PENANGANAN KEPUTIHAN PADA REMAJA PUTRI DI SMPN 1 MOJOANYAR MOJOKERTO DESI AINI 10002244 Subject: penanganan, keputihan, remaja putri Description Perawatan daerah reproduksiseperti menangani gangguan akibat keputihan merupakan faktor penentu dalam memelihara kesehatan sistem reproduksi.Penanganan keputihan yang kurang tepat seperti pengobatan sendiri dapat menyebabkan efektifitas terapi tidak tercapai dan berisiko pada munculnya resistensi sehingga jamur semakin kebal.Tujuan penelitian untuk mengetahui penanganan keputihan pada remaja putri di SMPN 1 Mojoanyar Mojokerto. Jenis penelitian deskriptif dengan rancang bangun survei morbiditas.Variabel penelitiannya mengetahui penanganan keputihan pada remaja putri.Populasinya seluruh remaja putrikelas VIII Tahun Ajaran 2013/2014 sebanyak 95 orang dan diambil seluruhnya sebagai sampel menggunakan total sampling. Data diperoleh dengan cara menyebar kuesioner pada tanggal 19-22 Mei 2014. Data kemudian diolah dan dianalisis menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden tidak benar dalam melakukan penanganan keputihan sebanyak 57 responden (60,0%). Hal ini dapat disebabkan karena responden tidak pernah mengalami keputihan patologis.Selain itu masih kurang emahami bahwa keputihan fisiologis tidak perlu diobati, hanya ditekankan pada menjaga kebersihan dan menghindari kelembaban pada daerah kelamin. Sedangkan sisanya sebanyak 38 responden (40,0%) melakukan dengan benar, disebabkan karena telah mendapatkan informasi yang benar dan tepat mengenai masalah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diharapkantenaga kesehatan agar meningkatkan program penyuluhan ke sekolah-sekolah dengan materi keputihan, termasuk penanganannya serta dapat juga bekerjasama dengan guru Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) agar informasi tersebut dapat tersampaikan dengan benar dan meningkatkan pengetahuan remaja tentang keputihan. ABSTRACT Reproductive health care such as the disorder caused by fluor albus was the determining factor in maintaining health of reproductive system. Improper treatment of fluor albus can cause therapeutic effectiveness was not achieved and emerges the risk of fungus resistance. The purpose of this research was to know the treatment of fluor albus in young girls at SMPN1 Mojoanyar Mojokerto. Type of research was descriptive with morbidity survey design. Research variablewas the treatment of fluor albus in young girls. Population was all young girls at eighth grade in 2013/2014 as many as 95 people and all taken as sample using the total sampling. Data obtained by questionnaire spread on 19-22 May 2014. Then data was processed and analyzed using frequency distribution.
The results showed that majority of respondents were not properly in the treatment of fluor albus as many as 57 respondents (60,0%). This can be caused by respondents have never experienced pathological fluor albus. Other than that they still lack of understand that physiological fluor albus did not need to be treated, only emphasized on maintaining cleanliness and avoid the dampness in the genital area. The rest as many as 38 respondents (40,0%) did correctly because they’ve not receive correct information about that problem. Based on the results of the research, health workers should increase the counseling programs to schools with fluor albus material, including treatment and can also do collaboration with the tutor of school health unit so that the information can be conveyed properly and improving the knowledge of young girls about fluor albus. Keywords: treatment, fluor albus, young girls Contributor
: 1. Eka Diah Kartiningrum, M.Kes 2. Suhermin Setyoningsih, S.ST
Date
: 7 Juni 2014
Type Material : Laporan Penelitian Edentifier
:-
Right
: Open Document
Summary
:
LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa dimana remaja putri harus lebih memperhatikan kesehatan sistem reproduksi termasuk kebersihan daerah genetalia eksterna (vulva hygiene).Organ reproduksi merupakan salah satu organ tubuh yang sensitif dan memerlukan perawatan khusus.Perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kesehatan sistem reproduksi (Ratna, 2010: 1).Salah satu manifestasi gejala dari hampir semua penyakit organ reproduksi adalah keputihan (Manuaba, 2010: 530).Pada umumnya keluhan di daerah genital ini juga dialami oleh anak perempuan dan remaja (Zubier dalam FKUI, 2009: 54).Gangguan ini tidak menimbulkan mortalitas tetapi morbiditas karena selalu membasahi bagian dalam dan menimbulkan iritasi, terasa gatal, sehingga mengganggu dan mengurangi kenyamanan (Manuaba, 2008: 296). Keputihan dapat merupakan suatu keadaan yang normal (fisiologis) atau sebagai tanda adanya suatu penyakit (patologis).Keputihan yang normal biasanya bening sampai keputihan, tidak berbau dan tidak menimbulkan keluhan. Keputihan yang patologis biasanya berwarna kekuningan/kehijauan/ keabu-abuan, berbau amis dan busuk, jumlah sekret umumnya banyak dan menimbulkan keluhan seperti gatal, kemerahan (eritema), edema, rasa terbakar pada daerah intim, nyeri saat berkemih (dysuria), dan pada wanita yang telah menikah akan terasa nyeri saat berhubungan seksual (dyspareunia) (Rusdi, dkk., 2008: 93). Seringkali para wanita merasa mampu mengenali sendiri bahwa dirinya sedang menderita keputihan. Mereka biasanya mengobati sendiri dengan obat-obat
keputihan yang dijual bebas di pasaran tanpa merasa perlu memeriksakan diri ke dokter untuk memperoleh pemeriksaan secara lebih detil. Pada kasus ini, tindakan tersebut cukup berisiko.Karena apabila kurang tepat dalam pengenalan penyakitnya, dapat menyebabkan kurang tepat terhadap obat yang dipilih. Dengan demikian selain efektifitas terapi tidak tercapai, juga akan berisiko pada munculnya resistensi sehingga jamur semakin kebal dengan obat (Manan, 2011: 72). Diperkirakan sebanyak 75% wanita di Indonesia pernah mengalami keputihan minimal satu kali dalam hidupnya (Efmed, 2009 dalam Wijanti, dkk., 2011: 199). Menurut data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2007, gejala keputihan juga dialami oleh wanita yang belum kawin atau remaja putri berumur 15-24 tahun sebanyak 31,8% (Badaryati, 2012: 2). Hasil penelitian Karuniadi (2009: 46) di Klinik Remaja Kisara PKBI Bali menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri berusia 14-16 tahun tidak tahu perihal penyebab keputihan (90,91%). Penelitian di Jawa Timur menunjukkan 75% remaja menderita keputihan minimal satu kali seumur hidup, bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih (Moki, 2007 dalam Sari dan Amalia, 2013: 22). Studi pendahuluan dilakukan di SMPN 1 Mojoanyar Mojokerto dengan teknik wawancara menggunakan check list penanganan keputihan pada tanggal 17 Maret 2014 terhadap 15 remaja putri kelas VIII yang diambil secara acak dari kelas A-G. Hasil studi pendahuluan menunjukkan dari 15 indikator, seluruh (100%) responden berusaha selalu menjaga kebersihan saat keputihan, mencegah daerah kelamin agar tidak lembab, lebih sering mengganti celana dalam, 13 (86,7%) responden membiarkan keputihan yang sedang terjadi, tidak seorang pun (0%) responden yang memeriksakan diri ke tenaga kesehatan dengan alasan malu, risih, takut, dan tidak seorang pun (0%) responden yang minum yoghurt untuk membantu mengurangi kelembaban organ kelamin karena tidak tahu. Menurut Badaryati (2012: 3-4, 34), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penanganan keputihan dalam kerangka pikir Lawrence Green.Faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, dan variabel demografi (umur, pendidikan, dan sebagainya), faktor pendukung meliputi ketersediaan fasilitas, keterjangkauan pelayanan, sosial ekonomi, kemampuan petugas, dukungan pemerintah, dan keterpaparan informasi.Sedangkan faktor pendorong, yaitu keluarga, idola, guru, tenaga kesehatan, media, dan tokoh masyarakat.Menurutnya ada beberapa faktor penghambat seseorang berperilaku sehat dalam upaya penanganan keputihan yaitu kurangnya pengetahuan mengenai keputihan.Selain itu meskipun banyak wanita mengalami keputihan namun mereka menganggap hal yang normal saja. Persepsi yang salah akan mendorong seseorang untuk bersikap yang tidak benar terhadap keputihan. Persepsi dan sikap yang tidak tepat akan memperlemah motivasi seseorang untuk berperilaku sehat dalam upaya penanganan keputihan. Selain itu sampai saat ini banyak remaja belum menikmati pelayanan kesehatan secara optimal karena ketidaktahuan dan menganggap pelayanan kesehatan hanya untuk orang yang sakit.Faktor utama lainnya adalah keterpaparan informasi yang kurang tepat, yaitu sebagian besar remaja mendapatkan informasi tentang keputihan dari teman, dimana teman-temannya juga kurang mempunyai informasi yang memadai juga.
Perawatan organ-organ reproduksi sangatlah penting.Jika tidak dirawat dengan benar, maka dapat menyebabkan berbagai macam akibat yang dapat merugikan, misalnya infeksi (Kusmiran, 2011: 23).Penanganan keputihan untuk lendir yang normal atau keputihan fisiologis tidak perlu diobati, yang penting menjaga kebersihan dan mencegah kelembaban yang berlebihan pada daerah organ kelamin.Terutama jika sedang terjadi peningkatan jumlah lendir normal.Menggunakan antiseptik yang sesuai atau dengan petunjuk dokter untuk membersihkan vagina dari lendir keputihan yang berlebihan (Kasdu, 2008: 40). Membersihkan vulva dengan tidak menggunakan cairan antiseptik secara berlebihan karena akan merusak flora normal yaitu bakteri doderlein (Arina, 2010: 53). Bagi remaja putri membiasakan diri untuk membersihkan vulva setiap setelah buang air kecil dan buang air besar dan mengeringkan sampai benar-benar kering sebelum menggunakan pakaian dalam adalah perilaku yang benar (Arina, 2010: 53). Mencuci daerah genetalia dari arah depan ke belakang (Zubier dalam FKUI, 2009: 62). Saat mencuci daerah genetalia jika perlu menggunakan air bersih yang hangat (Arina, 2010: 53). Menggunakan pakaian dalam yang terbuat dari bahan yang menyerap keringat, misalnya katun atau kaus. Kain yang tidak menyerap keringat akan menimbulkan rasa panas dan lembab. Kondisi ini akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemakai serta sangat kondusif bagi pertumbuhan jamur. Pakaian dalam yang dikenakan juga harus dalam keadaan bersih dan ukuran yang tepat (Arina, 2010: 51). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakanjenis deskriptif dengan pendekatan survey jenis survey morbiditas. Variabel dalam penelitian ini yaitu penanganan keputihan pada remaja putri. Populasi penelitian ini adalah seluruh remaja putrikelas VIII di SMPN 1 Mojoanyar Mojokerto Tahun Ajaran 2013/2014 sebanyak 95 orang. Sampel diambil dengan menggunakan total sampling. Lokasipenelitian:penelitian ini dilakukan di SMPN 1 Mojoanyar Mojokerto. Waktu penelitian: pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 19-22 Mei 2014. Teknik pengumpulan data: data dikumpulkan menggunakan angket dari hasil pengisian kuesioner. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berumur 14-16 tahun sebanyak 85 responden (89,5%).Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden mendapat informasi tentang penanganan keputihan dari orang tua sebanyak41 responden (43,2%) dan seluruh responden pernah mengalami jenis keputihan fisiologis sebanyak 95 responden (100,0%).Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwasebagian besar responden tidak benar dalam melakukan penanganan keputihan sebanyak 57 responden (60,0%). Hasil penelitian yang dilakukan di SMPN 1 Mojoanyar Mojokerto terhadap 95 responden mengenai penanganan keputihan pada remaja putri diperoleh data bahwa sebagian besar responden tidak benar dalam melakukan
penanganan keputihan sebanyak 57 responden (60,0%) dan sisanya sebanyak 38 responden (40,0%) benar dalam melakukan penanganan keputihan. Perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungan dengan lingkungannya. Dengan perkataan lain, perilaku baru terjadi bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi. Sesuatu tersebut disebut rangsangan. Jadi suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi berupa perilaku tertentu itu (Mahfoedz dan Suryani, 2007: 20).Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behaviour (Notoatmodjo, 2005: 44).Keputihan yang istilah medisnya disebut leukore (leucorrehoea) atau flour albus (aliran putih) merupakan salah satu bentuk dari vaginal discharge yaitu cairan yang keluar dari vagina.Keputihan bukan merupakan penyakit melainkan suatu gejala.Gejala tersebut dapat disebabkan oleh faktor fisiologis maupun patologis.Disebut keputihan bila pengeluaran cairan yang berlebihan namun bukan darah dari vagina.Keputihan bisa terjadi tidak hanya pada perempuan dewasa. Tetapi juga pada bayi, anak-anak, maupun setelah usia lanjut (Dalimartha, 2008: 1). Penanganan keputihan yang dilakukan oleh responden sebagian besar tidak benar, terutama pada penanganan keputihan patologis.Hal ini dapat disebabkan karena responden tidak pernah mengalami keputihan patologis.Selain itu masih ada beberapa responden yang kurang memahami bahwa keputihan fisiologis tidak perlu diobati, hanya ditekankan pada menjaga kebersihan dan menghindari kelembaban pada daerah kelamin.Hal ini juga dilatarbelakangi oleh karakteristik responden, yaitu umur, sumber informasi dan jenis keputihan yang dialami.Sedangkan responden yang benar dalam menangani keputihan dapat disebabkan karena telah mendapatkan informasi yang benar dan tepat mengenai masalah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden benar dalam melakukan penanganan keputihan fisiologis sebanyak 55 responden (57,9%). Berdasarkan tabulasi data diketahui bahwa responden paling benar adalah pada langkah penanganan pertama yaitu selalu menjaga kebersihan, kelima, yaitu mencuci daerah kelamin dengan rebusan daun sirih, dan kedua belas yaitu sering mengganti celana dalam (minimal 2 kali). Pada daerah sekitar vagina, vagina, dan mulut rahim dilengkapi dengan sel-sel dan kelenjar yang menghasilkan lendir.Lendir ini secara alamiah diperlukan sebagai pelumas.Dalam keadaan normal, lendir ini berwarna jernih, tidak berbau, dan tidak gatal atau pedih. Produksinya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor hormonal, rangsangan birahi, kelelahan fisik dan kejiwaan serta adanya benda asing dalam organ reproduksi. Oleh karena itu lendir ini akan meningkat saat-saat menjelang dan sesudah haid, pada rangsangan birahi dan ibu-ibu yang menggunakan kontrasepsi IUD. Keputihan fisiologis juga dapat ditemukan pada bayi perempuan yang baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari(Kasdu, 2008: 37). Sebagian besar responden benar dalam menangani keputihan fisiologis dapat disebabkan karena keputihan fisiologis merupakan kondisi alamiah yang tidak menimbulkan masalah dan sering ditemui dalam aktifitas sehari-hari, misalnya saat kelelahan akibat aktifitas sekolah dan aktifitas harian atau menjelang menstruasi, sehingga responden sudah terbiasa menanganinya.Tindakan yang paling sering dilakukan responden adalah selalu
menjaga kebersihan, menggunakan rebusan air daun sirih dan mengganti celana dalam minimal dua kali sehari.Tindakan tersebut selain tindakan penanganan juga termasuk tindakan pencegahan keputihan fisiologis, sehingga keputihan fisiologis tidak sampai menjadi gangguan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan hampir setengah dari responden benar dalam melakukan penanganan keputihan patologis sebanyak 40 responden (42,1%). Berdasarkan tabulasi data diketahui bahwa responden paling tidak benar adalah pada langkah penanganan kedua yaitu minum obat dan ketiga yaitu minum minuman yoghurt. Keputihan patologis disebut keputihan dengan ciri-ciri jumlahnya banyak, warnanya putih seperti susu basi, kuning atau kehijauan, disertai dengan rasa gatal atau pedih, terkadang berbau busuk atau amis. Keputihan menjadi salah satu tanda atau gejala adanya kelainan pada organ reproduksi wanita.Kelainan tersebut dapat berupa infeksi, polip leher rahim, keganasan (tumor dan kanker), serta adanya benda asing.Namun tidak semua infeksi pada saluran reproduksi wanita memberikan gejala keputihan (Kasdu, 2008: 37). Seluruh responden tidak pernah mengalami keputihan patologis, karena hampir seluruh responden melakukan tindakan pencegahan keputihan seperti selalu menjaga kebersihan dan sering mengganti celana dalam.Hal ini yang menyebabkan sebagian besar responden tidak benar dalam penanganan keputihan patologis.Selain itu kurangnya informasi masalah penanganan keputihan patologis juga kurang diterima oleh responden, sehingga tidak menambah pemahamannya dalam masalah tersebut. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri dalam melakukan penanganan keputihan tidak benar sebanyak 57 responden (60,0%). REKOMENDASI 1. Bagi peneliti Peneliti harus semakin meningkatkan pengetahuannya dan mengkritisi berbagai masalah yang dihadapi remaja serta berupaya mencari solusi bagi permasalahan tersebut. 2. Bagi tenaga kesehatan Tenaga kesehatan disarankan meningkatkan program penyuluhan ke sekolahsekolah, memberikan pengarahan dan materi tentang masa keputihan, termasuk penanganannya serta dapat juga bekerjasama dengan guru Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) agar informasi tersebut dapat tersampaikan dengan benar dan meningkatkan pengetahuan remaja tentang keputihan. 3. Bagi responden Remaja harus aktif mencari informasi tentang keputihan dengan cara banyak membaca berbagai sumber informasi mengenai hal tersebut, misalnya dari buku, majalah, koran, TV dan terutama dari petugas kesehatan. Selain itu berusaha untuk mempraktikkan pengetahuan yang didapat dalam perilaku keseharian agar pengetahuan yang diperoleh dapat segera diadopsi menjadi perilaku yang benar.
4. Bagi institusi pendidikan Bagi lokasi penelitian disarankan untuk menyediakan fasilitas yang mendukung peningkatan pemahaman siswanya mengenai keputihan dan penanganannya dengan cara meningkatkan ketersediaan buku-buku di perpustakaan sekolah mengenai hal tersebut. 5. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti selanjutnya dapat mengkaji mengenai pengaruh pemberian informasi tentang keputihan terhadap pengetahuan dan sikap remaja tentang keputihan. Alamat Korespondensi: - Alamat rumah : Jl. Raya Manding No 46 Sumenep - Email :
[email protected] - No. HP : 081237040286