien juga mengeluhkan rasa tidak nyaman pada matanya. Sebelum keluhan kulitnya J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|151
Reza | Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
muncul, pasien meminum obat yang diberikan mantri karena keluhan demam, tidak enak badan dan sakit kepala. Lalu mantri tersebut memberikan pasien obat amoxicillin dan paracetamol. Satu hari kemudian kulit pasien menjadi merah dan muncul gelembunggelembung kecil. Menurut kepustakaan, SJS dapat dicetuskan oleh reaksi dari obat-obatan sistemik dan ditemukan 50-70% dari semua kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui etiologi dengan anamnesis secara detail terhadap riwayat penyakit penderita, dan pemakaian obat-obatan.1-2 Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya SJS seperti: dimercaprol, codeine, diphenylhydantoin, antimikroba (sulfas, penicillin, cephalosporins, minocycline, isoniazid), allopurinol, aspirin, carbamazepine, dan lain-lain.20 Antimalaria, allopurinol juga pernah dilaporkan dapat mencetuskan SJS.20 Pada Pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum pasien lemah, suhu badan: 37,30C, tekanan darah 110/70 mmHg dan denyut nadi 120 kali/menit. Berdasarkan kepustakaan, gejala sistemik pasien SJS berupa demam, sakit kepala, rinitis, mialgia, dan disertai takikardia.21 Pemeriksaan status dermatologi dijumpai adanya timbul bercak bercak merah di sekujur tubuh sulit menelan dan mata sulit untuk di buka. Pada kulit pasien terlihat adanya generalisata eritema, vesikel serta bula, pada mukosa mulut tampak adanya krusta tebal berwarna hitam dan pada mata terjadi konjungtivitis. Dari gejala yang ada ditemukan adanya trias kelainan pada SJS berupa kelaian kulit yang berupa eritema, vesikel dan bula sehingga bisa menyebabkan terjadinya erosi dan eksoriasi.22 Kelaian selaput lendir orifisium kelainanya berupa vesikel, bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi, eksoriasi dan krusta kehitaman. Kelaian mata yaitu berupa kojungtivitis, simblefaron dan ulkus kornea. Diagnosis banding penyakit ini adalah sindroma steven johnson, toksik epidermal nekrolisis, eritema multiforme. Diagnosis kerja: sindroma steven johnson. Sesuai dengan teori bahwa SJS dan TEN sering tumpang tindih pada diagnosisnya, namun dapat dibedakan body surface area (BSA) yang terlibat dimana BSA SJS 10-30%, sedangkan BSA TEN >30%. Pada eritema multiforme,
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|152
sering dikaitkan dengan infeksi akut dan yang tersering adalah infeksi virus herpes simpleks, dan pada lesi terdapat gambaran lesi target berupa papul yang berbeda pada SJS dimana lesi targetnya berupa makula.23 Penatalaksanaan pada pasien ini terbagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan umum dan khusus. Penatalaksanaan umum meliputi memberikan penjelasan pada keluarga pasien tentang penyakit yang diderita dan pengobatannya, mencari dan menghentikan obat yang diduga menyebabkan penyakit yang diderita, stabilisasi jalan napas dan hemodinamik, perawatan luka, dan mengontrol nyeri, terapi cairan yang adekuat serta koreksi elektrolit dikarnakan pasien tidak dapat menelan makanan akibat lesi di daerah mulut dan tenggorokan. Menurut kepustakaan, pasien SJS mengalami kondisi yang kurang stabil, sehingga memerlukan monitoring dan perawatan yang baik, nutrisi, cairan dan elektrolit, mempertahankan keadaan hemodinamik dan termoregulasi agar tetap normal dan pengobatan terhadap kemungkinan infeksi.23-24 Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah injeksi dexametason 1 ampul/12 jam. Untuk menghindari gangguan gastrointestinal diberikan injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam. Menurut kepustakaan, pengobatan SJS dapat diberikan kortikosteroid, namun sampai saat ini hal tersebut masih menjadi kontroversi. Dalam beberapa studi pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat mencegah perluasan dari penyakit serta berfungsi mengendalikan inflamasi yang terjadi. 23-24 Terapi topikal adalah dengan melakukan kompres terbuka menggunakan NaCl 0,9% dengan metode evaporasi sehingga dapat mengeringkan lesi yang basah. Pemberian salep burnazine di berikan agar mencegah infeksi sekunder akibat kerusakan yang terjadi pada kulit.25 Untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder, diberikan injeksi antibiotik gentamisin 1 ampul/12 jam. Menurut kepustakaan, antibiotik sistemik dibutuhkan untuk penderita SJS dengan adanya bukti infeksi sekunder lokal dan sistemik. Namun, penderita SJS tanpa bukti infeksi sekunder juga bermanfaat diberikan antibiotik sistemik untuk menghindari terjadinya infeksi saat proses pelepasan epidermis terjadi.25-26 Prognosis quo ad vitam dubia ad
Reza | Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
malam, quo ad fucntionam dubia ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam. Menurut kepustakaan, prognosis tergantung pada etiologi yang mendasari penyakit dan prognosis terbaik adalah SJS akibat obat, karena kelainan kulit cepat mengalami resolusi apabila obat pencetus segera dihentikan dan segera mendapatkan terapi.2526 Simpulan Telah ditegakkan diagnosis SJS pada perempuan 45 tahun atas dasar anamnesa dan pemeriksaan fisik, diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan literatur. Etiologi pada pasien SJS ini kemungkinan karena alergi obat. Penatalaksanaan utama life saving yaitu pemberian kortikosteroid serta ditunjang dengan pemberian antibiotik dan intake cairan/elektrolit yang adekuat.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
Daftar Pustaka 1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7; 2008. hlm. 349355. 2. Breathnach SM. Erythema multiforme, steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8; 2010. hlm. 1-22. 3. Mockenhaupt M. Steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Life threatening dermatoses and emergencies in dermatology; 2008. hlm. 87-96. 4. Steven JP, Catherine V. Parrillo. Stevenjohnson syndrome [internet]. USA: Steven and Associates; 2014 [diakses tanggal 10 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.emedicine.com 5. Torres MJ, C. Mayorga, M. Blanca. Non immediate allergic reactions induced by drugs: pathogenesis and diagnostic tests. J Investig Allergol Clin Immunol. 2009;19(1):80-90. 6. Rappersberger K, Foedinger D. Treatment of erythema multiforme steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dermatol ther. 2002; 15(1):397-408.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. Br J Clin Pharmacol. 2011; 71(5):684-700. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. Dalam: Drug alert. India: JIPMER; 2006. Roujeau JC. Erythema multiforme. Dalam: Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. USA: Medscape Emidicine 2008; hlm. 343349. Hamzah M. Erupsi obat alergik. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 139-142. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius; 2008. hlm. 133-139. Ilyas S. Sindrom Steven Johnson. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 135-136. Viswanadh B. Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. Ind J Ophthalmol Assoc [internet]. 2002 [diakses tanggal 10 Mei 2015] Tersedia dari : http://www.ijo.in/ Sharma VK. Proposed IADVL consensus guidelines 2006: management of stevens-johnson syndrome (SJS) and toxic epidermal necrolysis (TEN). India: IADVL; 2006. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Parillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome: Follow-up. Arch Dis Child 33. 2009; 23(1):147-154. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2006. hlm. 141-4. Sharma VK, Sethuraman GG. Adverse cutaneous reaction to drugs: an overview. J Postgard Med 42. 1996; (1):15-22. Smelik M. Stevens-Johnson Syndrome : A Case Study. Arch Dis Child. 2005; 53(1):247-42.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|153
Reza | Penatalaksanaan Sindrom Stevens-Johnsons pada Wanita 45 Tahun
20.
Harsono A. Sindroma steven johnson: diagnosis dan penatalaksanaan. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSU dr. Soetomo Surabaya; 2006. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wolff K. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw Hill; 2012. Harr T. French L. Toxic epidermal necrolysis and steven-johnson syndrome. Orph J Rare Dis. 2010; 5(1):39. Lehloenya R. Management of stevenjohnson syndrome and toxic epidermal
21.
22.
23.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|154
24.
25.
26.
necrolysis. Curr Allergy Clin Immunol. 2007;20(3): 124-128. Grando LR, Schmitt TA, Bakos RM. Severe cutaneous reactions to drugs in the setting of a general hospital. An Bras Dermatol. 2014;89(5):758-62. Lee HY, Tay LK, Thirumoorthy T, Pang SM. Cutaneous adverse drug reactions in hospitalised patients Singapore Med J. 2010;51(10):767-74. Gerull R, Nelle M, Schaible T. Toxic epidermal necrolysis and StevensJohnson syndrome: a review. Crit Care Med. 2011;39(6):152-32.