Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
POTENSI PENGEMBANGAN PRODUSEN/PENANGKAR BENIH KEDELAI BERSERTIFIKAT DI JAWA TENGAH Abdul Choliq, Sri Rustini, dan Yulianto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegal Lepek, Sidomulyo, Kotak Pos 101 Ungaran 50501
ABSTRAK Sistem perbenihan kedelai secara formal belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hingga saat ini sedikit sekali petani yang menggunakan benih kedelai bersertifikat, disebabkan petani sulit memperoleh benih bersertifikat di pasaran. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi pengembangan penangkar benih kedelai unggul bermutu dan bersertifikat di Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 di Provinsi Jawa Tengah yaitu di Wonogiri, Grobogan, Sukoharjo, dan Boyolali dengan metode survei. Data yang dipergunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap petani secara Purposive Random Sampling. Data sekunder dikumpulkan dari lembagalembaga pemerintah yang terkait dengan industri benih meliputi Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB), Balai Benih di tingkat kabupaten, dan produsen benih lokal di Jawa Tengah. Hasil menunjukkan terbuka peluang untuk pengembangan produsen/penangkar benih kedelai di Jawa Tengah. Pengembangan produsen/ penangkar tersebut harus didukung oleh usaha pengawalan perjalanan benih bersertifikat di pasar berdasarkan konsep jalinan alur benih antar lapang dan antarmusim (jabalsim). Secara finansial memproduksi benih kedelai bersertifikat merupakan salah satu usaha yang menguntungkan bila dikelola dengan baik dan tidak menemui hambatan dalam budidayanya. Kata kunci : penangkar, benih kedelai, bersertifikat
PENDAHULUAN Pemerintah telah berupaya meningkatkan produksi kedelai melalui perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi tepat guna, diantaranya varietas unggul berpotensi tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah melepas sejumlah varietas unggul kedelai tetapi baru sebagian yang dimanfaatkan petani. Varietas-varietas unggul tersebut memiliki keragaman potensi hasil, umur panen, ukuran biji, warna biji, dan wilayah adaptasi (Badan Litbang Pertanian, 2007). Keberhasilan pengembangan varietas unggul kedelai ditentukan oleh berbagai aspek, terutama ketersediaan benih dan mutu benih Penggunaan benih bermutu tinggi merupakan prasyarat utama dalam budi daya kedelai. Oleh karena itu, pengembangan varietas unggul menuntut penyediaan benih yang bermutu tinggi dan bersertifikat/berlabel dalam jumlah yang cukup dan tersedia tepat waktu. Sebagai sarana produksi yang membawa
560
sifat-sifat varietas tanaman, sebesar 60% tingkat keberhasilan dan kegagalan hasil panen ditentukan oleh benih. Situasi perbenihan kedelai di Indonesia sudah menjurus pada krisis benih. Hal ini dapat dilihat pada saat musim tanam petani mengalami kesulitan untuk mencari benih unggul, sehingga benih yang ditanam berasal dari pasar atau benih asalan yang memiliki daya tumbuh rendah. Hingga saat ini sedikit sekali petani yang menggunakan benih kedelai bermutu, sebagaimana yang tercermin dari penggunaan benih kacang-kacangan bersertifikat yang kurang dari 3%. Untuk memenuhi kebutuhan benih kedelai bermutu dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani perlu dibina usaha penangkaran benih, terutama di sentra produksi kedelai (Badan Litbang Pertanian, 2007). Hasil penelitian Nurasa (2007) menunjukkan bahwa secara umum penggunaan benih bersertifikat komoditas kedelai memberi dampak yang positif atau
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
dapat meningkatkan produktivitas dibanding penggunaan benih tidak bersertifikat dimana produktivitasnya masing-masing 1.700 kg/ha dan 1.400 kg/ha dengan R/C 1,26 dan 1,20. Usahatani kedelai dengan benih bersertifikat menguntungkan dari segi finansial dengan pendapatan bersih sekitar 1,73 juta/ha. Hal ini menunjukkan bahwa jika petani kedelai sudah menggunakan benih bersertifikat diharapkan kesejahteraannya akan meningkat. Untuk itu perlu dukungan ketersediaan benih bersertifikat. Purwantoro (2009), menambahkan upaya pengembangan benih kedelai terhambat atau jalan ditempat. Penyebab dari tidak jalannya perbenihan kedelai di Indonesia disebabkan minat menjadi penangkar benih kedelai rendah, karena kurang memberikan prospek dibandingkan komoditas padi, karena kurang memberikan keuntungan bagi penangkar. Untuk itu perlu adanya cara-cara tertentu untuk menumbuhkan minat penangkar benih melalui kelompok-kelompok tani pada sentrasentra produksi kedelai di Indonesia dengan membangun sistem jaringan benih sertifikasi antar musim dan antar wilayah (jabalsim). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, makalah ini bertujuan mengetahui potensi pengembangan penangkar benih unggul bermutu dan bersertifikat di Jawa Tengah dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dan swasembada kedelai 2014.
Tengah cenderung memperlihatkan tren meningkat, baik untuk luas panen, produksi maupun produktivitasnaya, secara rinci disajikan pada Tabel 1. Rerata produktivitas kedelai di Jawa Tengah selama 5 tahun sebesar 16,71 ku/ha, lebih rendah dari rerata produktivitas di tingkt petani. Untuk varietas Anjasmoro, Kaba, dan Grobogan hasil ratarata yang ada pada deskripsi di atas 20 ku/ha (BPTP, 2010)). Dilihat dari rata-rata luas panen tanaman kedelai di Provinsi Jawa Tengah seluas 95.459 ha/th dan bila diasumsikan kebutuhan benih tiap hektarnya rata-rata 40 kg/ha, maka benih yang dibutuhkan sekitar 3.818.360 kg/th. Tabel 1. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Luas panen (ha)
Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
115.368 56.115 84,098 111.653 110,061 95.459
14,48 23,57 14.65 14,96 15,91 16,71
167.107 132.269 123.209 167.081 175.156 152.964,4
Sumber:: Anonim (2010) Kebutuhan dan ketersediaan benih kedelai di Jawa Tengah (2005 – 2009)
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 di Provinsi Jawa Tengah yaitu di Wonogiri, Grobogan, Sukoharjo, dan Boyolali, dengan metode survei. Data yang dipergunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap petani secara Purposive Random Sampling yakni petani yang biasa atau pernah menjadi penangkar. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan industri benih meliputi Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB), Balai Benih di tingkat kabupaten, dan produsen benih lokal di Jawa Tengah. Hasil dianalisis secara deskriptif (Saefudin, 1998). HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan produksi kedelai di Jawa Tengah Dalam kurun waktu lima tahun terakhir perkembagan produksi kedelai di Jawa
Kebutuhan dan ketersediaan benih kedelai untuk kurun waktu 5 tahun (20052009) sangat berfluktuatif, hal ini terlihat pada Gambar 1 dimana kebutuhan benih kedelai tidak dapat dipenuhi karena tidak tersedianya benih, dan kalaupun ada biasanya benih yang tersedia hanya sedikit yang berlabel. Menurut Dirjentan (2010), salah satu penyebab kesenjangan produktivitas ditingkat petani yang cukup besar adalah petani masih belum optimal dalam penggunaan benih unggul varietas potensi tinggi dan bersertifikat. Hasil survei ke beberapa kabupaten sentra produksi kedelai seperti Boyolali, Sukoharjo, dan Wonogiri mendapat gambaran bahwa tidak ditemukan adanya penangkar/ produsen khusus yang memproduksi benih kedelai. Produsen benih kedelai semata-mata memproduksi benih hanya untuk memenuhi kebutuhan suatu program seperti Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) atau program di Dinas. Bila dilihat dari sisi petani pengguna
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
561
Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
benih, tidak ditemukan petani yang selalu menggunakan benih bermutu atau berlabel. Penggunaan benih kedelai berlabel pada saat menjalankan suatu program pemerintah. Untuk kebutuhan benih, petani membeli kedelai di pasar hanya dengan memilih biji kedelai yang dianggap bagus namun dengan harga yang murah.
Gambar 2. Peta sebaran penangkar/produsen benih palawija di Jawa Tengah
Gambar 1. Kebutuhan dan ketersediaan benih kedelai ( 2005-2009) Petani di Jawa Tengah biasanya menggunakan sistem jabal dalam pemenuhan kebutuhan benih tanpa sertifikat. Sistem jabal benih palawija sudah sampai lintas kabupaten, sehingga hampir di semua kabupaten ada penangkar/produsen benih palawija. Sebaran penangkar/produsen benih palawija (jagung dan kedelai) tahun 2009 terlihat pada gambar 2. Pada gambar ini menunjukkan bahwa kabupaten Grobogan dan Wonogiri merupakan sentra produksi dengan jumlah penangkar masing-masing lebih dari 19 dan 25 unit, sedangkan yang lain di bawah 11 bahkan beberapa kabupaten jumlah penangkar/produsen kurang dari 5 unit. Prinsip sebagian petani adalah bahwa usahatani kedelai bukan merupakan usaha pokok, sehingga perlakuannya kurang serius dibandingkan pada saat mengusahakan tanaman padi, baik dalam penggunaan benih, pemupukan maupun pemeliharaannya. Kondisi yang demikian memperbesar keengganan produsen benih palawija untuk selalu memproduksi benih kedelai.
Benih kedelai apabila disimpan dengan cara yang kurang tepatakan cepat menurun daya kecambahnya. Oleh karena itu, masa berlakunya sertifikat benih kedelai yang dikeluarkan oleh BPSB tidak lebih dari tiga bulan. Berdasarkan kenyataan tersebut, jarang petani yang mau menyimpan benih kedelainya dalam bentuk biji di tempat penyimpanan. Petani lebih memilih menyimpan benih kedelai di lapangan atau mengikuti kebiasaan pengadaan benih melalui jabal. Sistem penyediaan benih kedelai di Jawa Tengah Pedagang yang bergerak di bidang usaha penjualan benih kedelai, seperti halnya padi, terdiri atas produsen dan penyalur yang dapat diuraikan sebagai berikut: Penyediaan benih kedelai oleh produsen Produsen benih kedelai yang telah maju dapat memproduksi benih dasar (FS) dan (SS), sementara benih penjenisnya (BS) diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Dalam penyediaan benih kedelai bersertifikat, produsen bekerjasama dengan petani atau kelompok tani yang pengelolaannya ditentukan oleh produsen. Proses sertifikasinya diusulkan oleh produsen kepada BPSB. Produsen benih kedelai pemula hanya diperkenankan memproduksi benih pokok (SS) dan benih sebar (ES). Produsen sering berusaha untuk memperoleh informasi tentang program pemerintah dalam peningkatan produksi kedelai atau program bantuan benih kedelai langsung kepada petani. Berdasarkan informasi tersebut mereka akan melakukan penangkaran varietas kedelai yang
562
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
diprogramkan pemerintah, dengan harapan pemerintah akan mengambil benih dari penangkar tersebut. Produsen tidak berani menangkarkan benih yang belum jelas pasarnya. Disamping itu, produsen juga memiliki peta dominasi sebaran varietas kedelai yang disukai petani di suatu wilayah. Produsen akan melakukan penangkaran benih kedelai dalam jumlah yang volumenya diperkirakan dapat terserap pasar di wilayah yang dituju. Apabila lahan yang dimiliki produsen luasnya kurang untuk memenuhi kebutuhan pasar, biasanya produsen bekerjasama dengan petani atau kelompok tani. Benih yang ditanam dan cara budidayanya ditentukan oleh produsen. Kedelai yang dihasilkan akan dibeli oleh produsen dengan harga 10% di atas harga pasar biji konsumsi. Apabila akan diproduksi sebagai benih bersertifikat, maka pengelolaan pasca panen dan proses sertifikasinya diusahakan sendiri oleh produsen dengan bantuan BPSB. Produsen tidak selalu memproduksi benih kedelai bersertifikat, tetapi memproduksi kedelai untuk dijual sebagai kedelai super (Gambar 6). Kedelai super diproduksi oleh produsen tanpa melalui proses seleksi kemurnian di lapangan. Biji-biji kedelai super disortasi biji rusak dan kotorannya, kemudian dilakukan penjemuran hingga kadar air yang aman untuk disimpan. Oleh karena kedelai super mempunyai penampilan yang jauh lebih baik daripada biji kedelai untuk konsumsi, maka produsen memberikan harga yang lebih tinggi daripada kedelai biasa. Harga kedelai super di tingkat pedagang penyalur Rp. 8.500,-/kg sedangkan harga kedelai biasa Rp. 5.500,-/kg. Produsen tidak perduli benih super yang dibeli oleh petani akan digunakan untuk konsumsi (tahu,tempe) atau akan ditanam sebagai benih. Harga benih bersertifikat yang dihasilkan oleh produsen dijual dengan harga lebih tinggi dari benih super. Tergantung jenis varietasnya, bila benih yang dihasilkan berkelas FS sering dijual dengan harga Rp. 15.000,- - 17.000,-/kg, kelas SS dijual Rp. 13.000,- - 15.000,-/kg, dan kelas ES dijual Rp. 11.000,- - 13.000,-/kg.
Penyediaan benih kedelai oleh penyalur Para penyalur biasanya membuka usahanya di pasar-pasar tradisional dan memasarkan kedelainya dalam kios. Mereka memperoleh kedelai dari para tengkulak yang membeli hasil panen petani langsung dari lahan, dari produsen, atau dari petani langsung. Penyalur memperoleh kedelai dari petani atau tengkulak sebagai kedelai curah yang bercampur antara biji rusak dan biji utuh. Harga pembelian dari petani tergantung kondisi biji kedelai yang dijual kepada penyalur. Pedagang penyalur di pasar Simo, Kabupaten Boyolali menyatakan bahwa kedelai yang dijual adalah kedelai lokal warna hijau, Malabar, Galunggung, dan Wilis. Penyalur tersebut tidak mengetahui namanama varietas kedelai yang baru. Kedelai yang dipasarkan selain dari petani atau tengkulak di Boyolali, diperoleh pula dari daerah lain seperti Kabupaten Grobogan, Kebumen, Gombong, Klaten, dan bahkan dari Lumajang. Kadang-kadang pedagang penyalur mengunjungi lahan-lahan pertanaman kedelai petani dan memesan langsung kepada petani. Jika mendekati saat panen petani didatangi lagi dan menentukan harga kedelai seperti yang dilakukan oleh penebas. Harga yang disepakati seringkali berkisar Rp. 3.000,- - Rp.5000,- per rengkot (1,1 kg). Penyalur melakukan sortasi biji rusak pada kedelai yang dibeli dari petani, kemudian memisahkan dari kedelai lain yang masih bercampur antara yang rusak dan yang utuh. Biji campuran dijual kepada konsumen seharga Rp. 5.200,- - Rp. 5.400,-/kg. Biji yang telah disortir dijual kepada konsumen seharga Rp. 6000,-/kg (Gambar 3). Biasanya petani membeli biji yang telah disortir tersebut untuk digunakan sebagai benih. Petani tidak perduli nama varietas yang dibeli serta bersertifikat atau tidak. Yang digunakan sebagai dasar pertimbangan membeli atau tidak kedelai tersebut untuk benih adalah hasil panen baru dan harganya murah.
Produsen juga melayani penjualan benih kedelai dalam jumlah kecil (kurang dari 10 kg), misal hanya 7 kg. Produsen juga melayani permintaan pemesanan dan pengantaran benih kedelai, bahkan sampai luar daerah. Ongkos pengiriman dibebankan kepada pemesan.
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
563
Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
3. Perbaikan teknik produksi kedelai untuk benih maupun konsumsi spesifik lokasi juga diperlukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi sesuai dengan potensi masing-masing varietas di wilayah-wilayah tertentu yang diharapkan mampu menjadi pemasok benih sesuai prinsip enam tepat.
Gambar 3. Biji kedelai hasil sortasi dijual terpisah Informasi yang diperoleh dari beberapa penangkar benih yang pernah mencoba memproduksi benih kedelai merasa terlalu repot dan banyak mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja, dari mulai seleksi di lapang maupun penanganan pasca panen. Terlebih lagi masa simpan benih kedelai sangat pendek yakni hanya tiga bulan.
4. Secara finansial usaha penangkaran benih realatif menguntungkan dengan beberapa catatan. Selama proses produksi, pertanaman tumbuh normal dan tidak terserang OPT yang berarti, sehingga produksi yang dihasilkan mendekati hasil rata-rata potensinya (sekitar 2 t/ha). Dengan biaya input produksi (budidaya dan pasca panen) berkisar Rp12 juta – Rp15 juta dan harga jual benih sekitar Rp10.000/kg, maka penangkar masih berpeluang untuk mendapatkan keuntungan,.
Potensi pengembangan penangkar benih kedelai bersertifikat Peluang pengembangan penangkar benih kedelai bersertifikat masih terbuka luas dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Sosialisasi dan diseminasi penggunaan benih kedelai unggul bermutu (bersertifikat) perlu terus ditingkatkan melalui unit-unit percontohan produksi benih maupun konsumsi, sehingga petani betul-betul merasakan manfaat dari teknologi tersebut. Diharapkan di masa yang akan datang petani kedelai mempunyai keyakinan sehingga menggunakan benih unggul bermutu seperti itu penting seperti halnya yang terjadi pada penggunaan benih bermutu pada padi. 2. Produsen benih harus mengetahui dan mempunyai jaringan yang pasti tentang musim, lokasi, dan varietas yang akan dikembangkan. Peta persebaran varietas, musim, dan lokasi merupakan hal penting yang harus dipunyai untuk keberlangsungan produksi benihnya. Produsen juga perlu bekerja sama dengan pemerintah mengetahui kemungkinan program-program yang akan dilaksanakan, untuk bisa menjadi pemasok benih pada program tersebut.
564
Gambar 4. Pedagang benih kedelai di salah satu wilayah kecamatan di Boyolali
Gambar 5. Kedelai konsumsi dijadikan benih, sebelum ditanam dilakukan sortasi
Prosiding Semiloka Nasional “Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
Choliq et al.– Potensi Pengembangan Penangkar Benih Kedelai Bersertifikat di Jawa Tengah
DAFTAR PUSTAKA Anonim (2010). Jawa Tengah Dalam Angka 2010. Kerjasama Bappeda Provinsi Jawa Tengah dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Kedelai. Departemen Pertanian, Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah (2010), Deskripsi Varietas Padi, Jagung, dan Kedelai. Materi Pendampingan SL PTT.
Gambar 6 Benih kedelai tanpa sertifikat, di pasar kecamatan, di kab. Boyolali
Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Jagung dan Kedelai Tahun 2010. Departemen Pertanian. 2010. Purwantoro, 2009. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem Penangkaran Perbenihan Kedelai Di Indonesia. Online : http://balitkabi.litbang. deptan.go.id/, 8 Mei 2009. Nurasa, T., 2007. Revitalisasi Benih dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Kedelai di Jawa Timur. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No. 2 hlm 164 - 171.\ Saifuddin Azwar (1998). Metode Penelitian. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Gambar 7. Benih kedelai bersertifikat, hasil pendampingan kelembagaan perbenihan KESIMPULAN
Terbuka peluang untuk pengembangan produsen/ penangkar benih kedelai di Jawa Tengah, dengan catatan harus didukung oleh usaha pengawalan perjalanan benih bersertifikat di pasar berdasarkan konsep jalinan alur benih antarlapang dan antarmusim (jabalsim).
Secara finansial memproduksi benih kedelai bersertifikat merupakan salah satu usaha yang menguntungkan bila dikelola dengan baik dan tidak menemui hambatan dalam budidayanya
Prosiding Semiloka Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng, dan Pemprov Jateng, Semarang 14 Juli 2011
565