ForumDiagnosticum PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
PRODIA DIAGNOSTICS EDUCATIONAL SERVICES
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE Rita Kurniasih dan Andi Wijaya Laboratorium Kimia Klinik, FMIPA, Universitas Padjadjaran Bandung Laboratorium Klinik Prodia
ABSTRAK
ISSN 0854-7173 | No. 5/2002
Telah lama diketahui bahwa penanda biokimiawi dapat digunakan untuk mengetahui faktor risiko terhadap stroke, penelitian lain menunjukkan bahwa berbagai penanda biokimiawi juga dapat digunakan untuk diagnosis dan deteksi dini kerusakan serebral. Penanda biokimiawi tersebut terdiri dari protein S100B, Myelin Basic Protein (MBP) dan Neuron Spesific Enolase (NSE). Penanda biokimiawi ini merupakan protein yang secara normal terdapat dalam otak dengan fungsinya masing-masing. Dalam keadaan stroke, penanda biokimiawi ini ada dalam sirkulasi disertai terjadinya peningkatan kadar. Penanda biokimiawi ini sangat dibutuhkan untuk memperoleh terapi stroke yang optimal terutama untuk stroke iskemik, mengingat stroke sebagai penyebab kematian tertinggi dari kelompok penyakit saraf dan kecacatan yang terjadi terutama disebabkan oleh stroke.
P
ENDAHULUAN
Stroke adalah salah satu penyebab kematian ke tiga di banyak negara dan penyebab utama terjadinya disabilitas neurologikal pada orang dewasa. Dua pertiga penderita stroke mengalami disabilitas yang meliputi paralisis, kehilangan kemampuan berbicara dan ingatan (1). Walaupun stroke dapat menyebabkan suatu keadaan yang merugikan, tetapi metode diagnosis dan pilihan dalam pengobatan masih terbatas. Salah satu obat yang biasa digunakan untuk terapi stroke adalah rtPA (recombinant tissue plasminogen activator),suatu trombolisis untuk terapi stroke iskemik. Terapi dengan rtPA akan memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan dalam waktu 3 jam setelah serangan stroke, sehingga apabila pasien mengalami stroke, pasien harus segera didiagnosis dalam waktu tersebut (window time) untuk menjamin kualitas pengobatan dan harus dibedakan dulu antara stroke hemoragik atau iskemik. Hal ini disebabkan rtPA memiliki efek negatif jika diberikan kepada penderita stroke hemoragik (2). Saat ini belum tersedia rapid test untuk diagnosis stroke. Untuk mendiagnosis dan membedakan tipe stroke, klinisi masih menggunakan CT (computed tomography) dan MRI (magnetic resonance imaging), yang membutuhkan waktu agak lama dan kadang-kadang kurang sensitif untuk membedakan antara stroke hemoragik dan iskemik. MRI dapat mengidentifikasi daerah dan lokasi di otak yang mengalami sumbatan, tetapi MRI tidak dapat mendiagnosis dengan baik pada tahap awal serangan stroke (2).
LABORATORIUM KLINIK
Untuk mengatasi hal tersebut, para peneliti sudah menemukan beberapa protein yang akan dilepaskan dalam sirkulasi dan kadarnya meningkat selama serangan stroke, yaitu S-100B, NSE (neuron spesific enolase) dan MBP (myelin basic protein). Protein-protein tersebut dapat digunakan sebagai rapid marker yang akan membantu diagnosis dan deteksi dini serta prognosis stroke termasuk tingkat keparahan stroke (2).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
1
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
PATOFISIOLOGI STROKE Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab kematian ke tiga di beberapa negara dan penyebab utama peningkatan morbiditas, terutama pada orang usia pertengahan dan lanjut usia. Pada penyakit serebrovaskular terjadi abnormalitas di otak yang disebabkan adanya gangguan pada pembuluh darah serebral dan stroke menunjukkan keadaan ini, terutama apabila simptom mulai menjadi akut. Efek akhir dari penyakit serebrovaskular adalah terjadinya penurunan suplai oksigen ke serebral/otak yang menyebabkan sel otak mengalami hipoksia (4,2). Jaringan otak sangat rentan terhadap gangguan suplai glukosa maupun oksigen. Otak membutuhkan sekitar 20% dari pemakaian oksigen tubuh setiap hari. Selain itu, secara normal, otak membutuhkan glukosa untuk menghasilkan energi melalui proses glikolisis dan siklus Krebs serta membutuhkan ± 4 x 1021 ATP per menit. Oksigen dan glukosa tersebut diantarkan ke otak melalui aliran darah secara konstan. Metabolisme ini merupakan proses yang tetap dan berkesinambungan, tanpa ada periode istirahat (1,3). Gambar 1. Stroke iskemik
Stroke merupakan suatu keadaan yang amat kompleks yang menyangkut terjadinya iskemia serebral, perubahan aliran darah serebral, inflamasi, peningkatan produksi radikal bebas, nekrosis neuronal dan apoptosis serta disfungsi neurologik. Stroke dapat terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung lama sekurang-kurangnya selama 24 jam, sedangkan iskemia serebral terjadi apabila aliran darah menurun sampai pada satu titik dimana substrat metabolik yang tersedia gagal untuk memenuhi kebutuhan metabolisme normal pada serebral/otak (1,3,4,5,6) (Gambar 1).
Berdasarkan patogenesisnya, stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke iskemik dan hemoragik (5,7). Stroke iskemik merupakan penyebab sebagian besar kasus stroke (± 85%). Stroke iskemik disebabkan oleh trombosis atau emboli pada pembuluh darah serebral. Proses yang mendasari terjadinya trombosis atau emboli adalah aterosklerosis pada arteri karotid kranial yang meliputi terminal arteri karotid internal, arteri basilar, middle cerebral arteri, arteri pericallosal, dan arteri posterior serebral. Aterosklerosis terjadi karena kerusakan sel endotel (disfungsi endotel) vaskular yang disebabkan gangguan mekanik, biokimia dan inflamasi. Beberapa penyebab disfungsi endotel adalah peningkatan dan modifikasi LDL (low density lipoprotein); radikal bebas akibat merokok, hipertensi, diabetes mellitus; perubahan genetik; peningkatan kadar homosistein plasma; serta infeksi mikroorganisme seperti virus herpes atau Chlamydia pneumoniae. Disfungsi endotel berhubungan dengan peningkatan ekstravasasi sel inflamasi, peningkatan adhesi trombosit, aktivitas prokoagulan dan kegagalan fibrinolisis (6,8,9).
Insiden stroke akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Faktor risiko yang penting meliputi hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, hiperhomosisteinemia, merokok, faktor inflamasi dan hemostatik. Stroke dapat digolongkan sesuai dengan etiologi atau dasar perjalanan penyakitnya. Sesuai dengan perjalanan penyakit tersebut, stroke dapat dibagi menjadi tiga yaitu, stroke in evolution, stroke lengkap dan transient iskemic attacks (TIA), suatu gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam (kurang dari 24 jam). TIA adalah faktor risiko utama infark serebral, dan sebagian besar disebabkan oleh penurunan aliran darah otak yang terjadi sebagai akibat abnormalitas irama jantung, tekanan darah atau spasme. ○
○
2
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Limfosit T bersama dengan makrofag terdapat dalam intima (fatty streak) selama perkembangan aterosklerosis. Lekosit dan makrofag dapat mensekresi sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan yang akan mengawali terjadinya migrasi dan proliferasi sel otot polos (SMC). SMC dapat mengekspresikan enzim yang akan mendegradasi elastin dan kolagen sebagai respon terhadap stimulasi inflamasi. Degradasi matriks ekstraselular ini menyebabkan penetrasi sel otot polos melalui lamina elastik dan terjadi pembentukan matriks kolagen yang akan menutupi ateroma yang mengandung lekosit, lipid dan debris yang akan membentuk inti nekrotik, selain itu juga terjadi akumulasi makrofag yang dimediasi oleh MCSF, MCP-1, ox-LDL dan terbentuk advanced, complicated lesi atherosclerotic (8,9).
Gambar 2. Disfungsi endotel
Tahap awal aterosklerosis adalah terjadinya adhesi lekosit yaitu monosit dan limfosit T pada permukaan endotel yang mengekspresikan molekul-molekul adhesi seperti : VCAM1 (vascular cell adhesion molecule),ICAM-1 (intracellular cell adhesion molecule) serta E-selektin dan oleh protein kemotaktik (MCP-1/monocyte chemoattractan protein-1) sel lekosit tersebut akan masuk ke dalam intima. Mediator inflamasi seperti M-CSF (macrophage colony stimulating factor) dapat meningkatkan ekspresi reseptor scavenger makrofag yang menyebabkan pengambilan partikel lipoprotein termodifikasi dan pembentukan sel busa. M-CSF dan mediator lain yang dihasilkan dalam plak dapat mengawali replikasi makrofag dalam intima (8,9).
Gambar 4. Pembentukan advanced, complicated lesi atherosclerotic
Pada akhirnya, mediator inflamasi dapat menghambat sintesis kolagen dan menyebabkan ekspresi kolagenase oleh sel busa dalam intima. Perubahan metabolisme matriks ekstraselular menyebabkan fibrous cap menjadi tipis sehingga mudah koyak. Penelitian menunjukkan bahwa koyaknya plak, ulserasi dan hemoragik intraplak dimediasi terutama oleh MMP-9 (matriks metalloproteinase). Cross talk antara limfosit T dan makrofag dapat meningkatkan ekspresi tissue factor / faktor pertumbuhan yang merupakan prokoagulan yang kuat (8,9,11).
Gambar 3. Pembentukan fatty streak pada proses aterosklerosis
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
3
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Trombus dapat mengalami disolusi, organisasi-rekanalisasi, mengoklusi lumen pembuluh darah yang menyebabkan iskemia serebral serta sumber terbentuknya emboli. Emboli yang terjadi di otak dapat berasal dari berbagai sumber. Trombus mural kardiak adalah sumber utama emboli di otak. Infark miokardial, penyakit valvular dan fibrilasi atrial adalah faktor-faktor penting yang dapat menyebabkan terbentuknya trombus mural kardiak (4,6,10). Emboli dapat terdiri dari kolesterol, trombosit dan fibrin. Bergantung kepada ukuran, komposisi, konsistensi dan umurnya, emboli dapat mengalami lisis, fragmentasi atau menetap dan mengoklusi arteri distal dan mungkin pula mencetuskan terbentuknya trombosis anterograd dan retrogard. Emboli arterial dapat menyebabkan gangguan fungsi otak karena : sebagian besar bagian otak sangat sensitif terhadap obstruksi aliran darah serebral dan emboli dari jantung cenderung menuju ke arteri karotis dan brakhiosefalik disebabkan pengaruh dari bentuk arkus aorta serta pembuluh darah besar jantung (4,15).
Gambar 5. Koyaknya fibrous cap atau ulserasi fibrous plak yang dapat menyebabkan trombosis
Perubahan tekanan pada intraluminal, irama vaskular, perubahan pada derajat aliran, stenosis, fibrous cap yang tipis, mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos, konstituen plak yang banyak mengandung lipid, makrofag dan limfosit T, serta enzim kolagenase dan elastase yang menguraikan matriks plak ekstraselular dapat menyebabkan plak koyak. Koyaknya plak aterosklerosis akan merangsang agregasi trombosit dan trombosis dengan mekanisme yang berbeda dengan kejadian hemostasis biasa. Trombosit teraktivasi akan mensekresikan senyawa-senyawa yang meningkatkan respon trombogenik. Disfungsi endotel juga akan mengekspresikan tissue factor yang akan mengaktivasi proses koagulasi dan menyebabkan terbentuknya fibrin. Jadi pada tahap awal akan terbentuknya mural trombus yang kaya akan trombosit di dalam plak (12).
Infark serebral yang terjadi setelah oklusi arteri serebral dapat dimediasi oleh berbagai faktor diantaranya mediator inflamasi. Pada awalnya iskemia akan mencetuskan ekspresi sitokin, yang dapat menarik lekosit ke tempat iskemik dan menstimulasi molekul adhesi. Upregulasi mediator inflamasi juga menyebabkan adhesi dan infiltrasi sel inflamasi selama reperfusi. Akibatnya lekosit postiskemik dapat meningkatkan kerusakan otak melalui obstruksi kapiler secara fisik yang akan menurunkan aliran darah selama reperfusi dan atau pelepasan produk sitotoksik ke dalam parenkim otak (14).
Gambar 6. Hubungan antara koyaknya plak dengan trombosis
Gambar 7. Stroke hemoragik (A= hemoragik epidural, B= hemoragik subdural, C= hemoragik subarakhnoida, D= hemoragik intraserebral)
○
○
4
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Di otak juga dapat terjadi perdarahan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah serebral oleh berbagai faktor penyebab. Perdarahan/hemoragik dalam parenkim dan rongga subarakhnoida otak merupakan manifestasi dari penyakit serebrovaskular (stroke) walaupun trauma kepala juga dapat menyebabkan perdarahan di tempat ini (4).
Faktor hereditas juga berperan dalam terjadinya gangguan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko SAH secara signifikan berhubungan dengan SAH positif pada paternal dan maternal walaupun pengaruh yang terbesar dari maternal. Aneurisma serebral akibat faktor hereditas berasal dari gangguan mesenkimal yang mempengaruhi dinding pembuluh darah serebral karena kerusakan pada kromosom 16 (16,17,20). Peningkatan risiko terbentuknya berry aneurisma juga terjadi pada penderita ginjal autosomal dominant polycystic, sindrom Ehlers-Danlos tipe IV, neurofibromatosis tipe 1, sindrom Marfan dan displasia fibromuskular pada arteri ekstrakranial serta coarctation aorta (4,20).
Lima belas persen kasus stroke terutama disebabkan oleh hemoragik subarakhnoida dan intraserebral. Perdarahan subarakhnoida (SAH/Subarachnoida hemorrhage) sebagian besar disebabkan oleh koyaknya berry aneurisma pada sirkulasi Wilisi. Penyebab lainnya adalah trauma kepala, koyak hemoragik intraserebral hipertensi dalam sistem ventrikular, malformasi vaskular, tumor dan gangguan hemostasis (4,5).
Probabilitas koyaknya berry aneurisma akan meningkat sesuai dengan ukuran lesi, di mana aneurisma dengan diameter lebih besar dari 10 mm akan meningkatkan risiko perdarahan hingga 50% per tahun. Peningkatan usia, perbedaan jenis kelamin (prevalensi perempuan lebih tinggi pada laki-laki) serta wanita postmenopause dapat meningkatkan risiko koyaknya berry aneurisma. Sedangkan terapi hormon pengganti dapat menurunkan risiko hemoragik. Risiko koyak lebih tinggi pada serebral posterior atau vertebrobasilar dibandingkan lokasi lain, disebabkan gangguan media tunica dinding arteri selain itu faktor hemodinamik juga dapat mempengaruhi peningkatan risiko koyak aneurisma melalui pengaruh peningkatan tekanan darah, merokok, aktivitas fisik serta konsumsi alkohol (4,17,20,23).
Beberapa penelitian menunjukkan faktor risiko SAH difokuskan pada hipertensi, merokok, konsumsi alkohol dan penggunaan kontrasepsi oral (15,16). Walaupun patogenesis aneurisma serebral masih tetap kontroversial, tetapi ada 3 hipotesis utama yang dapat menjelaskan terbentuknya aneurisma serebral yaitu : 1. Aneurisma terjadi akibat defek kongenital pada lapisan muskular arteri serebral (pendapat ini merupakan pendapat yang paling populer). Sindroma akan muncul setelah usia dewasa. 2. Perubahan degeneratif dalam dinding arteri menyebabkan kerusakan membran elastik internal dan terjadi dilatasi dinding arteri yang akan membentuk aneurisma. 3. Aneurisma terjadi sebagai hasil dari interaksi defisiensi kongenital dengan perubahan degeneratif (17).
Infiltrasi makrofag dalam dinding aneurisma berperan penting dalam kerentanan koyaknya berry aneurisma. Makrofag dan lekosit memproduksi berbagai senyawa aktif biologik seperti protease. Cathepsin merupakan salah satu jenis dari protease di mana makrofag mensekresi cathepsin D dan lekosit menghasilkan cathepsin G. Kedua senyawa tersebut dapat merusak protein matriks ekstraselular pada dinding aneurisma. Protease yang berasal dari sel inflamasi bersama dengan aterosklerosis dapat mempengaruhi integritas aneurisma yang akan menyebabkan koyaknya aneurisma (18). Koyaknya berry aneurisma secara tibatiba dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang akan mengganggu aliran darah serebral dan secara umum menyebabkan hilangnya kesadaran pada ± 50% penderita stroke hemoragik subarakhnoida. Pada penderita dengan perdarahan yang hebat, iskemia serebral global dapat menyebabkan kerusakan otak dan koma yang lama. Iskemia fokal yang terjadi kemudian,
Terjadinya defek pada media arteri serebral masih belum jelas tetapi adanya penelitian menunjukkan bahwa frekuensi terbesar terjadinya berry aneurisma pada arteri di sirkulasi Wilisi kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jaringan elastik dengan arteri lain. Sedangkan perubahan degeneratif dan fragmentasi lamina elastik internal terutama disebabkan oleh stress hemodinamik. Degenerasi dinding arterial terutama dimediasi oleh iNOS (inducible Nitric Oxide Synthase) yang dapat merusak dinding arterial. Merokok dan konsumsi alkohol melalui mekanisme hipertensi serta hipertensi dapat menginduksi pembentukan aneurisma melalui peningkatan stress hemodinamik. Sel endotel vaskular dan sel otot polos menghasilkan protein matriks ekstraselular pada dinding aneurisma, yang dapat mempertahankan integritas struktur aneurisma terhadap stress hemodinamik (17,18,19,20,21). ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
5
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
disebabkan oleh vasospasme arteri pada atau dekat tempat terjadinya koyak. Pada hari-hari pertama dapat terjadi hemoragik berulang dan menyebabkan komplikasi fatal (5).
ventrikel dan pada beberapa kasus terjadi dalam subarakhnoida. ICH merupakan penyebab kematian tertinggi dibandingkan stroke iskemik maupun SAH. Berdasarkan atas penyebabnya, ICH primer (penyebab 78-88% kasus ICH) disebabkan koyaknya pembuluh darah kecil akibat hipertensi atau amyloid angiopathy. ICH sekunder disebabkan oleh abnormalitas vaskular (seperti malformasi arteriovena dan aneurisma), tumor atau gangguan koagulasi. ICH lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan terutama dengan usia lebih dari 55 tahun (25).
Vasospasme terjadi pada hampir 45% penderita aneurisma intrakranial dan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Beberapa mediator yang terlibat dalam patogenesis vasospasme adalah : 1. Mediator endotel (NO, radikal oksigen bebas, endotelin, lipoksigenase dan siklooksigenase serta metabolitnya) 2. Mediator vaskular otot polos (inhibisi channel kalium, aktivasi channel kalsium, reduksi second messenger (cAMP dan cGMP) serta aktivasi PKC 3. Mediator proinflamasi yang melibatkan gangguan pada sawar darah otak (serotonin, histamin, bradikinin), sitokin (IL-1,TNF-a dan IL-6) serta adhesi molekul 4. Aktivasi stress induced gen (heat shock protein, hemeoksigenase-1)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko utama ICH. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan risiko ICH melalui gangguan koagulasi yang secara langsung mempengaruhi integritas pembuluh darah serebral. Selain itu, faktor genetik (mutasi gen pada subunit a faktor XIII), penumpukan protein b-amyloid pada pembuluh darah korteks serebral dan leptomeninges terutama pada orang usia lanjut, juga merupakan faktor risiko ICH (25).
Penelitian oleh Borel dkk. menunjukkan peran faktor pertumbuhan (PDGF dan VEGF) pada vasospasme melalui mekanisme sebagai berikut : koyaknya aneurisma intrakranial akan melepaskan darah arterial ke dalam rongga subarakhnoida. Faktor koagulasi subarakhnoida dapat mengaktifkan trombosit yang akan melepaskan faktor pertumbuhan pada dinding vaskular. Di antara faktor pertumbuhan tersebut, PDGF dan TGF-b1 merupakan mitogen yang kuat untuk sel otot polos pada media vaskular dan fibroblast pada adventisia, sedangkan VEGF akan menstimulasi proliferasi endotel vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan faktor pertumbuhan pada sampel CSF penderita SAH. Faktor pertumbuhan ini dapat memediasi proliferasi sel vaskular pada arteri serebral setelah SAH. Proliferasi sel dan peningkatan ketebalan dinding pembuluh darah menyebabkan pengerasan vaskular sehingga terjadi vasospasme serebral (24).
CH terutama terjadi pada lobus serebral, ganglia basal, thalamus, brain stem, serebelum. ICH disebabkan oleh koyaknya small penetrating arteri pada arteri basiler atau anterior, middle atau posterior arteri serebral. Perubahan degeneratif pada dinding pembuluh darah yang diinduksi oleh hipertensi kronik dapat meningkatkan risiko koyak. Perubahan degeneratif dinding arteriolar ditandai sebagai lipohyalinosis. Fisher menyatakan bahwa ICH disebabkan oleh koyaknya satu atau dua arteri lipohyalinosis yang disertai dengan koyaknya arteriol pada perifer yang dapat memperluas hematoma. Sedangkan pada tahun 1868, Charcot-Bouchard menyatakan bahwa ICH disebabkan oleh koyaknya mikroaneurisma (dilatasi dinding arteriol kecil) (25,26,27). Russel menyatakan bahwa pada small cerebral arteri penderita hipertensi, terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah merupakan keadaan yang abnormal, disebabkan oleh peningkatan jaringan konektif pada dinding arterial disertai dengan terjadinya degenerasi pada jaringan elastik serta muskular tetapi pada jaringan muskular tidak terjadi hipertrofi. Peningkatan resistensi serebrovaskular pada penderita hipertensi tersebut merupakan perubahan adaptif otak terhadap tingginya tekanan intravaskular, sehingga membuat otak lebih rentan terhadap iskemia, pada tekanan darah yang rendah. Arteri serebral pada penderita hipertensi mengalami kehilangan kemampuan dalam mendilatasi peningkatan tension karbon dioksida (26).
Penelitian lain menunjukkan peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas ikut juga berperan dalam patogenesis vasospasme. Pemecahan oksihemoglobin menjadi methemoglobin akan melepaskan radikal superoksida yang dapat bereaksi dengan NO menghasilkan peroksinitrit. Nitrotirosin, adalah produk antara hasil reaksi antara peroksinitrit dengan protein selular, yang akan meningkat pada saat vasospasme setelah SAH (30). CH (Intracerebral hemorrhage/perdarahan intraserebral) adalah perdarahan yang terjadi dalam parenkim otak hingga
○
○
6
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Edema yang terjadi setelah ICH dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan herniasi, kompresi brain stem dan kematian. Penelitian menunjukkan bahwa aktivasi kaskade koagulasi menyebabkan pembentukan klot yang merupakan tahap penting dalam pembentukan edema. Beberapa tahap pembentukan edema meliputi : 1. Retraksi klot yang disertai dengan penurunan volume klot dan peningkatan volume edema perihematomal selama 4 jam pertama sejak ICH 2. Ekstravasasi plasma protein yang bertindak sebagai oncotically yang akan menginduksi perkembangan edema perihematomal dengan cepat 3. Peningkatan imunoreaktif perihematomal terhadap fibrinogen yang menandai terjadinya koagulasi ekstravaskular dan deposisi fibrin (28). Peningkatan intrakranial yang terjadi setelah edema dapat menurunkan tekanan perfusi serebral hingga dibawah 50 mmHg yang dapat menyebabkan iskemia otak (29). Hubungan Antara Stroke-Kalsium dan Fungsi Sawar Darah Otak Sawar darah otak (blood brain barrier/BBB) terdapat pada permukaan kapiler otak yang berfungsi dalam homeostasis ion di sistem saraf pusat. Dalam keadaan normal, ion transporter pada sel endotelial pembuluh darah kecil mengatur fluks ion melewati BBB. Dalam keadaan stroke, diabetes, multiple sclerosis, penyakit Alzheimer dan inflamasi, terjadi gangguan integritas BBB, yang disertai gangguan homeostasis ion dan fungsi transporter. Pada penderita stroke, hilangnya regulasi ion disertai difusi pasif air menyebabkan edema di otak.
Gambar 8. Hubungan antara stroke, kalsium dan fungsi sawar darah otak (1)
perkiraan pentingnya faktor risiko ini didasarkan atas penelitian oleh Framingham dan penelitian epidemiologik lain. Faktor risiko tersebut meliputi : peningkatan tekanan darah, kadar lipid dalam darah, diabetes, hiperkoagulasi, obesitas, penyakit jantung, ras, riwayat keluarga, homosistein dan faktor inflamasi (32).
Hipoksia menyebabkan peningkatan sementara kadar kalsium intraselular pada beberapa sel. Kalsium merupakan second messenger di mana pengaturan kadar intraselular diatur oleh channel membran calcium dan pompa kalsium yang akan memindahkan kalsium dari sitoplasma dan mengembalikannya ke ekstraselular atau disimpan dalam intraselular (retikulum endoplasma). Aktivasi alur signal kalsium terjadi setelah peningkatan kadar kalsium (lihat gambar 8) (1).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk stroke trombotik dan stroke hemoragik. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah merupakan stimulus terjadinya inflamasi. Peningkatan tekanan darah mengawali aterogenesis yang dimodulasi oleh stimulus biomekanikal dari pulsasi aliran darah, seperti peningkatan tekanan hidrostatik atau cyclic strain yang kemudian dapat mempengaruhi ekspresi dan fungsi gen sel endotel. Cyclic strain dapat meningkatkan ekspresi ICAM-1 yang menyebabkan adhesi monosit semakin besar terhadap sel endotel. Peningkatan cyclic strain juga mengatur ekspresi mRNA dan sekresi MCP-1. MCP-1 berperan dalam pengambilan monosit dan proses inflamasi pada aterosklerosis. Selain itu, stimulus angiotensin II (Ang II), yang merupakan kunci pengatur tekanan darah, menghasilkan aktivasi inflamatori yang akan meningkatkan ekspresi dan pelepasan IL-6. Hipertensi juga memiliki efek proinflamasi
FAKTOR RISIKO STROKE Aterosklerosis dan trombosis sebagai pangkal mula terjadinya stroke, mempunyai penyebab yang multifaktoral. Identifikasi faktor risiko merupakan hal yang penting untuk memudahkan pencegahan terjadinya stroke. Pada mulanya ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
7
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
arch dan arteri di leher, tetapi fungsinya secara langsung sebagai salah satu penyebab stroke iskemik masih menjadi perdebatan. Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh etiologi stroke iskemik cukup heterogen dan proses aterosklerosis di arteri intrakranial (terutama di arteri dan arteriol yang lebih kecil) berbeda dengan aterosklerosis di arteri koroner yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hemodinamik di antara arteri tersebut (33,34,35). Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, hiperlipidemia, diabetes serta mengawali penyakit kardiovaskular yang semuanya merupakan faktor risiko stroke (33). Penelitian menunjukkan dengan ditemukan leptin, dapat menghubungkan antara obesitas, resistensi insulin dan peningkatan risiko penyakit vaskular. Leptin dapat menurunkan asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi. Peningkatan kadar leptin merupakan prediktor independen untuk stroke hemoragik (36). Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan risiko stroke. Aktivitas fisik yang berlebihan tidak terlalu bermanfaat untuk menurunkan risiko stroke yang bermakna, justru aktivitas fisik yang moderat yang menunjukkan penurunan yang bermakna. Mekanisme yang mendasari efek proteksi aktivitas fisik terhadap stroke masih belum jelas diketahui, tetapi diduga dapat meningkatkan kolesterol HDL, menurunkan tekanan darah dan berat badan, menurunkan agregasi trombosit dan koagulabilitas serta meningkatkan sensitivitas insulin (38).
Gambar 9. Efek Ang II terhadap peningkatan tekanan darah, aterosklerosis dan trombosis (22)
pada dinding arterial sebab terjadi peningkatan stress oksidatif. Ang II berperan dalam pengaturan tekanan darah, ekspresi IL-6 dan stimulus peningkatan ekspresi ICAM-1 (31).
Merokok dapat meningkatkan 2 - 3,5 kali risiko stroke. Mekanisme yang mendasari efek negatif merokok terhadap stroke masih belum jelas diketahui, tetapi diduga merokok dapat meningkatkan kadar fibrinogen, hematokrit dan agregasi trombosit, menurunkan aktivitas fibrinolitik dan aliran darah serebral melalui vasokonstriksi arteri dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan disfungsi endotel (33,39).
Hipertensi juga merupakan penyebab utama koyaknya mikroaneurisma maupun berry aneurisma pada stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoida (13). Penderita diabetes diketahui memiliki peningkatan kerentanan terhadap aterosklerosis arteri serebral, koronari dan femoral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien diabetes diketahui mempunyai risiko infark serebral lebih tinggi, tetapi risiko hemoragik subarakhnoida dan hemoragik intraserebral tidak meningkat (32,33). Baik hiperglikemia maupun hiperinsulinemia dapat menyebabkan ateroma dan meningkatkan pertumbuhan sel otot polos. Hiperinsulinemia dapat meningkatkan hialinosis pada arteri kecil serebral yang selanjutnya dapat mengawali penyakit pembuluh darah kecil serebral (arteriosklerosis ensefalopati lakunar dan subkortikal) (33).
Alkohol merupakan salah satu faktor risiko stroke terutama stroke hemoragik. Efek beracun dari alkohol terhadap sistem koagulasi dan hipervolaemia disertai dengan hipertensi merupakan mekanisme terjadinya perdarahan, sedangkan peningkatan alkohol disertai dengan merokok secara tidak langsung meningkatkan risiko stroke iskemik (33). Banyak penelitian menunjukkan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko stroke iskemik. Homosistein tidak terbentuk secara alami akan tetapi berasal dari metabolisme asam amino esensial metionin, melalui siklus metilasi yang
Hiperlipidemia telah lama diketahui sebagai faktor risiko utama untuk aterosklerosis dan aterotrombosis pada aortic ○
○
8
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
merupakan satu-satunya sumber homosistein. Peningkatan kadar homosistein dapat disebabkan mutasi pada gen MTHFR (5,10-metilenetetrahidrofolat reduktase) dan enzim CBS (Cystathionine b-synthase) serta defisiensi vitamin B12, B6 dan asam folat. Beberapa mekanisme yang menghubungkan antara homosistein dengan stroke adalah gangguan pada fungsi endotel, oksidasi LDL, peningkatan adhesi monosit pada dinding pembuluh darah, gangguan pada respon NO dan proses trombosis yang dimediasi oleh aktivasi faktor koagulasi. Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa homosistein merupakan faktor risiko untuk recurrent stroke (33,42,43,44,45). Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae diketahui merupakan faktor risiko stroke iskemik. Infeksi kronik oleh Chlamydia pneumoniae, suatu patogen respiratory dapat menginfeksi endotel, sel otot polos arterial, dan monosit. Penderita stroke lebih rentan terhadap infeksi oleh Chlamydia pneumoniae IgG (40,46). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa seropositivitas Helicobacter pylori merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. H. pylori ditemukan pada plak aterosklerotik dengan identifikasi menggunakan PCR dan imunohistokimia. Adanya H. pylori tersebut berhubungan dengan peningkatan ekspresi ICAM1 (41).
Gambar 10. Sistem antitrombosis dan tromboltik
Stroke iskemik berhubungan erat dengan terjadinya defek pada sistem antikoagulan tersebut yang meliputi defisiensi atau defek pada activated protein C, protein C, protein S dan AT III baik karena faktor hereditas maupun dapatan (46,47,49). Pada tabel 1 ditunjukkan penderita stroke iskemik yang memerlukan ujisaring koagulopati dan pada tabel 2 ditunjukkan pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan untuk ujisaring koagulopati (49).
Dalam keadaan normal, sistem koagulasi akan mengatur keseimbangan antara aliran darah dalam pembuluh darah dan proses pembekuan apabila terjadi disrupsi dari integritas pembuluh darah. Aktivasi faktor koagulasi dan trombosis merupakan gambaran utama dari stroke iskemik. Hypercoagulable state meliputi aktivasi proses koagulasi, peningkatan reaktivitas trombosit dan kegagalan fibrinolisis (49). Pada gambar 10 ditunjukkan apabila terjadi luka pada endotel, pembentukan klot disebabkan karena aktivasi trombosit dan proses koagulasi yang diinisiasi oleh tissue factor. Pemecahan fibrinogen menjadi fibrin oleh trombin merupakan proses yang penting. Endotel dalam keadaan normal dapat menghambat proses trombosis melalui inaktivasi trombin, pelepasan prostasiklin (PGI2) dan tissue plasminogen activator (tPA). Trombomodulin yang diekspresikan pada permukaan endotel akan mengawali aktivasi protein C (APC) melalui kompleks dengan trombin. APC dengan protein S dapat menginaktivasi faktor V dan VIII. Permukaan endotel juga mengekspresikan heparan yang dapat mengikat dan meningkatkan fungsi antikoagulan AT III. Kompleks AT III dengan heparan dapat menetralisir trombin, faktor X dan serin protease (49).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Tabel 1. Ujisaring koagulopati untuk penderita stroke iskemik
Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium untuk ujisaring koagulopati
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
9
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Antiphospholipid Syndrome (APS) suatu sindrom yang berhubungan dengan Antibody Antiphospholipid (aPL) yang meliputi Lupus Anticoagulant (LA) dan atau Anticardiolipin Antibody (ACA), dan disertai dengan salah satu dari manifestasi sebagai berikut yaitu trombosis arterial dan atau vena, trombositopenia, gangguan neurologis, recurrent fetal loss (50).
Lipoprotein (a)/Lp(a) dapat menghambat proses fibrinolisis secara in vitro dan efeknya secara in vivo diperkirakan sama. Lp(a) memiliki kemiripan dengan LDL dan plasminogen sehingga menandakan bahwa Lp(a) mempunyai kaitan dengan aterosklerosis dan trombosis. Lp(a) dapat menstimulasi pelepasan PAI-1 dari sel endotel dan berkompetisi dengan plasminogen untuk berikatan dengan fibrin maupun permukaan sel endotel sehingga dapat menghambat fibrinolisis. Selain itu, Lp(a) dapat merangsang proliferasi sel-sel otot polos melalui penghambatan pembentukan TGF-b dan menyebabkan disfungsi endotel (49).
aPL dapat menyebabkan stroke diduga melalui efeknya pada trombosit, protein koagulasi dan sel endotel. aPL dapat meningkatkan aktivasi dan agregasi trombosit yang dimediasi melalui ikatan aPL dengan fosfatidilserin yang merupakan fosfolipid yang paling umum ada pada membran sel atau b2-glikoprotein 1. aPL dapat mempengaruhi alur protein C melalui penghambatan pembentukan trombin, mengganggu ekspresi trombomodulin dan menghambat degradasi APC (51).
HUBUNGAN INFLAMASI DENGAN STROKE Banyak penelitian menunjukkan bahwa inflamasi berperan penting dalam perkembangan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Peningkatan kadar ox-LDL dan kontributor potensial kerusakan endotel lain, akan menginisiasi kaskade inflamasi pada tahap awal aterogenesis, perkembangan ateroma dan komplikasi trombotik (8,57). Lihat gambar 2-4 pada patofisiologi stroke.
Trombomodulin merupakan reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk trombin yang terdapat pada permukaan sel endotel. Melalui ikatannya dengan trombin, trombomodulin dapat mengubah aktivitas prokoagulan trombin dan bertindak sebagai kofaktor untuk aktivitas protein C. Alur trombintrombomodulin merupakan salah satu mekanisme antitrombotik utama pada sel endotel, sehingga membuat trombomodulin merupakan regulator penting untuk mempertahankan fluiditas sirkulasi darah. Down regulated trombomodulin pada sel endotel menyebabkan proinflamasi dinding pembuluh darah akan diaktifkan sehingga terjadi proses trombosis (56).
Setelah terjadi kerusakan pada sistem saraf pusat (CNS), sawar darah otak mengalami kebocoran yang memudahkan masuknya sel imun teraktivasi dari sirkulasi ke dalam CNS (58). Respon inflamasi juga merupakan reaksi parenkim otak terhadap iskemia dan reperfusi dimana secara histologikal ditandai dengan perubahan reaksi lekosit pada microvessel. Sebelum adhesi, lekosit akan mengalami rolling selanjutnya bermigrasi ke dalam parenkim iskemik (57). Penelitian menunjukkan bahwa lekosit berperan dalam perkembangan kerusakan sekunder setelah infark iskemik akut. Pengambilan lekosit pada daerah iskemik dapat terjadi segera setelah iskemia dan reperfusi serebral. Akumulasi lekosit yang disertai dengan akumulasi fibrin dan trombosit, terlibat dalam vascular plugging. Pada manusia, peningkatan hitung lekosit dalam tahap iskemik akut berhubungan dengan outcome yang buruk. Induksi iskemia fokal serebral pada saat lekosit dan endotel teraktivasi dapat dimediasi oleh TNF-a (Tumor Necrosis Factor-a) dan IL-1 (Interleukin-1). Blokade akumulasi lekosit dapat menurunkan kerusakan jaringan serebral akibat iskemia. Pada saat reperfusi, lekosit dapat mempercepat kerusakan jaringan baik melalui obstruksi pembuluh darah dan pelepasan radikal bebas, sitokin proinflamasi serta enzim sitolitik (37,58).
Homeostasis tergantung pada keseimbangan antara pembentukan klot dan degradasi klot atau fibrinolisis. Sistem fibrinolitik merupakan keseimbangan antara tissue plasminogen activator (t-PA) dan inhibitornya yaitu plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Penurunan kadar tPA atau peningkatan PAI-1 dapat menginhibisi fibrinolisis dan dapat menyebabkan trombosis. Kedua mekanisme ini diduga terjadi pada trombosis vena dan arteri pada penderita stroke (48). Banyak penelitian menunjukkan bahwa peningkatan fibrinogen merupakan faktor risiko independen untuk stroke melalui aktivasi hemostasis, peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah dan efeknya pada proses inflamasi. Fibrinogen juga berperan dalam aktivasi trombosit melalui ikatan fibrinogen dengan trombosit pada reseptor membran glikoprotein IIb-IIIa (49).
○
○
10
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Peningkatan ekspresi molekul adhesi terjadi pada daerah iskemik setelah oklusi arteri middle serebral baik yang permanen maupun sementara. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa kombinasi terapi molekul antibodi antiadhesi dan tPA (suatu senyawa trombolitik) memberikan hasil yang signifikan dengan penurunan volume infark dan defisit neurologikal. Pada penelitian tersebut juga ditunjukkan bahwa time window untuk terapi dengan trombolisis adalah kurang dari 4 jam, di mana terapi tambahan dengan molekul antibodi antiadhesi tidak saja dapat meningkatkan outcome juga akan meningkatkan time window terapi stroke (60).
Respon inflamasi juga berhubungan dengan mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin dan molekul adhesi (8,57). Molekul adhesi dapat digunakan sebagai penanda aktivasi endotel dan inflamasi lokal maupun sistemik. Molekul adhesi memediasi marginasi, adhesi, transmigrasi transendotelial monosit dari aliran darah ke kompartemen ekstravaskular, yang merupakan tahap penting dalam inisiasi dan perkembangan plak aterosklerotik (59). Tiga famili molekul adhesi terdiri dari selektin, superfamili gen imunoglobulin dan integrin (tabel 3 ). Selektin memediasi rolling lekosit pada endotel. Ada tiga selektin yaitu E-, P- dan L-selektin. Superfamili gen imunoglobulin memediasi perlekatan lekosit yang lebih kuat pada permukaan endotel dan transmigrasi lekosit. Ada 5 gen imunoglobulin yang diekspresikan oleh endotel yaitu intercellular adhesion molecule-1 dan –2 (ICAM-1 dan ICAM-2), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1) dan mucosal addresin (MadCAM-1). Setelah mengalami rolling, lekosit pada permukaan endotel akan tertahan pergerakannya, dimediasi oleh integrin yang diaktivasi oleh kemokin, kemoatraktan dan sitokin. Integrin merupakan protein permukaan transmembran sel yang terdiri dari b1 dan b2 integrin (60).
Selain itu, beberapa penelitian (9 penelitian) menyatakan bahwa adhesi molekul mengalami upregulasi pada penderita iskemik tetapi memiliki variasi individu yang besar sehingga belum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin tetapi hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa inflamasi terlibat dalam proses aterosklerosis (60). Reaksi inflamasi juga dimediasi oleh sitokin, yaitu glikoprotein yang diekspresikan oleh berbagai tipe sel sebagai respon terhadap iskemia serebral akut. Pelepasan sitokin dapat menyebabkan upregulasi molekul adhesi, rekrutmen dan aktivasi lekosit, promosi interaksi lekosit
Tabel 3. Famili molekul adhesi
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
11
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
dengan endotel dan perubahan fungsi endotelium menjadi fungsi protrombotik. Sitokin juga dapat menginisiasi dan mempotensiasi respon fasa akut (61).
hipoglikemia, asidosis dan pro-oksidan. Ada 3 jenis polypeptida growth factor yaitu : bFGF (basic fibroblas growth factor), VEGF (vascular endothelial growth factor, TGF-b1 (transforming growth factor-b) (65).
Penelitian menunjukkan peningkatan sitokin (IL-1b, TNF-a, dan IL-6) dapat dideteksi pada korteks iskemik setelah oklusi middle arteri cerebral artery (MCA) (58,61). Selain itu ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi IL-17, IL-8 dan IL-1b pada penderita stroke iskemik. IL-17 dapat menginduksi sekresi sitokin lain termasuk IL-8 dan meningkatkan ekspresi ICAM-1 sedangkan IL-1b tidak secara langsung terlibat dalam rekrutmen lekosit melalui induksi peningkatan produksi IL-8 (58). TNF-a merupakan sitokin proinflamasi yang kuat. Peningkatan kadar TNF-a dan reseptor TNF-a terjadi pada penyakit autoimun, neoplastik, infeksi, inflamasi (62).
Penelitian menunjukkan pemberian TGF-b1 dapat menurunkan kerusakan otak akibat iskemia. Mekanisme kerja TGF-b1 adalah memodulasi kaskade sitokin, penghambatan proliferasi limfosit T dan B, sebagai antioksidan dan memiliki efek antiapoptotik. TGF-b1 merupakan neuroprotektif terhadap iskemia dan reperfusi serebral. TGF-b1 dapat menurunkan volume infark dan ekspresi kemokin (57). Pada proses inflamasi, infeksi maupun kerusakan jaringan akan terjadi peningkatan kadar berbagai protein plasma dalam sirkulasi yang dikenal sebagai protein fase akut. Protein ini, contohnya CRP dan amiloid A, terutama dihasilkan oleh hepatosit dan ekspresinya diatur oleh sitokin. Protein fase akut berperan ganda dalam etiologi aterosklerosis yaitu terlibat dalam proses trombogenesis dan penghubung antara inflamasi dengan aterosklerosis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa CRP merupakan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular maupun serebrovaskular. CRP terlibat dalam pengambilan monosit pada aterogenesis dan CRP dapat berikatan dengan monosit yang menyebabkan ekspresi tissue factor pada permukaan monosit, sehingga terjadi trombosis vaskular. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP pada 12-24 jam setelah serangan stroke dapat memperkirakan unfavorable outcome yang berhubungan dengan peningkatan insiden serebrovaskular dan kardiovaskular. Kadar CRP dapat menunjukkan tingkat keparahan stroke yang berhubungan secara langsung dengan faktor inflamasi. Aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronik karena rekrutmen selsel inflamasi seperti monosit/makrofag, limfosit T, molekul adhesi, sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan terjadi secara terus menerus (52,53,54)(Lihat Gambar 11).
IL-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang berperan dalam pengaturan sistem imun innate. IL-10 dapat mendeaktivasi efek respon inflamasi dan menghambat produksi sitokin proinflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa defisiensi IL10 pada tikus dapat meningkatkan ukuran lesi stroke. IL-10 merupakan supresor kuat terhadap respon imun, yang dihasilkan oleh sel T, sel B, monosit, makrofag dan mikroglia. IL-10 dapat menghambat IL-6, TNF-a dan CRP. IL-10 merupakan senyawa terapi untuk penyakit inflamasi seperti aterosklerosis dan stroke (63). Selain molekul adhesi, faktor yang bertindak sebagai kemoatraktan juga berperan penting dalam akumulasi lekosit di daerah iskemik otak. Kemokin merupakan subgroup dari famili sitokin yang memiliki aktivitas kemotaktik terhadap selektif lekosit. Kemokin terdiri dari dua subfamili yaitu asubfamili (CXC) yang berinteraksi terhadap lekosit polimorfonuklear (meliputi : IP-10, MIP-1, IL-8) dan bsubfamili (CC) yang berinteraksi pada limfosit dan monosit (meliputi : MIP-1a, RANTES, MCP 1/2/3). IL-8 merupakan salah satu anggota a-kemokin. Peningkatan kadar IL-8 terdeteksi pada otak dan serum setelah reperfusi serebral. Pemberian senyawa antibodi terhadap IL-8 merupakan terapi terhadap kerusakan otak postiskemik yang dimediasi oleh lekosit polimorfonuklear. Produksi IL-8 juga dapat diinduksi oleh sitokin IL-1 (58,63,64).
hs CRP merupakan metode pengukuran penanda biokimiawi yang dapat digunakan untuk diagnosis inflamasi kronik (52,53,54).
Polipeptida growth factor berperan penting dalam proses penyembuhan luka dan pengembalian fungsi setelah terjadi stroke iskemik akut. Kerusakan otak dapat menginduksi ekspresi berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin, yang dapat melindungi neuron terhadap eksitotoksisitas, hipoksia,
○
○
12
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
DIAGNOSIS STROKE Dalam mendiagnosis stroke, harus dapat ditentukan penyebab, perkiraan tingkat keparahan, kemungkinan perkembangan atau kekambuhan serangan stroke serta ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Pada daerah-daerah tertentu terjadinya infark di otak seperti posterior fossa lebih baik menggunakan MRI sebagai pilihan diagnosis. Pada stroke ICH, diagnosis dengan CT scan dapat mendeteksi ICH pada tahap awal. Apabila dari hasil CT scan diduga temudian terjadi perdarahan akibat tumor atau malformasi vaskular, maka diagnosis selanjutnya dilakukan dengan MRI dan angiography. Sedangkan pada SAH, CT scan lebih sensitif dibandingkan MRI untuk diagnosis SAH (68,69).
Gambar 11. Beberapa penelitian risiko relatif stroke (55)
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK DIAGNOSIS DAN MONITORING STROKE
menentukan terapi yang akan dilakukan terhadap penderita stroke. Penderita juga harus dibedakan antara penderita stroke dengan bukan stroke seperti tumor dan hematoma subdural; stroke iskemik atau hemoragik serta identifikasi patofisiologis spesifik subtipe infark serebral (66).
Telah diketahui bahwa stroke merupakan penyebab utama disabilitas pada orang usia pertengahan (17%) dan orang usia lanjut (50%). Tetapi pilihan pengobatan dan diagnosis masih terbatas. Pemberian recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) memberikan efek yang menguntungkan terhadap outcome neurologikal apabila diberikan dalam waktu 3 jam (time window) setelah serangan stroke dan telah mendapat persetujuan dari FDA (Food and Drug Administration). Terapi dengan rtPA terutama efektif untuk stroke iskemik, sedangkan stroke hemoragik biasanya diterapi melalui operasi (70).
Untuk menghindari kemungkinan bertambah buruk atau kambuhnya kembali serangan stroke, dibutuhkan diagnosis dini dan akurat sehingga dapat dilakukan terapi yang optimal. Hal ini disebabkan jam-jam pertama setelah serangan stroke merupakan waktu yang kritis untuk intervensi terapi optimal (66). Metode diagnosis stroke yang sudah biasa dilakukan adalah brain imaging, meliputi CT scan (computed tomography) dan MRI (magnetic resonance imaging). Jika kedua alat tersebut tidak tersedia, perkiraan terhadap faktor risiko dan klinik memiliki peran yang besar walaupun tidak dapat menggantikan brain imaging. Dengan menggunakan CT scan, signal densitas tinggi menunjukkan terjadinya stroke hemoragik sedangkan signal densitas rendah untuk stroke iskemik, sedangkan MRI didasarkan atas densitas proton, kontras T1 atau T2 untuk menunjukkan stroke hemoragik atau iskemik (66,67).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa restorasi aliran darah yang dilakukan sejak dini dapat menyelamatkan keadaan otak akibat iskemia. Penundaan reperfusi dapat menyebabkan efek negatif seperti kerusakan sawar darah otak, terjadinya perdarahan dan edema (71,72). Tetapi penelitian lain menunjukkan bahwa reperfusi yang dilakukan sedini mungkin selain memiliki efek menguntungkan karena oksigen dan glukosa dapat segera dialirkan ke otak melalui pembuluh darah serebral juga menyebabkan pembentukan radikal bebas (71). Pengaliran kembali oksigen (resirkulasi/reperfusi) ke dalam jaringan otak iskemik selain dapat meningkatkan produksi radikal bebas juga menyebabkan terjadi peningkatan pengambilan netrofil dan makrofag serta pelepasan protease. Reperfusi dapat menyebabkan kerusakan sawar darah otak. Radikal bebas, sitokin dan protease dapat memediasi kerusakan pada kapiler serebral (71,72).
Infark serebral akan tampak 12 – 48 jam pada sebagian kasus stroke yang didiagnosis dengan CT scan, sedangkan dengan MRI infark akan tampak setelah 12 –24 jam. Walaupun infark hemoragik jarang terjadi pada jam-jam pertama setelah terjadi stroke tetapi hal ini tetap tidak dapat dipastikan. MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk mendiagnosis infark hemoragik. MRI lebih unggul dibandingkan CT scan untuk menunjukkan infark yang lebih kecil pada otak dan brain stem (66,67).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penelitian menunjukkan bahwa MMP-9 (matrix metalloproteinase) berperan penting dalam disrupsi integritas vaskular selama reperfusi. MMP-9 dapat mendegradasi
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
13
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Berdasarkan banyak penelitian, ditunjukkan pada penderita stroke hemoragik maupun iskemik terjadi peningkatan kadar beberapa protein neurospesifik yaitu Neuron Spesific Enolase (NSE), Protein S-100B dan Myelin Basic Protein (MBP).
basal lamina yang mengelilingi kapiler serebral seperti kolagen V, fibronektin, laminin dan heparan sulfat yang dapat membuat dinding pembuluh darah menjadi lemah sehingga terjadi edema dan koyaknya pembuluh darah (hemoragik). Mekanisme yang mendasari keterlibatan MMP-9 adalah : klot emboli mengandung beberapa faktor koagulasi darah seperti trombin yang dapat menstimulasi produksi MMP-9, tPA dapat mempromosikan ekspresi MMP-9 pada jaringan otak iskemik dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa penundaan pemberian rtPA secara signifikan dapat meningkatkan ekspresi MMP-9 pada jaringan otak iskemik (71,72,73,74).
Protein S-100B Protein S-100 adalah protein asidik yang berikatan dengan Ca2+ membentuk ikatan tipe EF. Pada tahun 1965, protein ini pertama kali ditemukan dan dinamakan S-100B karena kelarutannya adalah 100% dalam amonium sulfat . Protein S-100B sebagian besar terdapat dalam sel glial dan sistem saraf periferal (terutama astrosit dan sel Schwann) dan juga diekspresikan pada melanosit, adiposit dan chondrosit (77)
Pembentukan radikal bebas dihasilkan melalui reaksi xantin oksidase dan aktivasi fosfolipase. Peningkatan radikal superoksida dan NO (Nitric Oxide) memilki efek terhadap fungsi mitokondria melalui penghambatan aktivitas aconitase atau inisiasi reaksi rantai yang akan menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat (75).
Protein S-100B secara intraselular terlibat dalam transduksi signal melalui penghambatan fosforilasi protein, regulasi aktivitas enzim dan homeostasis Ca2+. Protein S-100B juga berfungsi dalam regulasi morfologi sel melalui interaksi dengan elemen sitoskleton sitoplasmatik. Protein S-100B juga memiliki efek ekstraselular yang secara aktif disekresi melalui mekanisme yang belum diketahui. Sekresi protein S-100B oleh sel glial dapat memiliki efek tropik ataupun toksik, tergantung pada kadarnya. Pada kadar nanomolar memiliki efek neurotrofik misalnya dapat menstimulasi perkembangan neuronal, meningkatkan kelangsungan hidup neuron selama dan setelah terjadinya kerusakan otak. Sedangkan pada kadar mikromolar, protein S-100B memiliki efek neurotoksik melalui induksi apoptosis kematian sel neuronal. Selain itu, efek neurotoksik ditunjukkan melalui peningkatan kadar protein S-100B pada penderita Down Syndrome atau Alzheimer (77).
Keadaan setelah iskemia/reperfusi berbeda dengan keadaan normal di mana pada saat iskemia kaskade eksotoksisitas dapat diinduksi. Pada saat iskemia terjadi gangguan produksi energi dari mitokondria yang dapat menyebabkan produksi radikal bebas, depolarisasi membran serta aktivasi reseptor NMDA di neuron. Peningkatan kadar Ca2+ akan menginisiasi sejumlah proses seperti aktivasi proteinase dan pembentukan radikal bebas. Produksi radikal superoksida terjadi pada sitosol neuron melalui kaskade asam arakidonat atau alur xantin oksidase pada saat awal reperfusi (75,76). Diagnosis stroke dengan menggunakan CT scan maupun MRI memiliki beberapa keterbatasan, antara lain waktu terlihatnya daerah otak yang mengalami infark melalui pengamatan dengan CT scan adalah 12-48 jam setelah terjadi serangan stroke atau 12-24 jam setelah terjadi serangan stroke dengan MRI, serta CT scan kurang sensitif untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik (66,67,68). Oleh karenanya, untuk memperoleh efek optimal dari rtPA dibutuhkan suatu rapid diagnosis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta waktu diagnosis yang singkat (< 3 jam) (70). Idealnya, penanda biokimiawi ini harus cukup sensitif dan spesifik untuk identifikasi, diagnosis dan prognosis kerusakan otak, kadarnya adequat dalam darah atau serum serta memiliki waktu paruh yang panjang untuk menentukan tingkat keparahan dan prognosis stroke (77).
Gambar 12 . Efek intraselular dan ekstraselular protein S-100b ○
○
14
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Penelitian menunjukkan bahwa protein S-100B dapat digunakan untuk identifikasi, diagnosis dan prognosis stroke hemoragik dan terutama untuk stroke iskemik serta perkiraan kerusakan otak setelah operasi jantung. Peningkatan kadar S-100B disebabkan lolosnya protein tersebut dari sel glial nekrotik melalui sawar darah otak yang sudah rusak lalu ke cairan serebrovaskular selanjutnya ke sirkulasi darah (77,78,79,80,81). Peningkatan kadar S100B merupakan respon pada kaskade patofisiologik dan reaksi mikroglial terhadap iskemia. Baik kerusakan sel nekrotik penumbra karena infark fokal maupun rusaknya integritas membran karena edema sitotoksik dan vasogenik akan menyebabkan lolosnya protein S-100B dari sitosol ke ekstraselular (85).
Gambar 13.
Gambar 14. Korelasi antara kadar protein S-100B dengan ukuran infark
Gambar 15. Korelasi antara kadar protein S-100B dengan tingkat keparahan stroke iskemik berdasarkan NIHSS score
Hasil pengukuran protein S-100B pada orang normal dan penderita stroke
ditunjukkan bahwa kadar protein S-100B > 0,7 mg/l dari sampel serum 24 jam setelah hipoksia serebral global merupakan prediktor independent dan reliable untuk pasien yang tidak menjadi siuman kembali dengan nilai prediktif positif (PPV) 95% dan spesifisitas yang tinggi yaitu 96% (82).
Kadar protein S-100B yang dilepaskan secara signifikan berhubungan dengan volume infark. Selain itu, adanya hubungan antara S-100B dengan pengukuran derajat stroke berdasarkan skala stroke Scandinavian. Pada penderita dengan outcome neurologikal yang buruk ditunjukkan melalui peningkatan kadar S-100B. Informasi ini dapat digunakan sebagai surrogate awal untuk mengukur tingkat keparahan rusaknya sel otak dan outcome pasien setelah stroke iskemik (77).
NSE (Neuron Spesific Enolase) Enolase adalah enzim glikolitik yang mengubah 2fosfogliserat menjadi fosfoenolpiruvat. Enzim ini ada dalam bentuk 3 isoprotein yaitu ENO1,ENO2 dan ENO3. NSE adalah isoform dari enzim enolase (ENO3) yang ditemukan dalam sel neuron dan neuroendokrin (78).
Selain itu, protein S-100B dapat digunakan sebagai prediktor outcome penderita hipoksia serebral global. Salah satu hal penting pada penderita yang mengalami hipoksia serebral global, apakah penderita tersebut akan menjadi siuman/ sadar kembali, sehingga Martens dkk. mengadakan penelitian terhadap 64 pasien dalam keadaan tidak sadar/ unconscious hingga pasien tersebut menjadi sadar kembali, meninggal atau pada tahap vegetatif. Dari hasil penelitian ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Penelitian menunjukkan peningkatan kadar NSE digunakan untuk identifikasi, diagnosis, dan prognosis stroke iskemik dan terutama infark ringan dan TIA (Transient Ischemic Attacks) serta memiliki korelasi dengan tingkat keparahan stroke iskemik (78,82,83,84).
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
15
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Gambar 18. Perbedaan NSE dalam waktu 72 jam (hari ketiga) setelah restorasi sirkulasi secara spontan (ROSC) antara pasien dengan outcome neurologikal yang baik dan buruk
MBP (Myelin Basic Protein) MBP adalah protein spesifik otak yang terletak pada sheath myelin dan 30% total protein myelin ada dalam bentuk MBP. Myelin merupakan senyawa yang melapisi saraf dan berfungsi sebagai insulator. Tanpa adanya insulator, informasi dari sel saraf tidak dapat ditransmisikan secara efisien sehingga menyebabkan hilangnya efek sensorik, kelumpuhan atau disfungsi neurologik yang lain. Sintesis myelin dikonduksi oleh oligodendrosit di sistem saraf pusat dan sel Schwan di sistem saraf perifer (87,88). Penelitian menunjukkan bahwa kadar MBP dapat digunakan untuk identifikasi, diagnosis dan prognosis terutama untuk stroke hemoragik serta tingkat keparahan dari stroke iskemik (89).
Gambar 16. Hasil pengukuran NSE, S-100B dan MBP pada penderita TIA
Penelitian menunjukkan bahwa kadar protein S100B dan NSE memiliki hubungan yang signifikan dengan volume infark dan NIHSS score. Penderita dengan outcome neurologikal yang buruk memiliki kadar yang lebih tinggi disertai dengan pelepasan yang lebih lama untuk kedua penanda biokimiawi tersebut (85).
Gambar 17.
Koefisien korelasi antara NIHSS score dengan pelepasan protein S-100 B dan NSE (filled markers menunjukkan p<0,01)
Peningkatan kadar NSE pada hari ketiga (72 jam) setelah serangan jantung merupakan indikator terbaik untuk outcome neurologikal setelah serangan jantung. Selain itu, perbedaan kadar NSE pada hari ketiga tersebut signifikan untuk menunjukkan perbedaan antara outcome pasien yang buruk dan baik (86).
○
○
16
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Gambar 19. Peningkatan kadar MBP pada penderita stroke hemoragik intraserebral setelah terjadi serangan stroke
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
DAFTAR PUSTAKA 1. Brown RC, DavisTP, Calcium Modulation of Adherens and Tight Junction Function. A potensial mechanism for blood brain barrier disruption after stroke. Stroke. 2002; 33: 1706-1711. 2. Skye Pharma Tech Inc. Launching the first rapid diagnostic test for stroke. 1998. 3. Kurniasih R, Wijaya A. Peran radikal bebas pada iskemia-reperfusi serebral atau miokardium. Forum Diagnosticum Prodia. 2002;1:123. 4. Gerolami UD, Anthony DC, PF Matthew. Cerebrovascular Diseases in Pathologic Basis of Disease. Kumar, Ramzy, Collins. Philadelphia : WB Saunders, 1999, p. 1306-1313. 5. Messing RO. Nervous System Disorders in Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine . Mc Phee, Lingappa, Ganong, Lange. New York : Mc Graw Hill, 2000. 3rd ed. p. 124164. 6. Garcia JH, Ho KH, Pantoni L. Pathology in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 139-153. 7. Underwood. Cerebrovascular Disease in General and Systematic Pathology. Philadelphia : Churchill Livingstone. 2000. 3rd ed, p. 748-751. 8. Libby P, Ridker PM, Maseri A. Inflammation and Atherosclerosis. Circulation. 2002; 105:1135-1143. 9. Ross R. Atherosclerosis – An Inflammatory Disease. N Engl J Med.1999 ; 340:115-126. 10. Wolf PA, Grota JC. Cerebrovascular Disease.Circulation. 2000;102:IV.75-IV.80. 11. Loftus IM, Naylor AR, Goodall S, Crowther M, Jones L, Bell P R F, Thompson MM. Increased Matrix Metalloproteinase-9 Activity in Unstable Carotid Plaques. Stroke.2000;31:40-47. 12. Yatsu FM, Cordova CV. Atherosclerosis in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philladelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 29-39. 13. Sacco RL, Toni D, Mohr J P. Classification of Ischemic Stroke in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed, p. 341-351. 14. Ding Y,Li J, Rafols JA, Philis JW, Diaz FG. Prereperfusion Saline Infusion into Ischemic Territory Reduces Inflammatory Injury after Transient Middle Cerebral Artery Occlusion in Rats. Stroke.2002;33 : 2492-2498. 15. Ohkuma H, Tabata H, Suzuki S,Islam S. Risk Factors for Aneurismal Subarachnoid Hemorrhage in Aomori, Japan. Stroke.2003;34:96-100. 16. Okamoto K, Horisawa R, Kawamura T, Asai A, Ogino M, Takagi T, Ohno Y. Family History and Risk of Subarachnoid Hemorrhage.Stroke.2003;34:422-426. 17. Mohr JP, Kistler JP. Intracranial Aneurysms in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 701-710. 18. Kataoka K, Taneda M, Asai T, Kinoshita A, Ito M, Kuroda R. Structural Fragility and Inflammatory Response of Ruptured Cerebral Aneurysms. Stroke. 1999;30:1396-1401.
Gambar 20. Peningkatan kadar MBP beberapa hari kemudian setelah serangan stroke pada penderita stroke iskemik Tabel 4.
Perbandingan sensitivitas pemeriksaan MBP dan S-100B pada penderita stroke iskemik (AIS), stroke hemoragik (ICH) dan TIA berdasarkan waktu sejak serangan stroke Serum Marker Sensitivity
Int. AIS ICH TIA Other Time (hrs) MBP S100 T M MBP S100 T M MBP S100 T M MBP S100 T M 0-3 0-6 0 - 24
25 27 27
63 64 73
38 36 36
100 75 100
66 50 75
66 50 50
0 0 0
0 33 33
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
KESIMPULAN Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga di banyak negara. Lebih dari dua pertiga penderita stroke mengalami disabilitas. Penanda biokimiawi dapat digunakan untuk membantu menentukan faktor risiko hingga diagnosis, prognosis dan tingkat keparahan stroke. Selain itu, diagnosis stroke dengan penanda biokimiawi dapat membantu memperoleh terapi yang optimal. Berdasarkan penelitian penanda biokimiawi yang dapat digunakan untuk diagnosis, prognosis dan tingkat keparahan stroke adalah protein S 100 B, NSE dan MBP, Homosistein maupun hsCRP, sedangkan pemeriksaan status antioksidan total dapat digunakan untuk mengetahui status antioksidan dalam tubuh sehubungan dengan terjadinya reperfusi injury. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara faktor inflamasi dengan insiden stroke.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
17
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE 19. Hachinski V. Stroke : the next 30 year. Stroke. 2002; 33:1-4. 20. Iwamoto H, Kiyoshara Y, Fujishima M, Kato I, Nakayama, Sueishi K et al. Prevalence of Intracranial Saccular Aneurysms in a Japanese Community Based on a Consecutive Autopsy Series During a 30 Year Observation Period. The Hisayama Study. Stroke. 1999;30:1390-1395. 21. Fukuda S, Hashimoto N, Naritomi H, Nagata I, Nozaki K, Kondo S, et al. Prevention of Rat Cerebral Aneursyms Formation by Inhibition of Nitric Oxide Synthase. Circulation. 2000;101:2535-2538. 22. Hankey G. Angiotensin-Concerting Enzyme Inhibitory for Stroke Prevention. Stroke. 2003;34: 354-356. 23. Feigen VL, Anderson S ,Anderson E, Broad J, Pledger M, Bonita R,et al . Is There a Temporal Pattern in the Occurrence of Subarachnoi Hemorrhage in the Southern Hemisphere? Stroke. 2001;32:613-619. 24. Broel C, McKee A, Parra A, Haglund M,Solan A, Prabhakar V, et al. Possible Role for Vascular Cell Proliferation in Cerebral Vasospasm after Subarachnoi Hemorrhage. Stroke. 2003;34:427-433. 25. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick J, Batjer H, Hondo H, Hanley D. Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. N Engl J Med. 2001;344:1450-1460. 26. Dickinson JC. Why are strokes related to hypertension? Classic studies and hypotheses revisited. J of Hypertension.2001;19:15151521. 27. Kase C, Mohr JP, Caplan LR. Intracerebral Hemorrhage in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 649-667. 28. Xi G, Wagner KR, Keep R, Hua Y, Myers G, Broderick JP. Role of Blood Clot Formation on Early Edema Development after Experimental Intracerebral Hemorrhage. Stroke.1998; 29:2580-2586. 29. Wijman C A C, Kase CS. Intracerebral Hemorrhage in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 1359-1369 30. Mc Girt MJ, Parra A, Sheng H, Higuchi Y, Oury T, Laskowitz DT. Attenuation of Cerebral Vasospasm after Subarachnoid Hemorrhage in Mice Overexpressing Extracellular Superoxide Dismutase. Stroke. 2002;33:2317-2323. 31. Chae CU, Lee RT, Rifai N, Ridker PM. Blood pressure and inflammation in apparently healthy men. Hypertension. 2001;38:399405. 32. Wolf PA, D Agostino RB. Epidemiology of Stroke in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 3-28. 33. Ringelstein EB and Nabavi D. Long Term Prevention of Ischaemic Stroke and Stroke Recurrence. Trombosis Research. 2000,V83V96. 34. Shahar E, Chambless LE, Rosamond WD, Boland LL, Ballanty CM, McGovern PG, Sharrett AR. Plasma Lipids Profile and Incident Ischemic Stroke. Stroke. 2003;34:623-631. 35. Gorelick PB, Mazzone T. Plasma lipids and stroke. J of Cardiovascular Risk.1999; 6:217-221. 36. Soderberg S, Ahren B, Stegmayr B, Johnson O, Wiklund PG, Weineball L, Hallmans G, Olsson T. Leptin is a Risk Marker for First Ever Hemorrhage Stroke in a Population Based Cohort. Stroke.1999;30:328-337.
○
○
18
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
37. Sharp FR, Swanson RA, Honkaniemi J, Kogure K, Massa SM. Neurochemistry and Molecular Biology in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 51-63. 38. Wannamethee SG, Shaper AG. Physical activity and the prevention of stroke. J of Cardiovascular Risk. 1999;6:213-216. 39. Hankey GJ.Smoking and risk of stroke. J of Cardiovascular Risk. 1999;6:207-211. 40. Elkind M, Lin I F, Grayston J T, Sacco R L. Chlamydia pneumoniae and the Risk of First Ischemic Stroke. Stroke. 2000; 31: 15211525. 41. Mayr M, Kiechl S, Mendall MA, Willeit J, Wick G, Xu Q. Increased Risk of Atherosclerosis is Confined to CagA-Positive Helicobacter pylori Strains. Stroke.2003;34:610-615. 42. Kristensen BK, Malm J, Nilsson T , Hultdin J, Carlberg B, Dahlen G, Olsson T. Hyperhomocysteinemia and Hypofibrinolysis on Young Adults with Ischemic Stroke.Stroke. 1999;30:974-980. 43. Perry IJ. Homocysteine and risk of stroke. J of Cardiovascular Risk. 1999;6:235-240. 44. Boysen G, Brander T, Christensen H, Gideon R, Truelsen T. Homocysteine and Risk of Recurrent Stroke. Stroke.2003;34:12581261. 45. Lentz SR. Does Homocysteine Promote Atherosclerosis? Atheroscler Thromb Vasc Biol. 2001;21:1385-1386. 46. Liswati E. Factor Risiko Stroke. Forum Diagnosticum Prodia. 1999; 6: 1-11. 47. Shibata M, Kumar R, Amar A, Fernandez JA, Hofman F, Griffin JH, Zlokovic BV. Anti-Inflammatory, Antithrombotic and Neuroprotective Effects of Protein C in a Murine Model of Focal Ischemic Stroke. Circulation. 2001; 103:1799-1805. 48. Johansson L, Jansson JH, Boman K, Nilsson T, Stegmayr B, Hallmans G. Tissue Plasminogen Activator, Plasminogen Activator Inhibitor-1 and Tissue Plasminogen Activator/Plasminogen Activator Inhibitor-1 Complex as Risk Factors for the Development of a First Stroke. Stroke. 2000;31:26-32. 49. Coll BM, Loughery TG, Feinberg WM. Coagulation Abnormalities in Stroke in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p.963-971. 50. Arnout J and Carreras L. The Antiphospholipid Syndrome in Cardiovascular Trombosis : Thrombocardiology and Thromboneurology . Topol, Fuster and Verstraete. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. 2nd ed,p.759-779. 51. Brey RL, Stallworth CL, McGlasson DL, Wozniak MA, Wityk RJ, Stern BJ, et al. Antiphospholipid Antibodies and Stroke in Young Women. Stroke. 2002;33:2396-2401. 52. Winbeck K, Poppert H, Etgen T, Conrad B, Sander D. Prognostic Relevance of Early Serial C-Reactive Protein Measurements after First Ischemic Stroke. Stroke.2002;33:2459-2464. 53. Gussekloo J, Schaap MCL, Frolich M, Blauw GJ, Westendorp RGJ. C-Reactive Protein is a Strong but Nonspecific Risk Factor of Fatal Stroke in Fatal Stroke in Elderly Persons. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2000;20:1047-1051. 54. Hashimoto H, Kitagawa K, Hougaku H, Shimizu Y, Sakaguchi M, Nagai Y, et al. C-Reactive Protein is an Independent Predictor of the Rate of Increase in Early Carotid Atherosclerosis. Circulation. 2001;104:63-67.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE 55. Ridker PM. Inflammation, Biomarkers,Statin and the Risk of Stroke. Circulation.2002;105:2583-2585. 56. Tohda G, Oida K, Okada Y, Kosaka S, Okada E, Takahashi S. Expression of Thrombomodulin Atherosclerotic Lessions and Mitogenic Activity of Recombinant Thrombomodulin in Vascular Smooth Muscle Cells. Arterioscler Thromb Vasc Biol.1998;18:1861-1869. 57. Pang Li, Ye W, Che XM, Roessler BJ, Betz AL, Yang GY. Reduction of Inflammatory Response in the Mouse Brain with Adenoviral Mediated Transforming Growth Factor-b1 Expression. Stroke. 2001;32:544-552. 58. Kostulas N, Pelidou SH, Kivisakk P, Kostulas V, Link H. Increased IL-1, IL-8, IL-17mRNA Expression in Blood Mononuclear Cells Observed in a Prospective Ischemic Stroke Study. Stroke. 1999;30:2174-2179. 59. Tanne D, Haim M, Boyko V, Goldbourt U, Reshef T, Matetzky S, Adler Y. Soluble Intercellular Adhesion Molecule-1 and Risk of Future Ischemic Stroke. Stroke. 2002;33:2182-2186. 60. Frijns CJM, Kapple LJ. Inflammatory Cell Adhesion Molecules in Ischemic Cerebrovascular Disease. Stroke. 2002;33:2115-2122. 61. Villa N, Castillo J, Davalos A, Chamorro A. Proinflammatory Cytokines and Early Neurological Worsening in Ischemic Stroke.Stroke. 2000;31:2325-2329. 62. Elkind MS, Cheng J, Albala BBA, Rundek T, Thomas J, Chen H. Tumor Necrosis Factor Receptor Levels are Associated with Carotid Atherosclerosis. Stroke. 2002;33:31-38. 63. Exel EV, Gussekloo J, Craen AJM, Wiel A, Frolich M, Westendorp RGJ. Inflammation and Stroke. Stroke.2002;33:1135-1138. 64. Kostulas N, Kivisakk P, Huang Y, Matusevicius D, Kostulas V, Link H. Ischemic Stroke is Associated with a Systemic Increase of Blood Mononuclear Cells Expressing Interleukin-8 mRNA. Stroke. 1998;29:462-466. 65. Slevinn M, Krupinski J, Slowik A, Kumar P, Szczudik A, Gaffney J. Serial Measurement of Vascular Endothelial Growth Factor and Transforming Growth Factor-b1 in Serum of Patients with Acute Ischemic Stroke. Stroke. 2000;31:1863-1870. 66. Mohr JP, Donnan G. Overview of Laboratory Studies in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 189-193. 67. Gao JH, Zhong J, Fox PT. Functional Magnetic Resonance Imaging in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 121-125. 68. Savoiardo M, Grisoli M. Computed Tomography Scanning in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 195-226. 69. Delapaz RL, Mohr JP. Magnetic Resonance Scanning in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 227-256. 70. Ringleb PA, Schellinger PD, Schranz C, Hacke W. Thrombolytic Theraphy within 3-6 hours after Onset of Ischemic Stroke Useful or Harmful? Stroke. 2002;33:1437-1441. 71. Aoki T, Sumii T, Mori T, Wang X, Lo E H. Blood Brain Barrier Disruption and Matrix Metalloproteinase-9 Expression During Reperfusion Injury. Stroke.2002;33:2711-2717.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
72. Rosenberg GA, Estrada EY, Dencoff JE. Matrix Metalloproteinase and TIMPa are Associated with Blood Brain Barrier Opening after Reperfusion in Rat Brain. Stroke.1998;29:2189-2195. 73. Lapchak PA, Chapman DF, Zivin JA. Metalloproteinase Inhibition Reduces Thrombolytic- Induced Hemorrhage after Thromboembolic Stroke. Stroke.2000;31:3034-3040. 74. Sumii T, Lo EH. Involvement of Matrix Metalloproteinase in Thrombolysis-Associated Hemorrhagic Transformation after Embolic Focal Ischemia in Rats. Stroke. 2002;33:831-836. 75. Kim G, Kondo T, Noshita N. Manganese Superoxide Dismutase Deficiency Exacerbates Cerebral Infarction after Focal Cerebral Ischemia/Reperfusion in Mice. Stroke.2002;33:809-815. 76. Ozdemir Y G, Bolay H, Saribas O, Dalkara T. Role of Endothelial Nitric Oxide Generation and Peroxynitrite Formation in Reperfusion Injury after Focal Cerebral Ischemia. Stroke. 2000;31:1974-1981. 77. Raabe. Sangtec 100, A biochemical marker for diagnosis and monitoring of brain damage. Sangtec Medical 78. Neuron Specific Enolase, Myelin Basic Protein and Brain S-100 Protein in Neuroscience Panel. 2002, p.15-20. 79. Rosen H, Rosengren L, Herlitz J, Blomstrand C, Increased Serum Levels of the S-100 Protein are Associated with Hypoxic Brain Damage after Cardiac Arrest. Stroke. 1998;29:473-477. 80. Bottiger BW, Mobes S, Glatzer R, Bauer H, Gries A, Bartsch P et al. Astroglial Protein S-100 is an Early and Sensitive Marker of Hypoxic Brain Damage and Outcome after Cardiac Arrest in Humans. Circulation, 2001;103:2694-2698. 81. Smart S-100. Skye 82. Martens P, Raabe A, Johnsson P. Serum S-100 and Neuron Specific Enolase for Prediction of Regaining Consciousness after Global Cerebral Ischemia. Stroke. 1998;29:2362-2366. 83. Smart NSE. Skye 84. Hill MD, Bayer N, Takahashi M, Jackowski G, Jaeschke R, Stanton EB. Serum S-100 B and Neuron Spesific Enolase (NSE) in Acute Ischemic Stroke : Pilot Study. Skye 85. Wunderlich M, Ebert A, Kratz T, Goertler M, Jost S, Herrmann M. Early Neurobehavioral Outcome after Stroke is Related to Release of Neurobiochemical Markers of Brain Damage. Stroke. 1999;30:1190-1195. 86. Schoerkhuber W, Kittler H, Sterz F, Behringer W, Holzer M, Frossard M, Spitzauer S, Laggner A. Time Course of Serum Neuron Specific Enolase . Stroke. 1999;30:1598-1603. 87. CSF myelin basic protein. Http://www.accessatianta.com 88. Human Myelin Basic Protein. Http://homepages. Strath.ac.uk 89. Smart MBP. Skye 90. E Davies, Y Hong, A El-Badry, G Jackowski. Clinical Utility and Performance of a Rapid and Sensitive Immunoassay for the Determination of Serum Myelin Basic Protein. Skye
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
19
○
PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE
Forum Diagnosticum ISSN 0854-7173
Redaksi Kehormatan Prof. DR.Dr. Marsetio Donosepoetro, Drs. Andi Wijaya Prof. DR.Dr. FX Budhianto Suhadi, DR.Dr. Irwan Setiabudi Ketua Dewan Redaksi/Penanggung Jawab Dra. Marita Kaniawati Anggota Dewan Redaksi Dra. Dewi Muliaty, Dra. Ampi Retnowardani Dra. Evy Liswati, Dra. Indriyanti RS Dra. Lies Gantini Faliawati Moeliandari S.Si. Alamat Redaksi Laboratorium Klinik Prodia Jl.Wastukencana 38, Bandung 40116 Telepon: (022) 4202011, 4219392, 4219394, Fax : (022) 4236461 e-mail:
[email protected] website: www.prodia.co.id
Certificate Number: 403247 Certified to QMS
Agustus 2003-3480 ○
○
20
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○