Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
Novita Sari Tarigan Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Lupus eritomatosus sistemik merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponenkomponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Sembilan puluh perumah sakiten kasus lupus eritomatosus sistemik menyerang wanita usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor klas II, yait HLA-DR2 dan HLA DR3. Manifestasi klinik dari SLE beragam bergantung organ yang terlibat, dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks dan bervariasi. Penanganan terutama ditunjukkan untuk mengontrol seragan gejala yang akut dan berat dan menekan gejala pada tingkat yang bisa ditoleransi dan mencegah kerusakan organ. Data primer diperoleh dari autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan fisik. Ny S, 30 tahun dengan keluhan utama nyeri pada sendi kaki dan keluhan tambahan berupa lemah badan, nyeri perut, kemerahan pada wajah menyerupai kupu-kupu, rambut rontok, sariawan, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan lab pasien didapatkan keterlbatan ginjal ureum 233 mg/dl (N= 15-40 mg/dl), creatinin 15,9 mg/dl (N= 0,6-1,1 mg/dl), creatinin clearance 0,08 ml/menit (N= 66-143 ml/menit), SGOT 1955 U/L (N= < 31 U/L), SGPT 614 U/L (N= < 31 U/L), Antinuclear Antibody (ANA) (+). Berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka pada pasien ini dimasukan kedalam SLE derajat sedang dengan penatalaksanaan berupa edukasi untuk pengunaan sunblock, mobilisasi. Selain itu diberikan terapi medika mentosa berupa steroid, antibiotk, immunosupresi, antimalaria, sitostatik, supportif. Kata kunci: penatalaksanaan, sistemik lupus eritomatosus, keterlibatan ginjal
Management of Systemic Eritomatosus with Involvement of Renal on Female 30 Years Old Abstract Systemic lupus erythematosus (SLE), an autoimmune disease characterized by the production of antibodies against components of the cell nucleus that is associated with a broad clinical manifestations. Ninety percent of cases of systemic lupus erythomatosus attacking a young woman with a peak incidence at 15-40 yearumah sakit of age during the reproductive period with the ratio of woman and men 5:1. Its etiology is unclear, allegedly associated with a specific immune respones genes in the major histocompatibility complex class II, HLA-DR2, and HLA DR3. Clinical manifestations of SLE was depend on the organ involved, which can involve many organs in the human body with a complex clinical courumah sakite and variety. Treatment is mainly aimed at controlling the symptoms of the acute attack and suppress system and weight at a level that can be toleranted and prevent organ damage. Primary data were obtained autoanamnesis, alloanamnesis and physical examination. Ny. S, 30 yearumah sakit old with main problem is pain in the joint of the feet and additional complaints is fatigue, pain of abdominal, redness like as butterfly picture, alopesia, stomatitis, and loss of weight. Laboratory examination get involvement of kidneys keterlbatan ginjal ureum 233 mg/dl (N= 15-40 mg/dl), creatinin 15,9 mg/dl (N= 0,6-1,1 mg/dl), creatinin clearance 0,08 ml/menit (N= 66-143ml/menit), SGOT 1955 U/L (N= < 31 U/L), SGPT 614 U/L (N= < 31 U/L), Antinuclear Antibody (ANA) (+). Based on symptoms, physical examination, and examination of supporting the patient is inserted into SLE of being and management education for use sunblock to protect from UV, mobilisation. In addtion, medical therapy is given the form of steroid, antibiotica, immunosupresion, antimalaria, sytostatic, supportif. Keywords: management, sistemik lupus eritomatosus (SLE), involvement of renal Korespondensi: Novita Sari Tarigan, S.Ked, alamat Jl Bumi Mnati 1 No 74 Asrama Pondok Indah, HP 081375352846, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Sistemik Lupus Eritomatosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan selsel oleh auto antibodi patogen dan kompleks imun. Sistemik Lupus Eritomatosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.1-9 Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai “SLE mengenai kulit seperti warna kemerahan pada wajah seperti gambaran “kupu-kupu”, perikarditis, J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|125
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala10 gejala susunan saraf pusat . Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, immunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.1-5 Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi kulit, mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturutturut adalah artritis sebesar 48,1 %, , ruam malar 31,1 %, nefropati 27,9%, fotosensitivitas 22,9 %, keterlibatan neurologik 19,4 % dan demam 16,6 %, sedangkan manifestasi yang jarang dijumpai miositis 4,3 %, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8 %, dan SLE subkutaneus akut 6,7 %.11 Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Selama pengamatan 5 tahun pasien SLE di rumah sakit Cipto Mangunkusumo adalah 88 % dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002.12 Angka kematian SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.13-14 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi mycobacterium tuberkulosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis. 11,15-17 Kasus Wanita 30 tahun, bekerja sebagai ibu rumah tangga datang dengan keluhan nyeri sendi yang dirasa sejak setengah bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluh nyeri sendi sejak setengah bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri yang paling dirasakan nyeri adalah sendi pergelangan kaki. Nyeri sendi pada pergelangan kaki dirasakan semakin lama semakin berat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri sendi pergelangan kaki dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Keluhan berkurang ketika pasien berbaring dan memberat ketika pasien mencoba menggerakkan sendi-sendi tersebut sehingga pasien sulit berjalan dan beraktivitas. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan demam tinggi selama J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|126
seminggu. Demam dirasakan naik turun, naik pada malam hari dan turun pada siang hari. Kemudian pasien berobat di rumah sakit Way Kanan dan dirawat selama satu minggu. Suami pasien diberitahu oleh pihak rumah sakit bahwa istrinya terkena gejala tifoid. Setelah satu minggu pasien diperbolehkan pulang. Sepuluh hari Setelah pulang dari rumah sakit Way Kanan pasien mengeluh nyeri sendi pada seluruh tubuh. Nyeri disertai bengkak terutama pada pergelangan kaki. Kemudian pasien kembali berobat ke rumah sakit Way Kanan dan dirujuk ke rumah sakit Azzizah Metro. Pasien dirawat di rumah sakit Azzizah Metro dan dikatakan menderita penyakit rhematoid arthritis. Selama dirawat pasien mengeluhkan badan semakin lemah, perut sering terasa nyeri, dan muncul ruam kemerahan di wajah bagian pipi seperti gambaran kupu-kupu, tidak gatal dan tidak nyeri. Rambut pasien mudah rontok ketika disisir dan bibir sariawan. Pasien juga mengatakan nafsu makan berkurang sejak sakit, sehingga pasien merasa semakin kurus. Pasien dirawat di rumah sakit Azzizah Metro selama satu minggu kemudian dirujuk ke rumah sakit Ahmad Yani Metro. Pasien menyangkal mengkomsumsi obat warung dan jamu-jamuan. Aktivitas buang air kecil normal seperti biasa. Pasien buang air kecil sebanyak 3-4 kali perhari, dengan volume urine ½ gelas aqua (± 120 cc), warna kuning pekat. Keluhan nyeri saat buang air kecil disangkal. Buang air besar dikatakan normal dengan jumlah 1 x sehari, dengan warna kuning, konsistensi padat. BAB hitam maupun berdarah disangkal pasien. Dari riwayat penyakit dalam keluarga, tidak ada anggota keuarga yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien. Keluarga juga tidak ada yang menderita penyakit jantung, hipertensi, alergi obat, penyakit hati atau penyakit persendian. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dan tanda vital stabil, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, reguler, suhu aksila 36,6 0C, tinggi badan 150 cm, berat badan 50 kg, BMI 20,8 kg/m2, status gizi normal. Pada status generalis terdapat rambut mudah rontok (+), sklera ikterik (+), wajah
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
butterfly rush (+), discoid SLE lession (+), nyeri
tekan abdomen (+) seluruh regio abdomen.
Gambar 1. Sistemik Lupus Eritomatous Kulit (Butterfly Rush).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb= 9 gr/dl, trombosit 147.000/µl, leukosit 3.700/µl, ureum 174 mg/dl, creatinin 3,18 mg/dl, SGOT 1995 U/L, SGPT 614 U/L, gambaran darah tepi terdapat dimorfik, sebagian mikrositik hipokrom, sebagian makrositik normokrom, anisopoikilositosis sedang, fragmentosit ++, sel pensil ++, polikromasia +++, leukosit dan trombosit jumlah cukup dan kesan normal. Pada pemeriksaan immunologi HbsAg dan Anti HAV IgM yang nonreaktif. Pada pemeriksaan imunoserologi ANA positif. Pada Foto Thorax AP view, inspirasi kurang dan kondisi cukup, terdapat infiltrat di perihiler dextra, besar cor normal, sistema tulang baik. Pasien dalam kasus ini didiagnosa Sistemik Lupus Eritomatous, dengan anemia et causa anemia hemolitik autoimun dengan keterlibatan ginjal dan diberikan rencana terapi metil prednison 2x6,25 mg, mikofenolat mofetil (MMF) Cellcept 2x1 gram/hari, metrotrexat 1x7,5 mg, Antimalaria 1x250 mg/hari levofloxacin 1x500 mg, omeperazole 1x20 mg, ondasentron 2x4 mg, asam folat 2 x 1 tab, bicnat 3x1 tab. Prognosis pada pasien ini secara umum kurang baik. Pembahasan Diagnosa penyakit pada pasien ini adalah SLE dengan keterlibatan ginjal. Dasar diagnosa berupa anamnesis gejala konstitusional berupa kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan, gejala muskuloskeletal berupa artritis dan arthalgia, gejala gastrointestinal berupa nyeri adomen. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, dan berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan ANA (+). Kecurigaan
akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1) wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih, 2) gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan 3) muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis , 4) kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, SLE membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis, 5) ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik, 6) gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen, 7) paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru, 8) jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis, 9) retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali , 10) hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia, dan 11) neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer. Pada pasien ini ditemukan lebih dari 2 gejala diatas, maka pada pasien ini dicurigai SLE. Diagnosis pasti SLE dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Bedasarkan pemeriksaan fisik didapatkan ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, dan berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan ANA (+). Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85 % dan spesifisitas 95 %. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|127
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis SLE. Antinuclear antibodies (ANAs) dianggap positif pada pasien dengan SLE apabila ditemukan titer tinggi (> 1:160) diperiksakan pada kondisi tidak sedang menggunakan obatobatan yang menginduksi lupus. Tujuan dari pemeriksaan ANA adalah autoantibodi yang positif pada > 95 % pasien. Hasil yang tinggi terhadap double stranded DNA (dsDNA) adalah spesifik untuk pasien sistemik lupus eritematosus.18 Keluhan pada pasien ini adalah nyeri sendi. Nyeri sendi merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada pasien SLE, lebih dari 90 %. Keluhan ini dapat berupa mialgia, artlargia, dan merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas adanya suatu inflamasi sendi. Seringkali dianggap sebagai manifestasi rhematoid artritis karena melibatkan banyak sendi dan bersifat simetris. Nyeri sendi terjadi akibat penumpukan kompleks antigen-antibodi yang memancing pembentukan komplemen sehingga menarik fagosit dan memicu proses peradangan. Ruam pada wajah dianggap manifestasi klinis yang paling mengarahkan diagnosa SLE, dimana ruam berbentuk gambar kupu-kupu (butterfly rush) berupa eritema yang agak edematous pada hidung dan pipi. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Fotosensitivitas ini terjadi karena cahaya UV menyebabkan apoptosis pada kulit, normalnya sel-sel yang apoptosis ini langsung dibuang, tetapi pada SLE terjadi defek sistem klirens apoptosis sehingga sel-sel ini memicu respon imun. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan tersebut didapatkan anemia, sebagian mikrositik hipokrom, sebagian makrositik normokrom, anisopoikilositosis sedang, fragmentosit ++, sel pensil ++, polikromasia +++ diduga akibat adanya hemolisis, peningkatan SGOT dan SGPT menunjukkan adanya kerusakan organ. Peningkatan ureum dan cretinin menunjukkan adanya kerusakan ginjal.14,15 J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|128
Diagnosis lupus eritomatosus diperkuat dengan pemeriksaan spesifik untuk menilai kadar autoimun pasien. Untuk pemeriksaan gangguan imunologis dapat dilakukan tes Coombs dan tes Antinuclear Antibody (ANAs). Pada tes Coombs akan ditemukan anthiphospholipid antibody G (IgG) atau immunoglobulin M (IgM). Hal ini menandakan adanya antibodi pada sel tubuh normal sebagai antigen.19-20 Pada pasien ditemukan adanya autoimun antibodi dengan Tes ANA positif. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik. 1) Edukasi dan konseling, 2) Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medika mentosa: OAINS, Antimalaria, Steroid, dan Imunosupresan, dan 4) Terapi lain. Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita SLE juga harus menghindari rokok. Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.21 Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30 % apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5 % per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.21 Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Manifestasi klinik dari SLE beragam tergantung organ yang terlibat, dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang sangat kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali ataupun remisi. Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan 15 atau berat sampai mengancam nyawa Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah secara klinis tenang, tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa , dan fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit. Kriteria SLE derajat sedang adalah nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II), trombositopenia (trombosit 2050x103/mm3), serositis mayor. Kriteria SLE derajat berat dan dapat membahayakan jiwa jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna, paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interumah sakittisial, shrinking lung, gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika, ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous, kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister), dan neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transverumah sakita, mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi serta hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri. Pada pasien ini, ditentukan berdasarkan derajat beratnya SLE, maka pasien ini dimasukkan kedalam SLE derajat sedang karena terdapat keterlibatan ginjal. MP intravena (0,5-1 gr/hari selama 3 hari). Pada pasien ini tidak diberikan MP intravena selama 3 hari karena sudah diberikan di rumah sakit sebelumnya. Terapi induksi sudah diberikan pada rumah sakit sebelumnya. Maka pada pasien ini sudah masuk dalam tahap pemeliharaan dengan dosis 0,125 mg/kgBB/hari. Azitropin (2 mg/kg/hari) atau MMF (2-3 gr/hari). Micofenolat mofetil merupakan inhitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. Mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. Merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus nefritis. Dapat mengurangi proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita nefritis yang resisten terhadap cyclophosphamide. Pada pasien ini diberikan cellcept (MMF) 2x1 gram perhari (2 gr/hari), sudah sesuai)). Pada pasien ini juga diberikan metrotrexat sebagai sitostatika. Metrotrexat adalah dehidrofolat reduktase memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi, SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral 1 kali seminggu. Metrotrexat efektif untuk keluhan nyeri sendi. Dosis yang diberikan pada pasien 1 x 3 tab (3 x 2,5 mg =7,5 mg) cukup potent. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita SLE.10 Pada pasien ini diberikan steroid Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinfamasi dan imunosupresi.10,22 Pasien SLE dengan keterlibatan organ biasanya diberikan kortikosteroid untuk menekan inflamasi sehingga tidak terdapat kerusakan organ lebih lanjut. Kortikosteroid J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|129
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
lebih baik dari NSAID dalam mengurangi peradangan terutama organ dalam. Kortikosteroid dapat diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau intravena.23,24 Dosis kortikosteroid yang diberikan adala 0,50,6 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu tappering off. Dosisnya adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/hari pada BB 50 kg setara dengan 25-30 mg/hari setara dengan 20 mg/hari. Pada pasien ini diberikan 3x8 mg = 24 mg, maka dosis kortikosteroid sudah tepat. Efektivitas antimalaria terhadap SLE bekerja dengan cara menganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan PH di vakuola lisosomal, juga menghambat fagositosis, migrasi netrofil dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sun blocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan SLE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam SLE di kulit. Pada pasien ini sudah tepat diberikan antimalaria 1x1 tablet klorokuin 250 mg dimana dalam 250 mg klorokuin terdapat 150 mg klorokuin basa. Pemeriksaan mata pada pemberiaan awal dan setiap bulan. Pemeriksaan ini dilakukan karena efek samping utama akibat penggunaan obat ini adalah gangguan penglihatan. Terapi lain pada pasien ini adalah omeperazole dan sucrafat. Omeprazole sebagai proton pump inhibitor menghambat pompa proton untuk memblok pengeluaran HCL dari kanakuli sel parietal. Sucrafat berfungsi untuk membentuk lapisan sitoprotektif yang melapisi mukosa terhadap pegaruh asam dan pepsin. Kedua obat ini digunakan untuk mengurangi efek samping dari penggunaan obat steroid. Pada pasien ini juga diberikan antibiotika levofloxacin dimana pada pasien ini sudah tepat karena pasien ini mengalami inflamasi pada paru. Golongan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|130
Fluroquinolon adalah antibiotika yang paling tepat untuk inflamasi pada paru. Dosis levofloxacin yang diberikan 1x500 mg/hari sudah tepat. Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan SLE telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada SLE kurang dari 50 %. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90 % dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80 %. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70 %. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam perawatan medis umum. Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; sedangkan tromboemboli sering menjadi penyebab mortalitas.25,26 Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Pada pasien didapatkan diagnosis dubia ad malam dengan sifat penyakit yang progresif. Pada pasien didapatkan anemia hemolitik, kerusakan organ yang ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT. Kerusakan ginjal pada pasien telah terjadi. Pada Pasien ini juga dilakukan pemeriksaan rutin untuk diagnosa dan monitoring hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, LED (setiap 3-6 bulan bila stabil), urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kretinin urin, kimia darah (ureum, kreatin, fungsi hati, fungsi lipid) (setiap 3-6 bulan bila stabil), PT, Aptt pada sindroma antifosfolipid (tergantung klinis pasien), serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3,C4 )untuk awal diagnosa), dan foto polos thorax Simpulan Pasien Ny. Sy, perempuan berusia 30 tahun didiagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
penunjang yaitu sistemik lupus eritomatosus. Etiologi belum diketahui secara pasti karena bersifat autoimun. Terapi yang telah diberikan berupa steroid, antibiotik, obat immunosupresi, obat antimalaria, obat sitostatik, dan obat supportif. Daftar Pustaka 1. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, editorumah sakit. Duboi’s lupus erythematosus. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2007 . hlm. 16-9. 2. Lahita RG. The clinical preentation of systemic lupus eryhematous In:Lahita RG, Tsokos G, Buyon J, Koike T.Editorumah sakit.Systemic Lupus erythematous. Edisi ke-5. San Diego Elsvier; 2011. hlm. 525-40. 3. Schur P, editor. The clinical management of systemic lupus erythematous. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1996. 4. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. Dalam: Koopman WJ, editor. Arthritis and allied conditions. Edisi ke-15. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2005. hlm. 1473-4 5. Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus erythomatosus. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editor. Rheumatology. Edisi ke-15. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011. hlm. 1229-46 6. Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH.Editorumah sakit. Primer on the the rheumatic disease. Edisik ke-13. Atlanta: Arthritis Foundation Springer; 2008. Hlm. 303-7 7. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, MasiAT, McShane DJ, Rothhfield NF, dkk. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum; 1982. hlm. 1271-7 8. Tassiulas IO, Boumpas DT. Clinical features and treatment of SLE. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
Mclnnes IB, Ruddy S, Sergent JS Editorumah sakit. Kelley’s Textbook of rheumatology. Edisi ke-8. Philadelphia. WB Saunderumah sakit Elsevier. 2009: hlm. 1263-300. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1997; 40:1725 Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, dkk. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk, editors. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm. 2565-79. Cervera R, Kamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gil A, Lavila P, dkk. Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during 10-year period, a comparison of early and late manifestation in cohort of 1000 patients. Medicine. 2003; (8):299-308 Data dari rumah sakit Cipto Mangukusuma 2010. Jacobsen S, Peten J, Ulman S, Junker P, Voss A, Ramussen JM, dkk. Mortality and causes of death of 513 Danish patients with systemic lupus erythomatous. Scand J Rheumatol. 1999; 28(2):75 Abu-Shakra M, Urowitz MB, Gladman DD, Gough J. Mortality studies in systemic lupus eryhematosus. Results from a single center. Predictor variabSLE for mortality. J Rheumatol. 1995; 22(7):1265-70 Urowitz MB , Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Synthe HA, Ortyzlo MA. The bimodal mortality pattern of systemic lupus erythatosus. AM J Med. 1976; 60:221-5 Feng PH, Tan TH. Tuberculosis in patients with systemic lupus eryhematosus. Ann Rheum Dis 1982; 41(1):11-4 Shyam C, Malviya AN. Infection-related morbidity in systemic lupus erythematosus: a clinico epidemiological study from northern India. Rheumatol Int. 1996; 16(1):1-3. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya [internet]. 2010 [disitasi tanggal 8 Mei 2015]]. Tersedia dari:
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|131
Novita | Pengelolaan Eritomatous Sistemik Dengan Keterlibatan Ginjal Pada Wanita Umur 30 Tahun
19.
20.
21.
22.
http://www.research.ui.ac.id/v1/image s/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat alaksanaannya.pdf McPhee SJ, Ganong WF. Pathophysiology of disease. Edisi ke-5. USA: McGraw HillCompanies; 2006. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi ke16. USA: McGraw-Hill; 2008. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 2011. NN. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik [internet]. 2009 [disitasi tanggal 8 Mei 2015]. Tersedia dari: http://digilib.unsri.ac.id/download/Lup us%20eritematosus.pdf
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|132
23.
24.
25.
26.
Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. 2000. Lupus Eritomatosus Sistemik. Dalam Harrison: PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. Golman L, Ausiello D, editors. Cecil Textbook of Medicine. Edisi ke-22. USA: WB Saunderumah sakit Company; 2003. Bertias G, Richard C, Dimitrios T. Systemic Lupus Erthematosus: Pathogenesis and Clinic al features [internet]. Tersedia dari: http//www.eular.org/edu_textbook.cfm Petri MA, Systemic Lupus Erythematosus: Clinical aspects Dalam: Koopman WJ, editor. Arthritis and Allied conditions. Edisi ke-15. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2005.