Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI ACEH DI MASA DEPAN( Nazamuddin** I.
Kondisi Saat Ini Kondisi ekonomi Aceh pasca krisis ekonomi dan masa transisi atau reformasi sungguh memprihatinkan. Daya beli masyarakat merosot tajam dan angka pengangguran semakin besar. Pertumbuhan ekonomi jatuh hingga minus 5,89 persen pada tahun 1998 dan inflasi mencapai 76 persen. Keadaan ini telah menempatkan masyarakat pada posisi yang sangat sulit, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup minimum. Indikator lain adalah menurunnya investasi. PMDN yang pada tahun 1997 masih berada pada angka US $ 771,8 juta anjlok menjadi hanya US $ 6,2 juta pada tahun 1998. Demikian pula PMA turun dari US $ 706,1 menjadi hanya US $ 6,2 juta. Pendapatan per kapita Aceh riil non-migas pada tahun 1998 hanya sebesar Rp. 1.337.740. Kemudian nilai ekspor Aceh juga merosot dari US $ 2,6 milyar pada tahun 1995 menjadi US $ 2 milyar. Secara umum dampak langsung bagi masyarakat dari kondisi ekonomi makro ini adalah meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Kedua masalah inilah pada hakekatnya merupakan persoalan dasar (the crux of the problem) yang membawa berbagai konsekuensi kehidupan sosial masyarakat, antara lain dalam bentuk gejolak politik dan sosial. Kemiskinan mencapai 34 persen dari jumlah penduduk yang pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 4,1 juta jiwa. Kondisi kemiskinan terutama tampak jelas dari kehidupan sehari-hari masyarakat di pedesaan. Pengangguran pada tahun 2000 ini diperkirakan mencapai 15,81 persen dari sekitar 1,87 juta orang angkatan kerja. Jumlah penganggur ini ada sebanyak 294.945 orang. Keadaan pengangguran ini menunjukkan gejala yang semakin parah tak tampak tanda-tanda akan terpecahkan dalam waktu ( Makalah bandingan dibawakan pada Seminar Sehari “Mencari Format dan Strategi Pembangunan Aceh Masa Depan”, diselenggarakan oleh Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 19 Februari 2000. ** Dosen Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. PAGE
1
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
dekat. Angkatan kerja terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara upaya-upaya makro dan mikro belum memberikan hasil yang diharapkan dalam menyediakan lapangan kerja. Angkatan kerja yang pada tahun 1992 hanya sebesar 11,4 juta orang pada tahun 1998 menjadi 1,7 juta orang. Pada tahun 2000 jumlahnya diperkirakan mencapai 1,86 juta orang. Sementara karena daya serap yang rendah, angka pengangguran meningkat dari hanya 1,93 persen pada 1992 menjadi 6,21 persen dari angkatan kerja pada 1998. Kemudian pada tahun 2000 angka pengangguran ini menanjak jadi 15,81 persen atau hampir 300 ribu orang, dua-pertiga di antaranya berada di pedesaan.
Angka-angka
ini
hanya
pengangguran
terbuka
(open
unemployment). Belum terhitung lagi pengangguran terselubung (disguised unemployment) dan setengah pengangguran
(underemployment) yang
diperkirakan mencapai 37 persen dari angkatan kerja. Masalah kemiskinan dan pengangguran sudah merupakan penyakit kronis yang tak kunjung disembuhkan. Turbulensi politik dan ekonomi yang terjadi di Aceh dalam masa transisi ini telah menempatkan masyarakat Aceh pada posisi yang semakin parah, terburuk dalam sejarah. Kondisi keamanan dan politik di Aceh yang penuh ketidakpastian belum memberikan tandatanda yang membuat orang Aceh optimis tentang masa depannya. Berbagai upaya telah dipikirkan dan dilakukan, antara lain dengan menyuntikkan dana tanggap darurat sebesar Rp. 55 milyar, peresmian pelabuhan bebas Sabang, pembangunan kembali Kereta Api Aceh dan pembukaan embarkasi haji, tetapi masalah mendasar kemiskinan dan pengangguran belum dan tidak tampak akan terpecahkan dalam waktu segera. Upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan selama ini lebih merupakan tindakan mengobati gejala penyakit (symptom), bukan membunuh virus penyakit. Maka tak heran dan besar kemungkinan gejolak sosial di masa depan akan terulang lagi akibat penyakit yang sebenarnya belum benar-benar sembuh. Gejolak sosial akan muncul lagi sebagai suatu siklus penyakit yang secara periodik akan kambuh kembali.
PAGE
2
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
Oleh karena itu, penyelesaian masalah Aceh tidak dapat lain selain dengan memecahkan “the crux of the problem” dan untuk itu diperlukan suatu strategi yang komprehensif dan tepat sasaran. Dan ini tidak berarti membangun proyek-proyek yang besar yang barangkali lebih bersifat membangkitkan kembali nostalgia masa lalu atau merajut kebanggaan semata dengan proyek-proyek besar. Tetapi yang sangat mendasar adalah bagaimana mengangkat harkat dan martabat ekonomi masyarakat Aceh sehingga secara sistematis masyarakat Aceh dapat menjelma menjadi masyarakat makmur dan tenteram, yakni menjadi baidhatun thaiyibatun wa rabbun ghafur. Hanya dengan demikian, masalah-masalah lain sebagai masalah derivatif dapat diselesaikan secara mendasar. II.
Peluang yang dapat diraih Tak dapat dipungkiri bahwa peluang Aceh menjadi suatu kawasan pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
dan
dalam
jangka
panjang
mengantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang makmur terbuka lebar,
asalkan
ada komitmen yang besar dan kebijakan yang tepat di pihak pemerintah dan keinginan dan kerja keras dari masyarakatnya. Prakondisi untuk itu tentu saja sangat diperlukan. Peluang (opportunity) yang dapat diraih dan dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi masyarakat Aceh secara umum dapat dirangkum dalam beberapa bentuk. Pertama, terbukanya aksesibilitas yang besar bagi Aceh, baik dengan ekonomi nasional maupun dengan ekonomi internasional. Dibukanya Bandara Sultan Iskandar Muda menjadi bandara internasional untuk rute ke Eropa dan Timur Tengah atau tempat persinggahan penerbangan internasional serta embarkasi haji, dan dijadikannya Sabang sebagai pelabuhan bebas, dapat memacu pertumbuhan ekonomi Aceh jika eksporimpor, mobilitas manusia, dan investasi dapat meningkat di masa depan. Akses ke dan dari Aceh yang semakin terbuka ini akan menjadikan Aceh suatu kawasan yang terbuka dan mempercepat integrasi ekonomi wilayah,
PAGE
3
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
tidak saja dengan daerah sekitar, tetapi juga dengan negara-negara tetangga. Tetapi perlu diingat bahwa bandara dan pelabuhan laut tidak akan hidup dan berkembang tanpa ada kegiatan-kegiatan lain yang mendukungnya. Untuk itu pembangunan Aceh secara menyeluruh dalam arti peningkatan kegiatan ekonomi riil masyarakat harus merupakan suatu program yang terpadu. Kedua, bakal dijadikannya Aceh sebagai daerah otonomi khusus sehingga
Aceh
mempunyai
keleluasaan
mengelola
sumber-sumber
ekonominya secara mandiri. Di masa depan otonomi ini yang diperkirakan akan menyerupai kewenangan sebagaimana layaknya sebuah negara federal akan membawa Aceh menjadi kawasan yang mempunyai daya tarik yang besar. Dengan anggaran pembangunan pemerintah daerah yang minimal sebesar 2 triliun rupiah, Aceh dapat mempersiapkan infrastruktur fisik dan institusional yang modern sehingga dalam waktu sekitar sepuluh tahun Aceh siap dengan “landasan pacu” yang kukuh untuk “take-off” bagi ekonomi Aceh. Namun perlu pula kehati-hatian dalam mengelola aset daerah secara otonom agar harapan itu tidak sedekar menjadi fatamorgana karena penguasaan dan pengelolaan aset daerah berada di tangan-tangan penguasa daerah yang tidak lolos sensor KKN. Manajemen sumber-sumber daerah juga harus didukung oleh sumber daya manusia yang cakap dan trampil. Perangkat-perangkat kelembagaan perlu dipersiapkan sejak dini. Ketiga, potensi sumber daya alam Aceh masih cukup besar. Produksi gas alam cair oleh PT. Arun NGL Co. masih dapat berlangsung hingga tahun 2018 setelah ditemukannya cadangan gas NSO (North Sumatera Offshore), walaupun produksi per tahun hanya 3 juta ton dari sekitar 12 juta ton sekarang ini. Sementara produksi pupuk mencapai 1.3 juta ton per tahun, yakni 22 persen dari total produksi pupuk urea Indonesia. Selain itu, Aceh masih mempunyai sekitar 1,4 juta ha hutan produksi dan ekspor kayu lapis mencapai US $ 17 juta (Rp. 119 milyar) per tahun. Kemudian begitu luas perairan lau di sekitar Selat Melaka dan Lautan Hindia yang kaya dengan sumber daya laut yang masih dapat dieksploitasi secara optimal.
PAGE
4
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
Belum lagi sumber daya manusia dengan sekitar 1,8 juta orang angkatan kerja yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Semua potensi ekonomi tinggal menunggu penanganan yang tepat dan perlu suatu program pemberdayaan potensi SDA dan SDM yang dilakukan secara terpadu dan tepat sasaran. Otorita atau wewenang Aceh dalam kerangka otonomi khusus akan mampu mengangkat potensi ini di masa depan. Keempat, berbagai kerjasama yang sifatnya regional maupun nasional. Dalam hal ini perjanjian-perjanjian kerjasama IndonesiaMalaysia-Thailand (IMT-GT) dan Kawasan Perdagangan Bebas Asean (AFTA) akan menempatkan Aceh pada arus pertumbuhan ekonomi global. Kawasan Asia Pasific yang diperkirakan akan menjadi kawasan yang tinggi pertumbuhannya akan memberi peluang besar bagi Aceh untuk tumbuh dalam perdagangan bebas yang terbuka. Tetapi tentu saja Aceh harus siap dalam hal “competitiveness”, baik dari sudut infrastruktur dasar, industrialisasi,
maupun
sumber
daya
manusia.
Gagasan-gagasan
pembangunan ekonomi Aceh masa depan harus mengacu pada konteks kerjasama ekonomi regional dan global. III.
Strategi alternatif untuk masa depan Pembangunan ekonomi Aceh harus dilakukan secara sekaligus dan besarbesaran (big-push). Hal ini mengandung makna bahwa membangun Aceh masa depan diarahkan pada pemberdayaan semua potensi yang ada untuk memakmurkan masyarakat Aceh, yang dicerminkan oleh meningkatnya pendapatan per kapita dan lingkungan hidup yang baik. Untuk itu strategi alternatif yang ditawarkan di sini adalah pembangunan ekonomi Aceh yang mempunyai ciri-ciri di bawah ini. 1. Pembangunan ekonomi masyarakat harus berbasis masyarakat (community based) dan berbasis sumber daya yang ada (resource based). Ini berarti bahwa menggali potensi yang ada dalam masyarakat, yang dalam hal ini sebagian besar bekerja di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Demikian pula,
PAGE
5
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
prioritas-prioritas
pengembangan
antar
wilayah
dapat
berbeda-beda
tergantung pada sumber daya yang ada. Oleh karena itu, pembangunan ketiga sektor ini secara komersial (tidak subsisten) akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. 2. Kemudian
industri-
ind
n antar wilayah (interregional linkages). Ini dimaksudkan agar pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan secara merata di semua sektor dan di seluruh wilayah Aceh. 3. Untuk menampung kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian pedesaan (oversupply of labor), perlu ditumbuhkan kegiatan-kegiatan ekonomi perkotaan melalui industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Bila perlu juga diberi insentif untuk datangnya investor asing di bidang industri
PAGE
6
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
elektronika yang memproduksi komponen-komponen untuk pasar ekspor. Perangkat keras dalam bentuk infrastruktur transportasi dan telekomunikasi dan perangkat lunak dalam bentuk prosedur investasi dan kemudahankemudahan administrasi perlu dipersiapkan. 4. Mengembangkan sektor pariwisata tanpa mengabaikan nilai-nilai agama dan adat istiadat daerah. Sektor ini memiliki potensi yang besar karena Aceh mempunyai peninggalan sejarah yang kaya, kebudayaan yang unik, dan alam yang indah. Sektor ini juga ramah lingkungan dan mempunyai keterkaitan dan dapat membawa trickle-down effects pada sektor-sektor lain yang umumnya berskala kecil dan bahkan informal. 5. Terakhir dan tak kalah pentingnya adalah membuat pemerintah daerah yang efektif, yakni pemerintahan daerah yang bersih dan birokrasi daerah yang efisien. Eksekutif daerah beserta wakil-wakil rakyat Aceh di DPRD harus membuat regulasi daerah yang bersifat otonom (melalui Perda-perda) tentang berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kemudian pihak penegak hukum melakukan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas dan konsisten. Hanya dengan demikian kepastian hukum dapat terjamin dan melahirkan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan ekonomi secara umum. Pemerintahan daerah yang efektif tidak mesti berarti ukurannya besar dan sangat berkuasa, melainkan pemerintahan daerah yang mampu mendorong tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang efisien.
Referensi: Bank Indonesia Banda Aceh, Perkembangan Ekonomi Keuangan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, berbagai edisi. Bank Indonesia Banda Aceh, Ringkasan Eksekutif Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah Istimewa Aceh, berbagai edisi. Nazamuddin, Visi, Misi dan Proyeksi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Menyongsong 2020, Studi Prospek Perkembangan Ekonomi Pulau Sumatera Tahun 2020 dan Skenario Antisipasi Bank Ekspor Impor Indonesia, 1997.
PAGE
7
Nazamuddin
Strategi Pembangunan Ekonomi Aceh
Harian Serambi Indonesia, berbagai tanggal. Harian Bisnis Indonesia, berbagai tanggal.
PAGE
8