PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG) I Putu Gede Wiradana, I Gusti Putu Anindya Putra, Endratno Budi Jurusan Teknil Planologi Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Malang Jl. Bendungan Sigura-Gura Nomor 2 Malang 65145, Indonesia
email:
[email protected] ABSTRAK Konsep keseimbangan yang harmonis dalam filosofi Bali, baik antara sekala dan niskala, maupun antar kosmos, dipercaya sebagai landasan pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan dimana dalam penerapannya telah berkembang dan mengkristal menjadi ajaran religius yang disebut Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebaikan.dalam perancangan pemukiman, ajaran ini ditujukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan entitas spritual-Sang Hyang Widi , Dewa-dewa dan para leluhur, mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya, serta diantara manusia. penelitian ini dilakukan mengikuti kaedah penelitian kualitatif dengan menggunakan methode penelitian budaya yang bersifat deskriptif-kualitatif dengan pendekatan yang bersifat normatif. Tujuan studi ini yaitu memberikan arahan penataan sempadan Pantai Seseh berdasarkan konsepsi penataan ruang tradisional Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan metode penelitian deskripsi kualtitatif normatif yang diperoleh melalui wawancara kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengalaman dan kompetensi. Dari keseluruhan hasil penelitian di Desa Adat Seseh terdapat lima elemen yang menjadi landasannya sebagai analisa untuk mencapai rencana .yaitu analisa terhadap pola kegiatan dan perkembangan fungsi kawasan, analisa terhadap peranan adat, analisa hirarki dan orientasi penataan (Tri Hita Karana, pembagian ruang (Tri Angga)/luan teben ,Catus patha, Sanga Mandala, konsep Manik Ring Cucupu Dan konflik permasalahan dengan Pola tata ruang tradisional Bali. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar perencanaan dan penataan sempadan Pantai Seseh berdasarkan konsepsi penataan ruang tradisional Bali. Kata kunci: Manusia, Lingkungan, Konsepsi ruang tradisional Bali ABSTRACT The concept of harmonious balance in the philosopy of the Balinese is believed to constitute the basis for achieving prosperity and welfare wich, in its aplication, has develoved and crystallized into the religious teaching of Tri hita karana or literally ‘Three causes of goodness. In architecture and setllement design this teaching is essentially intended to establish a harmonious relation between human beings and the God, human beings and the environment, and human beings among themselves. this reserch was a qualitative research using a descriptive culture method. It began with a exploitation culture obervation and continued of congruency conducted. The study aims at providing the guidance for the arrangement of Seseh Beach Border based on Bali traditional concept of space. Data collection involves normative qualitative description method and interview with experience and competent public figures. Results of research at Seseh Traditional Village indicate that five elements of analysis come into consideration. These comprise to: analysis of plan realization, analysis of activity pattern and function development in the resort, analysis of custom, analysis of arrangement hierarchy and orientation (Tri Hita Karana, space division (Tri Angga)/luan teben, Catus Patha, Sanga Mandala, Manik ring cucupu concept), and analysis of its conflict with Bali traditional space pattern. These results also provide the underlying consideration of Seseh Beach Border arrangement to be based on Bali traditional concept of space. Keyword: Human, Environment, Bali traditional concept of space
PENDAHULUAN Budaya dan adat istiadat merupakan salah satu faktor penentu pola dan struktur ruang, misalnya di Bali terdapat konsep penataan ruang tradisional yang lahir sebagai perwujudan nilainilai budaya masyarakat Bali Hindu untuk memenuhi kebutuhan akan ruang, sehingga nilai nilai tersebut dapat diterapkan dan dilaksanakan
dalam kehidupan ini. Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana yang berorientasi pada keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungannya yang dapat mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010
27
PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG)
kehidupan manusia. Ketiga unsur tersebut adalah Parhyangan, tempat umat manusia untuk menghubungkan diri dengan tuhan: Pawongan tempat umat manusia menghubungkan diri dengan manusia, Palemahan, tempat umat manusia menghubungkan diri dengan alam lingkungannya. Menurut Samadi (2004)1 interaksi antara manusia-budaya-lingkungan bagi kepentingan perancangan yaitu pencapaian tingkat ’kesesuaian’. Interaksi manusia budaya dan lingkungan dapat diamati melalui Pengaturan/penataan yang merupakan unit interaksi ketiga elemen tersebut. Penyelarasan unsur makro dan unsur mikro, melahirkan konsep pola tata ruang Sanga Mandala yang sifatnya lebih khusus berlandasan pada konsep Tri Angga ( tiga bagian susunan badan), yang berorientasi utama kearah matahari terbit sebagai sumbu matahari dan kearah gunung tertinggi berdasarkan sumbu bumi, Sedangkan arah Nistanya berorientasi kearah matahari terbenam pada sumbu matahari dan kearah laut pada sumbu bumi. Dengan demikian bila gunung berada di utara dan laut di selatan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala. Pola tata ruang pada permukiman di Desa Adat Seseh memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam dan lingkungannya sebagai akibat dari adanya perluasan keluarga ataupun akibat pembangunanpembangunan yang dilaksanakan pemerintah termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, kesehatan, pariwisata dan lain-lainnya akan dapat mempengaruhi hubungan alam dan lingkungannya yang telah berlangsung secara turun temurun. Secara deskriptif pertimbangan dipilihnya Kawasan Pantai Seseh sebagai penelitian antara lain dikarenakan adanya Pola aktivitas yang beranekaragam seperti Kegiatan ritual (melasti, Buang abu, mesakapan, melukat), rekreasi wisata dan Perubahan Pola guna lahan yang merupakan dampak dari industri pariwisata, dengan singgungan budaya modernitas sebagai akibat pembangunan dengan segala dampaknya yang di tenggarai akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur, mata pencaharian serta mengakibatkan proses adaptasi atas lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya akulturasi budaya terhadap Pola Tata Ruang tradisional Bali yang pada akhirnya mempengaruhi pada perubahan perwujudan dari tata ruang kawasan (makro) ataupun permukimannya (mikro). Menurut Samadi (2004)2 Budaya dan lingkungan
fisik berhubungan dengan manusia dan berbagai proses psikologisnya. Hubungan tersebut antara lain; aktivitas mental (mental activities) dan aktivitas berbasis Prilaku (behavioral activities). Aktivitas mental juga meliputi kepercayaan dan tindakan baik positif maupun negatif, berkaitan dengan lingkungan. Sedangkan aktivitas berbasis prilaku meliputi apa yang dilakukan manusia dengan lingkungannya. berdasarkan fenomena yang terjadi di kawasan Pantai Seseh tersebut maka diperlukan suatu penelitian untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dikawasan Pantai Seseh serta untuk memberikan arahan penataan kawasan seseh secara keseluruhan.
1
3
T. nirarta Samadhi. Perilaku dan pola Ruang. Kaijian aspek perancangan kota di kawasan perkotaan Bali. Hal.7. 2 Ibid. hal 6.
28
METODE PENELITIAN Metode Penelitian sering disebut dengan strategi pemecahan masalah yaitu bagaimana masalah-masalah penelitian tersebut hendak dipecahkan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kebudayaan merupakan perangkat simbol yang diberi arti dalam suatu sistem pengetahuan mengatur tingkah laku masyarakat dan strategi adaptasi terhadap lingkungannya, kebudayaan dipandang sebagai cognitif system.)3. Dalam konteks ekologi manusia itu merupakan hasil dari dua proses yang saling mengisi, yang pertama hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, yang kedua, yang ikut membentuk kebudayaan kemampuan manusia berpikir secara metaforik. Metode Penelitian kebudayaan bersifat holistik integratif, dalam artian unsur unsur kebudayaan yang dideskripsikan saling memiliki keterkaitan/tidak beridiri sendiri Dalam penelitian ini mengutamakan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan native’s point of view. A. Alat Analisa Beberapa jenis alat analisa dalam studi ini adalah: 1. Penggambaran, dalam hal ini adalah meliputi peta,maupun foto, yang digunakan dalam analisa yang membutuhkan keterangan secara visual. 2. Penyusunan uraian, pada penyusunan uraian hal yang paling utama adalah penyampaian suatu keadaan berupa informasi dan fakta dalam bentuk bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Setia Yuhana Sudikan., “Metode penelitian kebudayaan” Penerbit citra Wacana,
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010
I Putu Gede Wiradana, I Gusti Putu Anindya Putra, Endratno Budi
B. Jenis Analisa 1. Analisa terhadap Pola Kegiatan dan Perubahan Fungsi Kawasan Analisa ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi sejauh mana pengaruh pola kegiatan terhadap perubahan fungsi kawasan seperti ;kebutuhan ruang dan pola ruang. untuk analisa pola kegiatan disempadan Pantai Seseh dengan cara mengidentifikasi pola kegiatan (home range) dalam bentuk wawancara dan survey tentang perubahan tata guna lahan disempadan Pantai Seseh. dari analisa ini akan diperoleh suatu gambaran karakter wilayah studi dan pola kegiatan masyarakat disempadan Pantai Seseh yang dapat dijadikan sebagai acuan dasar untuk penataan kearah yang tepat. 2. Analisa Peranan Adat dalam Penataan Ruang di Sempadan Pantai Seseh Analisa ini dilakukan dengan cara mengumpulkan aturan/versi (awig-awig desa) dan mengkaitkan dengan konsep religius yang berlaku pada masyarakat dan sekaligus penerapannya dalam konteks penataan ruang yang terjadi disempadan Pantai Seseh. Dari hasil analisa ini selanjutnya digunakan sebagai konsep awal/pegangan dalam menata/mengatur suatu yang bersifat kempleksitas baik yang bersifat alami maupun buatan. 3. Analisa Hierarki dan Orientasi Spasial terhadap Penataan di Desa Adat Seseh Analisa ini dilakukan dengan metode pengejawantahan falsafah Tri Hita Karana sebagai wadah yang mengakomodasi dari setiap konsep ruang tradisional Bali. Konsep pembagian ruang berdasarkan luan teben (utara selatan), konsep Tri Angga yang terdiri dari tiga susunan, yaitu Utama, Madya, Nista dan orientasi berdasarkan sumbu matahari. Dari pembagian unsur-unsur tersebut lokasi penataan bertempat di teben (selatan) dan dari konsep Tri Angga terletak pada susunan/unsur Nista/profan yang dibagi pula menjadi tiga susunan yaitu utama Nista, madyaning Nista, dan Nistaning Nista. Kombinasi konsep ruang seperti Tri Angga, orientasi sumbu matahari dan luan teben akan menghasilkan konsep Sanga Mandala yang berorientasi pada zonasi yang harmonis sesuai dengan wadah yang mengakomidasinya. Dari hasil analisa konsep Sanga Mandala ini akan diketahui susunan peletakan bangunan. 4. Analisa Komparasi Pemanfaatan Lahan Eksisting di Sempadan Pantai Seseh dengan Kriteria Pola Tata Ruang Tradisional Bali Analisa ini dilakukan dengan metode super impose antara Kondisi eksistng dengan kriteria
pola tata ruang tradisional Bali, dengan tujuan untuk mengetahui titik konflik permasalahan di lingkup rencana studi. Dari titik konfik permasalahan yang terjadi kemudian di komparasikan dengan landasan konsep PTRTB yang bertujuan untuk menyusun strategi penataan dan kesesuian ruang di sempadan Pantai Seseh. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ruang Lingkup Lokasi Adapun ruang lingkup lokasi studi ini berada pada kabupaten Badung, kecamatan Mengwi yaitu Desa Cemagi. Batasan fisik lingkup lokasi adalah sebagai berikut. Sebelah Utara : Desa Munggu Sebelah Selatan : Desa Munggu (persawahan) Sebelah Barat : Samudera Hindia Sebelah Timur : Desa Baraban Kabupaten Tabanan Sedangkan lingkup kajian studi terletak di Desa adat seseh yang meliputi lingkup rencana studi, yaitu sempadan Pantai Seseh. B. Gambaran Lingkup Penataan Sempadan Pantai Seseh Pantai Seseh yang merupakan wilayah yang memiliki eksistensi unik dan banyaknya anekaragam kegiatan yang terkandung di dalamnya, besarnya desakan pembangunan terutama di bidang pariwisata sangat memberikan dampak terhadap perkembangan pembangunan di Desa Adat Seseh. Adapun eksistensi yang terbangun di wilayah Pantai Seseh meliputi: Pura, Pemukiman penduduk, tempat penyimpanan ikan(gudang), villa/bungalow. Untuk pola kegiatan di Pantai Seseh meliputi: tempat surfing/mandi, tempat ritual, rekreasi dan lain sebagainya. Dengan adanya potensi dengan penggunaan lahan yang bersifat camPuran mengakibatkan terjadinya kompleksitas akibat dari aktivitas masyarakat. Adapun lingkup penataan yang menjadi landasan dalam penelitian studi yaitu: batasan fisik tempat suci, kondisi existing villa/bungalow, pola kegiatan masyarakat, dan sistem organisasi kemasyarakatan. C. Analisa Pola Kegiatan di Sempadan Pantai Seseh Pola aktivitas yang heterogen di sempadan Pantai Seseh yang dijadikan tempat ritual oleh masyarakat seseh pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya (melasti,buang abu,melukat,mesakapan) juga dijadikan dermaga pendaratan perahu bagi para nelayan dan lokasi obyek wisata baik yang dilakukan wisatawan
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 1, Nomor 1, Juli 2009
29
PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG)
domestik maupaun mancanegara, sehingga berdampak pada penggunaan lahan yang bercampur seperti contoh dalam satu lokasi terdapat berbagai macam pola kegiatan, yaitu lokasi melasti,buang abu,mesakapan kadang kadang tercampur menjadi satu, akan tetapi pola kegiatan non ritual menyesuaikan dengan kegiatan ritual. Pola aktivitas, Dukungan/motivasi kondisi dan karakter alam baik dari segi fisik kawasan, potensi keindahan/daya tarik atau potensi lainnya ini berpengaruh terhadap pergeseran fungsi ruang di Desa Adat Seseh. Di sempadan Pantai Seseh terdapat dua klasifikasi pola kegiatan, yaitu Kegiatan yang bersifat ritual religius dan kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan/non ritual religius. D. Analisa Pola Kegiatan Ritual Keagamaan Pola kegiatan ritual religius yang terjadi di kawasan pantai seseh merupakan warisan yang tercipta dari nenek moyang/leluhur secara turun temurun sebagai aktualisasi syukur terhadap sang pencipta akan segala ciptaannya. Adapun pola kegiatan ritual di sempandan Pantai Seseh, yaitu: 1. Melasti yang merupakan kegiatan ritual setiap tahun yang berfungsi sebagai makna memprelina alam/mensucikan kembali alam Bhur, Bwah, dan swah. Kegiatan ritual ini tidak terlepas dari landasan konsep masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagian). Kegiatan ini biasanya dilakukan setiap tahun dalam Kalender Bali, yaitu Sasih Kesange (sembilan) atau dengan Kalender Nasional, yaitu Bulan Maret. Rentetan kegiatan ritual ini tidak terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, yaitu penyucian kembali unsur Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (mikrokosmos) karena kedua elemen ini terbentuk dari unsur -unsur yang sama, yaitu Panca Mahabutha. Kegiatan ritual melasti yang hampir dilaksanakan oleh Umat Hindu se-Indonesia mengingatkan kita akan hukum ekologis, dalam ajaran Agama Hindu, yaitu Tat Twam Asi (aku adalah kamu dan kamu adalah aku) dalam pengertiannya bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak akan terlepas dengan lingkungan sekitarnya baik itu dengan manusia maupun alam. Kegiatan melasti ini biasanya diikuti ribuan masyarakat sehingga dari analisa ini di butuhkan wadah atau prasarana untuk tempat berteduh seperti balai wantilan/balai panggung, jalur kegiatan, parkir, jasa, dan lain sebagainya.
30
2. Mesakapan merupakan kegiatan ritual yang biasanya pada seorang bayi berumur tiga bulan dilakukan upacara metelu bulanan/tiga bulanan yang mana makna yang terkandung dalam ritual mesakapan ini adalah memohon keselamatan dan kekuatan lahir dan batin pada Dewa baruna/Dewa segara. 3. Nganyut/Buang Abu upacara keagamaan seperti ini biasanya dilakukan setelah upacara pengabenan/bakar mayat, yang mana makna yang termuat di dalamnya, yaitu menyatukan kembali atman/roh dengan Sang Pencipta. Kegiatan ini memiliki makna tersendiri akan sebuah makna hidup, yaitu prosesi heregistrasi hidup terhadap sang pencipta mengingat bahwa manusia lahir kedunia yang di dasarkan oleh unsur-unsur dalam Agama Hindu, yaitu Panca Maha Butha yang terdiri dari; Apah,Pertiwi Teja, Bayu, dan Akasa. Dengan demikian adapun prosesi mesakapan/mebangkit/membangkitkan dan prosesi buang abu/Nganyut yang merupakan sebuah makna mengawali dan mengakhiri sebuah proses hidup yang nantinya akan kembali menyatu ke sang pencipta. 4. Melukat merupakan suatu kepercayaan umat Hindu sebagai wujud/bentuk membersihkan diri dari hal –hal yang bersifat negatif yang mempengaruhi unsur lahiriah. Upacara ritual melukat yang dilakukan di laut di percaya karena laut secara logis merupakan penetralisir segala bentuk/wujud. Begitu pula dengan masyarakat Hindu Bali laut merupakan sebagian dari unsur Panca Maha Butha secara makro kosmos. Aktivitas ritual dan prosesi kegiatan melukat yang dipercayai masyarakat Hindu sangat kental ditemui di Bali, hal ini dapat dijumpai di sempadan Pantai Seseh melalui jalur budaya yang di lewatinya. Adanya aktivitas ritual seperti ini dibutuhkan akan ruang/koridor tersendiri karena prosesi setiap aktivitas ritual akan membentuk suatu tata nilai. E. Analisa Pola Kegiatan Nonritual Keagamaan/Sosial Kemasyarakatan Pola kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakat atau yang bukan bersifat ritual religius di sempadan Pantai Seseh seperti surfing/berselancar, dan pendaratan ikan yang dilakukan oleh masyarakat Seseh khususnya dan masyarakat luar seseh pada umumnya seperti mandi, dan rekreasi pantai(liburan, party, dan lain sebagainya) yang membawa dampak terhadap lokasi itu sendiri sehingga dari setiap pola kegiatan memerlukan suatu prasarana yang nantinya mampu memenuhi kebutuhan
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010
I Putu Gede Wiradana, I Gusti Putu Anindya Putra, Endratno Budi
masyarakat di dalam melakukan aktivitas di Pantai Seseh seperti; tempat penyewaan papan selancar, prasarana parkir, gardu pandang, arena bermain, warung/artshop, WC Umum/toilet, tempat sampah dan lain sebagainya. Pantai Seseh disamping sebagai wadah/lokasi ritual bagi masyarakat seseh pada khususnya dan masyarakat luar seseh pada umumnya, Pantai Seseh juga memiliki potensi akan exotika panorama sebagai daya tarik wisatan untuk melakukan aktivitas nonritual, seperti tempat rekreasi, dermaga perahu untuk masyarakat Seseh sendiri dan lain sebagainya. F. Analisa Hierarki dan Orientasi Spasial dalam Penataan di Desa Adat Seseh Konsep ruang tradisional Bali yang bukan ukuran matrik, bersifat turunan dengan pencarian harmonis dari budaya yang membentuk adat istiadat ,tata nilai dan tata ruang yang dilandasi kepercayaan dengan aktualisasi melalui rasa/sense seperti apenimpug(sejauh lemparan batu), apengebahan( rebahan bangunan, apeneleng ( pandangan mata) adepa ( rentangan tangan), garis imajiner kotak-kotak yang mempunyai sifat menurun seperti garis imajiner Tri Angga diturunkan menjadi sembilan mintakat/ Sangamandala. Adapun ukuran lebar panjang pada konsep ruang tradisional Bali dapat dilihat melalui tiga aspek meliputi: 1. Dirasakan Dilihat Tetapi Tidak Bisa Diukur (yang Mewakili Filosofi) Keyakinan adanya tuhan sebagai pencipta yang di aktualisasikan melalui rasa/sense dengan bentuk fisik seperti Pura Desa, Puseh dan Dalem sebagai tempat pemujaan terhadap sang pencipta. Esensi yang dituangkan dengan langkah membangun hubungan yang harmonis pada tuhan dengan Bhakti, pada sesama manusia dengan interaksi/punia, dan dengan lingkungan alam lingkungan dengan asih. Dimensi ruang yang abstrak tapi masih bisa dirasakan keberadaanya adalah nuansa, fibrasi, suasana yang timbul akibat pengaturan pola lingkungan, pekarangan,bangunan dan sebagainya. 2. Bisa Dilihat Tetapi Tidak Bisa Diukur (yang Mewakili Konsep) Adanya aturan Dimensi tak terukur, seperti apenimpug (sejauh lemparan batu), apeneleng (sejauh pandangan mat), apangabahan (sejauh tinggi bangunan yang direbahkan) dan sebagainya. 3. Dapat Diukur Akan Tetapi Unsih (yang Merupakan Bagian Dari Filosofi) Dimesi terukur adalah ukuran yang memakai standart anggota badan, seperti alengkat/satu jengkal, adepa (satu rentang
tangan), telapak kaki, telapak tangan, dan sebagainya. Sinergi persepsi dan kerangka pikir yang sama dengan sifat dinamis akan tetapi memiliki dimensi yang berbeda (Anindya Putra, 1998) Konsep ruang tradisional Bali dalam penataan kota). Ketiga elemen diatas dilandasi kepercayaan dan keyakinan melaui rasa/sense untuk mencapai kehidupan yang bahagia dengan melakukan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan lingkungan alam. Batasan fleksibelitas pola tata ruang tradisional Bali tidak bisa dilihat dari sudut pandang berpikir dari sudut pandang budaya barat (western) akan tetapi secara kasanah budaya yang timbul dari tradisi, kepercayaan, dan rasa. Fleksibelitas pola tata ruang tradisional Bali dapat diukur dari fenomena dan dimensi yang bersifat ambang batas/yang sudah menggangu masyarakat, lingkungan dengan parameter melalui visual dan perasaan. G. Analisa Konsep Tri Angga pada Spasial di Sempadan Pantai Seseh Pada dasarnya Pola Tata Ruang Tradisional Bali banyak memberikan keleluasaan berkreasi dan berinovasi tanpa harus kehilangan roh/spirit tata ruang tradisional Bali itu sendiri. Konsep Tri Angga di Desa Adat Seseh dilatarbelakangi karena adanya eksistensi konsep Catus Patha yang berorientasi pada struktur ruang dan berfungsi secara makro dapat di jadikan acuan penataan ruang secara mikro, yaitu di sempadan Pantai Seseh meskipun eksistensi struktur ruang (Catus Patha) yang ada di Desa Adat Seseh tidak sesuai dengan dengan struktur ruang yang ada pada umumnya pada konsep tata ruang tradisional Bali, akan tetapi roh/spirit dari konsep Catus Patha dapat ditarik sebagai acuan penataan di lingkup rencana studi. Dalam lingkup kajian studi (makro) konsep-konsep nilai di atas ditarik ke dalam lingkup rencana studi (mikro) sebagai penataan ruang seperti di sempadan Pantai Seseh maka perwujudannya terletak di dalam penempatan zonasinya. Adapun penempatan tersebut antara lain. 1. Zona utama yang ditinjau dari nilai yang berlaku maka daerah timur/luan adalah daerah orientasi yang utama dari kehidupan masyarakat. Artinya zona ini diperuntukkan untuk kegiatan yang sifatnya lebih sakral seperti tempat melasti,mesakapan,buang abu melukat dan lain sebagainya yang terdapat di kawasan Pantai Seseh. 2. Kawasan/zona tengah/madya adalah konsentrasi kegiatan penduduk dengan segala fasilitas dan infrstrukturnya seperti tempat
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 1, Nomor 1, Juli 2009
31
PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG)
bermukim penduduk, aktivitas kegiatan masyarakat/interaksi masyarakat . 3. Kawasan zona hilir/teben merupakan kawasan konsentrasi kegiatan penunjang faktor ekonomi masyarakat seperti tempat rekreasi, surfing, dan lain sebagainya. Penggunaan konsep ini dinyatakan ada apabila terdapat pembagian ruang seperti diatas atau mendekati, konsep ini berhubungan dengan konsep yang lainnya. Implementasi konsep Tri Angga di lokasi studi dapat di jadikan orientasi ruang berdasarkan pembagian sakral, profan secara vertikal dan horizontal.
Pemanfaatan Lahan Kriteria berdasarkan Eksisting PTRTB
Zona Nista
Tabel 1. Konflik Pemanfaatan Lahan di Sempadan Pantai Seseh dengan Kriteria Unsur-Unsur Pola Tata Ruang Tradisional Bali Pemanfaatan Lahan Kriteria berdasarkan Eksisting PTRTB
Zona Nista UU
1. Villa/bungallow. 2. lahan pertanian dan tegalan
.
32
Zona hulu (utara/timur) sebagai kawasan yang harus dilindungi dari kegiatan produksi, karena disamping sebagai kriteria teknis yang merupakan kawasan sumber air dan hutan, juga jika ditinjau dari konsep nilai yang berlaku maka daerah
Permasalahan Terjadinya pergeseran fungsi ruang, hal ini dipengaruhi oleh pola aktivitas dan pemanfaatan lahan yang terjadi di sempadan Pantai Seseh. Antara pola aktivitas dan pemanfaatan lahan
hulu adalah daerah orientasi yang utama dari kehidupan masyarakat.adapun kriteria pemanfaatan lahannya: 1. Pura penataran dan 2. Pura puseh. 3. Merajan/Pura keluarga. 4. Wantilan/balai rapat untuk kegiatan Pura. 5. Piyasan/tempat untuk meletakkan sesaji. Merupakan zona/tempat yang nilai kesakralannya lebih rendah dari UU, zona UM biasanya sebagai; Ruang terbuka hijau/taman/kebun raya, 1. Fasilitas pendidikan (play group, TK,SD,SMP,SMA Perguruan Tinggi, BLK, tempat khursus, perpustakaan dll. 2. Tempat suci Pura dan wantilan/balai rapat untuk kegiatan Pura 3. Parkir
saling mempengaruhi pergeseran fungsi ruang. Konflik ruang yang terjadi yaitu adanya villa/bungalow yang menempati zona UU (Utamaning Utama) dan Pura surungan menempati zona utamaning madya
MU
1. Pura. 2. Tempat parkir. 3. Rekreasi pantai
NU
1. Tempat ritual keagamaan seperti; buang abu,nganyut. 2. Rekerasi pantai (surfing,main bola, mandi, dan lain-lain)
Merupakan zona yang digunakan sebagai lokasi yang umumnya berupa ruang terbuka antara lain seperti: 1. Jalan 2. Taman, 3. Kuburan 4. Pembuangan akhir seperti sampah, limbah dan lain-lain. 5. Toilet 6. Lapangan olahraga, dan lain sebagainya.
Pola aktivitas masyarakat seperti; surfng, mandi rekrasi pantai dan lain sebagainya sehingga menggangu kelangsungan prosesi ritual keagamaan seperti nganyut, buang abu, melukat dan lain-lain.
UM
1. Sebagai lokasi villa/bungallow. 2. Tempat pemukiman masyarakat. 3. Pura.
Merupakan zona/tempat yang nilai kesakralannya lebih rendah dari UU, zona UM biasanya sebagai: 1. Ruang terbuka hijau/taman/kebun raya. 2. Fasilitas pendidikan (Play Group, TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, BLK, tempat khursus, perpustakaan, dan lain-lain. 3. Tempat suci Pura dan wantilan/balai rapat untuk kegiatan Pura. 4. Parkir.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi sebagai akibat kestrategisan lokasi sebagai tempat untuk tinggal dan melakukan aktivitas keseharian. Adanya ksesuain ruang pada zona ini, yaitu konsep PTRTB dan kondisi eksisting di sempadan Pantai Seseh.
MM
1. 2. 3. 4.
Merupakan zona untuk melakukan interaksi dimasyarakat termasuk didalamnya, yaitu pemukiman masyarakat. Refleksi dari mikro ke makro, yaitu perut manusia yang secara teknis sebagai tempat: Perdagangan seperti artshop, mall, restaurant, diskotik, pertokoan & industri sekaligus pengelolaannya Perkantoran seperti instansi pemerintahan, balai desa, dusun, dan lain-lain. Pemukiman masyarakat. Ruang terbuka seperti panggung pertunjukkan/wantilan, Hotel, villa/bungalow,
Adanya kesesuaian ruang pada zona ini, yaitu zona pemukiman penduduk, fasilitas, dan ruang untuk berinteraksi antarsesama masyarakat.
H. Analisa Konflik Pemanfaatan Lahan di Sempadan Pantai Seseh Berdasarkan Kriteria Pola Tata Ruang Tradisional Bali Perubahan waktu dan jaman akan berdampak besar terhadap perubahan dan perkembangan suatu kawasan, mengingat bahwa keterkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya akan memberi fungsi yang berbeda,seperti yang terjadi di Desa Adat Seseh, yaitu pemanfaatan lahan yang beranekaram baik pola masyarkat maupun pemenuhan kebutuhan akan suatu tempat bernaung dan tinggal baik secara tetap ataupun temporary dapat disulap seketika yang mengakibatkan pergeseran fungsifungsi ruang. Manusia sebagai mahluk sosial berusaha menjalin suatu hubungan yang harmonis, serasi, selaras, dan seimbang dengan sesama manusia dengan alam dan dengan tuhan. Hampir semua kebutuhan hidup manusia baik jasmani dan rohani diperoleh dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya. Analisa konflik penataan di sempadan Pantai Seseh berdasarkan hasil komparasi kondisi eksisting pemanfaatan lahan dengan pola tata ruang tradisional Bali, berdasarkan hirarki ruang yang tercipta di lingkup rencana studi dengan konsep Sanga Mandala/Sembilan Mintakat, ditemukan konflik ruang dengan berbagai ragam di setiap zonanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada Tabel 1.
Permasalahan
Pura. Wantilan. Tempat parkir. Gudang penyimpanan ikan. 5. Tempat rekerasi pantai. 6. Sebagai tempat sandaran perahu nelayan.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010
Adanya lokasi parkir yang ilegal dan aktivitas masyarakat non ritual sehingga menggangu kelangsungan prosesi ritual budaya seperti; melasti, buang abu, mesakapan, melukat, dan lainlain.
I Putu Gede Wiradana, I Gusti Putu Anindya Putra, Endratno Budi
Zona Nista
MN
UN
Pemanfaatan Lahan Kriteria berdasarkan Eksisting PTRTB penginapan dan lainlain. Sebagai zona pergerakan/sirkulasi dimasyarkat seperti: 1. Warung, pasar, toko, dan artshop. 2. Lapangan olahraga. 3. Utilitas (telpon, listrik, dan lain-lain) 4. Industri dan pengolahannya. 5. Rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain. 6. Apotik 7. Aktivitas nelayan sekaligus sebagai Sandaran perahu dan tempat pelelangan ikan.
1. Sebagai tempat untuk kegiatan ritual keagamaan seperti melasti, (buang abu , melukat.) 2. Villa. 3. Tempat rekreasi pantai (mandi dan surfing).
1. Pura 2. kuburan 3. Villa
NM
1. Balai/rumah perahu. 2. Balai untuk rapat bagi para nelayan.
NN
1. Sebagai tempat ritual keagamaan seperti melasti, buang abu, dan melukat. 2. Rekreasi pantai ( mandi, surfing, party, dan lainlain). 3. Tempat perahu dan sekaligus aktivitas nelayan.
Merupakan zona yang digunakan sebagai lokasi yang umumnya berupa Pura Dalem Kahyangan dan Pura Mrajapati sekaligus ruang terbuka antara lain seperti: 1. Jalan 2. Taman 3. Kuburan 4. Pembuangan akhir seperti sampah, limbah dan lain-lain 5. Toilet 6. Lapangan olahraga dan lain sebagainya. Sebagai zona pergerakan/sirkulasi di masyarkat seperti: 1. Warung, pasar, toko, dan artshop. 2. Lapangan olahraga. 3. Utilitas (telpon, listrik, dan lain-lain). 4. Industri dan pengolahannya. 5. Rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan lainlain. 6. Apotik. Sebagai zona pembuangan akhir seperti: 1. Limbah, 2. Sampah(organik maupun nonorganik) 3. Kuburan 4. Laut 5. Ladang/tegalan 6. Sawah 7. Toilet
Permasalahan
Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang seperti; prosesi ritual budaya melasti, buang abu, melukat mesakapan, dan pemanfaatan lahan sebagai rekreasi pantai dan villa/bungalow.
Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang seperti: pemanfaatan lahan sebagai villa/bungalow, mengingat dalam zona ini proiritas pemanfaatan lahannya, yaitu ruang terbuka.
menjadi satu, hal ini menimbulkan keruwetan struktur maupun hirarki ruang yang ada di lingkup rencana studi. Konflik pemanfaatan lahan disempadan Pantai Seseh dengan Pola Tata Ruang Tradisional Bali terdapat kriteria kesesuaian pemanfaatan lahan di lingkup rencana studi. 1. Strategi Penataan Sempadan Pantai Seseh Kombinasi konsep pola ruang tradisional Bali dengan pemanfaatan lahan eksisting dilingkup rencana studi ( sempadan Pantai Seseh) dengan metode superimpose, Orientasi penataannya terdapat tiga kategori kegiatan, yaitu untuk zona kegiatan agama/wadah ritual, wadah kegiatan masyarakat dan kegiatan pariwisata. Secara visual komparasi kondisi eksisting dengan rencana penataan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1. Tabel 2. Rumusan Strategi Penataan di Sempadan Pantai Seseh Zona Nista
Adanya penyimpangan pemanfaatan lahan, yaitu balai/tempat perahu ruang untuk aktivitas masyarakat nelayan untuk melakukan forum/sosialisasi.
Terkombinasinya pola aktivitas masyarakat nonritual budaya seperti rekreasi pantai (surfing, piknik, mandi) dan aktivitas para nelayan dengan pola aktivitas masyarakat yang melakukan prosesi ritual budaya di lokasi ini.
Sumber: Hasil Analisa
I. Analisa Kesesuaian Ruang di Sempadan Pantai Seseh Kesesuaian ruang yang tercipta di lingkup rencana studi/di sempadan pantai seseh berdasarkan metode overlay menunjukkan bahwa adanya penggunaan ruang yang didasari sudut pandang konsep dan filosofi budaya yang melatarbelakanginya, yaitu pola tata ruang tradisional Bali. Dari konflik ruang yang terjadi seperti penggunaan ruang yang kompleks dalam artian ruang-ruang untuk kegiatan ritual dan non ritual/pola aktivitas masyarakat terkombinasi
Permasalahan
Konsep penataan berdasarkan (PTRTB) Zona/ruang utama adalah ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan yang bersifat sakral, hening/ketenan gan selalu berada di tempat yang lebih tinggi dari area di sekelilingnya dan letaknya berada di arah kaja (utara) dan kangin (timur), yang berfungsi sebagai tempat pemujaan (Parhyangan/P ura desa dan penataran) secara teknis zona hulu merupakan daerah untuk peresap air.
Kategori (UU) pada zona Nistaning utama
Terjadinya pergeseran fungsi ruang, hal ini dipengaruhi oleh pola aktivitas dan pemanfaatan lahan yang terjadi di sempadan Pantai Seseh. Antara pola aktivitas dan pemanfaatan lahan saling mempengaruhi pergeseran fungsi ruang. Konflik ruang yang terjadi, yaitu adanya villa/bungalow yang menempati zona UU (Utamaning Utama)
Kategori (UM) pada zona Nistaning utama
Adanya Pura Surungan pada zona Utamaning Madya, lokasi parkir yang ilegal dan aktivitas masyarakat nonritual sehingga menggangu kelangsungan prosesi ritual budaya.
Zona Madyaning utama yang merupakan ruang yang diprioritaskan sebagai ruang terbuka hijau dan pada zona ini masih layak sebagai tempat suci/sakral. sekaligus aktivitas masyarakat di dalamnya.
Kategori (UN) pada zona Nistaning utama
Pola aktivitas masyarakat seperti;surfng,m andi rekrasi pantai dan lain sebagainya, sehingga menggangu kelangsungan
Zona utamaning Nista merupakan tempat yang digunakan sebagai lokasi yang umumnya berupa ruang
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 1, Nomor 1, Juli 2009
Strategi penataan di sempadan Pantai Seseh 1. Pemindahan orientasi kegiatan villa/bungalow ke zona Utamaning Madya. 2. Menjaga kestabilan daerah hulu/utama untuk zona pertanian/ruang terbuka yang non terbangun
1. Penempatan Zona aktor pendukung kegiatan seperti tempat berteduh/bale bengong/wantilan, ruang terbuka hijau 2. Pengalokasian warung/kios, toilet dan parkir kesisi barat yang nantinya mampu menampung aktivitas masyarakat dalam aktivitas ritual maupun non ritual 3. Pura surungan sebagai titik orientasi penataan 1. Penempatan zona utama/jalur prosesi ritual budaya keagamaan, seperti melasti,buang abu,mesakapan, dan melukat. 2. Zona/ruang yang bersifat insidental
33
PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG) Zona Nista
Permasalahan prosesi ritual keagamaan seperti nganyut, buang abu, melukat, dan lain-lain.
Kategori (MU) pada zona Madyani ng Nista
Konsep penataan berdasarkan (PTRTB) terbuka antara lain seperti jalan, taman, kuburan dan pembuangan limbah.
Strategi penataan di sempadan Pantai Seseh untuk aktivitas masyarakat nonritual seperti rekreasi, surfing, mandi dan lain-lain.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi sebagai akibat kestrategisan lokasi sebagai tempat untuk tinggal dan melakukan aktivitas keseharian. Ruang yang semestinya sebagai tempat suci dan ruang terbuka,akan tetapi Pemanfaatan lahannya sebagai villa/bungalow. Terjadinya penyimpangan pemanfaaatan lahan. Pada zona ini diprioritaskan untuk zona pemukiman penduduk dan aktivitas pendukungnya.
Zona Madyaning Utama yang merupakan ruang yang diprioritaskan sebagai ruang terbuka hijau dan pada zona ini masih layak sebagai tempat suci/sakral.dan fasilitas pendidikan sekaligus aktivitas masyarakat di dalamnya.
1. Rencana pada zona ini, yaitu sebagai ruang terbuka hijau, taman dan penempatan fasilitas yang menunjang aktivitas masyrakarat dalam melakukan prosesi ritual keagamaan seperti balai wantilan/panggung, dan lain-lain. 2. Pemindahan fungsi bungalow ke sisi selatan.
Perut manusia yang di refleksikan dari mikro ke makro, yaitu secara teknis sebagai tempat perdagangan, industri dan sekaligus pengelolaannya.
Rencana pada zona ini dititik beratkan pada pola ruang/hunian masyarakat seperti tempat bermukim, fasilitas pendukung untuk kegiatan keagamaan, parkir, toko, toilet, dan lain sebagainya.
Kategori (MN) pada zona Madyani ng Nista
Terkombinasiny a pola aktivitas masyarakat baik aktivitas nelayan,rekreasi pantai upacara ritual keagamaan dan prosesi penjualan ikan menimbulkan konflik ruang di sempadan Pantai Seseh.
Sebagai zona pergerakan di masyarkat seperti jasa (warung pasar, jalan utilitas, dan lain-lain.)
Kategori (NU) pada zona Nistaning Nista
Adanya penyimpangan Pemanfaatan lahan, yaitu villa/bungalow
Kategori (NM) pada zona Nistaning Nista
Terciptanya kompleksitas ruang baik dari prosesi ritual keagamaan dan pola aktivitas masyarakat seperti rekreasi pantai dan aktivitas nelayan.
Merupakan zona yang digunakan sebagai lokasi yang umumnya berupa ruang terbuka antara lain seperti jalan, taman, kuburan, dan lain sebagainya. Sebagai zona pergerakan/sirk ulasi di masyarkat seperti jasa (warung pasar, jalan utilitas dan lain-lain.)
1. Rencana zona ini merupakan aktor pendukung dari kehidupan masyarakat desa adat seseh, seperti tempat pendaratan ikan tempat/wadah penampungan perahu nelayan, dan lain sebagainya. 2. Pemindahan pola aktivitas masyarakat ritual ke zona utama (U) dan nonritual seperti rekreasi pantai, surfing, diving, sepak bola, voly, dan lain-lain ke zona NN (Nistaning Nista) Rencana pada zona, yaitu sebagai ruang terbuka hijau, mengingat disamping ruang lingkupnya merupakan kuburan juga menjaga agar tetap harmonisnya kawasan tersebut.
Kategori (NN) pada zona Nistaning Nista
Terciptanya konflik ruang baik dari Prosesi ritual keagamaan dan pola aktivitas masyarakat seperti: rekreasi
Kategori (MM) pada zona Madyani ng Nista
34
Merupakan zona yang digunakan sebagai lokasi yang umumnya berupa antara lain seperti, taman, kuburan,
1. Rencana pada zona ini dititikberatkan penyediaan prasarana sebagai aktor penunjang kegiatan masyarakat seperti penyediaan jasa; warung/artshop, restaurant. 2. Relokasi ruang prosesi ritual dari Nistaning Madya ke Utamaning Nista. 1. Rencana zona ini merupakan aktor pendukung dari kehidupan masyarakat desa adat seseh, seperti taman rekreasi, gardu pandang,
Zona Nista
Permasalahan pantai, surfing, mandi, selancar, dan aktivitas para nelayan.
Konsep penataan berdasarkan (PTRTB) pembuangan sampah, limbah dan sekaligus pengolahannya.
Strategi penataan di sempadan Pantai Seseh surfing/berselancar, mandi, diving/menyelam, dan lain sebagainya. 2. Relokasi ruang prosesi ritual dari Nistaning Nista ke Utamaning Nista. 3. Relokasi aktivitas nelayan dari Nistaning Nista (NN) ke MN (Madyaning Nista).
Gambar 1. Peta Rencana Penataan di Sempadan Pantai Seseh
a. Penataan pada Zona Nistaning Utama Luan berorientasi ke arah Utara-Timur. Tata letak dan struktur ruang pada arah ini yang merupakan kawasan untuk kegiatan yang bersifat utama dalam kehidupan seperti zona suci. Kategori UU: Penempatan zona yang bersifat hening/ketenangan/sakral. Kategori UM: Penempatan zona aktor pendukung kegiatan seperti; pengadaan fasilitas perdagangan dan jasa (ruko, parkir, toilet, tempat sampah tempat berteduh/bale bengong/wantila. Kategori UN: Penempatan zona utama untuk kegiatan yang berisafat ritual budaya seperti zona mempralina(mensucikan kembali) melasti,buang abu/nganyut, mesakapan, melukat dan lain sebaginya.dan insidental untuk kegaiatan yang bersifat nonritual seperti rekreasi pantai, surfing, mandi, dan lain-lain. b. Penataan pada Zona Madyaning Nista Untuk menentukan zona/letak dari masingmasing bagian itu dipakai landasan filsafat Rwa Bhineda, yaitu dua hal yang selalu berbeda,
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010
I Putu Gede Wiradana, I Gusti Putu Anindya Putra, Endratno Budi
namun bersifat komplementer, hal tersebut merupakan cara logika elementer dari akal manusia untuk mengkalisifikasikan alam semesta ke dalam beberapa kategori dasar. Salah satu cara yang paling elementer adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciriciri yang saling kontras, bertentangan, atau merupakan kebalikannya. Kategori UM:
Rencana pada zona ini, yaitu dengan adanya Pura Dalem Kahyangan yang merupakan titik orientasi utama. Kategori MM: Rencana pada zona ini dititik beratkan pada pola ruang/hunian masyarakat seperti tempat bermukim, fasilitas pendukung untuk kegiatan keagamaan, parkir, toko, WC Umum, dan lain sebagainya. Kategori NM: Rencana zona ini merupakan aktor pendukung dari kehidupan masyarakat desa adat seseh, seperti tempat pendaratan ikan tempat/wadah penampungan perahu nelayan dan lain sebagainya. c. Penataan pada Zona Nistaning Nista Desa Adat Seseh sebagai suatu kawasan permukiman masyarakat Hindu yang mayoritas mata pencahariannya nelayan pedesaan di Bali selalu menerapkan pola yang diidentifikasikan dengan tubuh manusia, yakni unsur kepala sebagai suatu aspek yang disucikan, badan sebagai aspek kemanusiaan, sedangkan kaki sebagai aspek kecemaran (kotor). Ketiga hal tersebut selalu berpijak pada tanah. Pada zona nistaning nista penataanya dititik beratkan pada kegiatan pariwisata yang dilandasi konsepkonsep yang digunakan dan dikombinasikan ke dalam realisasi di lapangan maka penataan sempadan pantai seseh pada zona nistaning nista memiliki orientasi, yaitu: Kategori NU:
Kategori NM:
Kategori NN:
Rencana pada Zona ini orientasinya dititikberatkan pada ruang terbuka hijau. Rencana pada zona ini dititikberatkan penyediaan prasarana sebagai aktor penunjang kegiatan masyarakat seperti penyediaan jasa; warung/artshop dan restaurant. Rencana zona ini merupakan aktor pendukung dari kehidupan masyarakat Desa
Adat Seseh, seperti taman rekreasi, gardu pandang, surfing/berselancar, mandi, diving/menyelam, dan lain sebagainya. KESIMPULAN Pengejawantahan konsep ruang tradisional Bali di sempadan Pantai Seseh diharapkan mampu mengakomodir konsep dan filosofi PTRTB di lapangan agar tidak hanya menjadi teoritis dan dalam implementasinya sangat menyimpang dari apa yang diinginkan. Pembagain ruang yang tercipta berdasarkan output landasan konsep pola tata ruang tradisional Bali, yaitu struktur dan hirarki ruang tercipta mulai dari nilai yang besar sampai nilai yang terkecil, hal ini tidak terlepas dari konsep pola tata ruang tradisional Bali yang memiliki fleksibelitas dalam berinovasi dan berkreasi memberikan imvestasi yang besar di dalam menata suatu kawasan, relavansi antara perencanaan ruang dan pengisian ruang setidaknya harus memiliki konsekuensi dasar sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Dari hasil penataan di sempadan pantai seseh berdasarkan pola tata ruang tradisional Bali yang berdasarkan variabel-variabel budaya yang melatarbelakanginya seperti; filosofi Tri Hita Karana, konsep Tri Angga, Luan Teben, Catus Patha dan Sanga Mandala, menghasilkan suatu hirarki dan struktur ruang sesuai dengan rumusan konsepnya. 1. Hirarki dan orientasi ruang di sempadan pantai seseh Berdasarkan susunan kosmologis filosofi dan konsep ruang tradisonal Bali memberikan makna keselarasan antara ruang dengan isinya, dalam lingkup rencana studi di Desa Adat Seseh memberikan pengertian adanya: (1) filisofi Tri Hita Karana sebagai wadah yang mengakomodasi pencapaian harmonis, (2) Tri Angga mewakili luan/hulu teben/hilir yang membagi zona menjadi ruang utama/Utama Mandala, yang diperuntukkan bagi kegiatan yang bersifat sakral, berada di tempat yang lebih tinggi dari area sekelilingnya, terletak diarah kaja/utarakangin/timur, (ruang madya/Madya Mandala, diperuntukkan bagi kegiatan yang bersifat keduniawian (pemukiman penduduk dan infrastrukturnya)\ dan ruang Nista Mandala, diperuntukkan bagi kegiatan utilitas, pembuangan limbah, dan sarana pendukung aktivitas masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial seperti: tempat rekreasi, perdagangan dan jasa dll. (3) Sedangkan konsep Sanga mandala merupakan turunan dari konsep Tri Angga yang
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 1, Nomor 1, Juli 2009
35
PENATAAN SEMPADAN PANTAI SESEH BERDASARKAN KONSEPSI PENATAAN RUANG TRADISIONAL BALI (STUDI KASUS: DESA ADAT SESEH KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG)
membagi zona mejadi sembilan mintakat. Perwujudan ruang yang terjadi dilandasi sistem kepercayaan, melalui rasa/sense yang terbentuk dari sebuah tradisi yang membentuk tata nilai dan tata ruang menuju kerangka yang harmonis. 2. Konflik pemanfaatan lahan Berdasarkan metode overlay antara kondisi eksisting dengan konsep ruang tradisional Bali ditemukan konflik ruang yang nantinya sebagai acuan strategi penataan di sempadan pantai seseh. Melalui metode superimpose yang menghasilkan konflik ruang sebagai tujuan output kesesuaian ruang, sehingga dapat dilakakun metode relokasi kegiatan yang layak dan tidak layak di sempadan Pantai Seseh. 3. Strategi penataan di sempadan Pantai Seseh Berdasarkan hasil kombinasi konsep ruang tradisional Bali yang di superimpose dengan pemanfaatan lahan di sempadan pantai seseh menghasilkan output strategi penataan Relokasi pola ruang dan pola aktivitas masyarakat yang dibagi menjadi tiga zona secara horisontal, yaitu zona Utama/hulu/luan untuk kegiatan ritual budaya dan sarana pendukungnya, Madya/tengah untuk kegiatan dan aktivitas masyarakat (pemukiman) dan pada zona Nista/teben/profan diprioritaskan untuk kegiatan pendukung seperti tempat rekreasi, aktivitas nelayan, perdagangan dan jasa. SARAN Menindaklanjuti sejumlah perkembangan permukiman masyarakat di Desa Adat Seseh, perlu diupayakan rencana strategis penanganan dan pelestarian nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat agar perkembangan wilayah secara regional yang sedang berkembang tidak memberikan dampak negatif yang cukup signifikan bagi perkembangan yang ada di Desa Adat Seseh. Untuk itu, rekomendasi yang akan disampaikan, yaitu: 1. Eksistensi nilai filosofi dan konsep ruang tradisional Bali Untuk mempertahankan nilai-nilai arsitektural Bali perlu ditekankan bahwa tiap bangunan yang ada di Desa Adat Seseh baik Villa/bungalow setidaknya harus berisi Burde, Ikut Celedu dan ornamen bangunan Bali serta bahan / warna dasar budaya Bali baik warna merah bata ataupun warna batu paras. Pelestarian eksistensi nilai keruangan baik bentuk, bahan, dan fungsi akan menjadi sebuah upaya konservasi strategis dalam pengelolaan bangunan permukiman yang ada di Desa Adat Seseh. Penerapan konsep pola ruang yang merupakan
36
warisan dari nenek moyang yang kemurniannya harus tetap dijaga, meskipun pergeseran yang disebabkan oleh perkembangan jaman yang tidak terelakkan. Hal ini dapat dijadikan suatu contoh, yaitu sebatang pohon meskipun daun, batang dan rantingnya berubah yang terpenting adalah akarnya yang kokoh, dalam istilah Bali, yaitu (Ajeg Bali ). Oleh sebab itu, filosofi dan konsep pola tata ruang tradisional Bali perlu dipertimbangkan eksistensinya kedalam sebuah aturan atau peratuaran daerah/Perda, khususnya di Bali. 2.
Relokasi pola kegiatan dan pemanfaatan lahan Relokasi/pemindahan aktivitas kegiatan baik untuk kegiatan ritual, aktivitas masyarakat dan aktivitas pendukung masyarakat di dalam penataan ruang sangat dibutuhkan suatu penyesuian antara kondisi eksisting dengan metode yang digunakan dalam merelokasi. oleh sebab itu relokasi/pemindahan suatu pola aktivitas dan pola ruang harus memperhartikan esensi yang mengatur baik dalam tatanan ruang maupun tata laku. 3.
Eksistensi nilai estetika Kebebasan dalam berinovasi dan berkreasi dalam filosofi dan konsep pola tata ruang tradisional Bali yang tidak terbatas fleksibelitasnya memberikan makna yang mendalam mengenai pencapaian harmonis yang dilandasi sifat menghargai dan menghormati. Kepercayaan-tradisi-budaya yang mengandung nilai estetika yang membentuk tata nilai dan tata ruang, oleh sebab itu penataan ruang lingkungan harus memperhatikan Nilai budaya tradisional dengan pendekatan nilai estetika yang dilandasi kepercayaan melalui sense/rasa sebagai kelestarian aset budaya. Dengan nilai seni yang terkandung dalam sebuah penataan memberikan dampak pula terhadap daya jual sendiri di sektor pariwisata. DAFTAR PUSTAKA Samadhi T. Nirarta. Perilaku dan Pola Ruang Kawasan Aspek Perancangan Kota di Kawasan Perkotaan Bali. Malang: LPPM ITN Malang.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 2, Nomor 1, Juli 2010