Penanganan Masalah Pembalakan Liar Di Kawasan Ulu Masen, Aceh
Strategi, Aksi dan Tujuan di Masa Yang Datang November 2011
Penanganan Masalah Pembalakan Liar Di Kawasan Ulu Masen, Aceh Strategi, Aksi dan Tujuan di Masa Yang Datang
Tim Penyusun: Rahmad Kasia, Wahdi Azmi, Mahdi Ismail, Jane Dunlop, Dedi Kiswayadi, Halimatussa’diah, Fendra Tryshanie, Hasballah Isha, Nurmahdi Almasri dan Matthew Linkie.
Terima Kasih Kepada: Graham Usher, Gabriella Fredriksson, Tim Brown, Tony Whitten, Darmawan Liswanto dan Herlina Inesz untuk mereview dan mengomentari versi sebelumnya dari laporan ini. Pendanaan untuk kegiatan FFI disediakan oleh Multi Donor Fund di bawah AFEP dengan pengawasan oleh Bank Dunia.
Laporan Fauna & Flora International, Aceh November 2011
Foto-foto: Mahdi Ismail/FFI
Layout/Desain Hairul Anwar
i
Ringkasan
Perubahan iklim diakui sebagai ancaman global untuk manusia dan keanekaragaman hayati dan sebagai salah satu hal yang harus ditangani secara kolektif oleh masyarakat internasional jika penyebab-penyebabnya harus dikelola dan dikurangi dampaknya. Meskipun beberapa profil Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan BangsaBangsa yang telah ditetapkan untuk menentukan cara terbaik untuk mencapai hal ini, sebuah kesepakatan masih belum tercapai. Namun demikian, Pemerintah Indonesia, yang memimpin lebih dari 10% dari hutan tropis dunia dan yang menderita dari laju deforestasi yang tinggi, namun demikian mulai terlibat dalam dialog kebijakan untuk mendukung pengembangan strategi Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) yang bertujuan untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca. Dalam persiapan untuk menerapkan strategi ini, Indonesia harus terlebih dahulu menunjukkan kepada investor dan masyarakat internasional bahwa Indonesia telah menghindari tingkat ambang deforestasi. Ini akan menurunkan jumlah pembukaan lahan ilegal dan pemindahan ilegal pohon kayu berkualitas tinggi. Sayangnya, strategi yang telah dicapai ini adalah langka dan kegagalan masa lalu cenderung disalahkan pada pemerintahan yang lemah, dan insentif tidak cukup untuk tidak menebang hutan.
Dalam laporan ini, kami memberikan sebuah studi kasus yang menggambarkan bagaimana lembaga-lembaga penegak hukum pemerintah, organisasi masyarakat lokal dan Fauna & Flora International (FFI) berkolaborasi secara efektif untuk menangani komponen penebangan liar di dalam dan sekitar 738.000 ha ekosistem Ulu Masen yang terletak di Aceh, Indonesia. Kawasan hutan ini bertindak sebagai DAS yang vital bagi sekitar 300.000 orang dan saat ini sedang dikembangkan sebagai 'proyek REDD' karena peran pentingnya dalam penyerapan karbon. Antara tahun 2008 dan 2009, sistem informasi-intel berbasis masyarakat dibentuk di sekitar Ulu Masen. Dari 190 kejahatan hutan yang telah dilaporkan ke polisi serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh. 86 operasi penegakan hukum telah dilaksanakan dan total 251m3 kayu ilegal, 26 kendaraan, 17 gergaji, dua gergaji industri ditahan dan tiga penggergajian kayu ditutup, yang semuanya digunakan untuk penebangan liar. Selain itu, 138 orang yang diduga terlibat dalam penebangan liar ditangkap. Dari 45 kasus yang dipantau sampai hasil yang diketahui, sebagian besar (29 kasus) dilanjutkan ke pengadilan dan, dari kasus-kasus ini, kurang lebih setengah (48,3%) dari terdakwa menerima hukuman penjara (berkisar antara 4 bulan sampai 4,5 tahun), dengan sisanya menerima peringatan verbal (41,4%) untuk pelanggaran pertama atau menunggu keputusan final (10,3%). Kasus yang tidak dilanjutkan ke pengadilan (16 kasus) yang biasanya dibatasi oleh kurangnya bukti.
ii
Faktor yang berkontribusi terhadap prestasi proyek Ulu Masen meliputi: kemauan politik yang kuat (instansi pemerintah misalnya secara teratur menanggapi laporan masyarakat dan kebanyakan dari kasus dilanjutkan ke pengadilan dan berhasil dituntut); dukungan stakeholder yang kuat (misalnya partisipasi aktif organisasi lokal disepanjang seluruh perbatasan Ulu Masen mengirimkan sinyal jelas bahwa banyak komunitas menentang pembalakan liar dan mendukung tindakan pemerintah), dan, dana yang dapat segera diakses (misalnya sebagian besar pekerjaan dalam menanggulangi penebangan liar, dari peningkatan kapasitas penegak hukum untuk pemantauan dan pelaporan kejahatan hutan, tetapi bukan penegakan hukum,yang sebagian besar didukung oleh FFI). Meskipun hasilnya menjanjikan, hal-hal ini perlu dipertimbangkan dalam konteks yang lebih luas. Pertama, setelah proyek itu berakhir, pembalakan liar terus dilakukan di setiap lima kabupaten yang menjadi fokus Ulu Masen. Kedua, tidak ada usaha untuk mengatasi konversi hutan ilegal menjadi lahan pertanian – yang merupakan ancaman utama hutan lainnya
iii
- atau jaringan yang lebih luas untuk pedagang dan pembeli dari pembalakan liar ini. Akhirnya, setelah dukungan utama keuangan FFI (disediakan oleh Multi Donor Fund) berakhir, terjadi pengurangan yang sesuai dan signifikan dalam kegiatan lapangan, menunjukkan bahwa strategi itu belum mencapai keberlanjutan. Rekomendasi teknis dan kebijakan kunci untuk meningkatkan strategi pembalakan liar- multi pihak dibuat dalam laporan dan dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan komponen penting bagi miliar dolar dalam REDD + strategi.
Daftar Isi RINGKASAN Pendahuluan...................................................................................................................................................... Aceh Masa Kini.......................................................................................................................................... Ancaman Pembalakan Liar ....................................................................................................................... Komitmen Pemerintah Aceh Terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan .......................................... Ulu Masen ................................................................................................................................................. Proyek Hutan dan Lingkungan atau Aceh Forest and Environment Project (AFEP) ........................................................................................ Tujuan Laporan ......................................................................................................................................... Pembentukan Jaringan Multi-stakeholder Untuk Mengatasi Pembalakan Liar ........................................... Keterlibatan Masyarakat .......................................................................................................................... Menciptakan Mata Pencaharian Alternatif Untuk Pembalak Liar ......................................................... Meningkatkan Kapasitas Lembaga Penegak Hukum ............................................................................. Pengelolaan Hutan Secara inovatif ......................................................................................................... Membangun Jaringan Intel Multi-stakeholder ....................................................................................... Penanganan Pembalakan Liar Melalui Jaringan Multi-stakeholder .............................................................. Monitoring dan Pelaporan ....................................................................................................................... Penegakan Hukum; Kegiatan Operasi, Penyitaan dan Penangkapan .................................................... Identifikasi Faktor-Faktor Yang Menunjang Keberhasilan Proyek ............................................................... Kebijakan Politik ....................................................................................................................................... Dukungan Stakeholder Lokal ................................................................................................................... Pendanaan ................................................................................................................................................ Melanjutkan dan Meningkatkan Upaya-upaya Penanganan Pembalakan Liar ............................................ Rekomendasi ............................................................................................................................................ Rekomendasi Teknis ................................................................................................................................. Rekomendasi Kebijakan ........................................................................................................................... Kesimpulan ........................................................................................................................................................ DAFTAR TABEL Tabel 1. Ringkasan data statistic di 6 kabupaten …………………………………………………………….. Tabel 2. Monitoring kasus pembalakan liar (n = 369) yang dilaporkan oleh tiga NGO lokal yang menjadi mitra kerja FFI (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan Ulu Masen…….. Tabel 3. Hasil penyitaan dari operasi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dan Dishutbun (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan UluMasen, Aceh………………. Tabel 4. Ringkasan hasil operasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan jumlah laporan kejahatan hutan yang telah diserahkan (Agustus 2008 - Agustus 2009) di dalam dan sekitar Ulu Masen….. Tabel 5. Penangkapan dan penuntutan dari hasil operasi penegakan hukum yang telah dilaksanakan (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan Ulu Masen …………………….. DAFTAR PETA Peta 1. Wilayah-wilayah Aceh yang termasuk dalam kawasan Ulu Masen...................................................... Peta 2. Peta Illegal Logging dan hotspot dalam kawasan Ulu Maseh ............................................................
ii 1 1 1 3 5 6 7 8 8 11 14 15 16 18 18 19 23 23 24 25 26 27 27 28 30 6 19 21 21 22 4 20
iv
Pendahuluan Aceh Masa Kini Di Indonesia, Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki anugerah yang sangat kaya dengan berbagai-sumber daya alamnya, termasuk beragam susunan ekosistem hutan dengan luas 3.3 juta ha, meliputi lebih dari 60 persen areal kawasan provinsi ini. Namun, setelah dilanda bencana gempa bumi dan tsunami pada bulan Desember tahun 2004 lalu, kekayaan dan sumber daya alam Aceh yang melimpah mengalami tekanan yang begitu kuat dengan adanya permintaan kayu dengan jumlah yang tidak pernah terduga sebelumnya akibat dari pelaksanaan rekonstruksi secara besar-besaran (lebih dari US$7 milyar diinvestasikan di provinsi ini) 1. Pada waktu yang bersamaan, berakhirnya konflik di Aceh pada tahun 2005 menyisakan ribuan eks-kombatan yang tidak memiliki pekerjaan. Beberapa diantara mereka menanggapi tingginya permintaan akan kayu dan kebutuhan hidup mereka sendiri dengan melakukan praktek pembalakan liar. Disamping itu, banyak masyarakat yang telah lama tidak merambah hutan selama masa konflik dengan alasan keamanan, mulai menggarap lahannya kembali atau bahkan membuka lahan pertanian yang baru di areal hutan.
Ancaman Pembalakan Liar Penyebab yang menjadi dasar terjadinya pembalakan liar bersifat multidimensi namun terkait dengan korupsi pada berbagai tingkatan dalam masyarakat, dimana pelanggaran ini secara khusus dikendalikan oleh sindikat kejahatan. Kejahatan yang terorganisir terkait dengan kemiskinan ini seringkali mengeksploitasi masyarakat yang berpendapatan rendah, biasanya mereka yang tinggal dekat dengan kawasan hutan tersebut. Besarnya bagian pendapatan yang dihasilkan dari pembalakan liar yang cukup signifikan tidak ikut dinikmati oleh masyarakat setempat, tetapi justru oleh sindikat kejahatan tersebut. Dana-dana ini masuk kedalam jaringan sindikat kejahatan yang berkaitan erat dengan perdagangan manusia, narkoba dan senjata.2 Kondisi sosial ekonomi dan politik di Aceh sangat kondusif untuk praktek-praktek penebangan liar, rendahnya Produk Domestik Bruto (PDB) (
1
World Bank. 2008. Pelacakan terkini tentang pengeluaran bantuan tsunami Aceh. Dokomen tidak diterbitkan, World Bank, Jakarta, Indonesia. Zimmerman, M.E. 2003. Pasar gelap satwa liar: Memerangi kejahatan transnasional terorganisir dalam perdagangan ilegal satwa liar. Van derbilt Journal of Transnational Law 36:1657-1689. 3 Badan Pusat Statistik, 2009. Tren dari Sosial ekonomi, Indikator Terpilih Indonesia. Laporan BPS, Jakarta. 4 World Bank. 2008. Penilaian Kemiskinan Aceh 2008, Jakarta. 5 Pemerintah Indonesia, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM). 2009. 6 World Bank 2006. GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace Through Community-Level Development Programming, Banda Aceh. 2
1
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
manfaat perekonomian yang nyata. UndangUndang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Peraturan tentang otonomi daerah) telah menyumbangkan peningkatan sumber daya keuangan untuk meningkatkan kesempatan pembangunan di Aceh melalui Dana Otonomi Khusus dari Pemerintah Indonesia; namun demikian, rendahnya kapasitas tetap menjadi suatu tantangan besar tercermin dari banyaknya tersisa alokasi anggaran tahunan yang diakibatkan lambatnya perencanaan awal sehingga pencairan dana tertunda serta rendahnya pengeluaran pemerintah. Karena terbatasnya kesempatan akan mata pencaharian, rendahnya keahlian dan pendidikan formal yang dimiliki, banyak rakyat Aceh terlibat dalam kegiatan pembalakan liar. Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan keresahan sosial dan menjadi pemicu terjadinya konflik dalam dan antar masyarakat yang ada di Aceh karena hutan-hutan di daerah aliran sungai dan hutan adat ditebang secara liar oleh anggota masyarakat yang termarjinalkan atau oleh pihak-pihak dari luar sementara masyarakat lokal yang terkena imbasnya. Keterlibatan eks-kombatan dalam sejumlah kegiatan ilegal ini juga meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik antara mereka dengan aparat penegak hukum dari pemerintah
seperti polisi serta dengan pihak-pihak yang dulunya pernah berseteru dengan mereka. Hal ini dapat memicu timbulnya permasalahan lebih lanjut. Pembalakan liar di Aceh, sebagaimana yang terjadi di daerah lainnya, memiskinkan masyarakat melalui penurunan kualitas hidup dan dampak negatif yang diterima, berbagai fungsi ekosistem hutan terus mengalami degradasi. Dalam beberapa kasus, fungsi-fungsi pelayanan ini sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk ketersediaan makanan, obat-obatan dan bahan bakar, serta fungsi-fungsi pengatur seperti iklim, air dan penyakit; dan fungsi pelayanan yang lebih hakiki lagi seperti agama, budaya, rekreasi, pendidikan dan pariwisata. Disamping itu, degradasi habitat hutan memiliki dampak yang dapat merusak margasatwa, khususnya spesies-spesies seperti harimau dan gajah yang memerlukan tempat tinggal yang cukup luas. Dengan adanya penebangan hutan spesiesspesies ini juga akan menjadi semakin sering kontak dengan manusia, yang dapat menimbulkan korban luka maupun korban jiwa bagi kedua belah pihak, serta kehilangan mata pencaharian (termasuk hasil panen dan ternak).
Gelondongan kayu hasil penebangan liar (Foto: Asriadi/FFI)
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
2
diperbaharui. Hal ini juga bertujuan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para eks-kombatan dan petani pemilik ladang kecil serta memastikan bahwa sumbersumber daya alam (khususnya hutan) dikelola dengan baik dan manfaatnya terbagi secara merata sebagai bagian dari strategi pengelolaan penggunaan lahan secara keseluruhan;
Komitmen Pemerintah Aceh terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan manfaat pembangunan ekonomi kepada daerah Aceh. Tantangannya adalah bagaimana dapat melaksanakannya dengan cara yang tetap memperhatikan fungsi hutan Aceh yang sangat luas dan memastikan hutan tersebut dapat terus memberikan manfaat bagi jutaan rakyat di provinsi ini. Telah ada beberapa upaya dari Pemerintah Aceh yang secara jelas menggambarkan tentang komitmennya untuk melakukan upaya perlindungan terhadap hutan-hutan di Aceh dan fungsi penting ekosistemnya. Upaya-upaya tersebut meliputi: Moratorium Logging - diluncurkan pada bulan Juni 2007 untuk menghentikan praktek perdagangan kayu konvensional dengan demikian opsi tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan dapat diidentifikasi dan dipertimbangkan; Tim Penyiapan Rencana Strategis Pengelolaan Kawasan Hutan Aceh (TIPERESKA) - yaitu tim teknis yang dibentuk dan ditugaskan untuk meninjau dan merancang ulang pengelolaan sektor kehutanan dan areal hutan untuk Aceh, dengan memperhatikan moratorium logging, dengan hasil output kunci yang meliputi rencana tata ruang yang turut menyertakan hal terkait lingkungan dan evaluasi ekonomis dari sumber-sumber daya hutan Aceh; Inisiatif tentang Aceh Hijau (Aceh Green Initiative) – yaitu strategi jangka panjang untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan di Aceh yang berfokus pada kegiatan mulai dari energi bersih sampai hutan berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya yang tidak dapat 3
Badan Pengelola Ekosistem Leuser (BPKEL) - dibentuk pada tahun 2006 yang merupakan suatu badan konservasi baru di bawah Pemerintah Aceh dengan tugas untuk melindungi Ekosistem Leuser Aceh dengan menjaga integritas ekologinya dan seiring dengan pelaksanaannya juga berupaya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Proyek-proyek untuk menghindari penebangan hutan mekanisme pendahuluan dan mekanisme pembangunan yang sedang berjalan mengenai produksi karbon berkelanjutan bagi Ekosistem Ulu Masen dan Ekosistem Leuser, melalui proyek-proyek REDD . Proyek-proyek kerjasama antara publikswasta ini bertujuan untuk tetap terus menggerakkan aliran pendapatan jangka panjang bagi hutan-hutan di Aceh. REDD Project Ulu Masen merupakan project pertama yang diaudit menggunakan Standar Iklim, Komunitas dan Keragaman Hayati (the Climate, Community & Biodiversity Standards) dan merupakan salah satu yang termaju di dunia; dan, Rekrutmen Petugas Penjaga Hutan – 2.000 orang eks-kombatan dipekerjakan oleh Pemerintah Aceh sebagai pegawai negeri non-sipil pada Program Pengamanan Hutan (Pamhut) di lingkungan Dishutbun dengan tugas pokok untuk melindungi hutan Aceh di tingkat lapangan.
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Peta 1. Wilayah-wilayah Aceh yang termasuk dalam kawasan Ulu Masen
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
4
Ulu Masen Pada tahun 2009, 738,000 hektare wilayah Ulu Masen diusulkan sebagai suatu Areal Strategis (untuk perlindungan) di tingkat provinsi sebagai pengakuan akan pentingnya lingkungan dan ekonominya bagi Aceh. Wilayah ini, yang mencakup bagian dataran tinggi di daerah Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie,Pidie Jaya dan perbatasan Bireun (tabel 1), terdiri dari beberapa jenis hutan khusus mulai dari hutan karst dataran rendah hingga hutan pegunungan. Ulu Masen memberikan berbagai layanan sosial dan ekonomi yang tak ternilai harganya bagi sekitar 300.000 masyarakat7 yang tinggal berbatasan dengan hutan tersebut, ditambah dengan masyarakat yang tinggal dipusat-pusat populasi utama di Banda Aceh dan Aceh Besar (>1 juta jiwa). Misalnya, hutan-hutan ini menstabilkan lereng-lereng curam yang banyak ditemukan didaerah tersebut, mencegah tanah longsor dan membantu mengatur iklim, serta menjamin pasokan air tetap untuk mendukung ekonomi pertanian lokal, dimana sebagian besar masyarakat yang tinggal dipinggiran hutan sangat bergantung padanya. Manfaat lingkungan yang diberikan bagi kekayaan keragaman hayati yang dimiliki kawasan Ulu Masen termasuk sedikitnya 300 spesies dari habitat burung, 87 spesies reptil dan amfibi serta populasi harimau Sumatra dan populasi gajah yang secara global sangat penting. 8
FFI dan LSM lokal di lima kabupaten dikawasan Ulu Masen sejak bulan Oktober hingga November 2008. Untuk ini, dilakukan survey untuk keseluruhan lingkar batas kawasan Ulu Masen seluas 2.453 km, yang mendokumentasikan 179 jalan yang baru dibuka di daerah Aceh Barat (n = 12, panjang keseluruhan jalan = 118 km), Aceh Besar (n = 45, jalan = 241 km), Aceh Jaya (n = 38, jalan = 263 km), Pidie (n = 41, jalan = 176 km) dan Pidie Jaya (n= 43, jalan = 250 km), penebangan kayu ilegal di Aceh Besar (12 lokasi), Pidie (25), Aceh Jaya (30) dan Pidie Jaya (38) dan konversi hutan ilegal menjadi lahan pertanian di Aceh Besar (17 lokasi), Aceh Jaya (14), Pidie (14), Pidie Jaya (56) dan Aceh Barat (11). Hasil-hasil ini digunakan sebagai panduan dalam penyusunan strategi mitigasi pembalakan liar lanjutan untuk kawasan Ulu Masen.
Banyak lahan pertanian di sekitar hutan Ulu Masen yang membuatnya mudah diakses sehingga rentan terhadap berbagai ancaman yang diakibatkan oleh pembalakan liar. Ancaman ini pada mulanya dinilai melalui suatu penilaian cepat, yang dikoordinir oleh TIPERESKA dan dilaksanakan oleh tim lapangan
7
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, 2007. Pengurangan Emisi Karbon dari deforestasi dalam kawasan Ekosistem Ulu Masen. Aceh, Indonesia. Sebuah desain proyek Triple-Benefit untuk CCBA Audit 8 Linkie, M & McKay, J.E. 2008. Konservasi hutan dan keragaman hayati pada kawasan Ekosistem Ulu Masen. Laporan Teknis yang tidak diterbitkan, Fauna & Flora International. Aceh.
5
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Tabel 1. Ringkasan data statistik di 6 kabupaten Kabupaten
Luas Kabupaten (ha)
Tutupan hutan tahun 2009 (ha)
Tepi Hutan (km)
Jumlah Populasi
Kepadatan (Masyarakat/ha)
Aceh Barat
276,058
114,970
279
158,499
0.57
Aceh Jaya
387,251
239,577
1,360
82,904
0.21
Aceh Besar
289,053
112,379
566
312,765
1.08
Pidie
316,959
190,434
643
386,053
1.22
94,868
54,169
134
135,345
1.43
Pidie Jaya Bireuen Total
180,030
63,640
163
359,032
1.99
1,544,220
775,169
3,146
1,434,598
6.51
Proyek Hutan dan Lingkungan Aceh atau Aceh Forest and Environment Project (AFEP) Upaya rekonstruksi pasca-tsunami dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya serta berbagai tekanan lainnya terhadap sumber daya kayu Aceh membutuhkan upaya -upaya perlindungan terhadap dua ekosistem utama hutan Aceh, yaitu Leuser dan Ulu Masen. Kedua ekosistem ini meliputi 2,99 juta hektar hutan yang berdampingan (areal yang setara dengan luas negeri Belanda) dan pasokan air serta fungsi pelayanan lingkungan lainnya bagi lebih dari 60 persen dari jumlah penduduk Aceh. Menanggapi akan kebutuhan ini, Multi Donor Fund (dibentuk untuk melakukan koordinasi dan memberikan bantuan paska tsunami), dengan Bank Dunia sebagai mitranya, mendukung AFEP; proyek senilai $17,53 juta yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh Yayasan Leuser Internasional (YLI) dan FFI dari tahun 2006-2011.
2.
3.
mendukung proses rekonstruksi dan pemulihan Aceh; Masalah konservasi dan lingkungan hidup terintegrasi kedalam proses perencanaan rekonstruksi dan pembangunan Aceh; dan, Struktur manajemen dibentuk untuk memastikan dukungan yang efektif dan transparan dalam pelaksanaan proyek.
Dalam wilayah geographis Ulu Masen AFEP, FFI merancang dan melaksanakan beberapa kegiatan untuk mengurangi pembalakan liar dan dalam proses tersebut turut mendukung Pemerintah dalam inisiatif Aceh Green yang mengutamakan penciptaan lapangan pekerjaan yang dapat menjamin penghidupan bagi ribuan eks-kombatan, sementara pada waktu yang bersamaan juga mampu memperkuat perlindungan lingkungan.
Tiga komponen pokok dari proyek AFEP dirancang untuk memastikan bahwa: 1. Pengelolaan dan perlindungan hutan ditingkatkan untuk membantu dan
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
6
Tujuan Laporan Pada bulan Agustus 2008, FFI mengembangkan dan menerapkan suatu strategi untuk mengatasi pembalakan liar dikawasan Ulu Masen, bekerjasama dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi sosial kemasyarakatan dan masyarakat di sekitar kawasan hutan. laporan ini menjelaskan dan mengevaluasi:
Tugas dan tanggung jawab dari berbagai mitra kerja; Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas konservasi dari setiap mitra kerja dalam jaringan kerja operasional pertama anti-pembalakan liar untuk kawasan Ulu Masen; Pencapaian utama dari para mitra jaringan kerja (termasuk jumlah laporan lapangan yang dikumpulkan, jumlah operasi penegakan hukum, jumlah penyitaan serta jumlah penangkapan dan tuntutan pengadilan); dan, Berbagai kendala yang dihadapi oleh proyek, pembelajaran dan rekomendasirekomendasi untuk pekerjaan di masa yang akan datang.
Laporan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada para donatur, lembagalembaga konservasi dan para pembuat kebijakan terkait tentang strategi yang dilaksanakan, pencapaian serta kendalakendalanya sebagai bahan pertimbangan mereka dalam menyusun dan mengembangkan aksi-aksi masa depan untuk mengatasi pembalakan liar di kawasan Ulu Masen, Aceh dan Indonesia.
7
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Pembentukan Jaringan Multi-stakeholder Untuk Mengatasi Pembalakan Liar
FFI bagi perlindungan hutan di Aceh merupakan "Komitmen suatu upaya kerjasama. Kami bekerjasama dengan seluruh
stakeholder kunci dalam memantau, mendeteksi dan menganalisa berbagai aktivitas kehutanan ilegal, perdagangan ilegal, dan kejahatan hutan lainnya. Tujuan kami adalah untuk membangun suatu konstituen lokal yang kuat bagi setiap aksi untuk melindungi hutan. Wahdi Azmi, Manajer Konservasi Hutan, FFI
Untuk mengatasi secara jelas berbagai tantangan yang dihadapi oleh hutan-hutan di Aceh, FFI dan para mitra kerja lokal membentuk suatu jaringan kerja anti-pembalakan liar yang untuk pertama kalinya membawa berbagai pihak terkait atau stakeholder untuk bersamasama memfokuskan pada peningkatan sistem monitoring dan perlindungan hutan beserta institusi-institusi yang dapat memfasilitasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Untuk mencapai hal ini, FFI membuat dan melaksanakan berbagai kegiatan pokok sebagai berikut untuk: Membantu masyarakat dalam memonitor dan melaporkan berbagai bentuk kejahatan hutan; Membangun kapasitas NGO lokal dan lembaga penegak hukum; Memberikan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran hutan; Membuka pusat-pusat pelatihan pengelolaan hutan dan mata pencaharian (livelihoods); serta,
"
Meningkatkan sistem komunikasi dan kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan masyarakat yang menjadi mitra kerja dalam jaringan tersebut.
Keterlibatan Masyarakat Untuk mengetahui pandangan masyarakat lokal mengenai pembalakan liar, FFI melakukan survey terhadap 1.457 penduduk desa yang ada di enam kabupaten (termasuk Bireun) di kawasan Ulu Masen. Persentase terbesar (73,5%) menempatkan pembalakan liar sebagai ancaman utama bagi Ulu Masen dan sebagian besar (83,3%) menganggap bahwa kerusakan hutan mengakibatkan meningkatnya konflik antara manusia dengan margasatwa dan melindungi hutan merupakan hal yang sangat penting bagi mereka untuk mendapatkan manfaat dari fungsi pelayanan ekosistem (60,6%). Alasan utama yang diajukan mengapa adanya kegiatan pembalakan liar adalah karena kurangnya pilihan mata pencaharian lain (53,7%)9.
9
FFI. 2009. Knowledge, Attitude and Perception survey. Unpublished Technical Report, Fauna & Flora International. Aceh.
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
8
Melalui wawancara informal, terungkap bahwa yang mendasari terjadinya ketegangan antar dan dalam masyarakat adalah karena terdapat anggota masyarakat yang menebang hutan yang secara terang-terangan mengabaikan sistem pengelolaan hutan secara adat, dan pihak lain yang marah atas kerusakan fungsi pelayanan ekosistem hutan. Keluhan yang seringkali diutarakan, atau isu-isu utama yang penting bagi masyarakat terpusat pada meningkatnya banjir dan tanah longsor yang berhubungan dengan kegiatan pembalakan liar. Dampak yang mengganggu adalah rusaknya perumahan dan hasil panen, berkurangnya pasokan air, dan secara umum adalah penurunan pendapatan mereka. Namun demikian, sejumlah masyarakat pada mulanya kurang bersahabat terhadap upaya-upaya yang diusulkan FFI dan mitranya untuk mengatasi pembalakan liar karena mereka khawatir bila hal ini akan membatasi atau justru menutup akses mereka terhadap hasil-hasil hutan nonkayu. FFI dan mitranya telah mencoba untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat lokal melalui beberapa cara untuk membangkitkan dukungan yang kuat dari mereka terhadap strategi anti-pembalakan liar. Pertama-tama, dengan melibatkan NGO lokal dalam kegiatan monitoring dan melaporkan kejahatan hutan (penebangan hutan ilegal untuk mendapatkan kayu) kepada aparat penegak hukum dari pemerintah (polisi dan Dishutbun). Kedua, melalui perkuatan mekanisme dan lembaga adat seperti Mukim10, untuk ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan adat mereka secara berkelanjutan, termasuk penyediaan alternatif pembibitan (misalnya kebun pembibitan pohon). Ketiga, menawarkan
Tolong jangan coba-coba menghentikan kami "untuk memanfaatkan hutan. Kami butuh kayu untuk membangun rumah, untuk memasak, untuk memagari hewan dan hasil panen kami. ‘Orang kota tidak memahami masyarakat seperti kami’
"
Penduduk desa Keumala Dalam, Kabupaten Pidie
alternatif pekerjaan kepada mereka yang peduli terhadap pelanggaran hutan yang dalam waktu bersamaan akan dapat meningkatkan pelaksanaan monitoring hutan dan upaya outreach masyarakat (termasuk peningkatan pendidikan dan kesadaran akan dampak negatif dari pembalakan liar tersebut). Pada tahap awal, keterbatasan kemampuan NGO lokal untuk melakukan monitoring yang terpercaya dan melaporkan kejahatan kehutanan teridentifikasi sebagai tantangan kunci. Untuk itu FFI menanggapinya dengan menginvestasikan sumber-sumber daya tambahan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan (seperti tata kelola keuangan) dan kapasitas teknis (seperti pengumpulan data dan penulisan laporan) dari tiga NGO. Dari sini, kemitraan strategis dibentuk dengan Pinto Rimba, Gaseu dan Embun Pagi. Dana diberikan melalui program hibah FFI-AFEP (small grants program) dengan jumlah keseluruhan yang telah dikucurkan sebesar US$290.892 kepada 40 mitra lokal untuk mendukung pekerjaan konservasi mereka, 41 persen diantaranya dialokasikan kepada tiga NGO lokal. NGO ini menggunakan dana hibahnya untuk melakukan investigasi kejahatan hutan dalam dua tahap (masing-masing selama enam bulan) diselingi dengan satu bulan evaluasi.
10
Mukim, adalah sebuah lembaga masyarakat adat yang unik di Aceh, baru-baru ini dihidupkan kembali sebagai sebuah badan pemerintah resmi, setelah telah didekonstruksi oleh pemerintah pusat selama konflik sipil. Fungsi Mukim meliputi, antara lain, otoritas pengelolaan atas masyarakat (Mukim) hutan dan satwa liar (melalui Panglima Uteun) dan perkebunan (melalui Peutua Seuneubok).
9
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
para Mukim merasa sangat bangga ikut "Kami terlibat dalam upaya melindungi hutan kami
yang luar biasa ini. Tugas pertama kami adalah memfokuskan pada monitoring terhadap hutan -hutan kami dengan demikian hutan tersebut tidak mengalami kerusakan lebih lanjut dan dapat meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat kami.
"
Anwar Ibrahim, Kepala Mukim, Aceh Jaya
Fokus utama dari pekerjaan ini adalah untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi konversi hutan ilegal, penebangan kayu secara selektif, penumpukan kayu (penempatan kayu sementara sebelum dilakukan pengangkutan), penyimpanan kayu (misalnya di dalam rumah) dan pengangkutan kayu. Secara bersama-sama ketiga NGO ini memberikan cakupan geografis lengkap untuk intel-based monitoring tentang pelanggaran hutan dii kawasan Ulu Masen. Pinto Rimba, bertanggung jawab untuk wilayah kabupaten Pidie dan Bireun, membangun jaringan informan di tujuh daerah (dimana tiaptiap daerah hampir menyerupai suatu kecamatan) dengan personil kontak individual yang bertanggung jawab untuk masing-masing daerah. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, Gaseu (kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat dan Aceh Jaya) menggunakan 12 orang informan yang tersebar di 12 daerah dan Embun Pagi (kabupaten Pidie Jaya) menggunakan empat informan di empat daerah. Ketika menerima laporan dari seorang informan, NGO tersebut akan melakukan verifikasi sumber dan isi laporannya, setelah itu mereka akan memutuskan apakah informasi ini cukup memadai untuk ditindaklanjuti, sebelum menyampaikan laporan tersebut ke polisi maupun personil kontak dari Dishutbun kabupaten. Untuk meningkatkan kesadaran lokal tentang dampak negatif dari pembalakan liar bagi kelangsungan hidup manusia, FFI menyusun
serangkaian material edukasi yang mengulas tentang isu ini, seperti fiqh lingkungan (buku tentang hukum Islam bagi para pemuka agama), buku kurikulum SMA (muatan lokal, untuk guru dan siswa) serta buletin kuartalan Ulu Masen (untuk masyarakat luas). Materialmaterial tersebut dibagikan melalui berbagai program pelatihan dan kegiatan outreach yang mencakup kelompok-kelompok target utama dan masing-masing dari lima daerah di kawasan Ulu Masen, yaitu sebuah ecoclub dengan anggota sebanyak 885 remaja, Safari Ramadan di 45 Mukim serta 3.417 guru dan siswa yang mendapatkan pelatihan kurikulum pendidikan. Untuk mengimbangi kegiatan monitoring dan pelaporan dari NGO lokal tersebut, FFI membuat dan melaksanakan suatu program pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Dari 61 Mukim yang ada di Ulu Masen, 17 diantaranya sebagian besar (57%) terdiri dari kawasan hutan. Sehingga FFI memutuskan bahwa akan sangat menghemat biaya untuk memulai kegiatan awal di 17 Mukim ini untuk meningkatkan kekuatan kelembagaan mereka serta kapasitas untuk mengelola hutan mereka. Untuk mengurangi permintaan lokal dan ketergantungan pada sumber daya hutan Ulu Masen, FFI membangun 11 tempat pembibitan pohon bermitra dengan 10 Mukim untuk memberikan manfaat bagi 13.639 kepala keluarga. Lebih kurang 620.000 bibit kualitas tinggi diproduksi melalui pembibitan tersebut untuk memfasilitasi siklus penanaman dan panen secara terstruktur yang dapat memberikan manfaat jangka pendek (seperti tanaman cabe dan tomat), jangka menengah (seperti coklat dan kopi) serta jangka panjang (seperti karet dan durian). Selanjutnya, pelatihan diberikan dengan teknik-teknik pertanian intensif, sehingga mengurangi permintaan lahan yang merupakan wilayah hutan. Akhirnya, dari kegiatan ini telah dilakukan penghijauan kembali 3.350 ha kawasan hutan yang terdegredasi . Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
10
Menciptakan Mata Pencaharian Alternatif untuk Pembalak Liar Pada bulan Februari 2009, FFI memulai suatu program untuk mengubah para perambah hutan, khususnya para eks-kombatan, penebang liar dan pemburu hewan liar, menjadi para penjaga hutan yang sangat terlatih dan menghormati masyarakat yang mampu memberikan pelayanan lingkungan sesuai dengan permintaan serta pelayanan pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal dan kawasan Ulu Masen. persen dari kami [dari Ranger Masyarakat] "80pernah terlibat dalam pembalakan liar dimasa lalu. Kami merasa malu dan merasa bersalah, namun kami tidak mengerti tentang akibat dari ulah kami tersebut. Kini kami mengerti dan tidak akan menebang hutan lagi dan kami akan mengajak mereka yang masih menebang pohon untuk menghentikannya
"
Kamarullah, ketua Blang Raweu Ranger, Kabupaten Pidie Untuk meningkatkan dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap strategi anti-pembalakan liar, program Ranger Masyarakat atau Community Ranger sejak awalnya bertujuan untuk menciptakan rasa memiliki yang kuat di kalangan masyarakat setempat terhadap tim penjaga hutan yang berasalkan dari masyarakat dan juga hadir untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk itu masyarakat bertanggung jawab dalam melakukan seleksi bagi para calon penjaga hutan melalui suatu proses seleksi yang bersifat kompetitif, dimana para kandidat dilibatkan dalam interview dengan para aparat desa dan pemuka agama, serta perwakilan dari Mukim dan kecamatan, untuk menilai komitmen kandidat untuk melayani masyarakat serta perlindungan hutan. Dari daftar kandidat yang telah disaring, 11
masyarakat meminta agar FFI melakukan seleksi akhir, yaitu untuk menghindari tuduhan korupsi atau nepotisme. Banyak diantara kandidat terpilih yang tidak memiliki pendidikan formal memadai, kemudian mereka mengikuti pelatihan intensif selama sepuluh hari di pusat pelatihan Jantho di Aceh Besar (tiga hari di dalam kelas dan tujuh hari di lapangan). benar-benar merupakan ujian bagi kami,kami "Inidilatih mulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 10 malam, tetapi kami mendapatkan banyak pelajaran tentang hal baru meskipun secara fisik sangat melelahkan, namun kami tidak pernah merasa lelah untuk terus melanjutkannya.
"
Nurman Bin Cut, Ranger Masyarakat (Community Ranger), Pidie
Pelatihan Community Ranger dilakukan oleh tim teknis multidisiplin (FFI, BASARNAS Provinsi, Mapala-STIK, Palang Merah Indonesia, Cicem Nanggroe (NGO lokal), Panglima Uteun-Jantho dan masyarakat lokal). Topik pembahasan pelatihan cenderung luas (yaitu mulai dari kemampuan untuk bertahan hidup hingga mitigasi konflik antara manusia dengan hewan liar) dalam rangka meningkatkan kemampuan para penjaga hutan, menguji kemampuan fisik dan mental mereka, membangkitkan rasa percaya diri mereka melalui pencapaian tujuan dan memupuk rasa saling percaya yang kuat dan teamwork. Bagi mereka yang telah berhasil menyelesaikan pelatihan ini dengan sukses, perayaan kelulusan dilaksanakan di sebuah sungai pada tengah malam terakhir..Dengan diterangi cahaya obor, para peserta pelatihan berdiri di dalam sungai dan direndam kedalam sungai oleh Master Trainer yang secara simbolis membebaskan mereka dari masa lalunya dan menandai kehidupan serta tanggung jawab mereka yang baru kepada masyarakatnya dan hutan.
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
seorang penjaga hutan (ranger) "Menjadi adalah suatu pencapaian yang luar biasa bagi saya. Saya merasa begitu bangga ketika saya lulus. Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya mendapatkan pengetahuan sedemikian rupa dari masyarakat.
"
Kamarullah, Ranger Masyarakat , Pidie
Acara penutupan pelatihan ranger di CRU Mane, Kabupaten Pidie yang dihadiri oleh M. Yakob Ishadamy, Kepala Sekretariat Aceh Green Pemerintah Aceh.
Empat tim community ranger telah dibentuk di sekitar Ulu Masen: Tim Blang Raweu (kabupaten Pidie) dibentuk pada bulan Pebruari 2009 dan terdiri dari 10 orang anggota (3 ekspenebang liar, 5 eks-pemburu hewan liar dan 2 eks-kombatan). Nama tim dipilih oleh ekspemburu gelap dalam kelompok tersebut yaitu Blang Raweu savannah yang terkenal dengan banyaknya harimau, gajah dan rusa sambar. Di kehidupan mereka sebelumnya, beberapa diantara para penjaga hutan ini memburu spesies-spesies ini dari Blang Raweu, tetapi kini mereka memandangnya sebagai daerah yang menjadi prioritas untuk dilindungi; Tim Purba (kabupaten Aceh Jaya) dibentuk pada bulan Mei 2009 dan terdiri dari 16 orang anggota (6 eks-penebang liar/ekspemburu hewan liar); Tim Krueng Bajikan (Aceh Barat) dibentuk pada bulan Mei 2009 dan terdiri dari 19 orang anggota (13 eks-penebang liar/ekspemburu hewan liar dan 6 eks-kombatan); dan, Tim Jantho (Aceh Besar) dibentuk pada bulan Maret 2010 dan terdiri dari 12 orang
penjaga hutan (termasuk 5 eks-penebang liar). Komposisi tim ini berbeda dengan yang lainnya karena memfokuskan pada ranger remaja (usia 17-26 tahun), yang dianggap sebagai kelompok rentan yang banyak terabaikan selama masa pascakonflik dan pasca-tsunami. Community ranger dari kalangan masyarakat (community ranger) benar-benar bagian dari masyarakat lokal; struktur organisasi dan kerangka kerja resmi telah disusun dan disetujui oleh pihak terkait setempat. Yang terpenting adalah setiap tim Penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) telah dikenal secara resmi oleh pemerintah kecamatan masing-masing. Kegiatan para penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) di lapangan disupervisi oleh FFI dan para penjaga hutan, diberikan posisi didalam masyarakat agar dapat secara cepat melaporkan berbagai kejadian pembalakan liar dan isu-isu yang muncul lainnya yang dapat mengancam mata pencaharian lokal (seperti bencana alam) dan hubungan sosial.
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
12
Salah seorang anggota Community ranger yang melakukan patroli rutin di kawasan Ulu Masen
Secara strategis, hal ini menciptakan perbedaan penting antara tanggung jawab pelaksanaan monitoring terhadap pelanggaran hutan di tingkat lapangan dengan lembagalembaga pemerintah yang bertugas menegakkan hukum, yang pada gilirannya menciptakan suatu tingkat independensi, dengan demikian dapat mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi. Ini juga dapat mengurangi berbagai tekanan potensial terhadap para penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) oleh mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hutan, karena setiap kebencian oleh penebang liar cenderung diarahkan kepada orang-orang yang menangkap mereka. 13
Setiap penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) mendapatkan upah harian, perlengkapan dan bantuan teknis dari FFI. Para penjaga hutan tersebut telah membangkitkan rasa bangga di kalangan masyarakat , dan para penjaga hutan sendiri menikmati peningkatan status sosial tak terduga yang melebihi kesederhanaan desa mereka sendiri. Para penjaga hutan bertindak sebagai duta bagi komunitas masyarakatnya dan telah mendapatkan penghargaan penting, yaitu dari Gubernur Irwandi dan pemerintah kabupaten. Ini merupakan bukti tepat bagi perubahan mereka sepenuhnya menjadi masyarakat biasa, yang dibuktikan dengan penolakan yang terus dilakukannya atas kegiatan mereka di masa lalu, tidak ada seorang penjaga hutan pun yang kembali ke cara-cara lamanya. Manfaat lainnya adalah berbaurnya kembali para penjaga hutan kedalam masyarakat sipil, harus ingat bahwa beberapa diantara mereka yang sebelumnya dikucilkan oleh komunitasnya.
Kegiatan lain anggota community ranger adalah mengamankan kayu-kayu hasil pembalakan liar dengan menggunakan bantuan gajah
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Jaya, kami membina kerjasama yang "DieratAceh dengan FFI untuk mengamankan hutan. Mungkin hasil yang paling positif dan sangat membantu bagi kami di Dinas adalah aspek peningkatan kapasitas
"
Muhktar, Kepala Dishutbun, Aceh Jaya
Kayu-kayu hasil pembalakan liar dikirim melalui sungai sebelum dibawa oleh kendaraan. Cara ini biasa dilakukan untuk mengelabui aparat hukum. (Foto: Rahmad Kasia/FFI)
Meningkatan Kapasitas Lembaga Penegak Hukum Menggalang dukungan yang kuat dari masyarakat merupakan hal penting demi keberhasilan dalam mengatasi praktek pembalakan liar, namun demikian, setiap strategi pencegahan pembalakan liar akan membutuhkan suatu komponen penegakan hukum yang kuat, yang berfokus pada peningkatan kemungkinan ditangkapnya perambah hutan, serta kebijakan politik yang kuat untuk mewujudkan hal ini. Menanggapi permintaan daerah, FFI memberikan dukungan peningkatan kapasitas teknis bagi personil dari Dishutbun dan kepolisian (di tingkat kabupaten dan propinsi). Pelatihan dilaksanakan dalam hal
Tim Gabungan berasal dari aparat kepolisian Aceh, Dinas Kehutanan, dan community ranger melakukan operasi pembalakan liar di dalam kawasan Ulu Masen, di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, tahun 2009.
pengumpulan dan penganalisaan data-data pembalakan liar di lapangan, membuat laporan lengkap dan memanfaatkan informasi ini untuk mengambil tindakan tegas dan tepat. Untuk mencapai hal ini, kursus pelatihan Dishutbun selama 7 hari diselenggarakan dan diberikan kepada 60 orang Pamhut, sedangkan pelatihan khusus diselenggarakan dan diberikan kepada 16 personil polisi. Nilai dari kursus pelatihan ini dan keseriusan mitra kerja FFI dari pemerintah dapat dilihat melalui dua contoh berikut: Tiga hari setelah selesai mengikuti pelatihan, para lulusan dari Dishutbun Aceh Besar yang ikut serta dalam operasi penegakan hukum berhasil menyita 30m3 kayu ilegal, satu alat pemotong kayu (chainsaws), telepon genggam milik tiga orang penebang liar (yang berisikan informasi-intel yang cukup berharga) dan dua mobil jeep yang digunakan untuk mengangkut kayu, serta satu mobil jeep yang ketiga yang tidak dapat dipindahkan karena telah dibakar di lapangan; dan, Tidak lama setelah mengikuti pelatihan kepolisian (Polres dan ResKrim), peserta lulusan tersebut melakukan operasi penegakan hukum selama dua hari di
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
14
kabupaten Bener Meriah (wilayah Ekosistem Leuser) dan menutup sebuah kilang kayu ilegal serta menyita empat truk pengangkut kayu dan sebuah gergaji untuk industri. Untuk melakukan konsolidasi atas pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh FFI dan para mitra kerjanya di kawasan Ulu Masen serta untuk memberikan jarak pandang yang cukup bagi para mitra kerja di daerah tepian hutan, misalnya tempat dimana para penebang memasuki hutan, maka FFI mendirikan tiga pusat konservasi hutan, yang dikenal dengan Unit Respons Konservasi atau Conservation Response Units (CRU).
Pengelolaan Hutan secara Inovatif CRU didirikan melalui kegiatan outreach di masyarakat. FFI memahami bahwa bersamaan dengan pembalakan liar, ancaman utama bagi mata pencaharian dari komunitas para petani yang ada di sekitar hutan adalah serangan terhadap tanaman oleh kawanan gajah liar yang dapat menyapu bersih hasil panen mereka dalam satu malam. Dalam hal ini tampak jelas bahwa upaya kerjasama untuk mengatasi pembalakan liar bersama dengan masyarakat sebagai mitra kunci, juga
15
membutuhkan upaya serupa untuk mengurangi problematika dengan kawanan gajah ini. Untuk dapat menanggapi berbagai insiden akibat konflik antara manusia dengan hewan liar dan berbagai kejahatan hutan dengan cepat, maka FFI, BKSDA dan Dishutbun bekerja bersama-sama dengan masyarakat setempat untuk mendirikan tiga CRU di sekitar kawasan Ulu Masen (Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie). Lokasi CRU tersebut dipilih di areal yang memiliki tingkat konflik yang paling tinggi antara manusia dengan gajah dan yang juga menghadapi permasalahan pembalakan liar, Aspek yang unik dari CRU ada pada jantungnya yaitu patroli gajah. Sebelumnya gajah liar yang berhasil ditangkap, dilatih di pusat pelatihan gajah BKSDA dan dikerahkan untuk membantu meredakan konflik antara masyarakat dengan hewan liar. Pada tahun 2009 dan 2010, CRU telah berhasil mencegah 560 insiden konflik antara manusia dengan gajah di sekitar kawasan Ulu Masen, memberikan manfaat bagi sekitar 2500 kepala keluarga. Selain kegiatan ini, patroli gajah juga dilakukan untuk memonitor pembalakan liar dan untuk memberikan peringatan bagi mereka yang ingin merambah hutan bahwa hutan-hutan tersebut berada dalam pengawasan dan penjagaan. Fungsi penting dari kamp-kamp CRU adalah untuk menciptakan lingkungan
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Hubungan kerjasama yang kuat di antara Community Ranger harus terus terjalin dalam menjaga kelestarian kawasan hutan Ulu Masen dari kegiatan pembalakan liar
yang memungkinkan bagi para penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) dan lembaga-lembaga penegak hukum pemerintah untuk bertemu dan bekerja bersama -sama di lapangan.
Membangun Jaringan Intel Multi-Stakeholder Untuk meningkatkan sistem komunikasi dan kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan para mitra masyarakat, FFI bekerja untuk membangun saluran informasi berbasiskan intelijen dari masyarakat sekitar hutan dan NGO lokal kepada lembaga-lembaga penegak hukum. Untuk itu, FFI memfasilitasi pertemuan di tingkat kabupaten antara pihak kepolisian kabupaten (Polres), Dishutbun dan NGO lokal, yang kemudian menjadi pertemuan kuartalan rutin.
Hasilnya adalah pembentukan sistem pelaporan yang transparan dan cepat, dimana para mitra kerja dari masyarakat dapat memberikan informasi yang tepat waktu dan terpercaya kepada mitra kerja dari pihak pemerintah untuk kemudian ditindaklanjuti. Hal ini melibatkan pemupukan kepercayaan dan selanjutnya penempaan hubungan kerjasama yang kuat dan bermakna antara pihak-pihak terkait, beberapa diantaranya (seperti para ranger masyarakat atau community ranger dari eks-kombatan dengan polisi) yang mungkin dulunya tidak dapat bergabung seperti biasanya. Meskipun demikian, semangat kerjasama yang ditanamkan melalui pelatihan telah dicapai. Misalnya, Pamhut Aceh Jaya kini meminta agar tim Purba ranger menemani mereka ke lapangan ketika bertemu dengan masyarakat. Keyakinan dan optimisme ini Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
16
tertangkap dari pernyataan sebelumnya oleh Bapak Muhktar, Kepala Dishutbun-Aceh Jaya, “Kami telah menyaksikan di sepanjang tahun 2009 dimana mereka [mitra masyarakat] telah menjadi jauh lebih profesional. Pembangunan kepercayaan seperti ini merupakan suatu prasyarat untuk strategi perlindungan hutan yang efektif. Ketika banyak NGO lokal dan anggota masyarakat secara individu lebih memilih untuk tidak diketahui identitasnya dalam melakukan pekerjaannya untuk melindungi hutan, namun kehadiran para penjaga hutan dari kalangan masyarakat ( community ranger) justru terlihat dengan jelas yang dapat mengirimkan isyarat bagi para pembalak dan yang lainnya bahwa bila mereka melakukan kejahatan hutan maka besar peluang mereka ditangkap oleh aparat hukum dari pemerintah.
17
Terlepas dari fakta bahwa beberapa masyarakat lokal yang bekerja bersama-sama dengan ranger masyarakat (community rangers) juga (masih terus) terlibat dalam pembalakan dan kejahatan hutan lainnya. Hal ini juga memperkuat pemikiran bahwa ranger masyarakat (community rangers) harus mengerti peran lembaga-lembaga penegak hukum. Setelah tiga bulan perencanaan dan pelatihan, jaringan kerja anti pembalakan liar tersebut dibentuk diseluruh kabupaten di kawasan Ulu Masen dan Bireuen. Para mitra yang berkolaborasi ini terdiri dari masyarakat sekitar hutan, para penjaga hutan (community ranger), NGO lokal, Dishutbun, polisi dan FFI siap mengatasi pembalakan liar
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Penanganan Pembalakan Liar Melalui Jaringan Multi-stakeholder "Ini bukanlah pekerjaan biasa , pagi hari hingga menjelang petang. Sama sekali bukan! Kami justru sering menerima panggilan bahwa kayu gelondongan kemungkinan akan dipindahkan pada malam hari, kami memberitahukan pihak yang berwenang dan siap siaga untuk membantu dalam hal monitoring Muchtar, Ranger Masyarakat (Community Ranger), Aceh Jaya
Monitoring dan Pelaporan Dari informasi-intel yang dikumpulkan oleh tiga NGO lokal, diperoleh pengetahuan yang berharga mengenai pola-pola pembalakan liar, khususnya dalam pengangkutan kayu. Ketika dibawa dari tepi hutan ke jalan utama, kayu pada mulanya disimpan di sebuah rumah yang dianggap aman (di siang hari ) dan kemudian akan diangkut, pada malam hari, dengan dua kali jalan. Pertama, kayu dapat dikumpulkan pada waktu shalat Maghrib (segera setelah matahari terbenam) yaitu waktu yang diperkirakan sepi dimana lalu lintas jalan raya tidak terlalu ramai, dan kayu diangkut dengan menggunakan sebuah truk kecil (lima ton). Sebagai alternatif lain, kayu diangkut dengan jumlah yang lebih kecil (<0.4m³) dengan menggunakan sebuah becak motor yang telah dimodifikasi (becak barang), dimana kayu akan dapat terlihat dengan jelas., tetapi hanya dipindahkan pada tengah malam (sekitar pukul 12 malam s/d pukul 2 pagi). Sifat rahasia dari kedua cara transportasi ini menunjukkan bahwa para pelaku khawatir akan tertangkap oleh aparat pemerintah atau berpapasan dengan masyarakat. Ketiga NGO tersebut memberikan informasi tentang pendapatan rata-rata dari seorang penebang liar. Sebagai contoh, dua orang operator chainsaw yang bekerja bersama-sama akan memperoleh upah sejumlah Rp 400.000/
"
m3 kayu (dengan berbagai variasi tergantung dari jenisnya) dan 1-2 m3 setiap kubiknya akan memakan waktu sekitar dua hari untuk memotongnya, tergantung pada kondisi lapangan. Upah ini setidaknya dua kali lipat lebih besar dari pendapatan mereka yang bekerja di lahan pertanian (misalnya seorang penuai padi berharap akan mendapatkan Rp 50.000/hari). Sebagai perbandingan , para penjaga hutan (community ranger) di Ulu Masen mendapatkan upah bulanan sebesar Rp 1.500.000 untuk 20 hari kerja/bulan. Berdasarkan laporan dari NGO lokal dan informasi intel yang mereka miliki sendiri, tim penjaga hutan (community ranger) secara kontinyu menyesuaikan lokasi monitoring dan strategi mereka sesuai dengan pergeseran pola kejahatan hutan. Misalnya, tim Krueng Bajikan (Aceh Barat), membangun sebuah pos penjagaan hutan sementara di Teunom (kecamatan) untuk menanggapi kegiatan pembalakan liar di kawasan ini. Sementara itu, penilaian di Mane, Pidie, menghasilkan tim Blang Raweu yang melakukan dua patroli bergiliran untuk mempertahankan keberadaan mereka secara konstan di hutan untuk menanggapi kebutuhan ini. Seiring dengan semakin meningkatnya kapasitas para penjaga hutan itu sendiri, mereka telah lebih banyak terlibat dan berpengaruh dalam meningkatkan kesadaran lokal terhadap isu-isu seputaran
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
18
Penegakan Hukum: Kegiatan Operasi, Penyitaan dan Penangkapan Informasi intel yang dikumpulkan dari ketiga NGO lokal yang menjadi mitra kerja FFI sejak bulan Agustus 2008 s/d Agustus 2009, mencatat sebanyak 369 kasus pelanggaran hutan dari kawasan Ulu Masen. Tercatat jenis kejahatan hutan yang paling sering terjadi adalah pembalakan liar (perambahan hutan dan penebangan kayu secara selektif, 45,3%), diikuti dengan penyimpanan kayu (37,9 %), pengangkutan kayu ilegal (7,3%), produsen kayu (6,0%) dan gergaji kayu (3,5% Tabel 2). Dari sini, diperkirakan 895m³ ton kayu ilegal tercatat telah ditebang dari Ulu Masen. Dari 369 kasus yang tercatat, 190 diantaranya dianggap telah memiliki informasi yang memadai dan telah dilaporkan oleh NGO lokal ini kepada lembaga penegak hukum dari pemerintah. Pada gilirannya, lembaga-lembaga ini telah menerima sebanyak 86 laporan (45,3%) dengan operasi penegakan hukum yang telah berhasil mengamankan 251m3 kayu ilegal, 17 kendaraan roda empat, sembilan kendaraan roda dua, 17 chainsaw, dua gergaji untuk industri dan menutup tiga kilang kayu (Tabel 3).
Perbandingan hasil penegakan hukum terhadap jumlah kasus yang diajukan, terungkap bahwa laporan LSM lokal yang dibuat, mengenai kejahatan hutan di Aceh Besar, Pidie dan Bireuen lebih memungkinkan untuk menghasilkan penangkapan dan penyitaan daripada di kabupaten lainnya (Tabel 4). Namun, tingkat penuntutan selanjutnya kasus-kasus dengan hasil yang diketahui jauh lebih tinggi di Aceh Jaya (100.0%), Pidie (81,5%) dan Pidie Jaya (66,7%) dibandingkan di Aceh Besar (20,0%; Tabel 4). Hasil kegiatan operasi penegakan hukum mengakibatkan ditangkapnya 145 orang (termasuk Bener Meriah) yang diduga terlibat dalam pembalakan liar (Tabel 5). Mayoritas (88,9%) dari para penebang liar ini ditemukan berasal dari daerah dimana mereka tertangkap saat melakukan pembalakan. Dari 145 tersangka yang ditangkap, 45 kasus diantaranya terus dimonitor hingga diketahui hasilnya, dimana 34 kasus lainnya masih dalam penanganan polisi dan 66 kasus (atau 45,5%) masih belum termonitor, disebabkan terbatasnya sumber daya manusia. Dari 45 kasus yang dipantau sampai hasil yang diketahui, sebagian besar (64,4%) dilanjutkan ke pengadilan dan, kurang lebih setengah
Tabel 2. Monitoring kasus pembalakan liar (n = 369) yang dilaporkan oleh tiga NGO lokal yang menjadi mitra kerja FFI (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan Ulu Masen. Kasus Kabupaten Aceh Barat Aceh Jaya Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireuen Total 19
Pembalakan liar 10 38 53 40 25 4
Penumpukan kayu 21 17 5 54 43 0
Mesin gergaji 1 0 11 0 0 1
Pemasok kayu 1 5 1 9 0 6
Pengangkutan kayu 3 4 4 11 5 0
167
140
13
22
27
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Peta 2. Peta Illegal Logging dan hotspot dalam kawasan Ulu Masen
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
20
(48,3%) terdakwa menerima hukuman penjara (berkisar antara 4 bulan sampai 4,5 tahun), dengan sisanya menerima peringatan secara lisan (41,4%) untuk pelanggaran pertama atau menunggu keputusan final (10,3%). Dari 16 orang yang dituntut, 12 diantaranya dibebaskan karena kurangnya bukti; tiga orang melarikan diri dari lokasi tahanan dan satu orang remaja (berusia 15 tahun) dibebaskan karena masih dibawah umur (18 tahun) untuk dapat menjalani penuntutan.
Tabel 3. Hasil penyitaan dari operasi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dan Dishutbun (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan Ulu Masen, Aceh Penutupan dan penyitaan Kilang kayu
Sepeda motor
Truk/Jeep
Aceh Barat
0
0
0
Chainsaw/ gergaji untuk industri 0
Aceh Jaya
0
0
2
0
7
Aceh Besar
3
4
2
9
85
Pidie
0
3
7
4
64
Pidie Jaya
0
2
2
4
0
Bireuen
0
0
0
0
55
Total
3
9
17
19
251
Kabupaten
Kayu (m3) 0
*Catatan: Hasil yang diperoleh tidak lama setelah dilaksanakannya training Polisi oleh FFI dan para mitranya
Tabel 4. Ringkasan hasil operasi penegakan hukum dalam kaitannya dengan jumlah laporan kejahatan hutan yang telah diserahkan (Agustus 2008 - Agustus 2009) di dalam dan sekitar Ulu Masen, Aceh
Kabupaten Aceh Barat Aceh Jaya Aceh Besar* Pidie* Pidie Jaya Bireuen *
Jumlah laporan
Penebang liar yang ditangkap
36 64 74 114 73 8
0 8 31 62 25 12
Penyitaan dan Kesimpulan Kendaraan dan peralatan 0 2 18 14 8 0
Rata-rata kejadian/laporan
Kayu (m3)
Ditangkap
0 7 85 64 0 55
0.00 0.13 0.48 0.97 0.39 0.19
Kendaraan dan peralatan 0.00 0.03 0.28 0.22 0.13 0.00
Kabupaten di mana Kehutanan dan Perkebunan Aceh Badan menerima pelatihan penegakan hukum dari FFI. 21
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Kayu (m3) 0.00 0.11 1.33 1.00 0.00 0.86
Kondisi Hutan Ulu Masen akibat pembalakan liar seperti “berlubang” di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie
Tabel 5. Hasil Penangkapan dan penuntutan dari operasi penegakan hukum yang telah dilaksanakan (Agustus 2008 – Agustus 2009) di dalam dan di sekitar kawasan Ulu Masen, Aceh KASUS Kabupaten
Penangka pan pembalak liar
Aceh Barat Aceh Jaya Aceh Besar Pidie
0 8 31 62
Pidie Jaya Bireuen Bener Meriah* Total Catatan:
Sedang diproses oleh polisi
Dilepas tanpa proses pengadilan
Diproses ke pengadilan
Divonis penjara
Mendapat peringatan lisan
Hasil belum diketahui
0 4 16 0
0 0 + 4 5
0 4 1 14
0 2 0 8
0 0 0 6
0 0 10 43
25
2
7
10
4
6
6
12
12
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
0
7
145
34
16
29
14
12
66
+ 3 *
tersangka melarikan diri sebelum menjalani pemeriksaan pengadilan Hasil dari pelatihan peningkatan kapasitas yang diberikan oleh FFI ke polisi
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
22
Identifikasi Faktor-Faktor Yang Menunjang Keberhasilan Proyek
Berbagai hasil dari proyek Ulu Masen sangatlah penting karena beberapa alasan. Pertama: Hubungan kerjasama yang efektif yang dibentuk antara, badan penegak hukum pemerintah, dan dengan pihak masyarakat terkait untuk mengatasi pembalakan liar secara bersamasama. Sebagai hasilnya badan Badan penegakan hukum pemerintah melakukan tindakan penegakan hukum secara regular yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menanggapi berbagai laporan masyarakat setempat dengan dilakukannya penangkapan dan penyitaan baru secara bulanan daripada melalui operasi razia yang jarang dilakukan, yang dianggap kurang efektif dan lebih mahal6. Proyek ini tidak memberikan insentif keuangan ataupun karir, tetapi, meskipun demikian, motivasi dan komitmen dari staff pemerintah untuk menangani pembalakan liar tetap tinggi. Lebih lanjut lagi, pemerintah menunjukkan suatu komitmen untuk melakukan operasi penegakan hukum yang menentang trend yang ada di Indonesia, dimana aksi-aksi untuk mengatasi pembalakan liar yang begitu marak dan bahkan merajalela justru masih jarang7. Hal yang cukup menggembirakan adalah dari sekian banyak kasus yang terlacak sebagian besar (64.4%) telah diproses ke pengadilan dan, dari kasus-kasus ini, hanya sepuluh persen yang
gagal mendapatkan hukuman, dimana disarankan agar pembalakan liar dipertimbangkan sebagai pelanggaran serius dan buktibukti yang dikumpulkan juga harus cukup. Sebuah laporan baru-baru ini oleh Penegakan Hukum Hutan, pemerintahan, dan Perdaganan (FLEGT)8 Komisi Eropa menyoroti perbaikan yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam penanganan pembalakan liar. Namun demikian, satu permasalahan yang diangkat dalam laporan ini adalah tindak lanjut dari penegakan hukum tersebut yang masih belum cukup dan hanya seperempat dari kasus tersebut yang telah divonis. Dari Ulu Masen, sekitar setengah dari laporan yang masuk telah diikuti oleh operasi-operasi seperti ini. Faktor kontribusi yang telah diidentifikasi sebagai bagian integral dari pencapaian proyek di Ulu Masen termasuk kebijakan politik yang kuat, dukungan pihak-pihak terkait setempat dan pendanaan yang dapat segera diakses.
Kebijakan Politik Salah satu hasil yang paling menggembirakan yang dapat disaksikan selama studi ini adalah keinginan dari polisi maupun Dishutbun Aceh untuk ikut terlibat secara serius dalam penanganan pembalakan liar, khususnya bagi polisi yang di sisi lain disibukkan dengan pemeliharaan perdamaian dan stabilitas pasca-
6 7
AFEP. 2010. Annual Project Report. Unpublished report for the Multi Donor Fund for Aceh and Nias. Aceh, Indonesia. WWF-Indonesia (2010) Sumatra’s Forests, their Wildlife and the Climate. Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and 2009. A quantitative assessment of some of Sumatra’s natural resources submitted as technical report by invitation to the National Forestry Council (DKN) and to the National Develop ment Planning Agency (BAPPENAS) of Indonesia. 8 Lawson & MacFaul, 2010. Pembalakan liar dan Perdagangan yang terkait: Indikator respon Global, Indicators of the Global Response. Laporan Program Chatham House.
23
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
konflik di Aceh. Komitmen ini sangat tepat serta sangat didukung dengan adanya isyarat yang begitu jelas yang disampaikan oleh Pemer in tah In don es i a y an g t el ah menempatkan pembalakan liar sebagai isu utama nasional dan menindak secara hukum untuk memberantas praktek pembalakan liar, misalnya dengan membentuk ‘Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum’ untuk memastikan terlaksanakannya peradilan yang transparan terhadap kasus-kasus pembalakan liar ini. Instrumen untuk keberhasilan di Ulu Masen adalah peran pemerintah kabupaten dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk mengatasi pembalakan liar. Kemitraan Pemerintah terbentuk lebih mudah di daerah di mana FFI telah memperlihatkan kehadiran jangka panjang di kabupaten mereka, seperti Pidie. Oleh karenanya, penegak hukum mereka lebih sering merespon laporan illegal logging yang diserahkan disini. Sebaliknya, kurang sempurnanya penangkapan dan penyitaan di Kabupaten Aceh Barat karena kendala dalam mengembangkan kerjasama kemitraan dengan pemerintah, mungkin terkait dengan kehadiran FFI yang lebih jarang di kabupaten ini. Sementara kebijakan politik, mungkin, secara umun berlaku di seluruh Ulu Masen Penting disadari pula bahwa pengembangan jaringan dan strategi anti-pembalakan liar ke berbagai wilayah yang berdekatan dengan kabupatenkabupaten di kawasan Ekosistem Leuser akan lebih menantang. Sebagian besar pemerintah daerah di wilayah ini, telah memprioritaskan pembangunan jalan dan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit yang membutuhkan konversi dan/atau fragmentasi tanah hutan, tindakan-tindakan yang terkait dengan pene-
bangan liar9. Secara kontras, di kawasan Ulu Masen, pemerintah Aceh Jaya, , secara khusus telah mengalokasikan tambahan Rp. 1 M (sekitar US$100,000) dalam anggaran kabupaten tahun 2010 untuk memfasilitasi Dishutbun dalam melanjutkan patroli hutan, yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dalam studi ini.
Dukungan Stakeholder Lokal Sebagian besar dari pembalak liar yang tertangkap berasal dari kabupaten dimana mereka melakukan aksinya. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mampu untuk sepenuhnya mengatasi pembalakan liar oleh mereka sendiri, sehingga kegiatan outreach community ranger dapat lebih ditingkatkan dan tidak semua masyarakat selalu menentang pembalakan liar. Partisipasi aktif para penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger), NGO lokal dan masyarakat luas di kawasan proyek Ulu Masen memberikan isyarat bahwa banyak komunitas lokal menentang pembalakan liar. Dukungan sedemkian rupa seharusnya dianggap lebih memberanikan lembaga-lembaga penegakan hukum dari pemerintah untuk bertindak. Dua contoh berikut ini memberikan gambaran bagaimana inisiatif berbasis masyarakat dapat mengatasi penggunaan sumberdaya alam secara ilegal. Contoh pertama adalah dengan adanya Forum Sayeung Krueng Kalok (FORSAKA) dari Aceh Besar. Dengan bantuan dari USAIDEnvironmental Services Programmed dan selanjutnya dari FFI, Forum ini dibentuk oleh enam desa, dengan peranan, untuk memperolah keuntungan ekonomi secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi lang-
9
Linkie et al. 2008. Evaluasi konservasi keanekaragaman hayati disekitar sebuah kawasan hutan lindung yang besar di Sumatera. Konservasi Biologi 22:683-690.
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
24
sung dari sumber mata air bersih pegunungan dari kawasan Ulu Masen. Karena itu, masyarakat dengan cepat mengerahkan diri mereka untuk dapat mengusir para pembalak liar dari perbatasan hutan Krueng Kalok ketika wilayah hutan tersebut dan jasa-jasa ekosistem utamanya terancam pada tahun 200810. Contoh kedua berkaitan dengan Program kelautan FFI di Aceh. Dimana Panglima Laot diberdayakan untuk menyelesaikan pelanggaran hukum adat berkaitan dengan penggunaan sumber daya kelautan yang tidak berkelanjutan di wilayah tertentu di Pulau Weh. Hasilnya, kegiatan yang dilarang ini berkurang dengan cepat, termasuk penguatan kebijakan setempat terhadap larangan spear fishing.
USD119,226). Hal ini memungkinkan FFI untuk membawa berbagai mitra kerja untuk bersama -sama berada didalam satu kerangka kerja (framework), tanpa adanya keterlambatan dalam menunggu turunnya anggaran tahunan dari pemerintah atau dialokasikan dalam anggaran tahun berikutnya. Bagaimanapun, alokasi anggaran dari pihak kepolisian dan Dishutbun untuk operasi penegakan hukum sangat diperlukan karena mandat FFI mencegah pendanaan untuk operasi ini dan masyarakat penjaga hutan (community rangers) dan CRU tidak mempunya otoritas untuk melakukan penangkapan.
Pendanaan Mayoritas pekerjaan dalam penanganan pembalakan liar di Ulu Masen, misalnya peningkatan kapasitas bagi para mitra kerja dari pemerintah dan masyarakat, monitoring, investigasi dan laporan tentang kejahatan hutan, dukungan dan pengawasan yang berkelanjutan serta kegiatan community outreach, telah dilakukan karena lembaga independen (FFI) telah menerima dana hibah dalam jumlah yang cukup besar (US$7.7million) dan mampu mengalokasikan sebagian besar (US$ 646,198 atau 8,4%) untuk berbagai kegiatan yang dibutuhkan (pelatihan bagi lembaga penegak hukum = US$154,571, penjaga hutan dari kalangan masyarakat (community ranger) = US$129,912, CRU = US$242,449, sub hibah kepada sejumlah informan NGO lokal =
10
USAID-ESP, 2008. Annual Progress Report. Environmental Services Program, DAI Project Technical Report, Jakarta.
25
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Meningkatkan dan Melanjutkan Upaya-Upaya Penanganan Pembalakan Liar
Laporan ini menyoroti tentang tindakan di lapangan dan pencapaian yang telah dicapai lebih dari setahun. Walaupun hasilnya menggembirakan, hal ini harus ditempatkan dalam sebuah konteks yang lebih luas. Pembalakan liar masih tetap berlangsung di lima kabupaten yang ada di kawasan Ulu Masen dan Bireuen, meskipun ditargetkan oleh jaringan multistakeholder. Dari proyek ini tercatat 895m3 kayu ilegal, yang nilainya dianggap berada dibawah angka ancaman sebenarnya. Dengan demikian, proyek tersebut tidak dapat atau belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya. Lebih jauh lagi, proyek ini juga tidak berusaha untuk mengatasi secara langsung konversi hutan ilegal menjadi lahan pertanian, ancaman penting lainnya bagi hutan, atau pelaku kunci lainnya yang terlibat dalam jaringan kriminal pembalakan liar yang semakin luas seperti para penjual dan pembelinya. Akhirnya, dan mungkin yang paling penting, adalah bahwa ketika dukungan financial dari FFI sangat berkurang (setelah Agustus 2009) terjadi pengurangan yang sesuai dalam kegiatan lapangan, menunjukkan bahwa strategi tersebut belum berkelanjutan. Keterbatasan dana ini juga menjelaskan mengapa hanya 45,3% dari 190 kasus yang diajukan kepada badan pemerintah yang ditindaklanjuti. Salah satu NGO mitra lokal FFI di Pidie Jaya menyimpulkansituasi, yang juga diungkapkan oleh mitra LSM lainnya, "Ketika mereka [Dinas Kehutanan dan Perkebunan] memiliki sumber daya maka respon akan kuat dan cepat, ketika mereka tidak [memiliki sumber daya] maka tidak ada yang terjadi."
Meskipun tidak realistis mengharapkan jaringan multi – pihak bisa mencapai keberlanjutan lebih dari satu tahun, meskipun demikian, terdapat beberapa sinyal positif yang mengidentifikasikan bahwa mungkin dimasa yang akan datang, antara lain: i.
ii.
iii.
iv.
Dishutbun Aceh Jaya yang telah mengalokasikan anggaran khusus untuk kegiatan patroli hutan (yang mana FFI menggunakan hal ini sebagai contoh untuk mengajak Dinas-dinas kabupaten lainnya untuk ikut melakukan hal yang sama); Polisi terus melakukan operasi penegakan hukum diluar pekerjaan yang didanai oleh FFI; Dua dari tiga NGO lokal yang didukung oleh FFI tetap dapat melanjutkan pekerjaan mereka, walaupun dengan intensitas yang lebih rendah di saat dukungan operasional formal dari FFI berakhir, karena mereka akan terus melanjutkan kegiatannya bersama dengan masyarakat lokal untuk memonitor dan melaporkan tentang kondisi dan aktifitas di hutan dengan menggunakan dana yang diperoleh secara independen atau bekerja secara sukarela; dan, Metode multi pihak yang dikembangkan dalam studi ini akan dimasukkan untuk pendanaan jangka panjang dalam Rencana Pengelolaan Ulu Masen yang sedang di kembangkan sebagai bagian dari inisiatif REDD untuk wilayah hutan ini.
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
26
Peresmian strategi multi-stakeholder yang dikembangkan oleh FFI dan para mitra kerjanya merupakan langkah selanjutnya yang bijaksana. Namun demikian, pada tahun 2008, Pemerintah Aceh telah membentuk sebuah ‘Tim Terpadu Pemberantasan Pembalakan Liar’ (Keputusan Gubernur No.522.21/284/2008) yang ditugaskan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi pembalakan liar dan selanjutnya melakukan intervensi serta mengatasi kejahatan hutan yang terorganisir dan melakukan investigasi terhadap para oknum dari instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum yang terlibat dalam sindikat pembalakan liar. Tim ini diwakili oleh seluruh lembaga terkait baik dari pemerintah propinsi maupun kabupaten, Komite Peralihan Aceh (KPA) dan NGO lokal. Pada awalnya, FFI mencoba untuk bekerjasama dengan tim ini, tetapi desain lengkapnya menunjukkan adanya biaya administrasi yang tinggi, dimana dana yang memadai tidak dialokasikan dalam anggaran pemerintah, maka dari itu FFI memutuskan bahwa anggaran tersebut akan berdampak paling besar jika dimanfaatkan untuk mendukung inisiatif ditingkat kabupaten. Akan menjadi penting bagi Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi kembali fungsionalitas timnya berdasarkan hasil dari studi ini, terutama dalam kaitannya untuk mengembangkan biaya yang lebih untuk tim yang beroperasi di tingkat kabupaten.
Rekomendasi Mengingat kompleksitas pembalakan liar dan beragamnya pelaku yang terlibat, maka tidak ada satu lembaga pun dapat diharapkan untuk mengurangi permasalahan ini sendirian. Untuk itu, kunci untuk keberhasilan mendatang di kawasan Ulu Masen, bahkan di Aceh, adalah dukungan yang berkelanjutan bagi jaringan multi-stakeholder untuk menerapkan strategi anti-pembalakan liar yang logis. Strategi ini, yang mana dapat juga dipergunakan untuk provinsi-provinsi lain di Indonesia, harus 27
mampu melaksanakan berbagai kegiatan pokok yaitu peningkatan kapasitas para mitra kerja, melakukan monitoring dan pelaporan kejahatan hutan melalui jaringan informan, operasi penegakan hukum, outreach komunitas, penciptaan mata pencaharian alternatif serta pengembangan kebijakan. Strategi ini juga harus memasukkan beberapa rekomendasi berdasarkan temuan spesifik yang teridentifikasi dari studi ini.
Rekomendasi Teknis
Pelatihan teknis yang diberikan oleh FFI kepada instansi penegak hukum menghasilkan tindakan cepat dilapangan, misalnya sehari setelah pelatihan reskrim polisi, peserta kemudian melakukan operasi di Bener Meriah dan menangkap tujuh pembalak liar, menyita empat kendaraan, dua chainsaw dan 40m3 kayu. Pelatihan ini karenanya harus dilakukan di tiga kabupaten lainnya Ulu Masen, ditambah Bireuen, dan provinsi, serta diulang di distrikdistrik yang sebelumnya telah dijangkau untuk memastikan adanya peningkatan kapasitas. Akan tetapi, kunci atas semua ini bahwa dinas-dinas pemerintah melaksanakan operasi rutin penegakan hukum di Ulu Masen. Untuk menghapus kendala yang sering disebutkan, kandidat yang paling menjanjikan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan harus dilatih sebagai penyidik pidana bersertifikat (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) untuk meningkatkan jumlah kasus yang dilanjutkan ke pengadilan. ini akan sangat membantu dengan memberikan pelatihan khusus mengenai identifikasi jenis kayu dan cara penanganan barang bukti. Operasi penegakan hukum untuk menyita kayu selama proses pengangkutannya diperkirakan dapat memberikan hasil yang sangat besar jika dilaksanakan pada waktu maghrib dan tengah malam. Hanya ada tiga jalan utama di sekitar Ulu Masen dan jalanjalan ini harus dijadikan target melalui
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
serangkaian pemblokiran jalan menggunakan mobil secara strategis berdasarkan informasi-intel terkini yang didapatkan. Jika memungkinkan, penyitaan kayu harus langsung di sumber penyimpanannya , misalnya, sebelum di pisahkan kedalam jumlah yang lebih kecil untuk diangkut. Target operator chainsaw dan krunya juga penting, tapi untuk setiap orang yang ditangkap tidak diragukan lagi ratusan lainnya siap untuk mengisi lowongan ini. Maka, yang dijadikan target adalah pelaku (yaitu: penjual dan pembeli) yang terlibat dalam pembalakan liar sangatlah penting namun lebih menantang, dimana mereka ini punya akses ke uang dan koneksi politik, sehingga penangkapan juga semakin sulit. Namun demikian, tugas dari Konsorsium Anti Pembalakan Liar (KAIL), kolaborasi antara organisasi non pemerintahan dan Pemerintah Kalimantan Barat, telah mampu menangkap pelaku (yang disebut cukong) dan pelajaran dapat diambil dari strategi ini. Efektifitas intervensi penegakan hukum harus terus dinilai melalui analisa kuantitatif dimana pengendali untuk akibat variabel confounding dan berdasarkan pola spatio-temporal dari pola pembalakan liar dan harga kayu di kabupaten. Merevisi sistem pelaporan-intel dengan tujuan untuk penyeleksian secara lebih luas akan meningkatkan efisiensi melalui pengurangan sumber daya yang dikeluarkan oleh LSM lokal dalam verifikasi laporan dilapangan (sebagaimana 190 dari 461 laporan intel yang telah diserahkan kepada badan penegakan hukum). Laporan tersebut tidak disampaikan dalam laporan ini karenacenderung menjadi laporan yang diidentifikasi di lokasi penggergajian illegal, yang sudah diketahui oleh mitra pemerintah. Pemantau independen, misalnya: lembaga swadaya masyarakat yang bekerja dengan
media provinsi, harus ditugaskan dengan melacak semua kasus pembalakan liar hingga hasil akhir, sebagai hasil dari 45.5 persen kasus dari laporan ini masih tidak diketahui. Akan sangat penting untuk mendokumentasikan alasan ketidaksuksesan hasil (ada 12 dalam laporan ini) untuk memperbaiki sistem, terutama sebagai investasi dalam pemantauan, pelaporan, penangkapan dan membawa kasus ke pengadilan tinggi, dan untuk memastikan tingkat transparansi yang lebih tinggi. Kegiatan-kegiatan ranger masyarakat untuk itu, harus menempatkan penekanan yang lebih kuat pada dampak langsung dan merugikan dari penurunan jasa ekosistem dar i p emba lakan l iar terh ad ap kesejahteraan manusia dan terhadap ekonomi penduduk lokal. Di Aceh, satusatunya provinsi di Indonesia yang berada dibawah hukum Syariah, lembaga-lembaga keagamaan dan para pemimpinnya dapat diikutsertakan dalam kegiatan ini, seperti melalui khotbah jum’at mereka.
Rekomendasi Kebijakan
Dana tambahan dari pemerintah dapat dialokasikan kedalam anggaran tingkat provinsi dan kabupaten. Pada tahun 2008, 67,1% dari anggaran provinsi Aceh yang dihabiskan24, jadi dana tambahan dapat diadakan, apabila diminta. Selain itu, dana yang dapat dialokasikan kembali oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang berasal dari penjualan sah kayu-kayu yang disita dapat diinvestasikan kedalam operasi penegakan hukum daripada kegiatan reboisasi, yang dilakukan saat ini. Revisi pembatasan dana ditempatkan pada lembaga penegak hukum untuk jenis kegiatan tertentu harus meningkatkan efektivitas operasi penegakan hukum. Sebagai contoh, alokasi anggaran polisi, per kasus, untuk mengangkut barang bukti kayu dari lokoasi ke kantor polisi adalah
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
28
sekitar US$500. Dalam beberapa kasus selama penelitian ini, jumlah ini tidak mencukupi dan itu berarti bahwa sejumlah besar kayu sitaantidak dapat dikumpulkan, yang menjelaskan sebagian kecil dari volume kayu sitaan selama study ini dilakukan. Batasan ini diprediksikan mempunyai dampak lebih luas karena tuntutan berdasarkan volume lebih kecil akan dikeluarkan hukuman yang ringan. Untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan, diperlukan tinjauan penting terhadap layanan 2000 polisi hutan non PNS (Pamhut), karena pada saat ini jumlah yang tidak proporsional (78%) dari anggaran tahunan polisi hutan dihabiskan untuk gaji Pamhut, sehingga dana yang tersisa tidak cukup unt uk op era si lapangan. Perampingan jumlah Pamhut mungkin mempunyai konsekuensi yang tidak diinginkan untuk perlindungan hutan karena hal ini akan membuat sejumlah besar orang yang tidak terampil dan berlebihan yang pada akhirnya nanti dapat menebang hutan. Bagaimanapun juga, struktur Pamhut saat ini tidak berkelanjutan dan tidak efektif.
29
Sebuah solusi jangka panjang, seperti perkebunan kayu, diperlukan untuk mengatasi kebutuhan kayu domestic di Aceh. Logging moratorium menghentikan penebangan kayu komersial di Aceh, tetapi dalam prosesnya justru menghentikan pasokan kayu lokal, kecuali untuk sejumlah kecil kayu yang secara legal diperoleh dari para pemilik ladang kecil. Dengan ketiadaan sumber daya kayu legal, maka mereka yang bersikap oportunis akan terus berupaya memenuhi permintaan tersebut dengan memanfaatkan kayu ilegal. Perkebunan tidak mungkin secara cepat mengatasi masalah ini, karena kayu dari sumber illegal akan tetap menjadi pilihan yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek, walaupun demikian hal ini tetap saja penting.
Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen
Kesimpulan
Salah satu hutan Ulu Masen di Peut Sagoe, Geumpang-Mane, Kabupaten Pidie yang harus tetap dijaga dari ancaman deforestasi.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan untuk menerapkan strategi REDD+ yang memiliki potensi untuk menghasilkan miliaran dolar11. Selain itu perlu untuk menunjukkan manfaat nyata mata pencaharian yang diantisipasi untuk disampaikan kepada masyarakat pedesaan, pemerintah juga harus menunjukkan kemampuannya untuk menghindari tingkat pra-disepakatinya deforestasi dan degradasi hutan. Pada akhirnya, ini memerlukan pembentukan strategi lanjutan yang menangani baik penebangan kayu ilegal dan perambahan lahan, yang selama ini masih kurang. 11
Laporan Ulu Masen menguraikan pendekatan multi-stakeholder yang, pada skala-kecil, menunjukkan pendekatan semacam itu untuk penebangan kayu ilegal. Meningkatkannya hingga mencakup provinsi-provinsi REDD+ Pemerintah Indonesia adalah dapat dilakukan tetapi akan sangat tergantung pada terwujudnya kondisi yang memungkinkan (kebijakan politik yang kuat, dukungan mitra yang kuat dan pendanaan yang berkelanjutan), yang diidentifikasi sebagai hal yang penting secara fundamental dalam penelitian ini.
Pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia, 2010. Kerjasama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Letter of Intent, Oslo, Norwegia.
Strategi, Aksi, dan Tujuan di Masa Yang Akan Datang
30
Kontak Kami: Fauna & Flora International Aceh Programme Jl. Cumi-Cumi, No. 15 Kuta Alam Lampriet Banda Aceh 23121 Indonesia Website http://www.fauna-flora.org Menjaga Hutan, Melindungi Hidup Conserving Forest, Protecting Life