Penanganan Pasca Panen Penyimpanan untuk Komoditas Hortikultura Jhon David H, STP dan Juliana C. Kilmanun Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Jalan Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu Pontianak E-mail :
[email protected] Abstrak Komoditas Hortikultura merupakan sumber provitamin A, vitamin C, dan mineral dan terutama dari kalsium dan besi. Selain itu juga merupakan sumber serat yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Komoditas hortikultura dapat juga memberikan kepuasan terutama dari segi warna dan teksturnya. Disisi lain komodtas hortikultura masih melakukan pernafasan setelah panen sehingga apabila selesai dipanen tidak ditangani dengan baik akan segera rusak. Kerusakan ini terjadi akibat pengaruh fisik, kimiawi, mikrobiologi, dan fisiologis. (Hotton,1986) Walaupun perubahan ini pada awalnya menguntungkan yaitu terjadinya perubahan warna, rasa, dan aroma tapi kalau perubahan ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan maka pada akhirnya akan merugikan karena bahan akan rusak/busuk dan tidak dapat dimanfaatkan. Di Indonesia, hortikultura yang tidak dapat dimanfaatkan diistilahkan sebagai “kehilangan” (losses) mencapai 25-40%(Muhtadi,1995) Nilai ini sangat besar bila dibandingkan dengan negara-negara maju, dibawah 25 % (Hotton,1986) Kata kunci : Hortikultura, pascapanen, penyimpanan,
Pendahuluan Komoditas hortikultura pascapanen adalah merupakan produk hidup yang masih aktif melakukan aktifitas metabolismenya. Hal ini dicirikan dengan adanya proses respirasi yang masih berjalan seperti halnya sebelum produk tersebut dipanen. Keragaman akan laju respirasi pascapanennya sering dijadikan sebagai indicator tingkat laju kemunduran dari produk tersebut. Semakin tinggi tingkat laju respirasinya maka semakin cepat laju kemunduran dan semakin cepat kematian yang terjadi. Disamping itu, keragaman akan kondisi fisik-morfologis buah dan sayuran mencirikan pula akan kepekaannya terhadap kerusakan mekanis dan patologis. Kerusakan mekanis meliputi benturan (impact), tekanan (compression) dan getaran (vibration). Kerusakan patolgis adalah diakibatkan oleh serangan mikroorganisme patogenik terutama oleh cendawan dan bakteri. Kondisi fisik-morfologis produk juga berpengaruh terhadap traspirasi atau penguapan air dari produk itu sendiri. Seperti halnya sayuran daun dimana rasio antara volume dan berat yang tinggi cenderung transpirasi berjalan tinggi. Sebaliknya produk seperti buah-buahan dimana rasio tersebut lebih rendah maka transpirasi berjalan lebih lambat. Kehilangan berat sebanyak 5% akibat transpirasi untuk produk sayuran dan 10% untuk buah maupun umbi-umbian berakibat pada berkurangnya nilai komersial secara berarti (I Made S Utama, 2006) Mutu menjadi sangat penting untuk dapat mencitrakan produk tersebut seperti diinginkan oleh konsumen. Mutu dari produk yang akan dijual sangat tergantung pada kondisi produk tersebut saat penerimaan dan pengelolaan pascapanennya di pusat-pusat penjualan ritel. Terlebih lagi keharusan untuk melakukan penyimpanan untuk dapat menyediakan produk tersebut selalu ada, maka keterlibatan teknologi penanganan yang memadai harus selalu mendapatkan perhatian dan sebagai konswekwensinya harus disediakan biaya untuk keterlibatan teknologi tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1015
I.
Penangangan Pasca Panen Hortikultura Komoditas hortikultura harus sesegera mungkin diberi penanganan pasca panen agar
kualitasnya tetap terjaga dan memperkecil berbagai bentuk kehilangan (Kasmire, 1985). Secara spesifik penanganan pasca panen dalam penyimpanan terhadap komoditas hortikultura meliputi factor-faktor penyimpanan, penyimpanan dingin dan penyimpanan atmosfer terkendali. Penanganan pasca panen hasil hortikultura yang umumnya dikonsumsi segar dan mudah “rusak” (perishable), bertujuan mempertahankan kondisi segarnya dan mencegah perubahanperubahan yang tidak dikehendaki selama penyimpanan, seperti pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, batang bengkok, buah keriput, polong alot, ubi berwarna hijau (greening), terlalu matang, dll. Perlakuan dapat berupa: pembersihan, pencucian, pengikatan, curing, sortasi, grading, pengemasan, penyimpanan dingin, pelilinan, dll (Mutirawati, 2007) Untuk menekan kehilangan tersebut perlu diketahui : Sifat biologi hasil tanaman yang ditangani : struktur dan komposisi hasil tanaman Dasar-dasar fisiologi pasca panen : respirasi, transpirasi, produksi etilen Teknologi penangan pasca panen yang sesuai Kehilangan air dapat berakibat terhadap kehilangan secara qualitatif dan kuantitatif dari produk. Mengurangi kenampakan karena pelayuan dan pengkerutan, mengurangi sukulensi karena turgiditas menurun, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya juiceness, semuanya adalah kehilangan kualitatif. Untuk produk-produk yang dijual berdasarkan berat, maka kehilangan air adalah bersifat kuantitatif. Sekitar 5% kehilangan berat dibutuhkan untuk mengurangi potensi pasar dari sayuran berdaun, dan sekitar 10% untuk produk lainnya seperti apel dan kentang (Hardenberg et al, 1986). II.
Respirasi Secara fisiologis bagian tanaman yang dipanen dan dimanfaatkan untuk konsumsi segar
adalah masih hidup, dicirikan dengan adanya aktivitas metabolisme yang dinamakan respirasi (Salunkhe dan Desai, 1984). Respirasi berlangsung untuk memperoleh energi untuk aktivitas hidupnya. Dalam proses respirasi ini, bahan tanaman terutama kompleks karbohidrat dirombak menjadi bentuk karbohidrat yang paling sederhana (gula) selanjutnya dioksidasi untuk menghasilkan energi. Hasil sampingan dari respirasi ini adalah karbondioksida (CO2), uap air (H2O) dan panas. Semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan produk akan cepat menjadi layu. Sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai index yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar (Ryal dan Lipton, 1972). Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya tergantung pada struktur morfologi dan tingkat perkembangan jaringan bagian tanaman tersebut (Kays, 1991). Secara umum, sel-sel muda yang tumbuh aktif cenderung mempunyai laju respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih tua atau sel-sel yang lebih dewasa. Respirasi setelah panen haruslah dipandang sebagai berikut (Story and Simona, 1989): Karbohidrat tersimpan yang dihasilkan oleh proses fotosintesis tidak lagi dihasilkan (pada kebanyakan produk) setelah panen. Maka penggunaan karbohidrat ini setelah panen akan menurunkan nilai produk sebagai sumber karbohidrat dan beberapa perubahan mutu akan terjadi. Oksigen (O2) dibutuhkan untuk proses respirasi. Suplai O2 harus dijaga untuk tetap terjadi ke dalam sel produk jika diinginkan produk tersebut masih tetap hidup. Karbondioksida (CO2) dihasilkan. Gas ini harus dilepaskan, biasanya dengan pengaturan ventilasi yang baik. Air (H2O)
1016
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
dihasilkan. Air ini berpengaruh terhadap komposisi dan tekstur dari produk. Respirasi memproduksi panas. Setiap gram berat molekul glukosa yang direspirasikan menghasilkan 673 joules energi panas. Panas yang dihasilkan ini menyebabkan masalah selama pendistribusian produk hortikultura tersebut Tabel 1. Pengelompokan komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasi Kelompok Sangat rendah
Laju Respirasi pada 5OC (mg/CO2/kg/jam) <5
Rendah
5 – 10
Sedang
10 – 20
Tinggi Sangat tinggi Sangat-sangat tinggi
20 – 40 40 – 60 > 60
Komoditi Sayuran, kacang-kacangan, buah kering Apel, jeruk, anggur, bawang, kentang Pisang, kubis, wortel, selada, cabe, tomat Stroberi, kol kembang, apokat Bawang, bunga potong Asparagus, brokoli, bayam, jagung manis
Sumber : Phan, et al. 1975
Atas dasar laju dan pola respirasi dan pola produksi etilen selama pematangan dan pemasakan, komoditi hortikultura (terutama yang berbentuk buah) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu buah klimaterik dan non-klimaterik. Klimaterik menunjukkan peningkatan yang besar dalam laju produksi karbondioksida (CO2) dan etilen (C2H4) bersamaan dengan terjadinya pemasakan. Sedangkan non-klimaterik tidak menunjukkan perubahan, umumnya laju produksi karbondioksida dan etilen selama pemasakan sangat rendah.
III. Penyimpanan Hortikultura Penyimpanan komoditi hortikultura pada dasarnya merupakan usaha untuk mempertahankan komoditi (panenan) tersebut dari sejak dipanen hingga saatnya digunakan. Oleh karena itu, maka penyimpanan juga berarti upaya mempertahankan komoditi panenan tetap dalam kondisi segar dan sekaligus masih memiliki kualitas yang baik. Penyimpanan dimaksud adalah penyimpanan pada kondisi suhu dingin dan penyimpanan pada kondisi atmosfir terkendali. Penyimpanan tersebut diperlukan terutama bagi komoditi hortikultura yang mudah mengalami kerusakan setelah memasuki periode pasca panen, karena cara penyimpanan tersebut dapat mengurangi laju respirasi dan metabolisme lainnya, mengurangi proses penuaan, mengurangi kehilangan air dan pelayuan, mengurangi kerusakan akibat aktivitas mikroba, dan mengurangi proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki seperti pertunasan. Keuntungan dari pelibatan teknologi pascapanen seharusnya tidak hanya dilihat dari harga jual produk, namun juga dilihat dari tingkat penyusutan dan kemampuan akses pasar (Kitinoja and Kader, 1995). IV. Faktor-Faktor Dalam Penyimpanan Agar supaya penyimpanan komoditi panenan hortikultura dapat berjalan baik sesuai dengan yang diharapkan yaitu dapat memperpanjang masa kesegaran komoditi bersangkutan, maka dalam penyimpanan diperlukan adalah pengetahuan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyimpanan tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi suhu, kelembaban udara, Komposisi atmosfir (udara), dan kualitas bahan yang disimpan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1017
a.
Suhu Suhu dalam penyimpanan seharusnya dipertahankan agar tidak terjadi kenaikan dan
penurunan. Biasanya dalam penyimpanan dingin, suhu dipertahankan berkisar antara 1OC sampai dengan 2OC. Penyimpanan yang mendekati titik beku mungkin saja diperlukan interval suhu yang lebih sempit. Suhu di bawah optimum akan menyebabkan pembekuan atau terjadinya chilling injury, sedangkan suhu di atas optimum akan menyebabkan umur simpan menjadi lebih singkat. Fluktuasi suhu yang luas dapat terjadi bilamana dalam penyimpanan terjadi kondensasi yang ditandai adanya air pada permukaan komoditi simpanan. Kondisi ini juga menandakan bahwa telah terjadi kehilangan air yang cepat pada komoditi bersangkutan. Bilamana terdapat berbedaan suhu yang terlalu besar dalam ruangan, maka keadaan tersebut dapat diatasi dengan menyertakan dinding penyekat atau dengan mempertahankan sirkulasi udara yang cukup di dalam ruang simpan. Kecepatan gerakan atau sirkulasi udara yang dapat memberikan keuntungan atau tercapainya kondisi yang tetap (stabil) berkisar antara 0,25 sampai dengan 0,33 m/detik atau berkisar 50 sampai dengan 75 feet/menit. Tabel 2. Kondisi penyimpanan dingin beberapa jenis sayuran Jenis Sayuran Asparagus Buncis Bit Kubis Wortel Bunga kol Seledri Jagung manis Mentimun Terung Bawang putih Lobak Jamur Cabai
Suhu Penyimpanan (°C) 0 - 2,2 4,4 - 7,2 0 0 0 0 0 0 7,2 - 10 7,2 - 10 0 -1,1 - 0 0 7,2 - 10
Kelembaban (RH, %) 95 90 - 95 95 90 - 95 90 - 95 90 - 95 90 - 95 90 - 95 90 - 95 90 65 - 70 90 - 95 90 90 - 95
Umur Simpan (hr, mg, bln) 2 – 3 minggu 7 - 5 hari 3 - 10 bulan 3 - 6 minggu 4 - 6 minggu 2 - 4 minggu 2 - 3 bulan 4 - 8 hari 10 - 14 hari 1 minggu 6 - 7 bulan 10 - 12 bulan 3 - 4 hari 2 - 3 minggu
Sumber : Soesarsono (1976) Phan,Ogata(1986)
Untuk memperoleh hasil penyimpanan yang baik, suhu suhu ruang pendingin harus dijaga agar tetap konstan, tidak berfluktuasi. Hal ini dapad diatasi dengan penggunaan isolator ruangan dan tenaga mesin pendingin yang cukup. Cara penumpukan yang tepat dan sirkulasi udara yang cukup sangat membantu memperkecil variasi suhu. Kelembaban nisbi dalam ruangpenyimpanan dingin secara langsung mempengaruhi mutu sayuran yang disimpan. Jika kelembaban rendah maka akan terjadi pelayuan atau pengkeriputan, dam jika kelembaban terlalu tinggi akan merangsang proses pembusukan karena kemungkinan terjadi kondensasi air. Udara dalam ruang pendingin perlu disirkulasikan agar suhu ruangan dapat merata. Untuk itu jarak tumpukan harus sedemikian rupa agar tidak menghalangi arus udara dingin.Beberapa jenis sayuran tidak toleran terhadap suhu rendah, sehingga akan mengalami kerusakan yang dikenal sebagai kerusakan dingin (chilling injury). Tabel 2 memperlihatkan beberapa jenis sayuran yang dapat mengalami kerusakan, dingin.
1018
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Tabel 3. Kerusakan sayuran yang disimpan pada suhu rendah Jenis Sayuran Buncis Mentimun Terung Kentang Waluh Ubi jalar Tomat (matang) Tomat (hijau)
Suhu (°C) 7,2 7,2 7,2 3,3 10 12 , 8 7,2 – 10 12 , 8
Tanda Kerusakan Dingin Bercak-bercak hitam dan kecoklatan Kulit buah melepuh, terdapat lubang noda dan busuk Kulit buah melepuh, busuk Alternaria Pencoklatan, timbul rasa manis Busuk (alternaria) Busuk, lubang cacat, penyimpangan warna umbi Pelunakan, berair, busuk Warna jelek bila matang, busuk (alternaria)
Sumber : Soesarsono (1976)
b.
Kelembaban Untuk kebanyakan komoditi yang mudah rusak, kelembaban relatif dalam penyimpanan
sebaiknya dipertahankan pada kisaran 90 sampai 95%. Kelembaban di bawah kisaran tersebut akan menyebabkan kehilangan kelembaban komoditi. Kondisi ini tidak diinginkan karena merugikan. Kelembaban yang mendekati 100% kemungkinan akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme lebih cepat dan juga menyebabkan permukaan komoditi pecah-pecah. Komoditi hortikultura setelah panen yang diletakkan dalam udara terbuka akan mengalami keseimbangan kadar air bahan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air dalam keadaan seimbang ini disebut kadar air keseimbangan atau Equilibrium Moisture Content. Setiap kelembaban relatif atau kelembaban nisbi atau sering disingkat sebagai RH, dalam suatu ruangan penyimpanan menghasilkan kadar air seimbang tertentu untuk suatu komoditi simpanan. Untuk tiap jenis komoditi memiliki kepekaan atau tanggapan yang berbeda-beda terhadap kelembaban relatif. Bagi komoditi hortikultura yang mudah rusak, maka penyimpanan sebaiknya memeiliki kelembaban relatif berkisar antara 80 sampai dengan 90 persen. Seperti diketahui bahwa kebanyakan buahbuahan dan sayuran maupun bunga potong mengandung air berkisar antara 85 sampai dengan 90 persen berat keseluruhan bahan. Komoditi tersebut akan mengalami kehilangan air secara terus menerus seiring dengan berjalannya waktu setelah panen. Kehilangan air yang berlebihan mengakibatkan komoditi akan layu, kisut/keriput, liat, dan tidak beraroma maupun berasa yang menarik. Kehilangan air tersebut sebenarnya dapat dikurangi atau ditekan, yaitu dengan cara sebagai berikut :
Memepertahankan RH tetap tinggi,
Menurunkan suhu,
Memberikan aliran udara yang cukup untuk menghilangkan panas udara di sekitar komoditi akibat respirasi, dan
Melapisi komoditi dengan bahan pelapis seperti lilin dan khitosan maupun dengan pembungkusan.
c.
Komposisi atmosfir Komposisi udara atau atmosfir tempat atau ruangan penyimpanan sebaiknya dikendalikan
agar komoditi yang disimpan tidak menghasilkan maupun mengonsumsi gas. Jenis gas yang tidak dikehendaki berada dalam konsentrasi yang tinggi dapat dibuang atau dikurangi dengan cara menyerapnya menggunakan air atau kapur. Etilen dan senyawa volatile lainnya dapat dibuang dari ruang simpan dengan menggunakan KmnO4, katalisator oksidasi atau cahaya UV. Oksigen dapat dibuang dengan menggunakan proses pembakaran atau penyaringan molekuler. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1019
d.
Kualitas Bahan Penyimpanan bertujuan untuk memberikan arti bagi upaya memperpanjang masa
kesegaran, maka hendaknya sayuran, buah-buahan maupun bunga potong yang akan disimpan terbebas dari luka atau lecet maupun kerusakan lainnya. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kehilangan air. Buah-buah yang telah memar dalam penyimpanannya akan mengalami susut bobot hingga empat kali lebih besar bila dibandingkan buah-buah yang utuh dan baik. Komoditikomoditi tersebut juga sebaiknya dalam kondisi tingkat kematangan optimal, jangan yang terlalu muda (immature) maupun tua (over ripe). Tiap jenis komoditi memiliki sifat atau karakteristik penyimpanan tersendiri. Sifat-sifatnya selama dalam penyimpanan dapat juga dipengaruhi oleh varietas, iklim atau kondisi agronomi tempat tumbuh, cara budidaya maupun cara panenan. Jika komoditi yang akan disimpan memiliki kondisi tidak baik tentunya penyimpanan juga tidak mungkin dapat memperbaiki kondisi komoditi yang telah jelek tersebut, bahkan upaya penyimpanan justru dapat menambah kerugian dalam penanganan pasca panennya. V.
Penyimpanan Dingin Penyimpanan dikatakan efektif jika dapat memperpanjang atau mempertahankan umur
kesegaran yang lebih lama, maka diperlukan pengaturan suhu penyimpanan. Biasanya suhu yang dikehendaki agar dapat mempertahankan kesegaran komoditi selama penyimpanan adalah suhu rendah atau suhu dingin, sehingga penyimpanan yang dikenal adalah penyimpanan dingin. Melalui penyimpanan dingin, beberapa keuntungan dapat diperoleh seperti memperpanjang masa simpan atau kesegaran komoditi, memperluas daerah pemasaran, dan menghasilkan produk pasar yang lebih memuaskan. Seperti diketahui bahwa suhu produk (komoditi) dipengaruhi oleh aktivitas respirasi. Secara normal, respirasi yang lambat dikehendaki agar tidak membahayakan jaringan sehingga prose kematian ataupun kerusakan dapat dihambat. Penurunan setiap 10OC atau 18OF akan mengurangi laju respirasi hingga 2 sampai 4 kali. Pendinginan yang baik dan pengelolaan suhu hingga mencapai pada titik terendah atau titik kritisnya tentunya akan memberikan pengaruh nyata terhadap pemhambatan atau penekanan laju respirasi yang pada akhirnya dapat menghambat proses perusakan. Pengendalian suhu adalah cara yang paling penting untuk menjaga mutu produk hortikultura pascapanen. Dengan pengendalian suhu yang baik maka segala aktivitas dalam produk yang menuju pada kerusakan atau kematian dapat diperlambat. Perlakuan-perlakuan pascapanen adalah hanyalah prosedur tambahan untuk mengoptimalkan pengaruh suhu terhadap penghambatan kerusakan pada produk. Walaupun perlakuan pascapanen (diluar perlakuan suhu) secara tunggal mampu pula menghambat perubahan-prubahan spesifik pada produk, namun hambatan-hambatan tersebut tidaklah seoptimal bila digabungkan dengan pengendalian suhu. 5.1.
Pengelolaan suhu Pengelolaan suhu dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama adalah fase pendinginan untuk
melepaskan panas lapang dan kedua adalah menjaga produk pada suhu optimum selama pendistribusiannya. Kebanyakan produk, terutama yang mempunyai laju respirasi sangat tinggi, memerlukan pendinginan segera setelah panen dilakukan untuk memaksimumkan retensi mutu dan masa simpan. Pengelolaan suhu yang baik mulai dari panen dan berlanjut pada periode pendistribusiannya akan mampu lebih memaksimalkan retensi mutu dan masa simpan. Suhu optimal akan bervariasi untuk masing-masing jenis produk. Umumnya semakin rendah suhu, sampai tanpa menimbulkan kerusakan, semakin besar pula pengaruhnya terhadap:
1020
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Laju respirasi Laju kehilangan air Aktivitas patologi Aktivitas insekta Pertumbuhan dan perkembangan pascapanen Produksi etilen. Sebelum kita melihat lebih jauh tentang teknik pendinginan, adalah penting untuk memahami prinsip-prinsip pendinginan produk hortikultura segar. Pada dasarnya kita menginginkan laju pendingiann yang cepat dan lambatnya laju penghangatan bila menangani produk segar. Untuk meyakinkan pendinginan yang cepat dan penghangatan dapat dicegah, ruang penyimpanan dingin harus mampu secara aktif menampung dan melepaskan beban panas yang dihasilkan dari berbagai sumber panas. Laju pendinginan sangat ditentukan oleh: Perbedaan suhu dari produk dan pendingin atau coolant. Banyaknya kontak yang dicapai antara produk dan coolant. Konduktivitas termal dari produk dan pengemas 5.2.
Teknik Pendinginan Banyak cara untuk mendinginkan produk setelah panen. Teknik pendinginan dapat menggunakan udara, air, evaporasi air dan es sebagai coolant. Tabel 3 menunjukkan lima cara pendinginan produk dengan spesifikasi produknya. Tabel 4. Teknik pendinginan dan kesesuaian produk Teknik Pendinginan Room cooling Forced-air cooling Hydro-cooling Vacuum cooling Package icing
Kesesuaian Produk Hanya produk yang mempunyai keringkihan sangat rendah sampai rendah Buah-buahan, sayur buah, umbi, bunga potong, sayuran bunga. Batang, sayuran daun, beberapa buah dan sayuran buah. Sayuran daun, beberapa batan dan sayuran bunga Akar-akaran, beberapa sayuran bunga, batang, beberapa sayuran daun
A. Room cooling Room cooling merupakan teknik penyimpanan dingin yang paling banyak digunakan. Penerapan teknik ini dapat dilakukan saat sesaat setelah panen yaitu masih di lapang produksi sampai pada saat pengiriman. Teknik pendinginan dapat dilakukan dengan mengalirkan udara dingin ke dalam ruangan penyimpanan. Dapat pula dilakukan dengan mengalirkan udara dingin yang melalui beberapa kotak kemas di dalam suatu ruangan penyimpanan. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil pendinginan yang baik, maka aliran udara dingin yang bergerak secara horizontal diupayakan mengenai atau kontak langsung ke seluruh permukaan atau sisi kotak-kotak kemas yang disusun di dalam ruang penyimpanan. Aliran udara diatur agar berkisar 61 sampai dengan 122 m/menit atau antara 200 sampai dengan 400 feet/menit. Kisaran kecepatan aliran udara tersebut diperlukan untuk memperoleh gerakan udara yang dapat memindahkan panas. Ventilasi kotak atau wadah simpan komoditi diatur sedemikian rupa agar dapat mempercepat pendinginan ruana dalam kotak melalui perolehan pertukaran udara yang baik.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1021
b. Forced-air cooling = pressure cooling Sistim pendinginan ini dapat berfungsi dikarenakan adanya perbedaan tekanan yang menyebabkan udara mengalir melalui ventilasi wadah (kontainer). Dicapainya pendinginan yang cepat, karena adanya kontak antara udara dingin dengan komoditi yang disimpan (biasanya bersuhu lebih tinggi atau panas). c. Hydro cooling Penggunaan air dingin untuk mempercepat pendinginan buah dan sayuran dalam wadah simpan merupakan teknik pendinginan yang telah berkembang cukup lama dan juga merupakan teknik pendinginan yang efektif. Teknik ini digunakan untuk pendinginan buah dan sayuran dalam peti sebelum dipaking. Oleh karena itu, maka bahan wadah harus tahan terhadap air (kebasahan). Walaupun cukup efektif untuk mendinginakan komoditi yang disimpan, namun untuk selang beberapa waktu, air pendingin akan berangsur-angsur menjadi hangat kembali sehingga pada saat ini mungkin saja diperlukan lagi pengemasan ulang karena diperlukannya memasukkan air pendingin lagi. Jadi efisiensi pendinginan akan diperoleh hanya jika terdapat sumber air pendingin otomatis yang dihubungkan dengan wadah penyimpanan komoditi bersangkutan. d. Vacuum cooling Teknik penyimpanan dingin ini efektif untuk penyimpanan sayuran daun seperti kol kembang, seledri dan lain sebaginya. Bagi komoditi wortel, teknik ini dapat digunakan sekalian untuk pembersihan permukaan umbi. Pada beberapa komoditi, teknik ini diharapkan dapat segera mengeringkan bagian-bagian yang berukuran kecil yang bukan merupakan organ yang dimakan dari komoditi bersangkutan. Pendinginan diperoleh dengan cara mengurangi tekanan atmosfir di dalam wadah (ruangan) yang besar dan kuat. Biasanya terbuat dari bahan baja. Pengurangan tekanan atmosfir juga mengurangi tekanan uap air dalam wadah (kontainer). Apabila tekanan uap air dalam kontainer berkurang hingga di bawah yang ada di ruangan antar sel, maka air akan mengalami evaporasi dari komoditi. Teknik vacuum cooling dapat menyebabkan kehilangan berat (umumnya air) sebesar 1% untuk setiap pendinginan (penurunan suhu) sejumlah 6OC. Jumlah kehilangan berat dapat terjadi cukup e. Package icing Beberapa komoditi didinginkan dalam penyimpanannya dengan cara memasukkan sejumlah es ke dalam wadah paking. Jumlah es sangat tergantung pada suhu awal komoditi. Awalnya kontak langsung antara komoditi yang disimpan dengan es akan menyebabkan pendinginan yang cepat. Lambat laun, es akan mencair dan saat itu terjadi, pendinginan lambat laun semakin lamban. Es yang diberikan atau dimasukkan dalam wadah simpan dapat berupa bongkahan es ataupun hancuran es batu beserta sedikit air. Karena es langsung dimasukkan dalam wadah, maka persyaratan bahan wadah haruslah tahan air dan tidak mudah bocor merupakan hal yang harus diperhatikan. Untuk skala kecil, teknik penyimpanan dingin ini masih dapat dilakukan secara manual, namun bilamana dalam skala yang besar, maka diperlukan pengaturan otomatis . 5.3.
Penyimpanan Atmosfir Terkendali Mengkombinasikan penyimpanan dingin dengan pengurangan konsentrasi oksigen dan peningkatan konsentrasi karbondioksida dalam ruang penyimpanan akan memberikan hasil
1022
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
penyimpanan yang sangat baik. Proses kerusakan baik aspek fisiologis maupun mikrobiologis akan efektif dihambat. Teknik penyimpanan ini ditemukan oleh Kidd dan West (1920-an) dan kemudian dikembangkan oleh Phillip (1940-an) yang dikenal sebagai Penyimpanan Atmosfir Terkendali (Controlled Atmosphere Storage = CA-storage). Selain itu, berkembang pula teknik penyimpanan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Penyimpanan Atmosfir termodifikasi (Modified Atmosphere Storage = MA-storage), Self Controlled Atmosphere Storage (SCA-storage), CO2treatment, dan Low Pressure (LP) atau dikenal sebagai Hypobaric Storage. Seperti telah dijelaskan di atas, pada CA-storage, konsentrasi oksigen dikurangi sedangkan konsentrasi karbondioksida ditambahkan dengan sengaja ke dalam wadah (kontainer) simpan. Lain halnya dengan MA-storage, kondisi atmosfir dimodifikasi oleh wadah tertutup. Kandungan oksigen dikurangi oleh komoditi yang disimpan melalui respirasi. Sedangkan konsentrasi gas karbondioksida ditentukan oleh permeabilitas lapisan (film) yang ada dalam wada, respirasi, suhu, dan kondisi penutupan wadah. Untuk lebih memperpanjang masa simpan sayuran (dan juga buah-buahan), dikembangkan cara penyimpanan pada atmosfir terkendali atau termodifikasi (controlled atmosphere storage, CAS; dan modified atmosphere storage, MAS). Tabel 4 diperlihatkan contoh kondisi penyimpanan pada atmosir terkendali untuk beberapa jenis sayuran. Tabel 5. Kondisi penyimpanan sistem atmosfir terkendali Jenis Sayuran Buncis
Keterangan Kombinasi O2 rendah (2-3%) dan CO2 tinggi dapat menghambat terjadinya penguningan pada suhu 7°C. Kandungan CO2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan rasa dan bau yang tidak dikehendaki.
Brokoli
Penyimpanan pada CO2 tinggi (5-20%) dapat mempertahankan warna hijau dan tekstur serta diperlambatnya pertumbuhan kapang.
Kubis
Konsentrasi O2 (1-2, 5%) dan CO2 (5, 5%) dapat menghambat penuan, kehilangan rasa dan bau serta penguningan dan penurunan timbulnya bercak akibat virus.
Tomat
Konsentrasi O2 (3%) tanpa CO2 pada suhu 13°C dapat mempertahankan warna dan rasa serta bau selama 6 minggu.
Wortel
Wortel dapat disimpan selama 6 bulan pada suhu 2°C dengan konsentrasi O2 rendah (1-2%).
Kacang panjang
Konsentrasi O2 (9-12%) dan CO2 (2-8%) pada suhu 15°C dapat mempertahankan kesegaran sampai 15 hari
Sumber : Pantastico(1973) Halid (1991)
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan metode penyimpanan dingin dengan pengaturan konsentrasi oksigen dan karbon dioksida di dalam ruang pendingin. Pada prinsipnya sistem penyimpanan CAS dan MAS dilakukan dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen dan meningkatkan konsentrasi gas karbon dioksida. Perbedaan CAS dan MAS adalah: CAS dilakukan dalam suatu ruangan penyimpanan, sedangkan MAS cukup dalam wadah tertutup (misalnya kantong plastik). Kecepatan respirasi dan metabolisme sayuran yang disimpan dengan sistem CAS atau MAS akan menurun bukan hanya akibat pengaruh suhu rendah, tetapi juga Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1023
karena konsentrasi oksigen yang rendah dan konsentrasi gas karon dioksida yang tinggi. Yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar konsentrasi oksigen tidak terlalu rendah, karena akan menyebabkan terjadinya fermentasi dan kebusukan. Kesimpulan 1.
Penanganan pasca panen produk hortikultura adalah hal sangat penting dilakukan mengingat bahan ini cepat rusak dalam waktu relatif singkat. Satu hal yang layak diusulkan adalah penggunaan sistem penyimpanan terintegrasi dimana dipadukan pendinginan terkontrol dengan transportasi (moveable storage) sehingga komoditas cepat sampai konsumen dalam keadaan masih segar.
2.
Berbagai penelitian telah merekumendasikan berbagai cara penerapan pasca panen hortikultura yang walaupun cukup efektif namun tetap saja tidak berhasil secara optimal mencegah kerusakan komoditi dalam waktu penyimpanan yang panjang. Hal tersebut disebabkan banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap kualitas komoditas tersebut. Usaha perbaikan mutu hortikultura sampai saat ini tetap dilakukan baik dikalangan ilmuan maupun pada pelaku industri.
Daftar Pustaka Bourne, M.C. : “Overview of Postharvest Problem in Fruits and Vegetables”. Sec. Edition, National Academy Press, Washington DC. 1999. Eckert, J.W. 1978. Pathological disease of fresh fruit and vegetables. In Postharvest Biology and Biotechnology. Hultin, H.O. and Miller, N (eds). Food and Nutrition Press, Westport, Connecticut:161-209. Hardenberg, R. E., Watada, A. E. and Wang, C. Y. 1986. The Commercial Storage of Fruits, Vegetables, Florist and Nursery Stocks. USDA Agric. Handbook No. 66. USDA Washington Hatton, T.T., Pantastico, E.B, : “Persyaratan Masing-Masing Komoditi”. dalam Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayuran Tropika dan Sub Tropika. Terjemahan oleh Prof.Ir.Kamariyani, UGM 1986. Kasmire, R.F. : “Postharvest Technology of Horticultural Crops”. The Regents of University of California, Devision of Agriculture and Natural Resources. 1985. I Made S Utama, 2006. Pentingnya Teknologi Pascapanen Dalam Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura Indonesia”. Diselenggarakan dalam rangka Ulang Tahun Fakultas Teknologi Pertanian ke 22 dan Dies Natalis Unud ke 44 di Kampus Bukit-Jimbaran, Badung, 28 Agustus 2006. I Made S Utama, 2004. Teknologi Pasca Panen Hortikultura: Permasalahan Dan Usaha Perbaikan. Makalah dibawakan sebagai Nara Sumber dalam “Lokakarya Strategi Pengembangan Hortikultura di Bali”. Kerjasama Pusat Pengkajian Buah-buahan Tropika –UNUD dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali, Kampus Bukit Jimbaran, Bali 30-31 Juli 2004. Kasmire, R. F., 1985. Preparation for Fresh Market of Vegetables, In Kader, Adel A., et.al. (Eds). Postharvest Technology of Horticultural Crops. Cooperative Extension, University of California, Division of Agriculture and Natural Resources.
1024
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Kays, S.J., 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. An Avi Book. New York. Kitinoja, L and Kader, A. A. 1995. Small Scale Postharvest Handling Practices. A Manual for Horticultural Crops, 3rd Ed. Department Of Pomology, Univ. of California, Davis, CA 95616. Kitinoja, L. 2001. Postharvest Handling of Fruits and Vegetables: Intended for Cold Storage. IARW India. Mitchell, F. G., 1985. Preparation for Fresh Market of Fruit, In Kader, Adel A., et.al. (Eds). Postharvest Technology of Horticultural Crops. Cooperative Extension, University of California, Division of Agriculture and Natural Resources. Mitchell, F. G., 1985. Cooling Horticulture Comodities. In Kader, Adel A., et.al. (Eds). Postharvest Technology of Horticultural Crops. Cooperative Extension, University of California, Division of Agriculture and Natural Resources. Muhtadi, D., Anjarsari, B : “Meningkatkan Nilai Tambah Komoditas Sayuran”. Prosiding. Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB, Bogor 1995. Phan, C.T., Ogata, K, : “Respirasi dan Puncak Respirasi”. dalam Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayuran Tropika dan Sub Tropika. Terjemahan oleh Prof.Ir.Kamariyani, UGM 1986. Phan, C.T., Er. B. Pantastico, K. Ogata, and K. Chachin, 1975. Respiration and Peak of Respiration. In Pantastico, Er. B. (Ed). Postharvest Physiology, Handling, and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company. Inc., Connecticut. Pantastico, E. B. : “Post-harvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits dan Vegetables”. The AVI Publ.Co.Inc. Westport, Connecticut, 1973. Reid, M.S., 1985. Product Maturation and Maturity Indices. In Kader, Adel A ., et.al. (Eds). Postharvest Technology of Horticultural Crops. Cooperative Extension, University of California, Division of Agriculture and Natural Resources. Ryall, A. L. and Lipton, W. J. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruits and Vegetables, Vol. I: Vegetables and Melons. AVI Pub., Westport, Connecticut. Salunkhe, D. K. and Desai, B. B. 1984. Postharvest Biotechnology of Vegetables, Vol. II. CRC Press Inc., Florida. Simons, D. H. Quality and Its Maintenance. In Fresh Produce Manual; Handling, and Storage Practices for Fresh Produce, 2nd Ed. Australian United Fresh. Story, A. and Simons, D. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable Association Ltd.: Fitzroy, Vic. Soesarsono, W. : “Penyimpanan Dingin Buah, Sayur dan Bunga”. Terjemahan USDA Agricaltural Handbook. IPB- Bogor 1976 Salunkhe, D.K., Bhat, N.R., and Desai, B.B., 1990. Postharvest Biotechnology of Flowers and Ornamental Plants. Springer-Verlag. Story, A. and Simons, D. 1989. A.U.F. Fresh Produce Manual – Handling and Storage Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and Vegetable Association Ltd.: Fitzroy, Vic.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1025
Thompson, A. K. 1995. Postharvest Technology of Fruit and Vegetables. Blackwell Sci. Tino Mutirawati, 2007. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Disampaikan pada: WORKSHOP PEMANDU LAPANGAN I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Dep. Pertanian, 2007 Wills, R. B. H.; McGlasson, B.; Graham, D. and Joyce, D. Postharvest. An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th ed. The University of New South Wales Press Ltd, Sydney. 1998; 262 pp.
1026
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016