1
PENANGGULANGAN KEJAHATAN CYBER MELALUI SARANA HUKUM PIDANA (Sebuah Catatan untuk RUU tentang Teknologi Informasi Draft Ketiga) 1 Oleh: M. Arief Amrullah
2
Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Telp. (0331) 335462 Fax. 330482 Jember Abstracts Trading transaction by internet has played an important role in international trading and influenced economics and balance of payments of a certain state. However, beside all of excess and benefit from internet, using the global network is potential to make the new form of crime that is cybercrime, emerge. To fight the new form of crime it is necessary for Indonesia to make a statute that is able to prevent computer-base crime use. Now Indonesia has prefared the Draft of Information Technology. One of the efforts to cope with the new form of crime (computer-related crime) are by using penal instrument as written in Chapter XI Articles 29 to 39 of Statute Draft. But the penal policy is still not as it is wished as written in Consideration or in General Explanation of Statute Draft. Hence, before the draft has not been enacted, it needs to be revised, so the existence of the statute will be very usefull for the importance of nations and state. Key Words: Penal policy, cybercrime. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perpaduan teknologi informasi, elektronika, komputer, dan telekomunikasi, memungkinkan terbentuknya
jaringan telekomunikasi global yang mampu
membuat terhubungnya jaringan komputer secara bersamaan di seluruh dunia. Jaringan global itu terbuka bagi semua orang, sehingga setiap orang bebas mengakses jaringan tersebut untuk berkomunikasi dan melakukan berbagai kegiatan di dunia maya. Transaksi perdagangan melalui jaringan internet, telah memainkan 1 2
peran
yang
penting
dalam
perdagangan
Draft ini disusun oleh Pusat Kajian Cyberlaw Universitas Padjadjaran. Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember
internasional
dan
2
mempengaruhi ekonomi dan neraca pembayaran suatu negara. Namun, di samping segala kelebihan dan manfaat dari internet, penggunaan jaringan global berpotensi
munculnya
bentuk
kejahatan
baru,
karena
digunakan
tidak
sebagaimana mestinya, yaitu seperti penipuan, pencurian, pemalsuan dan lainlainnya dengan modus yang berbeda dengan kejahatan konvensional. Munculnya
bentuk
kejahatan
baru
tersebut
menunjukkan,
bahwa
perkembangan dunia teknologi informasi telah memberikan sisi negatif yang membuka peluang terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan canggih yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Ini berarti, kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Bentuk kejahatan pada masyarakat agraris akan berbeda dengan bentuk masyarakat industri atau masyarakat di era kesejagatan ini. Pemanfaatan teknologi komputer dengan kecepatan tinggi untuk berbagai kepentingan, termasuk dalam menjalkankan kepentingan bisnis
yang
menyimpang (kejahatan ekonomi) merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap pembangunan
dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang
menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan dunia internasional. Perhatian dan keprihatinan itu sangat beralasan, karena mengingat ruang lingkup/dimensi dari kejahatan ini sangat luas yang aktivitasnya mengandung ciriciri sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime), white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime, bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini dapat menjadi salah satu bentuk dari cybercrime. Mengingat karakteristiknya yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, jumlah kejahatan jenis ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Jumlah kasus yang masuk ke Subdit Tindak Pidana Teknologi Informasi (TPTI) Mabes Polri sepanjang tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun 2001. Gambaran mengenai kejahatan yang difasilitasi teknologi informasi tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini (hukumonline.com, Jum’at, 3 Januari 2003, diakses tanggal 06 Januari 2003).
3
Jumlah Kasus No.
Jenis Kejahatan 2001
2002
1
Credit card fraud
5
104
2
Stock axchange fraud
1
-
3
Banking fraud
1
4
4
Drug trafficking
1
-
5
Terorism
-
1
6
Child pornography
1
-
Credit card fraud atau penipuan kartu kredit, terbilang banyak terjadi karena cara yang digunakan relatif mudah, tetapi mendatangkan hasil yang melimpah. Pelaku tinggal memasukkan nama dan nomor kartu kredit curian berikut masa berlakunya pada toko online. Kemudian, menunggu hingga barang diantar. Di masa mendatang, diperkirakan jenis-jenis kejahatan lainnya akan pula meningkat, seiring dengan meningkatnya perdagangan secara digital, electronic banking, dan perkembangan international organized crime (Drug trafficking, Terorism, Money laundering, dan sebagainya). B. Perumusan Masalah Permasalahan pokok terletak pada politik atau kebijakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan cyber sebagaimana yang dirumuskan dalam RUU tentang Teknologi Informasi (Draft Ketiga), yang meliputi: 1. Apa urgensinya bagi Indonesia memiliki cyberlaw. 2. Apakah penggunaan sarana penal telah berorientasi
pada
perlindungan
hukum terhadap masyarakat pada umumnya (korban potensial dan korban nyata). II. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan artikel ini adalah menggunakan metode futuristik yang merupakan kajian terhadap Rancangan
4
Undang-undang tentang Teknologi Informasi (Draft Ketiga), dan pendapat dari para sarjana. III. TINJAUAN PUSTAKA Kemajuan teknologi di bidang informasi akhir-akhir ini sudah berkembang semakin pesat, sehingga dapat menembus batas wilayah suatu negara, di mana secara konvensional untuk masuk ke wilayah suatu negara harus minta izin. Namun, dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, maka hal-hal seperti itu sudah dapat diabaikan. Dalam hubungan ini, Panos (1999) dalam tulisannya yang berjudul: Globalisation and Employment, mengatakan: globalisasi merupakan gerakan menuju kepada ekonomi global di mana batas-batas nasional sudah tidak menjadi persoalan lagi. Perdagangan dunia sendiri telah tumbuh rata-rata 6.6 per sen selama tahun 1990an, dan diperkirakan bertambah antara US$200 milyar dan US$500 milyar terhadap pendapatan dunia pada tahun 2001. Menurut Muladi (1997: 58-59) globalisasi pada dasarnya mengandung makna yang dalam. Perdagangan misalnya, tidak hanya sekedar berdagang di beberapa negara, akan tetapi harus ditafsirkan sebagai berdagang di seluruh dunia. Dalam kondisi seperti ini, memungkinkan mereka untuk berkompetisi, mengikuti perkembangan teknologi dan menggali keuntungan dari berbagai kesempatan bisnis yang ada. Namun, apabila dilihat dari segi hukum, maka hal itu tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya ikatan norma. Karena itu, persiapan masing-masing negara, baik secara internal maupun eksternal harus dilakukan apabila bangsa dan negara tersebut ingin menjadi faktor penentu dalam era perdagangan digital ini. Demikian juga yang dikemukakan oleh George C. Lodge (1995: 1) bahwa globalisasi merupakan proses, di mana penduduk dunia menjadi makin saling terkait atau saling tergantung satu sama lain dalam semua bidang kehidupan, budaya, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan. Adapun pendorong utama globalisasi tersebut adalah meningkatnya arus informasi, uang, dan barang melalui perusahaan multinasional (MNCs).
5
Globalisasi sebagaimana ditulis oleh Kavaljit Singh (1998: 3-4)pada dasarnya merupakan suatu proses saling ketergantungan ekonomi yang terus berkembang di antara negara-negara di dunia. Saling ketergantungan tersebut bukanlah suatu fenomena baru, tetapi merupakan fase mutakhir dari globalisasi dalam banyak hal. Menurut Singh, proses globalisasi dewasa ini dicirikan oleh lima perkembangan pokok : a. Pertumbuhan transaksi keuangan internasional yang cepat. b. Pertumbuhan perdagangan yang cepat, terutama di antara perusahaanperusahaan transnasional. c. Gelombang investasi asing langsungyang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan transnasional. d. Timbulnya pasar global. e. Penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia. Jaringan
komunikasi
global
telah
menciptakan
tantangan-tantangan
terhadap cara pengaturan transaksi-transaksi ekonomi, banyak aspek pengaturan hukum yang memerlukan untuk ditinjau kembali atau bahkan membuat yang baru. Media yang paling menonjol untuk kegiatan tersebut, di antaranya internet (komputer yang dilengkap dengan modem). Dalam kaitan ini, Hata dalam seminar mengenai Cyberlaw di Bandung mengatakan, internet telah mengubah model bisnis klasik dengan menumbuhkan model-model interaksi antara produsen dan konsumen di pasar elektronik. Para pengusaha lanjut Hata, mampu memulai investasinya dengan lebih mudah dan modal lebih kecil, namun dengan mengakses internet mampu membangun jaringan konsumen di seluruh dunia. SCTV dalam program Usaha Anda, pernah menayangkan sebuah perusahaan di Jakarta yang bergerak di jaringan internet, dengan jangkauan pasar ke seluruh negara. Produk yang dipasarkan pun beraneka ragam, mulai dari meubel sampai pada patung-patung kecil. Dengan demikian, bisnis melalui internet atau yang disebut dengan E-Commerce itu, mencakup produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, pengiriman barang dan jasa. Saat ini, berbelanja melalui internet sudah menjadi sebuah mode baru bagi orang-orang tertentu.
6
Perdagangan secara elektroknik (electronic commerce) ini merupakan isu kunci dalam teknologi informasi yang lintas batas itu. Pada tahun 1977 pemerintahan Clinton mempresentasikan kebijakannya mengenai perdagangan secara elektronik ini dalam kerangka untuk perdagangan global secara elektronik. Prinsip utama dari kebijakan perdagangan secara elektronik Amerika Serikat adalah bahwa sektor swasta seharusnya lebih mempunyai peranan penting daripada pemerintah dalam pengembangan institusi, mekanisme dan inovasi yang akan memungkinkan perdagangan secara elektronik tersebut maju dengan pesat. Kerangka kerja yang telah dibuat itu mengidentifikasi keuangan, hukum, dan isuisu akses pasar bagi perdagangan secara elektronik, termasuk bea cukai dan perpajakan, sistem pembayaran secara eletronik, sebuah undang-undang perdagangan yang seragam (a uniform commercial code), perlindungan hak milik intelektual, privacy, keamanan, sarana telekomunikasi, teknologi informasi, isi dan standar teknik. Itu semua merupakan hal-hal yang penting dalam menjalin hubungan yang efektif antara sektor publik dan swasta sebagai komponen kunci bagi keberhasilan perdagangan secara elektronik tersebut. Namun dibalik kemanfaatan dan kelebihannya, perdagangan melalui internet juga berpotensi menimbulkan kejahatan ekonomi yang dilakukan secara cyber. Kejahatan ekonomi itu menurut Adam Graycar (Dalam Australian Institute of Criminology, No. 202: 1) dapat terjadi dalam berbagai cara, yaitu dapat meliputi perbuatan-perbuatan ketidakjujuran yang ditujukan terhadap konsumen di negaranegara lain, manipulasi kredit-kredit bank di luar negeri untuk mendapatkan dana secara melawan hukum, atau perbuatan curang (fraud) yang ditujukan kepada pemerintah seperti melalui penghindaran pembayaran bea cukai atau perpajakan ketika barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Pencucian hasil kejahatan juga secara biasa ditempatkan melintasi batas wilayah hukum. Melakukan kejahatan lintas batas itu difasilitasi oleh sarana tranfort modern, comunikasi, perbankan dan proses informasi. Kejahatan ekonomi yang dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi, maka muncul apa yang disebut dengan istilah Cybercrime. Adapun yang dimaksud dengan Cybercrime adalah setiap tindakan atau perilaku yang melanggar atau
7
melawan hukum, etika atau tanpa kewenangan yang menyangkut pemrosesan data dan atau pengiriman data. Umumnya, perbuatan tersebut dilakukan dengan atau melalui perangkat digital dalam suatu dunia maya (cyber) (Hukumonline.com, Jum’at, 3 Januari 2003, diakses tanggal 06 Januari 2003). Untuk itu, seiring dengan maraknya kegiatan-kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik, maka bagaimana mengantisipasi perkembangan kejahatan tersebut, atau upaya untuk menanggulangi kejahatan cyber. Salah satu sarana penanggulangan kejahatan di bidang ini dapat dilakukan dengan mengghunakan hukum pidana (penal), terkait dengan masalah ini Sudarto (1983b: 93-94) menulis bahwa dalam bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana, berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada bagian lain Sudarto (1983a: 161-162) menulis bahwa menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan
dayaguna.
Untuk
mencapai
hasil
yang
berhasilguna
dan
berdayaguna, maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Oleh karena itu, apabila mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsionil. Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menulis (1996: 29-30) bahwa kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan pengertian mengenai penanggulangan kejahatan itu sendiri menurut Mardjono Reksodiputro (1994: 84) adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief kebijakan penagggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menulis bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana, merupakan bagian integral
8
dari kebijakan perlindungan masyarakat, serta merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial ini menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Namun demikian, Sudarto (1983a: 90-91) mengingatkan bahwa pengaruh umum dari pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Namun demikian, intensitas pengaruh ini tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela. Misalnya, dalam pelanggaran lalu-lintas, maka ancaman pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana yang berat, tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Dengan demikian, apabila hendak melibatkan pendekatan politik atau kebijakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan cyber, maka dalam kaitan ini sebagaimana yang ditulis oleh Barda Nawawi Arief (1996: 24) bahwa hal itu pada dasarnya bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundangundangan yang dapat dilakukan secara yuridis-normatif dan sistematik-dogmatik, melainkan juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Mengkaji upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, perlu terlebih dahulu disinkronkan dengan isu sentral dalam hukum pidana. Mengenai hal ini, Barda Nawawi Arief (1996: 87) menulis bahwa masalah pokok dalam hukum pidana meliputi: masalah tindak pidana; masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; dan masalah pidana dan pemidanaan. Di samping itu, Packer (1968:17) menulis bahwa dasar rasional dari hukum pidana bersandar pada tiga konsep, yaitu: tindak pidana, kesalahan, dan pemidanaan. Lebih lanjut Packer menulis bahwa ketiga konsep tersebut melambangkan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu: 1) perbuatan apa yang
9
seharusnya dianggap sebagai kejahatan; 2) ketentuan-ketentuan atau syaratsyarat apa yang harus dibuat sebelum seseorang dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana; 3) apa yang seharusnya dilakukan terhadap seseorang yang telah diketahui melakukan tindak pidana. IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Urgensi Indonesia Memiliki Cyberlaw Cyberlaw
adalah sistem hukum nasional yang berkenaan dengan
cyberspace. Dalam keberlakuan cyberspace, suatu ketentuan hukum dapat diawali dengan memberlakukan undang-undang tentang hak asai manusia. Dalam dunia yang serba terbuka ini, kebebasan dalam mengakses informasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, perlindungan atas informasi dalam komunikasi merupakan hal yang harus dihormati dalam cyberspace. Wujud konkretnya adalah kebebasan untuk mengakses, mengelola, mendistribusikan, dan mempergunakan informasi dalam medium elektronika (Edmon Makarim, Indonesia tetap butuh cyberlaw, hukumonline.com, diakses 27 Juli 2001). Di Indonesia, upaya ke arah terbentuknya Cyberlaw sudah dimulai, yaitu dengan
diadakannya
Seminar
Nasional
RUU
Teknologi
Informasi
yang
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Postel Departemen Perhubungan RI bekerjasama dengan Universitas Diponegoro. Saat ini (informasi yang didapat oleh penulis), RUU tersebut sudah sampai pada Draft Ketiga yang disusun oleh Pusat Kajian Cyberlaw Universitas Padjadjaran. Mengingat kejahatan di bidang ini telah terjadi, demikian juga dengan korban yang ditimbulkan, maka sudah saatnya dibentuk perangkat hukum tentang dunia maya (Cyberlaw) sebagai langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang timbul dan sekaligus mengantisipasi berbagai masalah hukum di masa mendatang. Sehubungan dengan telah meluasnya penggunaan sistem komputerisasi dalam berbagai bidang, maka seiring dengan perkembangan tersebut, kejahatan di dunia maya pun cenderung makin meningkat. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh penegak hukum adalah berkaitan dengan harmonisasi hukum pidana negaranegara, lokasi dan identifikasi pelaku lintas batas, dan kecepatan bukti elektronik
10
atas kejahatan yang dilakukan sehingga memungkinkan untuk dibawa ke pengadilan. Dalam kaitan ini Dewan Eropah (the Council of Europe) pada tanggal 29 Juni 2001 mengeluarkan teks akhir Draf Convention on Cybercrime yang merupakan instrumen multilateral pertama disusun untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya kegiatan kejahatan yang menggunakan jaringan computer (US Department of Justice, Computer Crime and Intellectual Property Section, Updated page July 10, 2001: 1). Dalam tahun 1983 OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) melakukan sebuah kajian terhadap kemungkinan permintaan internasional dan harmonisasi hukum pidana untuk menghadapi permasalahan kejahatan komputer atau penyalahgunaan komputer. Tahun 1986, OECD mempublikasikan kejahatan yang berkaitan dengan komputer (Computer-Related Crime): Analisis Kebijakan Hukum (Analysis of Legal Policy), berupa sebuah laporan
penelitian
memperbaharui
di
mengenai sejumlah
adanya
undang-undang
anggota
dan
negara-negara
usulan
untuk
anggota
dan
merekomendasikan agar menurunkan angka penyalahgunaan komputer dan kepada negara-negara anggota harus melakukan pelarangan dan penghukuman dengan hukum pidana, sebagai contoh computer fraud and forgery, the alteration of computer programs and data and the copyright and interception of the communications or other functions of a computer or telecommunication system. Mayoritas anggota Committee on Information, Computer and Communications Policy juga merekomendasikan bahwa perlindungan hukum pidana seharusnya dikembangkan terhadap tipe-tipe penyalahgunaan komputer lainnya, termasuk pencurian rahasia dagang dan tanpa kewenangan memasuki atau menggunakan sistem komputer. Kemudian, pada tahun 1992 OECD membuat panduan untuk keamanan sistem informasi, yang dimaksudkan untuk menyediakan sebuah landasan bagi negara-negara dan sektor swasta dapat membangunan kerangka kerja untuk keamanan sistem informasi. Pada tahun yang sama, Dewan Eropah telah memulai sebuah studi yang akan memusatkan pada prosedural dan isu-isu kerjasama internasional yang berkaitan dengan kejahatan komputer dan teknologi informasi (International Review of Criminal Policy UN Manual on the Prevention
11
and Control of Computer-related Crime, Dalam Eight UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, 27 August-7 September 1990: 4-5) . Dalam pada itu, Economic and Social Council dalam sidangnya di Vienna, 21-30 April 1992, yang dalam rekomendasinya No. 2, hal. 3, mengingatkan: bahwa perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan kontrol terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus diberikan, sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana. Terkait dengan upaya penanggulangan kejahatan ini, dalam beberapa kongres PBB tentang The Crime Prevention and the Treatment of Offender telah diputuskan. Misalnya, dalam kongres PBB ke-6 yang diselenggarakan di Caracas tahun 1980, antara lain dinyatakan: Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana seyogyanya dilihat dalam konteks pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosial dan budaya dan perubahan sosial, seperti dalam konteks tatanan ekonomi internasional baru (Pernyataan No. 1 angka 2, hal. 3). Selanjutnya, dalam kongres PBB ke-7 yang diselenggarakan di Milan tahun 1985, dinyatakan: Mengingat keterjalinan antara pencegahan, pembangunan dan tatanan ekonomi internasional baru, maka perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi dan struktur sosial seharusnya diikuti dengan pembaharuan yang tepat dalam bidang peradilan pidana, yaitu sebagai upaya untuk memastikan kepekaan sistem peradilan pidana terhadap nilai-nilai dasar dan tujuan masyarakat, sesuai dengan aspirasi masyarakat internasional (Annex: Guiding principles for crime prevention and criminal justice in the context of development and a new international economic order, huruf A angka 1: 8). Berdasarkan uraian di atas, maka upaya Indonesia untuk memiliki Cyberlaw tidak terlepas dari dorongan berbagai organisasi internasional agar
12
masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan sarana komputer untuk melakukan kejahatan perlu diatur dalam hukum pidana (kriminalisasi). Namun menurut Muladi (Makalah Seminar: Prospek Pengaturan Cybercrime di Indonesia, 2001: 1), melakukan kriminalisasi tidaklah gampang karena persyaratannya yang berat serta dampak yang ditimbulkannya sangat luas. Persyaratan dimaksud antara lain adalah : 1. adanya draf akademik yang secara komprehensif dapat meyakinkan pengundang-undang tentang betapa pentingnya proses tersebut atas dasar kebutuhan hukum yang berkaitan dengan substansinya. Untuk itu perlu didengar tidak hanya suprastruktur dan infrastruktur masyarakat serta pakar, tetapi juga perbandingan hukum dengan negara lain dalam rangka harmonisasi hukum; 2. adanya kerugian atau korban baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut. Persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh Muladi itu (angka 1) telah banyak seminar yang membahas betapa pentingnya pengaturan kejahatan cyber dalam suatu undang-undang, karena mengingat korban atau kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan jenis tersebut cukup besar. Di samping itu, apabila dikaitkan dengan perkembangan kejahatan cyber di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, memang sudah seharusnya Indonesia memiliki undang-undang yang dapat digunakan untuk menanggulangi kejahatan ekonomi yang dilakukan dengan menggunakan sarana internet. Saat ini, instrumen hukum yang digunakan adalah sebatas pada ketentuan yang tercantum dalam KUHP, yaitu seperti Pasal-pasal tentang pencurian, penggelapan, penipuan dan lain-lainnya, penerapannya cenderung dipaksakan, karena ketika dibuatnya pasalpasal tersebut bukan dirancang untuk menghadapi kejahatan cyber, melainkan untuk kejahatan-kejahatan konvensional. Sehubungan dengan ini, dalam rumusan hasil seminar nasional RUU Teknologi Informasi (Semarang, 26 Juni 2001) antara lain dikemukakan bahwa semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, pengaturannya tidak cukup hanya dengan peraturan perundang-undangan konvensional.
13
Dengan demikian, Indonesia sudah seharusnya memiliki perangkat hukum (Cyberlaw) dalam rangka untuk memerangi perkembangan kejahatan yang dilakukan secara cyber. B. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan dunia teknologi informasi betapapun juga tetap mempunyai sisi negatif, karena dengan kemajuan bidang teknologi informasi telah terbuka kesempatan untuk melakukan kejahatan. Sistem komputer mendorong peluang untuk melakukan pelanggaran hukum baru dan canggih, serta membuat kemungkinan melakukan bentuk kejahatan tradisional dengan cara yang nontradisional. Perluasan yang cepat secara transnasional dari jaringan komputer dalam skala besar dan kemampuan mengakses berbagai sistem melalui jalur telepon regular meningkatkan
kerawanan
sistem ini dan berpeluang bagi
timbulnya kejahatan. Akibat-akibat dari kejahatan komputer dapat menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi seperti biaya tinggi dalam kaitannya dengan keamanan manusia. Mengingat akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan komputer tersebut cukup luas, maka perlu dipikirkan upaya penanggulangannya. Namun, sebelum itu relevan kiranya untuk diketahui terlebih dahulu, yaitu apakah yang dimaksud dengan kejahatan komputer (computer crime). Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena berkaitan dengan pertanyaan kapan pertama kali secara nyata kejahatan komputer itu terjadi. Apabila melihat kepada sejarah bahwa komputer telah digunakan dalam beberapa bentuk sejak ditemukannya aritmatika (abacus) yang diketahui telah ada pada tahun 3500 Sebelum Masehi di Jepang, China dan India. Pada tahun 1801 dengan orientasi untuk mendapatkan keuntungan telah mendorong Joseph Jacquard, seorang
pengusaha paberik tekstil di Perancis
untuk mendisain kartu computer. Dengan alat ini dapat dilakukan secara berulang dalam menenun barang tenunan yang spesial. Jadi kaitannya dengan para karyawan Jacquard, hal itu merupakan ancaman terhadap pekerjaan dan mata pencaharian mereka karenanya melakukan sabotase untuk menghalangi Jacquard menggunakan teknologi baru selanjutnya. Dengan demikian, kejahatan komputer
14
telah dilakukan (Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Definition of computer crime). Sehubungan dengan itu, telah terjadi perdebatan antara ahli seputar apa yang dimaksud dengan kejahatan komputer (computer crime) atau penggunaan komputer untuk melakukan kejahatan (computer-related crime). Bahkan setelah beberapa tahun, tak satupun pengertian dari istilah-istilah tersebut diakui secara internasional. Tentu saja, semua istilah
computer crime dan computer-related
crime akan digunakan secara bergantian. Tidak ada keraguan di antara para penulis dan para ahli yang telah mencoba untuk sampai pada definisi kejahatan komputer yang keberadaannya itu sebagai suatu gejala. Akan tetapi, definisidefinisi yang telah dibuat cenderung berkaitan dengan yang telah mereka tulis. Maksud para penulis menjadi tepat sehubungan dengan ruang lingkup dan penggunaan arti definisi tertentu, sehingga penggunaan definisi di luar dari konteks yang mereka maksudkan sering menimbulkan ketidaktepatan. Dengan demikian, sebuah definisi mengenai kejahatan komputer yang dapat diterima oleh semua orang tidak dapat dicapai. Kejahatan komputer dapat meliputi tindak pidana yang pada umumnya sudah dikenal, yaitu seperti pencurian, penipuan, pemalsuan, semua itu pada umumnya di mana pun juga dikenai sanksi pidana. Komputer pada dasarnya
juga
dapat
digunakan
untuk
melakukan
kejahatan
dengan
menyalahgunakan atau menyimpangkan penggunaannya untuk kejahatan (Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Definition of computer crime.. Meluasnya penggunaan komputer dan perpaduan teknologi komputer dan komunikasi telah merubah secara dramatis makna kehidupan. Teknologi digitas hadir melalui semua aspek kegiatan bisnis. Seiring dengan perkembangan tersebut, maka kejahatan yang berkaitan dengan komputer telah pula meluas, tidak hanya di bidang bisnis (electronic commerce), tetapi juga merambah ke bidang politik, keamanan, dan sebagainya. Sejarah telah menunjukkan bahwa kejahatan komputer dilakukan dengan lingkup yang luas, mulai dari mahasiswa, amatiran, teroris dan anggota kelompok kejahatan terorganisasi. Di samping itu, nilai ekonomi telah berubah atas barang-barang yang dapat dilihat dan berwujud,
15
dengan peningkatan pengetahuan bahwa barang-barang tak berwujud pun merupakan nilai ekonomi yang dapat dimiliki, karenanya telah menjadi sebuah aset ekonomi yang dapat dijadikan sasaran kejahatan. Barang-barang tak berwujud
yang tersimpan dalam format data, yaitu
seperti uang simpanan merupakan sasaran computer-related fraud yang umum sering
terjadi.
Bisnis-bisnis
modern
dengan
cepat
menempatkan
atau
memindahkan uang melalui transaksi deposit pada sistem komputer, hal itu menimbulkan peluang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan komputer (computer abuse). Informasi kartu kredit dan juga informasi pribadi dan keuangan atas anggota kartu kredit (credit-card clients) telah sering menjadi sasaran oleh pelaku kejahatan terorganisir (organized criminal community). Penjualan informasi yang berkaitan dengan bidang ini kepada para pemalsu kartu kredit dan para pemalsu dokumen perjalanan telah membuktikan adanya keuntungan yang luas biasa. Aset-aset yang tersimpan dalam format data sering menghasilkan nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan sasaran aset-aset ekonomi secara tradisonal, dan potensi kerugian ekonomi juga jauh lebih besar. Uraian di atas menunjukkan, bahwa akibat kejahatan komputer atau melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana komputer itu jauh lebih besar dibandingkan dengan kejahatan biasa (konvensional). Oleh karena itu, perlu sarana hukum pidana untuk menekan berkembangnya kejahatan komputer tersebut. Dalam hubungan ini, Konferensi PBB ke-8 tentang the Crime Prevention and the Treatment of Offenders mengemukakan bahwa undang-undang pidana semua negara hingga saat ini lebih diarahkan pada perlindungan terhadap barangbarang yang dapat dilihat dan berwujud. Oleh karena itu, perlindungan terhadap informasi dan barang-barang tak berwujud atau nilai-nilai yang melekat padanya sebelum pertengahan abad ke-20 tidak memainkan peranan penting. Akan tetapi, beberapa
dekade
lalu
telah
disaksikan
perubahan
signifikan
di
mana
pembangunan dari masyarakat industri menuju kepada masyarakat post-industrial, peningkatan nilai informasi dalam ekonomi, budaya dan politik, dan perkembangan penting teknologi komputer telah menimbulkan tantangan hukum dan penyediaan hukum baru yang berkaitan dengan undang-undang informasi. Tahun 1970-an,
16
hasil perubahan paradigma dari benda materi ke non-materi, maka dimulai untuk menyentuh hukum pidana substantif dalam beberapa perundang-undangan yang mengatur mengenai kejahatan komputer. Pembentukan undang-undang, merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masuarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Undang-undang itu mempunyai dua fungsi, yaitu: 1) fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan 2) fungsi instrumental (Sudarto,1983a: 93). Karena itu, jika hendak melibatkan pendekatan kebijakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan
kejahatan,
hendaknya
dilihat
dalam
hubungan
keseluruhan politik kriminal (criminal policy). Ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional (Sudarto, 1983b: 104). Upaya penaggulangan kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan komputer, maka suatu hal yang perlu ditelusuri bagaimanakah perkembangan legislatif dalam menanggulangi kejahatan cyber tersebut. Apabila mengacu pada kongres PBB ke-7 Tahun 1985 sebagaimana telah dikemuykakan di atas bahwa: Mengingat keterjalinan antara pencegahan, pembangunan dan tatanan ekonomi internasional baru, maka perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi dan struktur sosial seharusnya diikuti dengan pembaharuan yang tepat dalam bidang peradilan pidana, yaitu sebagai upaya untuk memastikan kepekaan sistem peradilan pidana terhadap nilai-nilai dasar dan tujuan masyarakat, sesuai dengan aspirasi masyarakat internasional. Kebijakan legislatif yang tercermin dalam RUU tentang Teknologi Informasi (Draft Ketiga) dapat dilihat dalam bagian Menimbang, antara lain disebutkan: bahwa kegiatan manusia yang berbasis pada teknologi informasi berkembang pesat yang menyebabkan perubahan-perubahan mendasar dalam penyelenggaran dan cara pandang terhadap teknologi informasi, yang berpengaruh pada berbagai segi kehidupan. Pengaruh dari kegiatan manusia yang berbasis pada teknologi informasi memiliki indikasi untuk menimbulkan kerugian, baik moral maupun materiil terhadap kepentingan masyarakat dan karenanya negara berkewajiban
17
untuk melindungi kepentingan dimaksud (huruf b dan c). Di samping itu, dalam Penjelasan
Umum
RUU
tersebut
dinyatakan:
Globalisasi
informasi
dan
perdagangan berdampak pada penggunaan teknologi informasi yang semakin meluas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Eksistensi internet, di samping menjanjikan sejumlah harapan, pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lain dengan munculnya kejahatan baru yang lebih canggih. Mengingat akibat yang akan ditimbulkannya itu cukup besar, maka dalam upaya untuk menjaga harmonisasi antara kehendak untuk mendorong para pengusaha dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya dengan tetap menjamin atau menjaga bahwa dalam menjalankan usaha itu tidak merugikan atau mengorbankan kepentingan pihak lain, perlu ada jaminan dalam bentuk undangundang. Karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, RUU telah mengatur hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Hal itu terlihat dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3). Ayat (2) menentukan: Setiap anggota masyarakat berhak untuk mendapat informasi yang benar berkaitan dengan produk yang ditawarkan melalui media elektronik sesuai dengan perundangan yang berlaku. Kemudian, dalam ayat (3) dinyatakan: Setiap pelaku usaha berkewajiban untuk menjalankan aktivitas usahanya dalam perdagangan secara elektronik dengan jujur dan itikad baik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang kemudian ternyata tidak sesuai dengan etika berbisnis yang jujur sebagaimana yang dirumuskan dalam RUU tersebut, yang akibatnya dapat merugikan konsumen? Pertanyaan penting diajukan, karena sebagaimana yang ditulis oleh Sudarto (1983a: 83) bahwa peraturan-peraturan dalam bidang perekonomian, seperti halnya di bidang hukum pada umumnya perlu ditegakkan, karena adanya hukum, pasti ada yang melawannya atau ada pelanggarnya. Untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang potensial dirugikan, diantaranya melalui sarana hukum pidana (penal). Dalam RUU telah
18
diatur pada Bab XI mulai dari Pasal 29 sampai dengan Pasal 39, yaitu dengan ancaman pidana penjara paling tinggi 9 (sembilan) tahun dan minimal 1 (satu) tahun, serta pidana denda paling tinggi Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) dan paling rendah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sistem pemidanaan yang diterapkan atau dianut oleh RUU itu adalah pola maksimal, dan bukan minimal-maksimal sebagaimana dalam RUU tentang KUHP. Pola yang demikian apabila dilihat dari segi kebijakan hukum pidana, maka nantinya tidak akan dapat menghindari adanya disparitas pidana yang mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya. Di samping itu, ancaman pidana yang diatur dalam Bab XI itu lebih mengutamakan pidana pokok yang terdiri dari pidana penjara dan pidana denda. Sedangkan ketentuan mengenai pidana tambahan tidak diatur. Padahal apabila hendak melumpuhkan, dalam arti menanggulangi kejahatan termasuk kejahatan korporasi, tidak cukup hanya dengan mengandalkan ketentuan yang tercantum dalam pidana pokok, tapi juga perlu ditunjang dengan pidana tambahan. Misalnya, harus ada ketentuan yang mewajibkan kepada pelaku untuk memberikan santunan kepada korban dan kewajiban-kewajiban lain sebagai akibat dari kejahatan yang telah dilakukan, atau pun sanksi
berupa: larangan melakukan perbuatan atau aktivitas yang dapat
menyebabkan berlanjutnya atau terulangnya kejahatan; perintah untuk mengakhiri atau tidak melanjutkan kegiatan (untuk sementara/selamanya), pencabutan ijin kegiatan, pembubaran usaha; perampasan kekayaan hasil kejahatan dengan memberi perlindungan hak-hak pihak ketiga yang bonafid (jujur, dapat dipercaya, dan beritikad baik); mengeluarkan atau mendiskualifikasi terpidana dari kontrakkontrak pemerintah, keuntungan fiscal atau subsidi-subsidi; memerintahkan pemecatan manajer dan mendiskualifikasi (membatalkan) tugas dari jabatannya; memerintahkan
terpidana
melakukan
perbuatan
untuk
menghindari kerugian terhadap lingkungan; mengharuskan
memperbaiki
atau
terpidana mematuhi
syarat-syarat atau kondisi yang ditetapkan pengadilan untuk menjamin agar tidak mengulangi
lagi perbuatannya;
memerintahkan
publikasi fakta-fakta
yang
berhubungan dengan putusan pengadilan; memerintahkan terpidana untuk memberi tahu orang-orang yang dirugikan oleh perbuatannya; memerintahkan
19
terpidana untuk memberitahukan kepada publik di semua negara tempat beroperasinya korporasi itu mengenai pertanggungan jawab
atau sanksi yang
dikenakan kepadanya, kepada cabang-cabangnya, kepada para direktur, petugas, manajer atau karyawannya; dan
memerintahkan terpidana untuk melakukan
pelayanan atau kerja sosial (M. Arief Amrullah, Disertasi, 2002: 240-241). Dengan demikian, apabila mengacu kepada Penjelasan Umum RUU alinea ke-2 yang berbunyi: “…mengingat karakteristik internet yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya beroperasi secara maya. Di samping itu, internet juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang tidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum yang berlaku saat ini. Perkembangan ini harus direspon dengan dibuatnya suatu landasan hukum yang komprehensif (cetak miring, pen.) yang mengatur aktivitas teknologi informasi di Indonesia”, maka menggarisbawahi kata komprehensif tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan pidana sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi, dapat dikatakan, bahwa dalam RUU ini masih belum mengatur secara komprehensif ikhwal yang berkaitan dengan transaksi bisnis melalui jaringan internet ini, khususnya perlindungan terhadap mereka yang berpotensi untuk menjadi korban atau pun terhadap mereka yang sudah menjadi korban. Ini berarti, terjadi ketidaksesuaian antara semangat dibuat Draft tersebut dengan apa yang telah terimplementasi dalam pasal-pasalnya.
V. SIMPULAN Sudah menjadi kecenderungan legislatif dewasa ini, di mana hampir semua perundang-undangan administrasi selalu dikawal oleh hukum pidana, termasuk RUU tentang Teknologi Informasi (Draft Ketiga) yang merupakan bidang Perundang-undangan
Administrasi
yang
bersanksi
pidana.
Kebijakan
penanggulangan kejahatan cyber atau kejahatan yang berkaitan dengan komputer (computer-related crime) melalui sarana hukum pidana (penal) sebagaimana yang tercermin dalam dalam RUU ini pada dasarnya adalah sebagai penunjang penegakan norma yang ada dalam RUU tersebut. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu hukum pidana dapat juga lebih fungsional daripada sekedar berfungsi
20
sebagai penjunjang, mengingat kepentingan hukum yang dilindungi sangat besar, yakni sistem ekonomi suatu bangsa (Indonesia). Kendati demikian, suatu hal yang masih perlu dicermati dan perlu diperbaiki atau dikaji ulang sebelum RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang, adalah yang menyangkut pola atau sistem pemidaannya, demikian juga dengan orientasi atau arah dari hukum pidana yang hendak dilindunginya. Perlindungan itu tidak hanya terpokus pada calon korban (pihak yang akan dirugikan), tetapi juga mereka yang sudah menjadi korban. Karena orientasi kebijakan penal dalam RUU lebih mengarah kepada perlindungan masyarakat agar tidak menjadi korban, walaupun itu sebenarnya juga masih lemah. Sedangkan perlindungan terhadap mereka yang sudah menjadi korban (actual victim), masih belum disentuh oleh rumusan pidananya.
21
DAFTAR PUSTAKA Lodge, George C., 1995, Managing Globalization in Interdependence, San Diego-USA: Pfeiffer & Company.
the
Age
of
Muladi, 1997, HaK Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Nawawi Arief, Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. ---------------------------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. -----------, 1983a, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. -----------, 1983b, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: kajian terhadap pembaharuan hukum pidana, Bandung: Sinar Baru. Singh, Kavaljit, 1998, Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan untuk Memperkuat Rakyat, Kata Pengantar, Sonny Keraf: Jakarta: Yakoma – PGI. Instrumen Internasional The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Caracas from 25 August to 5 September 1980. The Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Milan, Italy, from 26 August to 6 September 1985. United Nations, Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Strengthening Exsisting International Cooperation in Crime Prevention and Criminal Justice, Including Technical Cooperation in Developing Countries, With Special Emphasis on Combating Organized Crime, Vienna, 21-30 April 1992. Rancangan Undang-undang RUU tentang Teknologi Informasi (Draft Ketiga) 2001. Disertasi M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2002.
22
Jurnal Graycar, Adam, Dalam Australian Institute of Criminology, trends and issues in crime and criminal justice, Bullying and Victimisation in School: A Restorative Justice Approach, No. 219, Pebruari 2002, hal 2-3. http://www.aic.gov.au Panos, Globalisation and Employment, New opportunities, real threats, Dalam Panos Briefing No. 33, May 1999. Orasi Ilmiah Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Makalah Seminar Hata,
Beberapa Aspek Pengaturan Internasional E-Commerce serta Dampaknya bagi Hukum Nasional, Seminar Nasional Cyberlaw, Diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 9 April 2001.